Ayat
Terjemahan Per Kata
فَإِذَا
maka apabila
بَلَغۡنَ
telah sampai
أَجَلَهُنَّ
waktu mereka
فَأَمۡسِكُوهُنَّ
maka tahanlah mereka
بِمَعۡرُوفٍ
dengan baik
أَوۡ
atau
فَارِقُوهُنَّ
ceraikan mereka
بِمَعۡرُوفٖ
dengan baik
وَأَشۡهِدُواْ
dan persaksikan
ذَوَيۡ
dua orang mempunyai
عَدۡلٖ
keadilan
مِّنكُمۡ
diantara kamu
وَأَقِيمُواْ
dan dirikanlah
ٱلشَّهَٰدَةَ
kesakisan-kesaksian
لِلَّهِۚ
karena Allah
ذَٰلِكُمۡ
demikian itu
يُوعَظُ
diberi pengajaran
بِهِۦ
dengannya/dengan itu
مَن
orang
كَانَ
adalah
يُؤۡمِنُ
dia beriman
بِٱللَّهِ
kepada Allah
وَٱلۡيَوۡمِ
dan hari
ٱلۡأٓخِرِۚ
akhirat
وَمَن
dan barang siapa
يَتَّقِ
bertaqwa
ٱللَّهَ
Allah
يَجۡعَل
Dia menjadikan
لَّهُۥ
baginya
مَخۡرَجٗا
jalan keluar
فَإِذَا
maka apabila
بَلَغۡنَ
telah sampai
أَجَلَهُنَّ
waktu mereka
فَأَمۡسِكُوهُنَّ
maka tahanlah mereka
بِمَعۡرُوفٍ
dengan baik
أَوۡ
atau
فَارِقُوهُنَّ
ceraikan mereka
بِمَعۡرُوفٖ
dengan baik
وَأَشۡهِدُواْ
dan persaksikan
ذَوَيۡ
dua orang mempunyai
عَدۡلٖ
keadilan
مِّنكُمۡ
diantara kamu
وَأَقِيمُواْ
dan dirikanlah
ٱلشَّهَٰدَةَ
kesakisan-kesaksian
لِلَّهِۚ
karena Allah
ذَٰلِكُمۡ
demikian itu
يُوعَظُ
diberi pengajaran
بِهِۦ
dengannya/dengan itu
مَن
orang
كَانَ
adalah
يُؤۡمِنُ
dia beriman
بِٱللَّهِ
kepada Allah
وَٱلۡيَوۡمِ
dan hari
ٱلۡأٓخِرِۚ
akhirat
وَمَن
dan barang siapa
يَتَّقِ
bertaqwa
ٱللَّهَ
Allah
يَجۡعَل
Dia menjadikan
لَّهُۥ
baginya
مَخۡرَجٗا
jalan keluar
Terjemahan
Apabila mereka telah mendekati akhir idahnya, rujuklah dengan mereka secara baik atau lepaskanlah mereka secara baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil dari kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Yang demikian itu dinasihatkan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya
Tafsir
(Apabila mereka telah mendekati akhir idahnya) atau masa idah mereka hampir habis (maka tahanlah mereka) seumpamanya kalian rujuk dengan mereka (dengan baik) artinya tidak memudaratkan kepada mereka (atau lepaskanlah mereka dengan baik) biarkanlah mereka menyelesaikan idahnya dan janganlah kamu menjatuhkan kemudaratan terhadap mereka melalui rujuk (dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kalian) dalam masalah rujuk atau talak ini (dan hendaklah kalian tegakkan kesaksian itu karena Allah) bukan karena demi rang yang dipersaksikan atau bukan karena demi rujuk atau talaknya. (Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar) dari malapetaka di dunia dan di akhirat.
Tafsir Surat Ath-Thalaq: 2-3
Apabila mereka telah mendekati akhir idahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.
Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman bahwa apabila wanita-wanita yang menjalani masa idahnya itu hampir menyelesaikan masa idahnya, tetapi masa idahnya masih belum berakhir secara maksimal, maka pada saat itulah pihak suami adakalanya bertekad untuk kembali memegangnya dan mengembalikannya ke dalam ikatan pernikahan serta meneruskan kehidupan rumah tangganya seperti semula, dengan baik. (Ath-Thalaq: 2) Yaitu memperbaiki kembali hubungannya dengan istrinya dan menggaulinya dengan cara yang baik.
Adakalanya si suami bertekad tetap menceraikannya dengan cara yang baik pula, yakni tanpa memburuk-burukkan istrinya, tanpa mencaci makinya, dan tanpa mengecamnya, bahkan menceraikannya dengan cara yang baik dan penyelesaian yang bagus. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu. (Ath-Thalaq: 2) Yakni dalam rujuk itu jika kamu bertekad untuk kembali kepadanya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam Ibnu Majah dari Imran ibnu Husain, bahwa ia pernah ditanya tentang seorang lelaki yang menceraikan istrinya, kemudian ia menggaulinya, tanpa memakai saksi atas perceraiannya dan juga atas rujuknya itu.
Maka Imran ibnu Husain menjawab, "Wanita itu diceraikan dengan talak yang bukan talak sunnah dan dirujuk dengan rujuk yang bukan sunnah. Aku bersaksi atas perceraian dan juga rujuknya, tetapi jangan terulang lagi peristiwa ini." Ibnu Juraij mengatakan bahwa ‘Atha’ mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu. (Ath-Thalaq: 2) Bahwa tidak boleh seseorang melakukan nikah dan talak serta rujuk kecuali dengan memakai dua orang saksi laki-laki yang adil, seperti apa yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala terkecuali karena ada uzur. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. (Ath-Thalaq: 2) Yakni apa yang telah Kami perintahkan kalian untuk menjalankannya, yaitu menggunakan saksi dan menegakkan persaksian, tiada lain orang yang mau melakukannya hanyalah orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat.
Dan sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala mensyariatkan hukum ini bagi orang yang takut terhadap siksa Allah di hari akhirat nanti. Berangkat dari pengertian inilah maka Imam Syafii menurut salah satu di antara dua pendapatnya mengatakan bahwa persaksian dalam kasus rujuk adalah wajib, sebagaimana diwajibkan pula dalam permulaan pernikahan. Ada pula sejumlah ulama yang berpendapat seperti ini, dan ulama yang sependapat dengan pendapat ini mengatakan bahwa sesungguhnya rujuk itu tidak sah kecuali dengan ucapan yang dinyatakan agar dapat dipersaksikan.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. (Ath-Thalaq: 2-3) Maksudnya, barang siapa yang bertakwa kepada Allah dalam semua apa yang diperintahkan kepadanya dan meninggalkan semua apa yang dilarang baginya, maka Allah akan menjadikan baginyajalan keluar dari urusannya dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.
Yakni dari arah yang tidak terdetik dalam hatinya. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepadaku Kahmas ibnul Hasan, telah menceritakan kepada kami Abus Salil, dari Abu Dzar yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ membaca ayat ini, yaitu firman-Nya: Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. (Ath-Thalaq: 2-3), hingga akhir ayat. Kemudian beliau ﷺ bersabda: Wahai Abu Dzar, seandainya semua manusia mengamalkan ayat ini, niscaya mereka akan diberi kecukupan.
