Ayat
Terjemahan Per Kata
وَنُقَلِّبُ
dan Kami memutar balikkan
أَفۡـِٔدَتَهُمۡ
hati mereka
وَأَبۡصَٰرَهُمۡ
dan penglihatan mereka
كَمَا
sebagaimana
لَمۡ
tidak
يُؤۡمِنُواْ
mereka beriman
بِهِۦٓ
dengannya/kepadanya
أَوَّلَ
pertama
مَرَّةٖ
kali
وَنَذَرُهُمۡ
dan Kami biarkan mereka
فِي
dalam
طُغۡيَٰنِهِمۡ
kedurhakaan/kesesatan mereka
يَعۡمَهُونَ
mereka kebingungan
وَنُقَلِّبُ
dan Kami memutar balikkan
أَفۡـِٔدَتَهُمۡ
hati mereka
وَأَبۡصَٰرَهُمۡ
dan penglihatan mereka
كَمَا
sebagaimana
لَمۡ
tidak
يُؤۡمِنُواْ
mereka beriman
بِهِۦٓ
dengannya/kepadanya
أَوَّلَ
pertama
مَرَّةٖ
kali
وَنَذَرُهُمۡ
dan Kami biarkan mereka
فِي
dalam
طُغۡيَٰنِهِمۡ
kedurhakaan/kesesatan mereka
يَعۡمَهُونَ
mereka kebingungan
Terjemahan
(Kamu pun tidak akan mengira bahwa) Kami akan memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti pertama kali mereka tidak beriman kepadanya (Al-Qur’an) serta Kami membiarkan mereka bingung dalam kesesatan.
Tafsir
(Dan Kami memalingkan hati mereka) Kami menyimpangkan hati mereka dari perkara yang hak sehingga mereka sama sekali tidak mengerti mengenai kebenaran (dan penglihatan mereka) dari perkara yang hak tersebut sehingga mereka tidak dapat melihatnya dan pula tidak mau beriman kepadanya (seperti mereka belum pernah beriman kepadanya) artinya kepada ayat-ayat yang telah diturunkan (pada permulaannya dan Kami biarkan mereka) Kami tinggalkan mereka (di dalam lewat batas mereka) yaitu kesesatan mereka (menggelimangkan dirinya) sehingga bolak-balik dalam keadaan bingung.
Tafsir Surat Al-An'am: 109-110
Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan segala kesungguhan, bahwa sesungguhnya jika datang sesuatu mukjizat kepada mereka, pastilah mereka beriman kepada-Nya. Katakanlah, “Sesungguhnya mukjizat-mukjizat itu hanya berada di sisi Allah.” Dan apakah kamu tidak sadar, bahwa apabila mukjizat itu datang, mereka tetap tidak akan beriman.
Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti saat pertama kali mereka tidak beriman kepadanya (Al-Qur'an), dan Kami biarkan mereka kebingungan dalam kesesatannya.
Ayat 109
Allah ﷻ menceritakan perihal orang-orang musyrik. Mereka bersumpah dengan menyebut nama Allah dengan segala kesungguhan, yakni dengan sumpah yang kuat:
“Bahwa sungguh jika datang kepada mereka sesuatu mukjizat.” (Al-An'am: 109)
Yang dimaksud dengan “ayatun” dalam ayat ini ialah mukjizat dan hal yang bertentangan dengan hukum alam.
“Mereka benar-benar akan beriman kepada-Nya.” (Al-An'am: 109)
Yakni mereka benar-benar akan percaya kepada-Nya.
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya mukjizat-mukjizat itu hanya berada di sisi Allah’.” (Al-An'am: 109)
Maksudnya katakanlah wahai Muhammad, kepada mereka yang meminta kepadamu untuk menunjukkan bukti mukjizat-mukjizat yang diturunkan Allah kepadamu, dengan permintaan yang bernadakan kekufuran, keingkaran, dan menantang Allah, maka ketahuilah bahwa mereka bukan meminta itu bukan untuk mencari mendapat hidayah dan petunjuk, ‘ingatlah sesungguhnya mukjizat-mukjizat itu hanya dapat datang atas kehendak-Nya. Jika Dia menghendakinya, niscaya Dia akan memperlihatkannya kepada kalian. Dan jika Dia menghendaki selainnya, Dia tidak akan menurunkannya dan membiarkan kalian’.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hannad, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Abu Ma'syar, dari Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi yang menceritakan bahwa orang-orang Quraisy pernah berbicara kepada Rasulullah ﷺ Mereka mengatakan, "Wahai Muhammad, engkau telah menceritakan kepada kami tentang bagaimana Musa memukulkan tongkatnya ke batu dan dari batu itu mengalir air sebanyak dua belas mata air. Dan engkau telah menceritakan tentang bagaimana Isa dapat menghidupkan orang-orang yang sudah mati. Dan engkau juga telah bercerita kepada kami bahwa Tsamud mempunyai unta (yaitu unta Nabi Saleh), maka tunjukkanlah kepada kami sebagian dari mukjizat-mukjizat itu olehmu agar kami dapat percaya kepadamu."
Rasulullah ﷺ bersabda, "Hal apakah yang kalian inginkan agar aku datangkan kepada kalian?" Mereka menjawab, "Engkau jadikan buat kami Bukit Safa ini menjadi emas." Nabi ﷺ bersabda, "Jika aku dapat melakukannya, apakah kalian mau percaya (beriman) kepadaku?" Mereka menjawab, "Ya, demi Allah, jika engkau benar-benar dapat melakukannya, kami semua sungguh akan beriman kepadamu." Maka Rasulullah ﷺ berdiri, lalu berdoa. Dan Malaikat Jibril a.s. Datang kepadanya, lalu berkata, "Pilihlah sesukamu, jika kamu menginginkan Bukit Safa menjadi emas, maka pada pagi harinya Bukit Safa akan menjadi emas. Namun apabila suatu mukjizat telah diturunkan, lalu mereka tidak mempercayainya, maka sungguh Allah akan mengazab mereka.
