Ayat
Terjemahan Per Kata
إِن
jika
تَتُوبَآ
kamu berdua bertaubat
إِلَى
kepada
ٱللَّهِ
Allah
فَقَدۡ
maka sesungguhnya
صَغَتۡ
condong/cenderung
قُلُوبُكُمَاۖ
hati kamu berdua
وَإِن
dan jika
تَظَٰهَرَا
kamu berdua bantu-membantu
عَلَيۡهِ
atasnya/Nabi
فَإِنَّ
maka sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
هُوَ
Dia
مَوۡلَىٰهُ
Pelindungnya
وَجِبۡرِيلُ
dan Jibril
وَصَٰلِحُ
dan orang baik
ٱلۡمُؤۡمِنِينَۖ
orang-orang mu'min
وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ
dan malaikat
بَعۡدَ
sesudah
ذَٰلِكَ
demikian/itu
ظَهِيرٌ
pembantu/penolong
إِن
jika
تَتُوبَآ
kamu berdua bertaubat
إِلَى
kepada
ٱللَّهِ
Allah
فَقَدۡ
maka sesungguhnya
صَغَتۡ
condong/cenderung
قُلُوبُكُمَاۖ
hati kamu berdua
وَإِن
dan jika
تَظَٰهَرَا
kamu berdua bantu-membantu
عَلَيۡهِ
atasnya/Nabi
فَإِنَّ
maka sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
هُوَ
Dia
مَوۡلَىٰهُ
Pelindungnya
وَجِبۡرِيلُ
dan Jibril
وَصَٰلِحُ
dan orang baik
ٱلۡمُؤۡمِنِينَۖ
orang-orang mu'min
وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ
dan malaikat
بَعۡدَ
sesudah
ذَٰلِكَ
demikian/itu
ظَهِيرٌ
pembantu/penolong
Terjemahan
Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, sungguh hati kamu berdua telah condong (pada kebenaran) dan jika kamu berdua saling membantu menyusahkan dia (Nabi), sesungguhnya Allahlah pelindungnya. Demikian juga Jibril dan orang-orang mukmin yang saleh. Selain itu, malaikat-malaikat (juga ikut) menolong.
Tafsir
(Jika kamu berdua bertobat) yakni Siti Hafshah dan Siti Aisyah (kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong) cenderung untuk diharamkannya Siti Mariyah, artinya, kamu berdua merahasiakan hal tersebut dalam hati kamu, padahal Nabi ﷺ tidak menyukai hal tersebut, dan hal ini adalah suatu perbuatan yang berdosa. Jawab Syarat dari kalimat ini tidak disebutkan, yakni jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka tobat kamu diterima. Diungkapkan dengan memakai lafal quluubun dalam bentuk jamak sebagai pengganti dari lafal qalbaini, hal ini tiada lain karena dirasakan amat berat mengucapkan dua isim tatsniah yang digabungkan dalam satu lafal (dan jika kamu berdua saling bantu-membantu) lafal tazhaahara artinya bantu-membantu. Menurut qiraat yang lain dibaca tazhzhaharaa bentuk asalnya adalah Tatazhaaharaa, kemudian huruf ta yang kedua diidgamkan ke dalam huruf zha sehingga jadilah tazhzhaaharaa (terhadapnya) terhadap Nabi ﷺ dalam melakukan hal-hal yang tidak disukainya, yakni membuat susah Nabi ﷺ (maka sesungguhnya Allah adalah) lafal huwa ini merupakan dhamir fashl (Pelindungnya) maksudnya, yang menolongnya (dan begitu pula Jibril dan orang-orang mukmin yang saleh) seperti Abu Bakar dan Umar r.a. Lafal ini diathafkan secara mahall kepada isimnya inna, yakni begitu pula mereka akan menjadi penolongnya (dan selain dari itu malaikat-malaikat) yaitu sesudah pertolongan Allah dan orang-orang yang telah disebutkan tadi (adalah penolongnya pula) maksudnya mereka semua menjadi penolong Nabi terhadap kamu berdua.
Tafsir Surat At-Tahrim: 1-5
Wahai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu; dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari istri-istrinya (Hafsah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafsah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (semua pembicaraan antara Hafsah dengan Aisyah) kepada Muhammad, lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafsah).
Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafsah dan Aisyah), lalu Hafsah bertanya, "Siapakah yang telah memberitahukan hal itu kepadamu? Nabi menjawab, "Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula.
Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadamu dengan istri-istri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertobat, yang mengerjakan ibadat, yang berpuasa, yang janda, dan yang perawan. Ulama tafsir berbeda pendapat sehubungan dengan asbabun nuzul yang melatarbelakangi penurunan permulaan surat At-Tahrim ini. Menurut suatu pendapat, ayat ini diturunkan berkenaan dengan peristiwa Mariyah Al-Qibtiyyah, lalu Rasulullah ﷺ mengharamkannya bagi dirinya (yakni tidak akan menggaulinya lagi). Maka turunlah firman Allah subhanahu wa ta’ala: Wahai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? (At-Tahrim: 1), hingga akhir ayat.
Abu Abdur Rahman An-An-Nasai mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Yunus ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Sabit, dari Anas, bahwa Rasulullah ﷺ mempunyai seorang budak perempuan yang beliau gauli, lalu Siti Aisyah dan Siti Hafsah terus-menerus dangan gencarnya menghalang-halangi Nabi ﷺ untuk tidak mendekatinya lagi hingga pada akhirnya Nabi ﷺ mengharamkan budak itu atas dirinya. Maka Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya: Wahai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu? (At-Tahrim: 1), hingga akhir ayat. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abdur Rahim Al-Burfi, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Maryam, telah menceritakan kepada kami Abu Gassan, telah menceritakan kepadaku Zaid ibnu Aslam, bahwa Rasulullah ﷺ menggauli ibu Ibrahim di rumah salah seorang istri beliau ﷺ Maka istri beliau ﷺ berkata, "Wahai Rasulullah, teganya engkau melakukan itu di rumahku dan di atas ranjangku." Maka Nabi ﷺ mengharamkan ibu Ibrahim itu atas dirinya. Lalu istri beliau ﷺ bertanya, "Wahai Rasulullah, mengapa engkau haramkan atas dirimu hal yang halal bagimu?" Dan Nabi ﷺ bersumpah kepada istrinya itu bahwa dia tidak akan menggauli budak perempuannya itu lagi. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Wahai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya atas dirimu? (At-Tahrim: 1) Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa ucapan Nabi ﷺ , "Engkau haram bagiku," adalah lagwu (tiada artinya). Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abdur Rahman ibnu Zaid, dari ayahnya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, dari Malik, dari Zaid ibnu Aslam yang mengatakan bahwa Nabi ﷺ berkata kepada ibu Ibrahim: Engkau haram atas diriku. Demi Allah, aku tidak akan menggaulimu. Sufyan Ats-Tsauri dan Ibnu Aliyyah telah meriwayatkan dari Daud ibnu Abu Hindun, dari Asy-Sya'bi, dari Masruq yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ melakukan sumpah ila dan mengharamkan budak perempuannya itu atas dirinya. Lalu beliau ﷺ ditegur melalui surat At-Tahrim dan diperintahkan untuk membayar kifarat sumpahnya. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir, dan hal yang semisal telah diriwayatkan dari Qatadah dan lain-lainnya, dari Asy-Sya'bi.
Hal yang semisal telah dikatakan pula oleh bukan hanya seorang dari ulama salaf, antara lain Adh-Dhahhak, Al-Hasan, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan. Al-Aufi telah meriwayatkan kisah ini dari Ibnu Abbas secara panjang lebar. Ibnii Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq, dari Az-Zuhri, dari Ubaidillah ibnu Abdullah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Umar ibnul Khattab, "Siapakah kedua wanita itu?" Umar ibnul Khattab menjawab, "Keduanya adalah Aisyah dan Hafsah." Permulaan kisahnya ialah berkenaan dengan ibu Ibrahim (yaitu Mariyah Al-Ojibtiyyah).
Nabi ﷺ menggaulinya di rumah Hafsah di hari gilirannya, maka Hafsah mengetahuinya, lalu berkata, "Wahai Nabi Allah, sesungguhnya engkau telah melakukan terhadapku suatu perbuatan yang belum pernah engkau lakukan terhadap seorang pun dari istri-istrimu. Engkau melakukannya di hari giliranku dan di atas peraduanku." Maka Nabi ﷺ menjawab: Puaskah engkau bila aku mengharamkannya atas diriku dan aku tidak akan mendekatinya lagi? Hafsah menjawab, "Baiklah." Maka Nabi pun mengharamkan dirinya untuk menggauli Mariyah, Nabi ﷺ bersabda, "Tetapi jangan kamu ceritakan hal ini kepada siapa pun." Hafsah tidak tahan, akhirnya ia menceritakan kisah itu kepada Aisyah. Maka Allah subhanahu wa ta’ala menampakkan (memberitahukan) hal itu kepada Nabi ﷺ , dan Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya: Wahai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? (At-Tahrim, 1) hingga beberapa ayat sesudahnya. Maka telah sampai kepada kamu suatu berita yang menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ membayar kifarat sumpahnya dan kembali menggauli budak perempuannya itu. Al-Haisam ibnu Kulaib mengatakan di dalam kitab musnadnya, bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Qilabah alias Abdul Malik ibnu Muhammad Ar-Raqqasyi, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Jarir ibnu Hazim, dari Ayyub, dari Nafi', dari Ibnu Umar, dari Umar yang menceritakan bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda kepada Hafsah: Janganlah engkau ceritakan kepada siapa pun, dan sesungguhnya ibu Ibrahim haram atas diriku.
Hafsah bertanya, "Apakah engkau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah bagimu?" Nabi ﷺ bersabda, "Demi Allah, aku tidak akan mendekatinya lagi." Dan Nabi ﷺ tidak mendekatinya lagi sampai Hafsah menceritakan peristiwa itu kepada Aisyah. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu. (At-Tahrim: 2) Sanad hadits ini shahih, tetapi tiada seorang pun dari Sittah yang mengetengahkannya. Hadits ini dipilih oleh Al-Hafidzh Ad-Diya Al-Maqdisi di dalam kitabnya yang berjudul Al-Mustakhraj. Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aliyyah, telah menceritakan kepada kami Hisyam Ad-Dustuwa-i yang mengatakan bahwa Yahya menulis surat kepadanya menceritakan hadits yang ia terima dari Yala ibnu Hakim, dari Sa'id ibnu Jubair, bahwa Ibnu Abbas pernah mengatakan sehubungan dengan ucapan pengharaman terhadap seorang istri, bahwa itu merupakan sumpah yang dapat dihapus dengan membayar kifaratnya.
Dan Ibnu Abbas membaca firman-Nya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu. (Al-Ahzab: 21) Yakni Rasulullah ﷺ pernah mengharamkan budak perempuannya atas dirinya. Maka Allah menurunkan firman-Nya: Wahai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu? (At-Tahrim: 1) sampai dengan firman-Nya: Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu. (At-Tahrim: 2) Maka beliau ﷺ membayar kifarat sumpahnya, dan menjadikan kata pengharamannya itu sebagai sumpah yang telah dia hapuskan dengan membayar kifaratnya. Imam Al-Bukhari meriwayatkannya dari Mu'az ibnu Fudalah, dari Hisyam Ad-Dustuwa-i, dari Yahya ibnu Abu Kasir, dari Abu Hakim alias Ya'la dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa dalam kasus pengharaman yang halal ada kifaratnya karena dianggap sebagai sumpah.
