Ayat
Terjemahan Per Kata
كَبُرَ
besar
مَقۡتًا
kebencian
عِندَ
disisi
ٱللَّهِ
Allah
أَن
bahwa
تَقُولُواْ
kamu mengatakan
مَا
apa
لَا
tidak
تَفۡعَلُونَ
kamu kerjakan
كَبُرَ
besar
مَقۡتًا
kebencian
عِندَ
disisi
ٱللَّهِ
Allah
أَن
bahwa
تَقُولُواْ
kamu mengatakan
مَا
apa
لَا
tidak
تَفۡعَلُونَ
kamu kerjakan
Terjemahan
Sangat besarlah kemurkaan di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan.
Tafsir
(Amat besar) yakni besar sekali (kebencian) lafal maqtan berfungsi menjadi tamyiz (di sisi Allah bahwa kalian mengatakan) lafal an taquuluu menjadi fa'il dari lafal kabura (apa-apa yang tiada kalian kerjakan).
Tafsir Surat As-Saff: 1-4
Bertasbih kepada Allah apa saja yang ada di langit dan bumi, dan Dialah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tiada kamu kerjakan. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.
Dalam pembahasan terdahulu telah disebutkan tafsir firman Allah subhanahu wa ta’ala yang mengawali surat ini dan bukan hanya sekali sehingga tidak perlu diulangi lagi. Yang dimaksud adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala: Bertasbih kepada Allah apa saja yang ada di langit dan bumi; dan Dialah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (Ash-Shaff: l) Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala: Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tiada kamu kerjakan. (Ash-Shaff: 2) Ini merupakan pengingkaran terhadap orang yang menjanjikan sesuatu janji atau mengatakan sesuatu, lalu ia tidak memenuhinya.
Oleh karena itulah maka ada sebagian dari ulama Salaf yang berpendapat atas dalil ayat ini bahwa diwajibkan bagi seseorang menunaikan apa yang telah dijanjikannya secara mutlak tanpa memandang apakah yang dijanjikannya itu berkaitan dengan kewajiban ataukah tidak. Mereka beralasan pula dengan hadits yang disebutkan di dalam kitab Sahihain, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Pertanda orang munafik ada tiga, yaitu apabila berjanji ingkar, apabila berbicara dusta dan apabila dipercaya khianat. Di dalam hadits lain yang juga dalam kitab shahih disebutkan pula: Ada empat pekerti yang barang siapa menyandang keempat-empatnya, maka dia adalah munafik militan; dan barang siapa yang menyandang salah satunya, berarti dalam dirinya terdapat suatu pekerti orang yang munafik sampai dia meninggalkannya.
Lalu disebutkan yang antara lainnya ialah mengingkari janji. Kami telah menjelaskan dengan rinci kedua hadits ini di dalam permulaan syarah kitab Imam Al-Bukhari. Untuk itulah maka Allah mengukuhkan pengingkaran-Nya terhadap sikap mereka yang demikian itu melalui firman berikutnya: Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan. (Ash-Shaff: 3) Imam Ahmad dan Imam Abu Dawud telah meriwayatkan melalui Abdullah ibnu Amir ibnu Rabi'ah, yang telah menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ datang kepada keluarganya yang saat itu ia masih anak-anak.
Lalu ia pergi untuk bermain-main, tetapi ibunya memanggilnya, "Wahai Abdullah, kemarilah, aku akan memberimu sesuatu." Rasulullah ﷺ bertanya kepada ibunya, "Apakah yang hendak engkau berikan kepadanya?" Ibunya menjawab, "Kurma," Rasulullah ﷺ bersabda: Ketahuilah, sesungguhnya andaikata engkau tidak memberinya, tentulah akan dicatat atas dirimu sebagai suatu kedustaan. Imam Malik rahimahullah berpendapat bahwa apabila janji itu berkaitan dengan kewajiban terhadap yang dijanjikan, maka sudah menjadi keharusan penunaiannya. Misalnya ialah seperti seseorang berkata kepada lelaki lain, "Kawinlah kamu, maka aku akan memberikan nafkah sebanyak anu padamu setiap harinya!" Kemudian lelaki yang diperintahnya itu kawin, maka orang yang berjanji demikian kepadanya diwajibkan memberinya apa yang telah ia janjikan kepadanya selama lelaki itu dalam ikatan perkawinannya.
