Ayat
Terjemahan Per Kata
وَأَطِيعُواْ
dan taatlah
ٱللَّهَ
Allah
وَأَطِيعُواْ
dan taatlah
ٱلرَّسُولَۚ
rasul
فَإِن
maka sesungguhnya hanyalah
تَوَلَّيۡتُمۡ
kamu berpaling
فَإِنَّمَا
maka sesungguhnya hanyalah
عَلَىٰ
atas
رَسُولِنَا
rasul Kami
ٱلۡبَلَٰغُ
penyampaian
ٱلۡمُبِينُ
terang/nyata
وَأَطِيعُواْ
dan taatlah
ٱللَّهَ
Allah
وَأَطِيعُواْ
dan taatlah
ٱلرَّسُولَۚ
rasul
فَإِن
maka sesungguhnya hanyalah
تَوَلَّيۡتُمۡ
kamu berpaling
فَإِنَّمَا
maka sesungguhnya hanyalah
عَلَىٰ
atas
رَسُولِنَا
rasul Kami
ٱلۡبَلَٰغُ
penyampaian
ٱلۡمُبِينُ
terang/nyata
Terjemahan
Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul. Jika kamu berpaling, sesungguhnya kewajiban rasul Kami hanyalah menyampaikan (risalah) dengan terang.
Tafsir
(Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, jika kalian berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul Kami hanyalah menyampaikan, amanat Allah, dengan terang) yakni secara jelas.
Tafsir Surat At-Taghabun: 11-13
Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. (Dialah) Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Dan hendaklah orang-orang mukmin bertawakal kepada Allah saja.
Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan kembali apa yang telah Dia ceritakan di dalam surat Al-Hadid, yaitu firman-Nya: Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis di dalam kitab (Lauh Mahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Al-Hadid: 22) Demikian pula hal yang sama disebutkan dalam surat ini melalui firman-Nya: Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah. (At-Taghabun: 11) Ibnu Abbas mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah dengan perintah Allah, yakni dengan kekuasaan dan kehendak-Nya.
Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (At-Taghabun: 11) Dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. (At-Taghabun: 11) Yakni mengembalikan segala sesuatunya kepada Allah dan mengatakan: Sesungguhnya kami adalah milik Allah, dan hanya kepada-Nyalah kami dikembalikan. (Al-Baqarah: 156) Di dalam hadits yang telah disepakati disebutkan sebagai berikut: Sungguh mengagumkan orang mukmin itu, tiadalah Allah memutuskan suatu keputusan baginya kecuali adalah kebaikan belaka baginya.
Jika ia tertimpa kedukaan, maka ia bersabar, dan bersabar itu adalah baik baginya. Dan jika ia mendapat kesukaan, maka bersyukurlah ia dan bersyukur itu lebih baik baginya. Dan hal itu tidak didapati pada seorang pun kecuali pada diri orang mukmin. ". Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah, telah menceritakan kepada kami Al-Haris ibnu Yazid, dari Ali ibnu R'abbah; ia pernah mendengar Junadah ibnu Abu Umayyah mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ubadah ibnus Samit mengatakan, sesungguhnya pernah ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah ﷺ , lalu bertanya, "Amal apakah yang paling utama?" Rasulullah ﷺ menjawab: Iman kepada Allah, membenarkan-Nya dan berjihad di jalan-Nya.
Lelaki itu bertanya lagi, "Aku bermaksud hal yang lebih ringan daripada semuanya itu, wahai Rasulullah." Rasulullah ﷺ menjawab: Janganlah kamu berburuk prasangka kepada Allah terhadap sesuatu yang telah ditetapkan-Nya atas dirimu. Para pemilik kitab sunan tiada yang mengetengahkannya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul. (At-Taghabun: 12) Ini merupakan perintah untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya, yaitu dengan mengerjakan syariat agama-Nya, mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya, serta meninggalkan apa yang dilarang dan diharamkan-Nya.
Kemudian disebutkan dalam firman selanjutnya: jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. (At-Taghabun: 12) Yaitu jika kamu membangkang tidak mau mengamalkannya, maka sesungguhnya bagi Rasul Kami hanyalah menjalankan apa yang ditugaskan kepadanya, yaitu menyampaikan risalah; dan diwajibkan atas kalian melakukan kewajiban yang dibebankan kepada kalian, yaitu mendengar dan menaatinya. Az-Zuhri mengatakan bahwa yang dari Allah adalah risalah, dan tugas Rasul ialah menyampaikannya, sedangkan tugas kita ialah mendengar dan menaatinya.
Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala memberitakan bahwa Dia adalah Maha Esa, bergantung kepada-Nya segala sesuatu, tiada Tuhan yang berhak disembah selain Dia. Untuk itu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: (Dialah) Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Dan hendaklah orang-orang mukmin bertawakal kepada Allah saja. (At-Taghabun: 13) Bagian pertama dari ayat ini merupakan kalimat berita yang memberitakan tentang keesaan Allah, tetapi makna yang dimaksud ialah kalimat perintah yakni 'esakanlah penyembahan itu hanya bagi-Nya, dan ikhlaskanlah ketaatan itu hanya kepada-Nya, kemudian bertawakallah kamu kepada-Nya (bagian terakhir dari ayat ini)'. Ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: (Dialah) Tuhan masyriq dan magrib (timur dan barat), tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka jadikanlah Dia sebagai pelindung. (Al-Muzzammil: 9)"
Allah mengajarkan kepada manusia cara yang benar dan tepat dalam hidup ini. Dan taatlah wahai manusia kepada Allah dengan beriman dan melaksanakan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya; dan taatlah kepada Rasul dengan mengikuti sunah-sunahnya. Jika kamu berpaling dari Allah dengan kufur atau mengabaikan perintah-Nya dan berpaling dari Rasul dengan melupakan sunahnya, maka sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan ajaran Allah kepada umat manusia dengan terang sehingga manusia mengenal ajaran Allah dengan benar. 13. Yaitu ajaran bahwa sesungguhnya Dialah Allah, tidak ada tuhan selain Dia yang menciptakan makhluk dan mengaturnya. Dan hendaklah orang-orang mukmin bertawakal kepada Allah dalam segala keadaan.
Allah memerintahkan agar manusia taat kepada-Nya dan rasul-Nya dengan melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Manakala mereka itu tetap tidak menaati dan patuh, ketahuilah bahwa tugas Rasulullah hanyalah sekedar menyampaikan apa yang menjadi tugas dan kewajibannya, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah:
Jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa kewajiban rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat) dengan jelas. (al-Ma'idah/5: 92).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
JIKA MUSIBAH DATANG MENIMPA
Ayat 11
“Tidaklah menimpa sesuatu musibah pun melainkan dengan izin Allah."
Inilah pedoman seorang beriman dalam perjuangan hidupnya. Dengan tegas Allah berfirman bahwa Mukmin tidak boleh cemas bila berhadapan dengan musibah dan malapetaka. Karena apa jua pun malapetaka tidaklah akan menimpa kepada diri kita, kecuali kalau Allah mengizinkan. Di dalam ayat yang lain, Allah berfirman,
“Katakanlah, Tidaklah menimpa kita kecuali apa yang telah ditentukan oleh Allah kepada kita." (at-Taubah: 51)
Yang penting di dalam menghadapinya, jika musibah itu datang juga ialah dengan tetap beriman. Sebab dalam lanjutan ayat Allah berfirman, “Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk pada hatinya." Apabila iman ada, pastilah Allah memberi petunjuk untuk mengatasi musibah itu. Tetapi kalau iman tidak ada, musibah akan membuatnya jadi hancur atau jatuh.
“Dan Allah atas tiap-tiap sesuatu adalah Maha Mengetahui."
Dengan sebab iman hati manusia menjadi terang, atau dipenuhi oleh cahaya. Allah Maha Mengetahui segala hal. Maka berkat cahaya imannya itu, datanglah sinar petunjuk Allah ke dalam hatinya sehingga dia selamat terlepas dari musibah.
Berkata penafsir al-Ma'ani, artinya orang yang mendalami memahamkan maksud Al-Qur'an, “Dia akan memberi petunjuk dalam hatinya, ialah diberi petunjuk supaya bersyukur ketika diberi kesenangan dan bersabar ketika ditimpa bala bencana."
Ayat 12
“Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul."
