Ayat
Terjemahan Per Kata
وَإِذَا
dan apabila
جَآءَكَ
datang kepadamu
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
يُؤۡمِنُونَ
(mereka)beriman
بِـَٔايَٰتِنَا
kepada ayat-ayat Kami
فَقُلۡ
maka katakanlah
سَلَٰمٌ
kebahagiaan
عَلَيۡكُمۡۖ
atas kalian
كَتَبَ
telah menetapkan
رَبُّكُمۡ
Tuhan kalian
عَلَىٰ
atas
نَفۡسِهِ
diriNya
ٱلرَّحۡمَةَ
kasih sayang
أَنَّهُۥ
bahwasanya
مَنۡ
barang siapa
عَمِلَ
berbuat
مِنكُمۡ
diantara kamu
سُوٓءَۢا
kejahatan
بِجَهَٰلَةٖ
karena bodoh
ثُمَّ
kemudian
تَابَ
ia bertaubat
مِنۢ
dari
بَعۡدِهِۦ
sesudahnya/itu
وَأَصۡلَحَ
dan ia mengadakan perbaikan
فَأَنَّهُۥ
maka sesungguhnya Dia
غَفُورٞ
Maha Pengampun
رَّحِيمٞ
Maha Penyayang
وَإِذَا
dan apabila
جَآءَكَ
datang kepadamu
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
يُؤۡمِنُونَ
(mereka)beriman
بِـَٔايَٰتِنَا
kepada ayat-ayat Kami
فَقُلۡ
maka katakanlah
سَلَٰمٌ
kebahagiaan
عَلَيۡكُمۡۖ
atas kalian
كَتَبَ
telah menetapkan
رَبُّكُمۡ
Tuhan kalian
عَلَىٰ
atas
نَفۡسِهِ
diriNya
ٱلرَّحۡمَةَ
kasih sayang
أَنَّهُۥ
bahwasanya
مَنۡ
barang siapa
عَمِلَ
berbuat
مِنكُمۡ
diantara kamu
سُوٓءَۢا
kejahatan
بِجَهَٰلَةٖ
karena bodoh
ثُمَّ
kemudian
تَابَ
ia bertaubat
مِنۢ
dari
بَعۡدِهِۦ
sesudahnya/itu
وَأَصۡلَحَ
dan ia mengadakan perbaikan
فَأَنَّهُۥ
maka sesungguhnya Dia
غَفُورٞ
Maha Pengampun
رَّحِيمٞ
Maha Penyayang
Terjemahan
Apabila orang-orang yang beriman pada ayat-ayat Kami datang kepadamu, katakanlah, “Salāmun ‘alaikum (semoga keselamatan tercurah kepadamu).” Tuhanmu telah menetapkan sifat kasih sayang pada diri-Nya, (yaitu) siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu karena kejahilan (kebodohan, kecerobohan, dorongan nafsu, amarah dan sebagainya), kemudian dia bertobat setelah itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Tafsir
(Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepadamu, maka katakanlah) kepada mereka ("Mudah-mudahan Allah melimpahkan kesejahteraan atas kamu telah menetapkan) telah memastikan (Tuhanmu atas diri-Nya kasih sayang, yaitu bahwasanya) yakni perihalnya; di dalam suatu qiraat dibaca dengan fathah yaitu annahu sebagai badal atau kata ganti dari Lafal ar-rahmah (siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kejahilan) terhadap perbuatan itu sewaktu ia melakukannya (kemudian ia bertobat) kembali ke jalan yang benar (setelah itu) setelah mengerjakannya (dan mengadakan perbaikan) terhadap amal perbuatannya (maka sesungguhnya Ia) yakni Allah ﷻ (Maha Pengampun) kepadanya (lagi Maha Penyayang.") kepada dirinya. Menurut qiraat lainnya dibaca dengan fatah; artinya maka Dialah yang memberi ampunan dan kasih sayang.
Tafsir Surat Al-An'am: 50-54
Katakanlah (Muhammad), "Aku tidak mengatakan kepada kalian bahwa perbendaharaan (rezeki) Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang gaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepada kalian bahwa aku adalah malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku." Katakanlah, "Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat? Apakah kamu tidak memikirkan(nya)?"
Dan peringatkanlah dengannya (Al-Qur'an) orang-orang yang takut dikumpulkan menghadap Tuhannya (pada hari kiamat) bahwa tidak ada bagi mereka pelindung dan pemberi syafaat selain Allah, agar mereka bertakwa.
Dan janganlah kamu (Muhammad) mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan petang hari, sedangkan mereka mengharapkan keridaan-Nya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatan mereka, dan mereka pun tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka. Jika itu kamu lakukan maka kamu termasuk orang-orang yang zalim.
Dan demikianlah telah Kami uji sebagian mereka (orang-orang kaya dan berkuasa) dengan sebagian mereka (orang-orang miskin), supaya (orang-orang kaya itu) berkata, "Orang-orang yang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah oleh Allah kepada mereka?" (Allah berfirman), "Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepada-Nya)?"
Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepada kalian, maka katakanlah, "Salamun ‘alaikum (semoga keselamatan tercurah kepada kalian)”. Tuhan kalian telah menetapkan sifat kasih sayang pada diri-Nya, (yaitu) barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kalian karena kejahilan (kebodohan, kecerobohan, dorongan hawa nafsu, amarah dan sebagainya), kemudian ia bertobat setelah mengerjakannya dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat 50
Allah ﷻ berfirman kepada Rasul-Nya: “Katakanlah (Muhammad), ‘Aku tidak mengatakan kepada kalian, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku’.” (Al-An'am: 50)
Dengan kata lain, aku tidak memilikinya dan tidak pula mengaturnya.
“Dan tidak (pula) aku mengetahui yang gaib.” (Al-An'am: 50)
Yakni aku pun tidak mengatakan kepada kalian bahwa sesungguhnya aku mengetahui perkara yang gaib, karena sesungguhnya hal yang gaib itu hanya diketahui oleh Allah ﷻ saja. Dan aku tidak dapat mengetahuinya kecuali sebatas apa yang telah diperlihatkan oleh Allah kepadaku.
“Dan tidak (pula) aku mengatakan kepada kalian bahwa aku adalah malaikat.” (Al-An'am: 50)
Artinya, aku tidak menyerukan diri bahwa diriku adalah malaikat, melainkan hanyalah seorang manusia yang diberi wahyu oleh Allah ﷻ. Allah ﷻ telah memuliakan diriku dengan wahyu itu dan mengaruniaiku dengannya sebagai nikmat dari-Nya. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:
“Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.” (Al-An'am: 50)
Yakni aku tidak pernah durhaka darinya barang sejengkal pun, tidak pula kurang dari itu.
“Katakanlah, ‘Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat’?” (Al-An'am: 50)
Maksudnya, apakah orang yang mengikuti kebenaran dan mendapat petunjuk kepada kebenaran, sama dengan orang yang sesat darinya dan tidak mau mengikutinya?
“Apakah kalian tidak memikirkannya?” (Al-An'am: 50)
Ayat ini semakna dengan ayat lain yang menyebutkan melalui firman-Nya:
“Adakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan kepada kalian dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.” (Ar-Ra'd: 19)
Ayat 51
Mengenai firman Allah ﷻ: “Dan peringatkanlah dengannya (Al-Qur'an) orang-orang yang takut dikumpulkan menghadap Tuhannya (pada hari kiamat) bahwa tidak ada bagi mereka pelindung dan pemberi syafaat pun.” (Al-An'am: 51)
Artinya, berilah peringatan dengan Al-Qur'an ini, wahai Muhammad!
“Orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka.” (Al-Muminun: 57)
Yaitu orang-orang yang takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.