Abu Dzar melanjutkan, bahwa lalu Rasulullah ﷺ membaca ayat ini berulang-ulang kepadanya hingga ia merasa mengantuk. Kemudian beliau ﷺ bersabda: Wahai Abu Dzar, apakah yang akan engkau lakukan bila engkau keluar dari Madinah? Aku menjawab, "Aku akan berangkat menuju kepada keluasan dan ketenangan, dan aku akan menjadi salah seorang dari pelindung kota Mekah." Rasulullah ﷺ bertanya: Apakah yang akan engkau lakukan bila kamu keluar dari kota Mekah? Aku menjawab, "Aku akan berangkat menuju kepada keluasan dan ketenangan, yaitu ke negeri Syam dan Baitul Maqdis." Rasulullah ﷺ bertanya lagi: Apakah yang akan engkau lakukan bila kamu keluar dari negeri Syam? Aku menjawab, "Kalau begitu, demi Tuhan yang telah mengutus engkau dengan hak, aku akan meletakkan pedangku dari pundakku (yakni berhenti berjihad)." Rasulullah ﷺ bertanya, "Apakah ada yang lebih baik dari itu?" Aku balik bertanya, "Apakah ada yang lebih baik dari itu?" Rasulullah ﷺ menjawab: Kamu tunduk patuh (kepada pemimpinmu), sekalipun dia adalah seorang budak Habsyi (hamba sahaya dari negeri Habsyah). Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Mansur Ar-Ramadi, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Ubaid, telah menceritakan kepada kami Zakaria, dari Amir, dari Syittir ibnu Syakal yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnu Mas'ud mengatakan bahwa sesungguhnya ayat yang paling global dalam Al-Qur'an adalah firman-Nya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan. (An-Nahl: 90) Dan ayat yang paling besar mengandung jalan keluar dalam Al-Qur'an adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala: Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. (Ath-Thalaq: 2) Di dalam kitab Musnad Imam Ahmad disebutkan bahwa telah menceritakan kepadaku Mahdi ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Al-Wa!id ibnu Muslim, dari Al-Hakam ibnu Mus'ab, dari Muhammad ibnu Ali ibnu Abdullah ibnu Abbas, dari ayahnya, dari kakeknya (yaitu Abdullah ibnu Abbas) yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Barang siapa yang memperbanyak bacaan istigfar, maka Allah akan mengadakan baginya dari setiap kesusahan pemecahannya dan dari setiap kesempitan jalan keluar dan Allah memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. (Ath-Thalaq: 2) Bahwa Allah akan menyelamatkannya dari setiap kesusahan di dunia dan akhirat. dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. (Ath-Thalaq: 3) Ar-Rabi' ibnu Khaisam telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. (Ath-Thalaq: 2) Maksudnya, jalan keluar dari setiap perkara yang menyempitkannya, yakni menyusahkannya.
Ikrimah mengatakan bahwa barang siapa yang melakukan perceraian sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah, niscaya Allah akan mengadakan baginya jalan keluar. Hal yang sama telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Adh-Dhahhak. Ibnu Mas'ud dan Masruq mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. (Ath-Thalaq: 2) Yakni dia mengetahui bahwa jika Allah menghendaki, niscaya memberinya; dan jika Allah tidak menghendaki, niscaya Dia mencegahnya.
dari arah yang tiada disangka-sangkanya. (Ath-Thalaq: 3) Maksudnya, dari arah yang tiada diketahuinya. Qatadah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. (Ath-Thalaq: 2) Yaitu dari semua kesulitan urusannya dan kesusahan di saat menjelang kematiannya. dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. (Ath-Thalaq:3) Yakni sesuai dengan apa yang dicita-citakannya, tetapi tidak terlintas dalam benaknya akan dapat diraih. As-Suddi telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Barang siapa yang bertakwa kepada Allah. (Ath-Thalaq: 2) Yakni menjatuhkan talaknya sesuai dengan tuntunan sunnah dan merujuknya dengan tuntunan sunnah.
As-Suddi mengatakan bahwa seorang lelaki dari kalangan sahabat Rasulullah ﷺ yang dikenal dengan nama Auf ibnu Malik Al-Asyja'i mempunyai seorang putra yang tertawan di kalangan kaum musyrik. Dan anaknya itu berada di tangan kaum musyrik, sedangkan ayahnya selalu mendatangi Rasulullah ﷺ mengadukan nasib yang dialami oleh putranya itu dan juga tentang kemiskinan yang menimpa dirinya. Dan Rasulullah ﷺ selalu menganjurkan kepadanya untuk bersabar menghadapi semua musibah itu dan bersabda kepadanya: Sesungguhnya Allah akan menjadikan bagimu jalan keluar. Tidak lama kemudian ternyata putranya itu dapat meloloskan diri dari tangan musuh dan melarikan diri, kemudian ia bersua dengan iringan ternak kambing milik musuhnya, maka ia menggiring ternak kambing itu dan pulang ke rumah ayahnya dengan membawa ternak kambing hasil jarahannya.
Lalu diturunkanlah ayat berikut berkenaan dengan peristiwa ini, yaitu firman-Nya: Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. (Ath-Thalaq: 2-3) Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Telah diriwayatkan pula hal yang semisal secara mursal melalui jalur Salim ibnu Abul Ja'd. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abdullah ibnu Isa, dari Abdullah ibnu Abul Ja'd, dari Sauban yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Sesungguhnya seseorang hamba benar-benar tersumbat rezekinya disebabkan suatu dosa yang dilakukannya.
Dan tiada yang dapat menolak takdir selain doa. Dan tiada yang dapat menambah usia selain dari kebaikan. Imam An-Nasai dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadits Sufyan Ats-Tsauri dengan sanad yang sama. Muhammad ibnu Ishaq mengatakan bahwa Malik Al-Asyja'i datang kepada Rasulullah ﷺ , lalu melaporkan kepada beliau bahwa salah seorang anaknya yang bernama Auf ditawan oleh musuh.
Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: ". Sampaikanlah kepadanya, bahwa sesungguhnya Rasulullah menganjurkan kepadamu untuk memperbanyak ucapan, 'Tiada daya (untuk menghindar dari kemaksiatan) dan tiada kekuatan (untuk mengerjakan ibadah) kecuali dengan (pertolongan) Allah. Tersebutlah bahwa kaum musyrik telah mengikat anak Malik itu pada sebuah tiang, lalu tiang itu roboh dan ia dapat melepaskan diri dari ikatannya. Maka ia keluar melarikan diri. Tiba-tiba ia menjumpai seekor unta milik mereka, maka ia langsung menaikinya dan memacunya. Ketika di tengah jalan ia menjumpai sekumpulan ternak yang banyak jumlahnya milik kaum yang telah menawannya dan yang telah mengikatnya.
