Ayat
Terjemahan Per Kata
وَأَنفِقُواْ
dan nafkahkan/belanjakan
مِن
dari
مَّا
apa
رَزَقۡنَٰكُم
Kami rizkikan kepadamu
مِّن
dari
قَبۡلِ
sebelum
أَن
bahwa
يَأۡتِيَ
datang
أَحَدَكُمُ
salah satu dari kamu
ٱلۡمَوۡتُ
kematian
فَيَقُولَ
lalu dia berkata
رَبِّ
ya Tuhanku
لَوۡلَآ
mengapa tidak
أَخَّرۡتَنِيٓ
Engkau akhirkan/undurkan aku
إِلَىٰٓ
sampai
أَجَلٖ
waktu
قَرِيبٖ
dekat
فَأَصَّدَّقَ
maka aku akan bersedekah
وَأَكُن
dan jadilah aku
مِّنَ
dari
ٱلصَّـٰلِحِينَ
orang-orang yang saleh
وَأَنفِقُواْ
dan nafkahkan/belanjakan
مِن
dari
مَّا
apa
رَزَقۡنَٰكُم
Kami rizkikan kepadamu
مِّن
dari
قَبۡلِ
sebelum
أَن
bahwa
يَأۡتِيَ
datang
أَحَدَكُمُ
salah satu dari kamu
ٱلۡمَوۡتُ
kematian
فَيَقُولَ
lalu dia berkata
رَبِّ
ya Tuhanku
لَوۡلَآ
mengapa tidak
أَخَّرۡتَنِيٓ
Engkau akhirkan/undurkan aku
إِلَىٰٓ
sampai
أَجَلٖ
waktu
قَرِيبٖ
dekat
فَأَصَّدَّقَ
maka aku akan bersedekah
وَأَكُن
dan jadilah aku
مِّنَ
dari
ٱلصَّـٰلِحِينَ
orang-orang yang saleh
Terjemahan
Infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami anugerahkan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang di antaramu. Dia lalu berkata (sambil menyesal), “Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian)-ku sedikit waktu lagi, aku akan dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang saleh.”
Tafsir
(Dan belanjakanlah) dalam berzakat (sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepada kalian sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kalian; lalu ia berkata, "Ya Rabbku! Mengapa tidak) lafal laula di sini bermakna halla, yakni kenapa tidak. Atau huruf la dianggap sebagai huruf zaidah dan huruf lau bermakna tamanni, yakni seandainya (Engkau menangguhkan aku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah) bentuk asli lafal ashshaddaqa adalah atashaddaqa, kemudian huruf ta diidghamkan ke dalam huruf shad sehingga jadilah ashshaddaqa, yakni supaya aku dapat membayar zakatku (dan aku termasuk orang-orang yang saleh?") seumpamanya aku akan menunaikan ibadah haji. Ibnu Abbas r.a. telah memberikan penafsirannya, bahwa tiada seseorang pun yang melalaikan untuk membayar zakat dan melakukan ibadah haji, melainkan ia meminta supaya kematiannya ditangguhkan di saat ia menjelang ajalnya.
Tafsir Surat Al-Munafiqun: 9-11
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi. Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata, "Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh.
Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk banyak berzikir mengingat-Nya, dan melarang mereka menyibukkan diri dengan harta dan anak-anak sehingga melupakan zikir kepada Allah. Dan juga Allah memberitahukan kepada mereka bahwa barang siapa yang terlena dengan kesenangan dunia dan perhiasannya hingga melupakan ketaatan kepada Tuhannya dan mengingat-Nya yang merupakan tujuan utama dari penciptaan dirinya, maka sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang merugi.
Yakni merugikan dirinya sendiri dan keluarganya kelak di hari kiamat. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menganjurkan mereka untuk berinfak dijalan ketaatan kepada-Nya. Untuk itu Allah berfirman: Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata, "Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh. (Al-Munafiqun: 10) Setiap orang yang melalaikan kewajiban pasti akan merasa menyesal di saat meregang nyawanya, dan meminta agar usianya diperpanjang sekalipun hanya sebentar untuk bertobat dan menyusul semua amal yang dilewatkannya.