Firman Allah ﷻ: “Dan peringatkanlah dengannya (Al-Qur'an) orang-orang yang takut dikumpulkan menghadap Tuhannya (pada hari kiamat).” (Al-An'am: 51)
Maksudnya, pada hari kiamat.
“Tidak ada bagi mereka pelindung dan pemberi syafaat pun.” (Al-An'am: 51)
Yakni tidak ada kaum kerabat bagi mereka dan tidak ada pula orang yang dapat memberikan pertolongan kepada mereka dari azab Allah bilamana Allah berkehendak menimpakan (azab)nya kepada mereka.
“Agar mereka bertakwa.” (Al-An'am: 51)
Artinya, peringatkanlah kejadian hari kiamat ini, karena tidak ada hakim yang lain kecuali hanya Allah ﷻ pada hari itu.
“Agar mereka bertakwa.” (Al-An'am: 51)
Supaya mereka mau mengerjakan amal perbuatan di dunia ini, sehingga Allah menyelamatkan mereka dari azab-Nya pada hari kiamat, dan Allah melipatgandakan pahala-Nya kepada mereka dengan kelipatan yang banyak.
Ayat 52
Firman Allah ﷻ: “Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedangkan mereka mengharapkan keridaan-Nya.” (Al-An'am: 52)
Dengan kata lain, janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru , melainkan jadikanlah mereka sebagai teman-teman dudukmu dan teman-teman dekatmu. Hal yang sama dengan apa yang disebutkan oleh ayat lain:
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya. Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini. Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Al-Kahfi: 28)
Adapun firman Allah ﷻ: “Orang-orang yang menyeru Tuhannya. (Al-An'am: 52)
Yakni menyembah-Nya dan memohon kepada-Nya.
“Di pagi hari dan petang hari. (Al-An'am: 52)
Menurut Sa'id bin Musayyab, Mujahid, dan Qatadah, makna yang dimaksud ialah shalat fardu. Makna doa dalam ayat ini adalah seperti yang dianjurkan oleh firman-Nya:
“Dan Tuhanmu berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku (serulah Aku), niscaya akan Kuperkenankan bagi kalian’.” (Al-Mumin: 60)
Maksudnya, Aku akan menerima doa kalian.
Firman Allah ﷻ: “Sedangkan mereka mengharapkan keridaan-Nya.” (Al-An'am: 52)
Yakni dengan amalnya itu mereka mengharapkan rida Allah, mereka kerjakan semua ibadah dan amal ketaatan dengan hati yang ikhlas karena Allah.
Firman Allah ﷻ: “Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatan mereka, dan mereka pun tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatanmu.” (Al-An'am: 52)
Seperti yang dikatakan oleh Nabi Nuh a.s. dalam menjawab ucapan orang-orang yang mengatakan,
"Apakah kami akan beriman kepada kalian, padahal yang mengikuti kamu ialah orang-orang yang hina?" Bagaimana aku mengetahui apa yang telah mereka kerjakan? Perhitungan (amal perbuatan) mereka tidak lain hanyalah kepada Tuhanku, jika kalian menyadari.” (Asy-Syu'ara: 111-113)
Dengan kata lain, sesungguhnya perhitungan amal perbuatan mereka hanyalah kepada Allah ﷻ, dan aku tidak memikul tanggung jawab hisab mereka barang sedikit pun, sebagaimana mereka pun tidak bertanggung jawab sedikit pun terhadap perhitungan amal perbuatanku.
Firman Allah ﷻ: “Yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka. (Jika dilakukan) kamu termasuk orang-orang yang zalim.” (Al-An'am: 52)
Yakni jika kamu melakukan hal tersebut, akibatnya adalah seperti itu.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Asbat (yaitu Ibnu Muhammad), telah menceritakan kepadaku Asy'as, dari Kardus, dari Ibnu Mas'ud yang menceritakan bahwa ada segolongan pemuka Quraisy lewat di hadapan Rasulullah ﷺ Pada saat itu di sisi beliau terdapat Khabbab, Suhaib, Bilal, dan Ammar. Lalu mereka (para pemuka Quraisy) berkata, "Wahai Muhammad, apakah kamu rela menjadi teman orang-orang itu (yakni yang ada di sisi Nabi ﷺ)?" Maka turunlah ayat ini:
“Dan peringatkanlah dengannya (Al-Qur'an) orang-orang yang takut dikumpulkan menghadap Tuhannya (pada hari kiamat).” (Al-An'am: 51) Sampai dengan firman-Nya:
“Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepada-Nya)?” (Al-An'am: 53)
Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui jalur Asy'as, dari Kardus, dari Ibnu Mas'ud yang menceritakan bahwa segolongan pemuka Quraisy lewat di hadapan Nabi ﷺ yang ketika itu sedang ditemani oleh Suhaib, Bilal, Ammar, Khabbab, dan lain-lainnya dari kalangan orang-orang muslim yang dha’if. Lalu para pemuka Quraisy itu berkata, "Wahai Muhammad, apakah engkau rela orang-orang itu sebagai kaummu? Apakah mereka adalah orang-orang yang dianugerahi oleh Allah di antara kami? Apakah pantas kami akan mengikuti jejak orang-orang itu? Usirlah mereka! Barangkali jika engkau mengusir mereka, kami akan mengikutimu." Maka turunlah firman-Nya:
“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedangkan mereka mengharapkan keridaan-Nya.” (Al-An'am: 52)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Sa'id Al-Qattan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Muhammad Al-Anqazi, telah menceritakan kepada kami Asbat ibnu Nasr, dari As-Suddi, dari Abu Sa'id Al-Azdi qari' Al-Azdi, dari Abul Kunud, dari Khabbab sehubungan dengan firman-Nya:
“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari.” (Al-An'am: 52) Bahwa Al-Aqra' ibnu Habis At-Tamimi dan Uyainah ibnu Hasan Al-Fazzari datang, lalu mereka menjumpai Rasulullah ﷺ yang pada saat itu sedang ditemani oleh Suhaib, Bilal, Ammar, dan Khabbab. Ketika itu Rasulullah ﷺ sedang duduk di antara segolongan kaum mukmin yang duafa. Ketika mereka melihat orang-orang itu berada di sekitar Nabi ﷺ, mereka menghina orang-orang duafa itu di hadapan teman-teman mereka.
Mereka datang kepada Nabi ﷺ, dan kaum duafa membiarkan Nabi ﷺ menemui mereka. Lalu mereka berkata, "Sesungguhnya kami menginginkan agar engkau membuat suatu majelis khusus buat kami, mengingat semua orang Arab telah mengenal keutamaan kami. Karena (delegasi) perwakilan dari banyak kalangan orang-orang Arab sering datang kepada kalian, maka kami akan merasa malu bila mereka melihat kami ada bersama para budak ini. Untuk itu apabila kami datang kepada kalian, tolong usirlah mereka dari kami. Dan jika kami telah selesai dengan urusan kami, silakan engkau duduk kembali bersama mereka jika engkau suka." Nabi ﷺ menjawab, "Baiklah." Mereka berkata, "Kalau demikian, tentukanlah olehmu hari-hari tertentu untuk kami secara tertulis."
Nabi ﷺ memanggil sahabat Ali dan meminta sebuah lembaran, kemudian beliau ﷺ memerintahkan Ali untuk mencatat hal tersebut, sedangkan ketika itu kaum duafa berada di suatu sudut yang agak jauh dari mereka. Dan pada saat itu juga turunlah Malaikat Jibril seraya membawa firman-Nya:
“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya.” (Al-An'am: 52), hingga akhir ayat.