Jika kamu ingin membiarkan mereka, maka biarkanlah permintaan mereka, (jangan kamu kabulkan) untuk memberikan kesempatan kepada orang-orang dari kalangan mereka yang mau bertobat." Maka Rasulullah ﷺ menjawab, "Tidak, saya ingin agar orang-orang yang sadar dari kalangan mereka mau bertobat." Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya:
“Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan segala kesungguhan.” (Al-An'am: 109) sampai dengan firman-Nya:
“Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (Al-An'am: 111). Hadits ini berpredikat mursal, tetapi mempunyai banyak syahid yang menguatkannya, diriwayatkan melalui berbagai jalur.
Allah ﷻ telah berfirman:
“Dan tidak ada yang menghalangi Kami untuk mengirimkan (kepadamu) tanda-tanda (kekuasaan Kami), melainkan karena tanda-tanda itu telah didustakan oleh orang-orang dahulu.” (Al-Isra: 59), hingga akhir ayat.
Mengenai firman Allah ﷻ:
“Dan apakah kamu tidak sadar, bahwa apabila mukjizat itu datang, mereka tetap tidak akan beriman.” (Al-An'am: 109) Menurut suatu pendapat, orang-orang yang dimaksudkan oleh ayat ini adalah kaum musyrik. Demikianlah menurut Mujahid. Seakan-akan Allah mengatakan kepada mereka apakah kalian mengetahui kebenaran sikap kalian terhadap sumpah-sumpah yang kalian ucapkan tersebut.
Berdasarkan pengertian ini, maka dalam ayat (Al-An'am: 109) boleh dibaca “innaha” karena dianggap sebagai jumlah isti'naf (kalimat permulaan) yang menegaskan tentang ketiadaan iman mereka di saat mukjizat-mukjizat yang mereka minta didatangkan kepada mereka. Sebagian ulama lain membacanya:
“Bahwa apabila mukjizat datang, mereka tetap tidak akan beriman. (Al-An'am: 109)
Yakni dengan bacaan “tu’minuna” yang artinya itu ditujukan kepada lawan bicara.
Menurut pendapat lain, mukhatab (lawan bicara) yang dimaksud adalah orang-orang mukmin. Allah ﷻ berfirman, "Apakah kalian mengetahui, wahai orang-orang mukmin?" Berdasarkan qiraat ini, lafal “innaha” boleh dibaca kasrah seperti bacaan pertama, boleh pula dibaca “annaha” karena dianggap sebagai mamul dari lafal “yusy'irukum”. Dengan demikian, berarti huruf la yang ada dalam firman-Nya:
“Bahwa apabila mukjizat datang, mereka tidak akan beriman.” (Al-An'am: 109)
Berkedudukan menjadi silah,
Hal yang sama seperti dalam firman lain-Nya:
“Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” (Al-A'raf: 12)
Dan firman Allah ﷻ:
“Sungguh tidak mungkin atas (penduduk) suatu negeri yang telah Kami binasakan, bahwa mereka tidak akan kembali (kepada Kami).” (Al-Anbiya: 95)
Artinya, apakah yang mencegahmu untuk bersujud kepada Adam ketika Aku perintahkan kamu melakukannya? Sesungguhnya orang orang atau penduduk dari suatu negeri yang telah Kami binasakan, pasti mereka akan kembali kepada Kami.
Berdasarkan pengertian ini, berarti makna ayat yang sedang dibahas ialah: Dan apakah yang memberitahukan kepada kalian, wahai orang-orang mukmin,tentang orang-orang yang kalian berharap akan beriman hanya karena hal yang mereka inginkan itu, maka apabila mukjizat-mukjizat itu dihadirkan kepada mereka, apakah mereka akan beriman? Sebagian ulama mengatakan bahwa lafal “annaha” bermakna “la alla” yang artinya 'mudah-mudahan'.
Ibnu Jarir mengatakan, mereka menyebutkan bahwa memang demikianlah maknanya menurut qiraat Ubay ibnu Ka'b. Menurut Ibnu Jarir, telah disebutkan dari perkataan orang Arab secara sima'i idiom kalimat berikut: "Pergilah ke pasar, mudah-mudahan engkau membelikan sesuatu (makanan) buat kami." Lafal “innaka” disini bermakna “la 'allaka”, yakni agar engkau membelikan buat kami sesuatu.
Ibnu Jarir mengatakan, menurut suatu pendapat ada yang mengatakan bahwa perkataan Addi Ibnu Zaid Al-Ibadi dalam bait syair berikut termasuk ke dalam bab ini, yaitu: Wahai orang yang mencela, siapa yang memberitahukan kepadamu bahwa ajalku hanya sampai sesaat lagi dalam hari ini atau pada pagi hari keesokannya? Ibnu Jarir memilih pendapat ini dan mengemukakan beberapa syawahid (bukti) yang memperkuat pendapatnya dari syair-syair orang-orang Arab.
Ayat 110
Firman Allah ﷻ: “Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti saat pertama kali mereka tidak beriman kepadanya (Al-Qur'an).” (Al-An'am: 110)
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan ayat ini, bahwa ketika orang-orang musyrik menolak Al-Qur'an yang diturunkan oleh Allah, maka Allah jadikan hati mereka menjadi ragu dan menolak setiap perintah.
