Ayat
Terjemahan Per Kata
قُل
katakanlah
لَّآ
tidak
أَقُولُ
aku mengatakan
لَكُمۡ
bagi kalian
عِندِي
kepunyaanku/ada padaku
خَزَآئِنُ
perbendaharaan
ٱللَّهِ
Allah
وَلَآ
dan tidak
أَعۡلَمُ
aku mengetahui
ٱلۡغَيۡبَ
yang gaib
وَلَآ
dan tidak
أَقُولُ
aku mengatakan
لَكُمۡ
bagi kalian
إِنِّي
sesungguhnya aku
مَلَكٌۖ
malaikat
إِنۡ
jika
أَتَّبِعُ
aku mengikuti
إِلَّا
kecuali
مَا
apa
يُوحَىٰٓ
diwahyukan
إِلَيَّۚ
kepadaku
قُلۡ
katakanlah
هَلۡ
apakah
يَسۡتَوِي
sama
ٱلۡأَعۡمَىٰ
orang yang buta
وَٱلۡبَصِيرُۚ
dan orang yang melihat
أَفَلَا
apakah tidak
تَتَفَكَّرُونَ
kamu berpikir
قُل
katakanlah
لَّآ
tidak
أَقُولُ
aku mengatakan
لَكُمۡ
bagi kalian
عِندِي
kepunyaanku/ada padaku
خَزَآئِنُ
perbendaharaan
ٱللَّهِ
Allah
وَلَآ
dan tidak
أَعۡلَمُ
aku mengetahui
ٱلۡغَيۡبَ
yang gaib
وَلَآ
dan tidak
أَقُولُ
aku mengatakan
لَكُمۡ
bagi kalian
إِنِّي
sesungguhnya aku
مَلَكٌۖ
malaikat
إِنۡ
jika
أَتَّبِعُ
aku mengikuti
إِلَّا
kecuali
مَا
apa
يُوحَىٰٓ
diwahyukan
إِلَيَّۚ
kepadaku
قُلۡ
katakanlah
هَلۡ
apakah
يَسۡتَوِي
sama
ٱلۡأَعۡمَىٰ
orang yang buta
وَٱلۡبَصِيرُۚ
dan orang yang melihat
أَفَلَا
apakah tidak
تَتَفَكَّرُونَ
kamu berpikir
Terjemahan
Katakanlah (Nabi Muhammad), “Aku tidak mengatakan kepadamu bahwa perbendaharaan (rezeki) Allah ada padaku, aku (sendiri) tidak mengetahui yang gaib, dan aku tidak (pula) mengatakan kepadamu bahwa aku malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.” Katakanlah, “Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat? Apakah kamu tidak memikirkan(-nya)?”
Tafsir
(Katakanlah) kepada mereka ("Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku) yang di antaranya ialah rezeki yang diberikan kepadanya (dan tidak) pula bahwa aku (mengetahui yang gaib) hal-hal yang gaib dariku dan tidak diwahyukan kepadaku (dan tidak pula aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat) di antara malaikat-malaikat lainnya. (Tidaklah) tiada lain (aku hanya mengikut apa yang diwahyukan kepadaku." Katakanlah, "Apakah sama orang yang buta) orang kafir (dengan orang yang melihat?") orang yang beriman; tentu saja tidak. (Maka apakah kamu tidak memikirkan) tentang hal itu, kemudian kamu beriman.
Tafsir Surat Al-An'am: 50-54
Katakanlah (Muhammad), "Aku tidak mengatakan kepada kalian bahwa perbendaharaan (rezeki) Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang gaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepada kalian bahwa aku adalah malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku." Katakanlah, "Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat? Apakah kamu tidak memikirkan(nya)?"
Dan peringatkanlah dengannya (Al-Qur'an) orang-orang yang takut dikumpulkan menghadap Tuhannya (pada hari kiamat) bahwa tidak ada bagi mereka pelindung dan pemberi syafaat selain Allah, agar mereka bertakwa.
Dan janganlah kamu (Muhammad) mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan petang hari, sedangkan mereka mengharapkan keridaan-Nya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatan mereka, dan mereka pun tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka. Jika itu kamu lakukan maka kamu termasuk orang-orang yang zalim.
Dan demikianlah telah Kami uji sebagian mereka (orang-orang kaya dan berkuasa) dengan sebagian mereka (orang-orang miskin), supaya (orang-orang kaya itu) berkata, "Orang-orang yang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah oleh Allah kepada mereka?" (Allah berfirman), "Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepada-Nya)?"
Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepada kalian, maka katakanlah, "Salamun ‘alaikum (semoga keselamatan tercurah kepada kalian)”. Tuhan kalian telah menetapkan sifat kasih sayang pada diri-Nya, (yaitu) barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kalian karena kejahilan (kebodohan, kecerobohan, dorongan hawa nafsu, amarah dan sebagainya), kemudian ia bertobat setelah mengerjakannya dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat 50
Allah ﷻ berfirman kepada Rasul-Nya: “Katakanlah (Muhammad), ‘Aku tidak mengatakan kepada kalian, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku’.” (Al-An'am: 50)
Dengan kata lain, aku tidak memilikinya dan tidak pula mengaturnya.
“Dan tidak (pula) aku mengetahui yang gaib.” (Al-An'am: 50)
Yakni aku pun tidak mengatakan kepada kalian bahwa sesungguhnya aku mengetahui perkara yang gaib, karena sesungguhnya hal yang gaib itu hanya diketahui oleh Allah ﷻ saja. Dan aku tidak dapat mengetahuinya kecuali sebatas apa yang telah diperlihatkan oleh Allah kepadaku.