Maka Rasulullah ﷺ melemparkan lembaran itu dari tangannya, kemudian beliau memanggil kami, maka kami pun datang kepadanya. Ibnu Jarir telah meriwayatkannya melalui hadits Asbat dengan lafal yang sama.
Tetapi hadits ini gharib (asing), karena sesungguhnya ayat ini Makkiyyah, sedangkan Al-Aqra' ibnu Habis dan Uyainah baru masuk Islam hanya setelah hijrah selang beberapa tahun kemudian. Sufyan Ats-Tsauri telah meriwayatkan dari Al-Miqdam ibnu Syuraih, dari ayahnya yang menceritakan bahwa Sa'd pernah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan enam orang sahabat Nabi ﷺ, antara lain Ibnu Mas'ud.
Sa'd melanjutkan kisahnya, “Kami selalu menemani Rasulullah ﷺ dan dekat dengannya untuk mendengar sabda-sabda beliau ﷺ Maka orang-orang Quraisy berkata, 'Engkau selalu mendekati mereka dan menjauh dari kami'.” Maka turunlah ayat ini:
“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan di petang hari.” (Al-An'am: 52)
Imam Hakim meriwayatkannya dalam kitab Mustadrak melalui jalur Sufyan. Imam Hakim mengatakan bahwa hadits ini sesuai dengan syarat Syaikhain. Ibnu Hibban di dalam kitab Shahih-nya telah mengetengahkan hadits ini melalui jalur Al-Miqdam ibnu Syuraih dengan lafal yang sama.
Ayat 53
Firman Allah ﷻ: Dan demikianlah Kami uji sebagian mereka dengan sebagian yang lain. (Al-An'am: 53)
Yakni Kami coba dan Kami uji sebagian dari mereka dengan sebagian yang lain.
“Supaya (orang-orang yang kaya itu) berkata, ‘Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah oleh Allah kepada mereka’?” (Al-An'am: 53)
Demikian itu terjadi karena Rasulullah ﷺ pada masa permulaan risalahnya banyak diikuti oleh kaum duafa sebagai mayoritas dari pengikut-pengikut beliau, baik dari kalangan kaum laki-laki, kaum wanita, budak-budak lelaki, maupun budak-budak perempuan. Hanya sedikit yang mengikuti beliau ﷺ dari kalangan yang terpandang. Perihal Rasulullah ﷺ saat itu serupa dengan apa yang dikatakan oleh kaum Nabi Nuh kepada nabinya, seperti yang dikutip oleh firman-Nya:
“Dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja.” (Hud: 27), hingga akhir ayat. Sama pula dengan apa yang ditanyakan oleh Heraklius Raja Romawi Kepada Abu Sufyan.
Heraklius bertanya, "Apakah orang-orang yang mengikutinya (Nabi ﷺ) adalah dari kalangan orang-orang yang terhormat, ataukah dari kalangan orang-orang yang lemah?" Abu Sufyan menjawab, "Tidak, bahkan dari kalangan orang-orang yang lemah." Heraklius berkata, "Mereka adalah pengikut para rasul”. Pada garis besarnya kaum kafir Quraisy menghina orang-orang dari kalangan kaum duafa yang beriman kepada Nabi ﷺ Mereka tak segan-segan menyiksa siapa saja dari kalangan kaum duafa itu yang berada di bawah wewenangnya.
Orang-orang musyrik Quraisy tersebut sering mengatakan, "Orang-orang seperti inikah di antara kita yang diberi anugerah oleh Allah?". Perihalnya semakna dengan apa yang disebutkan di dalam ayat lain, yaitu:
“Kalau sekiranya dia (Al-Qur'an) adalah suatu yang baik, tentulah mereka tidak mendahului kami (beriman) kepadanya.” (Al-Ahqaf: 11) Sama pula dengan firman-Nya:
“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang terang (maksudnya), niscaya orang-orang yang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman, ‘Manakah di antara kedua golongan (kafir dan mukmin) yang lebih baik tempat tinggalnya dan lebih indah tempat pertemuannya)’?” (Maryam: 73)
Allah ﷻ menjawab perkataan tersebut dalam firman selanjutnya:
“Berapa banyak umat yang telah Kami binasakan sebelum mereka, sedangkan mereka adalah lebih bagus alat rumah tangganya dan lebih sedap dipandang mata.” (Maryam: 74)
Sedangkan dalam surat ini Allah ﷻ menjawab mereka ketika mereka mengatakan:
“Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah oleh Allah kepada mereka?” (Allah berfirman menjawab mereka), “Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepada-Nya)?” (Al-An'am: 53)
Dengan kata lain, bukankah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur kepada-Nya dengan ucapan, perbuatan, dan segenap hati mereka.
Karena itulah Allah memberi mereka taufik dan petunjuk ke jalan keselamatan dan mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju kepada cahaya dengan seizin-Nya, dan Allah memberi mereka petunjuk ke jalan yang lurus. Hal yang sama disebutkan oleh Allah ﷻ dalam ayat yang lain, yaitu:
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Al-'Ankabut: 69)
Di dalam sebuah hadits shahih disebutkan: “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada bentuk kalian, dan tidak (pula) kepada warna kulit kalian, tetapi Allah memandang kepada kalbu dan amal perbuatan kalian.”
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, dari Hajjaj, dari Ibnu Juraij, dari Ikrimah sehubungan dengan firman-Nya:
“Dan peringatkanlah dengannya (Al-Qur'an) orang-orang yang takut dikumpulkan menghadap Tuhannya (pada hari kiamat).” (Al-An'am: 51), hingga akhir ayat.
Bahwa Atabah ibnu Rabi'ah, Syaibah ibnu Rabi'ah, Mut'im ibnu Addi, Al-Haris ibnu Naufal, Qurazah ibnu Abdu Amr ibnu Naufal bersama sejumlah orang dari Bani Abdu Manaf, dari kalangan orang-orang kafir mereka. Semuanya datang kepada Abu Thalib, lalu mereka berkata, "Wahai Abu Thalib, mengapa anak saudaramu yaitu Muhammad tidak mengusir semua budak kita dan teman-teman sepakta kita, karena sesungguhnya mereka semua hanyalah bekas budak-budak dan pelayan-pelayan kita.
Apabila dia mau mengusir mereka, maka hal itu sangat kami hargai, dan kami menghormatinya di kalangan kami. Lebih mendekati untuk diikuti oleh kami, dan kami akan percaya kepadanya karena itu. Maka Abu Thalib datang kepada Nabi ﷺ dan membicarakan hal tersebut kepadanya. Umar ibnul Khattab berkata memberikan sarannya, "Jangan dahulu engkau melakukan hal itu sebelum engkau memahami benar apa yang mereka kehendaki dan apa yang mereka maksudkan dari ucapan (permintaan) mereka itu."
Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya:
“Dan peringatkanlah dengannya (Al-Qur'an) orang-orang yang takut dikumpulkan menghadap Tuhannya (pada hari kiamat).” (Al-An'am: 51) Sampai dengan firman-Nya:
“Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepada-Nya).” (Al-An'am: 53)
Yang dimaksudkan oleh pemuka-pemuka Bani Abdu Manaf itu adalah Bilal, Ammar ibnu Yasir, Salim maula Abu Huzaifah, Sabih maula Usaid. Dan yang dimaksud dengan teman sepakta mereka adalah Ibnu Mas'ud, Al-Miqdad ibnu Amr, Mas'ud, Ibnul Qari, Waqid ibnu Abdullah Al-Hanzali, Amr ibnu Abdu Amr, Zusy Syimalain, Marsad ibnu Abu Marsad, dan Abu Marsad Al-Ganawi teman sepakta Hamzah ibnu Abdul Muttalib serta teman-teman sepakta lainnya.