Tetapi alangkah jauhnya, karena nasi telah menjadi bubur, masing-masing orang akan menyesali kelalaiannya. Adapun terhadap orang-orang kafir, keadaan mereka adalah sebagaimana disebutkan oleh firman-Nya: Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada waktu itu) datang azab kepada mereka, maka berkatalah orang-orang yang zalim, "Ya Tuhan kami, beri tangguhlah kami (kembalikan kami ke dunia) walaupun sebentar, niscaya kami akan mematuhi seruan Engkau dan akan mengikuti rasul-rasul. (Kepada mereka dikatakan), "Bukankah kamu telah bersumpah dahulu (di dunia) bahwa sekali-kali kamu tidak akan binasa? (Ibrahim: 44) Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala: (Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu) hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata, "Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan.
Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan. (Al-Muminun: 99-100) Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Munafiqun: 11) Yakni tidak memberi tangguh kepada seorang pun bila telah datang saat ajalnya. Dan Dia mengetahui terhadap orang yang berkata sejujurnya dalam permintaannya dari kalangan orang-orang yang seandainya dikembalikan niscaya akan mengulangi perbuatan jahat yang sebelumnya Karena itulah Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (Al-Munafiqun: 11) Abu Isa At-Turmirzi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdu ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Aun, telah menceritakan kepada kami Abu Janab Al-Kalabi, dari Adh-Dhahhak ibnu Muzahim, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa barang siapa yang mempunyai harta yang cukup untuk menghantarkannya sampai ke tempat suci guna menunaikan ibadah haji, atau mempunyai harta yang telah wajib dizakati, lalu dia tidak mengerjakannya, niscaya dia akah meminta untuk dikembalikan hidup ke dunia lagi di saat menjelang kematiannya.
Maka ada seorang lelaki yang memotong, "Wahai Ibnu Abbas, bertakwalah kepada Allah, karena sesungguhnya orang yang meminta untuk dikembalikan ke dunia itu hanyalah orang-orang kafir." Maka Ibnu Abbas menjawab, "Aku akan membacakan kepadamu hal yang menerangkannya dari Kitabullah," yaitu firman-Nya: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta-harictmu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang membuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.
Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata, '' Ya Tuhanku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh. (Al-Munafiqun: 9-10) sampai dengan firman-Nya: Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Munafiqun: 11) Lelaki itu bertanya, "Berapakah jumlah harta yang wajib dizakati?" Ibnu Abbas menjawab, "Apabila telah mencapai jumlah dua ratus (dirham) dan selebihnya." Lelaki itu bertanya, "Lalu apakah yang mewajibkan seseorang harus menunaikan ibadah haji?" Ibnu Abbas menjawab, "Bila telah mempunyai bekal dan kendaraan." Kemudian Imam At-Tirmidzi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdu ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, dari Ats-Tsauri, dari Yahya ibnu Abu Hayyah alias Abu Janab Al-Kalabi, dari Adh-Dhahhak, dari Ibnu Abbas, dari Nabi ﷺ dengan sanad yang semisal.
Kemudian Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini telah diriwayatkan pula oleh Sufyan ibnu Uyaynah dan lain-lainnya dari Abu Janab Al-Kalabi, dari Adh-Dhahhak, dari Ibnu Abbas dan dikategorikan termasuk perkataan Ibnu Abbas; dan riwayat inilah yang paling shahih. Abu Janab Al-Kalabi dinilai dha’if. Menurut hemat kami, riwayat Adh-Dhahhak dari Ibnu Abbas terdapat inqita' (mata rantai perawi yang terputus); hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Nufail, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu ‘Atha’, dari Maslamah Al-Juhani, dari pamannya (yakni Abu Misyja'ah ibnu Rib'i), dari Abu Darda yang mengatakan bahwa kami membincangkan tentang penambahan usia di hadapan Rasulullah ﷺ Maka beliau ﷺ bersabda: Sesungguhnya Allah tidak akan menangguhkan usia seseorang apabila telah tiba saat ajalnya. Sesungguhnya penambahan usia itu hanyalah bila Allah memberi kepada seseorang hamba keturunan yang saleh yang mendoakan untuknya, maka doa mereka sampai kepadanya di alam kuburnya. Demikianlah akhir tafsir surat Al-Munafiqun, segala puji dan karunia adalah milik Allah, dan hanya kepada-Nya dimohonkan taufik dan pemeliharaan."
Ayat ini menghimbau orang-orang beriman untuk memfungsikan harta dengan benar. Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu untuk kepentingan duafa, fasilitas umum, dan fasilitas sosial sebelum kematian datang kepada salah seorang di antara kamu sehingga kamu tak sempat berinfak; lalu dia berkata setelah kematian terjadi, menyesalinya, 'Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda kematianku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dengan hartaku ini dan aku dengan demikian akan termasuk orang-orang yang saleh, karena menjadi dermawan. 11. Dan Allah tidak akan menunda kematian seseorang apabila waktu kematiannya telah datang dengan memperpanjang hidupnya. Dan Allah Mahateliti dengan cermat tentang apa yang kamu kerjakan.