Dan Ibnu Abbas membaca firman-Nya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu. (Al-Ahzab: 21) Demikianlah menurut riwayat Imam Muslim dari hadits Hisyam Ad-Dustuwa-i dengan sanad yang sama. Imam An-Nasai mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Abdus Samad ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Makhlad (yakni Ibnu Yazid), telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Salim, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa ia pernah kedatangan seorang lelaki, lalu lelaki itu bertanya, "Sesungguhnya aku telah mengharamkan istriku atas diriku." Ibnu Abbas menjawab, "Engkau dusta, dia tidak haram atas dirimu." Kemudian Ibnu Abbas membaca firman Allah subhanahu wa ta’ala: Wahai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu? (At-Tahrim: 1) Kamu harus membayar kifarat yang terberat, yaitu memerdekakan budak.
Imam An-Nasai meriwayatkannya melalui jalur ini dengan lafal yang sama. Imam Ath-Thabarani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Zakaria, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Raja, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Muslim, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Wahai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu? (At-Tahrim: 1) Bahwa Rasulullah ﷺ pernah mengharamkan budak perempuannya atas dirinya. Berangkat dari pengertian ini maka ada sebagian ulama fiqih yang mengatakan bahwa diwajibkan membayar kifarat bagi seseorang yang mengharamkan budak perempuannya, atau istrinya, atau suatu makanan atau suatu minuman atau suatu pakaian atau sesuatu yang lain yang diperbolehkan.
Ini menurut mazhab Imam Ahmad dan segolongan ulama. Imam Syafii berpendapat bahwa tidak wajib baginya membayar kifarat apa pun kecuali dalam kasus pengharaman terhadap istri atau budak perempuan, jika yang bersangkutan mengharamkan diri keduanya dengan jelas, atau memutlakkan pengharamannya terhadap keduanya, menurut suatu pendapat di kalangan mazhabnya. Adapun jika seorang lelaki dalam pengharamannya itu berniat menceraikan istrinya atau memerdekakan budak perempuannya, maka berlakukan hal itu terhadap keduanya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abu Abdullah Az-Zahrani, telah menceritakan kepadaku Hafs ibnu Umar Al-Adni, telah menceritakan kepadaku Al-Hakam ibnu Aban, telah menceritakan kepadaku Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Wahai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu? (At-Tahrim: 1) Bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan wanita yang menghibahkan (menyerahkan) dirinya untuk dinikahi oleh Nabi ﷺ Tetapi hal ini merupakan pendapat yang gharib. Pendapat yang benar menyatakan bahwa hal ini terjadi berkenaan dengan pengharaman Nabi ﷺ terhadap madu (putih), sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam tafsir ayat ini. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan kepadaku Hisyam ibnu Yusuf, dari Ibnu Juraij, dari ‘Atha’, dari Ubaid ibnu Umair, dari Aisyah yang mengatakan bahwa dahulu Nabi ﷺ suka minum madu (putih) di rumah Zainab binti Jahsy, lalu tinggal bersamanya di rumahnya.
Maka aku (Aisyah) dan Hafsah sepakat untuk melakukan suatu tindakan, bahwa kepada siapa pun di antara kami berdua beliau ﷺ masuk, maka hendaklah ia mengatakan kepadanya, "Engkau telah makan magafir (madu putih yang rasanya enak, tetapi baunya tidak enak), karena sesungguhnya aku mencium bau magafir darimu." Maka Nabi ﷺ bersabda: Tidak, tetapi aku baru saja meminum madu biasa di rumah Zainab binti Jahsy, maka aku tidak akan meminumnya lagi; dan sesungguhnya aku telah bersumpah untuk itu, maka janganlah engkau ceritakan hal ini kepada siapa pun. Maka Allah menurunkan firman-Nya: kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu. (At-Tahrim: 1) Demikianlah menurut riwayat Imam Al-Bukhari dalam tafsir ayat ini dengan lafal sebagaimana yang tersebut di atas.
Dan di dalam Kitabul Aiman dan Nuzur Imam Al-Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaj, dari Ibnu Juraij yang mengatakan bahwa ‘Atha’ mengira dirinya pernah mendengar Ubaid ibnu Umair mengatakan bahwa ia pernah mendengar Siti Aisyah bercerita bahwa Rasulullah ﷺ dahulu suka tinggal di tempat Zainab binti Jahsy dan minum madu di rumahnya. Maka Aku (Aisyah dan Hafsah) mengadakan kesepakatan bahwa kepada siapa pun di antara kami berdua Nabi ﷺ menggilirnya, hendaklah ia mengatakan kepadanya, "Sesungguhnya aku mencium darimu bau magafir, engkau pasti telah makan magafir.' Lalu Nabi ﷺ menggilir salah seorang dari keduanya, maka istri yang digilirnya mengatakan kepadanya hal tersebut, lalu Nabi ﷺ berkata kepadanya: Tidak, bahkan aku hanya minum madu di rumah Zainab binti Jahsy, dan aku tidak akan meminumnya lagi.
Maka turunlah firman Allah subhanahu wa ta’ala: Wahai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu? (At-Tahrim: 1) sampai dengan firman-Nya: Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan) (At-Tahrim: 4) Kamu berdua ini ditujukan kepada Aisyah dan Hafsah. Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari istri-istrinya (Hafsah) suatu peristiwa (At-Tahnm: 3) Ini karena ada sabda Nabi ﷺ yang mengatakan: Tidak, aku telah minum madu. Ibrahim ibnu Musa, dari Hisyam, mengatakan bahwa sabda Nabi ﷺ tersebut ialah: Dan aku tidak akan mengulanginya lagi; sesungguhnya aku telah bersumpah (untuk tidak mengulanginya lagi), maka janganlah engkau ceritakan kepada siapa pun.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari di dalam Kitabut Talaq dengan sanad yang sama dan lafal yang mirip dengan hadits di atas. Kemudian Imam Al-Bukhari mengatakan bahwa magafir mirip dengan getah yang terdapat pada batang kayu, getah ini rasanya manis. Bila dikatakan agfarar ramsu artinya batang kayu itu mengeluarkan getahnya. Bentuk tunggalnya ialah magfur, ada juga yang mengatakan magafir.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Al-Jauhari, bahwa adakalanya getah yang dimaksud berasal dari pohon aysr, sammam, salam, dan talh. Al-Jauhari mengatakan bahwa ar-rimsi adalah sejenis semak yang sering dimakan oleh ternak unta. Al-Jauhari mengatakan bahwa 'urfut adalah nama sebuah pohon dari jenis pohon 'udah yang biasa mengeluarkan getah putih yang disebut magfur. Imam Muslim telah meriwayatkan hadits ini di dalam kitab Talaq, bagian dari kitab sahihnya, dari Muhammad ibnu Hatim, dari Hajjaj ibnu Muhammad, dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku ‘Atha’, dari Ubaid ibnu Umair, dari Aisyah dengan sanad yang sama, sedangkan lafaznya sama dengan apa yang diketengahkan oleh Imam Al-Bukhari di dalam Kitabul Aiman wan Nuzur.
Kemudian Imam Al-Bukhari mengatakan di dalam Kitabut Talaq-nya, bahwa telah menceritakan kepada kami Farwah ibnu Abul Migra, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Misar, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah yang mengatakan bahwa dahulu Rasulullah ﷺ menyukai manisan dan madu. Tersebutlah pula bahwa apabila beliau selesai dari shalat Asarnya selalu mampir di rumah istri-istri beliau, lalu mendekati salah seorang dari mereka. Dan beliau masuk ke dalam rumah Siti Hafsah binti Umar, lalu tinggal di dalam rumahnya dalam waktu yang lebih lama dari istri-istri lainnya.
Hal ini menimbulkan kecemburuan pada istri beliau yang lainnya. Kemudian Aisyah menanyakan hal tersebut, maka dijawab bahwa Hafsah menerima hadiah dari kaumnya berupa semangkuk madu, maka Hafsah memberikan sebagian darinya sebagai sajian minuman. Aku (Aisyah) berkata, "Ingatlah, demi Allah, kami benar-benar akan membuat tipu daya terhadapnya (Nabi)." Kemudian kukatakan kepada Saudah binti Zam'ah, "Sesungguhnya Nabi ﷺ akan mendekatimu. Dan bila beliau mendekatimu, katakanlah kepadanya bahwa engkau telah minum magafir. Maka pasti beliau akan menjawabmu, 'Tidak.' Bila demikian, maka katakanlah kepada beliau, 'Lalu bau apakah ini?' Dan beliau pasti akan mengatakan kepadamu, 'Hafsah telah memberiku minuman madu.' Maka jawablah olehmu, 'Rupanya lebahnya telah mengisap getah kayu 'urfut,' dan aku pun akan mengatakan hal yang sama kepada beliau.
Dan engkau juga, wahai Shafiyyah, katakanlah kepada beliau kalimat yang sama." Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, Saudah mengatakan bahwa demi Allah tidak lama kemudian Rasulullah ﷺ muncul di depan pintu rumahnya, maka dengan serta merta aku hendak mengatakan apa yang diajarkan olehku kepadanya karena dia merasa takut kepadaku. Dan ketika Rasulullah ﷺ mendekatinya, Saudah langsung bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah engkau telah makan magafir?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Tidak." Saudah bertanya lagi, "Lalu bau apakah ini yang aku cium darimu?" Maka Nabi ﷺ berterus terang kepadanya, "Hafsah telah memberiku minuman madu." Saudah berkata, "Kalau begitu, berarti lebahnya telah mengisap sari getah pohon 'urfut (yang menghasilkan magafir)!" Ketika Nabi ﷺ datang kepada giliranku, maka kukatakan kepadanya hal yang sama. Dan ketika sampai di rumah Shafiyyah, maka Shafiyyah pun mengatakan hal yang sama. Kemudian di lain hari ketika Nabi ﷺ mendatangi Hafsah, Hafsah menawarkan kepadanya, "Maukah engkau kusuguhkan minuman madu?" Nabi ﷺ menjawab, "Aku tidak memerlukannya lagi." Lalu Saudah berkata, "Demi Allah, beliau pasti telah mengharamkannya atas dirinya." Maka aku katakan kepadanya, "Diamlah kamu!" Demikianlah menurut lafal Imam Al-Bukhari.
Imam Muslim telah meriwayatkannya dari Suwaid ibnu Sa'id, dari Ali ibnu Mis-har dengan sanad yang sama, juga dari Abu Kuraib, Harun ibnu Abdullah, dan Al-Hasan ibnu Bisyr; ketiganya dari Abu Usamah Hammad ibnu Usamah, dari Hisyam ibnu Urwah dengan sanad yang sama. Dan dalam riwayat Imam Muslim disebutkan bahwa Siti Aisyah mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ adalah seorang yang merasa sangat tidak enak (tidak suka) bila dari dirinya tercium bau yang tidak enak. Yang dimaksud dengan bau yang tidak enak ialah bau yang busuk. Karena itulah mereka mengatakan, "Engkau telah makan magafir" mengingat bau magafir tidak enak.