Mujahid telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
“Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka.” (Al-An'am: 110)
Yakni Kami halang-halangi antara mereka dari iman. Dan seandainya datang kepada mereka semua bukti (mukjizat), niscaya mereka tetap tidak akan beriman, sebagaimana Kami halang-halangi mereka antara diri mereka dan iman seperti pada permulaannya. Hal yang sama telah dikatakan oleh Ikrimah dan Abdur Rahman Ibnu Zaid Ibnu Aslam.
Ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas , bahwa Allah ﷻ menceritakan perihal apa yang akan dikatakan oleh hamba-hamba-Nya sebelum mereka mengatakannya, dan apa yang akan mereka lakukan sebelum mereka mengerjakannya. Seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
“Dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu seperti yang diberitakan oleh Yang Maha Mengetahui.” (Fatir: 14)
“Supaya jangan ada orang yang mengatakan, "Sungguh aku sangat menyesal atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah.” (Az-Zumar: 56) Sampai dengan firman-Nya:
“Kalau seandainya aku dapat kembali (ke dunia), niscaya aku akan termasuk orang-orang yang berbuat baik.” (Az-Zumar: 58)
Allah ﷻ menceritakan, "Seandainya pun mereka dikembalikan ke dunia lagi, pastilah mereka tidak akan mengikuti ke jalan petunjuk (sama dengan keadaan mereka sebelumnya),"
Seperti yang disebutkan oleh firman yang lain, yaitu:
“Seandainya mereka dikembalikan ke dunia, tentulah mereka kembali kepada apa yang mereka telah dilarang mengerjakannya. Dan sesungguhnya mereka itu pembohong.” (Al-An'am: 28)
Dan dalam surat ini disebutkan: “Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti saat pertama kali mereka belum pernah beriman kepadanya (Al-Qur'an).” (Al-An'am: 110)
Dengan kata lain, seandainya mereka dikembalikan ke dunia, niscaya akan ada yang menghalangi antara mereka dan jalan (petunjuk) yang benar, sebagaimana Kami menghalang-halangi antara mereka dari iman sejak awal mereka masih hidup di dunia.
Firman Allah ﷻ: “Dan Kami biarkan mereka.” (Al-An'am: 110) Yakni Kami tinggalkan mereka.
“Dalam kesesatannya.” (Al-An'am: 110)
Menurut Ibnu Abbas dan As-Suddi, makna tugyan dalam ayat ini ialah kekufuran. Sedangkan menurut Abul Aliyah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Qatadah ialah kesesatan.
“Kebingungan”. (Al-An'am: 110)
Menurut Al-A'masy artinya bermain-main. Sedangkan menurut Ibnu Abbas. Mujahid. Abul Aliyah, Ar-Rabi, dan Abu Malik serta lain-lainnya adalah bergelimang, yakni mereka bergelimang dalam kekafirannya.
[Akhir juz ke-7]
Setelah pada ayat 108 dinyatakan bahwa Allah menjadikan setiap umat menganggap baik perbuatan mereka, maka pada ayat ini Allah menyatakan, Dan begitu pula Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka kepada kebatilan jika mukjizat itu datang kepada mereka seperti keadaan mereka ketika pertama kali mendengar dan mengetahui mukjizat tersebut, mereka tidak beriman kepadanya, yakni Al-Qur'an, dan Kami biarkan mereka bingung dalam kesesatan karena keengganan mereka mengikuti petunjuk. Kaum musyrik berjanji akan beriman kepada Allah jika diturunkan kepada mereka tanda-tanda fisik yang mereka minta. Pada ayat ini dijelaskan bahwa janji tersebut hanya bohong belaka. Dan sekalipun Kami benar-benar menurunkan malaikat kepada mereka, sehingga mereka bisa melihat malaikat dalam wujudnya yang asli dan orang yang telah mati berbicara dengan mereka menceritakan apa yang mereka rasakan di alam kubur dan Kami kumpulkan pula di hadapan mereka segala sesuatu yang mereka inginkan, dan menjelaskan tentang sesuatu yang hak mereka tidak juga akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki. Tapi kebanyakan mereka tidak mengetahui arti kebenaran. Hati mereka tertutup oleh kekufuran, kesombongan, dan keangkuhan.
.
Sesudah itu Allah memberikan penjelasan kepada kaum Muslimin bahwa mereka tidak mengetahui bahwa Allah kuasa untuk memalingkan hati dan penglihatan orang-orang musyrik; maka sebagaimana mereka tidak beriman sebelum mereka meminta mukjizat itu, begitu jugalah mereka tidak mau beriman sesudah datangnya mukjizat, karena hati mereka telah dipalingkan dari kebenaran.
Allah berfirman:
Dan kalau Kami bukakan kepada mereka salah satu pintu langit, lalu mereka terus menerus naik ke atasnya, tentulah mereka berkata, "Sesungguhnya pandangan kamilah yang dikaburkan, bahkan kami adalah orang yang terkena sihir." (al-hijr/15: 14-15)
Pada akhir ayat ini Allah menegaskan bahwa Allah akan membiarkan mereka memperturutkan hati mereka bergelimang dalam kekafiran dan kemaksiatan. Hati mereka diliputi oleh kebingungan dan keragu-raguan terhadap ayat-ayat yang mereka dengar. Mereka tidak dapat membedakan antara kebenaran dan tipuan. Mereka dibiarkan dalam kegelapan dan kesesatan yang nyata.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 104
“Sesungguhnya telah datang kepada kamu beberapa pandangan dari Tuhan kamu."
