Ayat
Terjemahan Per Kata
وَكَذَٰلِكَ
dan demikianlah
نُرِيٓ
kami perhatikan
إِبۡرَٰهِيمَ
Ibrahim
مَلَكُوتَ
kerajaan
ٱلسَّمَٰوَٰتِ
langit(jamak)
وَٱلۡأَرۡضِ
dan bumi
وَلِيَكُونَ
dan agar dia menjadi
مِنَ
dari
ٱلۡمُوقِنِينَ
orang-orang yang yakin
وَكَذَٰلِكَ
dan demikianlah
نُرِيٓ
kami perhatikan
إِبۡرَٰهِيمَ
Ibrahim
مَلَكُوتَ
kerajaan
ٱلسَّمَٰوَٰتِ
langit(jamak)
وَٱلۡأَرۡضِ
dan bumi
وَلِيَكُونَ
dan agar dia menjadi
مِنَ
dari
ٱلۡمُوقِنِينَ
orang-orang yang yakin
Terjemahan
Demikianlah Kami memperlihatkan kepada Ibrahim kekuasaan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi dan agar dia termasuk orang-orang yang yakin.
Tafsir
(Dan demikianlah) sebagaimana apa yang telah Kami perhatikan kepada Ibrahim, yaitu ia menganggap sesat ayahnya dan kaum ayahnya (Kami perlihatkan kepada Ibrahim kerajaan) kekuasaan (langit dan bumi) agar ia dapat mengambil kesimpulan tentang keesaan-Ku (dan agar dia termasuk orang-orang yang yakin) terhadap tanda-tanda keagungan Kami itu. Jumlah wakadzaalika serta jumlah yang sesudahnya adalah jumlah I`tiradhiah yang diathafkan kepada Lafal qaala.
Tafsir Surat Al-An'am: 74-79
Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada ayahnya Azar, "Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala itu sebagai tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.”
Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami) di langit dan di bumi, dan agar dia termasuk orang-orang yang yakin.
Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) berkata, “Inilah Tuhanku.” Tetapi tatkala bintang itu mati, dia berkata, “Saya tidak suka kepada yang mati.”
Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit, dia berkata (kepada kaumnya), "Inilah Tuhanku." Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata, "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat."
Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata (kepada kaumnya), "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar." Maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata, "Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan."
Sesungguhnya aku menghadapkan diriku (hanya) kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan mengikuti kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.
Ayat 74
Adh-Dhahhak telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa sesungguhnya nama ayah Nabi Ibrahim bukanlah Azar, tetapi yang sebenarnya adalah Tarikh (Terakh). Demikianlah riwayat Imam Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Amr ibnu Abu ‘Ashim An-Nabil, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ashim Syabib, telah menceritakan kepada kami Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman Allah ﷻ:
“Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada ayahnya Azar.” (Al-An'am: 74)
Yakni Azar si penyembah berhala.
Ayah Nabi Ibrahim yang sebenarnya adalah Tarikh, dan nama ibunya adalah Syani. Istri Nabi Ibrahim ialah Sarah, dan ibunya Nabi Ismail yaitu Hajar, budak Nabi Ibrahim. Demikianlah menurut apa yang telah dikatakan oleh bukan hanya seorang dari ulama nasab, bahwa ayah Nabi Ibrahim bernama Tarikh (sedangkan Azar adalah pamannya).
Mujahid dan As-Suddi mengatakan bahwa Azar adalah nama berhala. Berdasarkan pendapat ini dia dikenal dengan nama Azar, karena dialah yang menjadi pelayan dan yang mengurus berhala itu, wallahu a'lam.
Ibnu Jarir mengatakan, ulama lainnya berpendapat bahwa Azar menurut bahasa mereka artinya kata cacian dan keaiban, maknanya ialah menyimpang (sesat). Akan tetapi, pendapat ini tidak disandarkan kepada riwayat seorang perawi oleh Ibnu Jarir dan tidak pernah pula diriwayatkan oleh seorang pun.
Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa telah disebutkan dari Mu'tamir ibnu Sulaiman bahwa ia pernah mendengar ayahnya membacakan firman:
“Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada Azar ayahnya.” (Al-An'am: 74)
Lalu ia mengatakan bahwa telah sampai kepadanya suatu riwayat yang mengatakan bahwa Azar artinya bengkok (menyimpang), dan kata-kata ini merupakan kata-kata yang paling keras yang pernah diucapkan oleh Nabi Ibrahim a.s.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa pendapat yang benar ialah yang mengatakan bahwa nama ayah Nabi Ibrahim adalah Azar. Lalu Ibnu Jarir mengemukakan pendapat yang bertentangan dengan penilaiannya itu, yaitu pendapat ulama ahli nasab yang mengatakan bahwa nama ayah Nabi Ibrahim adalah Tarikh. Selanjutnya ia mengulasnya bahwa barangkali ayah Nabi Ibrahim mempunyai dua nama seperti yang banyak dimiliki oleh orang lain, atau barangkali salah satunya merupakan nama julukan, sedangkan yang lain adalah nama aslinya. Pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Jarir ini cukup baik lagi kuat.
Para ahli qiraah berbeda pendapat sehubungan dengan takwil dari firman Allah ﷻ:
“Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada ayahnya Azar.” (Al-An'am: 74)
Ibnu Jarir telah meriwayatkan dari Al-Hasan Al-Basri dan Abu Yazid Al-Madini, bahwa keduanya membaca ayat ini dengan bacaan berikut:
“Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada ayahnya Azar, ‘Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala itu sebagai tuhan’?” (Al-An'am: 74)
Yang artinya, "Wahai Azar, pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan?"
Jumhur ulama membaca fathah lafal “azara” dengan anggapan sebagai 'alam 'ajam (nama asing) tidak menerima harakat tanwin. Kedudukan i'rab-nya adalah badal (kata ganti) dari lafal “abihi”, atau athaf bayan yang lebih dekat kepada kebenaran. Menurut pendapat orang yang menjadikannya sebagai na'at (kata sifat). Lafal “azar” ini tidak menerima tanwin karena wazan-nya sama dengan lafal ahmar dan aswad. Adapun menurut pendapat orang yang menduga bahwa lafal “azara” dinasabkan karena menjadi ma'mul dari firman-Nya:
“Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala itu sebagai tuhan?” (Al-An'am: 74)
Yang berarti, "Wahai ayahku, pantaskah kamu menjadikan Azar sebagai berhala-berhala yang disembah-sembah?"
Maka pendapat ini jauh dari kebenaran menurut penilaian lugah (bahasa), karena lafal yang jatuh sesudah huruf istifham tidak dapat beramal terhadap lafal sebelumnya, mengingat huruf istifham mempunyai kedudukan pada permulaan kalimat.
Demikianlah menurut ketetapan Ibnu Jarir dan lain-lainnya, dan pendapat inilah yang terkenal pada kaidah bahasa Arab.
Kesimpulannya, Nabi Ibrahim menasihati dan melarangnya ayahnya yang menyembah berhala serta memperingatkannya agar meninggalkan berhala-berhala itu, tetapi si ayah tidak mau menghentikan perbuatannya, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
“Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada ayahnya Azar, ‘Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan’?” (Al-An'am: 74)
Artinya, apakah kamu menjadikan berhala-berhala itu sebagai tuhan yang kamu sembah selain Allah?
“Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu.” (Al-An'am: 74)
Yakni orang-orang yang mengikuti jejak langkahmu.
“Dalam kesesatan yang nyata.” (Al-An'am: 74)
Maksudnya ialah tidak mengetahui petunjuk jalan yang ditempuhnya, sehingga kesesatannya itu membuat kebingungan dan kebodohan. Dengan kata lain, kalian berada dalam kebodohan dan kesesatan yang nyata bagi penilaian orang yang mempunyai akal sehat.
Di dalam ayat lain disebutkan melalui firman-Nya:
“Ceritakanlah (wahai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al-Kitab (Al-Qur'an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang nabi.
Ingatlah ketika ia berkata kepada ayahnya, ‘Wahai ayahku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolong kamu sedikit pun?
Wahai ayahku, sesungguhnya telah datang kepadaku sampai petunjuk yang tidak datang kepadamu. Maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.
Wahai ayahku, janganlah kamu menyembah setan. Sesungguhnya setan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah.
Wahai ayahku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, sehingga kamu menjadi kawan bagi setan’.
Dia (ayahnya) berkata, ‘Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, wahai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama.’
Ibrahim berkata, ‘Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.
Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu seru selain dari Allah, dan aku akan berdoa kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Tuhanku’.” (Maryam: 41-48)
Maka sejak itu Nabi Ibrahim a.s. selalu berdoa kepada Tuhannya, memohonkan ampun buat ayahnya. Ketika ayahnya meninggal dunia dalam keadaan tetap musyrik, dan hal itu sudah jelas bagi Nabi Ibrahim, maka Nabi Ibrahim mencabut kembali permohonan ampun buat ayahnya dan berlepas diri dari perbuatan ayahnya, seperti yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam ayat lain:
“Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk ayahnya, hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada ayahnya itu. Maka ketika jelas bagi Ibrahim (menyadari) bahwa ayahnya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri darinya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (At-Taubah: 114)
Di dalam kitab Shahih telah disebutkan bahwa pada hari kiamat nanti Nabi Ibrahim melemparkan Azar (ayahnya ke dalam neraka). Maka Azar berkata kepadanya, "Wahai anakku, hari ini aku tidak mendurhakaimu." Ibrahim a.s. berkata, "Wahai Tuhanku, bukankah Engkau telah menjanjikan kepadaku bahwa Engkau tidak akan membuatku sedih pada hari mereka dibangkitkan? Tidak ada kehinaan yang lebih besar daripada melihat seorang ayah yang terusir dari rahmat-Mu." Maka dijawab, "Wahai Ibrahim, lihatlah ke arah belakangmu!" Maka tiba-tiba Ibrahim melihat suatu sembelihan yang berlumuran darah, kemudian sembelihan itu diambil pada bagian kaki-kakinya, lalu dilemparkan ke dalam neraka.
Ayat 75
Firman Allah ﷻ: “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi.” (Al-An'am: 75)
Artinya, Kami jelaskan kepadanya bahwa dalil yang menunjukkan kepada keesaan Allah ﷻ dapat dilihat melalui pengamatan terhadap kerajaan dan makhluk-Nya, yang mana Dia adalah pencipta keduanya. Dan bahwa tidak ada Tuhan selain Dia, serta tidak ada Rabb selain Dia. Seperti yang dijelaskan dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
“Katakanlah, ‘Perhatikanlah apa yang terdapat di langit dan di bumi’.” (Yunus: 101)
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi?” (Al-A'raf: 185)
“Maka apakah mereka tidak melihat langit dan bumi yang ada di hadapan dan di belakang mereka? Jika Kami menghendaki, niscaya Kami tenggelamkan mereka di bumi, atau Kami jatuhkan gumpalan dari langit kepada mereka. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Tuhan) bagi setiap hamba yang kembali (kepada-Nya).” (Saba': 9)
Adapun mengenai apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan lain-lainnya, dari Mujahid, ‘Atha’, Sa'id ibnu Jubair, dan As-Suddi serta lain-lainnya, menurut versi Mujahid disebutkan bahwa dibukakan bagi Nabi Ibrahim semua pintu langit, maka Nabi Ibrahim dapat melihat semuanya yang ada di dalamnya sehingga penglihatannya sampai ke 'Arasy. Dan dibukakan pula baginya semua pintu bumi yang terdiri dari tujuh lapis, sehingga ia dapat melihat semua yang ada di dalamnya.