Dan ketika Nabi ﷺ menjawab, "Tidak, aku hanya minum madu." Mereka (istri-istri beliau) menjawab, "Barangkali lebahnya mengisap getah pohon 'urfut," yang getahnya menghasilkan magafir. Karena itulah maka baunya terasa di madu yang diminumnya. Al-Jauhari mengatakan bahwa jarasatin nahlu al-'urfuta artinya lebah itu mengisap sari getah 'urfut. Karena itulah maka lebah disebut pula dengan istilah jawaris. Seorang penyair mengatakan: Lebah-lebah itu mengerumuni salah satu dari pohon-pohon yang berbuah. Dikatakan sami'tu jarasat tairi artinya aku telah mendengar suara patukannya pada sesuatu yang dimakannya.
Di dalam sebuah hadits disebutkan: Maka mereka mendengar suara patukan burung surga. Al-Asmu'i mengatakan bahwa ia berada di majelis pengajian Syu'bah, lalu ia mengatakan, "Maka mereka mendengar suara patukan burung surga," kata al-jaras diungkapkannya dengan jarasy memakai syin. Maka aku mengatakan jaras, lalu ia menoleh ke arahku dan berkata, "Turutilah apa katanya, karena sesungguhnya dia lebih mengetahui hal ini daripada aku." Tujuan mengungkapkan riwayat ini untuk menjelaskan bahwa berdasarkan riwayat ini istri yang memberi Nabi ﷺ madu adalah Hafsah.
Hal ini diriwayatkan melalui jalur Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari bibinya (yaitu Siti Aisyah). Tetapi menurut hadits yang diriwayatkan melalui jalur Ibnu Juraij, dari ‘Atha’, dari Ubaid ibnu Umair, dari Aisyah, disebutkan bahwa istri yang memberi minum madu itu adalah Siti Zainab binti Jahsy. Dan sesungguhnya sesudah itu Aisyah dan Hafsah mengadakan kesepakatan untuk memprotes Nabi ﷺ atas perlakuannya itu; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Adakalanya dikatakan bahwa kedua peristiwa ini terjadi, dan tidak mustahil pula bila memang benar terjadi.
Tetapi bila dikatakan bahwa keduanya merupakan peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat ini, masalahnya masih perlu diteliti lagi; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Di antara dalil yang menunjukkan bahwa kedua istri yang melakukan protes itu adalah Aisyah dan Hafsah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab musnadnya. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepadaku Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Abu Saur, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa sudah lama ia ingin menanyakan kepada Umar tentang dua orang wanita dari kalangan istri-istri Nabi ﷺ yang disebutkan di dalam firman-Nya: Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan). (At-Tahrim: 4) Hingga ketika Umar mengerjakan haji dan aku ikut haji bersamanya.
Di tengah perjalanan Umar menepi, lalu aku pun menepi pula bersamanya dengan membawa wadah air, kemudian Umar membuang air besar. Setelah itu Umar datang kepadaku, maka kutuangkan kepadanya air, dan Umar berwudu dengannya. Lalu kutanyakan kepadanya, "Wahai Amirul Muminin, siapakah dua orang wanita dari istri-istri Nabi ﷺ yang disebutkan di dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala: Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan) (At-Tahrim: 4)?" Maka Umar berkata, "Pertanyaanmu aneh, wahai Ibnu Abbas." Az-Zuhri memberi komentar, bahwa demi Allah, Umar tidak suka dengan pertanyaan itu, (sebab anaknya sendiri yaitu Hafsah terlibat), sedangkan ia tidak boleh menyembunyikannya (bila ada yang bertanya).
Akhirnya Umar menjawab, "Aisyah dan Hafsah." Kemudian Umar melanjutkan kisahnya dengan panjang lebar, "Dahulu kami orang-orang Quraisy adalah suatu kaum yang tidak memberi kesempatan kepada wanita untuk berperan. Dan ketika kami tiba di Madinah, kami jumpai suatu kaum yang kaum wanita mereka mempunyai peran. Akhirnya kaum wanita kami setelah bergaul dengan kaum wanita mereka belajar dari mereka." Umar melanjutkan kisahnya bahwa tempat tinggalnya berada di perkampungan Bani Umayyah ibnu Zaid, yaitu di tempat yang tinggi.
Umar melanjutkan bahwa pada suatu hari ia marah terhadap istrinya, tetapi tiba-tiba istrinya itu melawannya sehingga Umar kaget melihat sikapnya yang demikian, ia tidak menyukai sifat tersebut. Istrinya menjawab, "Mengapa engkau merasa kaget bila aku berani melawanmu. Demi Allah, sesungguhnya istri-istri Rasulullah ﷺ sendiri berani melawan beliau, bahkan salah seorang dari mereka berani tidak berbicara dengan beliau hari ini sampai malam harinya." Umar melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia pergi dan masuk ke dalam tempat Hafsah (putrinya), lalu bertanya kepadanya, "Apakah engkau telah berani menentang Rasulullah?" Hafsah menjawab, "Ya." Umar berkata, "Apakah benar ada seseorang dari kalian yang mendiamkan beliau hari ini sampai malam harinya?" Hafsah menjawab, "Ya." Umar berkata, "Sungguh telah kecewa dan merugilah orangyang berani berbuat demikian dari kalian terhadapnya.
Apakah dia dapat menyelamatkan dirinya bila Allah murka terhadap dirinya karena murka Rasulullah? Sudah dapat dipastikan dia akan binasa. Dan kamu janganlah sekali-kali berani memprotes Rasulullah ﷺ dan jangan pula kamu meminta sesuatu darinya, tetapi mintalah kamu kepadaku dari hartaku menurut apa yang kamu sukai. Dan jangan sekali-kali kamu teperdaya oleh madumu yang lebih cantik serta lebih dicintai oleh Rasulullah ﷺ daripada kamu (maksudnya Aisyah)." Umar melanjutkan kisahnya, "Dahulu aku mempunyai seorang tetangga dari kalangan Ansar, dan kami biasa siiih berganti turun menemui Rasulullah ﷺ Di suatu hari gilirannya dan di hari yang lain giliranku. Maka tetanggaku itu menyampaikan kepadaku tentang berita wahyu dan hal penting lainnya, begitu pula yang kulakukan kepadanya bila tiba giliranku." Umar melanjutkan kisahnya, bahwa kami mendapat berita bahwa orang-orang Gassan sedang mempersiapkan pasukan berkuda untuk menyerang kami, berita ini menjadi topik pembicaraan yang hangat di kalangan kami.
Kemudian di suatu hari tiba giliran temanku itu untuk turun, kemudian di waktu isya ia datang dan langsung mengetuk pintu rumahku seraya memanggilku. Maka aku keluar menemuinya, dan ia langsung berkata, "Telah terjadi peristiwa yang besar." Aku bertanya memotongnya, "Apakah pasukan Gassan telah datang?" Lelaki Ansar tetangganya menjawab, "Bukan, tetapi peristiwanya lebih besar dan lebih panjang daripada itu.
Rasulullah ﷺ telah menceraikan istri-istrinya." Umar melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia berkata kepada dirinya sendiri bahwa Hafsah benar-benar telah kecewa dan merugi. Aku telah menduga kuat bahwa peristiwa ini pasti terjadi. Dan setelah ia menyelesaikan shalat Subuhnya, lalu ia langsung turun dan menuju ke rumah Hafsah, kemudian masuk menemuinya yang saat itu Hafsah dijumpainya sedang menangis. Umar bertanya, "Apakah Rasulullah telah menceraikanmu?" Hafsah menjawab, "Tidak tahu, tetapi beliau sedang menyendiri di ruangan itu." Maka aku (Umar) menemui pelayan beliau ﷺ yang berkulit hitam dan kukatakan kepadanya, "Mintakanlah izin kepadanya buat Umar." Pelayan itu masuk untuk meminta izin, kemudian ia keluar lagi dan menemuiku, lalu berkata, "Aku telah menyebutkan namamu, tetapi beliau hanya diam." Maka aku pergi hingga sampai di mimbar.
Ternyata di dekat mimbar terdapat sekumpulan orang-orang yang sedang duduk, sebagian dari mereka ada yang menangis. Maka aku duduk sebentar di tempat itu, kemudian aku tidak tahan lagi karena penasaranku, maka kudatangi lagi pelayan itu dan kukatakan kepadanya, "Mintakanlah izin masuk buat Umar." Maka pelayan itu masuk, kemudian keluar lagi dan mengatakan, "Aku telah menyebutkan namamu, tetapi beliau hanya diam saja." Maka aku keluar lagi dan menuju ke mimbar, kemudian rasa penasaranku kembali mendorongku dengan dorongan yang kuat.
Akhirnya kudatangi lagi pelayan itu dan kukatakan kepadanya, "Mintakanlah izin masuk buat Umar." Pelayan itu masuk, kemudian kembali lagi kepadaku dan mengatakan, "Aku telah sebutkan namamu, tetapi beliau masih diam saja." Akhirnya aku berpaling untuk pergi, tetapi tidak lama kemudian si pelayan itu memanggilku dan mengatakan, "Masuklah, beliau telah mengizinkanmu untuk menemuinya." Aku masuk dan mengucapkan salam penghormatan kepada Rasulullah ﷺ dan kujumpai beliau sedang bersandar pada tumpukan pasir yang beralaskan tikar.
Imam Ahmad mengatakan bahwa menurut apa yang diceritakan kepada kami oleh Ya'qub dalam hadits Saleh, tumpukan pasir yang diberi alas tikar, sedangkan anyaman tikar telah membekas pada lambung beliau ﷺ Maka kutanyakan kepada beliau, "Wahai Rasulullah, apakah engkau telah menceraikan istri-istrimu?" Rasulullah ﷺ mengangkat kepalanya memandang ke arahku seraya menjawab, "Tidak." Aku berkata, "Allah Mahabesar. Wahai Rasulullah, sebagaimana yang engkau ketahui bahwa kita ini orang-orang Quraisy adalah suatu kaum yang tidak memberikan peran kepada wanita. Tetapi ketika kita tiba di Madinah, kita menjumpai .suatu kaum yang kaum wanita mereka mempunyai peran di kalangan mereka.
Maka kaum wanita kita langsung belajar dari kaum wanita mereka. Dan di suatu hari aku marah terhadap istriku, tetapi tiba-tiba dia berani menjawabku, maka aku tidak suka dengan sikapnya itu. Tetapi ia berkata, "Mengapa engkau tidak suka dengan sikapku ini? Demi Allah, sesungguhnya istri-istri Nabi ﷺ sendiri berani menentang beliau dan ada salah seorang dari mereka yang berani mendiamkannya hari ini sampai dengan malam harinya." Maka kukatakan kepadanya, "Sesungguhnya telah merugi dan kecewalah wanita yang berani berbuat demikian.