Ayat berikut diturunkan berkenaan dengan para pemimpin kafir dari kalangan Quraisy dan para mawali serta para khulafa (teman-teman sepakta), yaitu firman-Nya:
“Dan demikianlah telah Kami uji sebagian mereka (orang-orang yang kaya) dengan sebagian mereka (orang-orang miskin); supaya (orang-orang yang kaya itu) berkata, ‘Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah oleh Allah kepada mereka’?” (Al-An'am: 53), hingga akhir ayat.
Ketika ayat ini diturunkan, Umar bangkit dan datang kepada Nabi ﷺ, lalu ia meminta maaf kepada Nabi ﷺ atas ucapan yang telah dikeluarkannya.
Ayat 54
Adapun firman Allah ﷻ: “Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepada kalian, maka katakanlah, ‘Salamun 'alaikum’.” (Al-An'am: 54)
Artinya, hormatilah mereka dengan menjawab salam mereka, dan sampaikan berita gembira kepada mereka bahwa rahmat Allah yang luas mencakup mereka semua. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:
“Tuhan kalian telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang.” (Al-An'am: 54)
Yakni Dia telah mewajibkan rahmat atas diri-Nya Yang Mahamulia sebagai karunia dari-Nya, kebaikan, dan anugerah-Nya buat mereka.
“Yaitu bahwa barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kalian lantaran kejahilan.” (Al-An'am: 54)
Sebagian ulama Salaf mengatakan, semua orang yang durhaka kepada Allah adalah orang yang jahil. Mu'tamir ibnu Sulaiman telah meriwayatkan dari Al-Hakam ibnu Aban ibnu Ikrimah sehubungan dengan firman-Nya:
“Barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kalian lantaran kejahilan.” (Al-An'am: 54)
Bahwa dunia seluruhnya merupakan kejahilan. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
“Kemudian ia bertobat setelah mengerjakannya dan memperbaiki diri.” (Al-An'am: 54)
Yakni kembali kepada jalan yang benar dari kebiasaan maksiatnya dan insaf serta bertekad tidak akan mengulanginya lagi, serta memperbaiki amal perbuatannya di masa mendatang.
“Maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-An'am: 54)
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Hammam ibnu Munabbih yang mengatakan bahwa berikut ini adalah apa yang telah diceritakan oleh Abu Hurairah kepada kami, yaitu bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Setelah Allah melakukan peradilan terhadap makhluk-(Nya), maka Dia menetapkan pada kitab-Nya yang ada di sisi-Nya di atas 'Arasy, bahwa sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan murka-Ku.”
Hadits ini diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab Shahihain. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Al-A'masy, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah. Musa ibnu Uqbah meriwayatkannya dari Al-A'raj, dari Abu Hurairah. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Al-Al-Laits dan lain-lainnya, dari Muhammad ibnu Ajian, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ dengan lafal yang sama.
Ibnu Murdawaih telah meriwayatkan melalui jalur Al-Hakam ibnu Aban, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Apabila Allah telah menyelesaikan peradilan-Nya di antara makhluk semuanya, maka Dia mengeluarkan suatu kitab dari bawah 'Arasy (yang tercantum padanya), ‘Sesungguhnya rahmat-Ku mendahului murka-Ku, dan Aku adalah Yang Maha Pelimpah Rahmat’.” Lalu Allah menggenggam sekali atau dua kali genggaman dan mengeluarkan dari neraka sejumlah banyak makhluk yang tidak pernah melakukan suatu kebaikan pun, di antara kedua mata mereka (yakni pada kening mereka) tertuliskan, "Orang-orang yang dimerdekakan oleh Allah (dari neraka)."
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari ‘Ashim ibnu Sulaiman, dari Abu Usman An-Nahdi, dari Salman sehubungan dengan firman-Nya:
“Tuhan kalian telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang.” (Al-An'am: 54)
Bahwa sesungguhnya di dalam kitab Taurat Kami menjumpai dua jenis kasih sayang, yaitu Allah ﷻ menciptakan langit dan bumi, menciptakan seratus rahmat, atau Dia menjadikan seratus rahmat sebelum menciptakan makhluk. Kemudian Allah menciptakan makhluk dan meletakkan sebuah rahmat di antara mereka, sedangkan yang sembilan puluh sembilan rahmat Dia pegang di sisi-Nya.
Salman melanjutkan kisahnya, "Dengan satu rahmat itulah para makhluk berkasih sayang, saling mengasihi, saling memberi, dan saling menolong. Dengan satu rahmat itulah unta betina mengasihi anaknya, sapi betina mengasihi anaknya, kambing betina mengasihi anaknya, dan ikan-ikan di laut saling beriringan. Maka apabila datang hari kiamat, Allah mengumpulkan rahmat itu dengan rahmat yang ada di sisi-Nya, dan rahmat-Nya jauh lebih utama dan lebih luas.” Hal ini telah diriwayatkan pula secara marfu melalui jalur lain.
Dalam pembahasan berikutnya akan disebutkan hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah ini, yaitu pada tafsir firman-Nya:
“Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” (Al-A'raf: 156)
Di antara hadits-hadits yang berkaitan dengan ayat ini ialah sabda Nabi ﷺ kepada sahabat Mu'az ibnu Jabal: "Tahukah kamu, apakah hak Allah yang dibebankan atas hamba-hamba-Nya?” Yaitu hendaknya mereka menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.
Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda pula: “Tahukah kamu, apakah hak hamba-hamba Allah kepada Allah apabila mereka melakukan hal tersebut?” Yaitu hendaknya Dia tidak mengazab mereka. Imam Ahmad telah meriwayatkannya melalui jalur Kumail ibnu Ziyad, dari Abu Hurairah.
Setelah Allah melarang Nabi Muhammad mengusir orang-orang lemah dan miskin yang taat kepada-Nya, maka Allah lalu memberi bimbingan kepada Nabi tentang bagaimana sewajarnya menghadapi mereka. Dan apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami datang kepadamu, khususnya mereka yang lemah dan miskin, maka katakanlah dengan lemah lembut, Sala'mun 'alaikum (selamat sejahtera untuk kamu). Tuhanmu yang selalu membimbingmu telah menetapkan sifat kasih sayang yang sempurna pada diri-Nya, yaitu barang siapa berbuat kejahatan, apa pun jenisnya, di antara kamu karena kebodohan, yaitu mengikuti hawa nafsu kemudian dia bertobat dengan sungguhsungguh setelah itu dan memperbaiki diri dengan beramal saleh secara istikamah, maka Dia Maha Pengampun, yaitu akan mengampuni semua kesalahan yang pernah dilakukan, lagi Maha Penyayang. Uraian yang sedemikian jelas pada ayat-ayat sebelumnya digarisbawahi pada ayat ini. Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al-Qur'an agar terlihat jelas jalan orang-orang yang saleh dan agar terlihat jelas pula jalan orang-orang yang berdosa. Setiap orang pada akhirnya akan mempertanggungjawabkan pilihan jalan yang ditempuh, karena keterangan-keterangan dari Allah Yang Mahakuasa sudah sangat jelas.
Pada ayat ini Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad, dan orang-orang beriman agar mengucapkan "salam" kepada orang-orang beriman yang mereka temui, atau bila berpisah antara satu dengan yang lain. Ucapan salam itu adakalanya "salamun 'alaikum" adakalanya "assalamu'alaikum" atau "assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh", dan ditindaklanjuti dengan memelihara kedamaian.
Perkataan "salam" berarti "selamat", "sejahtera" atau "damai". "As-Salam" ialah salah satu dari nama-nama Allah, yang berarti bahwa Allah selamat dari sifat-sifat yang tidak layak baginya, seperti sifat lemah, miskin, baharu, mati dan sebagainya.