Menurut riwayat lainnya disebutkan bahwa ketika Nabi Ibrahim melihat banyak hamba Allah yang berbuat durhaka, maka ia mendoakan untuk kebinasaan mereka. Maka Allah berfirman kepadanya, "Sesungguhnya Aku lebih belas kasihan kepada hamba-hamba-Ku daripada kamu, mungkin barangkali mereka (mau) bertobat dan kembali kepada (jalan)-Ku."
Sehubungan dengan hal ini Ibnu Murdawaih telah meriwayatkan dua buah hadits marfu yang satu dari Mu'az, dan yang lainnya dari Ali, tetapi sanad keduanya tidak shahih.
Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkan melalui jalur Al Aufi, dari Ibnu Abbas, sehubungan dengan makna firman-Nya:
“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin.” (Al-An'am: 75)
Allah ﷻ membukakan semua perkara bagi Nabi Ibrahim, baik yang rahasia maupun yang terang-terangan, sehingga tidak ada amal perbuatan makhluk yang kurang jelas baginya. Ketika Nabi Ibrahim melaknat orang-orang yang melakukan perbuatan dosa, maka Allah ﷻ berfirman, "Sesungguhnya engkau tidak akan mampu melakukan hal ini." Lalu Allah ﷻ mengembalikan segala sesuatu seperti keadaannya semula. Hal ini dapat diartikan bahwa Allah membuka semua hijab (penutup) dari pandangan Nabi Ibrahim, sehingga ia dapat menyaksikan hal tersebut secara terang-terangan. Dapat pula diartikan bahwa yang dibukakan oleh Allah darinya adalah pandangan hatinya, sehingga ia menyaksikan semuanya itu melalui pandangan hatinya.
Pengetahuan serta ilmu mengenai kejadian dan kenyataan seperti hal ini termasuk hikmah-hikmah yang istimewa dan dalil-dalil yang pasti. Perihalnya sama dengan apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam At-Tirmidzi di dalam kitab Shahih-nya dari Mu'az ibnu Jabal mengenai hadits mimpi, yaitu: Tuhanku datang kepadaku dalam rupa yang paling indah, lalu berfirman, "Wahai Muhammad, mengapa para malaikat di langit yang tertinggi saling bertentangan?" Aku menjawab, "Saya tidak tahu, wahai Tuhanku." Lalu Allah meletakkan tangan (kekuasaan)-Nya di antara kedua tulang belikatku sehingga aku merasakan kesejukan sentuhan jari jemari (kekuasaan)-Nya menembus sampai ke dua bagian dari dadaku. Maka tampaklah segala sesuatunya bagiku, dan aku dapat mengetahui semuanya itu. (hingga akhir hadits).
Firman Allah ﷻ: “Dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin.” (Al-An'am: 75)
Menurut suatu pendapat, huruf wawu-nya adalah zaidah.
Perihalnya sama dengan makna yang terdapat di dalam firman Allah ﷻ:
“Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al-Qur'an (agar terlihat jalan orang-orang yang saleh dan) agar terlihat (pula) jalan orang-orang yang berdosa.” (Al-An'am: 55)
Menurut pendapat yang lain, huruf wawu ini sesuai dengan fungsinya, yakni Kami perlihatkan pula petunjuk kepadanya agar dia menjadi orang yang mengetahui dan yakin.
Ayat 76
Firman Allah ﷻ: “Ketika malam telah menjadi gelap.” (Al-An'am: 76)
Artinya, kegelapan telah meliputi dan menutupinya.
“Dia melihat sebuah bintang.” (Al-An'am: 76)
Yakni bintang-bintang di langit.
“Lalu dia berkata, ‘Inilah Tuhanku.’ Tetapi tatkala bintang itu tenggelam.” (Al-An'am: 76)
Yaitu terbenam dan tidak kelihatan lagi. Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar mengatakan bahwa “al-uful” artinya pergi. Ibnu Jarir mengatakan bahwa disebutkan “afalan najmu ya-fulu waya-filu” artinya tenggelam, bentuk masdarnya adalah ufulan dan ufulan, sama dengan apa yang disebutkan oleh Zur Rumah dalam salah satu bait syairnya, yaitu: “Bagaikan pelita-pelita yang bersinar terang, tetapi bukan bintang-bintang yang beredar di langit.” Bagaikan bintang-bintang di langit, tetapi bukan seperti bintang-bintang yang lenyap tenggelam.
Bila dikatakan, "Ke manakah kamu selama ini menghilang dari kami?" Artinya, "Ke mana saja kamu pergi menghilang dari kami?" dia berkata,
"Saya tidak suka kepada yang tenggelam.” (Al-An'am: 76)
Menurut Qatadah, Nabi Ibrahim mengetahui bahwa Tuhannya adalah kekal, tidak akan tenggelam ataupun lenyap.
Ayat 77
Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit. (Al-An'am: 77)
Yakni muncul dan kelihatan.
“Dia berkata (kepada kaumnya), ‘Inilah Tuhanku’. Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata, ‘Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.’ Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata (kepada kaumnya), ‘Inilah Tuhanku’.”(Al-An'am: 77-78)
Artinya, sesuatu yang bersinar terang dan terbit ini adalah Tuhanku.
Ayat 78
“Ini yang lebih besar.” (Al-An'am: 78)
Yakni lebih besar bentuknya daripada bintang-bintang dan rembulan, dan sinarnya jauh lebih terang.
“Maka tatkala matahari itu telah terbenam.” (Al-An'am: 78) Maksudnya tenggelam di ufuk barat.
“Dia berkata, ‘Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku’.” (Al-An'am: 78-79)
Yakni aku memurnikan ibadahku dan aku peruntukkan ibadahku hanya kepada-Nya:
Ayat 79
“Kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi.” (Al-An'am: 79)
Yaitu yang menciptakan dan mengadakan keduanya tanpa ada contoh sebelumnya.
“Dengan mengikuti kepada agama yang benar.” (Al-An'am: 79) Maksudnya, ketika seseorang meninggalkan keyakinan yang menyimpang dari kemusyrikan dan menuju kepada keyakinan ketauhidan.
Dalam firman selanjutnya disebutkan: “Dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (Al-An'am: 79)
Ulama tafsir berbeda pendapat tentang keadaan atau fase apa yang dialami oleh Nabi Ibrahim, apakah keadaan Nabi Ibrahim saat itu sedang merenungkan ataukah perdebatan. Ibnu Jarir telah meriwayatkan melalui jalur Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas yang kesimpulannya menunjukkan bahwa saat itu kedudukan Nabi Ibrahim sedang dalam renungannya. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir dengan berdalilkan firman Allah ﷻ yang mengatakan:
“Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk.” (Al-An'am: 77), hingga akhir ayat.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan bahwa Nabi Ibrahim a.s. mengalami keadaan demikian setelah dia keluar dari gua tempat persembunyiannya, di tempat itu pula ibunya melahirkannya karena takut kepada ancaman Raja Namrud ibnu Kan'an. Raja Namrud mendapat berita (dari tukang ramalnya) bahwa kelak akan lahir seorang bayi yang akan mengakibatkan kehancuran bagi kerajaannya. Maka Raja Namrud memerintahkan kepada semua pasukan dan pembantunya untuk membunuh semua anak laki-laki yang lahir di tahun itu.
Ketika ibu Nabi Ibrahim mengandungnya dan telah dekat masa kelahirannya, maka ibu Nabi Ibrahim pergi ke gua yang dekat dengan kota tempat tinggalnya. Disana dia melahirkan Nabi Ibrahim dan meninggalkan Nabi Ibrahim di gua tersebut saat dia masih bayi. Kemudian Muhammad ibnu Ishaq melanjutkan riwayatnya hingga selesai, yang di dalamnya banyak diceritakan hal-hal yang aneh dan bertentangan dengan hukum alam.
Hal yang sama telah diutarakan pula oleh selainnya dari kalangan ulama tafsir, baik yang Salaf maupun yang Khalaf. Tetapi sehubungan yang benar adalah dengan Nabi Ibrahim a.s. Berdebat dengan kaumnya seraya menjelaskan kepada mereka bahwa menyembah berhala dan bangunan adalah kesalahan yang selama ini mereka lakukan.
Pada awalnya Nabi Ibrahim berbicara dengan ayahnya seraya menjelaskan bahwa menyembah berhala-berhala di bumi ini yang dibentuk menyerupai Malaikat Samawi itu adalah kesalahan.
Mereka menyembah berhala-berhala tersebut karena menganggap bahwa berhala-berhala itu adalah perantara mereka untuk sampai kepada Pencipta Yang Maha Besar, tetapi sebenarnya itu tidak benar. Dan sesungguhnya mereka memakai perantara kepada-Nya melalui penyembahan kepada malaikat-malaikat (berhala)-nya, agar mereka mendapatkan rezeki, kemenangan, dan hal-hal lainnya yang mereka perlukan. Kemudian dalam kedudukan ini Nabi Ibrahim menjelaskan kekeliruan dan kesesatan mereka dalam menyembah bintang-bintang yang beredar seperti bulan, merkurius, venus, matahari, mars, jupiter,dan saturnus.
Di antara kesemuanya itu yang memiliki cahaya yang paling kuat dan besar ialah matahari, lalu bulan dan venus. Pada tahap permulaan Nabi Ibrahim a.s. menjelaskan bahwa bintang venus ini tidak layak dianggap sebagai tuhan, karena ia telah ditentukan dan ditakdirkan oleh Allah untuk beredar pada garis edar tertentu tanpa dapat menyimpang ke kanan atau ke kiri.
Ia tidak mempunyai kekuasaan apa pun bagi dirinya, melainkan hanya ciptaan Allah yang mempunyai cahaya dan karena mengandung banyak hikmah yang besar dalam penciptaannya. Bintang venus terbit dari arah timur, kemudian beredar ke arah barat, hingga tidak kelihatan lagi oleh mata. Kemudian pada malam berikutnya ia muncul lagi dengan pola (kejadian) yang sama, hal seperti ini tidak layak untuk disembah sebagai Tuhan.
Kemudian Nabi Ibrahim mengalihkan perhatiannya kepada bulan, ternyata ia sadar bahwa bulan mempunyai karakter yang sama dengan bintang yang sebelumnya. Lalu ia mengalihkan, perhatiannya kepada matahari, ternyata ia pun menyadari hal yang sama dengan yang sebelumnya. Dan dia menyimpulkan bahwa semua benda tersebut tidak layak dianggap sebagai Tuhan, melainkan hanyalah cahaya yang terlihat oleh pandangan mata, serta ia dapat membuktikan hal tersebut dengan penyimpulan yang pasti, maka berkatalah Ibrahim, seperti yang dikutip oleh firman-Nya:
“Dia berkata (kepada kaumnya), ‘Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan’.” (Al-An'am: 78)
Artinya, aku tidak menyembah bintang-bintang itu dan berlepas diri dari menjadikan (mengandalkan) bintang-bintang itu sebagai pelindung. Jika kalian menganggap bintang-bintang itu sebagai tuhan, lakukanlah tipu daya kalian melalui bintang-bintang itu, tetapi jangan berharap aku akan tunduk padanya.
“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan mengikuti kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (Al-An'am:79)
Dengan kata lain, sesungguhnya aku hanya menyembah Tuhan yang menciptakan segala hal. Dia yang membuat, mengatur, dan mengendalikan semuanya. Segala sesuatu berada di bawah kekuasaannya. Dialah Allah, Pemilik dan Penguasa kesemuanya, seperti yang disebutkan di dalam ayat lain melalui firman-Nya:
“Sesungguhnya Tuhan kalian ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arasy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan, dan bintang-bintang. (Masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya.