Apakah seseorang dari kalian dapat menyelamatkan dirinya bila Allah murka karena murka Rasulullah ﷺ Dia pasti akan binasa." Rasulullah ﷺ tersenyum mendengar ceritaku, lalu aku berkata, "Wahai Rasulullah, aku telah menemui Hafsah dan telah kukatakan kepadanya, 'Jangan sekali-kali kamu terpengaruh oleh madumu yang lebih cantik dan lebih dicintai oleh Rasulullah ﷺ daripadamu'." Rasulullah ﷺ tersenyum lagi. Maka aku berkata kepadanya, "Aku merasa rindu kepada engkau, wahai Rasulullah." Rasulullah ﷺ menjawab, "Ya." Maka aku duduk dan kutengadahkan pandanganku ke atas rumah. Demi Allah, aku tidak melihat sesuatu pun di dalam rumah beliau sesuatu yang menarik pandanganku kecuali aku merasa segan dengan kedudukan beliau ﷺ Lalu aku berkata, "Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah semoga Allah memberikan keluasan kepada umatmu. Karena sesungguhnya Dia telah memberi keluagan kepada orang-orang Persia dan orang-orang Romawi, padahal mereka tidak menyembah Allah." Maka beliau ﷺ bangkit dan duduk dengan tegak, lalu bersabda: Wahai Ibnul Khattab, apakah engkau berada dalam keraguan Mereka adalah suatu kaum yang disegerakan kepada mereka kebaikan-kebaikannya dalam kehidupan dunia ini.
Maka aku berkata, "Mohonkanlah ampunan kepada Allah bagiku, ya Rasulullah." Tersebutlah bahwa beliau ﷺ telah bersumpah tidak akan menggauli istri-istri beliau selama satu bulan, karena kemarahan beliau terhadap mereka, hingga Allah subhanahu wa ta’ala menegurnya. Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, Imam At-Tirmidzi, dan Imam An-Nasai telah meriwayatkan hadits ini melalui berbagai jalur dari Az-Zuhri dengan sanad yang sama. Syaikhain (Al-Bukhari dan Muslim) telah meriwayatkannya melalui hadits Yahya ibnu Sa'id Al-Ansari, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa ia tinggal selama satu tahun (di Madinah) dengan tujuan akan menanyakan kepada Umar ibnul Khattab tentang makna suatu ayat yang ia tidak mampu menanyakannya secara langsung karena segan kepadanya (Umar).TJingga Umar berangkat untuk menunaikan ibadah haji, dan Ibnu Abbas pun ikut berangkat bersamanya.
Ketika kami berada dalam perjalanan pulang ke Madinah, di tengah jalan Umar turun di sebuah pohon Arak untuk menunaikan hajatnya. Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa lalu aku berdiri menunggunya sampai menyelesaikan hajatnya. Setelah selesai, aku berjalan bersamanya, maka kutanyakan kepadanya, "Wahai Amirul Muminin, siapakah dua orang wanita yang membangkang terhadap Nabi?" Berikut ini menurut lafal Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim, bahwa siapakah kedua wanita yang disebutkan dalam firman-Nya: dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi. (At-Tahrim: 4) Umar menjawab, "Aisyah dan Hafsah," kemudian disebutkan hingga akhir hadits dengan panjang lebar, dan sebagian dari mereka ada yang meringkasnya.
Imam Muslim mengatakan pula, telah menceritakan kepadaku Zuhair ibnu Harb, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Yunus Al-Hanafi, telah menceritakan kepada kami Ikrimah ibnu Ammar,'dari Sammak ibnul Walid Abu Zamil, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Abbas, telah menceritakan kepadaku Umar ibnul Khattab yang mengatakanbahwa ketika Nabi Allah memisahkan diri dari istri-istrinya, aku masuk ke dalam masjid, tiba-tiba kulihat orang-orang sedang diam menundukkan pandangan mereka, lalu mereka berkata bahwa Rasulullah telah menceraikan istri-istrinya.
Demikian itu terjadi sebelum ada perintah untuk berhijab. Maka aku berkata pada diriku sendiri, "Aku benar-benar akan memberitahukan (masalah hijab itu) kepada beliau hari ini." Kemudian disebutkan dalam hadits ini kisah masuknya Umar menemui Aisyah dan Hafsah serta nasihat Umar kepada keduanya. Kemudian dilanjutkan bahwa aku (Umar) masuk dan aku bersua dengan Rabah (pelayan Rasulullah ﷺ ) sedang berdiri di depan pintu ruangan tamu. Maka aku panggil dia dan kukatakan kepadanya, "Wahai Rabah, mintakanlah izin masuk kepada Rasulullah ﷺ untukku." Lalu disebutkan kisah seperti yang^erdapat pada hadits sebelumnya.
Hingga sampai pada perkataan Umar yang mengatakan, "Wahai Rasulullah, apakah yang memberatkanmu tentang urusan istri-istrimu itu. Jika engkau ceraikan mereka, maka sesungguhnya Allah bersamamu, dan juga para malaikat-Nya, Jibril, Mikail, aku sendiri, Abu Bakar, dan semua orang mukmin bersamamu." Setiap kalimat yang kukatakan selalu berharap semoga Allah menurunkan wahyu yang membenarkan perkataanku. Pada akhirnya turunlah ayat ini, yaitu ayat Takhyir: Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kamu. (At-Tahrim: 5) Dan firman-Nya: dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula. (At-Tahrim: 4) Maka kukatakan kepada beliau, "Apakah engkau telah menceraikan mereka?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Tidak." Maka aku berdiri di pintu masjid, dan aku serukan dengan sekuat suaraku bahwa Nabi ﷺ tidak menceraikan istri-istrinya.
Dan turunlah pula ayat ini, yaitu firman-Nya: Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). (An-Nisa: 83) Maka aku adalah orang yang mengulas berita peristiwa tersebut. Hal yang sama telah dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Muqatil ibnu Hayyan, Adh-Dhahhak, dan lain-lainnya.
dan orang-orang mukmin yang baik. (At-Tahrim: 4) Yakni Abu Bakar dan Umar; Al-Hasan Al-Basri menambahkan, juga Usman. Al-Laits ibnu Abu Sulaim telah meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: dan orang-orang mukmin yang baik. (At-Tahrim: 4) Bahwa yang dimaksud adalah Ali ibnu Abu Talib. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Umar, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far ibnu Muhammad ibnul Husain yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku seorang lelaki yang berpredikat siqah, ia me-rafa'-kannya sampai kepada Ali bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda sehubungan dengan makna firman-Nya: dan orang-orang mukmin yang baik. (At-Tahrim: 4) Bahwa orang itu adalah Ali ibnu Abu Talib.
Sanad hadits ini dha’if, dan dinilai munkar sekali. Imam Al-Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Aun, telah menceritakan kepada kami Hasyim, dari Humaid, dari Anas yang mengatakan bahwa Umar telah mengatakan bahwa istri-istri Nabi ﷺ berkumpul dalam kasus kecemburuan mereka terhadap beliau ﷺ Maka kukatakan kepada mereka, "Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kamu. Maka turunlah ayat ini. Dan dalam pembahasan yang terdahulu telah disebutkan bahwa Umar acapkali bersesuaian dengan wahyu dalam berbagai tempat (kejadian); antara lain ialah turunnya ayat hijab, lalu mengenai para tawanan Perang Badar, dan yang lainnya ialah ucapan Umar sehubungan dengan maqam Ibrahim, "Sebaiknya engkau jadikan sebagian dari maqam Ibrahim tempat shalat," lalu turunlah firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat shalat. (Al-Baqarah: 125) Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Al-Ansari, telah menceritakan kepada kami Humaid, dari Anas, bahwa Umar ibnul Khattab pernah mengatakan bahwa telah sampai kepadanya suatu berita yang terjadi di antara Ummahatul Muminin dan Nabi ﷺ Maka ia menasihati mereka seorang demi seorang.
Umar mengatakan kepada mereka, "Sungguh kamu harus menghentikan sikap kamu terhadap Rasulullah ﷺ yang demikian, atau benar-benar Allah akan memberikan ganti kepadanya dengan istri-istri lain yang lebih baik daripada kamu." Hingga sampailah Umar kepada Ummahatul Muminin yang terakhir, tetapi ia disanggahnya dengan ucapan, "Wahai Umar, ingatlah, Rasulullah ﷺ sendiri tidak menasihati istri-istrinya terlebih kamu." Akhirnya Umar diam, dan turunlah firman-Nya: Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertobat, yang mengerjakan ibadat, yang berpuasa, yang janda, dan yang perawan. (At-Tahrim: 5) Wanita yang menyanggah Umar dalam riwayat ini saat Umar menasihatinya adalah Ummu Salamah Sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab Shahih Al-Bukhari.
Imam Ath-Thabarani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnuNa-ilah Al-Asbahani, telah menceritakan kepada kami Ismail Al-Bajali, telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari Abu Sinan, dari Adh-Dhahhak, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari istri-istrinya (Hafsah). (At-Tahrim: 3) Bahwa Hafsah memasuki rumahnya untuk menemui Nabi ﷺ dan ia menjumpai Nabi ﷺ sedang menggauli Mariyah. Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: Jangan kamu ceritakan kepada Aisyah, maka aku akan memberimu suatu berita gembira. Sesungguhnya ayahmu akan menjadi khalifah sesudah Abu Bakar jika aku telah tiada. Maka Hafsah pergi dan menceritakan kejadian itu kepada Aisyah. Maka Aisyah bertanya kepada Rasulullah ﷺ , Siapakah yang memberitahumu hal itu (kekhalifahan Umar sesudah Abu Bakar)?" Nabi ﷺ menjawab: Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (At-Tahrim: 3) Aisyah berkata, "Aku tidak mau memandangmu sebelum engkau mengharamkan Mariyah atas dirimu," akhirnya beliau ﷺ mengharamkannya atas dirinya. Maka Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya: Wahai Nabi, mengapa kamu mengharamkan. (At-Tahrim: 1), hingga ayat berikutnya. Akan tetapi, hadits ini ditinjau dari segi sanadnya perlu diteliti kembali karena telah jelas dari apa yang telah kami kemukakan mengenai tafsir ayat-ayat ini. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertobat, yang mengerjakan ibadat. (At-Tahrim: 5) Maknanya sudah jelas dan tidak perlu diterangkan lagi.
yang berpuasa. (At-Tahrim: 5) Menurut Abu Hurairah, Aisyah, Ibnu Abbas, Ikrimah, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, ‘Atha’, Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi, Abu Abdur Rahman As-Sulami, Abu Malik, Ibrahim An-Nakha'i, Al-Hasan, Qatadah, Adh-Dhahhak, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Suddi, dan lain-lainnya disebutkan ahli puasa. Dalam pembahasan terdahulu telah disebutkan sebuah hadits marfu' sehubungan dengan makna lafal ini dalam tafsir firman-Nya, "Assaihun, tepatnya dalam tafsir surat At-Taubah, lafal hadits tersebut berbunyi sebagai berikut: ".