“Dan tidak (pula) aku mengatakan kepada kalian bahwa aku adalah malaikat.” (Al-An'am: 50)
Artinya, aku tidak menyerukan diri bahwa diriku adalah malaikat, melainkan hanyalah seorang manusia yang diberi wahyu oleh Allah ﷻ. Allah ﷻ telah memuliakan diriku dengan wahyu itu dan mengaruniaiku dengannya sebagai nikmat dari-Nya. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:
“Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.” (Al-An'am: 50)
Yakni aku tidak pernah durhaka darinya barang sejengkal pun, tidak pula kurang dari itu.
“Katakanlah, ‘Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat’?” (Al-An'am: 50)
Maksudnya, apakah orang yang mengikuti kebenaran dan mendapat petunjuk kepada kebenaran, sama dengan orang yang sesat darinya dan tidak mau mengikutinya?
“Apakah kalian tidak memikirkannya?” (Al-An'am: 50)
Ayat ini semakna dengan ayat lain yang menyebutkan melalui firman-Nya:
“Adakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan kepada kalian dari Tuhanmu itu benar sama dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran.” (Ar-Ra'd: 19)
Ayat 51
Mengenai firman Allah ﷻ: “Dan peringatkanlah dengannya (Al-Qur'an) orang-orang yang takut dikumpulkan menghadap Tuhannya (pada hari kiamat) bahwa tidak ada bagi mereka pelindung dan pemberi syafaat pun.” (Al-An'am: 51)
Artinya, berilah peringatan dengan Al-Qur'an ini, wahai Muhammad!
“Orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka.” (Al-Muminun: 57)
Yaitu orang-orang yang takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.
Firman Allah ﷻ: “Dan peringatkanlah dengannya (Al-Qur'an) orang-orang yang takut dikumpulkan menghadap Tuhannya (pada hari kiamat).” (Al-An'am: 51)
Maksudnya, pada hari kiamat.
“Tidak ada bagi mereka pelindung dan pemberi syafaat pun.” (Al-An'am: 51)
Yakni tidak ada kaum kerabat bagi mereka dan tidak ada pula orang yang dapat memberikan pertolongan kepada mereka dari azab Allah bilamana Allah berkehendak menimpakan (azab)nya kepada mereka.
“Agar mereka bertakwa.” (Al-An'am: 51)
Artinya, peringatkanlah kejadian hari kiamat ini, karena tidak ada hakim yang lain kecuali hanya Allah ﷻ pada hari itu.
“Agar mereka bertakwa.” (Al-An'am: 51)
Supaya mereka mau mengerjakan amal perbuatan di dunia ini, sehingga Allah menyelamatkan mereka dari azab-Nya pada hari kiamat, dan Allah melipatgandakan pahala-Nya kepada mereka dengan kelipatan yang banyak.
Ayat 52
Firman Allah ﷻ: “Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedangkan mereka mengharapkan keridaan-Nya.” (Al-An'am: 52)
Dengan kata lain, janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru , melainkan jadikanlah mereka sebagai teman-teman dudukmu dan teman-teman dekatmu. Hal yang sama dengan apa yang disebutkan oleh ayat lain:
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya. Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini. Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (Al-Kahfi: 28)
Adapun firman Allah ﷻ: “Orang-orang yang menyeru Tuhannya. (Al-An'am: 52)
Yakni menyembah-Nya dan memohon kepada-Nya.
“Di pagi hari dan petang hari. (Al-An'am: 52)
Menurut Sa'id bin Musayyab, Mujahid, dan Qatadah, makna yang dimaksud ialah shalat fardu. Makna doa dalam ayat ini adalah seperti yang dianjurkan oleh firman-Nya:
“Dan Tuhanmu berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku (serulah Aku), niscaya akan Kuperkenankan bagi kalian’.” (Al-Mumin: 60)
Maksudnya, Aku akan menerima doa kalian.
Firman Allah ﷻ: “Sedangkan mereka mengharapkan keridaan-Nya.” (Al-An'am: 52)
Yakni dengan amalnya itu mereka mengharapkan rida Allah, mereka kerjakan semua ibadah dan amal ketaatan dengan hati yang ikhlas karena Allah.
Firman Allah ﷻ: “Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatan mereka, dan mereka pun tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatanmu.” (Al-An'am: 52)
Seperti yang dikatakan oleh Nabi Nuh a.s. dalam menjawab ucapan orang-orang yang mengatakan,
"Apakah kami akan beriman kepada kalian, padahal yang mengikuti kamu ialah orang-orang yang hina?" Bagaimana aku mengetahui apa yang telah mereka kerjakan? Perhitungan (amal perbuatan) mereka tidak lain hanyalah kepada Tuhanku, jika kalian menyadari.” (Asy-Syu'ara: 111-113)
Dengan kata lain, sesungguhnya perhitungan amal perbuatan mereka hanyalah kepada Allah ﷻ, dan aku tidak memikul tanggung jawab hisab mereka barang sedikit pun, sebagaimana mereka pun tidak bertanggung jawab sedikit pun terhadap perhitungan amal perbuatanku.