“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-A'raf: 54)
Maka pantaskah bila dikatakan bahwa dalam kedudukan ini Nabi Ibrahim sebagai orang yang mempertanyakan hal tersebut, padahal dia adalah seorang nabi yang disebutkan oleh Allah ﷻ melalui firman-Nya:
“Dan sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelum (Musa dan Harun), dan Kami telah mengetahui (keadaan)nya. (Ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya dan kaumnya, ‘Patung-patung apakah ini yang kalian tekun menyembahnya’?” (Al-Anbiya: 51 -52), hingga beberapa ayat berikutnya.
Allah ﷻ telah berfirman pula mengenai diri Nabi Ibrahim: “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukkan kepadanya jalan yang lurus. Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. Dan sesungguhnya di akhirat dia benar-benar termasuk orang-orang yang saleh. Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), ‘Ikutilah agama Ibrahim, seorang yang hanif. Dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan’.” (An-Nahl: 120-123)
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku telah diberi petunjuk oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus. Dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik’." (Al-An'am: 161)
Di dalam kitab Shahihain telah disebutkan melalui Abu Hurairah, dari Rasulullah ﷺ, bahwa beliau pernah bersabda: Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Di dalam kitab Shahih Muslim disebutkan dari Iyadh ibnu Hammad, bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Allah ﷻ telah berfirman, ‘Sesungguhnya Aku ciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (untuk mengikuti kepada agama yang benar)’." Allah ﷻ telah berfirman:
“(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.” (Ar-Rum: 30)
Mengenai firman Allah ﷻ:
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhan kalian’? Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami)’." (Al-A'raf: 172)
Menurut salah satu di antara dua pendapat yang ada, makna ayat ini sama dengan makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
“(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.” (Ar-Rum: 30)
Seperti yang akan dijelaskan pada bagiannya nanti. Apabila hal itu berlaku bagi semua makhluk, maka mustahillah bila Nabi Ibrahim kekasih Allah yang dijadikan-Nya sebagai panutan umat manusia, taat kepada Allah, mengikuti kepada agama yang benar, dan bukan termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, dianggap sebagai orang yang mempertanyakan hal tersebut.
Bahkan dia orang yang lebih utama untuk memperoleh fitrah yang sehat dan pembawaan yang lurus sesudah Rasulullah ﷺ keraguan lagi. Yang benar ialah dia dalam keadaan berdebat dengan kaumnya yang mempersekutukan Allah ﷻ, bukan dalam kedudukan sebagai orang yang mempertanyakan hal yang dikisahkan oleh Allah ﷻ itu.
Apa yang disampaikan Nabi Ibrahim sedemikian kukuh sebagai buah dari keyakinannya yang lurus dan bimbingan Allah. Dan demikianlah Kami memperlihatkan kepada Ibrahim kekuasaan Kami yang terdapat di langit dan di bumi agar semakin mantap keyakinannya dan semakin kuat argumennya, dan agar dia termasuk orang-orang yang semakin kukuh ke-yakin-annya, bahwa tiada Pencipta dan Pengatur di alam raya ini selain Allah. Ayat ini dan juga selanjutnya adalah gambaran bagaimana Nabi Ibrahim dalam mengajarkan tauhid. Ketika malam telah menjadi gelap, dia, Ibrahim, melihat sebuah bintang yang memancarkan cahaya dengan terang lalu dia berkata, Inilah dia Tuhanku yang selalu aku cari. Maka ketika bintang itu terbenam dan tidak tampak lagi, dia berkata, Aku tidak suka menyembah dan bertuhan kepada yang terbenam yang pada akhirnya akan lenyap.
Allah memberikan penjelasan, bagaimana Dia menampakkan keagungan ciptaan-Nya di langit dan di bumi, tata susunannya ataupun keindahan tata warnanya. Allah menampakkan kepada Ibrahim benda-benda langit yang beraneka ragam bentuk dan susunannya, serta beredar menurut ketentuannya masing-masing secara teratur. Bumi yang terdiri dari lapisan-lapisan yang banyak mengandung barang tambang dan perhiasan, sangat berguna bagi kepentingan manusia.
Kesemuanya itu menjadi bukti adanya kekuasaan Allah, yang dapat dipahami oleh manusia jika mereka mau berpikir sesuai dengan fitrahnya.
Allah menjelaskan pula tujuan dari pengenalan Ibrahim terhadap keindahan ciptaan-Nya yaitu agar Ibrahim benar-benar mengenal hukum alam yang berlaku di dunia ini, dan kekuasaan Allah yang mengendalikan hukum-hukum itu, agar dapat dijadikan bukti ketika menghadapi orang-orang musyrik yang sesat, dan menjadi pegangannya agar termasuk orang yang betul-betul meyakini keesaan Allah.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 74
“Dan (ingatlah) tatkala berkata Ibrahim kepada ayahnya Azar, ‘Adakah patut engkau anggap berhala-berhala itu sebagai tuhan-tuhan."
Sebelum kita teruskan penafsiran, terlebih dahulu kita jelaskan bahwa dalam menyebut orang yang kedua (mukhaathab) bahasa Arab hanya memakai kata anta yang berarti engkau. Sehingga kita kepada Allah pun di dalam berdoa juga menyebut-Nya “anta". ‘Anta rabbi, la ilaaha illa anta." (Engkaulah Tuhanku, tidak ada Tuhan melainkan Engkau). Serupa dengan bahasa Inggris dengan memakai kata “You" kepada siapa saja. Maka, kalau kita artikan secara lurus saja, bukanlah berarti bahwa Ibrahim kurang hormat kepada ayahnya, jika Anda baca langsung bahasa Arabnya, akan Anda rasakan bahwa beliau tetap hormat.
Selanjutnya disebut nama ayah Ibrahim ialah Azar. Sedangkan yang masyhur dalam sejarah nama ayah Ibrahim ialah Tarah. Ahli-ahli tafsir yang besar-besar selalu juga menyebut Tarah itu. Setengah mereka mengatakan bahwa Azar adalah gelar atau panggilan lain bagi ayah Ibrahim. Janganlah kita heran dan jangan kita kena bujuk rayu dari pemeluk Yahudi atau Nasrani yang sengaja hendak menyaiahkan Al-Qur'an atau memalsukannya karena nama itu tidak cocok dengan apa yang ada dalam catatan mereka. Maka bertanyalah Ibrahim kepada ayahnya, “Wahai ayahku, adakah pantas berhala-berhala itu Ayah anggap sebagai tuhan-tuhan?"
“Sesungguhnya aku lihai engkau dan kaum engkau adalah dalam kesesalan yang nyata."
Di dalam surah-surah yang lain dapatlah kita baca betapa hebatnya yang dihadapi Ibrahim saat beliau membantah ayahnya dan kaumnya itu, sampai beliau pernah mencincang berhala-hala itu dengan kampak dan ditinggalkannya saja yang paling besar sebuah. Dan ketika ditanya siapa yang merusakkannya, beliau jawab ialah berhala yang paling besar itu. Lantaran itulah beliau dibakar orang, tetapi selamat tidak kurang suatu apa. Sehabis dibakar itulah beliau meninggalkan negerinya dan pindah. Namun, terkenallah Nabi Ibrahim itu seorang yang amat halus perasaannya. Aw-waahun, artinya sangat pengiba. Meskipun berselisih dengan ayahnya, dia tetap memohon kepada Tuhan agar ayahnya diberi ampun. Tuhan memuji Ibrahim karena pengibanya itu. Namun, Tuhan pun memberi pengertian kepada beliau bahwa segala dosa dapat diampuni. Kecuali satu dosa yang tidak, yaitu mempersekutukan yang lain dengan Allah. Karena ayahnya tidak dapat atau tidak mau mengubah pendirian, apa boleh buat, terpaksa dia tidak meminta ampunkan ayahnya itu lagi.
Menarik hati juga perbincangan ulama-ulama tafsir tentang ayah Ibrahim ini. Ada yang mengatakan, kononnya dari kalangan madzhab Syi'ah bahwa Azar itu bukanlah ayah Ibrahim, tetapi saudara ayahnya (pamannya). Mereka menonjolkan penafsiran begini untuk menegakkan suatu pendirian bahwa ibu bapak seorang nabi atau rasul tidaklah mungkin seorang kafir. Lantaran itu, segala ayat yang berhubungan dengan kisah Ibrahim dengan ayahnya, selalu mereka artikan pamannya. Untuk itu pula mereka kuatkan bahwa yang ayah Ibrahim itu memang Tarah namanya, bukan Azar. Pendapat itu pun mempunyai ekor yang lanjut, yaitu buat menegakkan pendapat bahwa ayah bunda nabi kita, Muhammad ﷺ pun bukanlah kafir, tetapi Islam juga sebagaimana ayah kandung Ibrahim.
Niscaya timbulnya pendapat atau pendirian yang begini tidak lain daripada rasa cinta dan hormat kepada nabi-nabi jua. Apalagi Rasulullah ﷺ memang pernah mengatakan bahwa beliau dilahirkan ke dunia, sejak nenek moyangnya sampai ke atas sekali, yaitu kepada Adam, tidak sekali juga nenek-neneknya yang lahir ke dunia dari hubungan di luar nikah, yang disebut sifaah. Padahal, jika rasul dari nenek moyangnya tidak ada yang lahir di luar nikah, bukanlah berarti nenek moyang beliau tidak ada yang tersesat menyembah berhala. Namun, adanya pendirian yang demikian tidak pula lain dari semata-mata bebasnya perkembangan ijtihad dalam Islam, Rasa cinta kepada Rasulullah ﷺ dan kepada neneknya Ibrahim, menyebabkan orang “tidak sampai hati" akan menyebut bahwa ibu-bapak Nabi ﷺ atau ibu-bapak Ibrahim tidak Islam atau kafir atau masuk neraka.
Padahal ada hadits Rasulullah ﷺ sendiri yang dirawikan oleh Muslim dalam Shahih-nya dari hadits Anas bin Tsabit bahwa seorang laki-laki datang bertanya kepada Rasulullah ﷺ, “Di mana ayahku, ya Rasulullah?" Beliau menjawab, “Di neraka!" Setelah orang yang bertanya itu berdiri hendak pergi, dia dipanggil oleh Rasulullah ﷺ dan beliau bersabda,
“Sesungguhnya bapakkku dan bapak engkau di neraka!" (HR Muslim)
Lalu ditegaskan oleh Imam Nawawi dalam syarahnya, “Di sini jelas bahwa barangsiapa yang meninggal dalam keadaan kafir maka masuk nerakalah dia dan tidaklah bermanfaat baginya karena kerabat (kekeluargaan). Dan di dalam hadits ini pun dapat dipahamkan bahwa orang yang mati dalam zaman fitrah dalam keadaan apa yang dipegang oleh orang Arab, menyembah berhala, dia pun masuk neraka. Dan ini tidaklah patut diambil keberatan yang mengatakan bahwa belum sampai kepada mereka dakwah karena kepada mereka sudahlah sampai dakwah Ibrahim dan Nabi-nabi yang lain. Dan Nabi ﷺ mengatakan ayahku dan ayahmu dalam neraka, ialah untuk menunjukkan pergaulan yang baik dan pengobat hati yang bertanya karena sama-sama dalam menderita sedih." Demikian syarah (komentar) Imam Nawawi.
“Memohon … aku kepada Tuhanku hendak memintakan ampun untuk ibu, tetapi tidak diberi izin kepadaku. Lalu aku mohon izin hendak menziarahi kuburnya lalu aku diberi izin." (HR Muslim)
Malahan dalam hadits yang lain diterangkan bahwa beliau sampai menangis di kubur itu dan memberi anjuran umatnya supaya ziarah ke kubur untuk mengingat mati.
Maka dengan hadits-hadits yang shahih ini tetaplah ada yang berpegang teguh bahwa ayah dan bunda Nabi itu mati belum dalam Islam, apalagi ayah Nabi Ibrahim.