Mengingat masalah ini berkaitan dengan hak Adami dan berlandaskan pada prinsip mudayaqah. Jumhur ulama berpendapat bahwa masalah tersebut di atas penunaiannya bersifat tidak wajib secara mutlak. Dan mereka menakwilkan makna ayat dengan pengertian bahwa ayat ini diturunkan ketika mereka mengharapkan jihad difardukan atas diri mereka. Tetapi setelah jihad diwajibkan atas mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka berpaling darinya, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, "Tahanlah tanganmu (dari berperang), laksanakanlah shalat dan tunaikanlah zakat!" Ketika mereka diwajibkan berperang, tiba-tiba sebagian dari mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih takut dari itu.
Mereka berkata, "Ya Tuhan kami, mengapa Engkau wajibkan berperang kepada kami? Mengapa tidak Engkau tangguhkan (kewajiban berperang) kepada kami beberapa waktu lagi?" Katakanlah, "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun. Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh. (An-Nisa: 77-78) Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala lainnya yang menyebutkan: Dan orang-orang yang beriman berkata, "Mengapa tiada diturunkan suatu surat? Maka apabila diturunkan suatu surat yang jelas maksudnya dan disebutkan di dalamnya (perintah) perang, kamu lihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya memandang kepadamu seperti pandangan orang yang pingsan karena takut mati. (Muhammad: 20), hingga akhir ayat.
Demikian pula artinya ayat ini menurut apa yang diriwayatkan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tiada kamu kerjakan. (Ash-Shaff: 2) Dahulu sebelum jihad difardukan, ada segolongan kaum mukmin yang mengatakan bahwa kami sangat menginginkan sekiranya Allah subhanahu wa ta’ala menunjukkan kepada kami amal perbuatan yang paling disukai-Nya, maka kami akan mengerjakannya. Maka Allah subhanahu wa ta’ala memberitahukan kepada Nabi-Nya, bahwa amal perbuatan yang paling disukai ialah beriman kepada-Nya tanpa keraguan, dan berjihad melawan orang-orang yang mendurhakai-Nya, yaitu mereka yang menentang keimanan dan tidak mau mengakuinya.
Ketika diturunkan perintah berjihad, sebagian dari kaum mukmin tidak senang dengan perintah ini dan terasa berat olehnya. Untuk itulah maka Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tiada kamu kerjakan? (Ash-Shaff: 2) Demikianlah menurut apa yang dipilih oleh Ibnu Jarir. Muqatil ibnu Hayyan mengatakan bahwa orang-orang mukmin mengatakan, "Seandainya kami mengetahui amal yang paling disukai Allah, tentulah kami akan mengerjakannya." Maka Allah memberikan petunjuk kepada mereka tentang amal yang paling disukai oleh-Nya melalui firman-Nya: Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur. (Ash-Shaff: 4) Maka Allah menjelaskan kepada mereka amal tersebut, lalu mereka diuji dalam Perang Uhud dengan hal tersebut, dan ternyata pada akhirnya mereka lari ke belakang meninggalkan Nabi ﷺ Maka Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya: Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? (Ash-Shaff: 2) Allah subhanahu wa ta’ala berfirman bahwa orang yang paling Aku sukai di antara kamu adalah orang yang berperang di jalan Allah.
Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan masalah perang; seseorang lelaki mengatakan, "Aku telah berperang," padahal ia tidak ikut perang, dan ia mengatakan, "Aku telah menusukkan tombakku," padahal ia tidak menggunakannya. Dan ia mengatakan, "Aku telah memukulkan pedangku," padahal ia tidak menggunakannya. Dan ia mengatakan, "Aku tetap bertahan dalam medan perang," padahal ia tidak bertahan alias melarikan diri.