Ucapan "salam" yang diperintahkan Allah agar orang-orang mukmin mengucapkannya dalam ayat ini, mengandung pengertian bahwa Allah menyatakan kepada orang-orang yang telah masuk Islam, mereka telah selamat dan sejahtera dengan masuk Islam itu, karena dosa-dosa mereka telah diampuni, jiwa dan darah mereka telah dipelihara oleh kaum Muslimin, dan mereka telah mengikuti petunjuk yang membawa mereka kepada kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu, sesama muslim tidak boleh berkelahi, apalagi bermusuhan.
Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan "salam" dalam ayat ini ialah "salam" yang harus diucapkan Rasulullah saw, kepada orang-orang mukmin yang dianggap rendah dan miskin oleh orang-orang Quraisy, yang datang kepada Rasulullah saw, di waktu beliau sedang berbicara dengan pembesar-pembesar Quraisy. Janganlah mereka diusir, sehingga menyakitkan hatinya. Sekalipun mereka miskin tetapi kedudukan mereka lebih tinggi di sisi Allah, karena itu ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik atau suruhlah mereka menunggu sampai pembicaraan dengan pembesar-pembesar Quraisy itu selesai. Menurut golongan ini bahwa pendapat mereka sesuai dengan sebab ayat diturunkan.
Kepada orang-orang yang masuk Islam, Allah menjanjikan akan melimpahkan rahmat-Nya kepada mereka, sebagai suatu kemurahan daripada-Nya.
Di antara rahmat yang dilimpahkan Allah ialah tidak dihukumnya orang-orang yang:
1. Berbuat maksiat dengan tidak mengetahui bahwa perbuatan itu adalah perbuatan maksiat.
2. Mengerjakan larangan karena tidak sadar, lantaran sangat marah atau karena dorongan hawa nafsu. Kemudian mereka bertobat, dan menyesal atas perbuatan itu, mereka berjanji tidak akan mengulangi lagi, serta mengadakan perbaikan dengan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik, dan mengikis habis pengaruh pekerjaan buruk itu dalam hatinya, hingga hati dan jiwanya bersih, dan dirinya bertambah dekat kepada Allah.
Dari ayat ini dapat diambil suatu dasar dalam menetapkan hukuman bahwa hal-hal yang dapat menghapuskan, mengurangi atau meringankan hukuman seseorang yang akan atau telah diputuskan hukumannya, yaitu:
1. Kesalahan yang diperbuatnya dilakukan tanpa disadari, atau perbuatan itu dilakukan tanpa kemauan dan ikhtiarnya.
2. Tindakan atau tingkah lakunya menunjukkan bahwa ia telah berjanji dalam hatinya tidak akan mengulangi perbuatan itu, ia telah menyesal karena mengerjakan kejahatan tersebut, serta melakukan perbuatan-perbuatan baik.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 54
“Dan jika datang kepada engkau orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami maka katakanlah, ‘Selamat sejahtera atas kamu! Tuhan kamu telah mewajibkan atas diri-Nya sendiri akan memberi rahmat. (Yaitu) banangsiapa di antaia kamu yang beramal dengan suatu kejahatan karena kebodohan kemudian itu dia pun tobat sesudahnya dan memperbaiki maka sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun lagi Penyayang."
Tidak ada seorang manusia pun yang sunyi daripada suatu kesalahan. Kadang-kadang karena kesalahan itulah mereka berat menyatakan iman. Tidak ada manusia yang sunyi daripada dosa. Sebab diri insan ini adalah medan perjuangan di antara cita yang mulia dengan nafsu angkara murka. Kadang-kadang, mereka ragu-ragu menyatakan iman karena dosa itu. Kemudian, Rasulullah disuruh menyampaikan kepada orang yang telah menyatakan iman itu yang telah mengakui percaya pada ayat-ayat Allah kalau mereka datang kepada Rasul bahwa kedatangan mereka disambut dengan segala sukacita. Kepada mereka disampaikan ucapan salam sejahtera, “Salamun ‘alaikum" atau “Assalamu'alaikum". Dengan demikian, mulai saja berjumpa, hilanglah lapis pertama dari hati yang ragu. Sebab pernyataan iman itu saja pun sudah membukakan pintu yang luas bagi mereka akan menuju selamat dan sejahtera dunia dan akhirat. Kemudian disuruhlah menyampaikan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada diri-Nya sendiri akan memberikan rahmat kepada hamba-hamba-Nya yang telah menyatakan iman itu. Yaitu cinta dan iba kasihan. Pernyataan rahmat yang pertama dari Allah ialah bahwa orang-orang yang pernah berbuat suatu kesalahan atau yang diriamakan dosa karena kebodohannya, kemudian dia sadar. Setelah sadar segera bertobat dan setelah tobat itu mereka memperbaiki diri dan memperbaiki mutu amal, semuanya itu akan diampuni oleh Allah. Karena Allah Maha Penyayang lagi Maha Pengampun.
Ayat inilah yang diperkuat pula oleh yang tersebut dalam surah az-Zumar ayat 53.
“Katakanlah, ‘Wahai sekalian hamha-Ku yang telah melanggar batas atas diri mereka. Ja-nganlah kamu putus harapan daripada rahmat Allah. Sesungguhnya Allah akan memberi ampun dosa-dosa sekaliannya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun lagi Penyayang.'" (az-Zumar: 53)
Dengan tuntunan kedua ayat ini, seorang Mukmin tidaklah akan merasa rendah diri, putus asa dan tidak dapat mengangkat muka lantaran bersalah. Lekas-lekaslah minta tobat dan segeralah perbaiki kesalahan itu, yaitu jika kesalahan tersebut timbul dari kebodohan, belum ada pengalaman. Setelah tobat, hendaklah terus berusaha memperbaiki diri dan memperbaiki sehingga tempo tidak hilang karena menyesali kesalahan saja, tetapi diisi dengan berbuat baik terus-menerus. Dan demikian, akan dirasailah kenaikan pribadi karena tuntunan rahmat Allah. Cobalah perhatikan sahabat-sahabat Rasulullah ﷺyang besar-besar itu. Rata-rata pada zaman dahulu adalah orang-orang yang berdosa, pemakan riba, penyembah berhala, bahkan ada yang menguburkan anak perempuan hidup-hidup. Semuanya itu dikerjakan karena bodoh, belum mendapat penerangan. Namun, setelah mereka menyatakan iman, “Salam sejahtera Allah disampaikan kepada mereka", seakan-akan ucapan, “Selamat datang ke dalam Islam", dan mereka pun maju dalam rahmat Allah.
Niscaya dapatlah kita pahami di sini maksud ayat, yaitu berdosa karena kebodohan. Dan memang, dosa itu umumnya ialah karena bodoh. Artinya karena tidak memikirkan akibat di belakang. Ada karena nafsu tidak terkendalikan dan ada karena marah sehingga gelap mata. Sesudah terjadi barulah menyesal. Sungguh pun demikian, setelah beriman dan tobat dan memperbaiki maka Rasulullah ﷺ juga mengajarkan agar kita setiap waktu tobat. Dalam shalat kita meminta tobat dan ampun, sehabis shalat pun kita meminta tobat dan ampun sehingga di dalam salah satu ucapan, memohon ampun sesudah shalat itu disebut juga kita memohonkan ampun dari dosa yang nyata-nyata atau yang tersembunyi atau yang Engkau sendiri lebih tahu dariku. Dengan demikian, kita selalu memperbaiki (ashlaha). Laksana orang yang membuka sebuah kedai, hendaklah selalu barang-barang yang dikedal-kannya itu dibersihkannya, dikipas-kipasnya dengan bulu ayam, walaupun telah kelihatan bersih. Sebab, setiap detik akan ada saja angin membawa debu ke atas barang-barang itu. Demikian juga jiwa kita.
