Ayat
Terjemahan Per Kata
أَسۡكِنُوهُنَّ
tempatkanlah mereka
مِنۡ
dari
حَيۡثُ
mana
سَكَنتُم
kamu bertempat tinggal
مِّن
dari
وُجۡدِكُمۡ
yang kamu dapati/menurut kemampuan
وَلَا
dan jangan
تُضَآرُّوهُنَّ
kamu menyusahkan mereka
لِتُضَيِّقُواْ
untuk kamu menyempitkan
عَلَيۡهِنَّۚ
atas mereka
وَإِن
dan jika
كُنَّ
mereka
أُوْلَٰتِ
mempunyai
حَمۡلٖ
kandungan
فَأَنفِقُواْ
maka berilah nafkah
عَلَيۡهِنَّ
atas mereka
حَتَّىٰ
sehingga
يَضَعۡنَ
mereka melahirkan
حَمۡلَهُنَّۚ
kandungan mereka
فَإِنۡ
maka jika
أَرۡضَعۡنَ
mereka menyusukan
لَكُمۡ
bagi kalian
فَـَٔاتُوهُنَّ
maka berilah mereka
أُجُورَهُنَّ
upah mereka
وَأۡتَمِرُواْ
dan musyawarahkanlah
بَيۡنَكُم
diantara kamu
بِمَعۡرُوفٖۖ
dengan baik
وَإِن
dan jika
تَعَاسَرۡتُمۡ
kamu menemui kesulitan
فَسَتُرۡضِعُ
maka akan menyusahkan
لَهُۥٓ
kepadanya
أُخۡرَىٰ
lain
أَسۡكِنُوهُنَّ
tempatkanlah mereka
مِنۡ
dari
حَيۡثُ
mana
سَكَنتُم
kamu bertempat tinggal
مِّن
dari
وُجۡدِكُمۡ
yang kamu dapati/menurut kemampuan
وَلَا
dan jangan
تُضَآرُّوهُنَّ
kamu menyusahkan mereka
لِتُضَيِّقُواْ
untuk kamu menyempitkan
عَلَيۡهِنَّۚ
atas mereka
وَإِن
dan jika
كُنَّ
mereka
أُوْلَٰتِ
mempunyai
حَمۡلٖ
kandungan
فَأَنفِقُواْ
maka berilah nafkah
عَلَيۡهِنَّ
atas mereka
حَتَّىٰ
sehingga
يَضَعۡنَ
mereka melahirkan
حَمۡلَهُنَّۚ
kandungan mereka
فَإِنۡ
maka jika
أَرۡضَعۡنَ
mereka menyusukan
لَكُمۡ
bagi kalian
فَـَٔاتُوهُنَّ
maka berilah mereka
أُجُورَهُنَّ
upah mereka
وَأۡتَمِرُواْ
dan musyawarahkanlah
بَيۡنَكُم
diantara kamu
بِمَعۡرُوفٖۖ
dengan baik
وَإِن
dan jika
تَعَاسَرۡتُمۡ
kamu menemui kesulitan
فَسَتُرۡضِعُ
maka akan menyusahkan
لَهُۥٓ
kepadanya
أُخۡرَىٰ
lain
Terjemahan
Tempatkanlah mereka (para istri yang dicerai) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Jika mereka (para istri yang dicerai) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)-mu maka berikanlah imbalannya kepada mereka; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu sama-sama menemui kesulitan (dalam hal penyusuan), maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
Tafsir
(Tempatkanlah mereka) yakni istri-istri yang ditalak itu (pada tempat kalian tinggal) pada sebagian tempat-tempat tinggal kalian (menurut kemampuan kalian) sesuai dengan kemampuan kalian, lafal ayat ini menjadi athaf bayan atau badal dari lafal yang sebelumnya dengan mengulangi penyebutan huruf jarr-nya/kata depan dan memperkirakan adanya mudhaf. Yakni pada tempat-tempat tinggal yang kalian mampui, bukannya pada tempat-tempat tinggal yang di bawah itu (dan janganlah kalian menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka) dengan memberikan kepada mereka tempat-tempat tinggal yang tidak layak, sehingga mereka terpaksa butuh untuk keluar atau membutuhkan nafkah, lalu karena itu maka mereka mengeluarkan biaya sendiri. (Dan jika mereka itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan bayi kalian) maksudnya menyusukan anak-anak kalian hasil hubungan dengan mereka (maka berikanlah kepada mereka upahnya) sebagai upah menyusukan (dan bermusyawarahlah di antara kalian) antara kalian dan mereka (dengan baik) dengan cara yang baik menyangkut hak anak-anak kalian, yaitu melalui permusyawaratan sehingga tercapailah kesepakatan mengenai upah menyusukan (dan jika kalian menemui kesulitan) artinya kalian enggan untuk menyusukannya; yaitu dari pihak ayah menyangkut masalah upah, sedangkan dari pihak ibu, siapakah yang akan menyusukannya (maka boleh menyusukan bayinya) maksudnya menyusukan si anak itu semata-mata demi ayahnya (wanita yang lain) dan ibu si anak itu tidak boleh dipaksa untuk menyusukannya.
Tafsir Surat Ath-Thalaq: 6-7
Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah di talak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya; dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.
Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang, melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberi kelapangan sesudah kesempitan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya apabila seseorang dari mereka menceraikan istrinya, hendaklah ia memberinya tempat tinggal di dalam rumah hingga idahnya habis. Untuk itu disebutkan oleh firman-Nya: Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal. (Ath-Thalaq: 6) Yakni di tempat kamu berada. menurut kemampuanmu. (Ath-Thalaq: 6) Ibnu Abbas, Mujahid, serta ulama lainnya mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah menurut kemampuanmu. Hingga Qatadah mengatakan sehubungan dengan masalah ini, bahwa jika engkau tidak menemukan tempat lain untuknya selain di sebelah rumahmu, maka tempatkanlah ia padanya.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. (Ath-Thalaq: 6) Muqatil ibnu Hayyan mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah misalnya pihak suami membuatnya merasa tidak betah agar si istri memberi imbalan kepada suaminya untuk mengubah suasana, atau agar si istri keluar dari rumahnya dengan suka rela. Ats-Tsauri telah meriwayatkan dari Mansur, dari Abud Duha sehubungan dengan makna firman-Nya: dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka. (Ath-Thalaq: 6) Misalnya si suami menceraikan istrinya; dan apabila idahnya tinggal dua hari, lalu ia merujukinya.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan jika mereka (istri-istri yang sudah di talak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin. (Ath-Thalaq:6) Kebanyakan ulamaantara lain Ibnu Abbas dan sejumlah ulama Salaf serta beberapa golongan ulama Khalaf mengatakan bahwa ayat ini berkenaan dengan wanita yang ditalak tiga dalam keadaan hamil, maka ia tetap diberi nafkah hingga melahirkan kandungannya. Mereka mengatakan bahwa dalilnya ialah bahwa wanita yang ditalak raj'i wajib diberi nafkah, baik dalam keadaan hamil atau pun tidak hamil.
Ulama lainnya mengatakan bahwa konteks ayat ini seluruhnya berkaitan dengan masalah wanita-wanita yang ditalak raj'i. Dan sesungguhnya disebutkan dalam nas ayat kewajiban memberi nafkah kepada wanita yang hamil, sekalipun status talaknya ra 'i tiada lain karena masa kandungan itu cukup lama menurut kebiasaannya. Untuk itu maka diperlukan adanya nas lain yang menyatakan wajib memberi nafkah sampai wanita yang bersangkutan bersalin.
Dimaksudkan agar tidak timbul dugaan bahwa sesungguhnya kewajiban memberi nafkah itu hanyalah sampai batas masa idah. Kemudian para ulama berbeda pendapat sehubungan dengan masalah apakah kewajiban nafkah kepada istri berkaitan dengan kandungannya ataukah untuk kandungannya semata? Ada dua pendapat yang keduanya di-nas-kan dari Imam Syafii dan lain-lainnya. Kemudian dari masalah ini berkembang berbagai masalah cabang yang disebutkan di dalam kitab-kitab fiqih.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu. (Ath-Thalaq: 6) Yakni apabila mereka telah bersalin, sedangkan mereka telah diceraikan dengan talak tiga, maka mereka telah terpisah selamanya dari suaminya begitu idah mereka habis (yaitu melahirkan kandungannya). Dan bagi wanita yang bersangkutan diperbolehkan menyusui anaknya atau menolak untuk menyusuinya, tetapi sesudah ia memberi air susu pertamanya kepada bayinya yang merupakan kebutuhan si bayi. Dan jika ia mau menyusui bayinya, maka ia berhak untuk mendapatkan upah yang sepadan, dan ia berhak mengadakan transaksi dengan ayah si bayi atau walinya sesuai dengan apa yang disepakati oleh kedua belah pihak mengenai jumlah upahnya.
Karena itulah maka disebutkan oleh firman-Nya: kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mw untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya. (Ath-Thalaq: 6) Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu), dengan baik. (Ath-Thalaq: 6) Yaitu hendaklah semua urusan yang ada di antara kalian dimusyawarahkan dengan baik dan bertujuan baik, tidak merugikan diri sendiri dan tidak pula merugikan pihak lain. Sebagaimana yang disebutkan di dalam surat Al-Baqarah melalui firman-Nya: Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya. (Al-Baqarah: 233) Firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. (Ath-Thalaq: 6) Yakni apabila pihak lelaki dan pihak wanita berselisih, misalnya pihak wanita menuntut upah yang banyak dari jasa penyusuannya, sedangkan pihak laki-laki tidak menyetujuinya, atau pihak laki-laki memberinya upah yang minim dan pihak perempuan tidak menyetujuinya, maka perempuan lain boleh menyusukan anaknya itu.
Tetapi seandainya pihak si ibu bayi rela dengan upah yang sama seperti yang diberikan kepada perempuan lain, maka yang paling berhak menyusui bayi itu adalah ibunya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. (Ath-Thalaq: 7) Artinya, hendaklah orang tua si bayi atau walinya memberi nafkah kepada bayinya sesuai dengan kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.
Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya. (Ath-Thalaq: 7) Semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya: (Al-Baqarah: 286) Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Hakkam, dari Abu Sinan yang mengatakan bahwa Umar ibnul Khattab pernah bertanya mengenai Abu Ubaidah. Maka dikatakan kepadanya, bahwa sesungguhnya Abu Ubaidah mengenakan pakaian yang kasar dan memakan makanan yang paling sederhana. Maka Khalifah Umar mengirimkan kepadanya seribu dinar, dan mengatakan kepada kurirnya, "Perhatikanlah apakah yang dilakukan olehnya dengan uang seribu dinar ini jika dia telah menerimanya." Tidak lama kemudian Abu Ubaidah mengenakan pakaian yang halus dan memakan makanan yang terbaik, lalu kurir itu kembali kepada Umar dan menceritakan kepadanya perubahan tersebut.
Maka Umar mengatakan bahwa semoga Allah merahmatinya. Dia menakwilkan ayat ini, yaitu firman-Nya: Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. (At-Thalaq: 7) Al-Hafidzh Abul Qasim At-Ath-Thabarani mengatakan di dalam kitab Mu'jamui Kabir-nya, telah menceritakan kepada kami Hasyim ibnu Yazid At-Ath-Thabarani, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail ibnu Iyasy, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepadaku Damdam ibnu Zur'ah, dari Syuraih ibnu Ubaid ibnu Abu Malik Al-Asy'ari yang nama aslinya Al-Haris, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: .
Ada tiga orang yang salah seorang dari mereka memiliki sepuluh dinar, lalu ia menyedekahkan sebagian darinya sebanyak satu dinar. Dan orang yang kedua mempunyai sepuluh auqiyah (emas), lalu ia menyedekahkan satu auqiyah dari miliknya. Dan orang yang ketiga memiliki seratus auqiyah, lalu ia menyedekahkan sebagiannya sebanyak sepuluh auqiyah. Kemudian Rasulullah ﷺ melanjutkan bahwa mereka sama dalam kadar pahala yang diperolehnya, masing-masing dari mereka telah menyedekahkan sepersepuluh miliknya. Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman, "Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. (Ath-Thalaq: 7) Hadits ini gharib bila ditinjau dari segi jalurnya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (Ath-Thalaq: 7) Ini merupakan janji dari Allah, dan janji Allah itu benar dan tidak akan disalahi-Nya.