Pangkal ayat ini pun masih dalam rangka peringatan Allah agar memperteguh iman jika musibah datang. Ingatlah bahwa musibah ataupun fitnah bukan saja ketika datang bala bencana yang mengerikan. Kehidupan susah, kemiskinan, kemelaratan, kesakitan, penderitaan, kematian keluarga, jatuh dari jabatan, dan sebagainya, semuanya itu musibah atau fitnah penguji iman. Tetapi kemewahan, kekayaan yang tiba-tiba, pangkat dan kebesaran, nama yang harum, popularitas dan seumpamanya, itu pun fitnah, dan itu pun ujian kekuatan batin. Kedua musibah itu tidaklah akan dapat ditangkis kalau iman tidak ada, dan hati tidaklah akan dapat menerima petunjuk. Oleh sebab itu bagaimanapun musibah ataupun fitnah yang datang, yang buruk ataupun yang baik, duka cita atau sukacita, namun ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasul hendaklah dipegang teguh, sekali-kali jangan berubah. Karena banyak orang, apabila musibah buruk menimpa dirinya, dia pun tidak lagi taat kepada Allah dan Rasul. Dia pun gelisah! Sebaliknya pula kalau dia mendapat kehidupan yang senang, mewah, dan megah, dia pun tidak dapat lagi ke masjid! “Maka jika kamu berpaling" dari Allah dan Rasul, hanya menurutkan kehendak hatinya sendiri saja, “Sesungguhnya atas Rasul kami" hanya sekadar
“Menyampaikan yang tenang."
Artinya, jika kamu berpaling, padahal kewajiban dakwah telah dilakukan dengan baik oleh Rasul itu, maka Rasul itu tidak salah lagi, dan kalau kamu merugi kelak di akhirat karena kamu berpaling, janganlah Rasul disesali.
Az-Zuhri berkata, “Risalah datang dari Allah, tabligh, atau menyampaikan adalah kewajiban Rasul, sedang taslim dan ketaatan adalah kewajiban kita."
Ayat 13
“Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia.`
Inilah pokok pertama dari iman, kepada keyakinan ini dihimpunkan segala kepercayaan, dan dari sinilah sumber segala kekuatan hidup. Apabila keyakinan kepada Allah itu telah teguh, manusia beriman menjadi tahan menderita, kuat menghadapi segala kesulitan.
“Dan kepada Allah hendaklah bertawakal orang-orang yang beriman."
Maka di dalam menempuh segala perlengkapan ingatlah pegangan ini, yaitu meneguhkan kepercayaan atas Keesaan Allah sehingga segala ingatan, segala cita-cita, segala tujuan terhimpun kepada Allah. Sebagaimana yang telah diterangkan pada ayat 11 tadi, apa pun musibah yang akan datang menimpa diri, asal sudah tawakal, menyerah bulat, atau pasrah, dengan sendirinya jiwa menjadi kuat. Karena dalam pengalaman hidup orang yang beriman kepercayaan terhadap Allah dan aqidah tauhid, menyebabkan jiwa menjadi kebal menghadapi segala kemungkinan. Tawakal atau menyerah diri kepada Yang Esa, adalah akibat yang wajar dari aqidah tauhid.
Dengan tawakal bukan berarti manusia berhenti berusaha. Segala daya dan upaya sebagai insan, segala kecerdikan dan kecerdasan akal akan dipergunakan dengan sebaik-baiknya, tetapi seorang Mukmin sangatlah insaf bahwa kepandaiannya, ikhtiar, dan usahanya sebagai manusia adalah sangat terbatas. Sangat banyak hal yang gaib bagi manusia, bahwa hal yang nyata pun bagi kebanyakan manusia masih gaib. Sebab itu maka yang selebihnya, yang di luar dari perhitungannya diserahkannya kepada Allah. Dengan demikian maka kalau suatu maksud belum tercapai atau suatu rencana gagal, tidaklah dia menyesal dan tidak mengeluh. Sebab dia sangat percaya bahwa Allah lebih tahu dari dia.
Imam Ahmad bin Hambal merawikan sebuah hadits dengan sanadnya dari Ubbadah bin Shamit bahwa seseorang pernah datang kepada Rasulullah ﷺ lalu bertanya, “Ya Rasul Allah! Apakah kiranya suatu amalan yang lebih afdhal aku kerjakan?" Rasulullah ﷺ menjawab,
“Iman kepada Allah dan membenarkan segala yang diturunkan dan berjihad pada jalan Allah."