Lalu ia menggiring ternak unta itu hingga semua ternak unta lari mengikutinya tanpa ada seekor unta pun yang tertinggal. Tiada yang mengejutkan kedua orang tuanya kecuali seruan anaknya di depan pintu rumah mereka. Maka ayahnya berkata, "Dia Auf, demi Tuhan yang memiliki Ka'bah." Dan ibunya berkata, "Waduh, hebatnya si Auf, padahal dia telah diikat pada tiang oleh musuhnya." Lalu keduanya berebutan menuju ke pintu rumah dan juga pelayan keduanya, tiba-tiba mereka melihat Auf telah tiba dengan membawa ternak unta yang memenuhi halaman rumah mereka.
Kemudian Auf menceritakan kepada kedua orang tuanya nasib yang dialaminya dan perihal ternak unta yang dibawanya itu. Maka ayahnya berkata, "Tahanlah sikapmu berdua, aku akan menghadap terlebih dahulu kepada Rasulullah ﷺ untuk menanyakan apa yang harus kita lakukan dengan ternak unta ini." Ayahnya datang menghadap kepada Rasulullah ﷺ , lalu menceritakan kepadanya berita tentang Auf anaknya dan ternak unta yang dibawanya. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: Berbuatlah sesuka hatimu dengan ternak unta itu, ternak unta itu sekarang telah menjadi milikmu. Lalu turunlah firman Allah subhanahu wa ta’ala yang mengatakan: Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. (Ath-Thalaq: 2-3) Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Abu Hatim.
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ali ibnul Hasan ibnu Sufyan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnul Asy'as, telah menceritakan kepada kami Al-Fudail ibnu Iyad, dari Hisyam ibnul Hasan, dari Imran ibnul Husain yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Barang siapa yang menghabiskan seluruh waktunya untuk Allah, maka Allah akan memberinya kecukupan dari semua biaya dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.
Dan barang siapa yang menghabiskan seluruh waktunya untuk dunia, maka Allah menjadikan dunia menguasai dirinya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. (Ath-Thalaq: 3)
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Al-Laits, telah menceritakan kepada kami Qais ibnu Hajjaj, dari Hanasy As-San'ani, dari Abdullah ibnu Abbas yang telah menceritakan kepadanya bahwa di suatu hari ia pernah dibonceng di belakang Rasulullah ﷺ , lalu Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: wahai para pemuda, sesungguhnya aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat: Peliharalah (batasan-batasan) Allah, niscaya Dia akan memeliharamu.
Ingatlah selalu Allah, niscaya engkau akan menjumpai-Nya di hadapanmu. Dan apabila kamu memohon, mohonlah kepada Allah; dan apabila kamu meminta tolong, maka minta tolonglah kepada Allah. Dan ketahuilah bahwa umat ini seandainya bersatu untuk memberimu manfaat, mereka tidak dapat memberimu manfaat kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan Allah untukmu. Dan seandainya mereka bersatu untuk menimpakan mudarat terhadap dirimu, niscaya mereka tidak dapat menimpakan mudarat terhadapmu kecuali dengan sesuatu yang telah ditetapkan Allah akan menimpa dirimu.
Qalam telah diangkat (takdir telah ditetapkan) dan semua lembaran telah kering (telah penuh dengan catatan). Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadits ini melalui Al-Laits" ibnu Sa'd dan Ibnu Lahi'ah dengan sanad yang sama, dan Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Basyir ibnu Sulaiman, dari Sayyar Abul Hakam, dari Tariq ibnu Syihab, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: Barang siapa yang mempunyai suatu keperluan, lalu ia menyerahkannya kepada manusia, maka dapat dipastikan bahwa keperluannya itu tidak dimudahkan baginya.
Dan barang siapa yang menyerahkan keperluannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala, maka Allah akan mendatangkan kepadanya rezeki yang segera atau memberinya kematian yang ditangguhkan (usia yang diperpanjang). Kemudian Imam Ahmad meriwayatkannya dari Abdur Razzaq, dari Sufyan, dari Basyir, dari Sayyar alias Abu Hamzah. Selanjutnya Imam Ahmad mengatakan bahwa sanad inilah yang benar, karena Sayyar Abul Hakam belum pernah meriwayatkan hadits dari Tariq.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. (Ath-Thalaq: 3) Yakni melaksanakan ketetapan-ketetapan dan hukum-hukum-Nya terhadap makhluk-Nya menurut apa yang dikehendaki dan yang diinginkan-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (Ath-Thalaq: 3) Semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya: Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya. (Ar-Ra'd: 8)"
Maka apabila mereka, para istri yang dijatuhi talak telah mendekati akhir masa idahnya, maka rujuklah, kembali kepada mereka dengan baik guna mempertahankan ikatan perkawinan; atau lepaskanlah mereka, yakni terus menceraikannya dengan baik dengan memperhatikan hak-hak anak. Dan persaksikanlah keputusan kamu untuk menceraikannya dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu, yakni dua orang laki-laki atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan; dan hendaklah kamu menegakkan kesaksian itu karena Allah dengan jujur dan adil, serta dengan menaati hukum Allah. Demikianlah pengajaran itu, perintah untuk mematuhi hukum Allah dengan tulus diberikan kepada orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat di antara hamba-hamba-Nya. Barang siapa bertakwa kepada Allah dalam segala urusan; niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya dari segala kesulitan. 3. Dan Dia pun akan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya dengan memberikan kebutuhan fisik maupun kebutuhan ruhani. Dan barang siapa bertawakal kepada Allah dalam segala urusan, niscaya Allah cukup sebagai tempat mengadu bagi diri-nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya dengan penuh hikmah bagi manusia. Sungguh, Allah telah menjadikan segala sesuatu dengan kadarnya sehingga setiap orang tidak akan menghadapi masalah di luar batas kemampuannya.
Dalam ayat-ayat ini, Allah menerangkan bahwa apabila masa idah istri hampir habis dan suami masih ingin berkumpul kembali, ia boleh rujuk kepada istrinya dan tinggal bersama secara baik sebagai suami-istri, melaksanakan kewajibannya, memberi belanja, pakaian, tempat tinggal, dan lainnya. Akan tetapi, kalau suami tetap tidak akan rujuk kepada istri, maka ia boleh melepaskannya secara baik pula tanpa ada ketegangan terjadi, menyempurnakan maharnya, memberi mut'ah sebagai imbalan dan terima kasih atas kebaikan istrinya selama ia hidup bersama dan lain-lain yang menghibur hatinya. Apabila suami memilih rujuk, maka hendaknya hal itu disaksikan oleh dua orang saksi laki-laki yang adil, untuk memantapkan rumah tangganya kembali.
Selanjutnya Allah menyerukan agar kesaksian itu diberikan secara jujur karena Allah semata-mata tanpa mengharapkan bayaran dan tanpa memihak, sebagaimana firman Allah:
Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri. (an-Nisa'/4: 135)
Demikian seruan mengenai rujuk dan talak untuk menjadi pelajaran bagi orang yang beriman kepada Allah di hari akhirat. Orang yang bertakwa kepada Allah, dan patuh menaati peraturan-peraturan yang telah ditetapkan-Nya, antara lain mengenai rujuk dan talak tersebut di atas, niscaya Ia akan menunjukkan baginya jalan keluar dari kesulitan yang dihadapinya.