Siyahah umat ini adalah puasa. Lain pula dengan Zaid ibnu Aslam dan putranya. Keduanya mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa makna yang dimaksud ialah wanita-wanita yang berhijrah. Lalu Abdur Rahman membaca firman-Nya: yang melawat. (At-Taubah: 112) Yakni yang berhijrah. Akan tetapi, pendapat pertamalah yang paling utama. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: yang janda dan yang perawan. (At-Tahrim: 5) Maksudnya, di antara mereka ada yang janda dan ada pula yang perawan, agar penganekaragaman ini lebih menambah dorongan selera dan lebih menyenangkan hati beliau.
Karena itulah maka disebutkan oleh firman-Nya: yang janda dan yang perawan. (At-Tahrim: 5) Abul Qasim At-Ath-Thabarani mengatakan di dalam kitab Mujamul Kabirnya, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Sadaqah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muhammad ibnu Marzuq, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Abu Umayyah, telah menceritakan kepada kami Abdul Quddus, dari Saleh ibnu Hayyan, dari Ibnu Buraidah, dari ayahnya sehubungan dengan makna firman-Nya: yang janda dan yang perawan. (At-Tahrim: 5) Bahwa Allah telah menjanjikan kepada Nabi-Nya melalui ayat ini, Dia akan mengawinkannya dengan Asiah bekas istri Fir'aun yang janda, dan yang perawan adalah Maryam binti Imran.
Al-Hafidzh Ibnu Asakir dalam biografi Maryam a.s. telah meriwayatkan melalui jalur Suwaid ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Saleh ibnu Umar, dari Adh-Dhahhak dan Mujahid, dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa Jibril datang kepada Rasulullah ﷺ , lalu lewatlah Khadijah. Maka Jibril berkata, "Sesungguhnya Allah menitipkan salam buatnya, dan menyampaikan berita gembira kepadanya dengan sebuah gedung di dalam surga yang jauh dari keramaian, tiada kericuhan dan tiada kegaduhan padanya, gedung itu terbuat dari mutiara yang dilubangi.
Terletak di antara gedung milik Maryam binti Imran dan gedung milik Asiah binti Muzahim." Dan dari hadits Abu Bakar Al-Huzali, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas disebutkan bahwa Nabi ﷺ masuk (menemui) Khadijah yang saat itu sedang menjelang kematiannya, lalu beliau ﷺ bersabda: Wahai Khadijah, apabila engkau bersua dengan madu-madumu, maka sampaikanlah kepada mereka salam dariku. Khadijah bertanya, "Apakah engkau pernah kawin sebelum denganku, wahai Rasulullah? Rasulullah ﷺ menjawab, "Belum, tetapi Allah telah mengawinkan aku dengan Maryam binti Imran dan Asiah istri Fir'aun serta Kalsum saudara perempuan Musa. Hadits ini dha’if. ". Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Ur'urah, telah menceritakan kepada kami Abdun Nur ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Yusuf ibnu Syu'aib.
dari Abu Umamah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Aku telah diberi tahu bahwa Allah akan mengawinkanku di surga dengan Maryam binti Imran, Kalsum saudara perempuan Musa, dan Asiah bekas istri Fir'aun. Maka aku berkata, "Kuucapkan selamat kepada engkau, wahai Rasulullah." Hadits ini lemah pula, dan telah diriwayatkan pula secara mursal dari Ibnu Abu Dawud."
Jika kamu berdua, wahai Hafsah dan '''isyah, bertobat kepada Allah dengan menghentikan kebiasaan yang tidak nyaman bagi Nabi, maka sungguh, hati kamu berdua telah condong untuk menciptakan kedamaian bagi beliau; dan jika kamu berdua saling bantu-membantu menyusahkan Nabi seperti selama ini terjadi, maka sungguh, Allah menjadi pelindungnya dan juga Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain itu malaikat-malaikat adalah penolongnya yang menunjukkan bahwa Nabi dilindungi Allah, para malaikat, dan para sahabat beliau.
5. Allah lalu menyampaikan peringatan kepada para istri Nabi. Jika dia, yakni Nabi, menceraikan kamu, karena kamu bersikap keras dan menyakiti beliau, boleh jadi Tuhannya, yaitu Allah akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik dari kamu segala-galanya, karena Allah melindungi dan menyayangi beliau. Allah bisa mengganti dengan perempuan-perempuan yang patuh kepada Allah, yang beriman, yang taat kepada suami, yang bertobat setiap saat, yang beribadah dengan ikhlas, yang berpuasa dan berhasil mengendalikan ucapan dan perbuatan, yang janda dan yang perawan, keduanya mudah bagi Nabi.
Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa jika Hafsah dan 'Aisyah mau bertobat, dan mengatakan bahwa dirinya telah menyalahi kehendak Nabi saw, keduanya cinta kepada apa yang beliau cintai, dan membenci apa yang beliau benci, berarti keduanya telah cenderung untuk menerima kebaikan.
Dalam riwayat lain, Ibnu 'Abbas berkata, "Saya senantiasa ingin menanyakan kepada Umar tentang dua istri Nabi ﷺ yang dimaksudkan firman Allah, "Jika kamu berdua bertobat kepada Allah?," sampai 'Umar menunaikan ibadah haji dan saya pun menunaikan ibadah haji bersama dia. Ketika 'Umar dalam perjalanannya mampir untuk berwudu, saya guyur kedua tangannya dan bertanya, 'Wahai Amirul Mukminin! Siapakah kedua istri Nabi yang dituju oleh firman Allah, "Jika kamu berdua bertobat kepada Allah ?." 'Umar lalu menjawab, 'Wahai Ibnu 'Abbas! Kedua istri Nabi ﷺ yang dimaksud itu ialah 'Aisyah dan Hafsah. Kalau keduanya ('Aisyah dan Hafsah) tetap sepakat berbuat apa yang menyakiti hati Nabi ﷺ dengan menyiarkan rahasianya, hal itu tidak akan menyusahkan Nabi, karena Allah-lah pelindungnya, serta membantunya di dalam urusan agama dan semua hal yang dihadapinya. Begitu pula Jibril, orang-orang mukmin yang saleh, dan para malaikat, semuanya turut menolong dan membantunya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SURAH AT-TAHRIIM
(MENGHARAMKAN)
SURAH KE-66,12 AYAT, DITURUNKAN DI MADINAH
(AYAT 1-12)
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Pengasih.
Ayat 1
“Wahai Nabi! Mengapa engkau haramkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah kepadamu? Karena mengharapkan kesenangan hati istri-istri engkau?"
Terdapat beberapa riwayat hadits-hadits tentang sebab turunnya ayat ini dan ayat yang empat berikutnya.
Di antaranya ialah sebuah hadits yang dirawikan oleh Bukhari, menyampaikan kepadanya Ibrahim bin Musa, dia menerima dari Hisyam bin Yusuf, dia menerima dari Ibnu Juraij, dan dia menerima dari Atha, dan dia menerima dari Ubaid bin Umair, dan dia ini menerima dari Aisyah (ibunda orang-orang beriman). Dia ini berkata, “Adalah Nabi ﷺ, meminum madu di rumah Zainab binti Jahsyi dan dia duduk bersama dia agak lama. Lalu aku dan Hafshah mengatur siasat, bahwa siapa di antara kami berdua yang lebih dahulu berjumpa dengan Nabi ﷺ akan berkata kepadanya, ‘Engkau rupanya makan maghaafir, aku terbau-bau maghaafir!' Setelah siasat itu kami lakukan, beliau menjawab, “Tidak! Aku tidak makan maghafiir, tetapi aku minum madu lebah di rumah Zainab. Aku tidak akan mengulanginya lagi, aku bersumpah, tetapi jangan kau kabarkan kepada seorang pun.'" Menurut Bukhari inilah asal turun ayat. Beliau telah berjanji kepada istrinya, karena ingin buat menyenangkan hati istrinya itu, bahwa beliau tidak akan minum madu lagi, padahal madu itu halal diminumnya. Mengapa diharamkannya untuk dirinya hanya untuk menyenangkan hati istrinya?
Rupanya istri yang dilarang membuka rahasia kepada temannya itu, karena bangga mendengar janji Rasulullah tidak akan minum madu lagi, lupa akan janjinya. Kemudian dia menyampaikan berita itu kepada temannya. Yaitu Hafshah kepada Aisyah. Rupanya pembukaan rahasia ini telah disampaikan Allah kepada beliau. Lalu Rasulullah ﷺ menempelak kembali istri yang membuka rahasia itu. Si istri bertanya, “Siapa yang memberitahukan itu kepada engkau?" Rasulullah menjawab, “Yang memberitahukan kepadaku ialah Yang Maha Mengetahui dan Mahateliti."
Dari kejadian ini mengertilah Rasulullah, bahwa istri-istrinya karena cemburu telah bantu-membantu hendak menyakiti hatinya. Dia cemburu kepada madunya, tetapi Rasulullah yang dia sakiti. Lantaran itu Rasulullah marah, lalu beliau tidak tidur di rumah salah satu istrinya itu sebulan lamanya.
Dalam riwayat lain dikeluarkan an-Nasa'i diterimanya dari Anas bin Malik, ada disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ menggauli selir (budak) miliknya. Aisyah dan Hafshah cemburu, lalu bermufakat berdua mendesak Rasulullah ﷺ supaya meninggalkan, tidak mencampuri lagi selir tersebut. Karena desakan itu Rasulullah terpaksa menurutinya, lalu menyatakan bahwa beliau tidak mau menggauli selir itu. Kata hadits ini, itulah sebabnya turun ayat ini, “Mengapa engkau haramkan barang yang dihalalkan Allah, karena untuk menyenangkan hati-hati istri engkau?"
Sebuah riwayat lagi dari Ibnu Jarir ath-Thabari dan dari Ibnu Ishaq, bahwa Rasulullah menggauli dayang beliau yang bernama Mariyah, hadiah Raja Muqauqis Mesir itu, ibu dari anak beliau Ibrahim. Digaulinya di rumah Hafshah, sedang Hafshah tidak ada di rumah. Ketika dia pulang didapatinya Rasulullah sedang duduk bersenang-senang dengan Mariyah. Hafshah sangat marah melihat Nabi berbuat begitu di rumahnya. Dianggapnya itu satu penghinaan atas dirinya, maka untuk meredakan kemarahan itu Nabi menjanjikan kepada Hafshah bahwa untuk seterusnya dia tidak akan bergurau lagi dengan Mariyah.
Bahkan beliau kuatkan dengan sumpah, dan beliau suruh rahasiakan hal itu kepada siapa jua pun. Tetapi Hafshah tidak dapat mengunci mulutnya, sehingga diberitahukannya juga rahasia itu kepada Aisyah. Mungkin karena gembira, merasa sudah menang.
