Ayat
Terjemahan Per Kata
وَإِذَا
dan apabila
رَأَوۡاْ
mereka melihat
تِجَٰرَةً
perniagaan
أَوۡ
atau
لَهۡوًا
permainan
ٱنفَضُّوٓاْ
mereka menuju
إِلَيۡهَا
kepadanya
وَتَرَكُوكَ
dan mereka meninggalkan kamu
قَآئِمٗاۚ
berdiri
قُلۡ
katakanlah
مَا
apa
عِندَ
disisi
ٱللَّهِ
Allah
خَيۡرٞ
lebih baik
مِّنَ
dari
ٱللَّهۡوِ
permainan
وَمِنَ
dan dari
ٱلتِّجَٰرَةِۚ
perniagaan
وَٱللَّهُ
dan Allah
خَيۡرُ
sebaik-baik
ٱلرَّـٰزِقِينَ
pemberi rizki/imbalan
وَإِذَا
dan apabila
رَأَوۡاْ
mereka melihat
تِجَٰرَةً
perniagaan
أَوۡ
atau
لَهۡوًا
permainan
ٱنفَضُّوٓاْ
mereka menuju
إِلَيۡهَا
kepadanya
وَتَرَكُوكَ
dan mereka meninggalkan kamu
قَآئِمٗاۚ
berdiri
قُلۡ
katakanlah
مَا
apa
عِندَ
disisi
ٱللَّهِ
Allah
خَيۡرٞ
lebih baik
مِّنَ
dari
ٱللَّهۡوِ
permainan
وَمِنَ
dan dari
ٱلتِّجَٰرَةِۚ
perniagaan
وَٱللَّهُ
dan Allah
خَيۡرُ
sebaik-baik
ٱلرَّـٰزِقِينَ
pemberi rizki/imbalan
Terjemahan
Apabila (sebagian) mereka melihat perdagangan atau permainan, mereka segera berpencar (menuju) padanya dan meninggalkan engkau (Nabi Muhammad) yang sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah, “Apa yang ada di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perdagangan.” Allah pemberi rezeki yang terbaik.
Tafsir
(Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya) yakni kepada barang dagangan, karena barang dagangan itu merupakan kebutuhan yang mereka perlukan, berbeda dengan permainan (dan mereka tinggalkan kamu) dalam khotbahmu (dalam keadaan berdiri. Katakanlah, "Apa yang di sisi Allah) berupa pahala (lebih baik) bagi orang-orang yang beriman (dari permainan dan perniagaan," dan Allah sebaik-baik pemberi rezeki) bila dikatakan, setiap orang itu memberi rezeki kepada keluarganya, maka pengertian yang dimaksud ialah dari rezeki Allah ﷻ
Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah, "Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan, dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezeki. Allah subhanahu wa ta’ala mengecam orang-orang yang bubar meninggalkan khotbah Jumat karena menuju ke tempat perniagaan yang baru tiba di Madinah di masa itu. Untuk itu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). (Al-Jumu'ah: 11) Maksudnya, pergi meninggalkanmu yang sedang berkhotbah di atas mimbar. Demikianlah menurut takwil yangdikemukakan oleh paratabi'in yang bukan hanya seorang, yang antara lain ialah Abul Aliyah, Al-Hasan, Zaid ibnu Aslam, dan Qatadah.
Muqatil ibnu Hayyan menduga bahwa barang dagangan tersebut adalah milik Dihyah ibnu Khalifah sebelum dia masuk Islam, dia memakai genderang dalam menjajakan barang dagangannya, akhirnya mereka bubar menuju ke tempat perniagaan itu dan meninggalkan Rasulullah ﷺ yang sedang berkhotbah di atas mimbarnya, terkecuali sebagian kecil dari mereka yang tidak terpengaruh. Hal ini diperkuat dengan adanya sebuah hadits yang menceritakannya. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris, dari Husain, dari Salim ibnu Abul, Ja'd, dari Jabir yang mengatakan bahwa iringan kafilah perniagaan datang ke Madinah di saat Rasulullah ﷺ sedang berkhotbah, maka orang-orang pun bubar menuju ke arahnya dan yang tersisa hanyalah dua belas orang lelaki yang tetap di tempatnya.
Maka turunlah firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya. (Al-Jumu'ah: 11) Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim telah mengetengahkan hadits yang sama di dalam kitab shahih masing-masing. Al-Hafidzh Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Hasyim, dari Husain, dari Salim ibnu Abul Ja'd dan Abu Sufyan, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa ketika Rasulullah ﷺ sedang berkhotbah Jumat, datanglah iringan kafilah ke Madinah.
Maka para sahabat bergegas menuju kepadanya, sehingga tiada yang tertinggal bersama Rasulullah ﷺ selain dari dua belas orang lelaki. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaanNya, seandainya kalian semua terpengaruh hingga tiada seorang pun dari kalian yang tersisa, niscaya lembah ini akan mengalirkan api membakar kalian semua. Lalu turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya: Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). (Al-Jumu'ah: 11) Jabir ibnu Abdullah melanjutkan, bahwa di antara kedua belas orang yang tetap mendengarkan khotbah Rasulullah ﷺ adalah Abu Bakar dan Umar Di dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). (Al-Jumu'ah: 11) terkandung dalil yang menunjukkan bahwa imam melakukan khotbahnya pada hari Jumat dengan berdiri. Imam Muslim telah meriwayatkannya di dalam kitab sahihnya melalui Jabir ibnu Samurah yang telah menceritakan bahwa Nabi ﷺ melakukan dua khotbah, dan melakukan duduk di antara keduanya.
Di dalam khotbahnya beliau ﷺ membaca Al-Qur'an dan memberikan peringatan kepada manusia. Akan tetapi, perlu diketahui dalam hal ini bahwa menurut suatu pendapat kisah ini terjadi ketika Rasulullah ﷺ mendahulukan shalat Jumat atas khotbahnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud di dalam Kitabul Marasil-nya. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Mahmud ibnu Khalid, dari Al-Walid, telah menceritakan kepadaku Abu Mu'az Bukair ibnu Ma'ruf, bahwa ia pernah mendengar Muqatil ibnu Hayyan mengatakan bahwa dahulu Rasulullah ﷺ melakukan shalat Jumatnya sebelum khotbahnya, sama halnya dengan shalat dua hari raya. Dan akhirnya pada suatu hari ketika Nabi ﷺ sedang berkhotbah, datanglah seorang lelaki yang masuk ke dalam kumpulan jamaah shalat Jumat, lalu ia berkata memberitakan, bahwa sesungguhnya Dihyah ibnu Khalifah telah tiba dengan membawa barang dagangan.
Makna yang dimaksud ialah menganjurkan kepada mereka untuk bubar dan menyambut kafilah tersebut, sehingga tiada yang tersisa kecuali hanya sejumlah kecil saja dari sahabat Rasulullah ﷺ Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Katakanlah, Apa yang di sisi Allah." (Al-Jumu'ah: 11) Yakni berupa pahala di negeri akhirat nanti. "adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan, dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezeki. (Al-Jumu'ah: 11) bagi orang yang bertawakal kepada-Nya dan mencari rezeki tepat pada waktunya. Demikianlah akhir dari tafsir surat Al-Jumu'ah. Segala puji bagi Allah dan semua karunia dari-Nya, dan hanya kepada-Nya memohon taufik dan pemeliharaan."
Ayat sebelumnya mengingatkan orang-orang beriman agar kembali bekerja mencari rezeki yang halal apabila sudah melaksanakan salat Jumat. Ayat ini menegur kaum muslim yang meninggalkan Rasulullah ketika sedang menyampaikan khutbah Jumat untuk berburu barang dagangan. Dan apabila mereka, orang-orang beriman yang sedang menyimak khutbah Jum'at, melihat perdagangan, kafilah dagang yang membawa barang-barang berharga tiba di Madinah atau permainan, hiburan musik dan tari yang diselenggarakan guna menyambut kafilah dagang yang baru tiba dari Syam, mereka, sebagian besar orang-orang yang sedang menyimak khutbah Jumat itu, segera menuju kepadanya, ke tempat kafilah dagang dan hiburan itu; dan mereka meninggalkan engkau Muhammad yang sedang berdiri, menyampaikan khutbah Jumat. Katakanlah, wahai Muhammad kepada mereka, ?Apa yang ada di sisi Allah, kenikmatan surga yang diberikan kepada orang yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya lebih baik daripada permainan, hiburan, musik dan tari, dan perdagangan barang-barang berharga yang dicari dan disukai manusia.? Dan Allah pemberi rezeki yang terbaik kepada setiap manusia. 1. Apabila orang-orang munafik di Madinah datang kepadamu Muhammad, lalu mereka berkata di hadapanmu, ?Kami mengakui bahwa engkau adalah Rasul Allah,? untuk menunjukkan bahwa mereka beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka janganlah engkau percaya terhadap ucapan mereka. Dan sebaliknya yakinlah, Allah mengetahui bahwa engkau benar-benar Rasul-Nya dengan menurunkan wahyu dan melindungimu; dan Allah menyaksikan dengan menunjukkan bukti kepada kamu bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta tentang pengakuannya bahwa mereka beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Ahmad, dan at-Tirmidhi dari Jabir bin 'Abdullah bahwa ketika Nabi ﷺ berdiri berkhotbah pada hari Jumat, tiba-tiba datanglah rombongan unta (pembawa dagangan), maka para sahabat Rasulullah bergegas mendatanginya sehingga tidak ada yang tinggal mendengarkan khotbah kecuali 12 orang. Saya (Jabir), Abu Bakar, dan Umar termasuk mereka yang tinggal, maka Allah Ta'ala menurunkan ayat: wa idha ra'au tijaratan au lahwan, sampai akhir surah).