Bagi orang-orang yang bertakwa kepada Allah, tidak saja diberi dan dimudahkan jalan keluar dari kesulitan yang dihadapinya, tetapi juga diberi rezeki oleh Allah dari arah yang tidak disangka-sangka, yang belum pernah terlintas dalam pikirannya. Selanjutnya Allah menyerukan agar mereka bertawakal kepada-Nya, karena Allah-lah yang mencukupkan keperluannya mensukseskan urusannya.
Bertawakal kepada Allah artinya berserah diri kepada-Nya, menyerahkan sepenuhnya kepada-Nya keberhasilan usaha. Setelah ia berusaha dan memantapkan satu ikhtiar, barulah ia bertawakal. Bukanlah tawakal namanya apabila seorang menyerahkan keadaannya kepada Allah tanpa usaha dan ikhtiar. Berusaha dan berikhtiar dahulu baru bertawakal menyerahkan diri kepada Allah.
Pernah terjadi seorang Arab Badui berkunjung kepada Nabi di Medinah dengan mengendarai unta. Setelah orang Arab itu sampai ke tempat yang dituju, ia turun dari untanya lalu masuk menemui Nabi ﷺ Nabi bertanya, "Apakah unta sudah ditambatkan?" Orang Badui itu menjawab, "Tidak! Saya melepaskan begitu saja, dan saya bertawakal kepada Allah." Nabi ﷺ bersabda, "Tambatkan dulu untamu, baru bertawakal."
Allah akan melaksanakan dan menyempurnakan urusan orang yang bertawakal kepada-Nya sesuai dengan kodrat iradat-Nya, pada waktu yang telah ditetapkan, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya:
Dan segala sesuatu ada ukuran di sisi-Nya. (ar-Ra'd/13: 8)
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SURAH ATH-THALAAQ
(PERCERAIAN)
SURAH KE-65,12 AYAT, DITURUNKAN DI MADINAH
(AYAT 1-12)
***
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Pengasih.
PERINTAH UNTUK NABI DAN UMAT
Ayat 1
“Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istri kamu, maka talaklah mereka itu untuk iddahnya dan hitunglah iddah itu."
Yang pertama patut kita perhatikan di ayat ini ialah pada pangkalnya, yaitu panggilan Allah kepada Nabi ﷺ. Kepada beliaulah diturunkan perintah ini, tetapi dia berlaku untuk Nabi. Artinya kalau beliau sendiri pun menceraikan istrinya, hendaklah dia menceraikan bagi iddahnya dan hendaklah iddah itu dihitung.
Maksud menceraikan “bagi iddahnya" ialah supaya perceraian itu dilakukan jangan sampai membuat susah kepada istri yang telah diceraikan itu dalam dia menunggu iddahnya. Untuk ini ahli fiqih menjelaskan bahwa menceraikan istri itu ada yang menurut sunnah dan ada yang bid'ah. Yang menurut sunnah terpuji dan yang bid'ah tercela, meskipun talak yang bid'ah itu jatuh juga.
Yang menurut Sunnah ialah:
1. jangan menceraikan istri sedang dia dalam haid,
2. tetapi ceraikanlah sedang dia dalam suci sebelum disetubuhi.
Talak yang bid'ah ialah lawan dari itu, yaitu:
1. menceraikan istri sedang dia dalam haid,
2. menceraikan istri di waktu dia sedang suci tetapi telah dicampuri terlebih dahulu.
Maksud yang terutama dari peraturan iddah itu ialah buat menjelaskan apakah perempuan itu sedang hamil ketika diceraikan. Kalau dia sedang hamil supaya jelas bahwa laki-laki yang menceraikan itu akan beranak dari istrinya itu.
Untuk mengetahui ada kandungannya atau tidak hendaklah ditentukan iddah itu tsalatsatu quruu'in,
“Dan perempuan yang ditalak hendaklah menunggukan dirinya tiga quru'." (al-Baqarah; 228)
Mengandung atau tidaknya akan ketahuan bilamana ditunggu selama tiga quru', yaitu tiga kali masa yang sering disebut masa menstruasi, yaitu tiga kali masa haid dan tiga kali masa suci.
Kalau seorang istri diceraikan dalam masa suci dan dalam masa suci itu tidak disetubuhi lebih dahulu, maka masa sucinya itu telah dihitung masa suci pertama, setelah itu dia haid sesudah itu masa suci kedua, sudah itu dia haid, sesudah itu masa suci ketiga. Sesudah lepas masa suci yang ketiga itu iddahnya sudah lepas; dia sudah bebas menikah lagi!
Tetapi kalau dia diceraikan sedang haid, iddahnya baru dimulai pada masa suci pertama, sesudah itu dia haid, sesudah itu suci kedua, sesudah itu dia haid, sesudah itu dia suci ketiga. Selepas masa suci ketiga itu baru boleh dia kawin.
Selanjutnya kalau dia diceraikan di masa suci tetapi sudah disetubuhi, maka masa suci yang itu tidaklah termasuk dalam hitungan iddah, sehingga iddah perempuan itu menjadi terlalu lama. Dia mesti menunggu lebih dahulu haid, suci pertama, haid, suci kedua, haid dan suci ketiga. Selepas suci ketiga itu barulah boleh dia bersuami, kalau nyata bahwa dia tidak hamil.
Menurut sebuah riwayat dari Ibnu Abi Hatim, Nabi ﷺ sendiri pun pernah menceraikan istrinya, yaitu ibu orang Mukmin bernama Siti Hafshah binti Umar bin Khaththab. Beliau memperlakukan talak itu dengan memerhatikan iddah. Maka sangatlah iba hati Sayyidina Umar atas kejadian itu sehingga dia datang sendiri kepada Rasulullah ﷺ memohonkan agar anak perempuannya dirujuk kembali. Konon Jibril, sendiri pun campur tangan, meminta beliau rujuk sedang dalam iddah itu. Dikatakan kepada beliau, “Kembalilah kepada istrimu, Hafshah itu." Sebab dia adalah seorang perempuan yang ﷺamah, suka berpuasa sunnah; qauwamah, suka bangun tahajjud tengah malam. Artinya ia perempuan salihah. Dan dikatakanlah pula, bahwa dia akan tetap jadi istri beliau dalam surga kelak. Anjuran itu beliau turuti, dan beliau pun rujuk kembali setelah bercerai hanya dalam masa yang singkat saja.
Selain dari itu putra dari Sayyidina Umar bin Khaththab sendiri, yaitu Sayyidina Abdullah bin Umar pernah menalak istrinya, padahal istrinya itu sedang dalam haid. Hal itu disampaikan oleh Sayyidina Umar kepada Rasulullah ﷺ. Beliau marah mendengar berita itu. Beliau berkata,
“Hendaklah dia rujuk kepadanya kembali, kemudian dipegangnya sampai perempuan itu bersih dari haid, kemudian dia haid, kemudian dia bersih pula; maka kalau menurut pendapatnya hendak menceraikannya juga, maka ceraikanlah dia ketika bersihnya itu, sebelum disetubuhinya. Begitulah adanya iddah yang diperintahkan Allah Azza wa Jalla." (HR Bukhari)
Demikian juga maksudnya hadits lain yang dirawikan oleh Muslim dan riwayat-riwayat dari perawi-perawi hadits yang lain yang sama maksudnya.