Pada ayat ini, Allah menganjurkan agar orang-orang mukmin membelanjakan sebagian rezeki yang telah dikaruniakan kepadanya, sebagai tanda syukur atas nikmat-Nya. Hal itu bisa berupa menyantuni anak-anak yatim, orang-orang fakir miskin, dan sebagainya. Hal ini merupakan bekal untuk akhirat untuk dinikmati di hari kemudian. Janganlah kekayaan itu hanya ditumpuk untuk diwarisi oleh para ahli waris yang belum tentu akan memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya serta mendatangkan kegembiraan, atau untuk disia-siakan yang akan mengakibatkan kekecewaan. Kekayaan yang ada pada seseorang, bagaimanapun banyaknya, hanya tiga macam yang menjadi miliknya, sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda:
Mutharrif bin Syu'bah meriwayatkan dari ayahnya berkata, "Aku mendatangi Nabi saw, sedangkan beliau sedang membaca ayat 'alhakumut-takatsur." Lalu Nabi ﷺ bersabda, "(Ada seorang) manusia mengatakan 'hartaku-hartaku." Nabi ﷺ bersabda lagi, "Wahai manusia, kamu tidaklah memiliki harta (yang kamu kumpulkan), melainkan apa yang kamu makan maka telah habis, apa yang kamu pakai maka telah lusuh, dan apa yang kamu sedekahkan maka telah berlalu." (Riwayat Muslim)
Membelanjakan harta benda untuk kemanfaataan dunia dan akhirat, janganlah ditunda-tunda sampai datang sakaratul maut. Dan jangan berandai-andai kalau-kalau umurnya masih bisa diperpanjang atau kematiannya masih bisa ditunda. Ia harus membelanjakan harta bendanya kepada yang diridai Allah, dan beramal baik sehingga ia dapat digolongkan bersama orang-orang yang saleh sebelum ajal tiba, karena apabila ajal telah sampai pada batasnya, tak dapat lagi diubah, dimajukan, atau ditangguhkan.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
HARTA DAN ANAK MELALAIKAN KAMU
Ayat 9
“Wahai orang-orang yang beriman!"
Sesudah dari ayat 1 sampai 8, Allah memberikan pandangan tentang laku perangai orang munafik, yang timbul kemunafikan itu karena sejak semula jiwa memang telah berlaku tidak jujur membesarkan diri, ingin terkemuka tetapi tidak menerima kebenaran; di akhir Allah memberi ingat kepada orang yang mengaku beriman agar mereka jangan sampai terperosok ke dalam suasana kemunafikan itu. Di antara sebabnya yang terpenting ialah karena hidup telah diliputi dengan ke-bimbangan. Di antara yang menyebabkan jadi bimbang ialah harta benda dan keturunan. Sebab itu Allah peringatkan, “Janganlah melalaikan kamu, harta benda kamu dan jangan anak-anak kamu daripada mengingat Allah." Pertama harta, kedua anak-anak, kerapkali membuat orang jadi bimbang dalam mengingat Allah; pikirannya jadi tertumpu semata-mata untuk mengumpulkan harta, supaya kaya raya. Sejak zaman dahulu kala, terutama sebelum manusia seramai sekarang, kemegahan dunia yang utama ialah harta benda, kekayaan, dan anak-anak keturunan. Keduanya menaikkan nilai harga seseorang di mata masyarakat. Meskipun banyak harta, belumlah dimuliakan orang, kalau tidak ramai keturunan. Keturunan saja adalah membawa melarat, apatah lagi kalau keturunan itu sudah berkembang biak, padahal harta yang akan diwariskan tidak ada. Oleh sebab itu banyaklah orang yang pikirannya hanya tertumpu untuk mencari harta sebanyak-banyaknya dan berkembang biak sebanyak-banyaknya pula. Sehingga kadang-kadang pikiran hanya tertumpu ke sana saja, lalu lalai mengingat Allah. Kian lama Allah kian dilupakan, yang diingat hanya harta, kekayaan, kemegahan, keturunan. Asal harta dapat berlipat ganda, tidak lagi diingat dari mana sumbernya, dari yang halal atau yang haram. Dari kejujuran atau dari korupsi! Di ujung ayat Allah memberi ingat,
“Dan barangsiapa yang berbuat demikian, maka itulah orang-orang yang rugi."