Pada ayat ini Allah mencela perbuatan orang-orang mukmin yang lebih mementingkan kafilah dagang yang baru tiba dari pada Rasulullah, sehingga mereka meninggalkan Nabi ﷺ dalam keadaan berdiri berkhotbah. Ayat ini ada hubungannya dengan peristiwa kedatangan Dihyah al-Kalbi dari Syam (Suriah), bersama rombongan untanya membawa barang dagangannya seperti tepung, gandum, minyak dan lain-lainnya. Menurut kebiasaan apabila rombongan unta dagangan tiba, wanita-wanita muda keluar menyambutnya dengan menabuh gendang, sebagai pemberitahuan atas kedatangan rombongan itu, supaya orang-orang datang berbelanja membeli barang dagangan yang dibawanya.
Selanjutnya Allah memerintahkan Nabi-Nya supaya menyampaikan kekeliruan perbuatan mereka dengan menegaskan bahwa apa yang di sisi Allah jauh lebih baik daripada keuntungan dan kesenangan dunia. Kebahagiaan akhirat itu kekal, sedangkan keuntungan dunia akan lenyap.
Ayat ini ditutup dengan satu penegasan bahwa Allah itu sebaik-baik pemberi rezeki. Oleh karena itu, kepada-Nyalah kita harus mengarahkan segala usaha dan ikhtiar untuk memperoleh rezeki yang halal, mengikuti petunjuk-petunjuk-Nya dan rida-Nya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SHALAT JUM AT
Ayat 9
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila diseru kamu kepada shalat pada Hari Jum'at, maka bersegeralah kepada mengingat Allah."
Ayat ini menunjukkan bahwa shalat Jum'at ini adalah wajib bagi barangsiapa yang mendengar seruan, yaitu adzan. Kalau yang dipahamkan hanya ayat ini saja, niscaya tidaklah wajib pergi ke Jum'at bagi orang yang tidak mehdengarnya. Tetapi tiga orang ulama sahabat, yaitu Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, dan Abu Hurairah berpendapat, bahwa dalam satu kota batas enam mil wajiblah bersegera pergi ke Jum'at. Menurut Rabi'ah batas empat mil. Menurut Imam Malik dan Laits batas tiga mil. Menurut Imam Syafi'i ukurannya ialah seorang muadzin yang amat lantang suaranya, angin tenang, dan muadzin itu berdiri di atas dinding kota.
Tetapi menurut hadits shahih dari Bukhari yang diterima dari Aisyah, bahwa penduduk kampung ketinggian (awaali) di Madinah datang pergi berjum'at dari kampung mereka di luar kota Madinah yang jauhnya sekira tiga mil. Dalam hal ini lebih dekatlah kepada paham kita pendapat yang dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah dan murid-murid beliau: wajib ke Jum'at bagi penduduk suatu kota, didengarnya seruan itu ataupun tidak didengarnya; dan yang bukan penduduk kota itu, walaupun adzan didengarnya, tidaklah dia wajib berjum'at."
Niscaya dapatlah kita perluas apa yang dimaksud dengan seruan itu. Karena kalau Jum'at baru diwajibkan kalau adzan sudah terdengar, pada imam Jum'at yang mengikuti Sunnah bahwa adzan hanya satu kali, yaitu setelah imam khatib telah naik ke mimbar, niscaya banyak orang yang tidak akan terkejar olehnya pergi ke Jum'at dan mendengarkan khutbah, kalau wajibnya baru setelah adzan didengarnya. Sedang adzan yang menurut Sunnah itu dilakukan ialah sesudah waktu masuk, setelah imam naik ke mimbar.
Melihat kepada perbuatan sahabat-sahabat Rasulullah, nyatalah bahwa mereka sejak pagi-pagi hari telah bersiap pergi ke masjid, dengan tidak menunggu lebih dahulu ada orang melakukan adzan. Ini dikuatkan oleh sebuah hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda,
“Barangsiapa yang mandi pada Hari Jum'at seperti mandi jinabat, kemudian dia pergi (ke masjid untuk Shalat Jum'at), samalah keadaannya dengan berkurban seekor unta. Barangsiapa yang pergi pada saat kedua, sama dengan berkurban seekor sapi. Barangsiapa pergi pada saat ketiga sama dengan berkurban seekor domba. Barangsiapa yang pergi saat keempat sama dengan berkurban seekor ayam. Barangsiapa pergi saat kelima sama dengan berkurban sebutir telur; maka apabila, imam telah keluar, hadirlah Malaikat-malaikat turut mendengarkan dzikir." (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa'i, juga riwayat Imam Malik dalam al-Muivatha')
Dengan adanya hadits ini disertai pula dengan hadits-hadits lain yang sama maknanya dapatlah pula kiranya kita pahamkan bahwa terdengar atau tidak seruan adzan, namun seruan telah ada langsung dari Allah sendiri, dengan ayat ini. Apatah lagi shalat Jum'at itu hanya sekali tiap hari Jum'at itu saja, sehingga bila hari Jum'at telah masuk, orang yang beriman dengan sendirinya telah bersedia.
“Dan tinggalkanlah jual beli." Artinya ialah bagi orang yang sedang berjual beli, hendaklah ditinggalkannya jual beli apabila seruan adzan sudah terdengar. Dan walaupun tidak terdengar adzan itu, karena adzan dilakukan ialah setelah waktu Jum'at masuk, yaitu bersamaan dengan waktu Zhuhur, maka lekaslah tinggalkan jual beli, tutuplah kedai. Dengan perintah kepada orang beriman agar bersegera pergi ke Jum'at apabila seruan telah sampai, dan dengan perintah menghentikan jual beli, diambillah kesimpulan bahwa Jum'at adalah wajib.
Meskipun ada juga qaul-qaul yang lemah yang mengatakan bahwa Shalat Jum'at itu adalah fardhu kifayah, namun kata yang kuat dari imam-imam ikutan, ialah wajib dan fardhu ‘ain. Hadits-hadits yang berhubungan dengan Jum'at ini meninggalkan kesan pada kita bahwa Jum'at adalah fardhu ‘ain.
Bersabda Rasulullah ﷺ,
“Barangsiapa yang meninggalkan Jum'at tiga kali berturut-turut dengan memandang enteng, akan dicap Allah atas hatinya." (HR Ibnu Majah, dari Abu al-Ja'ad adh-Dhamri)
Dan sebuah hadits lagi, sabda Nabi ﷺ,
“Hendaklah berhenti kaum itu dari meninggalkan Jum'at, atau akan dicap Allah hati mereka, maka jadilah mereka orang yang lalai."
Dan terdapat lagi sebuah hadits yang dirawikan dengan sanadnya oleh Ibnul Arabi, demikian bunyinya,
“Pergi ke Jum'at adalah wajib atas tiap-tiap orang Islam."
PERSIAPAN KE JUM AT
Tentu saja kalau hendak pergi ke Jum'at atau hendak mengerjakan shalat Jum'at, yang lebih dahulu wajib dikerjakan ialah berwudhu.
Sebab Al-Qur'an telah menentukan bahwa tiap-tiap hendak berdiri shalat hendaklah berwudhu lebih dahulu. Berwudhu adalah menjadi wajib, sebab shalat Jum'at adalah wajib. Sudah ada ketentuan dalam agama,
“Jika suatu kewajiban tidak sempurna dilakukan kecuali dengan suatu perkara, maka hukum melaksanakan perkara itu menjadi wajib pula."
Shalat tidak sempurna, atau tidak dapat dilakukan kalau tidak berwudhu lebih dahulu; sebab itu berwudhu jadi wajib.
Tentang mandi hari Jum'at terdapat pula perselisihan pendapat di antara ulama.
Setengah ulama mengatakan mandi pada hari Jum'at itu wajib sebagaimana wajibnya wudhu juga. Alasan mereka ialah sebuah hadits yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim, dari Abu Said al-Khudri,
“Mandi pada Hari Jum'at itu wajib atas tiap-tiap pemuda yang telah bermimpi." (HR Bukhari dan Muslim)
Arti Muhtalimun ialah pemuda yang telah mulai mimpi bersetubuh dengan perempuan sehingga keluar mani. Maka menurut hadits ini, walaupun pada malam Jum'at ini dia tidak bermimpi, namun dia diwajibkan juga mandi pagi Jum'at.