Perhatikanlah! Di ayat sebelumnya (103) Tuhan menyebut abshar, yaitu pandangan-pan-dangan mata. Sekarang, dalam ayat ini Allah menyebut basha-ir, yaitu pandangan hati, yang kita ambil artinya pandangan-pandangan juga. Arti yang luas dari basha-ir ialah pendapat hati, makrifat yang putus, pendirian yang teguh, huj-jah, bijaksana. Penglihatan mata melihat apa yang dapat dicapai oleh mata, tetapi pandangan hati menembus pada apa yang tak tampak oleh mata. Biasanya disebutkan orang di antara yang tersurat dengan yang tersirat. Maka melihat yang tersurat, hati memandang yang tersirat. Mata di dalam ayat ini Allah telah mengatakan bahwa banyaklah Allah mendatangkan pandangan kepada kamu, yang sepatutnya kamu perhatikan. Jangan hanya melihat dengan mata saja, tetapi pandanglah dengan hati. Sebab, mata itu hanyalah alat penyambung saja dari hati, Yang sebenarnya mengambil kesimpulan bukanlah mata, melainkan hati. Hati lebih banyak menampak apa yang tidak kelihatan oleh mata. Maka berfirmanlah Allah selanjutnya, “Maka barangsiapa yang telah memandang maka itu adalah untuk dirinya dan barangsiapa yang membuta, itu pun celaka untuk dirinya juga." Artinya kalau segala pandangan yang diberikan oleh Allah itu kamu terima dan kamu lihat, bukan hanya semata-mata dengan mata lahir ini, melainkan disambut oleh kesadaran hati sehingga dapatlah kamu menilai kebenaran maka yang akan merasai bagiannya ialah kamu sendiri, bukan orang lain. Mereka akan keluar dari daerah kegelapan hati, kebodohan, kemusyrikan, dan kezaliman sebab dia telah mendapat inti sesuatu. Sebab yang melihat bukan matanya saja, tetapi dipertimbangkan oleh hatinya, jika hanya matanya saja yang melihat, padahal hati atau akal dan pikiran tidak berjalan mempertimbangkan apa yang dilihat oleh mata, samalah dia dengan orang buta bahkan lebih celaka dari orang yang buta matanya, tetapi tidak buta hatinya.
“Dan bukanlah aku penjaga atas kamu."
Artinya, ujung ayat ialah bahwa Nabi saw, disuruh menyampaikan bahwa keselamatan diri mereka adalah amat bergantung kepada usaha ikhtiar mereka sendiri, jika mereka menggunakan pandangan hati, akan sampailah faedah pandangan-pandangan berbagai macam yang diberikan Allah itu ke dalam dirinya dan yang akan berbahagia adalah mereka sendiri juga. Dan kalau mereka membuta, tidak mau peduli, tidak mempergunakan pertimbangan akal yang waras, yang akan celaka mereka juga. Rasul ﷺ hanyalah sekadar menyampaikan. Rasul tidak berkuasa berbuat apa-apa. Rasul tidak akan mengawal, mereka adalah manusia yang berakal.
Ayat 105
“Dan seperti demikianlah, Kami telah memperpaling-palingkan ayat-ayat."
Ayat-ayat di sini artinya ialah keterangan. Yaitu bahwa dengan berbagai jalan Allah telah menyampaikan keterangan itu. Kadang-kadang sampai menyebut belahnya buah dan biji, kadang-kadang menyebut belahnya subuh oleh datangnya fajar. Terkadang menyebut asal-usul kejadian manusia dari diri yang satu, dan bermacam-macam lagi. Allah memberikan penerangan dari segala sudut, dipalingkan ke sana dan dipalingkan kemari, tetapi tujuan hanya satu, yaitu memberi pengertian kepada mereka untuk memberikan petunjuk dan ilmu, menggugah akal pikiran mereka. “Namun akhirnya mereka berkata, ‘Engkau telah membaca!'" Artinya, segala seruan, pelajaran dan pandangan dan ayat-ayat dengan segala macam perpalingan itu telah mereka tolak saja dengan kasar. Yaitu bahwa segala yang engkau sampaikan itu, ya, Muhammad, tidak ada yang wahyu dari Allah, tetapi semuanya itu telah engkau pelajari dari orang lain. Itulah yang engkau baca-bacakan kepada kami. Malahan ada mereka mengatakan bahwa Muhammad ﷺ datang berulang-ulang belajar hikmah kuno kepada seorang budak bangsa Romawi, seorang ahli membuat pedang yang sudah lama tinggal di Mekah, Itulah guru Muhammad ﷺ yang mengajarnya apa yang dikatakannya wahyu (an-Nahl). Tuduhan yang sangat dangkal ini disuruh Allah membantah; bahwa Allah telah tahu, mereka menuduh bahwa segala ayat ini dipelajari oleh Rasulullah ﷺ kepada seorang ‘Ajami, yaitu orang Romawi, padahal wahyu ini turun dalam bahasa Arab. Dan bahasa Arab yang dipakai oleh Muhammad ﷺ ini pun sangat halus dan fasihnya sehingga sefasih-fasih orang Quraisy pun kagum mendengarkan ayat itu, tidak tertolok terbandirig oleh siapa pun juga orang Arab sendiri. Maka, melihat kenyataan itu, dapatkah diterima keterangan kamu bahwa Al-Qur'an ini dipelajari Muhammad kepada seorang budak ahli menempa pedang, yang datang dari negeri Rum? Yang bagaimanapun lamanya tinggal bergaul dengan orang Arab asli Quraisy di Mekah, tetapi lidah Rum-nya itu tidak dapat diperbaikinya sehingga mesti kentara juga. Orang itu yang kamu katakan guru dari Muhammad? Tuduhan ini pun tidak lain asal menuduh saja karena kufur. Mengapa tidak disebut saja nama seorang ahli bahasa orang Arab Quraisy sendiri, yang telah terkenal ahlinya dalam pidato atau dalam syair? Tentu tidak bisa karena memang orang itu tidak ada. Mereka tidak mau berdusta kecil sebab itu mereka ambillah dusta yang lebih besar.