Mengapa jadi rugi? Karena mereka menyangka kekayaan itu ialah harta yang bertumpuk. Mereka lupa bahwa kekayaan benda akan kosong artinya, kalau tidak ada kekayaan jiwa dengan senantiasa ingat kepada Allah. Orang yang demikian, bagaimanapun banyak hartanya dan berkembang biak keturunannya, dia adalah rugi! Sebab kekayaan harta tanpa kekayaan batin adalah kemiskinan, adalah siksa yang tidak berkeputusan. Dia hanya mengumpulkan harta itu untuk dilicin- tandaskan kelak oleh anak-anaknya, dan dia sendiri tidak merasakan nikmat batin dari harta itu. Kalau dia sendiri tidak lagi banyak mengingat Allah, tentu begitu pulalah anak-anak keturunannya kelak. Maka kalau dia meninggal kelak, tidaklah ada di antara anak dan keturunan itu yang akan mendoakannya, sehingga penderitaannya di alam barzakh tidak dapat diringankan.
Tafsir Ibnu Taimiyah, ialah menafsirkan Al-Qur'an dengan Al-Qur'an. Di dalam ayat ini dijelaskan bahwa orang yang telah lalai mengingat karena dirintangi oleh harta benda dan anak-anak, adalah orang yang rugi. Bagaimanapun tumpukan kekayaan yang ditinggalkannya atau perkembangan anak- cucunya, namun kemegahan itu hanya di dunia saja. Namun dia akan kembali ke hadirat Allah sebagai seorang yang miskin. Yang akan dibawa ke akhirat hanyalah iman dan amal saleh; kalau itu tidak ada, artinya ialah rugi dan melarat. Sebaliknya ingat dan perhatikanlah kembali ayat 10, 11, dan 12 dari surah ash-Shaff. Di situ Allah memberikan petunjuk tentang perniagaan yang akan memberikan laba berganda lipat, dengan modal hanya empat macam saja. Pertama, percaya (iman) kepada Allah. Kedua, iman kepada Rasul. Ketiga, berjihad di jalan Allah dengan harta yang ada. Keempat, berjihad kepada Allah dengan jiwa raga. Keuntungan yang akan didapat pun berlipat ganda, yang disimpulkan dalam empat bagian pula. Pertama, dosa-dosa diampuni. Kedua, dimasukkan ke dalam surga yang indah dan surga ‘Adn. Ketiga, rumah-rumah gedung yang sangat disenangi dalam surga ‘Adn. Keempat, lain-lain yang dikehendaki, terutama nashrun minallaahi (pertolongan dari Allah) dan fathun qariib (kemenangan yang telah dekat).
Kemudian perhatikan lagi ayat 10 dari surah al-Jumu'ah, bahwa mencari karunia dari Allah tidaklah terlarang. Bahkan kalau telah selesai beribadah, terutama di sini shalat Jum'at carilah karunia Allah. Karunia Allah itu jauh lebih luas dari hanya semata-mata harta benda. Carilah karunia itu sebanyak-banyaknya. Harta benda pun perlu banyak untuk digunakan bagi menegakkan jalan Allah, sebagai tersebut dalam ayat 11, surah ash-Shaff tadi. Untuk berzakat, untuk belanja kendaraan dan perbekalan (Zaad dan Raahilah) naik haji, untuk mengembara di muka bumi menambah pengalaman dan ilmu pengetahuan, untuk membeli buku-buku yang berharga menambah ilmu, untuk menjaga martabat dan muruah yang amat diperlukan dalam hidup. Tetapi di ujungnya sekali lagi diperingatkan oleh Allah supaya ingatlah kepada Allah sebanyak-banyaknya, supaya kamu mendapat keberuntungan atau kemenangan.
Tetapi kalau yang dicari hanya harta dan yang dibanggakan hanya anak dan keturunan, sampai lupa dan lalai mengingat Allah, rugilah yang akan dapat, seperti tersebut dalam ayat 9 yang sedang kita renungkan ini.
Ayat 10
“Dan belanjakanlah dari apa yang Kami rejekikan kepada kamu, sebelum datang kepada seseorang di antana kamu maut."