Tetapi hadits-hadits lain membawa kesimpulan bagi banyak ulama bahwa mandi hari Jum'at itu bukanlah wajib, melainkan sunnah yang sangat dianjurkan, demi kebersihan. Di antara haditsnya ialah sabda Rasulullah ﷺ, yang dirawikan oleh Imam Ahmad bin Hambal dari hadits Abu Ayyub al-Anshari, melalui Abdullah bin Ka'ab bin Malik,
“Barangsiapa yang mandi pada hari Jum'at dan dia gosokkan dan wangi-wangian istrinya jika ada padanya, lalu dipakainya yang bagus, kemudian itu dia pun keluar sehingga datang ke masjid, lalu dia shalat (sunnat) sesenangnya, dan tidak dia mengganggu barang seorang pun, kemudian dia duduk diam; apabila imamnya telah keluar, sampai dia shalat; semuanya itu akan menjadi penebus dosanya di antara Jum'at itu dengan Jam'at yang lain." (HR Imam Ahmad)
Hadits yang lain pula menunjukkan bahwa mandi pada hari Jum'at itu adalah satu anjuran kebersihan semata-mata, yakni sekurang-kurangnya sekali sepekan dan harinya ialah hari Jum'at hendaklah mandi. Nabi bersabda pula,
“Hendaklah tiap laki-laki Muslim pada tiap-tiap tujuh hari mandi suatu hari, yaitu hari Jum'at." (HR Ahmad, an-Nasa'i, dan Ibnu Hibban)
“Menjadi kewajiban karena Allah atas tiap-tiap Muslim mandi sekali pada tiap-tiap tujuh hari, supaya dimandikannya kepalanya dan tubuhnya." (HR Muslim)
Tanda bukan wajib, melainkan anjuran kebersihan ialah hadits ini,
“Barangsiapa yang berwudhu hari Jum'at, itu adalah baik. Dan barangsiapa yang mandi, maka mandi adalah lebih afdhal." (HR an-Nasa'i dan Abu Dawud)
Imam Ghazali dalam al-Ihya' menganjurkan, agar mandi pagi Jum'at itu menjadi penting, hendaklah dia dibuat jadi wajib. Yaitu dibuat jadi mandi janabah, dengan jalan bersetubuh dengan istrinya pada malamnya.
Di dalam ayat disebut bersegeralah mengingat Allah dari kalimat Fas'au ilaa dzikrillaah!
Manakah yang dimaksud dengan dzikrullah atau mengingat Allah itu?
Penyusun tafsir ini adalah penganut pendapat bahwa yang dikatakan dzikrullah atau mengingat Allah itu ialah gabungan sejak adzan, khutbah, iqamah dan shalat. Bahkan Said bin Jubair berpendapat bahwa kedua khutbah Jum'at itu adalah sebagai pengganti dari dua rakaat Zhuhur.
Ibnul Arabi pun berpendapat bahwa keseluruhannya, termasuk khutbah adalah wajib semuanya. Meskipun ada yang berpendapat bahwa khutbah tidak termasuk dalam perlengkapan Jum'at, dengan arti bahwa Jum'at sah juga meskipun khutbahnya tidak ada; paham demikian itu adalah ijtihadiyah yang jauh dari dasar. Sebab sejak Jum'at diwajibkan pada permulaan hijrah ke Madinah, belum pernah Rasulullah sampai wafatnya yang mengerjakan Shalat Jum'at dengan tidak memakai khutbah.
Kewajiban bersegera ke masjid dan larangan keras berjual beli, bukanlah semata-mata hendak mengejar Jum'at, melainkan mengejar Jum'at yang di dalamnya termasuk mendengar khutbah.
Di dalam ayat tersebut pun perintah bersegera diartikan dari Fas'au. Asal kata ialah dari kalimat Sa'yu atau bersegera bukanlah tergesa-gesa dan terburu-buru, mengejar karena takut ketinggalan. Nabi bersabda,
“Apabila telah kamu dengar iqamah, maka pergilah shalat dan hendaklah kamu bertenang dan merendahkan diri dan jangan tergulut-gulut -tergesa-gesa-. Mana yang kamu dapati shalatlah dan mana yang ketinggalan cukupkanlah." (HR Bukhari dan Muslim)
Dan ada lagi dua tiga hadits yang lain yang sama maknanya.
Hasan al-Bishri menjelaskan lagi, “Demi Allah bukanlah yang dimaksud dengan bersegera itu bahwa kamu berjalan kaki dengan cepat-cepat, bahkan dilarang kamu pergi shalat, melainkan dengan tenang dan merendahkan diri di hadapan Allah, dan maksud bersegera itu ialah kesiapan hati dan niat serta khusyu".
Oleh sebab itu dapatlah kita artikan kesegeraan di sini ialah kesiapan hati kita akan pergi berjum'at sejak hari Jum'at itu telah datang. Sampai pun menyiapkan diri dengan mandi, dengan membersihkan badan, menyediakan baju atau pakaian yang bagus, memakai yang harum-harum, mengejar shaf pertama; semuanya itu termasuk kesegeraan. Jadi bukanlah berlari-lari, bergulut-gulut, terburu-buru.
Di ujung ayat dijelaskan,
“Demikianlah yang amat baik bagi kamu, jika kamu ketahui."
Sebab dengan melakukan Jum'at pada saat-saat hari tertentu itu akan timbullah hubungan yang rapat antara kamu dengan orang-orang yang beriman, akan terpeliharalah agama karena persatuan langkah, akan rapatlah barisan karena kesatuan iman, akan timbullah kesadaran diri dalam berjamaah di bawah pimpinan Rasul. Yang akan beruntung dalam hal ini adalah masyarakat kamu sendiri. Itu akan kamu rasakan jika kamu mengetahui betapa pentingnya perpaduan umat di dalam menjunjung tinggi perintah Allah.
Terbukti bahwa sudah empat belas abad sampai sekarang ini, ketika Tafsir al-Azhar ini disusun, dan Islam telah merata ke seluruh dunia, namun di mana pun kita berada di bagian dunia ini, berbagai ragam bangsa dan suku yang memeluknya, namun corak shalatnya masih tetap satu; sama cara shalat orang di zaman Abu Bakar Shiddiq dengan di zaman almarhum Syahid Raja Faishal bin Abdul Aziz. Dan sama cara shalat orang di ujung Tiongkok dengan di kepulauan Inggris. Sama corak shalat orang sejak dari Moroko di Afrika Utara sampai di Merauke di ujung timur Kepulauan Nusantara. Salah satu sebabnya yang utama ialah karena adanya jamaah dari Jum'at, sehingga kalau ada yang salah, sebentar itu juga membuat teguran dari temannya supaya diperbaiki.
Suatu kesatuan corak dan cara yang tidak terdapat dalam agama lain mana pun di dunia ini.
DARI HAL ADZAN
Sebagaimana shalat pada waktu yang lima, Shalat Jum'at itu pun memakai adzan juga. Apatah lagi telah disebutkan dalam ayat “Apabila diseru kamu" niscaya maksud yang khas dari seruan di sini ialah adzan. Adapun adzan hari Jum'at ini dilakukan ialah sesudah Nabi ﷺ duduk di atas mimbar kemudian mengucapkan khutbahnya. Cara yang demikian itu dituruti juga oleh Abu Bakar dan Umar dan dilakukan juga oleh Ali setelah pusat pemerintahannya dipindahkan ke Kufah.
Setelah kaum Muslimin bertambah ramai dalam kota Madinah, lipat ganda berpuluh kali banyaknya dalam zaman pemerintahan beliau sehingga penduduk yang tadinya misalnya 1.000 orang telah menjadi 10.000 orang atau lebih, di zaman pemerintahan Sayyidina Utsman bin Affan, teringatlah oleh beliau mengadakan adzan tambahan, sekadar untuk memperingatkan penduduk yang telah banyak itu agar segera masuk ke dalam masjid, sebelum waktu khutbah masuk. Tempat berdiri adzan itu ialah suatu tempat yang agak tinggi dekat pasar di Madinah, bernama az-Zauraa. Muadzin itu keluar dari masjid, lalu adzan ke tempat yang tinggi itu dan selesai adzan dia pun turun.
Al-Mawardi menyatakan bahwa adzan pertama itu adalah muhdats (diada-adakan kemudian), dibuat oleh Utsman bin Affan setelah penduduk Madinah bertambah banyak, supaya orang segera masuk ke masjid.
Ibnul Arabi ulama terkemuka dalam madzhab Maliki mengatakan tentang hadits shahih yang berbunyi,
“Di antara dua adzan ada shalat, bagi barangsiapa yang mau."
Kata beliau, “Banyak orang menyangka bahwa shalat sunnah itu ialah di antara dua adzan, yaitu adzan tambahan Utsman dengan adzan yang asli dari Rasulullah ﷺ. Padahal yang dimaksud dengan dua adzan ialah adzan dan iqamat karena keduanya adalah panggilan kepada shalat." Lalu beliau jelaskan bahwa tambahan adzan Sayyidina Utsman itu adalah perbuatan yang diadakan kemudian. Tegasnya tidak tepat lagi menuruti sunnah.
Kalimat Muhdats (iii) adalah kata lain yang lebih hormat tentang bid'ah. Oleh sebab yang memulai tambahan adzan itu Sahabat Rasulullah ﷺ, orang merasa segan memakai kalimat bid'ah terhadap diri beliau, lalu disebut yang lebih halus, meskipun artinya bersamaan, yaitu muhdats.
Di Indonesia umumnya madzhab yang dipakai ialah madzhab Syafi'i, maka kalau ada orang memperkatakan hendak menghilangkan adzan dua kali itu dan memilih yang satu kali, banyak orang yang bertahan mengambil alasan dengan mengatakan bahwa kita bemadzhab Syafi'i. Setelah beliau menguraikan terlebih dahulu, menurut riwayat Rabi, bahwa Imam Atha mengatakan bukan Utsman yang memulai tambahan adzan itu melainkan Mu'awiyah, maka Imam Syafi'i berkata,
“Yang mana pun di antara keduanya itu yang terjadi (Utsman atau Mu'awiyah), namun perbuatan yang dikerjakan di zaman Rasulullah ﷺ itulah yang lebih disukai di sisi saya." (Lihat al-Umm, juz 1 )
Memang kita menghormati sangat-sangat kepada sahabat Nabi kita ﷺ. Tetapi apabila kita memilih mana yang dikerjakan Rasulullah sendiri dan meninggalkan tambahan yang dari sahabat beliau; tidaklah berarti bahwa kita kurang hormat kepada beliau, melainkan kita telah meletakkan Nabi lebih tinggi daripada sahabatnya; niscaya sahabat-sahabat itu sendiri akan bersuka hati jika sikap kita demikian.