Orang itu berkata selanjutnya, “Aku ingin yang lebih ringan dari itu, ya Rasul Allah." Beliau berkata,
“Jangan sekali-kali engkau menuduh Allah pada sesuatu hal yang telah ditentukan-Nya untuk engkau."
Percaya dan tawakal, bahwa tidak pernah Allah bermaksud jahat kepada hamba-Nya!
ISTRI DAN ANAK JADI MUSUH
Ayat 14
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya dari istri-istri kamu dan anak-anak kamu, ada yang jadi musuh bagi kamu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka."
Benar-benar disengaja atau tidak kadang-kadang istri dan anak-anak bisa saja jadi musuh, sekurang-kurangnya menjadi musuh-musuh yang akan menghambat cita-cita. Ibnu Abbas menceritakan bahwa setelah Rasulullah dan sahabat-sahabatnya yang setia hijrah ke Madinah, adalah beberapa orang penduduk yang yang tingal di Mekah itu, kian lama berpisah dengan Nabi kian terasa kebenaran dan kemuliaan beliau. Lantaran itu timbullah keinginan mereka hendak memeluk agama Islam dan pergi menuruti Nabi ﷺ ke Madinah. Tetapi setelah maksud itu diutarakannya kepada istri-istri dan anak-anak mereka, engganlah mereka mengikuti suami dan ayah mereka itu masuk Islam dan turut berangkat ke Madinah. Besar kemungkinan mereka merasa berat meninggalkan harta benda yang ada di Mekah dan tidak tahan menderita jika hijrah. Orang yang menyatakan telah beriman itu kagum bila mendengar teman-temannya yang hijrah itu telah banyak pengertian tentang agama, sedang mereka sudah jauh ketinggalan. Tetapi oleh karena istri-istri dan anak-anak tidak suka, maka adalah di antara mereka yang hendak menghukum mereka. Kata Ibnu Abbas, itulah sebab maka ayat ini turun, peringatan bahwa istri-istri dan anak-anak kadang ada di antara mereka yang jadi musuh, yaitu musuh cita-cita. Sebab itu disuruhlah orang yang beriman berhati-hati terhadap istri-istri dan anak-anak, jangan sampai mereka itu memengaruhi keyakinan. Tetapi jangan langsung mengambil sikap keras terhadap mereka, bimbinglah mereka baik-baik.
“Dan jika kamu memberi maaf dan menghabisi saja dan memberi ampun, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang."
Di pangkal ayat diterangkan dengan memakai min yang berarti daripada, artinya setengah daripada. Tegasnya bukanlah semua istri atau semua anak jadi musuh hanya kadang-kadang atau pernah ada. Hasil dan sikap mereka telah merupakan suatu musuh yang menghambat cita-cita seorang Mukmin sebagai suami atau sebagai ayah. Contoh dan istri yang jadi musuh suami akan kita temukan kelak pada akhir surah at-Tahriim, yaitu istri-istri dan dua orang nabi, Nabi Nuh dan Nabi Luth, lain sikap suami mereka lain pula pekerjaan mereka. Contoh permusuhan dari pihak anak bertemu pula pada Nabi Nuh, ketika salah seorang dari anaknya tidak suka ikut beliau menaiki bahtera yang telah disediakan, sehingga anak itu turut tenggelam. Sampai Allah memberikan keputusan kepada Nabi Nuh,
“Sesungguhnya dia bukanlah anak engkau; sesungguhnya dia ini adalah mempunyai amalan yang tidak saleh (perbuatan yang tidak baik)" (Huud: 46)
Sebab itu si anak sudah dianggap orang lain, bukan keluarga lagi.
Sikap istri-istri dan anak-anak yang demikian samalah dengan memusuhi. Tetapi oleh karena mereka bukan musuh yang harus ditentang dihadapi, Allah pun memberikan bimbingan bagaimana cara menghadapi mereka. Pertama, hendaklah memberi maaf saja. Kedua, anggap saja soal itu telah habis dan janganlah berputus asa, bimbinglah mereka dengan dada lapang, moga-moga mereka akan tunduk juga akhirnya kelak, sebab suami atau ayahnya harus menghadapi mereka dengan bijaksana. Kalau mereka terlanjur berbuat tantangan, tetapi akhirnya mereka tunduk dan patuh, maka segala kesalahan mereka yang telah lalu itu hendaklah diampuni.