Makna ayat ini sama dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. (Al-Insyirah: 5-6) Imam Ahmad telah meriwayatkan sebuah hadits sehubungan dengan hal ini yang baik dikemukakan di sini. Untuk itu dia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim ibnul Qasim, telah menceritakan kepada kami Abul Hamid ibnu Bahram, telah menceritakan kepada kami Syahr ibnu Hausyab yang mengatakan bahwa Abu Hurairah pernah bercerita bahwa di zaman yang silam pernah ada seorang lelaki dan istrinya yang hidup dalam kemiskinan, keduanya tidak mampu menghasilkan apa pun.
Dan di suatu hari suaminya datang dari perjalanannya, lalu masuk ke dalam rumah menemui istrinya, sedangkan perutnya keroncongan dicekam rasa lapar yang berat. Lelaki itu bertanya kepada istrinya, "Apakah engkau mempunyai sesuatu makanan?" Istrinya menjawab, "Ya, bergembiralah kita telah diberi rezeki oleh Allah." Lalu si suami mendesaknya dan mengatakan, "Celakalah engkau ini, aku menginginkan sesuatu makanan yang ada padamu." Si istri menjawab, "Ya, tunggu sebentar," seraya mengharapkan rahmat dari Allah.
Dan ketika suaminya menunggu cukup lama, akhirnya ia berkata, "Celakalah kamu ini, sekarang bangkitlah dan ambillah jika engkau memiliki sesuatu, lalu datangkanlah kepadaku, karena sesungguhnya aku benar-benar sangat lelah dan lapar sekali." Istrinya menjawab, "Baiklah, sekarang aku akan membuka dapurku, jangan kamu terburu-buru." Setelah suaminya diam sesaat dan si istri menunggu suaminya berbicara lagi kepadanya, si istri berkata kepada dirinya sendiri, "Sebaiknya sekarang aku bangkit untuk melihat dapurku." Lalu ia bangkit dan menuju ke dapurnya, maka ia melihat ke dapurnya dan merasa terkejut karena penuh dengan paha kambing (yang sedang dipanggang), sedangkan penggilingan tepungnya bergerak sendiri menggiling tepung.
Maka ia bangkit menuju tempat penggilingan tepung itu dan membersihkannya, lalu mengeluarkan kambing panggang yang ada pada dapur pembakarannya. Kemudian Abu Hurairah melanjutkan, bahwa demi Tuhan yang jiwa Abul Qasim berada di tangan kekuasaan-Nya. Demikianlah yang dimaksud oleh ucapan Muhammad ﷺ : Seandainya wanita itu hanya mengambil adonan yang ada pada penggilingannya dan tidak membersihkannya, niscaya penggilingannya itu akan tetap bekerja menggiling sampai hari kiamat nanti.
Di tempat lain Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Amir, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar, dari Hisyam, dari Muhammad ibnu Sirin, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa seorang lelaki masuk menemui keluarganya; dan ketika ia melihat kelaparan yang melanda keluarganya, ia keluar menuju hutan. Ketika istri lelaki itu melihat keadaan demikian, maka ia bangkit menuju tempat penggilingan tepungnya.
Kemudian ia siapkan penggilingan tepung itu, dan ia menuju pula ke tempat perapian dapurnya, lalu menyalakannya. Kemudian ia berdoa, "Ya Allah, berilah kami rezeki." Lalu ia melihat ke arah pancinya dan ternyata pancinya telah penuh dengan makanan. Kemudian pergi ke arah dapurnya, dan ternyata ia menjumpai perapian dapurnya telah penuh pula dengan roti. Ketika suaminya datang, langsung bertanya, "Apakah kamu mendapatkan sesuatu makanan sesudah kepergianku?" Istrinya menjawab, "Ya, dari Tuhan kita," seraya berisyarat ke arah penggilingan tepungnya.
Kemudian kisah ini diceritakan kepada Nabi ﷺ Maka Nabi ﷺ bersabda: Ingatlah, sesungguhnya jika wanita itu tidak mengangkat penggilingannya (yakni membersihkannya), niscaya ia akan tetap berputar sampai hari kiamat."
Pada ayat ini diperintahkan kepada para suami untuk menyiapkan tempat tinggal bagi istri mereka. Allah berfirman, 'Tempatkanlah mereka, para istri, di mana kamu bertempat tinggal, yakni di tempat tinggal kamu yang layak menurut kemampuan kamu; dan janganlah kamu menyusahkan mereka, para istri untuk menyempitkan hati dan perasaan mereka. Dan jika mereka, istri-istri yang sudah ditalak itu sedang hamil, maka, wahai para suami, berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan, karena itu merupakan bukti tanggung jawab kamu terhadap perempuan yang akan melahirkan keturunan kamu; kemudian jika mereka menyusukan anak-anak kamu, maka berikanlah imbalannya kepada mereka yang pantas; dan musyawarahkanlah di antara kamu tentang segala sesuatu berkenaan dengan nafkah dan imbalan menyusui anakmu dengan baik; dan jika kamu berdua saling menemukan kesulitan untuk memberikan ASI kepada anakmu karena sesuatu dan lain hal, maka perempuan lain yang sehat boleh menyusukan anak itu untuk kelangsungan hidup-nya dengan imbalan yang layak dan sadarilah bahwa anakmu akan menjadi anak persusuan perempuan itu. 7. Hendaklah orang yang mempunyai keluasan, yaitu suami yang berkecukupan, memberi nafkah kepada istri yang ditalaknya selama masa idah dan memberikan imbalan kepadanya karena telah menyusui anaknya, dari kemampuannya yang telah diberikan Allah kepadanya. Dan adapun orang yang terbatas rezekinya, yakni suami yang tidak sanggup, hendaklah memberi nafkah kepada istri yang ditalaknya selama masa idah dari harta yang diberikan Allah kepadanya sesuai dengan kesanggupannya. Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan apa yang diberikan Allah kepadanya, rezeki dan kemampuan; Allah akan memberikan kemudahan kepada seseorang setelah ia menunjukkan kegigihan dalam menghadapi kesulitan.