Dan hadits Nabi yang shahih itu dapat kita pahami bahwa talak yang dijatuhkan Abdullah bin Umar itu adalah perbuatan yang disalahkan oleh Nabi; tetapi talak demikian jatuh juga. Itu sebabnya maka Nabi ﷺ menyuruh Abdullah bin Umar rujuk kepadanya kembali semasa dia masih dalam iddah lalu perbaiki perbuatannya dengan membiarkannya dalam rumah sampai dia bersih, dan haid pula dan bersih lagi. Di waktu itu kalau dia hendak menalak juga, talaklah, sebelum dia disetubuhi. Maksudnya ialah supaya perempuan itu jangan terlalu lama terikat dalam iddah. Dan kalau dijatuhkan juga yang kedua kali, barulah talak itu menurut Sunnah Nabi ﷺ sebab telah dijatuhkan di waktu perempuan itu dalam haid, dan jadilah talak itu talak yang kedua.
Maka teranglah bahwa maksud “maka talaklah mereka itu untuk iddahnya" ialah ditalak di waktu bersih, bukan di waktu haid. Dan dijatuhkan talak itu sebelum istri disetubuhi. Dan ditalak setelah nyata bahwa dia hamil untuk jelas kepada masyarakat bahwa anak yang dikandung itu adalah anak si suami yang menceraikan itu.
Ibnu Abbas memberikan penjelasan, “Jangan ditalak sedang dia haid dan jangan ditalak sesudah disetubuhi pada waktu bersihnya itu, tetapi biarkanlah dia sampai haid dan bersih sesudah haid, di waktu itulah kalau hendak menalaknya.
Talak bid'ah ialah menalak sedang dia haid, atau menalak sesudah dia disetubuhi.
Talak bid'ah yang lain ialah menjatuhkan talak tiga sekaligus.
Timbul pertanyaan, “Apakah talak tiga sekaligus itu jatuh ketiganya atau jatuh hanya satu?"
Imam Syafi'i dengan tegas mengatakan bahwa menalak sekali ketiganya itu adalah hak si laki-laki itu. Sebab itu talak tiga itu jatuh menurut niatnya. Tiga niatnya, tiga jatuh. Tetapi dia berdosa. Sebab Nabi ﷺ pernah berkata kepada orang yang menalak istrinya sekaligus tiga kali itu, beliau berkata,
“Apakah kamu permain-mainkan kitab Allah, padahal aku masih ada diantara kalian?"
Imam Syafi'i berpegang kepada cara menghadapi kesalahan talak Ibnu Umar itu dalam hal ini, menjatuhkan talak sekaligus ketiganya memang salah tetapi jatuh! Tetapi Imam Malik menyatakan pendapat beliau, “Aku tidak mengenal talak kecuali hanya satu kali. Aku tidak menyetujui talak tiga sekaligus ataupun menjatuhkan satu demi satu di satu majelis." Imam Abu Hanifah tidak pula menyetujui menjatuhkan talak dalam satu kali suci lebih dari satu. Sebab itu maka Imam Malik menjaga pemisahan talak dan waktu. Imam Syafi'i hanya menjaga waktu belaka.
“Dan hitunglah iddah itu." Perhitungkanlah baik-baik iddah itu. Dihitung dari mulai haid; sudah nyata bahwa pada waktu haid istri tidak boleh disetubuhi. Kemudian dia pun suci atau bersih dengan syaratnya yang tertentu pula. Yaitu sesampai kering darahnya dia pun mandi membersihkan diri, termasuk mandi janabat juga. Sebaiknya di waktu itulah kalau memang bermaksud hendak menalaknya. Karena kalau ditunggu pula beberapa hari, takut akan tersetubuhi pula. Maka masa bersih yang si suami menjatuhkan talak itu termasuklah suci pertama dan sudah terhitung dalam iddah. Setelah itu lepas datanglah masa haidnya selama enam atau tujuh hari. Selepas itu dia pun suci bersih pula kembali, dengan mandi janabat pula sekitar dua puluh dua atau dua puluh tiga hari. Kemudian dia pun haid pula selama enam atau tujuh hari. Selepas itu dia pun kembali bersih, sebagai biasa tadi juga. Setelah selesai sucinya yang ketiga itu iddahnya habis, kalau ada orang yang meminangnya, dia sudah boleh kawin. Cuma kalau dia kawin sedang haid, tentu mempelai baru mesti menunggu pula sampai dia bersih.
Itulah maksud ayat “dan hitunglah iddah itu"
“Dan takwalah kamu kepada Allah, Allah kamu." Peringatan Allah menyuruh bertakwa adalah amat penting di saat-saat seperti itu. Karena pada asasnya bercerai itu adalah yang paling tidak disukai oleh Allah, meskipun dihalalkan-Nya. Macam-macam dapat terjadi dalam saat seperti itu. Ada orang yang tidak dapat mengendalikan diri dalam saat demikian. Ada orang yang tidak dapat menahan marahnya, lalu dia memaki-maki kepada istri yang hendak diceraikan atau telah diceraikan sedang dalam iddah. Ada yang mengusir-usir istrinya karena merasa dia yang berkuasa di dalam rumah, padahal selama dalam iddah janda itu masih diberi hak oleh Allah tinggal dalam rumah itu. Sebaliknya ada pula yang timbul sesalnya setelah menjatuhkan cerai, tetapi tidak segera dia melafazhkan lafazh rujuk di hadapan dua saksi, lalu timbul syahwatnya dan disetubuhinya saja istri yang dalam kedudukan janda itu. Ada pula yang karena sangat marah melafazhkan talak dengan tidak ada kesadaran, kemudian menyesal. Ada yang menuntut segala harta benda yang selama ini telah dihadiahkannya kepada istri itu. Maka diperingatkan oleh Allah agar orang bertakwa di saat demikian, supaya dia dapat mengendalikan dirinya, karena dia merasa bahwa segala perbuatannya selalu dilihat oleh Allah dan akan bertanggung jawab di hadapan Allah.
“Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka keluar melainkan jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata." Artinya bahwa selama di dalam iddah itu perempuan tersebut masih diberi hak oleh Allah tinggal dalam rumah itu dan dalam ayat ini dijelaskan bahwa selama dalam iddah itu rumah, tersebut masih rumah mereka, meskipun yang menyediakan rumah itu sejak semula ialah si suami. Oleh karena selama dalam pergaulan mereka telah hidup berdua dalam satu rumah, perempuan itu pun telah turut mempunyai rumah itu. Apatah lagi jika kehidupan rumah tangga atas dasar satu istri dalam perkongsian membina hidup, maka pada beberapa bangsa berlakulah adat yang bernama “gono-gini" atau “sarang dibagi, sekutu dibelah" atau “seguna sekaya" yang maksud ketiga adat itu adalah satu, yaitu dua orang suami istri yang merantau meninggalkan kampung halaman, lalu berusaha berdagang, atau bertani, atau jadi pegawai negeri, yang sama-sama dirasakan bahwa segala usaha ialah usaha berdua. Dalam hal yang demikian tentu saja rumah tadi hak berdua pula. Maka tidaklah boleh si laki-laki mengeluarkan istri yang diceraikan dalam iddah itu dari dalam rumah itu sebelum lepas iddahnya.