Qatadah dan Adh-Dhahhak mengatakan, ayat ini diturunkan untuk mencemoohkan suatu kaum yang mengatakan bahwa diri mereka telah berperang, memukulkan pedang mereka dan menusukkan tombak mereka, serta melakukan hal-hal lainnya, padahal kenyataannya mereka tidak melakukan sesuatu pun dari apa yang telah dikatakannya itu. Ibnu Zaid mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan suatu kaum dari orang-orang munafik.
Mereka menjanjikan kepada kaum muslim bahwa mereka akan membantunya, tetapi ternyata mereka tidak memenuhi apa yang mereka janjikan. Malik telah meriwayatkan dari Zaid ibnu Aslam sehubungan dengan makna firman Allah subhanahu wa ta’ala: mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? (Ash-Shaff: 2) Bahwa yang dimaksud ialah berjihad. Ibnu Abu Najih telah meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan firman-Nya: mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?'(Ash-Shaff: 2) sampai dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala: seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. (Ash-Shaff: 4) Ayat-ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan segolongan orang-orang Ansar yang antara lain ialah Abdullah ibnu Rawwahah.
Mereka mengatakan dalam suatu majelis, "Seandainya kita mengetahui amal yang paling disukai oleh Allah, niscaya kita akan mengerjakannya, hingga kita mati," maka Allah menurunkan ayat-ayat tersebut berkenaan dengan mereka. Akhirnya Abdullah ibnu Rawwahah berkata, "Aku akan terus-menerus berjihad di jalan Allah hingga titik darah penghabisan." Pada akhirnya ia gugur mati syahid dalam medan pertempuran. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Farwah ibnu Abul Migra, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Misar, dari Daud ibnu Abu Hindun, dari Abu Harb ibnu Abul Aswad Ad-Daili, dari ayahnya yang mengatakan bahwa Abu Musa mengundang ahli qurra kota Basrah, maka datanglah kepadanya sebagian dari mereka sebanyak tiga ratus orang, semuanya hafal Al-Qur'an.
Abu Musa berkata, "Kalian adalah ahli qurra kota Basrah dan orang-orang pilihan mereka." Dan Abu Musa mengatakan bahwa dahulu kami sering membaca suatu surat yang kami kelompokkan ke dalam surat-surat yang diawali dengan tasbih, lalu kami ditakdirkan lupa terhadapnya, hanya aku masih hafal salah satu dari ayatnya yang menyebutkan: Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? (Ash-Shaff: 2) Maka dibebankanlah ke atas pundak kalian persaksian dan kelak di hari kiamat kalian akan dimintai pertanggungjawaban tentangnya.
Untuk itulah maka disebutkan oleh firman Allah subhanahu wa ta’ala: Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. (Ash-Shaff: 4) Hal ini merupakan pemberitaan dari Allah subhanahu wa ta’ala yang menyatakan kecintaan-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang beriman. Apabila mereka berbaris dengan teratur menghadapi musuh-musuh Allah dalam medan pertempuran, mereka berperang di jalan Allah melawan orang-orang yang kafir terhadap Allah agar kalimah Allah-lah yang tertinggi dan agama-Nyalah yang menang lagi berada di atas agama-agama lainnya.
". Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Mujalid, dari Abul Waddak, dari Abu Sa'id Al-Khudri yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Ada tiga macam orang yang Allah rida kepada mereka, yaitu seorang yang mengerjakan shalat malam hari, dan kaum yang apabila shalat mereka membentuk barisan dengan teratur, serta kaum yang apabila dalam medan perang mereka membentuk barisan dengan teratur. Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadits Mujalid, dari Abul Waddak alias Jabar ibnu Nauf dengan sanad yang sama.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im Al-Fadl ibnu Dakin, telah menceritakan kepada kami Al-Aswad (yakni Ibnu Syaiban), telah menceritakan kepadaku Yazid ibnu Abdullah ibnusy Syikhkhir yang mengatakan bahwa Mutharrif pernah mengatakan bahwa pernah sampai kepadanya sebuah hadits dari Abu Dzar sehingga ia ingin bersua secara langsung dengannya. Lalu ia menemuinya dan bertanya, "Wahai Abu Dzar, pernah sampai kepadaku sebuah hadits darimu, maka aku ingin sekali bersua denganmu." Abu Dzar menjawab, "Ayahmu milik Allah, sekarang engkau telah bersua denganku, maka kemukakanlah maksudmu!" Aku berkata, "Pernah sampai kepadaku suatu hadits darimu bahwa engkau pernah mengatakan Rasulullah ﷺ telah menceritakan kepada kalian (para sahabat) bahwa Allah murka terhadap tiga macam orang dan menyukai tiga macam orang lainnya." Abu Dzar menjawab, "Benar, janganlah engkau mempunyai prasangka bahwa aku berdusta terhadap kekasihku (Nabi ﷺ )." Aku bertanya, "Maka siapakah tiga macam orang yang disukai oleh Allah itu?" Abu Dzar menjawab, bahwa seorang lelaki yang berperang di jalan Allah, ia keluar berjihad dengan mengharapkan rida Allah dan pahala-Nya, lalu berhadapan dengan musuh.
Dan kamu akan menjumpai hal yang membenarkannya di dalam Kitabullah. Kemudian Abu Dzar membacakan firman-Nya: Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. (Ash-Shaff: 4) Kemudian disebutkan hal yang selanjutnya hingga akhir hadits. Demikianlah hadits ini diketengahkan melalui jalur ini dengan teks seperti yang disebutkan di atas, tetapi yang dikemukakan di atas adalah ringkasannya.
Imam At-Tirmidzi dan Imam An-Nasai telah mengetengahkannya melalui hadits Syu'bah, dari Mansur ibnul Mu'tamir, dari Rib'i ibnu Hirasy, dari Zaid Ibnu Zabyan, dari Abu Dzar dengan teks yang lebih panjang daripada hadits di atas lagi lebih lengkap. Kami telah mengetengahkannya di tempat yang lain. Diriwayatkan dari Ka'bul Ahbar. Ia mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berfirman berkenaan dengan berita gembira kedatangan Nabi Muhammad ﷺ , "Hamba-Ku yang bertawakal lagi terpilih, bukanlah orang yang keras, bukan pula orang yang kasar, serta bukan pula orang yang bersuara gaduh di pasar-pasar; dan dia tidak membalas keburukan dengan keburukan lainnya, tetapi dia memaaf dan mengampuni.
Kelahirannya di Mekah, dan tempat hijrahnya ialah di Tabah (Madinah); kerajaannya di negeri Syam. Umatnya adalah orang-orang yang banyak memuji Allah, mereka memuji Allah dalam keadaan apa pun. Dan pada setiap rumah mereka terdengar suara dengungan seperti dengungan lebah di udara di waktu sahur (karena membaca Al-Qur'an). Mereka membasuh anggota-anggota tubuhnya (berwudu) dan gemar mengenakan kain separo badan mereka; saf mereka dalam pertempuran sama dengan saf mereka dalam shalat." Kemudian Ka'bul Ahbar membacakan firman-Nya: Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. (Ash-Shaff: 4) Mereka adalah kaum yang selalu memperhatikan matahari (untuk waktu shalat mereka), mereka selalu mengerjakan shalat di mana pun waktu shalat mereka jumpai sekalipun mereka berada di atas punggung hewan kendaraan.