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa menjadi kewajiban bagi suami memberi tempat tinggal yang layak, sesuai dengan kemampuannya kepada istri yang tengah menjalani idah. Jangan sekali-kali ia berbuat yang menyempitkan dan menyusahkan hati sang istri dengan menempatkannya pada tempat yang tidak layak atau membiarkan orang lain tinggal bersamanya, sehingga ia merasa harus meninggalkan tempat itu dan menuntut tempat lain yang disenangi.
Jika istri yang di talak ba'in sedang hamil, maka ia wajib diberi nafkah secukupnya sampai melahirkan. Apabila ia melahirkan, maka habislah masa idahnya. Namun demikian, karena ia menyusukan anak-anak dari suami yang menceraikannya, maka ia wajib diberi nafkah oleh sang suami sebesar yang umum berlaku. Sebaiknya seorang ayah dan ibu merundingkan dengan cara yang baik tentang kemaslahatan anak-anaknya, baik mengenai kesehatan, pendidikan, maupun hal lainnya. Di sejumlah negara muslim, hak-hak perempuan yang dicerai telah diatur secara khusus dalam undang-undang.
Apabila di antara kedua belah pihak tidak terdapat kata sepakat, maka pihak ayah boleh saja memilih perempuan lain yang dapat menerima dan memahami kemampuannya untuk menyusukan anak-anaknya. Sekalipun demikian, kalau anak itu tidak mau menyusu kepada perempuan lain, tetapi hanya ke ibunya, maka sang bapak wajib memberi nafkah yang sama besarnya seperti nafkah yang diberikan kepada orang lain.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
BEBERAPA MACAM IDDAH LAGI
Ayat 4
“Dan yang telah putus asa dari haid di antara perempuan-perempuan kamu, jika kamu ragu-ragu, maka iddah mereka ialah tiga bulan, dari yang tidak berhaid."
Dalam surah al-Baqarah ayat 228 sudah dijelaskan iddah perempuan yang berhaid, yaitu tiga quru', yaitu tiga kali haid tiga kali bersih. Kadang-kadang bilangannya tidak persis tiga bulan. Maka bagi perempuan-perempuan yang tidak berhaid iddahnya ialah tiga bulan saja; boleh hitung hari. Misalnya suaminya menceraikannya 24 Syawwal, maka pada 24 Muharram iddahnya lepas.
Kalau dia diceraikan 6 Rabi'ul Awwal, maka pada 6 Jumadil Akhir lepaslah iddahnya. Demikianlah seterusnya. Dasar menghitung ialah bulan Qamariyah, karena perhitungan hal- hal seperti demikian, termasuk mengerjakan haji ialah menurut hilal. Sebagaimana tersebut dalam surah al-Baqarah ayat 189.
Dalam ayat ini tersebut dua macam perempuan. Pertama, perempuan yang telah putus asa dari haid, karena usianya telah lanjut. Setengah perempuan telah berhenti haid dalam usia 55 tahun dan ada yang kurang dan itu dan ada yang lebih.
Yang kedua ialah perempuan yang tidak pernah haid, meskipun itu jarang, konon Fatimah binti Rasulullah tidak pernah berhaid, padahal dia dianugerahi putra-putra juga.
Yang ketiga ialah anak perempuan yang belum haid. Di beberapa negeri, dan yang terkenal di zaman lampau ialah di India! Anak-anak masih kecil-kecil sudah dikawinkan. Kadang-kadang baru berusia tujuh tahun, kadang-kadang masih dalam gendongan orangtuanya sudah dikawinkan. Sudah agak besar, setelah mereka sadar akan diri, atau atas kemauan orangtua juga, terjadi perceraian. Padahal anak perempuan itu belum berhaid! Iddah anak ini pun tiga bulan!
“Dan yang sedang hamil, waktunya ialah sampai mereka melahirkan." Artinya setelah anak yang dikandungnya itu lahir, lepaslah iddahnya, bolehlah dia bersuami. Kalau misalnya dia ditalak oleh suaminya pukul sembilan pagi, kebetulan pukul sepuluh pagi itu juga, artinya satu jam kemudian, anaknya lahir; maka hanya satu jam dia dalam iddah.
“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia Akan menjadikan mudah urusannya."
Di sini sekali lagi kita melihat bahwa peraturan yang telah diaturkan Allah itu sangatlah bertali dengan takwa. Karena hanya orang yang bertakwalah yang akan tunduk dengan taat dan setia kepada peraturan Allah, lahir dan batin. Orang yang tidak bertakwa niscaya akan mencari jalan keluar daripada peraturan Allah.
Kita ambil suatu misal. Seorang perempuan hamil, akan habis iddahnya setelah anaknya lahir. Dekat-dekat anak yang dikandungnya itu akan lahir, dibuatnya suatu perangai yang menyakitkan hati suaminya, sampai suami itu menjatuhkan cerai. Beberapa hari setelah anak lahir dia pergi kawin dengan laki-laki lain. Di situ terdapat suatu kesengajaan karena tidak ada iman dan takwa. Mungkin telah ada janjinya lebih dahulu dengan laki-laki yang akan menikahinya itu. Dan karena tidak ada rasa takwa, bisa saja sehabis anak lahir, dia kawin dan terus saja si laki-laki menyetubuhi perempuan itu padahal dia masih dalam nifas, darah nifasnya belum kering. Semuanya ini tidak ada orang lain yang tahu; hanya di antara mereka yang tahu da Allah tentu saja.
Tetapi kalau ada jiwa takwa, bagaimanapun sukar dan sulitnya urusan, akan ada saja jalan keluar ditunjukkan oleh Allah.
Di dalam surah al-Baqarah ayat 232 sudah dijelaskan iddah dari seorang yang kematian suami. Ini bukan hitungan haid dan bersih, melainkan hitungan bulan-bulan; yaitu 4 bulan 10 hari, yakni kalau suaminya meninggal misalnya 5 hari bulan Rajab, maka lepasnya dari iddah ialah 15 hari bulan Dzul-Qa'idah. Ini namanya iddah wafat.