Firman Allah ﷻ: “Yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka. (Jika dilakukan) kamu termasuk orang-orang yang zalim.” (Al-An'am: 52)
Yakni jika kamu melakukan hal tersebut, akibatnya adalah seperti itu.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Asbat (yaitu Ibnu Muhammad), telah menceritakan kepadaku Asy'as, dari Kardus, dari Ibnu Mas'ud yang menceritakan bahwa ada segolongan pemuka Quraisy lewat di hadapan Rasulullah ﷺ Pada saat itu di sisi beliau terdapat Khabbab, Suhaib, Bilal, dan Ammar. Lalu mereka (para pemuka Quraisy) berkata, "Wahai Muhammad, apakah kamu rela menjadi teman orang-orang itu (yakni yang ada di sisi Nabi ﷺ)?" Maka turunlah ayat ini:
“Dan peringatkanlah dengannya (Al-Qur'an) orang-orang yang takut dikumpulkan menghadap Tuhannya (pada hari kiamat).” (Al-An'am: 51) Sampai dengan firman-Nya:
“Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepada-Nya)?” (Al-An'am: 53)
Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui jalur Asy'as, dari Kardus, dari Ibnu Mas'ud yang menceritakan bahwa segolongan pemuka Quraisy lewat di hadapan Nabi ﷺ yang ketika itu sedang ditemani oleh Suhaib, Bilal, Ammar, Khabbab, dan lain-lainnya dari kalangan orang-orang muslim yang dha’if. Lalu para pemuka Quraisy itu berkata, "Wahai Muhammad, apakah engkau rela orang-orang itu sebagai kaummu? Apakah mereka adalah orang-orang yang dianugerahi oleh Allah di antara kami? Apakah pantas kami akan mengikuti jejak orang-orang itu? Usirlah mereka! Barangkali jika engkau mengusir mereka, kami akan mengikutimu." Maka turunlah firman-Nya:
“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedangkan mereka mengharapkan keridaan-Nya.” (Al-An'am: 52)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Sa'id Al-Qattan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Muhammad Al-Anqazi, telah menceritakan kepada kami Asbat ibnu Nasr, dari As-Suddi, dari Abu Sa'id Al-Azdi qari' Al-Azdi, dari Abul Kunud, dari Khabbab sehubungan dengan firman-Nya:
“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari.” (Al-An'am: 52) Bahwa Al-Aqra' ibnu Habis At-Tamimi dan Uyainah ibnu Hasan Al-Fazzari datang, lalu mereka menjumpai Rasulullah ﷺ yang pada saat itu sedang ditemani oleh Suhaib, Bilal, Ammar, dan Khabbab. Ketika itu Rasulullah ﷺ sedang duduk di antara segolongan kaum mukmin yang duafa. Ketika mereka melihat orang-orang itu berada di sekitar Nabi ﷺ, mereka menghina orang-orang duafa itu di hadapan teman-teman mereka.
Mereka datang kepada Nabi ﷺ, dan kaum duafa membiarkan Nabi ﷺ menemui mereka. Lalu mereka berkata, "Sesungguhnya kami menginginkan agar engkau membuat suatu majelis khusus buat kami, mengingat semua orang Arab telah mengenal keutamaan kami. Karena (delegasi) perwakilan dari banyak kalangan orang-orang Arab sering datang kepada kalian, maka kami akan merasa malu bila mereka melihat kami ada bersama para budak ini. Untuk itu apabila kami datang kepada kalian, tolong usirlah mereka dari kami. Dan jika kami telah selesai dengan urusan kami, silakan engkau duduk kembali bersama mereka jika engkau suka." Nabi ﷺ menjawab, "Baiklah." Mereka berkata, "Kalau demikian, tentukanlah olehmu hari-hari tertentu untuk kami secara tertulis."
Nabi ﷺ memanggil sahabat Ali dan meminta sebuah lembaran, kemudian beliau ﷺ memerintahkan Ali untuk mencatat hal tersebut, sedangkan ketika itu kaum duafa berada di suatu sudut yang agak jauh dari mereka. Dan pada saat itu juga turunlah Malaikat Jibril seraya membawa firman-Nya:
“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya.” (Al-An'am: 52), hingga akhir ayat.
Maka Rasulullah ﷺ melemparkan lembaran itu dari tangannya, kemudian beliau memanggil kami, maka kami pun datang kepadanya. Ibnu Jarir telah meriwayatkannya melalui hadits Asbat dengan lafal yang sama.
Tetapi hadits ini gharib (asing), karena sesungguhnya ayat ini Makkiyyah, sedangkan Al-Aqra' ibnu Habis dan Uyainah baru masuk Islam hanya setelah hijrah selang beberapa tahun kemudian. Sufyan Ats-Tsauri telah meriwayatkan dari Al-Miqdam ibnu Syuraih, dari ayahnya yang menceritakan bahwa Sa'd pernah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan enam orang sahabat Nabi ﷺ, antara lain Ibnu Mas'ud.
Sa'd melanjutkan kisahnya, “Kami selalu menemani Rasulullah ﷺ dan dekat dengannya untuk mendengar sabda-sabda beliau ﷺ Maka orang-orang Quraisy berkata, 'Engkau selalu mendekati mereka dan menjauh dari kami'.” Maka turunlah ayat ini:
“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan di petang hari.” (Al-An'am: 52)
Imam Hakim meriwayatkannya dalam kitab Mustadrak melalui jalur Sufyan. Imam Hakim mengatakan bahwa hadits ini sesuai dengan syarat Syaikhain. Ibnu Hibban di dalam kitab Shahih-nya telah mengetengahkan hadits ini melalui jalur Al-Miqdam ibnu Syuraih dengan lafal yang sama.
Ayat 53
Firman Allah ﷻ: Dan demikianlah Kami uji sebagian mereka dengan sebagian yang lain. (Al-An'am: 53)
Yakni Kami coba dan Kami uji sebagian dari mereka dengan sebagian yang lain.