Akan tetapi, golongan ulama-ulama Salaf walaupun yang berpegang teguh pada hadits-hadits yang shahih itu sendiri, tidaklah kurang hormat mereka kepada Rasul dalam hal yang berkenaan dengan ibu bapak dan keluarga beliau, walaupun yang mati belum dalam Islam sebagaimana Abu Thalib.
Khalifah yang saleh, Umar bin Abdul Aziz pernah memecat memberhentikan seorang pegawai karena terloncat mulutnya yang salah berkenaan dengan kedua orangtua Rasulullah ﷺ Pegawai tinggi itu disuruh mencari seorang juru tulis (sekretaris). Orang itu dapat dan dibawa menghadap, padahal ayah calon pegawai itu kafir. Kemudian, Khalifah berkata kepada pegawai tinggi itu, “Mengapa tidak engkau bawa seorang calon dari keturunan Muhajirin?" Pegawai Tinggi itu menjawab, “Apakah salahnya, ya, Amirul Mukminin kalau orangnya sendiri baik Islamnya. Sedangkan bagi Nabi kita tidaklah membahayakan karena ayah beliau seorang kafir!" Mendengar jawab yang tidak senonoh itu, berkata Khalifah, “Engkau telah mengambil itu menjadi perumpamaan? Mulai hari ini engkau tidak boleh lagi bekerja dengan aku!"
Contoh yang lain ialah Imam Syafi'i sendiri terhadap sebuah hadits yang sudah terkenal, yaitu, “Kalau Fatimah mencuri, niscaya aku potong tangannya." Ketika Imam Syafi'i mem-bicarakan hadits ini, beliau berkata,
“Kalau sekiranya si Fukmah, perempuan anu yang mulia itu mencuri, niscaya aku potong juga tangannya."
Kita pun sudah tahu, ulama hadits tidak akan mengubah bunyi hadits. Imam Syafi'i bukan tak tahu hal itu. Namun, beliau pun tahu bahwa hadits itu sudah dikenal oleh semua orang. Maka demi hormatnya kepada Rasul, dipakainya kata lain, guna memuliakan putri beliau sehingga tidak ditetapkannya namanya, sebab kurang hormat dirasanya untuk dirinya sendiri mendekatkan nama Fatimah dengan kalimat “curi".
Salaf yang saleh, sebagai Imam Syafi'i dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz itu telah memberikan adab yang tinggi bagi kita tetap menghormati Rasul baik di kala hidupnya ataupun sesudah wafatnya sehingga dijaga juga perasaan beliau jangan tersinggung, dimisalkan beliau ada dalam waktu ini. Maka madzhab yang benar dari Ahli Sunnah wal Jamaah berpendapat tidaklah beradat seorang yang menyebut-nyebut keluarga Rasul ﷺ baik ayah bundanya ataupun paman-pamannya yang akan menyakiti perasaan beliau. Ketika membicarakan Abu Thalib, sebutlah jasanya, jangan disebut mati kafirnya. Mengenai Abu Lahab, bahkan sampai satu surah menyebut kejahatannya, tetapi jangan sampai disangkut-pautkan kekafirannya dengan hubungan kekeluargaannya dengan Rasul ﷺ. Menurut sebuah hadits Bukhari Muslim bahwa pada suatu hari Hassan bin Tsabit memohon izin kepada Rasulullah ﷺ mengarang syair mencela kaum musyrikin. Kemudian, Rasulullah sebelum mengizinkan bertanya terlebih dahulu kepada Hassan, “Bagaimana tentang hubungan nasab (keturunanku) dengan mereka?" Hassan menjawab, “Akan aku helakan nama Rasulullah dari mereka, laksana menghelakan rambut dari dalam tepung!" Artinya, akan aku bersihkan nasab engkau dari nasab mereka sehingga engkau tidak terkena dalam celaan. Dan dalam riwayat yang lain tersebut pula bahwa Hassan meminta izin mengarang syair mencela Abu Sufyan. Beliau pun bertanya pula, “Bagaimana tentang hubungan kekeluargaanku dengan dia?" Hassan pun menjawab seperti jawaban tersebut. Padahal, waktu itu Abu Sufyan masih manusia yang paling memusuhi beliau.
Pada kedua riwayat hadits ini kita melihat adab beliau dan kita pun wajib menegakkan adab itu pula terhadap beliau, Rasulullah ﷺ
Demikianlah pada suatu hari kira-kira bulan Mei 1950 saya shalat Jum'at di salah satu masjid di Jakarta. Khatibnya memang sudah modern dan berkhutbah dengan tangkasnya. Di dalam khutbahnya itu merembetlah ke dalam urusan dzurriyat Rasul tentang keturunan Hassan dan Hussin bin Abi Thalib yang menurut tradisi dipanggil sayyid. Karena Nabi ﷺ sendiri yang bersabda, “Sesungguhnya anakku ini adalah Sayyid!" Beliau ucapkan untuk Hassan bin Ali r.a..
Memang sudah lama menjadi perbincangan di kalangan orang Arab, terutama di Indonesia tentang boleh tidaknya selain dari kaum Ba'alawi memakai titel sayyid itu. Kemudian Al-Irsyad memakai gelar itu pula, yang menimbulkan keguncangan dalam kalangan keturunan Arab dari Hadhramaut bertahun lamanya. Sampai dia berbicara dalam khutbah, hubungan kekeluargaan dengan Rasulullah ﷺ janganlah hendak dibangga-banggakan. Sebab keluarga Rasul ﷺ sendiri pun bisa jadi orang jahat. Cobalah lihat Abu Lahab, dia itu adalah paman kandung Nabi. Dan anak laki-lakinya kawin dengan anak perempuan Nabi (besan Nabi), dan seterusnya.
Entah bagaimana telinga seni khutbah-ku tidak senang mendengar. Sebab keluar dari masjid, seorang sahabatku yang bergelar sayyid, keturunan Ba'alawi, berkata kepadaku dengan wajah yang menunjukkan tidak senang. Dan dia pun mengenal haluan agamaku. Katanya, “Bagus benar khutbah itu!" Kemudian kujawab, “Memang, khatib itu telah menunjukkan kepada kita betapa luas pengetahuannya. Cuma satu saja yang kurang rupanya dibacanya." Kawan itu bertanya, “Apa yang kurang?" Aku jawab, “Adab kepada Rasulullah ﷺ Kasarnya ialah kurang ajar!"
Maka, kawan itu mengulurkan tangan, bersalam dengan aku, dengan hangat!
Dengan sahabat itu juga, kami berziarah kepada Sayyid Amin Husaini di Mesir (Oktober 1950). Sehabis ziarah dan pertemuan dengan mufti tersebut kira-kira dua jam lamanya, ketika akan pulang, aku jabat tangan beliau dan aku cium. Sampai di luar sahabatku itu berkata pula, “Mencium tangan habib? Tidak anti?"
Aku jawab pula, “Kalau itu habibnya, bukan saja mencium, menelan pun aku mau."
IBRAHIM MELIHAT KERAJAAN ALLAH
Ayat 75
“Dan demikian pula. Kami perlihatkan kepada lbrahim Kerajaan semua langit dan bumi dan supaya jadilah dia dari orang-orang yang sebenar yakin."
Di sini diterangkan bahwa pada suatu masa Allah memperlihatkan kepada Ibrahim kerajaan semua langit dan bumi, yang dalam ayat disebut malakut dan kita artikan kerajaan. Menurut riwayat dari Ikrimah kalimat malakut berasal dari bahasa Nabthi, suatu suku bangsa yang mendiami tanah Irak purbakala, asal usul yang menurunkan Nabi Ibrahim. Dan kata ahli sejarah bangsa-bangsa, Nabthi itu dari sisa kaum Amalik dan Amalik adalah dari Arab purbakala juga. Menurut Qatadah, malakut itu ialah meliputi matahari, bulan, bintang-bintang, gunung-gunung, kayu-kayuan, dan lautan. Maka kata ahli tafsir, setelah beliau melihat itu semuanya dengan penglihatan mata lahir ini dan mata hati pula kelihatanlah olehnya bahwa di belakang segala yang nyata itu, baik mataharinya, bulannya, bintangnya, atau lautnya dan daratnya maka kelihatanlah olehnya dengan nyata pula suatu pentadbiran Yang Mahabesar dan Mahaagung. Yang melihat bukan saja mata lagi, melainkan disertai pikiran dan akal sehingga timbullah keyakinan dalam hatinya, bahwa seluruh kerajaan semua langit dan bumi itu tidaklah terjadi dengan sendirinya, dan tidak terjadi dengan sia-sia.
Menurut Raaghib, ahli bahasa yang terkenal itu, arti Yakin dialah: “Paham yang telah mencapai ketenangan dan hukum yang telah mencapai ketetapan. Dan yakin itu adalah salah satu dari sifat ilmu di atas dari makrifat dan dirayat." Dengan demikian, Ibrahim telah sampai pada taraf terkumpulnya di antara dua ilmu, yaitu ilmu yang didapat karena berpikir dengan ilmu Ladunni, yaitu yang langsung diterima dari Allah.
Kalau menurut pelajaran ahli tasawuf ialah bahwa Ibrahim telah memandang pada Kerajaan Langit dengan penuh kemauan (murid). Kemudian, karena kekerasan iradahnya, meninggilah nazhar pikirannya, membubung tinggi. Sesampai pikiran itu pada batas yang dapat dicapainya, datanglah Ilmu AHah Ta'aala yang Ladunni menjemput dia dan menarik tangannya naik dan pada waktu itu sampailah dia kepada martabat Muraad, dan dituangilah dia dengan ilmu Ladunni yang langsung dari Allah
Ayat 76
“Maka tatkala telah gelap baginya malam, melihatlah dia akan sebuah bintang. Diapun berkata, ‘Inikah Tuhanku?'"
Niscaya jika hari mulai kelam, bintang-bintang pun bercahayatah. Malam itu, dengan kehendak Tuhan, Ibrahim telah sengaja menghadapkan perhatiannya ke langit. Di antara beribu-ribu bintang yang telah mulai bercahaya sebab hari telah mulai malam, beliau tumpahkanlah perhatian beliau pada sebuah bintang. Menurut Ibnu Abbas, ialah bintang Musytari, yang kelihatan pada senja hari di sebelah barat. Bintang Musytari termasuk bintang besar yang menurut kepercayaan bangsa Yunani dan Romawi purbakala yang mempertuhankan bintang merupakan bintang yang paling agung. Menurut Qatadah, adalah bintang Zuhrah, yaitu bintang Timur. Kaum Nabi Ibrahim, bangsa Kaldari adalah penyembah bintang. Sekarang Ibrahim mulai bertanya, “Inikah Tuhanku?" Atau inikah yang harus aku percayai sebagai Tuhan? Menurut setengah tafsir, bukanlah kata sebagai pertanyaan, melainkan sebagai mencari dalil dan penetapan pendirian. Sebab Ibrahim waktu itu masih anak kecil, belum menjadi Rasul, masih dihitung pengikut agama kaumnya.
Ada riwayat dari Muhammad bin Ishaq bahwa Nabi Ibrahim itu dilahirkan dalam gua. Sebab, ibunya takut anak itu akan dibunuh Raja Namrudz yang telah mendapat berita dari ahli tenung bahwa seorang anak laki-laki akan lahir dan akan menghancurkan kerajaannya dan akan memusnahkan berhalanya. Mendengar berita tukang-tukang tenung itu, Raja Namrudz memerintahkan membunuh segala kanak-kanak, sedangkan Ibrahim lekas saja besarnya. Sebab itu ketika akan melahirkan, ibunya teiah bersembunyi ke dalam gua. Baru umur satu hari, sudah sama dengan anak umur sebulan, dan umur sebulan sudah sama dengan anak umur satu tahun. Dan sesudah umurnya 15 hari dia meminta kepada ibunya agar dia dibawa keluar dari dalam gua itu pada malam hari, sebab dia hendak melihat ke jadian semua langit dan bumi. Maka dilihatnyalah bintang, bulan, dan matahari sebagai tersebut dalam ayat ini. Riwayat ini bagus juga, tetapi nyata benar bahwa dikarang-karang dan diterima dari orang Yahudi, termasuk cerita israiliyat. Sebab cerita kelahiran Nabi Musa serupa ini juga kemudian cerita kelahiran Nabi Isa serupa ini pula, sampai diterangkan bahwa beliau dilarikan oleh Yusuf dan Maryam ke Mesir.