Tentu saja selama di dalam iddah itu dapat juga dimufakatkan dengan kesaksian keluarga terdekat kedua belah pihak bagaimana pembagian harta pencarian berdua tadi kalau perceraian jadi diteruskan juga, mana yang milik berdua yang akan dibagi dan mana yang jelas hak si istri yang akan dibawanya keluar setelah iddahnya sampai dan mana pula harta suaminya yang tidak boleh diganggu gugat.
Memang di dalam kitab-kitab tafsir lama hal ini tidak diuraikan panjang sampai demikian rupa. Tetapi dalam ayat sendiri terbuka jalan untuk dibicarakan, yaitu adanya kalimat rumah-rumah mereka, yang membayangkan bahwa perempuan ada hak milik atas rumah suaminya itu. Dan hukum syara' pun mengakui bahwa suatu adat istiadat yang tidak bertentangan dengan ketentuan agama tetap diakui. Dalam ketentuan ushul-fiqih disebutkan,
“‘Uruf berlaku sebagai penentuan keputusan, adat berlaku sebagai dasar hukum."
Arti ‘uruf dengan adat itu hampir sama, yaitu kebiasaan-kebiasaan, adat istiadat, atau adat yang teradat dalam suatu masyarakat atau suatu negeri. Maka selama ‘uruf dan adat itu tidak berlanggaran dengan ketentuan hukum syari'at yang sharih (jelas), keduanya pun dapat dijadikan dasar hukum.
Di lanjutan ayat diterangkan barulah boleh si laki-laki itu mengeluarkan perempuan tersebut dari dalam rumahnya, atau dia sendiri bertindak sendiri keluar dan tidak usah dihalangi oleh jandanya itu, kalau perceraian itu terjadi, karena ada kesalahan si perempuan membuat pekerjaan keji yang nyata. Kekejian yang nyata itu ialah seumpama dia berzina di rumah itu. Dia memasukkan laki-laki lain ke dalam rumah itu lalu tertangkap basah oleh suaminya, atau perbuatan-perbuatan lain yang sangat merusak rumah tangga, seumpama berutang, di luaran dengan tidak setahu suami. Lalu dikejar-kejar oleh orang yang berpiutang, padahal belanja yang diberikan suaminya ada berkecukupan atau kesalahan-kesalahan lain yang membuat hingar-bingar masyarakat sekeliling.
“Dan demikianlah beberapa peraturan-peraturan Allah dan barangsiapa yang melanggar peraturan-peraturan Allah, maka sesungguhnya dia telah menganiaya dirinya sendiri." Peraturan-peraturan Allah itu ialah syari'at-Nya, batas-batas yang Dia tentukan dalam hal menalak istri. Barangsiapa yang melanggar peraturan-peraturan itu nyatalah dia telah menganiaya diri sendiri, meremuk- redamkan kehidupan, menurunkan martabat diri.
Apabila dipikirkan keseluruhan ayat ini, jelas sekali bahwa seorang beriman dituntun agar berhati-hati dalam menjatuhkan talak. Ketika talak akan jatuh diperingatkan agar jangan lupa kepada Allah, supaya takwa kepada Allah, Allah kamu. Di ujung ayat diperingatkan sekali lagi bahwa talak itu ada aturannya sendiri. Sebab itu janganlah serampangan, karena serampangan akan membawa celaka diri sendiri. Akhirnya diperingatkan Allah pula tentang hikmah iddah,
“Tidaklah engkau tahu barangkali Allah akan menimbulkan suatu hal sesudah itu."
Artinya ialah bahwa melarang mengeluarkan perempuan itu dari dalam rumahnya, sekali lagi kita peringatkan bahwa Allah menyebutkan bahwa rumah itu adalah rumah-rumah mereka, untuk menggetarkan lagi rasa kasih sayang yang moga-moga masih tersimpan di sudut hati masing-masing. Hikmah melarang mengeluarkannya dari rumahnya itu ialah karena mengharap barangkali terjadi suatu perubahan, mungkin mereda marah si suami, mungkin keadaan bisa didamaikan kembali dan dengan demikian si laki-laki rujuk kembali di dalam masa iddah sehingga si perempuan tetap kembali dalam rumahnya; yang kusut selesai, yang keruh jernih, pergaulan surut seperti semula.
Karena berdamai adalah lebih baik dari bercerai.
Ayat 2
“Maka apabila telah sampai janji mereka."
Maksudnya ialah dekat-dekat akan sampai. Sebab iddah itu telah dihitung dengan saksama. “Maka tahanlah mereka dengan ma'ruf atau lepaskan mereka dengan ma'ruf pula." Masa iddah sudah dekat sampai, semua mudah dipikirkan dengan baik-baik, hasil pikiran salah satu dari dua, yaitu berdamai kembali atau langsung berpisah juga. Allah tidak menghalangi yang mana pun di antaranya kedua sikap yang akan engkau ambil berdamai atau bercerai. Yang penting bagi Allah ialah satu di antara keduanya itu engkau tempuh dengan sebaik-baiknya, dengan ma'ruf. Ma'ruf berarti ialah sikap langkah yang dapat diterima oleh masyarakat, tidak tercela, bahkan terpuji. Karena timbul dari budi yang luhur dengan dasar takwa kepada Allah.
Bergaul kembali dengan ma'ruf maaf-memaafkan kesalahan, melupakan yang lama, membuka lembaran yang baru dalam hidup, si laki-laki jangan hanya mengingat kesalahan istrinya saja, dia sendiri pun banyak kesalahan dan kealpaan; yang maksum hanya Nabi!
Dan kalau bercerai juga keputusan yang diambil, bercerailah dengan ma'ruf pula. Sudah teradat dalam dunia ini, setia berbaur, bertingkah bercerai, yang kekal hanya Allah. Harapan memang hendak bergaul berkekalan, tetapi ada saja halangannya, apa boleh buat!
Setengah dari ma'ruf bercerai ialah membayar “obat hati, pelipur sedih." Sedangkan tempat terjatuh lagi terkenang, betapa lagi pergaulan yang begitu mesra sekian waktu lamanya sehingga benar-benar badan dua dijadikan satu! Uang “obat hati" itu mut'ah namanya, telah dijelaskan dalam surah al-Baqarah 236 bahkan di ayat 241 dikatakan bahwa memberikan uang obat hati bagi istri yang dicerai itu adalah kewajiban bagi orang yang mengakui dirinya bertakwa. Tentang berapa banyaknya, maka di ayat 236 itu telah dijelaskan ialah menurut ukuran kekayaan dan kepatutan pihak yang memberikan.
“Dan hendaklah mempersaksikan dua orang yang adil di antara kamu." Barang mana pun keputusan yang akan engkau ambil, entah surut atau bercerai juga yang jadi, hendaklah disaksikan oleh dua orang yang adil, dua orang yang patut.