Sebuah hadits lagi yang diriwayatkan oleh ad-Daruquthni, dari Ibnu Abbas, dari Umar bin Khaththab. Dia berkata, “Rasulullah ﷺ masuk ke dalam rumah Hafshah membawa dayangnya Mariyah, ibu anaknya Ibrahim. Tiba-tiba Hafshah datang kembali dari rumah ayahnya. Melihat Rasulullah bersama dayangnya, dalam rumahnya, Hafshah berkata, ‘Engkau bawa masuk dia ke rumahku. Engkau bawa dayangmu masuk ke dalam rumahku, padahal engkau tidak berbuat begitu di rumah istri yang lain, niscaya karena aku engkau pandang rendah saja!'" Lalu Rasulullah berkata, “Jangan kau beritakan hal ini kepada Aisyah! Mulai sekarang saya haramkan dia atas diriku!" Lalu Hafshah menyambut, “Bagaimana boleh engkau mengharamkan dia, padahal dia adalah dayangmu?" Lalu Nabi menguatkan perkataannya, “Mulai sekarang aku bersumpah tidak akan mendekat lagi kepadanya." Sesudah itu beliau berkata pula, “Jangan engkau ceritakan hal ini kepada siapa jua pun." Tetapi Hafshah tidak tahan, lalu disampaikannya juga berita ini kepada Aisyah. Maka marahlah Nabi, sampai beliau tidak memulangi istri-istri beliau itu sebulan lamanya.
Yang mana pun yang lebih shahih di antara riwayat hadits-hadits itu, kita telah mendapat kesimpulan bahwa Allah menegur Rasul-Nya, bahwa janganlah dia mengharamkan barang yang dihalalkan Allah. Dalam ayat ini sudah jelas bahwa beliau diberi peringatan oleh Allah karena mengharamkan atas dirinya sendiri sesuatu yang dihalalkan Allah, baik barang itu meminum madu seperti hadits yang dirawikan oleh Bukhari itu, atau menyetubuhi dayang atau selir, padahal dihalalkan Allah (lihat surah an-Nisaa', an-Nahl, al-Mukminun, al-Ahzaab, dan al-Ma'aarij; sampai 15 ayat semuanya, yang menjelaskan halalnya berhubungan badan dengan dayang, selir, atau budak). Apalah lagi sebabnya sepele saja, yaitu untuk menyenangkan dan menenangkan hati istri yang lagi panas. Oleh karena keterlanjuran itu tidaklah termasuk kesalahan besar, cuma sumpah saja yang mesti dibayar kafarat (dendanya), maka di ujung ayat Allah katakan,
“Dan Allah adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang,"
Yang disebut sifat Allah Pengampun dan Penyayang di ujung ayat, sebab Allah tahu pasti bahwa Nabi Muhammad ﷺ mengharamkan minum madu atau mencampuri dayangnya, bukanlah mengharamkan untuk umum, melainkan membuat pantangan atas dirinya sendiri, dikuatkan dengan sumpah.
Sedangkan mengharamkan untuk dirinya saja, bukan mengharamkan madu lebah untuk umum, mendapat teguran dari Allah, apatah lagi kalau pengharaman itu beliau lakukan sehingga menyalahi ketentuan Allah.
Oleh sebab demikian penulis tafsir ini tidaklah menyetujui pendapat setengah orang yang apabila melihat ada pertentangan di antara hadits Nabi dan teks Al-Qur''an, lalu mereka tinggalkan saja hadits itu. Padahal tidak ada pertentangan, melainkan orang yang mengatakan bertentanganlah yang masih kurang penyelidikan.
Misalnya ialah kalimat terakhir dari ayat 23 surah an-Nisaa', firman Allah yang berbunyi,
“Dan dilarang juga bahwa kamu kumpulkan dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang dulu-dulu." (an-Nisaa': 23)
Maksudnya, perbuatan di zaman jahiliyyah, sebelum Islam.
Dengan beralasan kepada bunyi ayat 24,
“Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian." (an-Nisaa': 24)
Maka ada ulama di Indonesia juga mengeluarkan fatwa, bahwa yang haram hanyalah mempermadukan di antara dua orang perempuan yang bersaudara. Lain dari itu misalnya mempermadukan seorang perempuan dengan bibinya, saudara perempuan ibunya atau saudara perempuan ayahnya, yaitu yang disebut dalam bahasa Arab khaalat dan ‘ammat, tidaklah terlarang. Sebab di ayat 24 disebut “halal yang selain dari itu".
Padahal dalam sebuah hadits yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ada tersebut,
“Bahwa Nabi ﷺ melarang orang mengumpulkan (mempermadukan) seorang perempuan dengan ‘ammat (saudara perempuan ayahnya) dan di antara seorang perempuan dengan khalat (saudara perempuan ibunya)." (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Apakah larangan Nabi itu dibatalkan oleh isi ayat 24 surah an-Nisaa', “Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian?"
Atau Nabi memandai-mandai, menambah-nambah yang haram sesuka hatinya?
Semuanya itu bukan. Dan sabda Nabi sekali-kali tidak dibatalkan oleh ayat 24. Seakan-akan Nabi salah menambah-nambahi yang haram lalu diperbaiki oleh Allah! Sekali lagi kita jelaskan “Tidak".
Yang benar ialah bahwa Nabi menjelaskan dalam sabdanya yang lain apa sebab dua bersaudara itu tidak boleh dikumpulkan atau dipermadukan. Dalam sebuah hadits dari Ibnu Abbas telah dijelaskan oleh Nabi sebab-sebab larangan itu. Sabda beliau,
“Sesungguhnya kamu, jika kamu berbuat demikian, kamu telah memutuskan kasih sayang di antara kamu." Maksudnya, silaturahim.
Dengan sabda Nabi yang demikian sudah jelas apa sebab dilarang mengumpulkan atau mempermadukan perempuan dua bersaudara, yaitu akan timbul berbenci-bencian di antara orang bersaudara, akan putus silaturahim. Maka Nabi sendirilah yang melakukan qiyas, yaitu kesatuan hukum karena kesatuan ‘illat (sebab). Maka terlarang pulalah mengumpulkan perempuan dengan ‘ammatnya dan perempuan dengan khaalatnya. Dan bersatulah hukum di antara yang tertulis dalam ayat dengan yang dijelaskan oleh Nabi. Maka kalau ada firman Allah,
“Dan halal bagi kamu selain demikian."
Ialah karena yang selain demikian itu tidak memutuskan silaturahim. Kalau ditinggalkan sebuah hadits shahih yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim karena ada perkataan “dan halal bagi kamu yang selain demikian," tentu tidak ada lagi artinya perintah-perintah Allah menyuruh taat kepada Allah dan taat kepada Rasul, dan tidak pula ada artinya lagi sekalian yang dinamai “Sunnah" yang mengandung sabda Rasul, perbuatan Rasul dan perbuatan orang lain yang beliau taqrir-kan.
MEMBEBASKAN DIRI DARI SUMPAH
Ayat 2
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kamu sekalian membebaskan diri kamu dari sumpah kamu."
Jelasnya ialah menurut sebuah hadits yang dirawikan oleh Muslim dari Ibnu Abbas kalau ada seseorang mengatakan kepada istrinya, atau dayangnya, budak perempuannya, “Mulai sekarang aku haramkan diriku menyentuh engkau" atau bersetubuh dengan engkau, maka samalah artinya dengan bersumpah. Maka wajiblah atasnya membayar kafarat. Yaitu kafarat sumpah sebagaimana tersebut dalam surah al-Maa'idah, yaitu memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan yang biasa kamu makan, atau memberi pakaian sepuluh orang miskin, atau memerdekakan budak, atau puasa tiga hari berturut-turut.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa setelah Rasulullah ﷺ terlanjur mengharamkan Mariyah atas dirinya dan mendapat teguran dari Allah, dia segera membayar kafarat. Yazid bin Azlam dan Qatadah meriwayatkan bahwa Nabi ﷺ membayar kafarat sumpah tidak akan tidur lagi dengan Mariyah itu ialah dengan memerdekakan seorang budak. Yang demikian itu ialah supaya diteladani oleh umatnya.
“Dan Allah adalah Pelindung kamu." Artinya bahwa Allah melindungi hamba-Nya dari ke-sukaran yang mereka buat sendiri. Jika barang yang halal mereka haramkan atas dirinya, bukanlah dia mempersempit tempatnya tegak dalam hidup? Apatah lagi kalau mempersempit hidup itu dengan memakai sumpah, menyebut nama Allah pula. Maka kejadian pada diri Nabi menjadi ibrah juga bagi umatnya.
“Dan Dia adalah Maha Mengetahui, Mahabijaksana."
Allah Maha Mengetahui bahwa kadang orang terlanjur mengharamkan barang yang halal, hanya karena membujuk istri saja, bukan karena dipikirkan matang-matang. Sebab itu Allah pun Mahabijaksana sehingga hanya dengan membayar kafarat saja, urusan itu sudah habis.
BISIK NABI KEPADA ISTRI-ISTRI BELIAU
Ayat 3
“Dan ingatlah tatkala secara nahas ia Nabi membicarakan sesuatu kepada setengah dari istri-istrinya."
Ayatini adalah ulangan penjelasan dari yang telah diterangkan pada ayat pertama. Secara rahasia Nabi mengatakan kepada salah seorang dari istri beliau yaitu Hafshah binti Umar, yaitu setelah Rasulullah membawa dayangnya ke rumah Hafshah, kebetulan sedang Hafshah tidak ada di rumah karena sedang pergi ke rumah ayahnya, Sayyidina Umar. Tiba-tiba setelah dia pulang didapatinya Nabi sedang bersenda-gurau dengan Mariyah, dayangnya itu. Dia marah dan memandang bahwa perbuatan itu menghinakannya. Maka untuk meredakan kemarahan istrinya itu, Rasulullah membisikkan secara rahasia kepadanya bahwa dia tidak akan menggauli Mariyah lagi, dan janji itu dikuatkan oleh beliau dengan sumpah. Dan diingatkannya sekali lagi, bahwa ini adalah rahasia, jangan disampaikan kepada siapa-siapa.
Atau menurut riwayat yang lebih shahih, riwayat Bukhari yang telah kita salinkan tadi, bahwa beliau baru habis minum madu lebah di rumah Zainab. Madu lebah yang enak itu, terkenal madu Arab yang lebih enak dari segala madu di dunia, maka kesannya masih kelihatan pada bibir beliau ketika beliau datang ke rumah Hafshah. Padahal Hafshah dan Aisyah telah membuat permufakatan bahwa kalau Nabi ﷺ datang ke rumah mereka dan kelihatan di wajah beliau bekas makan apa-apa, katakan saja bahwa mulut beliau berbau maghaafir. Sedang Rasulullah ﷺ tidaklah suka kepada suatu makanan yang terlalu menimbulkan bau. Beliau mengatakan terus terang bahwa yang beliau makan atau minum adalah madu lebah, bukan maghaafir. Tetapi istri-istri itu mengatakan juga bahwa mulut beliau berbau maghaafir. Karena istrinya masih tetap tidak mau mengerti, padahal latar belakang tidak lain ialah karena beliau minum madu lebah di rumah istrinya Zainab yang cantik. Akhirnya beliau bersumpah tidak lagi akan meminum ‘asal (madu lebah).
Tetapi ada lagi satu hal penting, suatu rahasia besar yang turut dibisikkan oleh Nabi kepada Hafshah, menurut satu riwayat dari Ibnu Abbas dan diriwayatkan pula oleh al-Kalbi, yaitu bahwa setelah Nabi melihat kemarahan Hafshah belum juga menurun, Nabi membisikkan kepada Hafshah, bahwa kalau beliau sudah tidak ada lagi di dunia ini, maka ayah Aisyah, yaitu Abu Bakar dan ayahnya sendiri, Umar bin Khaththab, keduanya itulah yang akan berganti-ganti kelak menggantikan pekerjaan beliau memimpin umat.