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Sa'id ibnu Jubair mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur. (Ash-Shaff: 4) Bahwa Rasulullah ﷺ tidak sekali-kali berperang melawan musuh melainkan terlebih dahulu mengatur barisan pasukannya membentuk saf, dan ini merupakan strategi yang diajarkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada orang-orang mukmin. Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala: seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. (Ash-Shaff: 4) Yaitu sebagian darinya menempel dengan sebagian lainnya dalam saf peperangan. Muqatil ibnu Hayyan mengatakan bahwa sebagiannya menempel ketat dengan sebagian yang lain.
Ibnu Abbas mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. (Ash-Shaff: 4) Yakni kokoh dan tidak rapuh, sebagiannya menempel ketat dengan sebagian yang lain dalam barisan safnya. Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh. (Ash-Shaff: 4) Tidakkah Anda melihat para pekerja bangunan? Mereka tidak suka bila bangunan yang dikerjakannya acak-acakan. Demikian pula Allah subhanahu wa ta’ala tidak suka bila perintah-Nya diacak-acak. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada kaum mukmin untuk berbaris dengan rapi dalam peperangan mereka dan juga dalam shalat mereka, maka peganglah oleh kalian perintah Allah subhanahu wa ta’ala ini, karena sesungguhnya perintah ini akan menjadi pemelihara diri bagi orang yang mengamalkannya.
Semua pendapat di atas di kemukakan oleh Ibnu Abu Hatim. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Sa'id ibnu Amr As-Sukuni, telah menceritakan kepada kamj Baqiyyah ibnul Walid, dari Abu Bakar ibnu Abu Maryam, dari Yahya ibnu Jabir At-Ta'ir, dari Abu Bahriyyah yang mengatakan bahwa dahulu mereka tidak suka berperang dengan mengendarai kuda dan mereka lebih suka berperang dengan jalan kaki karena ada firman Allah subhanahu wa ta’ala yang mengatakan: Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, seakan-akan mereka seperti bangunan yang tersusun kokoh. (Ash-Shaff: 4) Dan tersebutlah bahwa Abu Bahriyyah sering mengatakan, "Apabila kalian melihatku menoleh dalam safku, maka pukullah daguku.""
Perbuatan kamu, wahai orang-orang yang beriman, yang tidak melakukan apa yang sudah dikatakan atau disampaikan kepada orang lain sangatlah dibenci di sisi Allah, jika kamu mengikuti kebiasaan orang-orang munafik, mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan, bermuka dua, tidak ada kesatuan kata dan perbuatan dan tidak ada integritas. 4. Ayat ini menyatakan bahwa Allah suka kepada orang-orang yang berjihad dalam barisan yang teratur. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya untuk membela diri dan membela kehormatan Islam dan kaum muslim dalam barisan yang teratur, kuat, militan, dan terorganisir dengan baik; mereka seakan-akan dalam membangun kekuatan umat seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh, saling menguatkan komponen umat muslim yang satu terhadap komponen umat muslim lainnya.
Allah memperingatkan bahwa sangat besar dosanya orang mengatakan sesuatu, tetapi ia sendiri tidak melaksanakannya. Hal ini berlaku baik dalam pandangan Allah maupun dalam pandangan masyarakat.
Menepati janji merupakan perwujudan iman yang kuat. Budi pekerti yang agung, dan sikap yang berperikemanusiaan pada seseorang, menimbulkan kepercayaan dan penghormatan masyarakat. Sebaliknya, perbuatan menyalahi janji tanda iman yang lemah, serta tingkah laku yang jelek dan sikap yang tidak berperikemanusiaan, akan menimbulkan saling mencurigai dan dendam di dalam masyarakat. Oleh karena itulah, agama Islam sangat mencela orang yang suka berdusta dan menyalahi janjinya.
Agar sifat tercela itu tidak dipunyai oleh orang-orang beriman, alangkah baiknya jika menepati janji dan berkata benar itu dijadikan tujuan pendidikan yang utama yang diajarkan kepada anak-anak di samping beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan melatih diri mengerjakan berbagai bentuk ibadah yang diwajibkan.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SURAH ASH-SHAFF
(BARISAN)
SURAH KE-61,14 AYAT, DITURUNKAN DI MADINAH
(AYAT 1-14)
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Pengasih.