Allah menyuruhkan seorang suami atau seorang ayah meniru sifat Allah, yaitu sudi memberi ampun dan bersifat penuh kasih sayang. Dengan kekerasan tidaklah didikan itu akan berhasil.
Itulah agaknya sebabnya maka seorang laki-laki yang beriman, kalau tidak dapat memilih jalan lain lagi, bolehlah dia beristri seorang Ahlul Kitab dengan tidak memaksa istrinya itu masuk Islam lebih dahulu. Tetapi hendaklah dia menunjukkan di hadapan istrinya itu budi dan sopan santun seorang yang beriman. Moga-moga dengan sikapnya itu, istrinya akhir kelaknya akan tertarik ke dalam Islam.
Demikian juga di dalam menghadapi dan mendidik anak-anak. Karena kadang- kadang terlalu jauh berbeda alam pikiran si ayah dengan si anak. Tetapi asal saja seorang ayah mendidik putranya dengan budi pekerti yang dapat dicontoh, si ayah akan tetap menjadi kebanggaan dari anaknya. Ilmu jiwa menunjukkan bahwa ayah yang budiman itu dipandang sebagai favorit, yaitu orang yang dibanggakan oleh putranya. Maka janganlah sampai anak itu menampak kekurangan budi pada ayahnya, sehingga dia kehilangan pegangan.
Ayat 15
“Hanyasanya harta benda kamu dan anak-anak kamu adalah cobaan."
Di tempat yang lain Allah berfirman bahwa
“Harta benda dan anak-anak adalah perhiasan hidup di dunia. Tetapi amal yang akan kekal, yang saleh itulah yang baik di nisi Allah engkau, dari segi pahala dan amat baik dari segi pengharapan." (al-Kahf: 46)
Bagaimanapun jua tiap orang bangga jika banyak hartanya. Bagaimanapun jua, tiap orang bangga jika anak-anaknya “jadi orang" memenuhi apa yang dia harapkan. Tetapi oleh karena keduanya itu perhiasan, keduanya pun dapat menjadi fitnah, artinya menjadi cobaan bagi keteguhan iman.
Rasulullah ﷺ pernah memberi ingat,
“Anak itu adalah buah hati; tetapi mereka itu membuat diri jadi bakhil dan penakut." (HR al-Bazzaar dari Abu Said. Dan beberapa hadits lain yang serupa artinya, meskipun agak berbeda-beda bunyinya)
Ibnu Katsir menerangkan dalam tafsirnya bahwa maksud harta dan anak jadi fitnah ialah buat cobaan dan ujian daripada Allah Ta'aala atas makhluk-Nya, untuk mengetahui adakah mereka bersyukur dengan harta dan anak itu, atau adakah mereka akan durhaka.
Karena harta orang dapat berperangai mementingkan diri sendiri dan jadi bakhil, tidak mau mengeluarkan mana yang telah masuk dan berat memberi kepada orang lain. Dan karena anak orang pun bisa hanya terikat dengan anak bini raja, tidak peduli kepada yang lain, hingga putus hubungannya dengan masyarakat.
Imam Ahmad bin Hambal meriwayatkan sebuah hadits, berita dari Abu Buraidah, bahwa pada suatu hari Nabi kita ﷺ sedang berkhutbah, tiba-tiba datanglah kedua orang cucunya, Hasan dan Husain yang ketika itu masih kecil-kecil, keduanya memakai gamis merah, berjalan berlari dan jatuh dengan gembiranya, sehingga sampai keduanya ke hadapan mimbar beliau. Lalu beliau turun dari mimbar, lalu keduanya beliau pangku dan beliau teruskan khutbahnya,
“Benar Allah dan Rasul-Nya bahwa harta benda kamu dan anak-anak kamu adalah fitnah (cobaan); kulihat kedua anak ini berjalan tertatih-tatih, maka aku pun tidak sabar lagi, aku hentikan pembicaraanku dan aku pangku keduanya." (HR at-Tirmidd dan Ashhabus Sunan)
“Dan Allah, di sisi-Nyalah pahala yang besar."