Itulah jalan utama untuk membebaskan diri daripada pengaruh harta benda itu. Nafkahkanlah rezeki itu pada jalan Allah sebelum maut datang. Karena kalau kamu sudah mati, harta itu tidak kamu yang empunya lagi, kalau tidak engkau nafkahkan waktu kamu masih hidup, akan rugilah engkau. Tenagamu telah habis, dari muda sampai tua untuk mengumpulkannya, padahal engkau tidak mendapat keuntungan daripadanya, bahkan itulah kerugian besar. Kerugian tenaga. Dan sampai di hadapan Allah kelak di hari Kiamat semua harta itu akan diperhitungkan, akan dipertanggungjawabkan, dari mana engkau dapat, dari yang halal atau yang haram? Bahkan kalau harta itu dilicin tandaskan kepada jalan maksiat oleh pewaris yang menerimanya, engkau pun masih bertanggung jawab, karena engkau tidak meninggalkan pusaka iman untuk kembali hidup bagi waris itu.
Diperintahkan di lanjutan ayat bagaimana asalnya orang yang didatangi maut padahal dia merasa belum siap.
“Sehingga berkatalah dia, Tuhanku! Mengapa tidak Engkau tangguhkan aku kepada suatu ajal yang terdekat, supaya aku bersedekah dan supaya termasuk aku dalam golongan orang-orang yang saleh?'"
Itu adalah satu keluhan yang percuma minta mundur barang sejenak; berapa sejenaknya diundurkan? Bukankah keinginan untuk hidup bagi orang yang hati telah dikebat oleh dunia itu tidak terbatas?
Allah menegaskan bahwa permohonan itu tidak mungkin dikabulkan. Sebab,
Ayat 11
“Dan sekali-kali tidaklah Allah Akan menangguhkan seseorang apabila ajalnya sudah datang."
Timbul keluhan demikian ialah karena hati lekat kepada harta benda dan kepada anak dan keturunan tadi, sehingga lalai mengingat Allah; maka terkejutlah setelah malaikat maut datang. Minta tangguh, tangguh tidak diberi. Ajal telah ditentukan sejak dari rahim bunda lagi,
Sekali lagi mari tafsirkan ayat dengan ayat; tafsirkan pula ayat terakhir surah al- Munaafiquun ini dengan akhir surah al-Jumu'ah yang sebelumnya. Setengah orang bimbang hatinya mengerjakan ibadah, bahkan mendengarkan khutbah Rasulullah yang tengah berdiri memberi mereka pengajaran dan peringatan, lalu mereka berlari-lari keluar masjid mengejar bunyi genderang dan sorak-sorai barang dagangan; maka disuruhlah Nabi kita memberi peringatan, “Katakanlah, apa yang telah tersedia di sisi Allah, itulah yang lebih baik daripada permainan dan perniagaan."
Maka kalau telah dirasakan Halawatul Iman (manisnya iman), tertujulah mata hati memandang jauh, yaitu kerinduan kepada apa yang telah tersedia di sisi Allah itu, dalam surga Jannatun Na'im; dan puncak karunia itu ialah melihat wajah Allah!
Kalau perasaan itu telah tumbuh, niscaya timbullah kerinduan bertemu dengan Allah (Liqaa-ullah). Maka kalau ajal datang, malaikat maut tiba, dia pun bersedialah menerima panggilan, walau di saat itu juga.
Di akhir ayat Allah mengeluarkan alasannya yang teguh,
“Dan Allah sangatlah mengenal apa yang kamu kerjakan."
Allah sangat mengenal bahwa penyesalan dan permohonan tangguh di waktu maut datang itu hanya semata-mata karena takut, karena iman kurang, amal tak ada, hati lekat kepada dunia. Maka kenalah orang yang menyesal itu dengan pepatah Melayu yang terkenal, “Pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada berguna."
Di penutup tafsirnya atas surah ini, Ibnu Katsir memberi harapan bahwa umur manusia dapat dipanjangkan Allah, tetapi dengan jalan yang lain. Dari Abu Darda, berkata dia, “Pernahlah kami memperkatakan hal pertambahan umur di hadapan Rasulullah ﷺ maka beliau bersabda,
“Sesungguhnya Allah tidaklah akan menangguhkan bagi seseorang hamba apabila tiba ajalnya. Hanya pertambahan dalam hal umur itu ialah dengan diberi Allah rezeki dengan keturunan yang saleh yang mendoakannya, lalu doa itu menurutinya ke dalam kuburnya." (HR Ibnu Abi Hatim)
Selesai Tafsir Surah al-Munaafiquun.