Semua istri yang ditinggal mati oleh suaminya iddahnya 4 bulan 10 hari. Baik dia perempuan yang berhaid, bernifas, atau telah putus asa dari haid, atau tidak pernah haid, atau dia masih belum pernah berhaid. Semua 4 bulan 10 hari.
Tetapi timbul perselisihan ulama kalau berkumpul pada diri seseorang perempuan iddah hamil dan iddah wafat. Sesudah dia diceraikan dalam hamil, tiba-tiba suaminya itu wafat!
Ataupun tidak bercerai. Perempuan itu hamil, tiba-tiba meninggal suaminya. Beberapa hari saja sesudah suami meninggal, misalkan lima hari, anaknya lahir. Bagaimana hal seperti ini?
Pada mulanya terjadi juga perlainan pendapat di antara para ulama, baik salaf maupun khalaf tentang hal seperti; perempuan hamil yang diceraikan oleh suaminya. Tiba-tiba beberapa hari saja sesudah perempuan itu diceraikan, suaminya itu mati.
Kalau suaminya tidak mati, iddahnya ialah sampai anak lahir. Iddah perempuan kematian suami 4 bulan 10 hari.
Sayyidina Ali dan Ibnu Abbas berpendapat bahwa yang dipakai ialah iddah yang lebih panjang, tentu dia menunggu selama 4 bulan 10 hari, meskipun anaknya lahir beberapa hari saja sesudah dia diceraikan.
Ini kejadian ketika seseorang meminta fatwa kepada Ibnu Abbas, karena ada seorang perempuan melahirkan 40 hari sesudah kematian suaminya. Beliau memutuskan iddah-nya 4 bulan 10 hari. Tetapi Abu Hu rairah yang ada hadir di situ menyatakan pendapatnya bahwa keputusan itu tidak tepat berdasar kepada ayat yang tengah kita tafsirkan ini, yaitu bahwa perempuan yang sedang hamil, iddahnya ialah selahir anaknya. Maka untuk meyakinkan hatinya, Ibnu Abbas mengutus ajudannya, Kuraib, menemui Ibunda Kaum Mukminin, Ummu Salamah, kalau-kalau beliau ada mengetahui bagaimana keputusan Nabi ﷺ dalam hal yang seperti itu. Maka datanglah jawaban dari Ummu Salamah demikian, “Suami dari seorang perempuan bernama Subai'ah al-Aslamiyah meninggal dunia, padahal dia sedang hamil. 40 hari saja sesudah suaminya meninggal, anak si Subai'ah itu lahir. Setelah anaknya lahir, datanglah orang meminangnya. Lalu dia dikawinkan oleh Rasulullah ﷺ. Abu Sanabil adalah seorang di antara yang meminang." (HR Bukhari, Muslim, dan ahli-ahli hadits yang lain)
Yang dalam riwayat Imam Ahmad bin Hambal tersebut pula, bahwa Subai'ah al- Aslamiyah kematian suami, sedang dia waktu itu sedang hamil. Tidak berapa lama kemudian lahirlah anaknya. Sesudah badannya kuat, sesudah nifas, ada orang yang meminangnya. Maka pergilah Subai'ah meminta izin kepada Rasulullah buat nikah, lalu diizinkan oleh Rasulullah, dan dia pun menikahlah. Selain dari riwayat Imam Ahmad ini, dalam susunan seperti ini dirawikan juga oleh Bukhari, oleh Muslim dalam Shahih-nya, dan oleh Abu Dawud dan an-Nasa'i dan Ibnu Majah.
Menurut hadits lain yang dirawikan oleh Muslim, dia menerima dari Abu Thahir, dan dia ini menerima dari Ibnu Wahab, dia menerima dari Yunus bin Yazid, dia ini menerima dari Ibnu Syahab mengatakan, bahwa dia menerima dan Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah, bahwa ayahnya ini menulis surat kepada Umar bin Abdullah bin al-Arqam az-Zuhri, menyuruhnya menemui Subai'ah al-Aslamiyah tersebut untuk menanyakan tentang kejadian pada dirinya tersebut dan bagaimana bunyi fatwa Rasulullah ketika dia bertanya kepada beliau. Lalu Umar bin Abdullah membalas surat ini menyatakan bahwa dia telah datang bertanya kepada Subai'ah dan telah diuraikan kejadian itu demikian, “Dia adalah istri dari Sa'ad bin Khaulah yang turut dalam Peperangan Badar. Ketika pergi haji Wada (bersama Nabi ﷺ) meninggallah suaminya itu, padahal dia sedang hamil. Tidak berapa lama setelah suaminya itu meninggal, lahirlah anaknya. Setelah bersih badannya dari nifas mulailah dia berpakaian yang bagus-bagus, mengharapkan akan ada yang meminang. Lalu bertemulah dia dengan Abu Sanabil bin Ba'kak. Melihat dia berpakaian bagus yang tidak pantas bagi orang berkabung kematian suami, berkatalah Abu Sanabil, ‘Mengapa kau kulihat bercantik-cantik macam begini? Apakah kau sudah ingin kawin? Kau tak boleh berbuat begitu sebelum cukup 4 bulan 10 hari.'"
Mendengar teguran itu bersiap-siaplah Subai'ah, lalu pergi menghadap kepada Rasulullah ﷺ Lalu dia bertanya tentang halnya itu. Berkata Subai'ah, “Maka berfatwalah beliau kepadaku, bahwa aku telah halal nikah setelah anakku lahir, lalu disuruhnyalah aku kawin kalau aku rasa ada calon yang baik."
Hadits serupa ini pun ada diriwayatkan oleh Bukhari.
Dan segala riwayat ini nyatalah bahwa iddah mengandung bisa panjang sejak dari si suami meyakini bahwa istrinya telah hamil (dua bulan masuk ketiga), sampai anak lahir. Dan bisa pula sangat cepat. Misalnya seorang menalak istrinya pagi-pagi, tiba-tiba jandanya itu melahirkan. Waktu itu juga lepaslah iddahnya dan suaminya itu tidak bisa rujuk lagi, kalau mereka itu berdamai di hari itu juga, maka di hari itu pula mereka nikah kembali, menurut nikah yang biasa.