Begitulah halusnya didikan yang diberikan oleh ayat. Orang tidaklah langsung ditegur karena mencintai harta benda dan anak keturunan, cuma diberi ingat bahwa keduanya itu adalah cobaan. Maka kalau orang tidak lupa bahwa di sisi Allah adalah pahala yang besar, tidaklah akan sampai harta benda dan anak-anak itu akan menghalanginya di dalam menuju pahala yang disediakan oleh Allah, karena kalau amal ibadah tidak ada, harta itu memang bisa jadi musuh besar. Apatah lagi kalau harta itu didapat dari jalan yang tidak halal. Anak-anak itu pun kalau mereka telah dewasa, padahal didikan agama tidak ada pada mereka, bisa saja mereka jadi musuh ayahnya, karena berlain-lain pendirian dan berbeda-beda pemilihan. Nabi pun dengan tegas pernah mengatakan,
“Bukanlah musuh engkau, yang jika engkau bunuh dia adalah kemenangan buat engkau dan jika engkau yang dibunuhnya, engkau masuk surga. Tetapi yang mungkin akan jadi musuh besarmu ialah anakmu yang keluar dari sulbimu sendiri. Kemudian yang Akan menjadi musuhmu paling besar ialah harta benda yang engkau miliki sendiri." (HR ath-Thabarani dari Abu Malik al-Asy'ari)
Dari keterangan dalam kedua ayat ini, ayat 14 yang mengatakan bahwa harta dan anak mungkin jadi musuh dan ayat 15 yang mengatakan bahwa harta dan anak bisa membawa fitnah dan cobaan, bukanlah berarti mencegah orang ragu-ragu mengurus harta benda dan anak-anaknya, melainkan menyuruh berhati-hati, karena yang dituju ialah hidup yang diridhai oleh Allah. Sebab itu maka lanjutan ayat ialah.
Ayat 16
“Maka takwalah kepada Allah merunut kesanggupanmu."
Segala amal ibadah yang menghendaki tenaga, kerjakanlah sekadar tenaga yang ada padamu, baik tenaga badan maupun tenaga harta kekayaan. Ketahuilah bahwa perintah agama, tidaklah ada yang berat sehingga tidak dapat dipikul. Pada waktu Nabi ﷺ mendapat perintah supaya beliau menyampaikan perintah mengerjakan haji kepada umatnya, ada sahabat beliau yang bertanya,
“Apakah pada tiap-tiap tahun, ya Rasulullah?"
Mula pertanyaan itu datang seakan-akan tidak didengarnya. Tetapi setelah sampai tiga kali ditanyakan, barulah beliau jelaskan bahwa kalau aku katakan na'am atau memang, niscaya banyak di antara kalian yang tidak akan dapat mengerjakannya. Oleh sebab itu perintah mengerjakan haji yang wajib hanyalah satu kali yang pertama saja, yang selanjutnya adalah tathawwu', yaitu dikerjakan dengan sukarela kalau sanggup.
Demikian jugalah amalan yang lain- lain. Shalat yang wajib hanyalah lima waktu sehari semalam itu. Selebihnya adalah tambahan atau nawaafil, yang kita dianjurkan mengerjakannya kalau ada kesanggupan diri. Ada shalat tahajjud, shalat dhuha, shalat nawaafil sebelum (qabliyah) yang wajib atau sesudahnya (ba'diyah) atau yang lain-lain.
Puasa pun demikian, yang wajib ialah puasa bulan Ramadhan satu bulan penuh, selebihnya adalah tathawwu', ada puasa “hari putih", yaitu 13, 14 dan 15 hari bulan Qamariyah, atau puasa pada hari Senin dan Kamis, atau memperbanyak puasa pada bulan Syawwal. Semuanya itu kalau kita sanggup. Kalau akan memberati rasanya, baik bagi kesehatan atau bagi keuangan, tidaklah dimestikan.