“Supaya (orang-orang yang kaya itu) berkata, ‘Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah oleh Allah kepada mereka’?” (Al-An'am: 53)
Demikian itu terjadi karena Rasulullah ﷺ pada masa permulaan risalahnya banyak diikuti oleh kaum duafa sebagai mayoritas dari pengikut-pengikut beliau, baik dari kalangan kaum laki-laki, kaum wanita, budak-budak lelaki, maupun budak-budak perempuan. Hanya sedikit yang mengikuti beliau ﷺ dari kalangan yang terpandang. Perihal Rasulullah ﷺ saat itu serupa dengan apa yang dikatakan oleh kaum Nabi Nuh kepada nabinya, seperti yang dikutip oleh firman-Nya:
“Dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja.” (Hud: 27), hingga akhir ayat. Sama pula dengan apa yang ditanyakan oleh Heraklius Raja Romawi Kepada Abu Sufyan.
Heraklius bertanya, "Apakah orang-orang yang mengikutinya (Nabi ﷺ) adalah dari kalangan orang-orang yang terhormat, ataukah dari kalangan orang-orang yang lemah?" Abu Sufyan menjawab, "Tidak, bahkan dari kalangan orang-orang yang lemah." Heraklius berkata, "Mereka adalah pengikut para rasul”. Pada garis besarnya kaum kafir Quraisy menghina orang-orang dari kalangan kaum duafa yang beriman kepada Nabi ﷺ Mereka tak segan-segan menyiksa siapa saja dari kalangan kaum duafa itu yang berada di bawah wewenangnya.
Orang-orang musyrik Quraisy tersebut sering mengatakan, "Orang-orang seperti inikah di antara kita yang diberi anugerah oleh Allah?". Perihalnya semakna dengan apa yang disebutkan di dalam ayat lain, yaitu:
“Kalau sekiranya dia (Al-Qur'an) adalah suatu yang baik, tentulah mereka tidak mendahului kami (beriman) kepadanya.” (Al-Ahqaf: 11) Sama pula dengan firman-Nya:
“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang terang (maksudnya), niscaya orang-orang yang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman, ‘Manakah di antara kedua golongan (kafir dan mukmin) yang lebih baik tempat tinggalnya dan lebih indah tempat pertemuannya)’?” (Maryam: 73)
Allah ﷻ menjawab perkataan tersebut dalam firman selanjutnya:
“Berapa banyak umat yang telah Kami binasakan sebelum mereka, sedangkan mereka adalah lebih bagus alat rumah tangganya dan lebih sedap dipandang mata.” (Maryam: 74)
Sedangkan dalam surat ini Allah ﷻ menjawab mereka ketika mereka mengatakan:
“Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah oleh Allah kepada mereka?” (Allah berfirman menjawab mereka), “Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepada-Nya)?” (Al-An'am: 53)
Dengan kata lain, bukankah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur kepada-Nya dengan ucapan, perbuatan, dan segenap hati mereka.
Karena itulah Allah memberi mereka taufik dan petunjuk ke jalan keselamatan dan mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju kepada cahaya dengan seizin-Nya, dan Allah memberi mereka petunjuk ke jalan yang lurus. Hal yang sama disebutkan oleh Allah ﷻ dalam ayat yang lain, yaitu:
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Al-'Ankabut: 69)
Di dalam sebuah hadits shahih disebutkan: “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada bentuk kalian, dan tidak (pula) kepada warna kulit kalian, tetapi Allah memandang kepada kalbu dan amal perbuatan kalian.”
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, dari Hajjaj, dari Ibnu Juraij, dari Ikrimah sehubungan dengan firman-Nya:
“Dan peringatkanlah dengannya (Al-Qur'an) orang-orang yang takut dikumpulkan menghadap Tuhannya (pada hari kiamat).” (Al-An'am: 51), hingga akhir ayat.
Bahwa Atabah ibnu Rabi'ah, Syaibah ibnu Rabi'ah, Mut'im ibnu Addi, Al-Haris ibnu Naufal, Qurazah ibnu Abdu Amr ibnu Naufal bersama sejumlah orang dari Bani Abdu Manaf, dari kalangan orang-orang kafir mereka. Semuanya datang kepada Abu Thalib, lalu mereka berkata, "Wahai Abu Thalib, mengapa anak saudaramu yaitu Muhammad tidak mengusir semua budak kita dan teman-teman sepakta kita, karena sesungguhnya mereka semua hanyalah bekas budak-budak dan pelayan-pelayan kita.
Apabila dia mau mengusir mereka, maka hal itu sangat kami hargai, dan kami menghormatinya di kalangan kami. Lebih mendekati untuk diikuti oleh kami, dan kami akan percaya kepadanya karena itu. Maka Abu Thalib datang kepada Nabi ﷺ dan membicarakan hal tersebut kepadanya. Umar ibnul Khattab berkata memberikan sarannya, "Jangan dahulu engkau melakukan hal itu sebelum engkau memahami benar apa yang mereka kehendaki dan apa yang mereka maksudkan dari ucapan (permintaan) mereka itu."
Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya:
“Dan peringatkanlah dengannya (Al-Qur'an) orang-orang yang takut dikumpulkan menghadap Tuhannya (pada hari kiamat).” (Al-An'am: 51) Sampai dengan firman-Nya:
“Tidakkah Allah lebih mengetahui tentang orang-orang yang bersyukur (kepada-Nya).” (Al-An'am: 53)
Yang dimaksudkan oleh pemuka-pemuka Bani Abdu Manaf itu adalah Bilal, Ammar ibnu Yasir, Salim maula Abu Huzaifah, Sabih maula Usaid. Dan yang dimaksud dengan teman sepakta mereka adalah Ibnu Mas'ud, Al-Miqdad ibnu Amr, Mas'ud, Ibnul Qari, Waqid ibnu Abdullah Al-Hanzali, Amr ibnu Abdu Amr, Zusy Syimalain, Marsad ibnu Abu Marsad, dan Abu Marsad Al-Ganawi teman sepakta Hamzah ibnu Abdul Muttalib serta teman-teman sepakta lainnya.