Apatah lagi tidak pula boleh kita lupakan kemajuan zaman kita sekarang, dengan adanya alat-alat listrik pengeras suara, adanya mikrofon dan loudspeaker, sehingga suara adzan sudah dapat didengar dari tempat yang ukurannya sudah lebih jauh daripada di zaman Rasulullah dan sahabat-sahabat beliau dahulu kala itu.
YANG WAJIB MENGERJAKAN JUM AT
Ahli-ahli fiqih menyimpulkan bahwa orang yang wajib mengerjakan Jum'at ialah orang Islam, merdeka, berakal, telah baligh, menetap, sanggup pergi ke tempat Jum'at, tidak berhalangan dengan halangan-halangan yang menyebabkan terhalangnya kewajiban itu.
Yang tidak wajib ke Jum'at disebutkan oleh Rasulullah ﷺ demikian sabdanya,
“Berjum'at adalah hak yang wajib atas tiap-tiap Muslim dengan berjamaah, kecuali empat: (1) Budak yang dipunyai orang; (2) Kaum perempuan; (3) Anak-anak; atau (4) Orang sakit."
Berjum'at ketika dalam perjalanan. Ketika mengerjakan Haji Wada', beliau wukuf di Arafah pada hari Jum'at, namun beliau hanya menjamak taqdim dan qashar, beliau tidak berjum'at. Khalifah di belakang beliau pun melakukan begitu.
Orang berutang yang utang belum sanggup membayar, takut akan diberi malu oleh orang yang menagih piutang di hadapan orang banyak, atau ditangkap, dan dipenjarakan,
Orang yang bersembunyi dan tangkapan penguasa yang zalim.
Udzur halangan yang lain yang menyebabkan meninggalkan jamaah, seperti hujan lebat, panas sangat terik, dingin sekali, atau bekas hujan tanah jadi berlumpur sehingga sukar dilalui, banjir dan seumpamanya. Kalau sudah demikian, orang sudah boleh shalat di rumah saja.
Adapun perempuan, mereka tidaklah diwajibkan pergi ke Jum'at. Tetapi di zaman Rasulullah ﷺ perempuan-perempuan ada juga yang pergi ke Jum'at. Rasulullah telah meninggalkan pegangan dengan sabda beliau,
“Jangan kamu larang perempuan-perempuan kamu ke masjid-masjid; tetapi rumah-rumah mereka lebih baik untuk mereka." (HR Abu Dawud dari hadits Abdullah bin Umar)
Imam an-Nawawi berkata bahwa isnad hadits ini adalah shahih atas syarat Bukhari dan Muslim, Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa yang menyatakan shahih hadits ini bukan seorang.
Dalam penjelasan yang lain disebutkan: (1). Musafir meskipun dia singgah di suatu tempat yang di sana orang akan bershalat Jum'at, tidaklah orang musafir itu wajib berjum'at. Karena Nabi sendiri tidaklah
TENTANG WAKTUNYA
Jumhur ulama (sebagian terbesar) baik dari kalangan sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ atau pun tabi'in, sama pendapat bahwa waktu Jum'at adalah waktu Zhuhur, yaitu sesudah zawal (tergelincir) matahari dari pertengahan siang. Dalilnya yang kuat adalah sebuah hadits yang dirawikan oleh Imam Ahmad, Bukhari, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan al-Baihaqi, diterima dari Anas bin Malik, bahwa Nabi shalat Jum'at setelah condong matahari. Bukhari sendiri berdasar atas hadits yang dia rawikan mengatakan bahwa waktu shalat Jum'at ialah setelah matahari tergelincir dari pertengahan siang. Demikian juga dirawikan orang dari Umar, dari Ali dan dari Nu'man bin Basyir, dan Umar bin Harits; semuanya itu sahabat Rasulullah.
Imam asy-Syafi'i berkata, “Nabi dan Abu Bakar, dan Umar dan Utsman dan imam-imam sesudah mereka shalat Jum'at ialah sesudah matahari condang dari pertengahan siang."
Tetapi ada juga khilafiyah perkara ini. Sebab ada riwayat dari Imam Ahmad bin Hambal dan Ishaq bin Rawaihi yang menyatakan bahwa beliau berpendapat bahwa waktu Jum'at ialah dari permulaan waktu shalat hari raya sampai kepada akhir waktu Zhuhur. Karena pendapat ini ada pula dalilnya dari hadits yang dirawikan oleh Imam Ahmad sendiri dan Muslim dan an-Nasa'i, diambil kesimpulan oleh pemegang pendapat pertama bahwa kejadian itu ialah di waktu sangat musim panas, dan diartikan bukanlah benar-benar shalat Jum'at di waktu pagi sebagaimana permulaan shalat Idul Fitri dan Idul Adha itu; melainkan dicepatkan saja karena mengelakkan nyala musim panas di musim shaif (panas). Namun waktunya ialah waktu Zhuhur juga.
BERAPA ORANG SYARAT DIADAKAN SHALAT JUM'AT?
Pendapat tentang berapa orang baru sah berdiri Jum'at banyak sekali; Al-Hafiz Ibnu Hajar menyalinkan dalam Fathul Bari' tidak kurang daripada lima belas qaul tentang itu.
Nabi ﷺ sendiri mengatakan bahwa kalau orang sudah berkumpul berdua, yang seorang sudah tentu menjadi imam dan bershalatlah berdua berjamaah. Oleh karena Jum'at itu berjamaah, berdua pun telah berjum'at. Hasan ai-Bishri mengeluarkan pendapat ini.
Al-Laits dan Abu Yusuf mengatakan, “Bertiga."
Sufyan ats-Tsauri dan Abu Hanifah, “Berempat."
Rabi'ah mengatakan, “Dua belas orang."
Ada satu riwayat dari az-Zuhri yang diterimanya dari cerita sahabat Rasulullah ﷺ. Mush'ab bin Umair yang diutus beliau jadi guru kaum Anshar ke Madinah, bahwa dia di Madinah tinggal menumpang di rumah Sa'ad bin Mu'az; di rumah itu dia selalu berkumpul dengan dua belas orang sepaham dan di hari Jum'at mulailah mereka melakukan shalat bersama.
Imam Syafi'i terkenal dengan pendapat beliau, baru wajib Jum'at kalau bilangan orang yang menetap empat puluh orang banyaknya; keempat puluhnya itu hendaklah orang baligh, lagi berakal, merdeka dan menetap tinggal di sana. Imam Syafi'i berpegang kepada hadits dari Jabir bin Abdullah yang dirawikan oleh ad-Daruquthni, juga tersebut dalam Sunan Ibnu Majah dan dalam Dalai'lun Nubuwah dari al-Baihaqi satu hadits pula diterima dari Abdurrahman bin Ka'ab bin Malik. Ka'ab bin Malik adalah salah seorang Anshar yang turut dalam perjanjian Aqabah di Mina ketika mereka menerima Islam. Abdurrahman bin Ka'ab bin Malik itu bercerita bahwa setelah ayahnya Ka'ab tua dan telah buta matanya, dialah yang selalu membimbing ayahnya ke Jum'at. Abdurrahman bin Ka'ab bercerita bahwa tiap-tiap ayahnya mendengar lafazh-lafazh adzan diserukan muadzin, selalu beliau berdoa memohonkan karunia ampunan Ilahi bagi Abu Amamah. Asal saja terdengar adzan beliau mendoakan Abu Amamah. Lalu Abdurrahman bertanya, “Ya ayah! Mengapa tiap terdengar adzan ayah mendoakan Abu Amamah? Mengapa dengan dia?" Lalu beliau jawab, “Hai anakku! Abu Amamah itulah yang mula-mula mengajak kami berkumpul di Madinah di lembah Bani Baydhah yang bernama Naqi' al-Khadhimaat." Lalu Abdurrahman bertanya, “Berapa orang yang berkumpul waktu itu?" Dia menjawab, “Empat puluh orang!"
Hadits Jabir bin Abdillah itu demikian pula bunyinya,
“Telah berlaku sunnah bahwa tiap-tiap tiga orang, seorang menjadi imam; tiap-tiap sudah sampai empat puluh orang lalu ke atasnya, berdiri Jum'at dan Hari Raya Adha dan Fitri." (HR ad-Daruquthni)
Ada lagi riwayat lain, keterangan dari sahabat Rasulullah ﷺ. Abu Hurairah yang dirawikan oleh az-Zuhri dengan sanadnya, ketika ada yang menanyakan kepada Abu Hurairah itu berapa orang baru Rasulullah mendirikan Jum'at? Dia menjawab, “Setelah bilangan sampai lima puluh orang, Rasulullah telah mengumpulkan jadi Jum at."
Oleh sebab itu dilihat dari keseluruhan tidaklah ada sesuatu yang jelas sehingga Abdulhaq berkata, “Tidak ada satu hadits dari riwayat-riwayat itu yang lebih kuat dari yang lain, dan semua ada alasannya."
Satu yang menarik hati kita di antara lima belas qaul yang dinukil oleh al-Hafizh Ibnu Hajar itu, yaitu bahwa yang penting ialah berjamaah dan ramai! Berapa bilangannya, tidak ada ketetapan.