KEJUJURAN POKOK KEKUATAN
Ayat 1
“Mengucapkan tasbih kepada Allah apa yang berada di semua langit dan apa yang ada di bumi."
Apabila manusia telah mendalami paham tauhid, yaitu percaya bahwa Allah itu adalah Esa, tidak menyekutukan dengan yang lain, diakui oleh akalnya yang sehat, dituruti oleh perasaannya yang halus, dan dipupuknya perasaan itu sampai mendalam dengan melakukan ibadah, niscaya akan dirasakannya bahwa dirinya bukanlah terpencil di tengah alam sekelilingnya. Dia akan merasakan bahwa seluruh alam, baik langit dengan segala bintang-bintang menghiasinya, ataupun bumi dengan segala yang berada di atasnya, semuanya mengucapkan tasbih kepada Allah. Artinya, menyatakan dan membuktikan kekuasaan dan kebesaran Allah, yang dengan segala kebijaksanaan dan kekuasaan-Nya mengatur perjalanan alam sejak dari yang sebesar-besarnya sampai kepada yang sekecil-kecilnya.
Bertambah bersih hati manusia, bertambah terbukalah baginya rahasia alam, sehingga batinnya dapat mendengarkan tasbih alam itu. Di waktu itu manusia merasa dirinya bersatu dengan alam, atau sebagian dari alam itu, tidak terpencil. Inilah yang dikatakan oleh A. Cressy Morrison, presiden dari Akademi Ilmu Pengetahuan di New York “Man does not stand alone" (manusia tidaklah dapat hidup sendiri). Bertambah manusia memusatkan ingatannya kepada Yang Maha Esa, bertambah berpadulah manusia dengan alam di sekelilingnya.
“Dan Dia adalah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana."
Apabila kita lihat dan kita pelajari satu demi satu pada alam keliling kita ini, baik ketika menengadah ke langit, atau ketika mentafakuri bumi, atau pun ketika merenungi diri kita sendiri, pastilah akan terasa gagah perkasanya Allah karena di mana-mana kelihatan ketundukan segala sesuatu akan aturan-Nya. Tiada satu yang dapat membantah dan menukar aturan itu dengan yang lain. Dan tampak pula kebijaksanaan karena semuanya teratur indah sekali. Karena sifat Perkasa tidaklah manis kalau tidak disertai Bijaksana, Dan itu hanya ada pada Allah.
Ayat 2
“Wahai orang-orang yang beriman! Karena apa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan?"
Mula sekali dipanggil nama yang patuh, yaitu orang-orang yang beriman! Panggilan itu adalah panggilan yang mengandung penghormatan yang tinggi. Tetapi panggilan itu diiringi dengan pertanyaan, dan pertanyaan itu mengandung keheranan dan keingkaran. Kamu telah mengaku diri orang yang beriman dan Allah pun telah memanggil kamu dengan panggilan yang penuh penghormatan itu. Tetapi kamu kedapatan mengatakan dengan mulutmu apa yang tidak pernah kamu kerjakan. Sebab mengatakan dengan mulut apa yang tidak pernah dikerjakan, tidaklah patut timbul dari orang yang telah mengaku beriman kepada Allah. Syekh Jamaluddin al-Qasimi menulis dalam tafsirnya, “Mengatakan barang yang tidak pernah dikerjakan adalah berdusta, dan berdusta sangatlah jauh daripada orang yang mempunyai muruah, yaitu yang tahu harga diri. Sedang muruah itu adalah dasar yang utama yang menyebabkan timbulnya iman. Karena iman yang asli ialah kembali kepada fitrah yang pertama, yaitu kemurnian jiwa dan agama yang benar itulah dia. Kalau iman asli itu telah tumbuh, dengan sendirinya pula dia akan menumbuhkan pula berbagai dahan dan ranting perangai-perangai yang utama dalam berbagai ragamnya, yang di antaranya ialah iffah, artinya dapat mengendalikan diri. Kesanggupan mengendalikan diri menyebabkan timbulnya pula tahu akan harga diri, dan itulah dia muruah atau marwah. Dan seorang yang telah mau berbohong tanda muruahnya telah luntur. Artinya imannya yang luntur. Karena suatu ucapan lidah adalah kabar berita yang mengandung arti. Arti yang terkandung ditunjukkan susunan kata. Arti terletak di dalam batin, dan ucapan yang keluar dari mulut memakai bibir dan lidah. Sedang suatu dusta adalah kata-kata ucapan mulut yang berbeda di antara yang terucap dengan yang sebenarnya di dalam hati. Dengan demikian maka pelakunya telah masuk ke dalam perangkap setan."