Ayat 5
“Demikianlah itu perintah Allah yang Dia turunkan kepada kamu."
Artinya bahwa Allah telah mengatur, sehingga kamu tidak akan meraba-raba lagi dan segala sesuatunya itu diatur dengan baik dan teliti. Apatah lagi setelah diberikan pula teladan-teladan oleh Sunnah Rasulullah ﷺ sendiri.
“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menutupi kesalahan-kesalahannya dan Dia akan membesarkan pahala untuknya."
Dengan takwa kepada Allah, artinya dengan hubungan batin yang selalu terpelihara dengan Allah, maka kalau ada kealpaan dan kesalahan, maka semuanya itu akan ditutupi oleh Allah, artinya tidak akan mengganggu bagi kebesaran jiwanya dalam melanjutkan perjalanannya beriman dan beramal. Kesalahan itu akan terliputi atau terhimpit ke bawah oleh besarnya kebajikan yang dia per-buat. Sebab bagi manusia yang berbudi tinggi akan terasa sekali beratnya tekanan dosa, sampai jadi penghalang untuk maju, bahkan sampai menghilangkan kepercayaan kepada diri sendiri. Padahal itu sangat berbahaya bagi perkembangan jiwa menuju ridha Allah.
Satu kesalahan bisa saja jadi kecil karena sangat besarnya nilai amal yang dikerjakan. Kesalahan dalam perjalanan tidaklah akan sunyi dari manusia. Suatu kesalahan yang disadari bisa jadi pelajaran buat seterusnya, sehingga tidak mau lagi berbuat kesalahan yang serupa pada keadaan yang serupa. Khususnya di antara suami istri, bisa saja terjadi kesalahan, pelanggaran aturan. Hal itu dialami oleh tiap orang yang berumah tangga. Tetapi kesalahan itu akan ditutup oleh Allah karena ada usaha memperbaiki diri dan menimbuni kesalahan dan berbuat banyak kebajikan.
Ayat 6
“Tempatkanlah mereka kira-kira dimana kamu bertempat menurut kesanggupanmu."
Pangkal ayat ini menjelaskan kewajiban bagi seorang suami menyediakan tempat tinggal bagi istrinya di mana si suami bertempat, menurut ukuran hidup si suami sendiri. Meskipun si istri anak orang kaya raya, sedang si suami tidak sekaya mertua atau istrinya, dia pun hanya berkewajiban menyediakan menurut ukuran hidupnya juga. Sebagai pepatah orang Melayu, “Sepanjang tubuh, sepanjang bayang-bayang."
Sejak semula kawin sudahlah menjadi kewajiban bagi seorang suami menyediakan tempat tinggal buat istrinya yang sesuai dengan kemampuan suami. Tentu saja sebelum meminang anak orang, seorang laki-laki telah mengukur yang sekufu, yaitu yang sepadan seukuran dengan dirinya, jangan terlalu tinggi sehingga tidak sanggup membelanjai atau memberikan tempat tinggal yang jelek yang tidak sepadan dengan kedudukan istri itu.
Oleh karena hal perumahan ini diperkatakan ketika membincangkan soal talak maka dapatlah pangkal ayat 6 dipertalikan dengan larangan Allah di ayat 1, yaitu dilarang si suami mengeluarkan atau mengusir istrinya dalam iddah dari rumah-rumah mereka dan mereka sendiri pun tidak boleh keluar. Selama dalam iddah perempuan itu masih berhak tinggal di sana. Tetapi cerai dari talak tiga, meskipun masih memakai iddah untuk mengawasi kalau-kalau dia hamil. Kalau dia hamil, iddahnya ialah selama dia mengandung, sebagai telah disebutkan di atas. Tentu saja anak yang dilahirkannya itu adalah anak dari suaminya yang menceraikannya talak tiga itu.
Setelah anaknya lahir karena dia ditalak tiga, dia mesti sudah keluar dari rumah itu. Tetapi kalau dia tidak hamil, dia masih boleh tinggal dalam rumah itu selama dalam iddah; sehabis iddah segera keluar. Tetapi nafkahnya selama iddah baa'in itu, demikian juga pakaiannya tidaklah wajib lagi bagi suaminya yang telah jadi jandanya itu membayarnya.
Iddah baa'in ialah iddah orang talak tiga. Maksudnya ialah iddah yang tidak boleh rujuk lagi. Dengan adanya iddah baa-in di antara keduanya tidak ada lagi hubungan warisan. Jika mati salah satu tidak ada lagi yang mewarisi dan diwarisi. Tetapi kalau dia hamil maka dia masih berhak mendapat tempat tinggal, mendapat nafkah dan pakaian, sampai anaknya lahir. Anak lahir dari si suami bebas membelanjai jandanya itu, kecuali untuk perbelanjaan anaknya. Dan itu pun ada perhitungan lain yang akan dijelaskan pula nanti. Adapun yang tidak hamil, kalau salah satu meninggal sementara dia dalam iddah, mereka berdua masih waris-mewarisi sebagai aturan yang tersebut dalam Al-Qur'an.
“Dan janganlah mereka itu kamu susahkan karena hendak menyempitkan mereka." Jangan dibuat hatinya sakit selama dalam iddah itu dengan maksud agar dia kesal, lalu dengan tindakan sendiri dia minta keluar. Atau disakiti hatinya dengan berbagai sindiran, atau diusir dengan tidak semena-mena. Atau sebagaimana yang ditafsirkan oleh Abidh Dhuhaa “Dia talak dia dan dia menunggu iddah. Tetapi kira-kira dua hari iddah akan habis, si suami rujuk kembali, padahal bukan karena hendak berdamai, hanya karena hendak melepaskan dendam saja." Akhirnya perempuan yang sedang dalam iddah itu lama terkurung.
Terjadi juga perbincangan yang mendalam di antara ulama tentang perempuan yang ditalak tiga. Imam Malik dan Imam Syafi'i, “Wajib menyediakan tempat tinggalnya, tetapi tidak wajib nafkah."