Tetapi tidaklah lepas dari ingatan kita bahwa dari taqlid madzhab dalam penganut madzhab Syafi'i. Yaitu karena beliau pernah menyatakan pendapat barulah sah Jum'at kalau jamaah telah empat puluh orang, kesemuanya menetap di kampung itu, ditambah lagi tentunya kesemuanya hendaklah fasih bahasa Arabnya, sekurang-kurangnya di dalam membaca bacaan-bacaan yang jadi rukun dari shalat Jum'at itu. Maka kalau segala syarat itu tidak dapat dipenuhi, meskipun sampai empat puluh, tetapi ada beberapa orang yang kurang fasih lidahnya, tidaklah sempurna Jum'at itu. Oleh karena merasa tidak sempurna, maka mereka tambahlah Jum'at yang dua rakaat itu dengan Zhuhur pula empat rakaat.
Itu betul-betul kesempitan paham karena taqlid. Mereka memandang bahwa agama yang sah hanyalah apa yang diterima dari madzhab Syafi'i. Padahal Imam Malik mengatakan dua belas orang telah sah Jum'at. Mengapa mereka tambah lagi dengan Zhuhur? Kalau ragu akan sahnya Jum'at saja, tidak usah menambah dengan Zhuhur lagi dan ikuti saja pendapat Imam Malik yang mengatakan dua belas orang telah sah? Apakah pendapat Imam Malik tidak boleh diamalkan? Apakah itu bukan amalan orang Islam?
TENTANG TEMPAT
Ada beberapa syarat pula yang diperbuat oleh ulama-ulama fiqih, Sayyidina Umar bin Abdul Aziz mengeluarkan perintah: bila sebuah desa penduduknya telah sampai tiga puluh rumah, di sana sudah wajib berdiri Jum'at.
Imam Abu Hanifah memberi syarat, bahwa baru boleh mendirikan Jum'at pada negeri yang telah disebut Mishr, artinya kota besar. Mempunyai sultan yang berkuasa dan berwibawa, ada pasarnya dan ada pula sungainya yang mengalir. Kalau semata-mata sebuah kampung belum boleh berdiri Jum'at. Syafi'i dalam qaul qadim menyatakan bahwa dalam sebuah kota tidak boleh berdiri Jum'at, kalau ada berbilang masjid, atau surau atau langgar, yang dipakai untuk Jum'at hanya satu. Kalau dua tiga mendirikan Jum'at, maka yang sah hanya satu, yaitu yang tua. Tetapi oleh karena di tengah-tengah Kota Baghdad mengalir Sungai Dajlah yang besar, maka beliau berpendapat boleh berdiri lagi Jum'at di seberang sungai.
Dalam Qaul Jadid, yaitu setelah beliau pindah ke Mesir, berbeda pula letak kota daripada di Baghdad, pendapat beliau pun ada perubahan. Yaitu berbilang Jum'at tidak mengapa lagi, asal imam (penguasa) yang menentukan.
Tidaklah boleh kita tergesa-gesa mencap pendapat ulama-ulama yang begitu besar, dua masjid berdekat-dekatan, pembatasnya hanya sebuah jalan kecil, yaitu di antara Masjid Sultan Hasan dan Masjid ar-Rifa'i, dan keduanya dipakai untuk Jum'at.
Penulis tafsir ini teringat ketika menjadi tamu Sultan Terenggapupada tahun 1960. Mufti kerajaan Terangganu, Sayyid Yusuf Zawawi, ulama keluaran Azhar menceritakan, bahwa beliau telah memberikan fatwa kepada Sultan Terengganu supaya di beberapa kampung yang selama ini belum pernah berdiri Jum'at di tempat itu, meskipun di sana ada surau-surau tempat orang kampung mendirikan shalat jamaah lima waktu, oleh karena syarat lima puluh orang baligh, berakal, merdeka, menetap dan ditambah lagi dengan kefasihan membaca bacaan shalat, sukar mencapainya, maka Tuan Mufti telah memfatwakan agar didirikan saja di kampung itu Jum'at, meskipun “mustautin" (yang menetap) itu belum juga cukup empat puluh. Karena kalau ditunggu juga bilangan empat puluh itu, mungkin berpuluh-puluh tahun tidak akan tercapai, dan tidak semua mereka itu sanggup akan pergi berjum'at ke tempat lain yang ada Jum'atnya.
Agama Islam adalah mudah! Tidak mempersukar. Buah pendapat ahli-ahli fiqih terkemuka kadang-kadang sesuai dengan zamannya, tetapi belum tentu sesuai dipasangkan di tempat lain.
Misalnya di Kota Jakarta sendiri sesudah pergolakan rakyat Indonesia dalam kesadaran beragama, sehabis penghancuran pikiran yang disebarkan orang komunis dapat dikalahkan; maka semangat beragama timbul kembali, sehingga di kantor-kantor, di kementerian, di bank-bank orang mendirikan shalat Jum'at. Kalau kita njlimet memakai pendapat ahli-ahli fiqih niscaya banyak di antara tempat Jum'at itu akan ditutup, karena tempatnya kadang-kadang berdekatan. Misalnya di Merdeka Barat terdapat tempat berjum'at, di Gedung RRI, di Departemen Penerangan, di Departemen Pertahanan dan Keamanan (ada sebuah masjid yang muat shalat lima ratus orang), di Bank Negara, di masjid di belakang toko serba ada Sarinah, dan di Hotel Indonesia.
Begitu pula di tempat-tempat yang lain. Sedang di masjid-masjid yang telah ada tidak pula kurang ramainya.
Semuanya itu kalau sudah mencapai pokok anjuran, niscaya telah sah Jum'atnya. Pokok anjuran ialah berjamaah!
KHUTBAH JUM'AT
Sudah nyata bahwa yang terpenting dari shalat Jum'at itu ialah karena akan mendengar khutbah imam. Sekali dalam sepekan kita berkumpul, sehingga di hari Jum'at itu shalat Zhuhur yang empat rakaat dijadikan dua rakaat dan dinamai Jum'at, ditambah dengan khutbah.
Yang jadi pokok dari memberikan khutbah ialah memberi pelajaran, pendidikan, peringatan dan kesadaran beragama, mengulang-ulangkan peringatan ke dalam hati orang yang beriman agar mereka memperteguh takwanya kepada Allah dengan anjuran yang benar-benar menawan hati dan menimbulkan keinsafan.
Dalam madzhab Syafi'i disebutlah rukun-rukun khutbah. Yaitu:
1) memuji Allah dengan ucapan Alhamdulillah,
2) mengucapkan shalawat dan salam untuk Rasulullah ﷺ,
3) memberikan nasihat agar bertakwa kepada Allah dalam kedua khutbah,
4) bacakan ayat Al-Qur'an walaupun hanya satu ayat,
5) mendoakan kaum Muslimin.
Dalam madzhab Hambali hanya empat; bagian mendoakan kaum Muslimin tidak masuk.
Dalam madzhab Malik, rukun khutbah hanya satu, yaitu asal khutbah itu mengandung satu hal saja yang amat penting, yaitu memberikan kesadaran beragama kepada jamaah yang mendengarkan, sehingga meresap padanya kesadaran beragama.
Dalam madzhab Hanafi pun hanya satu saja, yaitu asal khutbah itu mengandung dzikir (menyebut dan mengingat Allah).
Memang, sudah biasa apabila orang berkhutbah yang berdasarkan agama, baiktabligh agama, baik ceramah atau pengajian, dituruti orang Sunnah Nabi, yaitu dimulai dengan memuji Allah. Maka kalau dalam madzhab Syaffi hal itu dijadikan rukun, maka oleh madzhab Hanafi dan Maliki tidak mewajibkan membaca Alhamdulillah sebagai kemestian, melainkan kepada isi khutbah.
Hendaklah kita tinjau dan simpulkan pendapat-pendapat dari madzhab-madzhab itu dengan sebaik-baiknya. Kalau kita hanya membeku saja menurut rukun Khutbah yang digariskan dalam madzhab Syaffi, niscaya mudah saja seorang Khathib naik mimbar lalu berkhutbah,
“Segala puji bagi Allah. Shalawat dan Salam atas Rasulullah. Wahai sekalian manusia, takwalah kepada Allah. Katakanlah bahwa Allah itu adalah Satu. Ya Tuhanku, ampunilah Muslimin dan Muslimah."
Cuma itu saja, lima patah kata; dia pun turun sebentar dan naik lagi untuk khutbah kedua, dibacanya itu juga. Dalam tiga menit selesai dia baca khutbah.
Atau menurut madzhab Hambali, dibacanya semua kecuali yang kelima dengan cara begitu pula. Semua sah! Tetapi hambar saja!
Atau turuti Madzhab Hanafi; baca saja Alhamdulillah, Laa Ilaha Illallah, Allahu Akbar! Lalu turun.
Cara-cara begini mungkin bisa terjadi di kampung yang bapak imam dan khathibnya telah lama mati dan hanya seorang yang berani menggantikan dengan cara begitu.
Yang sebaiknya ialah perhatikan madzhab Maliki, isi khutbah itu dengan pelajaran bagi kaum Muslimin dan hiasi khutbah itu menurut tuntunan madzhab Syaffi; tetapi kalau berkurang-kurang, tidak persis lima (madzhab Syaffi) atau empat (madzhab Hambali), janganlah langsung khathib di-suruh turun dari mimbar dan dikatakan bahwa khutbahnya tidak sah.