Kata penyelidik, yang jadi pangkal cerita ini ialah Muhammad bin Marwan yang disebutkan juga dengan nama as-Suddi, segelar dengan as-Suddi yang terkenal, penafsir juga. Tetapi as-Suddi Muhammad bin Marwan ini dituduh oleh ulama-ulama hadits kadzab. Pembohong!
Lebih baik kita turutkan saja jalan pikiran yang sehat, jangan dihiasi dengan israiliyat. Karena tidak pun dicampuri dongeng, kisah yang tersebut dalam Al-Qur'an, sudah cukup dalam untuk direnungkan. Beliau lihat bintang itu bercahaya dan tentu saja bersama dia banyak pula kaumnya yang turut melihat bintang itu. Oleh karena itu, di hadapan kaumnya Nabi Ibrahim bertanya: “Inikah Tuhanku?" Atau inikah yang mesti aku percaya sebagai Tuhan? Belum ada kaumnya yang menjawab. Sebab keindahan malam dengan cahaya bintangnya sedang memesona. Dan malam pun beredar jua, kata kita zaman sekarang, bumi pun berputar juga maka bintang tadi berangsur hilang.
“Maka sesudah bintang itu hilang, dia pun berkala, ‘Aku tidak suka kepada segala yang hilang.'"
Hatinya mulanya telah tertarik pada bintang barat yang bercahaya indah kemilau itu. Namun, bumi berputar dan bintang itu telah hilang. Sedang hati terpaut, dia pun pergi. Sedangkan awak memerlukannya dia tidak ada lagi. Inikah yang patut dikatakan Tuhan? Dapatkah Tuhan semacam ini tempat menyangkutkan harapan? Padahal kita memerlukan Tuhan di setiap waktu? Tempat kita mencintai dan menggantungkan pengharapan kita? Bagaimana kalau kita memerlukannya pada hari ini, besok malam baru dia memperlihatkan diri? Dan kadang kalau diperhatikan pula dengan saksama, tidak pula tetap bintang “kesayangan" itu kelihatan di tempatnya. Mungkin pada tiga bulan permulaan tahun dia kelihatan di sebelah barat kira-kira pukul tujuh malam, tetapi pada tiga bulan sesudah itu tempatnya tidak di situ lagi, alangkah payah menjaga saat kelihatannya itu. Sebab itu tepat sekalilah petunjuk Tuhan yang diucapkan Ibrahim setelah melihat bintang kesayangan itu tak ada lagi bahwa dia tidak suka pada segala yang suka hilang, sedangkan dia diperlukan. Dengan ucapan yang demikian, Ibrahim pun telah menuntun kaumnya yang hadir dekat dia itu, janganlah menumpahkan kecintaan hati pada apa yang hilang waktu kita menyukainya. Dan menjadi pokok utama untuk melarang diri dari syirik. Sebab selain Allah adalah barang yang akan hilang belaka.
Mungkin bagi orang yang hendak memuaskan hatinya sendiri ada alasan buat mengatakan bintang itu tidak hilang melainkan terbenam atau terlindung awan. Maka, nyatalah pula kekurangannya pada waktu itu, sebab cahayanya bisa dihalangi oleh awan atau rupanya bisa dihambat oleh gunung atau oleh putaran bumi.
Ayat 77
“Maka tatkala dia melihat bulan terbit, berkatatah dia, Inikah Tuhanku?'"
Cahayanya lebih merata daripada bintang. Tatkala bulan mulai terbit cahaya bintang pun mulai pudar. Mungkin sekali Nabi Ibrahim melihat perubahan dari cahaya bintang kepada cahaya bulan ini ialah pada malam-malam 16 atau 17 hari bulan Qamariyah. Memang pada malam-malam demikian bila saja hari mulai kelam, cahaya bintang kelihatan, apalagi kalau awan-awan tidak ada. Cahaya bintang-bintang itu mempesona penglihatan. Namun, setelah pukul delapan atau sembilan malam, bintang yang tadiriya bercahaya di ufuk barat, mulai bersembunyi ke balik bumi, dan bulan mulai muncul di ufuk timur, dan cahayanya mulai memudarkan cahaya bintang-bintang yang masih ada. Cahaya bulanlah yang pada waktu itu menguasai bumi. Bukan saja menguasai bumi dengan keindahannya, tetapi pun memesona perasaan orang yang tengah merenungkannya. Kita bisa duduk berjam-jam menikmati cahaya bulan purnama. Berbagai dongeng sejak purbakala telah memenuhi bulan dengan cahayanya. Bulan purnama menjadi bahasa yang indah sekali untuk berkhayat. Kata dongeng, tumpukan hitam yang menyerupai bumi dalam bulan itu, yang kelihatan waktu bulan-bulan purnama, ialah Beringin Sonsang artinya beringin yang terbalik tumbuhnya. Di sana, katanya, ada tuan putri yang sedang asyik menenun. Dongeng-dongeng inilah yang lalu menjelma menjadi kepercayaan dan menjadi agama primitif di segala pelosok dunia ini. Misalnya dongeng Beringin Sonsang atau Putri Bertenun itu kita dengar dari orang tua-tua di negeri kita. Tentu begitu juga pertumbuhan dongeng-dongeng itu sehingga menjadi agama bagi bangsa Kaldan. Namun, tentu bumi berputar terus dan alam pun beredar dan tentu bulan itu pun akan hilang ke balik ufuk, dan kian sehari sesudah purnamanya dia pun akan susut. Bagaimana dengan Ibrahim?
“Sesudah bulan itu hilang, dia benkata, ‘Jika tidaklah aku ditunjuki oleh Tuhanku, niscaya jadilah aku dari kaum yang tersesat.'"
Bulan timbul dan bulan tenggelam sedang cahayanya lebih memesonakan daripada cahaya bintang, merawankan dan nyaman; angin malam menolong lagi menambah semaraknya.
Memang orang bisa saja memuja bulan purnama itu dengan berbagai cara. Dan bisa saja orang berlarat-larat dibawa perasaan hati di bawah terang bulan purnama, hingga bulan itu dipuja. Namun, Ibrahim melihat dia terbenam. Ataupun kalau ia masih ada, cahayanya akan pudar apabila fajar telah menyingsing. Sebab itu setelah bulan hilang, keinsafan yang timbul pada Ibrahim lebih hebat dari keinsafan tatkala bintang tadi hilang. Kalau Allah tidak menunjukinya, merasalah dia bahwa dia akan sesat dibawa khayatnya sendiri. Peringatan beliau dengan kata-kata ini kepada kaumnya sudah jauh lebih tegas daripada peringatannya yang pertama, ketika bintang itu mulai hilang. Memuja bulan karena dipesona oleh cahayanya adalah satu kesesatan. Sebab cahaya bulan, walaupun membawa nyaman dan rawan, ia tidak juga dapat mengalahkan kegelapan malam. Cahaya bulan hanya dapat menunjukkan penglihatan yang remang-remang. Betapa pun dekatnya kita dengan teman kita pada waktu terang bulan, kalau dia tidak bercakap, tidak juga kita akan segera dapat mengenal wajahnya. Dan cahaya bulan tidaklah sanggup membedakan warna. Oleh karena itu, cahaya bulan setinggi-tingginya hanyalah memesona perasaan, bukan menjelaskan kenyataan. Padahal sedang kita terpukau oleh perasaan itu, ia pun hilang. Atau cahaya itu tidak berarti lagi sebab cahaya yang lebih kuat sudah mulai marak di langit timur, sebab matahari akan terbit.
Ayat 78
“Maka tatkala dia melihat matahari terbit, berkatalah ia, ‘Inikah Tuhanku?'"
Bila matahari telah terbit, tentu sianglah hari. Belum pun dia terbit, masih saja dalam suasana fajar, bintang-bintang mulai tidak bercahaya lagi. Hilang satu hilang dua saja cahayanya, padahal ia masih ada. Dan setelah matahari itu terbit, kalau bulan masih kelihatan di sebelah barat, ia pun tidak bercahaya lagi dan tidak berarti lagi. Cahaya bintang-bintang dan bulan telah dikalahkan cahaya matahari bintang dan bulan tak ada gunanya lagi. Kedatangan sang surya dielu-elukan margasatwa, ayam berkokok, dan burung bernyanyi. Kehidupan hari yang baru mulai ditempuh, syukur tertumpah pada matahari. Tidak ada matahari, orang tidak bisa hidup bahkan segala sesuatu tidak bisa hidup. Oleh sebab itu, bangsa-bangsa yang mulai tumbuh akal, primitif memandang matahari sebagai Tuhan. Hari itu sendiri berarti juga Tuhan. Macam-macam khayat pun timbul lantaran itu di pelosok dunia ini. Pada bangsa Melayu purba pun terdapat kepercayaan itu. Sungai Batanghari yang mengalir dari hulu Sumatera Tengah, melalui daerah Jambi menuju lautan, dipandang sebagai Tuhan juga sebab ia memberikan kehidupan. Di Kubu Rajo (dekat Batu Sangkar) terdapat rajah di batu menggambarkan matahari sebagai pujaan. Kadang-kadang dihubungkan dengan putranya, dewa yang menjelma jadi manusia, sebagai kepercayaan orang Jepang. Yaitu bahwa Tuhan matahari yang mereka namai Ometerasu Omikami mengirim putranya ke dunia, menjelmakan pulau-pulau Nippon (Dai Nippon). Mereka itulah yang menurunkan Tenno-tenno hingga Tenno Haika sekarang ini. Dan kepercayaan menyerupai ini pun terdapat di daerah-daerah Melayu Tua di Sumatera Selatan, yaitu di Rejang, Pasemah, Komering, dan Lampung tentang “Si Pahit Lidah". Dalam dongeng kung itu dikatakan bahwa Pahit Lidah turun ke dunia."Di antara Palembang dengan Jambi, di antara siang dengan malam, dari berombong cahaya matahari."
Namun, betapa pun sinar matahari itu meliputi alam dan mengatur hidup, ia mesti ghurub juga. Oleh karena itu, tatkala telah terbenam, berkatalah ia,
“Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan."
Dengan terbenamnya matahari yang lebih besar dan lebih bersinar, lebih memengaruhi alam itu, jauh dari kekuasaan cahaya bintang-bintang dan bulan, Ibrahim pun mendapat. Setelah matahari tak ada lagi, baru beliau bertemu dengan yang sebenar ada. Kalau matahari yang lebih bercahaya dan lebih besar, mengapa ia terbenam? Mengapa ia dikalahkan oleh gelap? Kalau kemuliaan matahari adalah karena sinarnya, mengapa ditinggalkannya makhluknya dalam gelap? Maka, kalau cahaya matahari itu masih bisa dikalahkan kegelapan, bukanlah ia yang Tuhan. Pastilah bahwa Tuhan itu lebih besar bahkan lebih besar daripada kekuasaan matahari.