Di sini kita mendapat ketentuan bahwa kalau rujuk hendaklah ada yang menyaksikan. Jika ditilik kepada jalan bahasa, memang untuk rujuklah diperlukan dua orang saksi yang adil, sebab rujuklah yang terlebih dahulu disebut. Talak adalah yang kemudian. Tetapi untuk menambah luasnya pandangan kita baik juga kita perhatikan pertikaian pendapat ulama-ulama fiqih dalam hal ini.
Kalau seseorang rujuk saja dengan tidak disaksikan dua orang yang adil, maka terdapat padanya dua pendapat. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa ada saksi itu adalah mandub (dianjurkan) saja, bukan wajib. Syafi'i berpendapat, ketika rujuk sunnah dihadirkan dua saksi, ketika talak hanya dianjurkan saja.
Satu pendapat ialah bahwa keduanya, rujuk dan talak hendaklah ada dua saksi! Kegunaan dua saksi itu amat penting. Karena kalau tiba-tiba si laki-laki meninggal sedang si perempuan dalam iddah karena talak, kalau ada saksi tentu dia masih berhak menerima warisan.
Banyak ulama menekan yang amat penting ialah kesaksian talak. Kesaksian rujuk, hanyalah mandub (dianjurkan) saja. Ulama itu berkata apabila seorang perempuan dalam iddah, dan dia masih ada dalam rumah itu, tiba-tiba datang suaminya itu menciumnya, atau memegang badannya, bahkan menyetubuhinya sekali; kalau dengan berbuat demikian, dia telah bermaksud rujuk, maka rujuklah karena perbuatannya itu, walaupun tidak dilafazhkan. Abu Hanifah menegaskan lagi, kalau diciumnya, disentuhnya, dan dipegangnya dengan syahwat, itu sudah rujuk namanya.
Setengah ulama lagi berkata, “Jika telah dipandangnya kemaluan perempuan itu, dia telah rujuk namanya.
Golongan ini mengatakan pula, “Asal saja sudah disetubuhinya, itu namanya sudah rujuk, ada niat rujuk atau tidak ada niat." Imam al-Laits berpendapat begini.
Imam Syafi'i dan Abu Tsaur berpendapat, “Kalau diucapkannya perkataan ‘aku sekarang rujuk' maka rujuklah dia."
Tetapi Imam Malik menyatakan pendapatnya, “Kalau disetubuhinya saja, padahal dia tidak berniat rujuk, maka persetubuhannya itu fasid. Tegasnya jadi zina. Dan dia tidak boleh mengulangi menyetubuhinya, sebelum dia bersihkan terlebih dahulu air ‘kotor' yang masuk itu."
Imam Ahmad bin Hambal dalam salah satu qaulnya menyatakan bahwa rujuk itu pun wajib ada saksi.
Keempat Imam Syafi'i, Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad bin Hambal sama pendapat bahwa tentang rujuk, tidaklah perlu meminta persetujuan si perempuan, sebab itu tidaklah diperlukan mesti hadir saksi juga.
Kalau seseorang mendakwakan sesudah habis iddah bahwa dia telah rujuk kepada istrinya tatkala masih dalam iddah, kalau perkataannya itu diakui oleh si perempuan, perkataan itu diterima. Tetapi kalau si perempuan itu memungkiri perkataan itu, maka perempuan itu disumpah. Dan kalau si laki-laki dapat mengemukakan keterangan bahwa dia telah rujuk ketika dia masih dalam iddah, cuma perempuan itu saja yang belum tahu, maka keterangan laki-laki itu diterima. Keadaan dia tidak tahu, tidaklah jadi alasan. Tetaplah dia istri dari laki-laki itu.
Kalau perempuan itu telah bersuami, tetapi suami kedua itu belum menggaulinya, lalu di waktu itu suami pertama datang membawa keterangan lengkap bahwa dia telah rujuk tatkala perempuan itu dalam iddah, maka pendapat Imam Malik terdapat dua macam. Pertama, suami pertama lebih berhak atasnya dan dia dipisahkan dengan suami kedua. Pendapat kedua, suami kedua lebih berhak atasnya.
Tetapi kalau sampai suami kedua itu kebetulan sudah menggaulinya, maka tidaklah ada jalan lagi bagi suami pertama buat mengambil perempuan itu.
Di sini kata “dukhuul" kita artikan menggauli. Artinya, dia telah masuk ke dalam kamar bersama perempuan itu, meskipun belum disetubuhinya.
Tentang orang yang akan jadi saksi yang berdua itu pun ditegaskan pula, hendaklah saksi berdua itu laki-laki keduanya. Karena kalimat dzawai (…), artinya ialah buat dua orang laki-laki. Perempuan hanya dapat jadi saksi berdua, jadi ganti dari satu orang saksi laki-laki dan kesaksian perkara utang-piutang (surah al-Baqarah ayat 282 dan 283). Dan boleh jadi saksi seorang diri untuk mempertahankan kehormatan dari tuduhan suaminya bahwa dia berzina, dalam hal yang bernama li'aan (surah an-Nuur, ayat 8 dan 9).
“Dan dirikanlah kesaksian karena Allah." Artinya kalau tegak menjadi saksi, dirikanlah kesaksian itu karena Allah, akan berkata benar, bertindak jujur, dan tidak akan memberikan kesaksian palsu. Karena soal ini adalah sangat penting, yaitu soal rumah tangga, soal keturunan dan perdamaian di antara dua orang suami dengan istri ataupun perpisahan yang baik. Ingatlah dua patah ayat ini, mulanya dikatakan dua orang yang adil. Setelah itu orang yang adil itu disuruh pula memberikan kesaksian karena Allah.
“Demikianlah diberi pengajaran dengan dia bagi siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat." Artinya ialah bahwa yang akan memerhatikan segala syarat dan cara ini, terutama talak dengan bersaksi, rujuk pun dengan bersaksi, dengan tidak memperhitungkan terlebih dahulu khilafiyah ulama padanya, semuanya itu adalah pegangan bagi orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat. Sebab orang yang beriman kepada Allah itu suka kepada pekerjaan yang teratur dan jujur, dan lagi karena imannya kepada Hari Akhirat, dia tidak mau kalau ditanyai di akhirat kelak, ternyata pekerjaannya kacau balau.
Al-Qurthubi menulis dalam tafsirnya, “Adapun orang yang tidak beriman, tidaklah ada manfaatnya yang akan didapatnya dari pengajaran ini."
“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan untuknya jalan keluar."
Ayat ini pada hakikatnya adalah pimpinan sejati bagi hidup berumah tangga. Entah bercerai yang akan terjadi, entah rujuk damai semula lalu meneruskan perkongsian hidup, namun suatu hal sudah nyata. Yaitu bahwa memelihara kekeluargaan adalah satu seni hidup yang bukan mudah. Kadang-kadang angin sepoi-sepoi berembus sejuk membawa angin baru ke dalam rumah, membawa kesegaran. Tetapi kadang-kadang malapetaka datang timpa bertimpa, habis satu datang yang lain. Orang yang miskin mengeluh karena kemiskinan, orang kaya sibuk terus karena kekayaan. Bahkan ada orang yang di waktu dia masih berpencarian sederhana, dia merasa berbahagia dalam rumah tangga, tetapi setelah dirinya ditimbun oleh kekayaan dan kemewahan, dia tidak merasakan lagi kebahagiaan itu. Bertambah banyak harta bertambah banyak kekurangan.