Kemudian datanglah penutup ayat,
“Dan untuk Kami menenangkannya kepada kaum yang hendak tahu."
Artinya, Al-Qur'an ini akan terus diterangkan juga oleh Allah kepada kaum yang mau mengetahui yang tidak terikat oleh taklid dan membuta, yang terbuka matanya dan terbuka hatinya, yang ingin kebahagiaan dirinya sebagai yang pada ayat yang di atas tadi. Adapun me-reka yang tetap hendak membuta, biarlah mereka menuduh bahaya segala ajaran ini adalah dipelajari Muhammad kepada orang lain, entah tukang pedang budak bangsa Rum atau ‘Adas budak Nasrani yang mengakui Islam ketika bertemu satu kali dengan Rasulullah di Thaif. Namun, segala tuduhan itu hanya akan menambah kejatuhan dan kebutaan mereka jua.
Untuk meneguhkan sikap Rasulullah ﷺ menghadapi tugas yang berat ini maka ber-firmanlah Allah selanjutnya.
Ayat 106
“Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepada engkau daripada Tuhan engkau “
“Dan berpalinglah dari orang-orang yang mempersekutukan itu."
Artinya, dengan berjalan terusnya Rasul menanamkan pokok keyakinan ini bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah, manusia akan terbagi dua juga, yaitu yang percaya dan yang menolak. Atau yang menerima tauhid dan yang tetap dalam musyrik. Maka tanamkanlah tauhid ini sampai mendalam kepada orang yang telah bersedia beriman dan jangan engkau buang tempo terhadap orang yang menolak dengan membuta-tuli itu. Sebab kalau sudah sampai mereka berkata dengan tidak semena-mena bahwa ajaranmu ini hanya ulangan pelajaran engkau dengan orang lain, tandanya kekufuran mereka ini tidak usah diladeni lagi. Engkau jalan terus memancangkan tauhid di hati umat.
Ayat 107
“Dan jikalau Allah menghendaki, tidaklah mereka akan mempersekutukan."
Dahulu ketika menafsirkan ayat yang serupa ini (lihat tafsir ayat 35), telah kita misalkan binatang-binatang seperti lebah yang disatukan saja semuanya, tetapi tidak berpikir. Maka, di sini pun demikian pula, kalau Allah mau, Dia dapat juga membuat manusia ini menjadi Mukmin semua dan kemusyrikan jadi hilang, orang bersatu semua dalam tauhid, laksana keadaan malaikat. Namun, ini adalah manusia, kejadian manusia lain dari binatang seumpama lebah atau seumpama malaikat. Dalam diri manusia disediakan Allah kesanggupan menerima iman atau kufur, tauhid atau syirik, taat atau fasik, dan semuanya ini ditempuh dengan perjuangan.
“Dan tidaklah Kami jadikan engkau menjadi penjaga atas mereka dan tidaklah engkau atas mereka menjadi pengurus."
Penjaga dan pemelihara mereka adalah Allah sendiri dan pengurus mereka pun tidak lain daripada Allah. Urusan itu terpulanglah seratus per seratus kepada Allah. Dan engkau sendiri teruskanlah pula kewajibanmu menyampaikan, mentablighkan. Tidaklah dipikulkan kepadamu kewajiban yang tidak dapat engkau pikul. Bukan engkau yang akan mengurus iman mereka, tegasnya bukan engkau yang menguasai mereka. Oleh sebab itu, jika belum berhasil, tidak usahlah engkau merasa berkecil hati. Serahkan hal itu kepada Allah.
Menurut Ibnu Abbas, ayat itu telah mansukh setelah datang perintah jihad memerangi Musyrikin. Akan tetapi, jumhur berpendapat bahwa di sini tidak terdapat soa) nasikh dan mansukh. Memang, sebelum umat terbentuk dan kekuatan Islam belum tumbuh, belum ada perintah berperang. Setelah pihak Musyrikin itu sendiri sampai mengusir Nabi dan kaum Muslimin sendiri dari Mekah, berkumpul ke Madiriah datanglah perintah boleh berperang karena mempertahankan aqidah. Akan tetapi, isi ayat memberi petunjuk manusia atau mengawal dan mengurus ini dada mereka dan hidayah mereka, tetaplah Allah jua bukan Nabi. Meskipun ketika habis Peperangan Hunain, Rasulullah ﷺ membagi-bagikan harta rampasan perang sebanyak-banyaknya kepada orang muallaf Mekah, yang membelokkan hati mereka daripada syirik pada iman, bukanlah Rasulullah saw, dan bukan pula harta rampasan itu, melainkan Allah jua adanya.
(108) Dan janganlah kamu maki apa yang mereka seru selain Allah itu karena mereka akan memaki Allah (pula) dengan sebab tak ada ilmu. Seperti demikianlah, telah Kami hiaskan bagi tiap-tiap umat akan amalan mereka kemudian itu kepada Tuhan merekalah tempat pengembalian mereka. Maka, Dia akan menerangkan kepada mereka apa-apa yang telah mereka kerjakan itu.