Ayat berikut diturunkan berkenaan dengan para pemimpin kafir dari kalangan Quraisy dan para mawali serta para khulafa (teman-teman sepakta), yaitu firman-Nya:
“Dan demikianlah telah Kami uji sebagian mereka (orang-orang yang kaya) dengan sebagian mereka (orang-orang miskin); supaya (orang-orang yang kaya itu) berkata, ‘Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah oleh Allah kepada mereka’?” (Al-An'am: 53), hingga akhir ayat.
Ketika ayat ini diturunkan, Umar bangkit dan datang kepada Nabi ﷺ, lalu ia meminta maaf kepada Nabi ﷺ atas ucapan yang telah dikeluarkannya.
Ayat 54
Adapun firman Allah ﷻ: “Apabila orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami itu datang kepada kalian, maka katakanlah, ‘Salamun 'alaikum’.” (Al-An'am: 54)
Artinya, hormatilah mereka dengan menjawab salam mereka, dan sampaikan berita gembira kepada mereka bahwa rahmat Allah yang luas mencakup mereka semua. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:
“Tuhan kalian telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang.” (Al-An'am: 54)
Yakni Dia telah mewajibkan rahmat atas diri-Nya Yang Mahamulia sebagai karunia dari-Nya, kebaikan, dan anugerah-Nya buat mereka.
“Yaitu bahwa barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kalian lantaran kejahilan.” (Al-An'am: 54)
Sebagian ulama Salaf mengatakan, semua orang yang durhaka kepada Allah adalah orang yang jahil. Mu'tamir ibnu Sulaiman telah meriwayatkan dari Al-Hakam ibnu Aban ibnu Ikrimah sehubungan dengan firman-Nya:
“Barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kalian lantaran kejahilan.” (Al-An'am: 54)
Bahwa dunia seluruhnya merupakan kejahilan. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
“Kemudian ia bertobat setelah mengerjakannya dan memperbaiki diri.” (Al-An'am: 54)
Yakni kembali kepada jalan yang benar dari kebiasaan maksiatnya dan insaf serta bertekad tidak akan mengulanginya lagi, serta memperbaiki amal perbuatannya di masa mendatang.
“Maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-An'am: 54)
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Hammam ibnu Munabbih yang mengatakan bahwa berikut ini adalah apa yang telah diceritakan oleh Abu Hurairah kepada kami, yaitu bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Setelah Allah melakukan peradilan terhadap makhluk-(Nya), maka Dia menetapkan pada kitab-Nya yang ada di sisi-Nya di atas 'Arasy, bahwa sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan murka-Ku.”
Hadits ini diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab Shahihain. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Al-A'masy, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah. Musa ibnu Uqbah meriwayatkannya dari Al-A'raj, dari Abu Hurairah. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Al-Al-Laits dan lain-lainnya, dari Muhammad ibnu Ajian, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ dengan lafal yang sama.
Ibnu Murdawaih telah meriwayatkan melalui jalur Al-Hakam ibnu Aban, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Apabila Allah telah menyelesaikan peradilan-Nya di antara makhluk semuanya, maka Dia mengeluarkan suatu kitab dari bawah 'Arasy (yang tercantum padanya), ‘Sesungguhnya rahmat-Ku mendahului murka-Ku, dan Aku adalah Yang Maha Pelimpah Rahmat’.” Lalu Allah menggenggam sekali atau dua kali genggaman dan mengeluarkan dari neraka sejumlah banyak makhluk yang tidak pernah melakukan suatu kebaikan pun, di antara kedua mata mereka (yakni pada kening mereka) tertuliskan, "Orang-orang yang dimerdekakan oleh Allah (dari neraka)."
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari ‘Ashim ibnu Sulaiman, dari Abu Usman An-Nahdi, dari Salman sehubungan dengan firman-Nya:
“Tuhan kalian telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang.” (Al-An'am: 54)
Bahwa sesungguhnya di dalam kitab Taurat Kami menjumpai dua jenis kasih sayang, yaitu Allah ﷻ menciptakan langit dan bumi, menciptakan seratus rahmat, atau Dia menjadikan seratus rahmat sebelum menciptakan makhluk. Kemudian Allah menciptakan makhluk dan meletakkan sebuah rahmat di antara mereka, sedangkan yang sembilan puluh sembilan rahmat Dia pegang di sisi-Nya.
Salman melanjutkan kisahnya, "Dengan satu rahmat itulah para makhluk berkasih sayang, saling mengasihi, saling memberi, dan saling menolong. Dengan satu rahmat itulah unta betina mengasihi anaknya, sapi betina mengasihi anaknya, kambing betina mengasihi anaknya, dan ikan-ikan di laut saling beriringan. Maka apabila datang hari kiamat, Allah mengumpulkan rahmat itu dengan rahmat yang ada di sisi-Nya, dan rahmat-Nya jauh lebih utama dan lebih luas.” Hal ini telah diriwayatkan pula secara marfu melalui jalur lain.
Dalam pembahasan berikutnya akan disebutkan hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah ini, yaitu pada tafsir firman-Nya:
“Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.” (Al-A'raf: 156)
Di antara hadits-hadits yang berkaitan dengan ayat ini ialah sabda Nabi ﷺ kepada sahabat Mu'az ibnu Jabal: "Tahukah kamu, apakah hak Allah yang dibebankan atas hamba-hamba-Nya?” Yaitu hendaknya mereka menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.
Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda pula: “Tahukah kamu, apakah hak hamba-hamba Allah kepada Allah apabila mereka melakukan hal tersebut?” Yaitu hendaknya Dia tidak mengazab mereka. Imam Ahmad telah meriwayatkannya melalui jalur Kumail ibnu Ziyad, dari Abu Hurairah.
Ayat ini menguatkan bahwa rasul hanyalah menyampaikan apa yang berasal dari Allah. Katakanlah, wahai Nabi Muhammad, Aku tidak mengatakan kepadamu, hai orang-orang kafir, bahwa perbendaharaan Allah, yaitu aneka kekayaan dan kemewahan yang sering kalian jadikan ukuran kemuliaan hidup, ada padaku, dan aku tidak mengetahui yang gaib tanpa bantuan dari Allah , dan aku tidak pula mengatakan kepadamu bahwa aku malaikat yang tidak makan, tidak minum, dan tidak memiliki kebutuhan biologis. Aku hanyalah manusia seperti kamu. Yang membedakan kita adalah bahwa aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku, di antaranya berupa Al-Qur'an. Para pendurhaka menolak ajaran Allah, maka Nabi Muhammad diperintahkan untuk mengajukan pertanyaan yang mengandung kecaman. Katakanlah, wahai Muhammad, Apakah sama orang yang buta, terutama buta mata hatinya, dengan orang yang melihat' Orang yang normal pasti akan menjawab berbeda. Maka, apakah kamu tidak pernah memikirkan-nya' Setelah pada ayat sebelumnya Allah mengecam orang-orang yang enggan menggunakan akal pikirannya secara benar, kini pembicaraan beralih kepada kelompok orang yang berpikir positif agar disampaikan pesan Allah. Peringatkanlah, wahai Nabi Muhammad, dengannya, yakni dengan Al-Qur'an itu, kepada orang yang takut akan dikumpulkan menghadap Tuhannya untuk mempertanggungjawabkan amal perbuatannya pada hari kiamat, dan mereka menyadari bahwa pada hari itu tidak ada bagi mereka pelindung dari segala yang mereka takuti dan tidak juga ada pemberi syafaat atau pertolongan selain dari Allah. Yang demikian itu agar mereka selalu bertakwa.
Para rasul yang diutus adalah manusia biasa, mereka bertugas menyampaikan agama Allah kepada umat mereka masing-masing. Berlainan dengan Nabi Muhammad, beliau bertugas menyampaikan agama Allah kepada seluruh umat manusia. Mereka memberi kabar gembira kepada orang-orang yang mengikuti seruannya dengan balasan pahala yang berlipat ganda dari Allah, memberi peringatan dan ancaman kepada orang yang mengingkari risalah dengan balasan azab yang besar.
Para rasul itu bukanlah seperti para rasul yang diinginkan oleh orang-orang kafir, yaitu orang-orang yang dapat melakukan keajaiban, mempunyai kemampuan di luar kemampuan manusia biasa, seperti mempunyai ilmu yang melebihi ilmu manusia, ia bukan manusia, tetapi seperti malaikat, atau mempunyai kekuasaan seperti kekuasaan Allah dan sebagainya.
Dalam ayat ini Allah memerintahkan agar Nabi Muhammad menerangkan kepada orang-orang musyrik itu bahwa dia adalah Rasul yang diutus Allah, ia adalah manusia biasa, padanya tidak ada perbendaharaan Allah, ia tidak mengetahui yang gaib dan ia bukan pula malaikat.
Yang dimaksud dengan "perbendaharaan" ialah suatu tempat menyimpan barang-barang, terutama barang-barang berharga milik sendiri atau orang lain yang dititipkan kepada orang yang memegang perbendaharaan itu.
Orang-orang kafir beranggapan bahwa Nabi Muhammad, jika ia benar-benar seorang Rasul Allah tentu ia adalah bendahara Allah. Oleh karena itu, mereka meminta agar Nabi Muhammad memberi dan membagi-bagikan kepada mereka barang-barang yang berharga yang disimpan dalam perbendaharaan serta memanfaatkannya.
Anggapan orang-orang kafir itu adalah anggapan yang sangat jauh dari kebenaran, karena Allah-lah pemilik seluruh alam ini, sebagaimana firman Allah swt:
Milik Allah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. (al-Ma'idah/5: 120)
Dalam mengurus dan mengatur milik-Nya itu Allah tidak memerlukan sesuatu pun, sebagaimana firman Allah swt:
Dan Dia tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Dia Mahatinggi, Mahabesar. (al-Baqarah/2: 255)
Allah menegaskan bahwa Dia-lah yang memiliki perbendaharaan langit dan bumi, firman-Nya:
Padahal milik Allah-lah perbendaharaan langit dan bumi, tetapi orang-orang munafik itu tidak memahami. (al-Munafiqun/63: 7)
Tugas Rasul hanyalah menyampaikan agama Allah kepada manusia sesuai dengan kesanggupannya sebagai seorang manusia. Ia tidak dapat melakukan sesuatu yang tidak sanggup manusia melakukannya, kecuali jika Allah menghendakinya. Karena itu, ia tidak akan dapat memberi rezeki kepada pengikut-pengikutnya yang miskin, tidak dapat memenangkan pengikut-pengikutnya dalam peperangan semata-mata karena kekuasaannya, ia tidak sanggup mengetahui apakah seseorang telah benar-benar beriman kepadanya setelah dibimbingnya atau menjadikan seseorang itu tetap di dalam kekafiran.