Menurut kitab-kitab tafsir, sebab turun ayat ini masih bertalian dengan ayat-ayat yang sebelumnya. Yaitu bahwa beberapa pemuka Quraisy datang kepada Nabi Muhammad ﷺ Di antara para pemuka itu, yaitu al-Aqra' bin Habis at-Tamimi dan ‘Uyainah bin Hasan al-Fizari. Mereka mendapati Nabi sedang duduk dikelilingi Bilal, Shuhaib, ‘Ammar, Khab-bab, dan beberapa orang yang lain lagi, yaitu orang-orang Mukmin yang taat setia kepada Rasulullah ﷺ Namun, mereka dari kalangan dhuafa, yaitu orang-orang yang dianggap lemah, rendah, atau kalangan bawah. Setelah pemuka-pemuka Quraisy itu melihat orang-orang yang mereka anggap lemah itu, mereka tunjukkanlah muka yang menghina dan memandang rendah. Kemudian, mereka datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata, “Kami minta engkau istimewakan untuk kami satu majelis tersendiri supaya seluruh Arab tahu bahwa kami ini orang-orang utama. Sebab, utusan-utusan seluruh negeri Arab akan datang menemui engkau dari mana-mana. Kami malu kelihatan oleh utusan-utusan itu sedang duduk bersama-sama dengan hamba-hamba sahaya yang rendah itu. Sebab itu, kalau kami datang, hendaklah orang-orang ini engkau suruh keluar dan kalau kami telah selesai, boleh engkau suruh masuk mereka kembali sesuka hati engkau."
Rasulullah ﷺ setuju usul itu. Kemudian, mereka berkata lagi, “Untuk ini, kami minta bukti tertulis!" Rasulullah pun setuju. Dipang-gilnyalah Ali bin Abi Thalib untuk menuliskan perjanjian itu. Dan Khabbab salah seorang dari orang rendah itu yang meriwayatkan hadits ini berkata, “Kami duduk saja menunggu di satu sudut"
Tiba-tiba, datanglah Jibril membawa ayat 52 di atas."Dan, janganlah engkau usir orang-orang yang menyeru Tuhan mereka pada waktu pagi dan petang karena mengharapkan wajah-Nya. Tidaklah engkau memikul tanggung jawab atas perhitungan mereka sedikit pun dan mereka pun tidak (pula) memikul tanggung jawab atas engkau sedikit pun. Maka, bila engkau usir mereka, menjadilah engkau termasuk orang yang aniaya." Kemudian, dibacanya terusan ayat,"Dan demikianlah telah Kami uji sebagian mereka dengan sebagian yang lain sehingga sampai mereka mengatakan, ‘Inikah orang-orang yang dikaruniai Allah di antara kami?'"
(Yang berkata begini adalah para pemuka Quraisy tadi) karena mereka tidak senang melihat orang-orang yang mereka pandang hina, hamba sahaya, mendapat kedudukan istimewa."Bukankah Allah lebih mengetahui orang-orang yang bersyukur?"
Kemudian datanglah ayat berikut ini:
“Dan jika datang kepada engkau orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami maka katakanlah, ‘Selamat sejahteralah atas kamu. Tuhan kamu telah mewajibkan atasdiri-Nya sendiri akan memberi rahmat.'"
Kata Khabbab, “Setelah ayat turun sampai di sini maka surah yang telah dibuat oleh Ali itu mereka lemparkan dari dalam tangannya, lalu kami beliau panggil dan kami pun datang ke hadapan beliau. Langsung beliau berucap, ‘Salamun ‘alaikum, selamat sejahteralah bagi kamu, Allah telah mewajibkan atas diri-Nya sendiri akan memberikan rahmat.'" Kemudian, duduklah kami di sekeliling beliau dan apabila hendak berdiri, beliau pun berdiri dan beliau meninggalkan kami. Kemudian, turunlah firman Allah surah al-Kahf ayat 28:
“Dan sabarkanlah dirimu kepada orang-orang yang menyeru Tuhan mereka pada waktu pagi dan petang karena mengharapkan wajah-Nya dan janganlah engkau hindarkan pandangan matamu dari mereka karena mengharapkan perhiasan dunia." (al-Kahf: 28)
Sejak ayat ini turun, kata Khabbab, Rasulullah ﷺ biasa duduk-duduk bersama kami dan apabila telah lelah sampai saatnya beliau akan berdiri, kami sendirilah yang dahulu berdiri dan kami meninggalkan beliau dan sampai beliau berdiri pula.
Sejak ayat-ayat ini turun, jika Rasulullah ﷺ melihat orang-orang yang dipandang rendah oleh kepala-kepala Quraisy itu datang, Rasulullah yang lebih dulu mengucapkan salam kepada mereka. Pernah Rasulullah ﷺ bersabda, “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Tuhan yang telah menjadikan dalam kalangan umatku orang-orang yang aku diperintahkan Tuhanku memulai mengucapkan salam kepada mereka."
Rasulullah ﷺ merasa sangat bangga karena dalam kalangan umatnya ada orang-orang yang seperti demikian. Kalau bertemu, Rasulullah ﷺ yang wajib terlebih dahulu mengucapkan salam kepada mereka. Dan Rasulullah ﷺ pun kerap kali menyatakan rasa bangganya jika berjumpa dengan Ibnu Ummi Maktum. Beliau berkata, “Segala puji bagi Allah karena dengan perantaraan engkau, hai Ibnu Ummi Maktum, aku telah diberi teguran oleh Tuhanku." (Lihat surah ‘Abasa ayat 1).
Di dalam hadist Shahih Muslim pun tersebut bahwa Abu Sufyan, (yang dulunya memusuhi Islam dan kemudian telah memeluk Islam ketika Rasulullah ﷺ akan menaklukkan Mekah), pada suatu hari datang kepada Salman, Shuhaib, Bilal, dan beberapa orang yang lain. Kemudian, orang-orang itu berkata, “Demi Allah, sayang sekali pedang-pedang Allah tidak mengambil dari musuh-musuh Allah ini pengambilannya yang pantas!"
Dalam majelis itu, kebetulan ada Sayyi-diria Abu Bakar ash-Shiddiq. Kemudian, dia menegur mereka dengan berkata, “Mengapa kalian berkata seperti itu terhadap seorang Syekh Quraisy dan pemimpin mereka?"
Setelah itu, Abu Bakar datang kepada Rasulullah ﷺ dan beliau beritakanlah kejadian tersebut kepada Rasulullah ﷺ Kemudian, Rasulullah ﷺ bersabda, “Hai, Abu Bakar! Apakah sampai engkau membuat mereka jadi marah? Kalau sampai engkau membuat mereka jadi marah, tentulah Allah akan marah pula kepada engkau!" Pergilah Abu Bakar kepada mereka dan bertanya, ‘Apakah kamu marah kepadaku?" Mereka menjawab, “Tidak! Kami tidak marah, moga-moga Allah memberi ampun kepadamu, wahai Abu Bakar saudara kami!"