“Maka tatkala istrinya itu menceritakan peristiwa itu" Yaitu Hafshah yang tidak dapat menyembunyikan rahasia itu sebagaimana pesan suaminya, malahan disampaikannya berita rahasia itu kepada kawannya sesama istri Nabi yang karib hubungannya dengan dia, yaitu Aisyah. “Dan Allah menjelaskannya kepadanya," yaitu bahwa rahasia itu telah dibocorkan oleh Hafshah kepada kawannya Aisyah. “Lalu dia memberitahukan yang setengah dan menyembunyikan yang setengahnya." Yaitu Rasulullah menceritakan kembali kepada Hafshah bahwa beliau telah tahu bahwa Hafshah telah membocorkan rahasia itu. Disebut oleh Nabi setengah dari rahasia yang dibocorkan itu, yaitu mengatakan bahwa Nabi telah bersumpah tidak lagi akan menggauli dayang beliau, dan yang tidak beliau utangi menceritakannya itu, menurut yang tersebut dalam tafsir ar-Razi ialah tentang Nabi membayangkan bahwa setelah wafat, Abu Bakar dan Umar yang akan mengepalai kaum Muslimin.
“Maka tatkala dia" yaitu Nabi Muhammad ﷺ “Memberitahukan hal itu kepadanya;" kepada Hafshah, “Dia bertanya" yaitu Hafshah, “Siapa yang memberitahukan hal itu kepada engkau?" Hafshah bertanya demikian karena dia sangka tentulah Aisyah sendiri yang telah membuka pula rahasia pembicaraan mereka berdua kepada Nabi. Nabi menjawab,
“Yang memberitahukannya ialah Yang Maha Mengetahui, Yang Mahateliti.`
Artinya dengan tegas Nabi ﷺ menjawab bahwa yang memberitahukan rahasia itu telah dibocorkan oleh Hafshah kepada Aisyah ialah Allah sendiri! Allah Maha Mengetahui yang nyata dan yang tersembunyi. Kamu dapat berahasia sesama kamu, tetapi tidak dapat berahasia di hadapan Allah. Dia pun Mahateliti, sampai sekecil-kecilnya Dia pun Mengetahui.
Hafshah telah berbuat suatu kesalahan, yaitu membuka rahasia yang patut disembunyikannya kepada temannya. Dan disesali pula karena seakan-akan sudah terjadi persekongkolan di antara istri-istri beliau, karena dorongan rasa cemburu, semata-mata hendak mengecewakan hati suami. Dalam ayat ini disebutkan bahwa yang dibuka oleh Rasulullah ﷺ kepada Hafshah hanya sebagian saja dari apa yang diberitahukan oleh Allah kepadanya, yaitu tentang Nabi telah mengharamkan barang yang dihalalkan Allah kepadanya, yang karena itu Allah telah menegurnya. Yang sebagian lagi tidak beliau uraikan atau tidak beliau tanyakan lagi. Ada kemungkinan bahwa yang beliau sembunyikan itu ialah dari hal beliau membisikkan bahwa kalau beliau wafat kelak, ayah Aisyah dan ayah Hafshah akan menggantikan beliau memimpin umat.
Meskipun kitab-kitab tafsir tidak menyebutkannya dengan jelas, bagian mana yang disembunyikan oleh Nabi ﷺ itu, kita berpendapat bahwa yang beliau sembunyikan itu ialah dari bisik beliau tentang siapa yang akan menggantikan beliau memimpin umat kemudian hari itu. Sebab soal ini adalah soal politik yang amat berat. Beliau sebagai Rasul yang selalu dapat bantuan mukjizat dari Allah tentu telah diberitahu oleh Allah bahwa Abu Bakar dan Umar yang akan menggantikan beliau kelak. Tetapi karena itu mengenai urusan politik, urusan kenegaraan, menyangkut urusan besar umat, meskipun beliau tahu, adalah berbahaya kalau berita ini tersiar terlebih dahulu sebelum beliau wafat. Maka adalah suatu kesalahan besar jika rahasia ini bocor kepada orang umum. Mungkin inilah terutama yang menyebabkan beliau murka, sehingga ada riwayat bahwa beliau tidak memulangi istrinya sampai sebulan lamanya, bahkan ada lagi riwayat bahwa Hafshah sampai beliau ceraikan, sebagaimana telah tersebut juga ketika kita menafsirkan surah ath-Thalaaq.
Ayat 4
“Jika kamu keduanya bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kalian berdua mulailah cenderung."
Siapakah yang dimaksud oleh Allah dengan menyebut kamu berdua ini? Yang dimaksud dengan orang berdua di sini ialah Aisyah dan Hafshah; kalau mereka bertobat kembali, itu adalah sudah sepatutnya. Karena hati mereka telah cenderung menerima kebenaran. Hal ini karena atas perbuatannya sampai Nabi bersumpah tidak lagi akan minum madu lebah, padahal madu lebah adalah minuman yang halal dan mengandung khasiat yang baik bagi kesehatan. Atau beliau berjanji tidak akan lagi menggauli dayang beliau Mariyah, padahal hal itu dihalalkan oleh Allah. “Tetapi jika kalian berdua bantu-membantu membuat susah atasnya" seumpama menurut satu riwayat, mulut Rasulullah dikatakan berbau maghaafir, padahal nyatanya tidak demikian. Sedang Rasulullah sangat merasa tidak enak kalau ada orang mengatakan bahwa mulutnya berbau! Sama juga dengan mencela seseorang pada masa kita ini, jika dia memakan petai atau jengkol, yang keduanya itu enak dimakan, tetapi meninggalkan bau yang tidak enak.
Bagi Rasulullah sebagai seorang suami yang menjaga diri dan kehormatan, adalah suatu yang sangat menyinggung perasaan jika kedua orang istrinya menyebut mulutnya berbau. Bahkan ada riwayat sebagai rentetan dari hadits bahwa Aisyah pun membujuk istri Nabi yang tertua, Saudah, agar dia pun mengatakan bahwa mulut Nabi berbau maghaafir.
Bantu-membantu dalam menyakiti hati Nabi tidaklah patut. Sedangkan perbuatan serupa yang dilakukan istri biasa kepada suami biasa, termasuklah tidak layak.
Dalam sebuah hadits Ibnu Abbas yang dirawikan oleh Muslim ada disebutkan bahwa lebih setahun lamanya dia mencari peluang hendak menanyakan langsung kepada Khalifah Umar bin Khaththab, ingin mengetahui dari mulut beliau sendiri, kalau-kalau beliau mengetahui siapa yang dimaksud oleh pangkal ayat ini, “Jika kamu berdua bertobat kepada Allah." Siapa perempuan yang berdua itu? Sudah lebih setahun Ibnu Abbas menunggu kesempatan hendak bertanya itu, belum juga ada peluang, sebab Umar bin Khaththab semasa jadi Khalifah itu sangatlah hebat dan berwibawa, sehingga timbul segan orang mendekati beliau. Kesempatan bertanya itu baru didapat oleh Ibnu Abbas karena suatu ketika dia dapat masuk dalam rombongan beliau ketika beliau naik haji, niscaya dalam musafir dapat lebih berdekatan. Maka ketika akan pulang dari haji, ketika beliau istirahat bernaung di bawah sepohon kayu, ketika itulah Ibnu Abbas mengambil kesempatan menanyakan siapa perempuan berdua yang disebut itu.
“Ya Amirul Mukminin, siapakah kedua perempuan yang dikatakan jika mereka bertobat itu?" tanya Abdullah bin Abbas.
Beliau menjawab, “Hafshah dan Aisyah!" Lalu Sayyidina Umar menyesali Ibnu Abbas mengapa segan-segan bertanya, mengapa takut. Beliau mengatakan bahwa apa hal yang dia tahu, dia bersedia menjelaskannya. Lalu beliau lanjutkan,
“Kami orang Quraisy selama ini dapat mengendalikan istri-istri kami. Tetapi setelah kami hijrah ke Madinah kami dapati saudara-saudara Anshar sebaliknya, yaitu mereka yang dikalahkan oleh istri-istri mereka. Karena pergaulan rupanya istri-istri kami sudah ketularan dari istri-istri Anshar."
Kata beliau seterusnya, “Aku tinggal di kampung Umaiyah bin Zaid di al-Awaali (lereng). Pada suatu hari aku marah kepada istriku. Rupanya dia bantah perkataanku, sehingga aku bertambah marah. Lalu istriku berkata, ‘Mengapa engkau marah? Sedangkan istri-istri Rasulullah sekarang sudah berani membantahnya, dan salah seorang dari istri-istri beliau itu sudah ada yang berani meninggalkan beliau satu malam!'"
Mendengar itu segera aku masuk ke rumah Hafshah dan aku tanyai dia, “Kau sudah pula berani menjawab kepada Rasulullah?" Hafshah menjawab, “Benar!"
Lalu aku berkata, “Celaka kalian kalau ada di antara kalian yang berani berbuat begitu kepada diri beliau, akan rugilah kalian! Apakah kalian tidak percaya kalau seorang di antara kalian mencoba menentang bicaranya, bahwa Allah akan murka kepada siapa yang membantah itu kalau Rasul marah? Dan perempuan itu celaka? Jangan, Nak! Sekali-kali jangan kau berani angkat mulut di hadapan Rasulullah dan jangan kau minta apa-apa kepada beliau. Kalau ingin apa-apa, mintalah kepada aku, ayahmu! Dan jangan kau kecil hati, jangan cemburu, jika ada seorang tetanggamu (madumu] itu yang lebih cantik daripadamu dan lebih disenangi oleh Rasulullah." Yang beliau maksud ialah Aisyah.
Sayyidina Umar meneruskan penjelasannya kepada Ibnu Abbas, “Dalam keadaan demikian aku bertetangga dengan seorang Anshar dan kami selalu datang menghadap Rasulullah ﷺ berganti-ganti, kalau hari ini dia datang menghadap Nabi, besoknya saya pula yang datang."
Kalau sedang giliran dia menghadap Rasulullah, bilamana dia pulang, diberinya tahu kepada saya kalau ada wahyu yang turun. Dan kalau giliran saya menghadap Nabi ada pula wahyu turun, maka bila pulang segera pula saya beritahukan dia. Dan kami banyak mempercakapkan dengan tetanggaku itu tentang berita-berita bahwa orang-orang Ghassan sedang menyiapkan kuda-kuda ken-daraan untuk angkatan perang (cavaleri) hendak menyerbu ke Madinah."
(Orang Ghassan adalah salah satu kabilah Arabi pemeluk agama Kristen yang kekuasaan rajanya mendapat periindungan dari Roma, yang waktu itu masih menguasai daerah Syam).
Sayyidina Umar meneruskan penjelasan beliau, “Pada suatu malam tetanggaku itu datang tergesa-gesa kembali dari menghadap Rasulullah. Lalu dengan segera dia mengetuk pintu rumahku dan dipanggilnya namaku."
Aku pun keluar!