(109) Dan bersumpahlah mereka dengan nama Allah, sebenar-benar persumpahan jika datang kepada mereka suatu ayat, sungguh-sungguh mereka akan beriman! Katakanlah, “Ayat-ayat itu tidak ada hanyalah pada sisi Allah!" Dan tidaklah menyadarkan kepada kamu bahwasanya ayat-ayat itu apabila datang, mereka tidak juga akan beriman.
(110) Dan akan Kami perpaling-palingkan hati mereka dan pandangan-pandangan mereka, sebagaimana mereka tidak beriman sejak pertama kali."Dan Kami biarkan mereka di dalam kesesatan itu pada kebingungan.
Pada ayat yang telah lalu Allah telah memerintahkan kepada Rasul-Nya supaya jalan terus mengerjakan dakwah dan jangan dipedulikan macam-macam kata dan permintaan dari orang-orang musyrikin itu. Nabi disuruh sabar dan memperbanyak maaf, sebab persediaan dan alat menerima yang ada pada manusia tidaklah sama, selalu bertinggi berendah juga. Rasul hanya menyampaikan bukan memaksakan, pemberi petunjuk bukan menjalankan kehendaknya dengan kekerasan. Yang akan menumbuhkan iman di dalam hati manusia hanyalah Allah sendiri. Setelah itu Allah menambah lagi peringatan-Nya.
Ayat 108
“Dan janganlah kamu maki apa yang mereka seru selain Allah itu karena mereka akan memaki Allah (pula) dengan sebab tak ada ilmu." Pada ayat ini diperingatkanlah kepada sekalian orang Mukmin bahwa berhala-berhala yang disembah oleh orang jahiliyyah itu janganlah dimaki atau dihinakan. Lebih baik tunjukkan saja dengan alasan yang masuk akal bagaimana keburukan menyembah berhala. Namun, jangan berhala itu dimaki atau dicerca. Sebab kalau pihak orang-orang yang beriman sudah mulai memaki-maki atau mencerca dan menghinakan berhala mereka, tandanya pihak kita sudah kehabisan alasan untuk memburukkan perbuatan mereka. Dan kalau berhala yang mereka sembah dimaki oleh pihak Muslimin, niscaya mereka akan mencerca memaki pula apa yang disembah oleh orang yang beriman. Yang disembah oleh orang yang beriman, tidak lain, hanyalah Allah. Maka oleh karena jahil, tidak ada ilmu tentang Allah, mereka nanti akan memaki Allah pula. Padahal, sebagaimana dimaklumi orang-orang yang menyembah berhala itu mengakui juga bahwa Allah Ta'aala tetap ada dan tetap Esa. Mereka menyembah berhala, kata mereka, hanyalah untuk perantara saja yang akan menyampaikan permohonan mereka kepada Allah. Namun, kalau lantaran hati mereka telah disakiti sebab berhala mereka dimaki dengan tiada ada pertimbangan ilmu lagi, akhirnya mereka pun memaki Allah. Sakit hati mereka kepada kaum Muslimin yang memaki berhala mereka, mereka balaskan dengan memaki Allah. Dengan demikian keadaan tidak akan bertambah baik, tetapi bertambah kacau. Kalau mereka memaki Allah karena membalaskan maki orang beriman terhadap berhala mereka, niscaya orang Islam yang memaki itu tidak lepas dari dosa, sebab mereka yang memulai.
Ayat ini menunjukkan bahwa memaki karena perbedaan pendapat atau pendirian tidaklah menunjukkan bahwa orang-orang yang mengerjakannya itu orang yang berilmu. Di dalam bahasa Arab diungkapkan,
“Yang memulai lebih dahulu, itulah yang lebih zalim!"
Pengajaran ini dapat diperluas lagi. Menurut hadits yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Amr, berkata Rasulullah ﷺ
“Termasuk dosa besar seseorang mencerca ayah bundanya."
Maka bertanyalah mereka, “Ya, Rasulullah! Adakah orang yang mencerca ayahnya?" Beliau menjawab:
“Dia memaki ayah seseorang lalu orang itu memaki ayahnya pula. Lalu dimakinya ibunya, dia pun membalas memaki ibunya pula." (HR Bukhari dan Muslim)
Orang Islam terikat dengan larangan yang keras ini, terutama apabila berhadapan dengan zendirig-zendirig dan misi-misi Kristen. Kadang-kadang di dalam melakukan propaganda agama mereka, tidaklah mereka merasa keberatan menyakitkan hati kaum Muslimin dengan mengatakan Nabi Muhammad ﷺ nabi palsu, nabi syahwat, kepala perang yang ganas, menyiarkan Islam dengan pedang dan sebagainya. Malahan terkadang lebih kasar dari itu, ada yang berkata bahwa Muhammad itu mengharamkan daging babi, sebab dia sendiri amat rakus makan babi! Niscaya sakitlah hati kita mendengarkan kata-kata yang demikian. Padahal kalau kita balas dengan memaki-maki Nabi Isa al-Masih alaihis-salam, kita pun keluar dari Islam, menjadi kafir. Sebab Nabi Isa, walaupun mereka anggap sebagai Tuhan, bagi kita beliau adalah salah seorang nabi dan rasul yang kita imani dan muliakan. Adapun membalas makian mereka kepada Muhammad ﷺ dengan memaki Nabi Isa lagi berdosa besar, apalagi jika kita yang memulai memaki Nabi Isa lalu mereka balas lagi dengan memaki Nabi Muhammad ﷺ, niscaya kita memikul dosa dua kali yang kedua-duanya besar. Pertama memaki Nabi Isa alaihis-salam, kedua menyebabkan orang lain memaki Nabi Muhammad ﷺ
Jika orang Islam memegang teguh agamanya, tidaklah mungkin terjadi pertengkaran yang mengakibatkan maki-memaki. Di dalam ayat sudah diisyaratkan bahwasanya perbuatan yang demikian hanya timbul dengan sebab tidak ada ilmu. Sebagaimana pepatah yang terkenal, “Kalau isi otak tidak ada yang akan dikeluarkan, padahal mulut hendak berbicara juga maka akhirnya isi ususlah yang dikeluarkan!" Demikian juga orang Kristen yang memegang agamanya dengan betul, niscaya mereka tidak akan memakai perkataan yang dapat menyakitkan hati, kebohongan dan makian dalam melakukan propaganda agama mereka sebab salah satu isi Injil yang mereka pegang adalah, “Kasihanilah musuhmu!"