Kisah dan riwayat ini menyebabkan bertambah bangganya kita menjadi orang Islam. Ingatlah siapa Abu Sufyan, yaitu pemimpin besar Quraisy yang amat disegani, yang memimpin perjuangan Quraisy melawan Rasulullah ﷺ, sampai dia tunduk dan takluk dan telah memeluk Islam. Setelah memeluk Isiam, dia tetap dihormati dan disegani, sedangkan orang yang bertiga ini dalam susunan masyarakat Quraisy, dipandang hina dan lemah. Salman orang Persia (Iran), Shuhaib orang Rumi (Romawi), dan Bilal orang Habsyi (Negro). Ketiganya berasal dari budak. Abu Bakar menegur mereka karena bercakap agak kasar kepada pemuka Quraisy yang besar itu, tetapi Rasulullah telah menegur Abu Bakar, menanyakan apakah orang-orang itu marah mendengar tegurannya. Kalau mereka marah, berarti Allah pun marah kepada Abu Bakar. Kemudian dengan segala kerendahan hati, Abu Bakar datang menjelang mereka dan meminta maaf kalau-kalau mereka berkecil hati karena tegurannya. Akan tetapi, mereka menyatakan bahwa mereka tidak marah dan memanggil Abu Bakar sebagai saudaranya sendiri.
Di sini, kita mendapat kesan yang mendalam bahwa kemuliaan seorang di dalam Islam tidaklah ditentukan oleh keturunannya, tetapi oleh takwanya kepada Allah dan nilai perjuangannya menegakkan Islam. Salinan mengembara dari tanah airnya, dari kota menempuh kota, mencari kebenaran menjadi budak belian, sampai tiba di Madiriah dan menyatakan diri pengikut Rasul. Shuhaib adalah seorang Romawi, hidup di Mekah sebagai pedagang kecil dan setelah Rasulullah pindah ke Madiriah dia pun turut hijrah lalu ditinggalkannya harta benda dan kekayaannya karena berpindah kepada Allah dan Rasul. Bilal menyatakan iman sejak Islam bangkit, sampai disakiti dan dihinakan oleh penghulu yang menguasainya. Sedangkan pada waktu orang-orang itu berjuang membela Rasul dan Islam, Abu Sufyan memimpin kaum Quraisy menentang Islam yang sedang tumbuh. Dia pula yang memimpin segala peperangan Quraisy menantang Rasulullah ﷺ
Allah sendiri yang menjelaskan bahwasanya Allah telah mewajibkan kepada diri-Nya sendiri akan melimpahkan rahmat kepada orang-orang yang beriman dan mereka itulah yang menjadi sebab turunnya ayat.
Kalau pada zaman modern ini orang menyanyikan tentang hak-hak asasi manusia maka Al-Qur'an telah melukiskan ini. Kalau sampai pada masa kita sekarang ini masih terdapat pertentangan karena warna kulit di Amerika, Afrika Selatan, dan Rhodesia. Namun, sejak 1380 tahun yang lalu, Islam telah mengajarkan persamaan kedudukan di antara manusia dan kemuliaan kedudukan seseorang ditentukan oleh iman dan takwanya dan perjuangannya,
Bekas ajaran ini tinggal dan lekat sampai pada zaman kita sekarang. Perbedaan warna kulit tidak menghambat kemajuan seseorang. Hanya dalam sejarah Islam terdapat budak-budak, hamba sahaya yang mencapai kedudukan tertinggi, hingga menjadi raja karena keadilan dan ke'sanggupannya.
Sehabis mengerjakan shalat Ashar di Bab Dzuraibah di Masjidil Haram di Mekah, setelah selesai mengerjakan Haji (Maret 1968, akhir Dzulhijjah 1387), duduklah saya mengerjakan i'tikaf. Tiba-tiba di hadapan saya duduk itu datanglah beberapa orang saudara seagama Islam yang warna kulitnya hitam. Mungkin mereka datang dari Ghana atau Nigeria. Ada yang masih memakai pakaian ihram. Mereka pun duduk berlingkar kira-kira tiga puluh orang banyaknya dan bersama-sama membaca wirid shalawat dari kitab Dalciilul-Khairat. Tiba-tiba, melintaslah di dekat lingkaran itu seorang berkulit putih. Tampaknya dia tidak kenal seorang pun dari yang sedang berwirid berkulit hitam itu. Namun, setelah mendengar wirid yang dibaca dengan tidak ragu lagi dia pun masuk dalam lingkaran dan sama duduk bersila dan turut membaca dengan suara fasih. Rupanya dia adalah salah seorang Muslim dari Eropa yang telah lama memeluk Islam dan menyukai wirid shalawat dari Dalciilul-Khairat.
Orang-orang hitam yang sedang duduk berlingkar itu melapangkan tempat duduk bagi si kulit putih, walaupun mereka tidak mengerti bahasa masing-masing.
Ayat 55
“Dan demikianlah Kami menjelaskan beberapa ayat supaya mendapat jelaslah ke mana jalan bagi orang-orang yang berbuat kesalahan besar."
Artinya, dengan keterangan pada ayat tersebut, Allah telah menunjukkan jalan bagi orang yang telah pernah berbuat kesalahan yang besar, jalan mana yang semestinya mereka tempuh sehingga kesalahannya itu, betapa pun besarnya, akan diampuni oleh Allah. Lekaslah datang! Kalau pada waktu Rasulullah ﷺ masih hidup, lekaslah datang kepada beliau. Setelah Rasulullah tak ada lagi seperti sekarang ini, lekas cemplungkan diri ke dalam jamaah Islam. Datangi Jum'at dan jamaah, pilih pergaulan yang baik, tinggalkan pergaulan yang membawa sansai, Sebab agama ialah pergaulan. Demikianlah petunjuk Allah, seakan-akan Allah mengembangkan kedua belah tangan-Nya, menerima kedatangan ham-ba-hamba-Nya yang insaf, yang menyesal."Selamat datang, engkau pulang kembali wahai hamba-hamba-Ku. Sejak engkau mengatakan iman, segala kesalahan telah Aku ampuni. Mulailah hidup baru dalam iman dan tegakkanlah mukamu! Jangan berjiwa kecil dan tengadahkanlah muka ke hadapan. Rahmat-Ku selalu ada!"
Setelah itu, sekarang dihadapkan lagi kepada kaum yang musyrik dan kufur itu.
Ayat 56
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku telah dilaiang menyembah apa yang kamu seru selain … Allah itu."
Niscaya masih kita rasakan betapa eratnya pertalian ayat ini dengan ayat yang sebelumnya. Orang musyrik masih tetap dalam kemusyrikannya.
Mereka masih memuja yang lain dari Allah. Mereka masih bertahan pada perbuatan yang bodoh. Padahal apa yang mereka sembah selain dari Allah itu, tidaklah mengenal apa yang dikatakan rahmat, tidak mengenal pengampunan dosa sebab semuanya itu hanya benda yang dipuja sendiri saja oleh mereka. Laksana bertepuk sebelah tangan! Sebab seluruh yang diberhalakan itu hanya bisa menerima, tidak sanggup memberi! Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa beliau dan segala orang yang telah beriman dilarang oleh Allah menyembah yang lain karena faedahnya tidak ada dan perbuatan yang bodoh adanya. Namun, kalau mereka sendiri yang bertobat kedatangan mereka dapat diterima dalam Islam. Adapun orang Islam, kembali kepada mereka, tidak mungkin. Adakah mungkin setelah mendapat cahaya yang terang akan kembali lagi pada yang gelap? “Katakanlah, ‘Tidaklah aku akan mengikuti kehendak-kehendak kamu."
Atau segala macam hawa nafsu kamu yang hanya timbul dari kebodohan, menyembah benda, atau memuja manusia, sedangkan aku sudah tetap hanya menyembah kepada Allah Yang Satu."Karena sesungguhnya telah sesatlah aku kalau begitu." Yakni kalau aku turuti kehendakmu yang bodoh itu, niscaya aku menjadi orang sesat.
“Dan tidaklah aku daripada orang-orang yang diberi petunjuk."