Yang penting hendaklah orang yang jadi Khathib itu seorang yang patut dijadikan teladan yang baik. Hendaknya imam merangkap jadi khathib. Dalam shalat dia imam, sebelum shalat dia memberikan nasihat dan ajaran mendalam di khutbahnya. Sebab pada hakikatnya beliau itu adalah penerus dari tugas nabi dan tugas khalifah-khalifahnya.
Yang penting sekali diperhatikan ialah bahwa khutbah itu ialah pidato. Dia adalah semacam seni yang halus untuk menawan dan menaklukkan hati pendengar. Pernah ditanyakan orang kepada Abdul Malik bin Marwan; belum sampai dua tahun dia memegang pemerintahan, rambutnya telah me-mutih, telah tumbuh banyak uban. Ditanyakan orang, mengapa sampai begitu. Beliau menjawab bahwa yang menambah banyak uban di kepalanya itu ialah karena tiap-tiap hari Jum'at naik tangga mimbar. Karena sejak sehari sebelumnya sudah dipikirkan apa yang patut dikhutbahkan, apa yang sesuai dengan keadaan jamaah yang akan mendengar.
Apatah lagi Nabi ﷺ sendiri memberi ingat menurut sebuah hadits,
“Sesungguhnya panjang shalat seseorang dan pendek khutbahnya, adalah alamat dari ficjihnya. Sebab itu panjangkantah shalat kamu dan pendekkan khutbah." (HR Ahmad dan Muslim dari hadits Amar bin Yasir)
Arti tanda dari fiqihnya ialah tanda dari mendalam pahamnya tentang hikmah-hikmah agama dan kesanggupannya mengetahui kepentingan orang banyak.
Jabir bin Samurah berkata, “Shalat Rasulullah ﷺ itu sederhana dan khutbahnya pun sederhana."
Abdullah bin Abu Aufau berkata, “Rasulullah ﷺ itu kalau shalatnya panjang khutbahnya pendek." (HR an-Nasa'i, dengan sanad shahih)
Berkata jabir bin Abdullah, “Rasulullah itu kalau beliau berkhutbah merah kedua matanya, tinggi suaranya, penuh semangat seakan-akan beliau mengerahkan tentara; (beliau berkata) Awaslah pagi-pagi kamu, petang-petang kamu.'" (HR Muslim dan Ibnu Majah)
Imam Nawawi berkata, “Sangat disukai khathib itu kalau berkhutbah hendaklah dengan bahasa yang fasih, menarik, dan terasa ke hati, tersusun dan jelas, dengan tidak usah kata-kata yang berlebih-lebihan dan berdalam-dalam. Dan jangan pakai kalimat-kalimat yang rendah mutunya atau yang dibuat-buat, sebab yang demikian itu tidak akan berpengaruh ke dalam hati dengan sempurna, jangan pula kata-kata yang kasar, sebab yang demikian tidak akan menghasilkan maksud. Tetapi pilihlah kata-kata sederhana yang dapat segera dipahamkan."
Dalam kongres yang diadakan Rabithah Alam al-Islami, di masjid Mekah pada Ramadhan 1398 (September 1975), dibahas juga tentang pentingnya khutbah. Masjid dengan khutbah yang baik dianggap sebagai pembangkit yang baik dari kesadaran beragama. Di sana pun dianjurkan agar imam-imam dan khatib Jum at itu hendaknya orang yang berkeahlian dan mempunyai wibawa pribadi. Dikaji juga di situ bahwa setelah Islam mundur, masjid tidak berperan lagi dan khutbah Jum'at pun mundur sama sekali.
Kita pun dapat melihat khatib-khatib kampungan membawa khutbah-khutbah yang telah dikarang. Enam puluh tahun yang lalu masih ditemui kitab khutbah yang dikarang oleh Syekh Ahmad Khatib di Mekah dan dikirim ke masjid-masjid di tanah air kita buat dibaca. Khutbah itu bahasa Arab. Khatib-khatib membacanya dengan dilagukan, jamaah yang hadir tidak paham apa yang dibaca khatib, bahkan khathib itu sendiri pun tidak paham apa yang dia baca. Bahkan pengetahuannya tentang agama hanya sekadar melagukan khutbah itu saja. Di dekat mihrab digantungkan sehelai jubah, yang apabila khatib akan naik mimbar jubah itu dipakai lebih dahulu, dan disediakan tongkat yang akan dipegang selama berkhutbah. Tongkat itu biasanya berupa tombak, karena Sunnah Nabi memakai tombak, namun tombak itu ialah tombak kayu. Kadang- kadang ada pula memakai pedang, pedang itu pun pedang kayu. Dan sesudah selesai shalat nanti, mereka pun menyusun shaf kembali, lalu melaksanakan Shalat Zhuhur. Sebab mereka sendiri memutuskan bahwa Jum'at yang baru mereka lakukan itu tidak sah, sebab bilangan empat puluh orang dengan syarat-syarat yang ditentukan, tidak tercapai!
KHUTBAH SELAIN BAHASA ARAB
Madzhab Maliki dengan tegas menyatakan bahwa khutbah Jum'at mesti bahasa Arab, meskipun jamaah yang berjum'at bukan orang Arab. Khatibnya wajib mempelajari khutbah yang bahasa Arab itu dan membacanya, walaupun hadirin tidak mengerti. Kalau tidak ada khutbah demikian, gugurlah kewajiban Jum'at bagi mereka.
Madzhab Hanafi, “Boleh saja memakai khutbah bahasa selain bahasa Arab, walaupun atas orang yang mengerti bahasa Arab. Atau jamaah itu orang Arab." Madzhab Hambali,
“Kalau khathib sanggup berkhutbah bahasa Arab tidaklah boleh memakai khutbah dalam bahasa selain Arab. Lain perkara kalau tidak sanggup, waktu itu baru boleh memakai bahasa yang lain. Tetapi ayat-ayat Al-Qur'an wajib dibaca menurut aslinya."
Menurut madzhab Syafi'i, disyaratkan kedua khutbah itu dalam bahasa Arab. Tidaklah memenuhi syarat berkhutbah dengan bahasa selain Arab kalau masih bisa dipelajari bahasa Arab; tetapi kalau tidak mungkin, barulah boleh dipakai bahasa selain Arab. Peraturan ini berlaku jika jamaahnya itu bukan orang Arab, tidaklah disyaratkan rukun-rukun khutbah itu mesti bahasa Arab juga. Kalau terpaksa dia memakai bahasa selain bahasa Arab, namun ayat-ayat Al-Qur'an hendaklah dibaca menurut asli Arabnya. Kalau ayat itu tidak hafal dalam bahasa Arabnya, boleh diganti dengan doa-doa dalam bahasa Arab. Selain dari rukun-rukun khutbah yang lima perkara, boleh saja diucapkan dalam bahasa selain Arab.
Dalam hasil Permusyawarahan Kongres di Mekah memusyawarahkan soal masjid pada Ramadhan 1395 itu segenap hadirin bersetuju bahwa terhadap bangsa Arab sendiri hendaklah dipakai bahasa Arab yang fasih. Adapun terhadap kaum Muslimin yang bukan Arab, hendaklah dipakai untuk khutbah bahasa yang dapat mereka pahamkan. Karena tujuan khutbah ialah memberi ajaran agama kepada jamaah.
Wajiblah bagi jamaah mendengarkan khutbah dengan tertib dan hening, jangan ribut supaya khutbah bisa didengarkan dengan baik. Sehingga jika ada yang ribut janganlah yang lain menegur yang ribut itu pula, supaya jangan bertambah ribut. Karena ada hadits dari Abu Hurairah, bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda,
“Apabila engkau katakan kepada kawan engkau ‘diamlah' pada hari Jum'at, sedang imam berkhutbah, maka jadi gagallah engkau." (HR Bukhari dan Muslim)
Dan bila imam itu telah naik ke atas mimbar menghadap kepadanya baik-baik, artinya supaya tertuju perhatian kepada isi khutbah yang akan beliau khutbahkan. Karena begitulah yang dilakukan oleh sahabat-sahabat Rasulullah kepada diri beliau setelah beliau naik ke atas mimbar.
APABILA BERTEMU DUA HARI RAYA
Menjadi perselisihan pendapat di kalangan ulama-ulama salaf kalau bertemu dua hari raya, yaitu jatuh sebelum shalat Hari Raya Fitri atau Hari Raya Adha pada hari Jum'at. Banyak ulama berpendapat kalau terjadi demikian, Jum'at tidak wajib lagi. Artinya boleh orang yang telah melakukan shalat Hari Raya itu tidak ke Jum'at lagi. Yang dengan tegas menyatakan tidak wajib Jum'at lagi kalau sudah shalat Hari Raya, di antaranya ialah Imam Ahmad bin Hambal. Beliau beralasan karena di zaman Rasulullah ﷺ, pernah kejadian demikian, beliau pernah berkata,
“Barangsiapa yang ingin hendak bershalat, shalatlah." (HR Lima Imam Hadits, disahkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim)
Maksudnya adalah Shalat Jum'at.