Ada dua-tiga macam asbabun nuzul tersebut dalam kitab-kitab tafsir yang kesimpulannya adalah bahwa memang pernah kejadian kaum Muslimin tatkala di Mekah memaki dan mencela dan mencerca berhala-berhala kaum Musyrikin itu maka lantaran sakit hati berhala mereka dimaki, mereka maki pulalah Allah. Sebab kaum beriman menyembah Allah. Kemudian, datanglah ayat ini, larangan kepada kaum Muslimin memaki berhala mereka agar mereka jangan memaki Allah. Tersebab bodoh tak ada pengetahuan. Tegasnya jangan berlawan dengan orang bodoh kalau engkau berakal. Sebab akhirnya engkau jugalah yang akan terpaksa mengalah. Jangan “cari pasal" dengan mereka.
“Seperti demikianlah telah Kami hiaskan bagi tiap-tiap umat akan amalan merekaLanjutan ayat ini menegaskan lagi kebiasaan jiwa tiap-tiap golongan umat, yaitu selalu merasa bangga dengan kelebihan dan keutamaan yang ada pada mereka. Segala amal perbuatan mereka dihiaskan, artinya, dirasa paling bagus, paling betul. Lantaran telah dihiaskan datam hati begitu rupa, amal yang betul diangkat-angkat dan ditonjolkan setinggi langit, yang sepuluh dijadikan seratus, dan amalan yang salah dibela mati-matian supaya dipandang betul. Pokok ayat ini menerangkan bahwa rasa bangga dengan usaha sendiri itu adalah ditanamkan oleh Allah sendiri dalam hati tiap-tiap umat. Dapatlah kita rasakan bahwa penghiasan begini ditanamkan Allah untuk menjaga niscaya kebanggaan dan hiasan itu dapat membawa kegelapan. Adat jahiliyyah pusaka nenek moyang yang nyata salahnya, tidak masuk akal, sebagai menyembah berhala, tentu akan dipertahankan juga. Sebagai umat Arab sendiri. Pada zaman jahiliyyah dihiaskan bagi mereka kebanggaan kabilah, kebanggaan berhala. Setelah datang Islam, di kalangan merekalah timbul Nabi akhir zaman Muhammad ﷺ dan dengan bahasa mereka, Al-Qur'an diturunkan. Hal ini bolehlah dibanggakan karena telah dihiaskan Allah kepada mereka. Namun, kalau Nabi Muhammad ﷺ dibanggakan oleh orang Arab sebab dia bangsa Arab, padahal amalan yang beliau ajarkan tidak diamalkan. Atau orang Arab berbangga sebab Al-Qur'an berbahasa Arab, tetapi tuntunan Al-Qur'an tidak dituruti, sama sajalah keadaannya dengan perhiasan yang dibanggakan orang pada zaman jahiliyyah.
Pada ayat ini kita bertemu bahwa amal itu dihiaskan Allah kepada suatu umat. Namun, di ayat yang lain kelak kita akan bertemu pula bahwa setan pun turut menghiaskan amalan yang jahat kepada orang yang diperdayakan nya, sebagai yang tersebut dalam surah al-An'aam ini sendiri ayat 40 dan 137; al-Anfaal: 49, an-Nahl: 63; an-Naml: 24, al-'Ankabut: 38; Hamim-Sajadah; 25, dan lain-lain.
“Kemudian itu, kepada Tuhan merekalah tempat pengembalian mereka maka Dia akan menerangkan kepada mereka apa-apa yang telah mereka kerjakan itu."
Maka bolehlah mereka bangga menerima apa yang dihiaskan oleh Allah dan jangan merasa bangga menerima apa yang dihiaskan oleh setan. Selama masih hidup di dunia berlom-balah berbuat yang baik dan bertambah banyak berbuat kebajikan yang timbul dari hati yang ikhlas, bertambah banyak pulalah pahala yang akan diterima di sisi Allah kelak, setelah semua makhluk atau umat dikembalikan ke hadirat Allah. Pada waktu itulah kelak akan dijelaskan oleh Allah apa macamnya amalan kita itu, baik dibalas baik, buruk pun dibalas buruk. Dibalas dengan seadil-adilnya.
Ayat 109
“Dan bersumpahlah mereka dengan nama Allah, sebenar-benar penumpahan jika datang kepada mereka suatu ayat, sungguh-sungguh mereka akan beriman."