Ayat 3
“Amatlah dibenci di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan."
Perkataan yang tidak sesuai dengan perbuatan sangatlah dibenci oleh Allah. Hal yang demikian tidaklah layak bagi orang yang telah mengaku beriman. Ayat 2 dan 3 ini adalah peringatan sungguh-sungguh bagi orang yang telah mengaku beriman agar dia benar-benar menjaga dirinya jangan menjadi pembohong.
Hasan bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah ﷺ berkata bahwa dia menghafal ucapan Rasulullah ﷺ yang demikian bunyinya,
“Tinggalkan barang yang menimbulkan keraguan engkau dan ambil yang tidak meragukan; sesungguhnya kejujuran membuat hati tentaram dan dusta adalah membuat hati ragu-ragu." (HR at-Tirmidzi)
Sebab itu maka hati orang yang beriman itu tidaklah boleh ragu-ragu. Ragu-ragu hanya dapat hilang apabila hidup bersikap jujur. Kejujuran untuk memupuk iman.
Iman itu mesti selalu dijaga. Kalau dilihat sepintas lalu saja tidaklah mungkin orang yang beriman diberi nasihat supaya jangan berbohong, jangan berdusta. Tetapi tidak jarang kejadian, karena kurang pemeliharaan iman itu jadi rusak karena dusta. Sebab itu kita dapatilah di dalam Al-Qur'an beberapa peringatan kepada orang-orang yang beriman supaya dia bertakwa. (Lihat surah Aali ‘Imraan, ayat 102).
Di surah itu juga ayat 156 diperingatkan supaya mereka jangan serupa dengan orang-orang yang kafir. Dalam surah , an-Nisaa' ayat 136 diperingatkan dengan jelas, “Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah kepada Allah dengan Rasul-Nya."
Di surah al-Maa'idah ayat 1 orang-orang yang beriman diperingatkan supaya mereka memenuhi janji.
Dan banyak lagi ayat-ayat yang lain, yang semuanya itu membuktikan bahwa pengakuan beriman belum cukup kalau tidak ada pemeliharaan dan pemupukan, ibarat menanam tanaman hendaklah selalu disiram, supaya jangan mati, dipupuk supaya selalu subur.
Ayat 4
“Sesungguhnya Allah amat suka kepada orang-orang yang berperang pada jalan-Nya dalam keadaan berbaris, seakan-akan mereka suatu bangunan yang kukuh."
Ayat ini berjalin dan berkelindan. Lebih dahulu tiap-tiap orang yang beriman mengukuhkan pribadinya, meneguhkan muruahnya dengan menjaga jangan sampai mengucapkan kata-kata yang tidak dibuktikan dengan perbuatan. Sebab apabila mulut tidak sesuai lagi dengan perbuatan, pribadi itu akan merosot turun, tidak ada harganya lagi. Sesudah tiap-tiap Mukmin mempertinggi nilai pribadi-nya dengan kejujuran, maka untuk berjuang mempertahankan aqidah hendaklah leburkan pribadi itu ke dalam pribadi yang besar, yaitu pribadi sebagai satu umat, yang mempertahankan pendirian. Pendirian ialah sabilillah, jalan Allah! Setiap hari, dalam tiap-tiap rakaat shalat Mukmin memohon Allah agar ia ditunjuki kepada jalan yang benar.