Allah ﷻ berfirman:
Bukanlah kewajibanmu (Muhammad) menjadikan mereka mendapat petunjuk, tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki? (al-Baqarah/2: 272)
Firman Allah swt:
Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (al-Qasas/28: 56)
Nabi ﷺ memang dapat memberikan petunjuk, tetapi petunjuk dalam pengertian irsyad dan bayan (bimbingan dan penjelasan), bukan petunjuk dalam pengertian taufik. Allah ﷻ berfirman:
Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus. (asy-Syura/42: 52)
Karena itu jika orang-orang kafir meminta kepada Muhammad ﷺ sesuatu yang aneh, seperti mengalirkan sungai-sungai di padang pasir tanah Arab dan adanya kebun-kebun yang indah di sana, menjatuhkan langit bergumpal-gumpal untuk mengazab mereka, diperlihatkan Allah malaikat kepada mereka, tentu saja Muhammad tidak akan sanggup memenuhinya bahkan mustahil ia dapat memenuhinya.
Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar menegaskan kepada orang-orang kafir bahwa ia tidak pernah mengatakan, ia mengetahui yang gaib yang tidak diketahui manusia, karena ia tidak diberi kesanggupan untuk mengetahuinya.
Sesuatu yang gaib ada dua macam, yaitu:
a. Gaib mutlak (hakiki) yang tidak diketahui oleh suatu makhluk pun, termasuk malaikat. Hanya Allah sajalah yang mengetahuinya. Inilah gaib yang dimaksud dalam ayat di atas.
Allah ﷻ berfirman:
Katakanlah (Muhammad), "Tidak ada sesuatu pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib, kecuali Allah. Dan mereka tidak mengetahui kapan mereka akan dibangkitkan.." (an-Naml/27: 65)
Jika Allah menghendaki, maka Dia memberi tahu yang gaib macam ini kepada para Rasul-Nya, seperti memberitahu Nabi Musa seseorang dari Bani Israil yang membunuh saudaranya, setelah saudaranya yang terbunuh itu hidup kembali, setelah dipukul dengan bagian dari sapi betina yang telah disembelih. Contoh lain adalah memberitahu Nabi Isa bahwa sesudahnya, Allah akan mengutus seorang rasul dari keturunan Ismail dan sebagainya.
b. Gaib nisbi (relatif), yaitu yang tidak diketahui oleh sebagian makhluk, tetapi diketahui oleh yang lain.
Sebab-sebab sebagian makhluk mengetahuinya, dan sebagian yang lain tidak mengetahuinya, di antaranya adalah karena:
1. Ilmu pengetahuan yang dimiliki. Orang-orang yang berilmu lebih dapat mengetahui hakikat sesuatu sesuai dengan bidang ilmu pengetahuannya dibanding dengan orang yang tidak berilmu.
2. Pengalaman mengerjakan sesuatu pekerjaan, seperti bergeraknya sesuatu menandakan ada tenaga yang menggerakkannya dan sebagainya.
3. Firasat atau suara hati, tentang ada dan tidaknya sesuatu. Firasat atau suara hati ini diperoleh seseorang karena kebersihan jiwanya, atau karena latihan-latihan yang biasa dilakukannya untuk itu. Gaib yang tidak hakiki ini bukanlah termasuk gaib yang disebutkan di atas yang hanya Allah saja yang mengetahuinya.
Sebagian ahli tafsir, menjadikan ayat "wala aqulu lakum inni malak" sebagai alasan untuk menguatkan pendapat mereka yang mengatakan bahwa malaikat itu lebih tinggi tingkatannya dari manusia. Tetapi bila diperhatikan benar-benar, bahwa ayat ini tidak dimaksudkan untuk menerangkan, siapa yang lebih utama antara malaikat dengan manusia. Ayat ini hanya menerangkan, siapa dan bagaimana sebenarnya seorang rasul itu.
Sebagaimana diketahui bahwa menurut kepercayaan orang-orang Arab jahiliah waktu itu, malaikat adalah suatu makhluk Allah yang lebih tinggi tingkatannya dibanding dengan tingkatan manusia. Malaikat mengetahui yang gaib dan yang tidak diketahui manusia. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa malaikat adalah anak Allah. Karena itu mereka berpendapat bahwa nabi dan rasul itu bukanlah dari manusia biasa, setidaknya sama tingkatannya dengan tingkatan malaikat. Mereka minta kepada Nabi Muhammad agar diperlihatkan kepada mereka malaikat itu dan hendaklah Allah mengutus malaikat kepada mereka.
Untuk membantah dan memberi penjelasan kepada orang-orang musyrik. seakan-akan Nabi Muhammad menyuruh mengikuti pendapat mereka terlebih dahulu dengan mengatakan "wala aqulu lakum inni malak" (dan aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa aku adalah malaikat).
Kemudian Allah memerintahkan agar Nabi Muhammad menegaskan kepada orang-orang musyrik itu bahwa yang disampaikannya itu tidak lain hanyalah wahyu dari Allah, bukan sesuatu yang dibuat-buat oleh Nabi.
Nabi Muhammad sejak kecil sudah dikenal sebagai al-Amin, "yang amat tepercaya". Ia diperintahkan Allah untuk menyampaikan apa saja wahyu yang diterimanya. Allah telah menjulukinya sebagai al-balagul mubin (penyampai yang nyata). Tetapi kritikan kepada beliau pun telah disampaikan seperti kasus Abdullah bin Ummi Maktum.
Kemudian Allah menegaskan bahwa tidak sama antara orang yang buta dengan orang yang melihat, orang yang mendapat petunjuk dengan orang yang tidak mendapat petunjuk, tidak sama sifat Allah dengan sifat manusia, demikian pula antara sifat dan tugas malaikat dengan sifat dan tugas Rasul. Hendaklah perhatikan perbedaan-perbedaan yang demikian, agar nyata mana yang benar, mana yang salah, mana yang harus diikuti dan mana yang harus dihindari. Hanya orang-orang yang tidak mau menggunakan akallah yang tidak dapat melihat perbedaan-perbedaan itu.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 50
“Katakanlah, apakah bersamaan yang buta dengan yang nyalang? Apakah kamu tidak berpikir?"