Menurutpenyelidikan ahli-ahli antropologi purbakala, memang bangsa Kaldan bangsanya Nabi Ibrahim itu mempunyai kepercayaan trimurti tentang tiga Tuhan, yaitu Tuhan yang bernama Sini, yaitu bulan. (Dalam bahasa Siryani bulan memang disebut sini, demikian juga dalam bahasa Sanskerta. Kadang-kadang disebut juga sidi. Ingat malam Bulan Purnama Sidi yang diperingati di Bali negeri kita dan dianjurkan meramai dan menghormatinya oleh penganut-penganut kebatinan di Jawa). Dan setengah dan sebutan bulan menurut kepercayaan orang Kaldan dan Babilon ialah pemimpin dari segala dewa di langit dan di bumi disebut juga Dewa Pembangun (Baal Rona). Bulan mereka gambarkan dalam berbagai keadaannya, sejak bulan sabit sampai purnama sampai bulan susut. Di Ur mereka dirikan ma'bad (tempat memuja) bulan.
Yang kedua dari trimurti Kaldan itu ialah matahari yang disebut namanya San atau Sansi. Inilah yang kemudian menjalar ke dalam bahasa orang Aria Eropa menjadi Sun dan hari Minggu dijadikan Hari Matahari (Sunday). Dalam bahasa Ibrani, matahari itu disebut Shani. Dalam bahasa Sanskerta disebut Shuna. Dan setengah dari panggilan matahari ialah Dewa Api atau Perapian Bumi dan Langit Di negeri-negeri besar didirikan rumah-rumah pemujaan kepada matahari.
Tuhan mereka yang ketiga ialah Ful dan disebutkan juga Eva, yaitu dewa udara, yang menguasai perjalanan angin, ombak, dan topan dan menentukan musim dan menganugerahkan hasil tani. Orang bertemu bekas runtuhan pemujaan Ful ini yang didirikan oleh Raja Kaldan, yang bernama Syamas Ful, 1850 tahun sebelum Masehi.
Dalam lanjutan penyelidikan yang lain disebutkan bahwa Tuhan mereka yang paling tinggi ialah yang bernama Eel. Terhadap Tuhan ini rnasih terdapat sisa ajaran Nabi Nuh, bahwa Tuhan Eel itu tidak berbentuk, tidak berupa, sebab itu tidak diberhalakan. Katanya Tuhan ini beranak Ana dan Beel. Dan Tuhan yang kedua disebut Belos atau Beel atau Baal. Di antaranya namanya pula ialah Eel Enio dan kadang-kadang disebut Nebro dari sana kemudian menjadi Namrudz. Menjadi nama raja dan raja itu dianggap pula sebagai jelmaan Tuhan. Dan Tuhan mereka yang ketiga ialah Hua atau Haya; separuh badannya manusia dan separuhnya lagi ikan. Kata mereka, dia keluar dari Selat Persia untuk mengajar penduduk di antara dua sungai (Dajlah-Furat) me-nulis, membaca, dan kesusastraan.
Demikianlah kepercayaan kaum Kaldan di masa itu, kepercayaan kepada bintang, bulan, matahari, dan udara. Yang kita bisa dapati pula di tempat lain sebagai juga pada bangsa-bangsa kita sendiri di zaman purba, inilah yang dibantah oleh Ibrahim sebagai yang diterangkan pada ayat-ayat ini. Dan di sinilah menambah yakinnya orang beriman tentang nubuwwah Nabi Muhammad ﷺ yang hanya dengan wahyu itulah beliau mengetahui betapa adanya kepercayaan jahiliyyah purbakala itu, sebab beliau sendiri tidaklah pernah belajar sejarah dan tidaklah ada ahli sejarah hidup di Hejaz pada masa itu. Jangankan sejarah bahkan yang pandai menulis dan membaca saja hanya satu orang dalam 10 ribu orang.
Akhirnya Ibrahim dapat.
Ayat 79
“Sesungguhnya aku hadapkanlah wajahku kepada yang menjadikan semua langit dan bumi dengan ikhlas dan tidaklah aku daripada orang-orang yang mempersekutukan."
Perjalanan akalnya sendiri karena merenung dan memikirkan, telah membawa Ibrahim pada keyakinan yang pasti, sebagai yang telah disebut di ujung ayat 75. Beliau telah sampai pada keyakinan karena mata beliau yang lahir ini hanyalah alat saja daripada mata batin. Melihat Tuhan dan memastikan adanya Tuhan bukanlah karena melihatnya dengan mata lahir saja. Beliau telah melihat bintang, bulan, dan matahari. Beliau telah mengenal cahaya masing-masing dan kelebihan yang satu dari yang lain. Semuanya itu sama saja, walaupun berkecil berbesar. Yaitu mulanya terbit, timbul, dan bercahaya, tetapi akhirnya pudar atau hilang dari mata. Bintang dikalahkan kecilnya oleh bulan, bulan dikalahkan kecilnya oleh matahari. Kemudian, matahari itu pun bisa hilang, terlindung di balik ufuk sebagai bintang dan bulan itu juga. Pada waktu matahari mulai terbenam, jelas benar kelihatan bahwa dia pun kecil saja laksana bola merah, ditelan oleh keadaan alam sekelilingnya yang jauh lebih besar. Padahal pada zaman Ibrahim belum diketahui bahwa bulan jauh lebih kecil dari berjuta bintang dan matahari yang tampak itu hanya satu saja di antara berjuta-juta matahari lagi. Sebab itu pikiran pasti sampai pada akhirnya, yaitu bahwa ada suatu kekuasaan Mahaagung yang lebih besar, yang mengatur itu semuanya. Bintang-bintang itu kecil, matahari pun, dan alam semesta pun kecil. Mesti ada Dia itu, Yang Lebih Besar dari semua. Maka, setelah mata yang lahir melihat kenyataan yang berubah-ubah, niscaya mata hati akan melihat kesatuan dari segala-galanya itu di dalam satu kekuasaan mutlak.
Itulah Allah!
Niscaya mata lahir itu tidak dapat melihat rupanya dan pikirannya pun tidak dapat mengkhayatkan rupanya. Dan kalau orang mencoba mengkhayatkan-Nya, lalu membuat gambar dari khayatnya itu sehingga dijadikan berhala dan pujaan, niscaya bertambah digambarkan, bertambah nyata kekurangannya. Lantaran itu, batallah segala ke-berhalaan sebab berhala adalah hasil khayat manusia, bukan kenyataan yang sebenarnya. Maka, Nabi Ibrahim pun sampai pada hakikat tauhid yang sebenarnya. Yaitu bahwa di situ pasti Satu dan mutlak dalam kesatuannya. Dialah yang menjadikan dan menguasai semua langit dengan seluruh bintang-bintang dan bulan itu dan matahari itu dan menguasai bumi juga, dengan seluruh makhluk yang mendudukinya. Karena itu, kepada-Nyalah Ibrahim menghadapkan jiwa dan raganya, menghadapkan wajah dan hatinya, dengan hanif yang berarti ikhlas, jujur, tiada bercampur dengan ingatan lain, dan tidaklah beliau mempersekutukan yang lain dengan Dia, sebab mustahil menurut mata hati yang sehat bahwa ada yang lain yang bersekutu kekuasaan dengan Dia.
Dengan ayat ini manusia di segala zaman diberi contoh bagaimana menyaksikan adanya Tuhan Pencipta dan Pengatur pada semesta alam ini, dengan melihat pada alam itu sendiri. Inilah yang diriamai wihdatusy-syuhud. Kesatuan kesaksian bagi menyaksikan yang Satu. Bukan wihdatul-wujud, melihat bahwa semuanya itu satu, sehingga dia adalah Dia!
Memanglah rangkaian ayat kisah Ibrahim melihat kerajaan langit ini menarik minat pada berfilsafat. Atau bolehlah dia dikatakan menjadi sumber filsafat spiritualisme dari Al-Qur'an. Bertambah maju pengetahuan orang tentang alam, bertambah ayat-ayat ini menjadi perangsang buat menegakkan al-Hikmatul Ilahiyah. Dapatlah bertemu di sini suasana perjalanan menuju kebenaran. Mulanya dengan ilmu dan akhir dari ilmu ialah makrifat. Dan, makrifat ialah tujuan filsafat. Akhir dari makrifat tibalah agama yang benar, yaitu tauhid yang sejati.
Ahli-ahli tasawuf pun digenangi oleh hikmah ketuhanan seketika menafsir ayat ini. Sufi yang besar, Nizhamuddiri Hasan bin Muhammad an-Naisaburi, menulis takwil tafsir ayat ini demikian, “Mulanya Ibrahim melihat nur (cahaya) kecerdasan pada rupa bintang dan cahaya ketuhanan pada rupa bulan dan cahaya hidayah pada rupa matahari."
Al-Alusi meneruskan cara an-Naisaburi dalam bentuk kata lain dalam tafsirnya Ruhul-Ma'ani. Katanya, “Bintang ialah isyarat kepada nafs, yaitu jiwa hayawani. Bulan isyarat kepada cahaya qalb (hati) dan matahari isyarathruh yang sejati."
Namun, yang agak dapat dirasakan ialah apa yang ditulis oleh Imam Ghazali di dalam AL-lhya', ketika beliau membicarakan bahaya perasaan sombong setengah manusia sebab kepadanya mulai dibuka sedikit oleh Allah pintu makrifat lalu terbau oleh hidungnya bau harum, dia pun menyangka bahwa dia telah sampai. Beliau berkata:
“Dan satu golongan lain lagi, mereka telah terlampau dari yang sulit dan mereka tidak melengong ke kiri kanan, kepada Nur-nur yang mereka temui di jalan dan tidak pula terpesona oleh pemberian-pemberian yang diterimanya dan tidak dia melambung lantaran gembira karena pemberian itu. Dia jalan terus dengan sungguh-sungguh sehingga telah dekat akan sampai kepada batas qurbah (berdekat) dengan Allah maka tersangkalah olehnya rela bahwa dia telah sampai benar-benar kepada Allah. Di situ, dia pun mulai berhenti dan mulai salah! Sebab Allah itu dihijab (didiridirig) oleh tujuh puluh nur, yang setiap si Salik itu sampai kepada satu saja pun dari hijab itu, dia menyangka bahwa dia telah sampai. Itulah yang diisyaratkan dengan kata Ibrahim a.s., yang diceritakan Allah, “Maka tatkala gelap malam, kelihatanlah olehnya bintang maka berkatalah dia, “Inilah Tuhanku!" Padahal bukanlah yang dimaksudnya dengan Tuhan itu ialah bintang yang bercahaya itu. Itu telah dilihatnya sejak dia masih kecil dan dia telah tahu bahwa bintang itu bukan Tuhan dan bintang itu pun banyak; bukan satu saja. Orang bodoh-bodoh pun tahu bahwa bintang bukan Tuhan. Maka, orang seperti Ibrahim tidaklah akan dipesona oleh bintang yang orang kebanyakan pun tidak tertipu olehnya. Namun, yang beliau maksud ialah bahwasanya Dia adalah nurul-anwar, cahaya dari segala cahaya, yang dianya itu salah satu hijab yang mendiridirig kita dengan Allah dan dia akan berjumpa di tengah jalan oleh orang yang sedang salik, dan tidaklah mungkin akan sampai kepada Allah kalau belum bertemu terlebih dahulu dengan hijab-hijab semacam itu. Yaitu hijab nur, yang setengahnya lebih besar dari yang setengah dan yang sepaling-paling kecilnya ialah cahaya bintang maka dipinjamlah oleh Ibrahim kata-katanya. Dan yang paling besar ialah matahari dan di antara keduanya ialah bulan. Maka tetaplah Ibrahim melihat kerajaan langit itu, sebagaimana yang disebutkan Allah, “Demikianlah telah Kami perlihatkan kepada Ibrahim kerajaan semua langit dan bumi/' maka sampailah dia kepada suatu nur sesudah melalui suatu nur dan tiap-tiap sampai kepada nur, terkhayat bagi Ibrahim serasa dia telah sampai, padahal kemudian terbukalah baginya kesadaran bahwa sesudah nur yang telah dilalui itu ada lagi nur lain lalu dia tingkat lagi dan naik lagi; tiap sampai di satu tingkat dia menyangka telah sampai juga sehingga akhirnya sampailah dia pada hijab yang paling dekat, yang sebelum hijab terakhir itu dilampaui, belumlah sebenar sampai. Pada waktu itulah dia berkata, “Ini dia, ini lebih besar!" Maka setelah jelas kepadanya bahwa kebesaran yang dikatakannya besar itu tidak sunyi daripada kekosongan dan kekurangan dan kemunduran, berkatalah dia, pertama,
“Aku tidak suka kepada segala yang hilang." Dan akhir sekali dia berkata (kedua), “Aku hadapkan wajahku kepada yang menjadikan semua langit dan bumi!"