Madzhab Imam Abu Hanifah, “Tempat tinggal dan nafkah keduanya dijamin."
Madzhab Imam Ahmad bin Hambal dan Ishaq bin Rawaihi dan Abu Tsaur, “Nafkah tak wajib dibayar, rumah tak wajib disediakan."
Alasan madzhab yang ketiga ini, yang rumah tidak nafkah pun tidak ialah sebuah hadits berkenaan dengan Fatimah binti Qais. Fatimah ini berkata, “Aku masuk menghadap Rasulullah ﷺ bersama saudara dari suamiku, lalu aku berkata, ‘Ya Rasulullah! Aku telah diceraikan oleh suamiku, sedang saudaranya ini mengatakan bahwa saya tidak berhak lagi mendapat tempat tinggal dan tidak pula nafkah!'"
Lalu Rasulullah menjawab, “Bahkan kau masih berhak mendapat rumah dan nafkah."
Tetapi saudara suaminya itu berkata, “Tetapi dia diceraikan talak tiga!" Rasulullah menjelaskan lagi, “Jamin rumah dan nafkah hanyalah untuk talak yang bisa dirujuk lagi." Hadits ini dirawikan oleh ad-Daruquthni.
Di Kufah terjadi pula pertikaian pendapat tentang ini al-Aswad bin Yazid dari tabi'in berpegang kepada hadits Fatimah ini, “Tidak berhak kediaman dan nafkah." Sebab itu ketika Fatimah datang ke Kufah diminta oleh al-Aswad agar Fatimah mengulangi lagi hadits itu kepadanya.
Hadits Fatimah binti Qais inilah pegangan Imam Ahmad.
Tetapi ada lagi hadits Fatimah binti Qais ini menurut riwayat Muslim, bahwa Fatimah binti Qais itu ditalak oleh suaminya di waktu Rasulullah masih hidup, sedang nafkahnya kurang dari yang patut. Setelah mengalami demikian dia berkata, “Demi Allah aku akan memberitahukan hal ini kepada Rasulullah ﷺ. Kalau memang saya berhak mendapat nafkah saya akan minta diberi yang sepantasnya, tetapi kalau aku tak berhak atasnya, tidaklah aku akan mengambilnya sepeser pun. Setelah hal itu aku sampaikan kepada Rasulullah, beliau berkata, “Kau tidak berhak mendapatkan nafkah dan tidak berhak mendapatkan tempat kediaman."
Tetapi Sayyidina Umar bin Khaththab setelah jadi Khalifah, telah terjadi pula hal seperti ini. Lalu disampaikan orang kepada beliau hadits Fatimah binti Qais ini. Tegas beliau berkata, “Aku tidak mau membuat suatu ketentuan untuk seluruh kaum Muslimin hanya berdasar kepada ucapan perempuan." Lalu beliau putuskan perempuan yang telah ditalak tiga itu masih berhak atas rumah dan nafkah.
Tetapi ekor masalah ini masih panjang. asy-Sya'bi menceritakan bahwa al-Aswad bin Yazid datang menemui dia lalu berkata, “Ya Sya'bi, takwalah kepada Allah! Kembalilah engkau tinjau hadits Fatimah binti Qais itu! Umar bin Khaththab telah memutuskan bahwa perempuan yang telah ditalak tiga berhak mendapat rumah tempat tinggal dan nafkah."
“Saya tidak mau kembali dan sesuatu yang telah diriwayatkan kepadaku oleh Fatimah binti Qais dari Rasulullah ﷺ sendiri," jawab asy-Sya'bi.
“Dan jika mereka itu sedang hamil maka berilah nafkah atas mereka sehingga mereka lahirkan kandungan itu." Ini adalah nash yang sharih, jelas bahwa istri yang diceraikan sedang hamil itu, walaupun talak tiga, berhak tinggal dalam rumah yang disediakan suaminya atau bekas suaminya itu bersama-sama dengan nafkahnya. Sampai anak itu lahir. Moga-moga kalau iddahnya itu raj'i (masih bisa rujuk), timbullah sesal suaminya lalu dia rujuk sedang istri dalam iddah. Dan kalau dia sempat rujuk sampai lahir, namun selahir anak, kalau ada persesuaian dia boleh nikah kembali dengan perempuan itu sesaat setelah anak lahir.
“Maka jika mereka menyusukan untuk kamu." Karena yang empunya anak yang dia lahirkan itu ialah kamu sendiri, yaitu ayah dari anak itu. Tetapi perempuan itu akan menyusukan anak kamu sendiri, sedang dia sudah jadi jandamu!
“Maka berikanlah upah mereka dan bermusyawarahlah di antara kamu dengan ma'ruf."
Meskipun istri sendiri yang tidak bercerai dan meskipun menyusukan anak adalah keinginan dan kerinduan seorang ibu, namun ayat ini memberi ingat kepada tiap-tiap suami, bahwa anakyang disusukannya itu adalah anakmu. Sebab itu apabila ibunya menyusukannya, maka itu adalah kepentinganmu jual Ingatlah bahwa menurut kebiasaan dunia bahwa anak adalah dibangsakan kepada ayahnya. Misalnya seorang anak bernama Abdulmalik, hasil dari perkawinan seorang laki-laki bernama Abdulkarim dengan seorang perempuan bernama Shafiyah, maka anak itu disebut orang “Abdulmalik bin Abdulkarim" bukan Abdulmalik bin Shafiyah.
Dalam surah al-Ahzaab, ayat 5 sudah diberikan bimbingan yang jelas,
“Panggillah mereka dengan ayah mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah." (al-Ahzaab: 5)
Sedangkan istri sendiri yang menyusukannya. Lagi patut tenaga istri itu dihargai dengan nafkah istimewa, kononlah lagi apabila perempuan itu telah kamu ceraikan, baik talak raj'i yang tidak rujuk lalu habis iddah, ataupun talak baa'in karena talak tiga yang tidak boleh rujuk lagi. Ayat ini menjelaskan bahwa perbelanjaan menyusukan anak itu, ditambah perbelanjaan mengasuh anak itu (hadhaanah), sampai dia besar adalah kewajiban si suami membayarnya. Alangkah aibnya jika perempuan itu dapat bersuami orang lain, padahal si istri menyusukan anak orang lain, yaitu anak mantan suaminya, yang bukan anak dari suaminya yang baru.