Jalan yang benar itu tidaklah mudah dan tidaklah ditaburi dengan kembang wangi. Banyak halangannya dan banyak musuhnya. Sebab itu orang Mukmin mesti bersedia berperang pada jalan Allah itu.
Tetapi berperang tidak akan menang kalau komando tidak satu!
Kita pergi kepada ayat 2 dan 3 tadi, tentang kejujuran sebagai lawan dari kedustaan. Orang yang perkataannya tidak cocok dengan perbuatannya tidaklah akan ada padanya keberanian berjuang dengan sungguh-sungguh. Sebab qitaal atau jihad, berperang atau berjuang menghendaki disiplin jiwa sebelum disiplin sikap.
Dalam ayat ini Allah menyatakan cinta-Nya kepada hamba-Nya yang beriman, bilamana mereka bersusun berbaris dengan teratur menghadapi musuh-musuh Allah di medan perang; mereka berperang pada jalan Allah, membunuh ataupun terbunuh. Tujuan mereka hanya satu, yaitu supaya kalimat Allah tetap di atas dan agama Allah tetap menang, di atas dari segala agama.
Tersebut dalam sebuah hadits yang dirawikan oleh al-Imam Ahmad, yang diterima dengan sanadnya dari sahabat Nabi, Abu Said al-Khudri, Rasulullah ﷺ bersabda,
“Tiga orang yang Allah tertawa melihat mereka: (1). Seorang laki-laki yang bangun shalat tengah malam; (2). Suatu kaum yang bershaf di waktu shalat; (3). Dan suatu kaum yang bershaf ketika berperang." (HR Imam Ahmad)
Oleh sebab itu maka shalat dan berperang samalah memerlukan imam. Di zaman Nabi ﷺ hidup, Nabi adalah imam dalam shalat dan imam dalam berperang. Kalau dalam shalat seorang makmum tidak boleh mendahului imam, dalam peperangan seorang prajurit pun wajib patuh, tunduk dan tidak membantah sedikit pun kepada perintah atasan.
Said bin Jubair mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ ketika akan memulai peperangan dengan musuh mestilah lebih dahulu mengatur barisan, “Seakan-akan mereka suatu bangunan yang kukuh." Muqatil bin Hayyan berkata, “Rapat bersusun di antara yang satu dengan yang lain."
Qatadah berkata, “Seakan-akan bangunan yang kukuh! Tidakkah kau lihat seorang yang membangunkan suatu bangunan? Bagaimana dia menyusun rapat tiap batu bata itu? Tidak ada yang tertonjol atau tinggi rendahan. Demikian pulalah Allah Azza wa Jalla tidaklah Dia suka perintah-Nya tidak dijalankan sungguh-sungguh. Allah memerintahkan barisan di medan perang sebagaimana barisan di medan shalat berjamaah. Teguhilah memegang perintah Allah ini supaya kamu menang!"
Dengan ajaran ini teranglah bahwa Islam bukanlah semata-mata untuk kepentingan diri, untuk bersemadi merenung diri sendiri dengan tidak mementingkan masyarakat. Seorang Muslim adalah anggota dari masyarakat Islam yang besar. Di antara agama dengan keduniaan tidak ada pemisahan. Di waktu Rasulullah ﷺ hidup masyarakat Islam telah terbentuk. Setelah beliau wafat, jenazah beliau belum dikebumikan sebelum diangkat Khalifah beliau yang akan menjadi imam menggantikan beliau. Maka tiap-tiap anggota masyarakat Islam wajiblah selalu mempersiapkan diri selalu, mengukuhkan iman, memperteguh hati, dan sedia selalu buat berjuang.