Dengan sambutan demikian, diinsafkanlah mereka bahwa segala persembahan mereka pada berhala atau pemujaan mereka kepada sesama manusia adalah perbuatan yang sesat belaka. Orang yang telah beriman tida akan suka menukar imannya dengan kufur kembali. Adapun sebab Rasulullah ﷺ berkata dengan wahyu setegas ini karena kaum musyrikin masih ada saja yang mempertahankan perbuatan mereka. Hal itu terjadi karena mereka taklid kepada nenek moyang sehingga pernah mereka menyebut Nabi Muhammad ﷺ seorang yang shabi', artinya telah menyeleweng dari agama nenek moyang. Beliau pun disuruh menunjukkan pendirian yang tegas ini.
Ayat 57
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya aku adalah di atas ketenangan yang nyata dari Tuhanku."
Artinya, segala pendirian yang telah aku terangkan ini adalah dengan tuntunan keterangan yang nyata dan jelas dari Tuhanku sendiri, Allah yang tidak ada Tuhan melainkan Dia."Tetapi, kamu mendustakannya." Sedangkan segala perbuatan mempersekutukan Allah yang kamu kerjakan itu tidah ada alasannya. Tidah ada satu pun dari berhala itu yang memberikan keterangan kepadamu. Lantaran itu bukanlah kamu yang benar, lalu aku dustakan. Melainkan akulah di pihak yang benar dan kamulah yang telah mendustakannya. Maka, karena mendustakan kebenaran Allah yang telah aku sampaikan itu, sampai kamu menentang lalu kamu minta supaya didatangkan sekarang juga adzab Allah itu kalau memang kamu ini di pihak yang salah."Tidaklah ada padaku apa yang kamu harapkan cepat itu." Kamu minta kepadaku supaya adzab segera didatangkan, padahal aku sendiri tidak mempunyai kekuasaan mendatangkan adzab itu dengan segera, sebab aku hanyalah utusan Allah, bukan Allah! “Karena tidaklah ada hukum melainkan bagi Allah." Aku sendiri tidah berkuasa sama sekali menjatuhkan hukum, hanyalah Allah."Dialah yang akan menerangkan kebenaran dan Dialah yang sebaik-baik pemutus." Dialah yang akan menerangkan yang sebenarnya, baik janji maupun ancaman, dan Dia pula yang akan mendatangkan keputusan dengan adil. Jika fajar kebenaran dari Allah itu telah memancar, kegelapan paham kamu yang sesat itu sudah pasti sirna.
Bagaimana Allah menjatuhkan keputusan-Nya? Apakah dengan mendatangkan adzab atau dengan menghilangkan pengaruh kamu dengan cepat, walaupun kamu masih bersitegang urat leher mempertahankannya? Terserahlah itu kepada Allah. Dialah yang lebih bijaksana dan lebih tepat apa yang Dia putuskan dan tidak ada satu kekuatan pun yang dapat membendung kekuatan Allah itu.
Ayat 58
“Katakanlah, ‘Jika adalah di sisiku apa yang kamu harapkan cepat itu, niscaya berlakulah perkara di antara aku dan di antara kamu.'"
Artinya, sekiranya Allah menganugerahkan kepadaku suatu kekuasaan sehingga aku dapat bertindak sendiri dengan izin Allah mempercepat apa yang kamu minta itu, seumpama pernah kamu meminta diturunkan hujan batu, adzab dari langit, ataupun adzab yang lai. (Lihat surah al-A'raaf ayat 32). Kalau aku dibolehkan Allah dengan mukjizat berbuat demikian, niscaya segera bereslah urusan kita, niscaya aku binasakan segera mana yang zalim di antara kamu, yang selama ini telah menghalang-halangi dakwah dan tabligh yang aku sampaikan, padahal maksudku jujur kepada kamu, dan tentu akan menanglah orang-orang yang iman kepada seruan yang aku bawa.
“Sedangkan Allah itu lebih mengetahui siapa-siapa orang yang zalim."
Dengan ujung penutup ayat ini, kembali Rasul menjelaskan bahwa Allah-lah yang lebih tahu siapa-siapa orang yang zalim, yang aniaya. Oleh sebab itu, pada kebijaksanaan Allah jualah diserahkan pasal mengadzab atau menghukum. Adapun Rasul, walaupun misalnya dia diberi mukjizat oleh Allah sehingga dapat mendatangkan hukum kepada mereka dengan cepat, mengaku juga di, bahwa dia tidaklah sepintar Allah di dalam mengetahui siapa yang benar-benar pantas dihukum karena zalimnya.
Dengan susun-susun wahyu yang demikian, tampaklah betapa perbedaan perlakuan Allah kepada umat nabi akhir zaman ini dan betapa pula kebijaksanaan yang diberikan Allah kepada beliau di dalam menghadapi keingkaran kaumnya. Meskipun dengan begitu kasar mereka membantah lagi menentang pula, meminta turunkan adzab sekarang juga, beliau masih saja memberikan jawaban yang berisi pimpinan dan masuk di akal. Segala sesuatu selalu dipulangkan beliau kepada Allah. Beliau menyatakan pula bahwa bukanlah tidak mungkin Allah menurunkan mukjizat kepada beliau untuk menghancurkan mereka, tetapi seperti yang berulang-ulang beliau katakan, beliau bukan Tuhan, melainkan seorang manusia yang diberi wahyu dan disuruh menyampaikan. Niscaya kebijaksanaan Allah jualah yang lebih benar.
…kamu minta supaya didatangkan sekarang juga adzab Allah itu kalau memang kamu ini di pihak yang salah."Tidaklah ada padaku apa yang kamu harapkan cepat itu." Kamu minta kepadaku supaya adzab segera didatangkan, padahal aku sendiri tidak mempunyai kekuasaan mendatangkan adzab itu dengan segera, sebab aku hanyalah utusan Allah, bukan Allah! “Karena tidaklah ada hukum melainkan bagi Allah." Aku sendiri tidah berkuasa sama sekali menjatuhkan hukum, hanyalah Allah."Dialah yang akan menerangkan kebenaran dan Dialah yang sebaik-baik pemutus." Dialah yang akan menerangkan yang sebenarnya, baik janji maupun ancaman, dan Dia pula yang akan mendatangkan keputusan dengan adil. Jika fajar kebenaran dari Allah itu telah memancar, kegelapan paham kamu yang sesat itu sudah pasti sirna.
Bagaimana Allah menjatuhkan keputusan-Nya? Apakah dengan mendatangkan adzab atau dengan menghilangkan pengaruh kamu dengan cepat, walaupun kamu masih bersitegang urat leher mempertahankannya? Terserahlah itu kepada Allah. Dialah yang lebih bijaksana dan lebih tepat apa yang Dia putuskan dan tidak ada satu kekuatan pun yang dapat membendung kekuatan Allah itu.
Ayat 58
“Katakanlah, ‘Jika adalah di sisiku apa yang kamu harapkan cepat itu, niscaya berlakulah perkara di antara aku dan di antara kamu.'"
Artinya, sekiranya Allah menganugerahkan kepadaku suatu kekuasaan sehingga aku dapat bertindak sendiri dengan izin Allah mempercepat apa yang kamu minta itu, seumpama pernah kamu meminta diturunkan hujan batu, adzab dari langit, ataupun adzab yang lai. (Lihat surah al-A'raaf ayat 32). Kalau aku dibolehkan Allah dengan mukjizat berbuat demikian, niscaya segera bereslah urusan kita, niscaya aku binasakan segera mana yang zalim di antara kamu, yang selama ini telah menghalang-halangi dakwah dan tabligh yang aku sampaikan, padahal maksudku jujur kepada kamu, dan tentu akan menanglah orang-orang yang iman kepada seruan yang aku bawa.
“Sedangkan Allah itu lebih mengetahui siapa-siapa orang yang zalim."
(ujung ayat 58)