Kalau si istri sudah bersuami lain, niscaya sudah sepatutnya bermusyawarah di antara kamu dengan ma'ruf, yaitu secara patut. Ataupun perempuan itu tidak dapat lagi ber- kesurutan dengan ayah anak itu, karena suatu halangan yang bisa saja terjadi. Musyawarahlah dengan baik mengambil keputusan berapa patutnya. Sehingga demikian jelas sekali bahwa seorang umat Muhammad sadar akan tanggung jawabnya.
“Dan jika kamu menemui kesulitan, maka bolehlah menyusukannya perempuan lain."
Kesulitan biasa saja terjadi, yaitu tentang menyusukan anak. Bisa saja terjadi si perempuan tidak mau menyusukan anaknya itu, karena dia telah diceraikan, maka si suami wajib mencari orang lain yang akan menyusukannya dengan upah juga. Si laki-laki tidak dapat memaksa jandanya dalam hal ini.
Atau suaminya yang baru keberatan menerima anak kecil itu. Maka wajiblah bagi yang empunya anak mencari perempuan lain untuk menyusukan.
Dan jangan lupa ibu yang menyusukannya itu menjadi mahramnya, demikian juga saudara-saudara yang sepersusuan dengan dia.
NAFKAH MENURUT KEMAMPUAN
Ayat 7
“Hendaklah memberi nafkah orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang terbatas rezekinya, maka hendaklah dia memberi nafkah dari apa yang Allah berikan kepadanya."
Dengan pangkal ayat 7 ini jelaslah bahwa seorang suami wajib memberi nafkah atau perbelanjaan untuk istrinya, menurut kemampuannya. Jika ia orang yang mampu berilah nafkah menurut kemampuan. “Dan orang yang terbatas rezekinya" yaitu orang yang terhitung tidak mampu. Dalam bahasa Indonesia terdapat juga ungkapan, kemampuan terbatas. Dalam bahasa Minangkabau orang yang miskin biasa mengungkapkan kemiskinannya dengan perkataan, “Umurku panjang, rezeki diagakkan." Mereka yang kemampuan terbatas itu pun wajib juga memberikan nafkah menurut keterbatasannya. “Tidaklah Allah memaksa seseorang melainkan sekadar apa yang diberikan-Nya." Nasib orang di dunia ini tidak sama, kaya atau miskin, mampu atau berkekurangan, namun makan disediakan Allah juga.
“Allah akan menjadikan kelapangan sesudah kesempitan."
Dalam ayat ini Allah menunjukkan kasih sayang dan pengharapan yang tidak putus-putusnya bagi orang yang beriman. Itulah sebabnya pada tiap ayat diperingatkan supaya kehidupan berumah tangga dipatrikan dengan takwa kepada Allah. Biarlah orang kaya berbelanja menurut kekayaannya, namun orang miskin berbelanja pula menurut rezeki yang diberikan Allah kepadanya. Di ujung ayat diberikan Allah lagi pengharapan, bahwa kalau sekarang dalam keadaan susah, moga-moga lain hari berganti dengan kemudahan, karena kalau masih hidup di dunia ini, akan ada saja peredaran nasib yang akan dilalui, asal manusia jangan berputus asa.
Namun yang pokok ialah bahwa takwa jangan sekali-kali dilepaskan!
Di mana letaknya kemudahan atau kelapangan? Apakah pada harta benda?
Pengalaman hidup manusia menunjukkan bahwa harta benda bukanlah faktor pertama yang menentukan ketentaraman rumah tangga. Memang takwa itulah yang lebih utama. Banyak orang yang kelihatan miskin hidupnya, gajinya kecil, pangkatnya rendah tetapi rumah tangganya tentaram. Sebab dia dan seisi rumah tangganya memakai sifat qana'ah mencukupkan dengan apa yang ada. Padahal pegawai-pegawai tinggi yang membawahinya selalu dalam keadaan kesulitan dan susah, padahal gajinya berpuluh kali lipat dari gaji pegawai rendahan tadi.
Imam asy-Syafi'i berkata, “Berapa nafkah rumah tangga mesti dikeluarkan? Yang ber-sangkutan sendirilah yang menentukan. Dia tidak dapat dimasuki oleh ijtihad hakim atau fatwa mufti. Ketentuan dan batas hinggaannya hanyalah keadaan si suami baik kelapangan atau kesusahannya. Ketentuan belanja si istri suamilah yang menentukan. Bagi seorang suami tidaklah berbeda perbelanjaan istrinya, baik istri itu anak Khalifah atau anak pengawal pribadi Khalifah."
Demikianlah ada tersebut, bahwa ketika perempuan-perempuan berkumpul di hadapan Rasulullah akan mengadakan baiat kesetiaan beragama. Banyaklah nasihat yang diberikan Rasulullah ﷺ kepada mereka; jangan mempersekutukan Allah dengan yang lain, jangan mencuri, jangan berzina dan jangan membunuh anak, jangan mengarang-ngarang dusta dan jangan mendurhaka pada yang ma'ruf. Maka bertanyalah Hindun, istri Abu Sufyan, yang dengan takluknya Mekah telah masuk Islam. Pertanyaannya ialah, bahwa dia kerap kali mengeruk-ngeruk saku Abu Sufyan, karena Abu Sufyan itu kadang-kadang terlalu kikir. Hindun bertanya, “Apakah perbuatanku itu termasuk mencuri juga?"
Sebelum Rasulullah menjawab Abu Sufyan yang turut hadir telah menjawab lebih dahulu, “Telah aku ridhakannya, ya Rasulullah!"
“Ambillah sekadar cukup untuk engkau dan anak engkau dengan ma'ruf."
Dalam jawab Nabi ini pun tidak juga ditentukan berapa patutnya nafkah rumah tangga itu. Tampaknya selain ukuran kemampuan suami ialah hati lapang kedua belah pihak karena takwa kepada Allah.