Berkata Imam Ghazali selanjutnya, “Maka orang yang menempuh jalan ini, keraplah dia terpesona sehingga menghentikan perjalanan setelah sampai di salah satu hijab itu bahkan kadang-kadang di hijab yang pertama saja pun dia telah terpesona."
Adapun hijab yang pertama di antara Allah dan di antara hamba-Nya ialah diri si hamba itu sendiri. Sebab diri itu pun suatu masalah ketuhanan yang pelik. Dan dia pun adalah salah satu nur dan daripada nur-nur Allah, yaitu sirrul qalb, rahasia hati, yang jelas (tajalli) padanya hakikat kebenaran semuanya sehingga seluruh alam ini pun bisa muat ke dalam satu hati dan tajalli padanya semua bentuk dan rupa. Pada waktu itu, memancarlah sinar burhan dengan sinaran yang besar, sebab segala yang ujud ini telah nyata padanya menurut keadaannya. Padahal pada mulanya dia tertutup (mahjub) oleh satu pelita yang seakan-akan melindunginya. Maka, apabila nur Allah itu telah tajalli kepadanya, terbukalah (kasyaj) keindahan hati karena telah memancar sinar Allah kepadanya. Kadang-kadang pada saat itu menolehlah yang empunya hati itu ke dalam hatinya maka kelihatanlah kepadanya suatu keindahan yang dahsyat sekali. Kadang-kadang pada saat itu, lantaran sangat dahsyatnya, terloncatlah dari mulutnya, “Anal haqqu." Maka, kalau pada saat itu dia tidak sadar bahwa ada cahaya lain lagi sesudah itu, terpesonalah dia pada diridirig pertama, dihentikannyalah perjalanannya dan binasalah dia pada saat itu. Dia telah terpesona oleh cahaya sebuah bintang kecil dari berbagai lagi cahaya-cahaya hadirat ilahiyatl Maka, inilah tempat kesamaran yang besar, sebab yang jelas pada diri telah menimbulkan kesamaran pada tempat tajalli-nya, laksana orang kerap kesamaran melihat yang terbayang dalam kaca lalu disangkanya bahwa yang terbayang pada kaca itu adalah warna dari kaca itu sendiri sebagaimana pernah kesa-maran orang yang melihat isi sebuah gelas, disangkanya itu yang gelas.
Amat halus gelas dan merupalah arak, keduanya serupa sehingga muskillah keadaannya.
Seakan-akan semuanya itulah arak, bukan piala, seakan-akan semuanya itulah piala bukan arak.
Dengan pandangan mata seperti inilah, orang Nasrani memandang al-Masih. Setelah mereka lihat nur Allah telah sinar-seminar pada diri beliau, mereka pun salah sangka. Laksana seorang yang melihat bintang dalam kaca atau dalam air, disangkanya memang ada bintang dalam kaca atau dalam air, lalu diulurkannya tangannya ke sana hendak mengambil. Ternyata tidak ada maka tertipulah dia.
Demikian Imam Ghazali menafsirkan secara tasawuf bahkan secara filsafat pula akan pengalaman-pengalaman Nabi Ibrahim tersebut. Kemudian, beliau terangkan pula pendirian beliau tentang paham al-Hallaj yang berkata, “Anal haqqu" yang berarti “Sayatah Tuhan" itu. Dan beliau salinkan pula salah satu syair al-Hallaj yang terkenal, tentang perpaduan di antara gelas dengan arak pengisi gelas yang menggambarkan kesesatan Mad-zhab Hului, yakni kepercayaan bahwa Allah dapat menjelma ke dalam diri hamba.
Menurut Imam Ghazali dengan keterangan ini, berjalanlah terus dan suluklah. Namun, hati-hati, jangan terpesona oleh cahaya yang bertemu di jalan karena cahaya itu belumlah Dia. Cahaya diridirig pertama ialah diri sendiri, sedang orang yang terhenti di diridirig pertama itu amatlah banyaknya sehingga dengan tidak sadar, dia telah menganggap dirinya sendirilah Tuhan! Dan Imam Ghazali menyuruh pahamkan baik-baik pengalaman Nabi Ibrahim itu.
(80) Dan membantahlah kaumnya kepadanya. Dia pun berkata, “Apakah akan kamu bantah aku perihal Allah? Padahal Dia telah memberi petunjuk kepadaku dan tidaklah aku takut apa yang kamu persekutukan dengan Dia itu kecuali sesuatu yang dikehendaki Allah, Tuhanku. Meli-putilah ilmu Tuhanku akan tiap-tiap sesuatu. Apakah kamu tidak mau ingat?
(81) Dan betapa aku akan takut kepada apa yang kamu persekutukan itu padahal kamu tidak takut bahwa kamu telah mempersekutukan dengan Allah barang yang tidak diturunkannya kepada kamu suatu keterangan pun tentang itu? Maka yang manakah di antara kedua golongan itu yang lebih patut mendapat keamanan? Jika adalah kamu mengetahui?
(82) Orang-orang yang beriman dan tidak mencampurkan iman mereka dengan kegelapan adalah bagi mereka itu keamanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapat hidayah.
(83) Dan inilah hujjah Kami yang telah Kami datangkan dianya kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami angkatkan beberapa derajat barangsiapa yang Kami kehendaki. Se-sungguhnya Tuhan engkau adalah Mahabijak-sana Maha Mengetahui.
IBRAHIM DENGAN KAUMNYA
Ayat 80
“Dan membantahlah kaumnya kepadanya."
Setelah Ibrahim mendapat hidayah yang demikian tingginya dari Allah karena melihat kerajaan langit dengan bintang, bulan, dan mataharinya, tidaklah pendirian yang didapatnya itu dapat berganjak lagi dan dia nyatakan terus terang pendirian itu, sampai dicobalah oleh kaumnya membantah dia atau mengajak berhujjah, berdebat."Dia pun berkata, ‘Apakah akan kamu bantah aku perihal Allah? Padahal Dia telah memberi petunjuk kepadaku?"‘ Kamu sekalian memuja bintang-bintang dan mengatakannya Tuhan dan kamu memuja bulan karena menyangka bahwa dia itu Tuhan dan kamu pun memuja matahari. Semuanya itu kamu terima sebagai kepercayaan pusaka dari nenek moyang, sedangkan aku telah mempergunakan pikiranku sendiri setelah aku perhatikan bintang dan bulan dan matahari itu, ternyata kesimpulan pikiranku telah sampai kepada bahwa semuanya itu bukanlah Tuhan. Semuanya ada masa munculnya dan ada masa hilangnya, sebentar ada kelebihan nanti ada kekurangan lagi. Itulah petunjuk Allah kepadaku. Dengan petunjuk Allah, aku sampai kepada satu perkara. Yaitu, bahwa semuanya itu adalah alam bikinan Allah Yang Maha Esa dan Mahakuasa sendiri-Nya."Dan tidaklah aku takut kepada apa yang kamu persekutukan dengan Dia itu kecuali sesuatu yang dikehendaki Allah, Tuhanku." Baik bintang, bulan, matahari atau apa saja dalam alam ini, tidaklah ada yang memberi bekas kepada manusia, kepadaku. Semua bergerak datang dan pergi, timbul dan tenggelam, terbit dan terbenam, adalah karena digerakkan oleh
Tuhanku Allah. Oleh sebab itu, aku tidak takut pada semua yang kamu puja itu. Kecuali kalau dikehendaki Allah. Artinya kalau Allah sendiri yang menyuruh aku takut pada yang lain itu, barulah aku mau takut. Sebab takutku hanya terkumpul kepada Allah saja."Meliputi ilmu Tuhanku tiap-tiap sesuatu." Termasuk bintang, bulan, matahari, dan berhala-berhala yang kamu sembah itu. Semuanya itu makanya jadi adalah karena ilmu Tuhan dan barang-barang yang kamu puja itu tidak ada ilmunya, walaupun terhadap dirinya sendiri.
“Apakah kamu tidak mau ingat?"
Apakah kamu tidak mau berpikir? Apakah kamu tidak mau sadar bahwa kekuasaan yang mutlak hanya ada pada Allah, padahal siang dan malam kamu merasai sendiri akan hal itu?
Ayat 81
“Dan betapa aku akan takut kepada apa yang kamu persekutukan itu padahal kamu tidak takut bahwa kamu telah mempersekutukan dengan Allah batang yang tidak diturunkannya kepada kamu suatu keterangan pun tentang itu?"
Siapa yang mesti takut, apakah aku yang tetap bertuhan hanya kepada Allah yang satu, tidak mempersekutukan yang lain dengan Dia? Ataukah kamu yang telah mengada-ada-kan tambahan Tuhan, padahal keterangan untuk itu tidak ada? Hanya keluar dari khayat kamu saja?
“Maka yang manakah di antara kedua golongan itu yang lebih patut mendapat keamanan? Jika adalah kamu mengetahui?"
Mana yang akan lebih aman perasaan di antara kedua golongan? Golongan yang teguh pada tauhidkah atau yang musyrik?
Di sini kita mendapat kesan, terutama setelah kita ketahui tadi bahwa bangsa Kaldan mengakui juga bahwa Tuhan itu, Tuhan yang paling besar hanyalah satu, Dia Tuhan dari segala Tuhan, dewa dari segala dewa, namanya Eel, tidak berupa, tidak berbentuk, yaitu pusaka asli peninggalan tauhid ajaran Nabi Nuh. Sekarang timbul saja kepercayaan bahwa Eel itu beranak, dua orang. Pertama Ana, kedua Beel. Dari mana asal kepercayaan ini? Mana alasannya, dari mana asal dongengnya sehingga jadi begini? Inilah pertanyaan Nabi Ibrahim. Dan beliau katakan bahwa kamulah yang patut takut kepada Allah Yang Maha Esa, atau Eel dalam bahasa Kaldari karena kamu menambah-nambah Tuhan dengan tak ada alasan sama sekali lain dari khayat dan dongeng. Bukan aku yang patut takut sebab aku tidak menambah-nambah Tuhan. Namun, kamulah yang mesti takut. Dan aku pun tidak takut sebab segala tuhan-tuhan yang kamu dak-wakan itu sama sekali tidak ada."Jika adalah kamu mengetahui." Artinya, menyuruh mereka menyelidiki dengan saksama sebagaimana beliau sendiri telah mengetahuinya, jangan beragama hanya karena turut-turutan saja pada pusaka nenek moyang dengan tidak memakai akal dan tidak menyelidiki seluk-beluknya.