Setelah aku berdiri di hadapannya, dia pun langsung berkata, “Telah terjadi suatu hal yang besar!"
“Ada apa? Apakah orang Ghassan telah datang menyerang?" Tetanggaku itu menjawab, “Tidak. Tidak itu! Tetapi lebih besar dari itu! Bahkan lebih panjang ekornya! Nabi telah menalak istri-istrinya!"
“Malanglah Hafshah, rugilah dia. Aku memang telah menyangka akan begini sejak semula!"
Maka setelah selesai shalat Shubuh dan aku lekatkan bajuku, teruslah aku kepada Hafshah. Setelah aku masuk kulihat Hafshah menangis. Aku bertanya, “Apakah kalian ditalak oleh Rasulullah ﷺ?"
Hafshah menjawab, “Aku tidak mengerti. Cobalah ayah lihat itu beliau, sedang memencilkan diri di ruangan tempat beliau duduk minum."
Ujar Sayyidina Umar selanjutnya, “Aku pun pergi menemui pengawal beliau, seorang budak hitam dan aku katakan, ‘Mintakan izin menghadap bagi Umar!'"
Budak itu masuk ke dalam, lalu keluar lagi dan berkata, “Telah aku sampaikan, tetapi beliau diam saja!"
Aku pun keluar, terus masuk ke masjid. Di dekat mimbar Rasulullah banyaklah orang berkumpul dan ada yang menangis. Hanya sebentar aku duduk di sana, aku terpengaruh melihat mereka itu bermenungan, lalu aku masuk lagi ke rumah Rasulullah, dan aku panggil lagi budak hitam tadi dan aku katakan, ‘Mintakan izin untuk Umar!'"
Budak itu keluar lagi dan berkata, “Telah aku sampaikan, namun beliau diam saja."
Aku pun balik ke dekat mimbar. Saya lihat mereka masih berkerumun bermenungan. Aku pun tak tahan melihat, lalu aku pun kembali ke tempat Rasulullah dan aku sampaikan lagi kepada budak itu, ‘Mintakan izin untuk Umar!' Dia masuk dan dia keluar pula, mengatakan, “Telah aku sampaikan, namun beliau diam saja." Lalu aku pun bergerak hendak pergi saja dulu, tetapi budak tadi kembali lagi dan berkata, “Telah beliau izinkan, silakan masuk!" Aku pun langsung masuk dan mengucapkan salam kepada Rasulullah ﷺ, aku dapati beliau sedang duduk bertelekan kepada bangku-bangku yang diberi alas daun kasar yang berkesan pasir di samping beliau. Lalu langsung aku bertanya, “Apakah telah engkau talak sekalian istrimu, ya Rasulullah?"
Beliau angkat kepalanya dan menjawab, “Tidak!"
Aku pun berkata, “Allahu Akbar! Kalau engkau ingatlah kita-kita Quraisy ini, ya Rasul Allah! Selama ini kita bisa menguasai istri-istri kita. Tetapi setelah kita berada di Madinah, kita dapati orang di sini diatur istrinya, maka istri-istri kita pun kepindahan dari perangai istri-istri mereka. Satu kali aku sendiri marah kepada istriku. Tiba-tiba aku disanggahnya, lalu aku bertambah marah, mengapa dia telah berani membantah aku. Istriku membantah lagi dengan katanya, ‘Mengapa engkau marah kepadaku karena membantah katamu, sedangkan istri-istri Rasulullah sudah ada yang membantah beliau, bahkan ada seorang yang telah meninggalkan beliau seorang diri siang sampai malam.'"
Lalu aku jawab, “Celaka kalian kalau ada yang berbuat begitu dan rugilah dia! Percayakah kau bahwa pernah Allah murka kepada seseorang di antara yang menyanggah Nabi itu, karena Nabi marah kepadanya, sehingga perempuan itu binasa?"
Tiba-tiba Rasulullah ﷺ tersenyum mendengar kata-kataku itu.
Lalu aku teruskan pula, “Aku telah pergi kepada Hafshah, telah aku katakan kepadanya, ‘Janganlah kau cemburu mentang-mentang tetangga kau lebih cantik dan lebih disenangi oleh Rasulullah ﷺ daripada kau sendiri!'"
Mendengar kataku itu Rasulullah sekali lagi tersenyum.
Setelah melihat senyuman beliau, tanda hati telah terbuka. Lalu Sayyidina Umar memohon izin, “Bolehkah aku duduk sejenak, ya Rasulullah?" Beliau jawab, “Silakan." Maka aku pun duduk. Setelah aku duduk aku angkatlah kepalaku memandang sekeliling, maka tidaklah ada aku melihat -Demi Allah-kecuali setiap sesuatunya itu dijiwai oleh kehebatan diri beliau. Lalu aku berkata, “Doakanlah umat engkau ini kepada Allah, ya Rasul Allah, agar Allah melapangkan hidup bagi mereka seperti pada orang-orang Persia dan Rum, padahal mereka tidak menyembah semata kepada Allah!"
Mendengar itu beliau pun bangkit dan duduk dengan tenangnya, lalu beliau berkata, “Apakah engkau ragu-ragu, wahai anak Khaththab! Kaum itu semuanya dicepatkan kelapangan mereka untuk dunia ini saja, sesudah itu tak ada lagi!"
Lalu kataku, “Mohonkanlah kepada Allah, ya Rasul Allah, supaya aku diampuni!`
Pada penutup penjelasan itu Sayyidina Umar bin Khaththab mengatakan kepada Ibnu Abbas, “Tadinya beliau telah bersumpah tidak akan memulangi istri-istri itu sebulan lamanya dan sebab sangat kecewa hati beliau atas kelakuan mereka, sampai Allah menegurnya dengan ayat-ayat ini."
Hadits ini selain dirawikan oleh Muslim, dirawikan juga oleh Bukhari, at-Tirmidzi, dan an-Nasa'i, melalui az-Zuhri dengan nash seperti tersebut itu.
Dari keterangan panjang lebar yang diceritakan oleh Sayyidina Umar bin Khaththab kepada Ibnu Abbas kita menampak lagi riwayat yang lain tentang sebab Allah menegur Rasul-Nya itu, sebab mengharamkan hal yang dihalalkan Allah. Dan kita pun dapat mengambil perbandingan, bahwa barang yang halal janganlah kita haramkan, walaupun hanya untuk diri sendiri. Kita bebas memilih makanan yang disukai dan meninggalkan yang kita tidak doyan, tetapi janganlah sampai memantangkan dengan sumpah.
Lanjutan ayat ialah teguran kepada kedua perempuan atau kedua istri itu, Aisyah dan Hafshah, supaya mereka bertobat karena hati pernah terpengaruh oleh rasa cemburu, walaupun sedikit. Lalu Allah memberi peringatan agak keras kepada istri-istri Rasulullah ﷺ itu, sejalan juga dengan peringatan yang disampaikan oleh Sayyidina Umar bin Khaththab, yaitu kalau mereka bantu-membantu hendak mengecilkan hati Nabi, mereka sendirilah yang akan celaka dan rugi, seperti tersebut pada hadits yang telah diartikan di atas tadi. “Maka Allahlah Pelindungnya dan Jibril dan orang Mukmin yang saleh." Artinya, kalau kiranya istri-istri hanya mementingkan diri sendiri, mengganggu ketentaraman hati Nabi, mereka cemburu, ataupun membuka rahasia yang dibisikkan Nabi kepada mereka, sehingga dapat mengacaukan masyarakat, terutama yang bersangkut pautdengan politik, niscaya seluruh pihak tidak akan ada yang membenarkan perbuatan istri-istri itu. Segala pihak akan murka kepada mereka. Allah murka, Jibril yang dititahkan Allah menghantarkan wahyu akan murka. Di samping kemurkaan Allah dan Jibril, terutama lagi ialah kemurkaan orang Mukmin yang saleh. Orang-orang Mukmin yang saleh itu termasuk ayah-ayah mereka sendiri, Abu Bakar, Umar, atau saudara-saudara dan kaum dari perempuan-perempuan itu. Bukan saja masyarakat kaum beriman tidak senang, bahkan segala Malaikat pun tidak akan merasakan senang. Kalau kita pakai kata-kata zaman modern, ialah bahwa seluruh pendapat umum akan menantang mereka.
“Dan malaikat—sesudah itu—adalah Pelindungnya pula."
Kalau sudah Allah yang murka, Jibril yang marah, masyarakat orang-orang beriman yang saleh dan malaikat di langit tidak menyukai perbuatan mereka, sebab semuanya mencintai Nabi, nasib apakah yang akan mereka terima? Bukankah celaka, sengsara dan rugi? Sebagaimana yang diperingatkan oleh Sayyidina Umar kepada anak kandungnya Hafshah, sampai beliau mengatakan, “Jangan kau minta apa-apa kepada Rasulullah! Tetapi mintalah kepadaku apa yang kau ingini."
Ayat 5
“Bisa saja Tuhannya."
Yang selalu melindunginya sebab dia diberi Allah tugas yang berat memimpin manusia keluar dari gelap gulita syirik dan kebodohan. “Jika dia menalak kalian," jika kalian tidak mengubah perangai yang kurang baik itu, “Bahwa mengganti untuk dia dengan istri-istri yang lebih baik daripada kalian." Ini adalah satu peringatan dari Allah agar istri-istri Nabi merenungkan pilihan yang mungkin saja diberikan kepada mereka, jika tidak menyelaraskan sikapnya dengan perasaan Nabi ﷺ. Allah mengingatkan bahwa Dia Mahakuasa mendatangkan istri yang lebih baik bagi Nabi. “Yang Muslimah, yang beriman," yaitu yang teguh memegang kepercayaan mereka kepada Allah dan percaya bahwa segala sesuatu Allah-lah Yang Menentukan “Yang taat," melakukan perintah Ilahi dengan tidak merasa lalai dan malas dan taat pula mengikuti ketentuan suami, sebagai istri yang setia. “Yang bertobat," dari dosa dan kealpaan. As-Suddi menafsirkan bahwa oleh karena arti tobat itu ialah kembali, maka istri-istri Nabi yang tobat itu ialah yang mengembalikan segala keinginan Rasul. Bukan sebaliknya. “Yang beribadah,` Ibnu Abbas menafsirkan bahwa setiap kali tersebut kalimat ibadah dikerjakannya dengan sebab dorongan aqidah tauhid yang mendalam. ‘Yang menempuh perjalanan." Yaitu orang yang suka mengembara di alam merenung, meninjau, dan memikirkan terhadap sekalian kekuasaan Allah yang ada di sekelilingnya. Selain dari sifat-sifat utama demikian, mereka adalah
“Yang janda-janda dan perawan-perawan"
Akanberlombalahperempuan-perempuan yang mempunyai sifat-sifat utama itu dalam kesudian memperhambakan diri kepada Allah, dengan menjadi Mar'atush Shaalihah, istri-istri setia yang dijanjikan untuk Nabi ﷺ yang akan menjadi teman hidup beliau sejak dari dunia lalu ke akhirat. Adapun yang tidak setia, yang bantu-membantu mengecewakan hati beliau, bila tidak bertobat, akan merugi dan menyesallah dia.