Dan hadits dari Abu Hurairah,
“Jika harimu ini telah berkumpul dua hari raya, maka siapa yang suka, bolehlah dia mengadakan Hari Raya itu dari Jum'at, tetapi sesungguhnya kami tetap berjum'at." (HR Abu Dawud)
Tetapi tidak semua ulama menganut pendapat itu. Imam Syafi'i menjelaskan pendirian beliau di dalam al-Umm, bahwa yang diberi kelapangan meninggalkan Jum'at pada pertemuan dua hari raya itu hanyalah orang dusun yang jauh dari kota yang di sana tidak berdiri Jum'at. Dalam hadits mereka itu disebut orang al-Awwali, yang berarti mereka-mereka yang tinggal di pegunungan atau di kampung ketinggian. Oleh karena rumah mereka jauh, terserahlah kepada mereka apakah mereka akan menunggu di Madinah sampai selesai shalat Jum'at, atau akan pulang saja kembali ke kampung mereka sehabis Shalat Hari Raya, sehingga mereka tidak ikut berjum'at lagi.
Ini berlaku di zaman Rasulullah ﷺ dan lebih diperjelas lagi oleh yang terjadi di zaman pemerintahan Khalifah yang ketiga, Utsman bin Affan, yaitu orang pegunungan beliau persilakan memilih sendiri apa akan pulang sehabis Shalat Hari Raya, atau akan menunggu sampai selesai Jum'at. Ujung sabda Nabi tadi,
“Sesungguhnya kami adalah berjum'at."
Artinya ialah kami tetap mengumpulkan kedua hari raya itu, sama-sama kami kerjakan. Sebab Rasulullah ﷺ dan sahabat-sahabatyang lain tinggal dalam kota Madinah sendiri. Sebab itu kalau kiranya rukhshah (keringanan) tidak berjum'at bagi semuanya, niscaya Rasulullah akan membuat contoh yang patut ditiru, yaitu tidak usah berjum'at lagi. Padahal beliau telah jelaskan dengan tegas, “Kami berjum'at."
Al-Imam Ibnu Hazm al-Andalusi, imam madzhab Zhahiri dalam kitabnya al-Muhalla, bahwa beliau tidaklah dapat menerima pendapat itu. Alasannya sederhana saja, yaitu Jum'at adalah wajib, sedang shalat hari raya yang kedua itu adalah sunnah. Bagaimana perintah yang wajib akan boleh ditinggalkan karena telah melakukan yang sunnah?
Kemudian itu dikemukakan orang pula suatu hadits bahwa di zaman Abdullah bin Zubair menguasai Hejaz, bahwa berdasar kepada pendapat dua hari raya berkumpul di satu hari Jum'at, beliau shalat hari raya agak tinggi hari (siang), dan beliau tidak shalat Jum'at lagi; bahkan tidak pula shalat Zhuhur, terus Ashar saja. Ketika cerita ini didengar oleh Abdullah bin Abbas, beliau katakan bahwa perbuatan Abdullah bin Zubair yang diakui oleh Ibnu Abbas ini, adalah pendapat bahwa jika bertemu dua Hari Raya, bukan saja berjum'at tidak wajib lagi, bahkan Shalat Zhuhur pun tidak wajib (karena sudah dilakukan Shalat Hari Raya).
Setengah orang menta'wilkan kejadian ini dengan berkata, “Mereka Shalat Zhuhur juga di tempat masing-masing, tetapi tidak berjamaah. Setengah lagi mengatakan memang Abdullah bin Zubair tidak bershalat Zhuhur lagi."
Pendapat penyusun tafsir ini lebih condong kepada yang pertama, bahwa tidak mungkin Abdullah bin Zubair telah meninggalkan Jum'at dan Zhuhur sama sekali karena telah melaksanakan Shalat Hari Raya.
Kalau itu kejadian, dengan tegas kita tidak dapat mengikuti perbuatan Abdullah bin Zubair itu. Sedangkan perbuatan Sayyidina Utsman bin Affan menambah adzan satu lagi untuk menyuruh orang berkumpul menunggu Shalat Jum'at di masjid, dan disuruhnya muadzin itu ke az-Zauraa, dekat pasar, padahal maksud beliau baik, kita tinggalkan juga; dan kita sepaham dengan Imam Syafi'i bahwa adzan satu kali saja yang diperbuat oleh Rasulullah dan kedua sahabat Abu Bakar dan Umar “lebih disukai di sisi kita" apalagi perbuatan Abdullah bin Zubair yang meninggalkan satu waktu yang wajjb, yaitu waktu Zhuhur karena sudah diselesaikan dengan Shalat Hari Raya saja.
SERBA-SERBI SEPUTAR HARI JUM AT
Ibnu Katsir menulis dalam tafsirnya, “Dinamai hari Jum'at, diambil dari kata al jam'u yang berarti berkumpul. Karena orang Islam berkumpul tiap hari itu di rumah-rumah ibadah yang besar-besar. Dan pada hari itu pulalah disempurnakan kejadian sekalian makhluk, karena dia adalah hari keenam Allah menciptakan semua langit dan bumi. Dan di hari itu Adam diciptakan, di hari Jum'at juga dia dimasukkan ke dalam surga dan di hari Jum'at juga dia dikeluarkan dari dalamnya. Di hari Jum'at Kiamat akan berdiri, dan pada hari Jum'at ada suatu saat yang tiap-tiap apa pun kebaikan yang dimohonkan oleh hamba Allah, bila bertepatan dengan saat itu pastilah akan dikabulkan, sebagaimana telah teguh disebut dalam hadits-hadits yang shahih."
Sebagaimana disalinkan oleh al-Qurthubi dalam tafsirnya, “Ka'ab bin Luai di zaman jahiliyyah yang mula pertama menamainya hari Jum'at. Dan dinamai juga hari Arubah. Tetapi riwayat yang dikenal dalam Islam yang mulai menamainya Jum'at ialah kaum Anshar, sebelum Rasulullah ﷺ pindah ke Madinah. Ibnu Sirin mengatakan memang kaum Anshar yang menamainya Hari Jum'at. Sebabnya ialah setelah mereka melihat orang Yahudi berkumpul sekali dalam sepekan, yaitu pada hari Sabtu, dan mereka melihat pula orang Nasrani berkumpul pula di hari Ahad, lalu mereka berkata, ‘Marilah kita tentukan pula hari tempat kita berkumpul di waktu itu kita mengingat Allah, kita shalat dan kita mengaji. Kalau orang Yahudi ada hari Sabtunya, orang Nasrani ada hari Ahadnya; mari kita adakan pula hari kita berkumpul itu, yaitu di hari ‘Arubah."
Buah pikiran itu diterima oleh bersama, lalu mereka berkumpullah di hari Arubah di rumah As'ad bin Zurarah, atau lebih terkenal dengan panggilan Abu Amamah. Mereka shalat di waktu Zhuhur dua rakaat, setelah habis shalat mereka mengaji. Mereka namai hari itu hari Jum'at yang berarti berkumpul. Biasanya As'ad memotong kambing dan mereka makan tengah hari sampai makan malam bersama-sama dalam bilangan yang masih sedikit. Itulah Jum'at pertama dalam Islam." Demikian riwayat Ibnu Sirin sebagaimana yang tersebut dalam Tafsir aI-Qurthubi.
Yang jadi guru dalam pertemuan-pertemuan itu ialah mubaligh yang dikirim oleh Rasulullah kepada mereka, yaitu Mush'ab bin Umair. Bertahun-tahun di belakang, jauh setelah Nabi wafat, setelah Ka'ab bin Malik tua dan matanya telah buta, bila didengarnya orang adzan Jum'at, dia selalu mengenang As'ad bin Zurarah yang menyediakan rumah tempat berkumpul yang mula-mula itu.
Nabi ﷺ sendiri pun setelah mulai menginjak Madinah dalam hijrahnya, mulai waktu itu pulalah beliau mengadakan Jum'at.
Tersebut dalam riwayat hidup beliau, bahwa dalam perjalanan jijrah itu, beliau berhenti di Quba' sebagai perhentian penghabisan akan masuk ke Madinah. Dia masuk ke kampung Bani Amer bin Auf di Quba' pada hari Senin, 12 Rabi'ul Awwal pada waktu Dhuha; dari waktu itulah dimulai tarikh tahun Hijriyah. Beliau berhenti di Quba dari Senin waktu Dhuha sampai hari Kamis, 15 Rabi'ul Awwal. Hari itu beliau meninggalkan Quba menuju Madinah, dan bermalam di kampung Bani Salim bin Auf malam Jum'at itu; satu perkampungan yang telah masuk bagian kota Madinah. Setelah datang waktu Zhuhur bershalatlah beliau di sana, diikuti oleh sahabat-sahabat Muhajirin yang bersama beliau dan Anshar yang telah menunggu; di sasalah beliau memberikan khutbah Jum'at yang pertama dan waktu itulah beliau shalat Jum'at yang pertama.
Ibnu Katsir mengatakan pula dalam tafsirnya, bahwa umat-umat telah memilih satu hari untuk berkumpul, sayangnya mereka telah salah memilih. Yahudi memilih hari Sabtu, padahal bukan di hari itu Adam diciptakan. Nasrani memilih hari Ahad, padahal hari Ahad adalah hari pertama penciptaan makhluk, dan Allah telah memilihkan bagi umat ini Hari Jum'at, yang di waktu itulah Allah menyempurnakan ciptaan-Nya. Tafsiran ini semua dengan sebuah hadits yang dirawikan oleh Muslim.