BEBAS DARI RASA TAKUT
Ayat ini memberi kesan yang besar sekali dalam jiwa kita. Mempersekutukan Allah dengan yang lain, walaupun apa yang lain itu, bukanlah menimbulkan keberanian melainkan menimbulkan rasa takut jua. Jika hati ini telah dibulatkan kepada Allah, hilanglah segala rasa takut dan timbullah keberanian menghadapi hidup. Oleh sebab itu, aqidah tauhid bukanlah semata-mata keyakinan hidup, melainkan menjadi modal hidup yang sebenar-benarnya. Di dalam ayat ini, Nabi Ibrahim menjelaskan bahwa beliau telah mendapat keyakinan hidup, yaitu bahwa Allah tempat bergantung dan berlindung dan berlindung hanya satu. Adapun segala sesuatu yang masih bernama alam, baik dia bernama bintang-bintang termasuk bumi dengan segala isinya, bulan purnama raya atau matahari sekalipun, semuanya itu masih alam atau makhluk yang dijadikan oleh Allah. Oleh sebab itu, beliau tidak takut pada semuanya, sebab semuanya tidak memberi mudharat dan tidak memberi manfaat apa-apa. Jika ini langsung bergantung kepada Allah Yang Mahakuasa, bebas merdeka daripada alam semesta ini. Apabila jiwa telah mencapai martabat tauhid uluhiyah itu, ia tidak mengenal takut pada apa-apa lagi karena insting atau naluri ketakutan yang ada dalam jiwa sudah dijuruskan kepada Yang Maha Esa. Sebaliknya, orang yang menyembah berhala, memper-tuhan yang lain, baik benda maupun sesama manusia, rasa takut itu selalu bersarang dalam kalbunya, selalu merasa ragu. Nabi Ibrahim telah membuktikan bahwa tidak merasa takut pada berhala sampai berhala itu diruntuh dan dihancurkannya dengan kampak. Nabi Ibrahim tidak merasa takut pada api nyala, sampai api itu dilompatinya. Kalau tidak qudrat iradah Allah, niscaya hangus beliau dalam api itu.
Perhatikanlah orang-orang yang mempersekutukan yang lain dengan Allah itu alangkah pengecutnya. Mereka menyembah-nyembah memohon pangkat kepada sesama manusia yang berkuasa, jadi raja atau jadi presiden, dia pergi menyembah-nyembah dan menjilat-jilat. Dia takut beliau akan murka, dia takut pangkatnya akan diturunkan, dia takut dia akan diberhentikan dengan tidak hormat, dia takut anak-anaknya tidak akan makan. Lantaran itu, kian lama dia kian menyembah kepada manusia yang diberhalakannya itu. Kemudian, tiba-tiba berhenti presiden tempat dia menyembah dan takut atau mangkat raja tempat dia menyembah dan menyusun jari yang sepuluh, dia bertambah musyrik lagi, memuja menjilat kepada pengganti presiden atau raja itu. Maka, seluruh hidupnya dipenuhi oleh rasa takut.
Orang yang lemah aqidah tauhidnya itulah yang lantaran takutnya, lalu percaya pada mantra-mantra, percaya pada azimat (jimat), percaya pada sihir, percaya pada ramalan tukang ramal, percaya kepandaian dukun penipu. Percaya bahwa perjalanan hidupnya dipengaruhi oleh bintang-bintang. Mereka inilah yang belajar ilmu kebatinan supaya jangan telap oleh peluru. Mereka takut menghadapi maut karena kurang imannya kepada Allah.
Mukmin sejati jika tampil ke medan peperangan, walaupun menghadapi tombak dan pedang atau bom atom atau bom nuklir, tidaklah takut menghadapi maut. Sebab sebelum mati dia sudah yakin bahwa mati itu pasti datang dan lebihlah mulia apabila seseorang mencapai mautnya sebagai seorang syahid menegakkan jalan Allah.
Kemudian Ibrahim meneruskan lagi bagaimana benarnya pengaruh aqidah dan iman itu atas keamanan jiwa.
Ayat 82
“Orang-orang yang beriman dan tidak dicampurkan iman mereka dengan kegelapan adalah bagi mereka itu keamanan."
Artinya, jika iman telah tumbuh hendaklah disiangi dan disisipi terus, jangan dibiarkan masih ada sisa kegelapan di dalamnya. Apabila sekali telah mengakui, telah beriman bahwa diri bertuhan pada Allah, hendaklah iman itu dipupuk dan dipertinggi, dan mikrajkan jiwa kepada martabat yang lebih tinggi sehingga cahaya itu bukan semata-mata diambil dari matahari lagi melainkan langsung dari Allah. Dengan demikian maka kegelapan hilang dari dalam jiwa. Dalam ayat ini Allah menjanjikan bahwa orang selalu menyiang sisip dan membersihkan iman itu sehingga mutunya bertambah tinggi akan dianugerahi Allah keamanan. Tegasnya, iman menimbulkan rasa aman dalam jiwa.
Ini lebih menjelaskan lagi, lebih memosi-tifkan lagi lanjutan dari hilangnya rasa takut. Sesudah hilang rasa takut dengan sendirinya timbul rasa aman dan tenteram, hilang segala kegelisahan, sebab kegelapan tidak ada lagi, baik di luar atau di dalam diri. Di lanjutan ayat Allah berfirman,
“Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat hidayah."
Itu adalah janji wajar dari Allah. Iman telah tumbuh, rasa takut sudah hilang sebab tidak ada tempat takut kecuali Allah. Dengan sendirinya, kegelapan dalam jiwa jadi hilang. Bila gelap jiwa telah hilang, timbullah rasa aman. Dan kalau jiwa telah aman tenteram, terbukalah kira-kira, terbuka ilham dan petunjuk. Jalan di muka jadi terang.
Apa yang dicari dalam hidup ini kalau bukan itu?
Di sini, Ibrahim menjelaskan bagaimana iman yang benar. Inilah iman yang timbul dari kesadaran dan jiwa yang terang. Dari perjalanan pikiran dan dari hasil penyelidikan pikiran yang memuaskan hati. Iman yang demikian, tidak bisa dicampur dengan kegelapan. Kegelapan ialah syirik, jahil, dan kebodohan. Yang segala perbuatan yang tidak beralasan, tidak berasal dari pokok agama lalu dikatakan agama, lagu dibangsakan juga kepada Tuhan. Sebagai orang Kaldan tadi. Pada pokoknya mereka percaya bahwa dari segala tuhan-tuhan dewa dari segala dewa yang satu, ialah Eei. Kalau tetap saja mereka meyakinkan bahwa tidak ada tuhan lain dan tidak ada dewa lain melainkan hanya satu saja Tuhan, yaitu Allah maka itulah iman yang terang. Namun, kalau sudah ditambah-tambah dengan dewa-dewa, tuhan-tuhan, macam-macam maka iman mereka yang satu telah mereka campur dengan perbuatan yang gelap asal-usulnya. Ini pun dapat kita jadikan pertimbangan dan bandirigan buat segala zaman, sampai hari Kiamat. Kalau misalnya pada zaman kita ini ada orang Islam mengaku Tuhannya tetap satu, yaitu Allah, dan mengucap: La ilaha illallah dan membaca pula dalam shalatnya lyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in, “Kepada Engkau saja ya Allah, kami menyembah dan kepada Engkau saja kami memohon pertolongan." Padahal, dia pergi ke satu kubur, dia meminta-minta kepada yang bermakam dalam kubur itu dan setelah akan pulang memberi sedekah pula kepada juru kunci kubur, apakah namanya perbuatan mereka itu? Tidak lain adalah mencampur iman dengan kegelapan. Karena kalau kita tanyakan dengan alasan apa berbuat begitu, mereka tidak dapat memberikan jawab sama sekali. Namun, kadang-kadang mereka menjawab juga, “Meskipun kami meminta di kubur itu, tempat kami meminta tetap kepada Allah yang satu." Kemudian kalau kita tanya, “Mengapa meminta kepada Allah yang satu mesti ditentukan tempatnya di kubur itu? Dan apakah Allah hanya berada di sekeliling kubur itu?" Mereka tidak dapat menjawab lagi. Oleh sebab itu, orang-orang yang mencampur iman dengan kegelapan tidak akan merasa aman dalam pikirannya sebab tempatnya meminta sudah pecah dan alasan yang dipegang tidak ada, padahal awak mengaku beragama juga.
Tersebutlah dalam penyelidikan sejarah bahwa orang Kaldan itu menyembah bintang-bintang dan berhala. Ibnu Zaid menceritakan bahwa mereka percaya juga kepada Allah, tetapi mereka persekutukan Dia. Menurut keterangan ahli sejarah kuno Pirusus dan Semilius bahwa ulama-ulama dan kahin-kahin orang Kaldari itu mengerti juga hakikat tauhid, tetapi itu hanya menjadi pegangan diri sendiri bagi mereka dan tidak mereka sebarkan kepada orang awam. Orang Yunani pun menuruti jejak mereka dalam hal kemunafikan ini. Ilmu dan kepercayaan orang Kaldari ini pun diwarisi oleh bangsa Mesir Purba dan kahin-kahin Mesir Kuno itu pun telah mencapai pengertian tentang tauhid, tetapi tidak juga mereka sampaikan kepada orang awam. Sebab, kalau orang awam memegang tauhid, niscaya hilang pengakuan orang awam bahwa raja-raja adalah tuhan dan dewa pula. Adapun raja-raja itu adalah sokong-menyokong dengan para kahin. Menurut keterangan penyelidik yang terkenal, Henry Rowlandson, bangsa-bangsa di sekitar Dajlah dan Eufrad itu mengembara ke Eropa dan rhembawa kepercayaan munafik itu ke Eropa dan bertemu pada tulisan-tulisan peninggalan mereka.
Maka tepatlah jika kita katakan bahwa iman mereka itu bercampur di antara iman dan kegelapan, tauhid yang digelutui (dilumur) dengan syirik.
Di sini, kita ambil arti yang asal dari kalimat zhulm, yaitu kegelapan, yang kemudian makna dari akibat kegelapan itu yang lebih banyak terpakai, yaitu aniaya. Sebab perbuatan yang timbul tidak dari pikiran yang sehat adalah kegelapan dan adalah aniaya. Dengan ayat ini, tegas-tegas Allah berfirman: Dengan perantara lidah Ibrahim, disampaikan sebagai wahyu kepada Muhammad ﷺ bahwa beriman yang tidak dicampuri oleh zhulm, yang berarti kegelapan, berarti juga aniaya dan berarti juga syirik. Hanya iman yang demikianlah yang akan mendapat keamanan dalam hati, baik keamanan perasaan di atas dunia maupun keamanan dari adzab di akhirat. Dan hanya mereka itulah yang akan mendapat hidayah dan petunjuk dari Allah sehingga tercapailah kebenaran yang sejati dan sampai apa yang dicita-cita oleh tiap-tiap manusia yang mengenal tujuan hidup, yaitu ridha Allah ﷻ
Ayat 83
“Dan inilah hujjah Kami yang telah Kami datangkan dianya kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya."
Hujjah artinya ialah alasan suatu pendirian atau pertahanan, baik ketika menangkis bantahan lawan atau ketika menyerang pendirian lawan itu. Hujjah demikianlah yang telah dianugerahkan Allah kepada Ibrahim yang disebut pada ayat 81 dan 82 sehingga kaumnya tidak dapat bangkit lagi mempertahankan alasan mereka bahkan sebagai kita ketahui, akhirnya Ibrahim pun lebih berani, dicincang-nya berhala mereka."Kami angkatkan beberapa derajat barangsiapa yang Kami kehendaki." Artinya, diangkatkan derajat orang yang lebih teguh pendiriannya dan lebih kuat hujjahnya, lebih tepat alasannya, sebab dia di pihak benar dan sebaliknya menurunlah derajat orang yang pendiriannya tidak benar, walaupun dengan gigih mereka mempertahankannya.
“Sesungguhnya Tuhan engkau adalah Mahabijaksana Maha Mengetahui."
(ujung ayat 83)