Demikianlah, beberapa orang pemuka kaum musyrikin di Mekah itu telah datang kepada Rasullulah ﷺ menerangkan bahwa mereka sungguh-sungguh mau percaya pada apa yang beliau serukan itu, asal saja beliau membawakan suatu mukjizat. Kata mereka, “Isa al-Masih sudah menghidupkan orang mati! Nabi Saleh telah mengeluarkan seekor unta dari dalam batu! Maka, sekarang engkau sendiri pun, sebab mengaku menjadi rasul, cobalah tunjukkan kepada kami suatu ayat (mukjizat), yaitu cobalah jadikan Bukit Shafa ini menjadi emas. Sebaik Bukit Shafa menjadi emas maka pada waktu itu juga kami semuanya ini akan percaya kepada engkau, kami bersumpah!" (HR Abusy Syekh dari Ibnu Jarir).
Menurut lanjutan riwayat, Nabi ﷺ telah menadahkan tangannya ke langit sebab percaya akan sumpah mereka. Segeralah turun Jibril memberitahukan bahwa seketika juga permohonan itu bisa dikabulkan Allah, tetapi Nabi ﷺ disuruh memilih satu di antara dua. Yaitu kalau permohonan itu dikabulkan oleh Allah, padahal di antara mereka masih ada yang kafir maka semua mereka akan dimusnahkan. Atau permohonan ini tidak dikabulkan, melainkan dibiarkan dan diharapkan ada di antara mereka yang tobat maka tobat mereka akan diterima, dengan tidak perlu mengadakan mukjizat. Mendengar keterangan itu, Rasulullah ﷺ memilih yang kedua. Setelah beliau pilih yang kedua, turunlah ayat ini.
Rasulullah ﷺ telah mengerti apa akibatnya kalau mereka mungkir. Sebab hal yang seperti ini telah kejadian kepada umat Nabi Saleh. Setelah unta mukjizat itu keluar, mereka bunuh! Maka, hancur lumatlah kaum Tsamud itu disapu bersih oleh adzab Allah. Hal seperti ini pun bisa kejadian pula kepada kaum Quraisy itu. Akan ada saja kelak yang mengatakan bahwa bukit menjadi emas itu hanyalah sihir saja.
Nabi akhir zaman tidak mau umatnya hanya percaya karena suatu keganjilan. Beliau lebih suka umatnya memeluk agama dengan pengertian karena keingkaran dan kekufuran itu bukan dari lubuk jiwa, melainkan hanya hawa nafsu. Muhammad ﷺ memohonkan kemenangan agama yang abadi, bukan kemusnahan suatu umat. Oleh karena itu, dipilihnya yang kedua. Dan Bukit Shafa tidak jadi menjadi emas sehingga jika dimisalkan Bukit Shafa menjadi emas, padahal bukit itu masih ada sampai sekarang, apakah yang akan kejadian dalam keadaan manusia sebagai sekarang ini? Niscaya salah satu dari dua. Pertama, bukit itu menjadi berhala dan disembah. Kedua, Bukit Shafa menjadi tambang emas dan Mekah tidak lagi menjadi pusat peribadatan, tetapi tempat mencari kekayaan dan kemewahan!
“Katakanlah, ‘Ayat-ayat itu tidak ada, hanyalah pada sisi Allah.'" Katakanlah wahai utus-an-Ku, bahwasanya Yang Mahakuasa menentukan mukjizat itu bukanlah aku dan bukan siapa-siapa, melainkan Allah. Kata-kata ini penuh didikan adab sopan yang tinggi, mengajak orang menuju sepenuh perhatian kepada Allah, bukan menuntut untuk mengadakan yang ganjil-ganjil sebagai menentang kepada Rasul.
Mula-mula orang-orang yang sudah beriman sendiri pun telah mengharapkan terjadi Bukit Shafa menjadi emas, sebab mereka percaya kepada sumpah orang yang musyrikin itu. Kemudian, di ujung ayat Allah berfirman,
yang dihadapkan kepada orang-orang yang beriman.
“Dan tidakkah menyadarkan kepada kamu bahwasanya ayat-ayat itu apabila datang, mereka tidak juga akan beriman?"
Dengan ujung ayat ini, diberi pengertianlah umat yang beriman bahwa persangkaan mereka Musyrikin itu akan meneguhi sumpah mereka lalu masuk Islam setelah melihat bukit menjadi emas adalah persangkaan yang hampa belaka. Niat mereka meminta mukjizat bukanlah karena ingin beriman, melainkan karena hendak menguji atau menentang Nabi Muhammad ﷺ saja. Tantangan mereka itu adalah dari sikap jiwa, bukan daripada kejujuran.
Ayat 110
“Dan akan Kami perpaling-palingkan hati mereka dan pandangan-pandangan mereka, sebagaimana mereka tidak beriman sejak pertama."
Lanjutan penjelasan kepada orang-orang beriman tadi bahwa Musyrikin itu tidak juga akan mau percaya, walaupun gunung batu menjadi emas. Kalau misalnya itu kejadian, akan berpaling-palinglah hati mereka dan pemandangan mereka lalu mereka berbantah-bantahan lagi dan mencari dalih lagi. Misalnya mereka akan berkata, ‘Apakah ini satu sambungan sihir lagi dari Muhammad?" Apakah ini bukan satu penipuan bagi kita? Apakah ini satu permainan sulap saja? Pendeknya, mereka sejak bermula telah mengatur siasat buat menolak lagi mukjizat gunung emas itu kalau kejadian sehingga mereka akan tetap saja dalam kekufuran, sebagaimana pertama kali, sebelum mukjizat diadakan.
“Dan Kami biarkan mereka di dalam kesesalan itu, pada kebingungan."
(ujung ayat 110)