“Disesatkan Allah umat yang sebelum kita sehingga mereka tidak kena memilih hari Jum'at, Maka adalah bagi Yahudi hari Sabtu dan bagi Nasrani hari Ahad. Lalu Allah mendatangkan kita, maka diberinyalah kita petunjuk kepada hari Jum'at, sehingga jadilah berturut Jum'at, Sabtu, dan Ahad. Akan demikian teruslah kelak di hari Kiamat mereka menurut di belakang kita. Kita adalah terakhir datang dari ahli dunia, tetapi kitalah yang pertama akan diperiksa dan diberi keputusan di antara makhluk-makhluk Allah di Hari Akhirat kelak."
KEUTAMAAN HARI JUM AT
Nabi ﷺ mengatakan bahwa pada Hari Jum'at itu ada suatu saat, jika bertepatan dengan itu kita berdoa, niscaya akan dikabulkan Allah. Demikian sabda Rasulullah ﷺ,
“Sesungguhnya pada hari Jum'at itu ada suatu saat, bilamana ditemui oleh seseorang Muslim, lalu dia memohon sesuatu yang baik kepada Allah, niscaya permohonannya akan dikabulkan Allah." (HR Imam Ahmad bin Hambal)
MALAM JUM'AT
Tentang malam Jum'at berkata Ibnu Qayyim,
“Sangat disukai memperbanyak membaca shalawat bagi Nabi Muhammad ﷺ pada hari Jum'at dan malam Jum'at, sebab Rasulullah ﷺ berkata,
“Perbanyaklah shalawat untukku pada hari Jum'at dan malam Jum'at."
Memang Rasulullah ﷺ sendiri adalah penghulu dari sekalian manusia dan Jum'at adalah penghulu dari sekalian hari; oleh sebab itu mengucapkan shalawat untuk beliau pada saat-saat itu mempunyai keistimewaan yang lain daripada hari-hari yang lain, disertai pula oleh kandungan hikmah yang lain, yaitu bahwa seluruh kebaikan yang dicapai oleh umatnya di dunia ini dan di akhirat, semuanya itu mereka capai adalah berkat buah tangan beliau ﷺ, maka dikumpulkan Allah untuk umat Muhammad itu di antara dua kebajikan, yaitu kebajikan dunia dan kebajikan akhirat; dan sebesar-besar kemuliaan yang mereka capai ialah pada hari Jum'at. Maka tersebutlah bahwa kelak mereka akan dimasukkan ke dalam surga pada hari Jum'at akan menghuni mahligai-mahligai mereka di sana. Dan hari Jum'at itu pun hari pertambahan mereka di surga. Dan di dunia ini pun hari Jum'at adalah Hari Raya mereka, segala permohonan dan permintaan yang mereka mohonkan di hari Jum'at itu pada saat tertentu akan dikabulkan Allah. Semuanya ini mereka kenal dan berhasil ialah karena ajaran Nabi ﷺ yang diterima dari tangannya. Maka untuk menyatakan terima kasih, puji-pujian, dan untuk menunaikan sejemput kecil daripada haknya ialah dengan memperbanyak mengucapkan sha-lawat untuk beliau di hari Jum'at dan malam Jum'at." Sekian Ibnul Qayyim.
Dan bersabdalah Rasulullah ﷺ,
“Dari Jum'at yang satu ke Jum'at yang lain adalah kafarat atas kesalahan yang diperbuat di antara keduanya, asal tidak mengerjakan dosa-dosa besar." (HR Ibnu Majah dari Abu Hurairah)
Ayat selanjutnya,
Ayat 10
“Maka apabila telah diselesaikan shalat itu, maka bertebaranlah di bumi dan carilah karunia Allah."
Artinya ialah bahwa apabila shalat Jum'at itu telah selesai dikerjakan, umat yang tadinya disuruh segera ke tempat shalat dan menghentikan berjual beli itu, sudahlah dibolehkan keluar kembali. Kalau mereka tadinya berjual beli, sudah boleh disambung kembali jual beli yang tadinya dihentikan karena pergi ke masjid.
Perintah bertebaranlah di muka bumi, sesudah semula dilarang karena pergi berkumpul melakukan Shalat Jum'at, menurut hukum ushul fiqih, diartikan bahwa larangan telah dicabut. Misalnya dilarang orang berburu selama mengerjakan umrah dan haji. Namun bilamana telah selesai mengerjakan umrah atau haji, sudah dibolehkan berburu lagi,
“Apabila kamu telah tahallul, silakan berburu!" (al-Maa'idah: 2)
Dengan demikian nyatalah bahwa dalam agama Islam, hari Jum'at itu bukanlah hari istirahat buat seluruhnya, melainkan hari buat melakukan ibadah bersama, yaitu shalat Jum'at. Apabila waktu Jum'at telah datang hentikan segala kegiatan. Apabila Jum'at telah selesai bolehlah bergiat kembali, bertebaranlah di muka bumi itu, “Dan carilah karunia Allah." Karena karunia Allah itu ada di mana-mana, asal saja orang mau berusaha dan bekerja. Karunia dari bertani dan berladang, usaha dari menggembala dan beternak, usaha dari berniaga dan jual beli, usaha dari macam-macam rezeki yang halal.
Maka tersebutlah bahwa seorang ulama salaf bernama Iraak bin Malik, apabila beliau telah selesai mengerjakan shalat Jum'at ketika akan keluar beliau berdiri sejenak di pintu masjid, lalu dia baca semacam doa kepada Allah, demikian bunyinya,
“Ya Allah, telah aku penuhi panggilan Engkau dan telah aku lakukan shalat yang Engkau perintahkan, dan aku akan bertebaran di muka bumi sebagaimana Engkau suruhkan; maka berilah aku rezeki sebagai karunia Engkau; sesungguhnya Engkau adalah yang sebaik-baik Pemberi Rezeki." (HR Ibnu Abi Hatim)
“Dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya." Artinya ke mana saja pun kamu, di mana saja pun, dalam suasana apa saja, jangan lupa kepada Allah.
Karena dengan selalu ingat kepada Allah akan dapatlah kita mengendalikan diri sehingga tidak terperosok kepada perbuatan yang tidak diridhai oleh Allah.
“Supaya kamu beroleh keberuntungan."
Keberuntungan yang utama bahwa segala apa yang diusahakan mendapat berkah dari Allah. Kalau mendapat rezeki ialah rezeki yang halal. Di samping keuntungan benda, yang utama sekali ialah keberuntungan karena hilangnya kekacauan pikiran sebab perbuatan yang tidak halal.
Setengah dari ulama salaf berkata, “Barangsiapa yang dapat berjual beli selepas Jum'at, niscaya akan diberi berkah oleh Allah tujuh puluh kali."
Ayat 11
“Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan mereka pun bubar untuk pergi kepadanya dan mereka tinggalkan engkau sedang berdiri."
Maka tersebutlah dalam sebuah hadits yang dirawikan oleh al-Hafizh Abu Ya'la, yang diterimanya dengan isnadnya dari Jabir bin Abdillah, bahwa pada suatu hari, sedang Nabi ﷺ berkhutbah di hari Jum'at, datanglah satu rombongan perniagaan yang dipimpin oleh Dihyah bin Khalifah, baru pulang dari negeri Syam. Biasanya pulangnya itu disambut oleh kaum keluarganya dengan membunyikan genderang untuk mengalu-alukan. Mendengar suara riuh rendah di luar karena kedatangan rombongan perniagaan itu, apatah lagi disambut dengan genderang pula, maka orang-orang yang sedang duduk mendengarkan khutbah Nabi ﷺ itu tidak dapat menahan diri lagi, mereka keluar semua dari majelis itu, sehingga tinggal hanya dua belas orang saja, di antaranya Abu Bakar dan Umar; sehingga mereka tinggalkanlah Nabi ﷺ sedang berdiri melakukan khutbah itu.
Dari bunyi ayat “dan mereka tinggalkan engkau sedang berdiri" ahli fiqih mengambil kesimpulan bahwa sunnah Nabi kalau berkhutbah ialah berdiri. Muslim merawikan dari Jabir bin Samurah, “Bahwa Rasulullah berkhutbah dua kali, dengan duduk sejenak di antara keduanya."
Berkenaan dengan kejadian yang tidak menyenangkan inilah maka datang teguran ayat ini. Mereka bubar keluar karena mendengarkan ada perniagaan dan ada pula orang menabuh bunyi-bunyian sebagai permainan, sehingga berkenaan dengan ini Nabi ﷺ bersabda,
“Demi Allah yang diriku ada dalam Tangan-Nya! Jika kiranya kamu bondong-bondong semua keluar, sehingga tidak seorang jua pun yang tinggal lagi, akan mengalirlah kepadamu suatu banjir dari api."
“Katakanlah, apa yang sedia di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan itu." Artinya, bahwa pahala dan pujian yang disediakan buat kamu patuh mendengarkan khutbah dan pengajaran yang diberikan oleh Nabi kepada kamu, jauh lebih baik daripada mengejar permainan yang setelah didengarkan sebentar, niscaya akan bosan juga. Demikian pun perniagaan belumlah tentu ada laba perniagaan itu; yang terang dengan mengejarnya keluar dari masjid Rasul, meninggalkan Rasul berkhutbah adalah suatu perbuatan yang sangat merugikan dari segi budi pekerti dan kesopanan.
“Dan Allah adalah yang sebaik-baik pemberi rezeki."
Hal itu hanya akan dirasakan oleh orang yang tenang, sabar, dan tawakal yang terlebih dahulu mengerjakan ibadah dengan sebaik-baiknya, dan sesudah selesai ibadah nanti bolehlah pergi ke mana-mana mencari rezeki yang halal.
Selesai Tafsir Surah al-Jumu'ah.