Zakat pun demikian, ada zakat harta yang wajib dan ada zakat fitrah. Tetapi kita pun dianjurkan memperbanyak memberi hadiah, hibah dan sedekah sunnah. Yang anjuran tathawwu' ini diberi pahala kalau dikerjakan dan tidaklah berdosa kalau kita tidak sanggup.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda,
“Apabila aku perintahkan kepadamu suatu perintah, maka kerjakanlah olehmu menurut kesanggupan, dan apabila aku larang, hendaklah kamu hentikan." (HR Bukhari dan Muslim)
“Dan dengarkanlah!" Baik-baik perintah yang disampaikan oleh Rasul, supaya jangan ada keraguan, supaya jelas kaifiyat atau cara mengerjakannya. “Dan taatlah" artinya sesudah didengarkan baik-baik hendaklah dilaksanakan baik-baik pula, dipatuhi apa yang diperintahkan Rasul itu. Jangan hanya semata-mata didengar, padahal tidak dikerjakan, jangan diubah-ubah dari sepanjang yang didengar, jangan ditambah-tambah, karena itu adalah berbuat bid'ah dan jangan pula dikurangi, karena kalau dikurangi amalan itu tidak akan sah di sisi Allah. “Dan belanjakanlah yang baik untuk dirimu." Artinya janganlah segan dan enggan mengeluarkan belanja untuk menyempurnakan amalan dan ibadah, untuk melaksanakan perintah Allah dan Rasul menurut semestinya. Dimisalkan perintah Allah menyuruh kalau pergi ke masjid hendaklah berhias, atau berpakaian yang necis dan bersih terlebih dahulu. Maka nafkah atau perbelanjaan yang dikeluarkan itu faedahnya bukanlah buat orang lain, melainkan buat dirimu sendiri.
Ibnu Katsir menafsirkan, “Artinya keluarkanlah belanja dari rezeki yang dianugerahkan Allah kepadamu. Keluarkan itu untuk kamu sekeluarga, fakir dan miskin dan orang-orang yang amat memerlukan, dan berbuat baiklah kepada sesama hamba Allah sebagaimana Allah pun telah berbuat baik kepada kamu, semuanya itu kebaikannya terpulanglah kepada dirimu sendiri di dunia dan di akhirat. Kalau tidak kamu berbuat begitu, kamu jugalah yang akan celaka di dunia dan akhirat.
“Dan barangsiapa yang terpelihara dari kekiliruan dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung."
Kikir atau bakhil, atau lokek atau kedekut, semuanya sama artinya. Yaitu perangai dari orang-orang yang enggan mengeluarkan hartanya, merasa berat bercerai dengan uangnya. Sangat kasihan uang simpanannya akan keluar, terutama untuk membantu orang yang kesusahan, atau fakir miskin. Karena kikirnya itu sampai hati dia membiarkan orang yang meminta pertolongan pulang saja dengan tangan hampa.
Menurut penyelidikan ilmu jiwa, penyakit. syuhha atau bakhil ini adalah naluri tiap manusia, yang dalam bahasa Arab disebut ghariizah atau orang Barat menyebut instinct. Dia mesti ada pada tiap-tiap orang karena dia termasuk bagian ghariizah mempertahankan hidup atau keinginan mempunyai untuk mempertahankan hidup. Oleh sebab itu bila kelihatan saja seseorang miskin datang dari jauh, dengan bajunya yang kumal dan mukanya yang pucat pasi karena lapar, maka bisikan yang terlebih dahulu timbul dari dalam diri ialah muak atau tidak senang, sehingga terkata dalam hati, “Ah, orang ini hendak minta derma pula!" Maka dengan iman dan latihan, wajiblah seorang yang beriman mengendalikan dirinya jangan sampai naluri yang demikian memengaruhinya, sehingga menjadi penyakit, yaitu penyakit bakhil. Kalau kita ingin mempertahankan hidup dengan harta yang ada pada kita, maka insaflah bahwa kelebihan dari yang kita perlukan patut pula kita berikan ala kadarnya kepada orang lain yang ingin mempertahankan hidupnya pula. Di ujung ayat yang tengah kita tafsirkan ini dikatakan bahwa barangsiapa yang dapat membebaskan dirinya daripada perangai yang dapat melunturkan pribadinya sebagai insan yang baik. Sebab kikir itu adalah tersebab mementingkan diri sendiri. Padahal manusia tidaklah akan sanggup hidup menyendiri di dalam dunia ini.