Oleh sebab itu kian terasalah bahwa kebahagiaan bukan terletak pada kekayaan harta benda. Bahkan terjadi krisis dalam rumah tangga, sampai membawa perceraian. Kusut setiap hari dan sukar melepaskan diri dari ikatan atau belenggu kesusahan itu, sehingga sampai terjadi perceraian. Setelah bercerai orang kawin dengan perempuan yang baru, atau yang lebih muda. Mulanya senang, tetapi kian lama kian datang kesusahan baru. Yaitu kesusahan karena istri terlalu muda, suami sebaya dengan ayah si istri sendiri. Nafkah harta sanggup membayar berapa dia kehendaki. Tetapi si perempuan tidaklah merasa puas dengan nafkah harta benda itu. Dia tetap tidak puas, karena tidak puas mendapat nafkah batin.
1001 soal dapat tumbuh dalam rumah tangga, di antara suami dengan istri, di antara orang tua dengan anak-anak, di antara rumah tangga yang tengah berdiri dengan keluarga luar, dengan mertua, dengan menantu, dengan ipar, besan dan lain-lain. Terutama lagi tegak di tengah masyarakat, adat yang mesti diisi, lembaga yang mesti dituang. Apalah lagi bersangkut dengan hidup sebagai umat Islam di tengah alam dengan berbagai kelompoknya.
Maka di ujung ayat ini diberilah Mukmin petunjuk bahwa dengan berpegang kepada Allah, yang berarti hubungan yang tidak pernah terputus dengan Allah, Mukmin akan sanggup menghadapi dan mengatasi segala kesulitan. Allah akan membukakan bagi seorang Mukmin jalan keluar. Tidak akan ada kesulitan.
Ayat 3
“Dan akan memberinya rezeki dari anak yang tidak dikira-kiranya."
Kedua patah kalimat ayat ini, ujung ayat 2 dan pangkal ayat 3, sungguh-sungguh perkara di luar perhitungan manusia.
Memang banyaklah hal di dunia yang di luar perhitungan manusia. “Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Dialah yang menjadi penjaminnya." Keajaiban itu akan dirasakan dan dialami oleh orang-orang yang benar-benar bertakwa dan benar-benar bertawakal.
Takwa kepada Allah menyebabkan jiwa mendapat thuma'ninah, dia akan bersabar ketika cobaan datang dan dia akan bersyukur ketika nikmat tiba. Dia bertawakal kepada Allah, menyerah dengan sebulat hati dan yakin bahwa Allah tidak akan mengecewakannya. Pendirian yang demikian itu menyebabkan dia tidak pernah berputus asa dari rahmat Allah. Pengalaman manusia berkali-kali menunjukkan bahwa kesusahan tidaklah menetap susah saja, bahkan hidup ialah pergantian susah dengan senang. Karena keyakinan demikian teguh, maka pintu yang tertutup bagi orang lain namun bagi orang yang bertakwa jadi terbuka. Perbendaharaan orang yang bertawakal tidaklah akan dibiarkan Allah jadi kering ketika dekat akan kering, datang saja bantuan baru yang tidak disangka-sangka.
Hal seperti ini tidak dapat diterangkan, tetapi dapat dibuktikan. Oleh sebab itu maka bagaimanapun keadaan diri kita, senang atau susah, janganlah lupa mengingat Allah. Shalat lima waktu jangan dilalaikan karena ini penting sekali bagi hidup.
Bersabda Rasulullah ﷺ,
“Barangsiapa yang memutuskan harapan dari yang lain dan hanya langsung berhubungan dengan Allah, maka Allah akan mencukupkan untuknya tiap-tiap yang dia perlukan dan Dia beri rezeki dari arah yang tidak dia kira-kirakan; akan tetapi barangsiapa putus hubungan dengan Allah dan menggantungkan nasib kepada dunia, Allah akan menyerahkannya kepada dunia itu." (HR Ibnu Abi Hatim)
Dan sebuah hadits lagi dari Abdullah bin Abbas, bahwa dia berkendaraan di belakang Rasulullah ﷺ pada suatu hari, maka berkatalah Rasulullah ﷺ kepadanya,
“Aku akan mengajar engkau beberapa kalimat. Peliharalah Allah, niscaya akan dipelihara-Nya pula engkau. Peliharalah Allah, niscaya akan engkau hadapi Dia di hadapan engkau sendiri. Maka apabila engkau memohon, mohonkanlah kepada Allah dan apabila engkau ingin pertolongan, minta tolonglah kepada Allah. Ketahuilah jikalau umat ini berkumpul hendak memberikan manfaat kepada engkau, tidaklah akan depat memberikan manfaat kecuali dengan sesuatu yang telah ditulis Allah untuk engkau. Dan jikalau mereka berkumpul hendak mendatangkan bahaya kepada engkau, tidaklah mereka akan dapat mendatangkan bahaya kecuali dengan sesuatu yang telah dituliskan Allah atas engkau. Qalam (pena takdir) sudah diangkat dan lembarannya sudah kering." (HR Imam Ahmad dan at-Tirmidzi)
Hadits ini menanamkan tawakal dan ridha yang sedalam-dalamnya pada jiwa kita, sehingga hilanglah keraguan di dalam menghadapi hidup, terutama membimbing istri dan memelihara anak-anak.
“Sesungguhnya Allah itu sampai apa yang Dia kehendaki." Tidak ada satu pun kekuatan yang dapat menghambat dan menghalangi kehendak Allah. Apa yang dikehendaki Allah itulah yang pasti berlaku. Demikian jugalah halnya dalam berumah tangga. Dan suami-istri yang berkasih sayang dicoba difitnah atau diganggu rumah tangganya oleh orang lain, namun oleh karena takwa mereka kepada Allah rumah tangga mereka selamat. Sebaliknya pula dalam keadaan rukun dan damai disangka pergaulan akan berkekalan, tiba-tiba saja datang sengketa sehingga bercerai. Atau dalam kasih sayang tengah memuncak, tiba-tiba salah seorang ditimpa sakit, lalu mati. Kadang-kadang seorang suami yang masih muda meninggal dunia meninggalkan anak yang harus menjadi tanggungan ibunya, sehingga sukar bagi si janda untuk mengganti suami karena payah mencari laki-laki yang mau menerima nasib perempuan yang mempunyai banyak anak yatim.
“Sesungguhnya Allah telah menjadikan tiap-tiap sesuatu dengan ketentuan-Nya."
Qadar atau takdir, kita biasa memberinya arti dengan ketentuan. Artinya bahwa semuanya itu Allah-lah yang menentukan, bukan manusia. Rumah tangga, pergaulan suami istri panjang atau pendek, beranak atau tidak, mana yang dahulu mati dan mana yang kemudian, semuanya itu adalah ketentuan dari Allah. Malahan penentuan jodoh itu sendiri pun pada hakikatnya Allah juga yang menentukan. Oleh sebab itu takwa dan tawakal adalah syarat mutlak bagi kebahagiaan rumah tangga.