Penulis tafsir ini merasakan sendiri rasa enggan memberi itu pada mulanya. Baru kelihatan orang akan datang meminta pertolongan dari jauh, nafsu syuhha atau nafsu bakhil ini telah menentang dari dalam. Tetapi setelah dilawan dan orang itu diterima dengan baik, lalu diberi pertolongan menurut kesanggupan yang ada, terasa ringannya dan segarnya kepala. Terasa bahwa diri telah berharga kembali karena telah dapat melawan perangai buruk egoistis, mementingkan diri sendiri itu dan terasa bahwa diri adalah salah seorang anggota masyarakat yang berguna.
MEMPIUTANGI ALLAH
Ayat 17
“Jika kamu pinjami Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipat gandakan-Nya bagi kamu dan akan diberi-Nya kamu ampun."
Memberi pinjaman kepada Allah, atau memberi piutang kepada Allah! Sepintas lalu alangkah ganjilnya susunan kalimat ini.
Di dalam Al-Qur'an kalimat qardhan (liyi) ini sampai bertemu dua belas kali, yaitu meminjami Allah atau mempiutangi Allah dengan pinjaman yang baik. Apakah Allah kekurangan harta?
Ayat 17 ini adalah berkait dengan ayat yang sebelumnya, yaitu bahwa orang yang dipengaruhi oleh nafsu syuhha, penyakit kikir dalam jiwa, enggan mengeluarkan hartanya jika orang yang miskin atau melarat datang meminta pertolongannya, karena padanya ada rasa ketakutan bahwa kalau harta itu dikeluarkannya tidak akan ada gantinya lagi. Sedang orang yang memohon pertolongan itu telah mendoa kepada Allah agar dia diberi Allah rezeki. Dan rezeki yang akan diberikan Allah kepadanya itu bukanlah laksana satu bungkusan besar yang diturunkan dari langit, laksana bungkusan yang diturunkan dari kapal terbang kepada orang yang terkurung karena banjir. Dan bukan pula uang yang terlonggok di balik batu besar. Sekarang dia datang kepada orang yang dianggapnya kaya, dianggapnya mampu. Dia percaya bahwa dengan perantaraan orang yang mampu itu pertolongan Allah akan diterimanya. Maka kepada orang hartawan yang disangka baik, jujur dan dermawan oleh si miskin inilah, Allah menyampaikan. Seakan-akan Allah berkata kepadanya, “Keluarkanlah terlebih dahulu rezeki yang telah Aku anugerahkan kepadamu itu, yang sekarang engkau simpan dalam almari besimu! Berikanlah dahulu itu kepadanya, karena pada hakikatnya harta yang sekarang engkau simpan itu datangnya dari Aku juga. Apabila engkau keluarkan. Aku berjanji akan menggantinya berlipat ganda! Dan yang terang terlebih dahulu Aku berikan sebelum ganti yang berlipat ganda ialah ampun atas kesalahan yang pernah engkau perbuat. Karena engkau sangat memerlukan pengampunan.
“Dan Allah adalah Maha Pembolos jasa, Maha Penyantun."
Dengan mengeluarkan uangmu terlebih dahulu, yang disebut Allah sebagai pinjaman kepada Allah, namanya engkau telah berjasa, jasamu itu tidak akan dilupakan Allah. Allah akan tetap mensyukurinya. Dia Penyantun, artinya Dia tidak akan membiarkan engkau terlantar. Nabi memperkuat firman Allah ini dengan sabdanya,
“Dan Allah tetap akan menolong seorang hamba, selama hamba itu sudi menolong saudaranya."
Ayat 18
“Yang Maha Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata."
Dia mengetahui yang gaib tersembunyi, walaupun di mana engkau simpan dan mengetahui pula yang nyata kelihatan. Sebab itu janganlah mencari dalih mengatakan tidak ada kepada orang yang minta tolong, padahal ada. “Yang Mahaperkasa;" lagi gagah, dapat berbuat sekehendak-Nya, sehingga orang kaya yang bakhil dalam sebentar waktu bisa saja dijatuhkannya jadi miskin.
“Mahabijaksana."
Sehingga dari sebab kebijaksanaan-Nya tidaklah ada sesuatu pun yang akan menyebabkan orang menyesal jika keputusan-Nya datang.
Selesai Tafsir Surah at-Taghaabun.