Memang keras pertanyaan ini: aqidah tauhid memang menghendaki mata yang nyalang bukan yang buta dan menghendaki berpikir bukan hanya menurut saja. Oleh sebab itu, Imam Ghazali menegaskan bahwa mungkin di dalam masalah furu' syari'at orang akan dapat taklid kepada yang lebih pandai sebelum dia pandai. Wajib diketahui benar-benar tentang Allah sebagai Tuhan dan sifatnya sebagai pen-cipta (uluhiyah) dan sifatnya sebagai pengatur dan pemelihara (rububiyah). Dan aqidah ini bukan saja sebagai hardikan kepada orang-orang musyrikin yang ditarik ke dalam Islam dengan menyadarkan akalnya, bahkan juga kepada orang Islam sendiri. Perhatikanlah betapa sangat berbahayanya keadaan saat Rasulullah ﷺ wafat. Bahkan Umar bin Khaththab sendiri marah-marah dan mengancam orang yang mengatakan jika beliau telah wafat. Ada yang mengatakan bahwa beliau hanya dipanggil Allah saja selama 40 hari. Setelah itu, beliau akan pulang kembali. Pada saat itulah, Abu Bakar tampil ke muka dengan perkataannya yang terkenal:
“Barangsiapa yang menyembah Muhammad maka Muhammad sesungguhnya telah mati. Tetapi, barangsiapa yang menyembah Allah, sesungguhnya Allah tetap hidup dan tidak mati."
Dan ayat ini pun harus direnungkan oleh setengah kaum sufi yang berpegang pada ajaran al-Hallaj mengatakan bahwa ruh Muhammad itu adalah qadim Itulah dia. Nur Muhammad atau al-HaqiqatulMuhammadiyah yang dari nur itulah terjadi seluruh alam ini! Kembalilah ke pangkal kata dan janganlah kaji dipersulit.
PENDIRIAN YANG TEGAS
Dari ayat ini kita diberi tuntunan oleh Allah, di bawah pimpinan Rasul bahwasanya prinsip atau pendirian agama tidak boleh dikompromikan dan tidak boleh didiploma-sikan. Aqidah tetaplah aqidah. Agama Islam bukanlah agama gelap atau agama yang disebarkan dengan penipuan. Dengan ayat ini. Nabi menjelaskan sejak semula bahwa beliau hanyalah utusan Allah. Adapun Yang Mahakuasa itu adalah Allah. Nabi tidak dapat menjanjikan apa-apa dan dia tidak hendak membujuk orang kafir dengan mempertontonkan yang ganjil-ganjil. Sebab agama ini bukan untuk satu zaman dalam lingkungan tertentu. Bukan sebagai kedatangan Shalih kepada kaum Tsamud atau Isa al-Masih kepada Bani Israil yang bodoh-bodoh. Ilmu pengetahuan manusia tidaklah akan mundur, tetapi akan maju terus.
Kalau dahulu Isa al-Masih dapat membangunkan kembali orang yang disangka telah mati maka pada zaman sekarang jantung orang yang telah nyaris mati, bisa diganti dengan jantung yang tidak terpakai lagi.
Tentang mukjizat Nabi Musa bahwa beliau dapat membelah laut dengan tongkatnya sampai Bani Israil dapat menyeberang, pada zaman modern ini sudah ada orang yang dapat membantahnya dengan mengemukakan bahwa boleh jadi waktu itu air pasang terlalu surut sehinggassaat itu lautan di sana kering buat sementara. Oleh sebab itu, dapatlah dipahami bawa pada zaman moden ini apa maksud ayat 50 ini. jelaslah olehmu, ya Rasul-Ku bahwa engkau ini adalah manusia. Sesudah itu, teruskan menyampaikan wahyu Ilahi bahwa Allah itu Maha Esa, Mahakuasa dan Pencipta, Pengatur dari alam ini, tidak beranak dan tidak diperanakkan bukan bertubuh sebagai manusia. Suruh orang menuntut, menyelidiki, mengadakan riset dan studi terhadap alam ini, pada saat itu manusia akan sampai dan akan beriman kepada Allah sebagaimana yang engkau jelaskan menurut tuntunan Allah dalam Al-Qur'an itu.
Sudah empat belas abad Rasulullah saw, wafat inilah mukjizat beliau. Mukjizat yang terus bertemu tiap hari, walaupun telah 14 abad dia wafat. Yaitu ahli-ahli sarjana ilmu pengetahuan, yang pada abad ke-18 Masehi disambung dengan abad ke-19, memungkiri adanya Allah. Bukan Tuhan yang diajarkan gereja, Tuhan yang jadi anak dan jadi bapak, Tuhan yang lapar makan dan haus minum dan kalau terasa apa-apa terus lari masuk kakus. Namun, mereka percaya kepada Allah, kian lama kian mendekati kepada Allah yang diterangkan sifat dan kekuasaan-Nya di dalam Al-Qur'an, oleh seorang nabi dan rasul, seorang yang selalu mengakui dirinya manusia, yaitu Muhammad ﷺ.
Bertambah simpati dan iman kita kepada Muhammad yang mukjizatnya terus timbul setiap masa, setiap hari, selama para sarjana masih menyelidiki ilmu dan universitas masih mengadakan riset. Dengan tidak perlu menganut paham setengah kaum sufi yang dipelopori oleh al-Hallaj bahwa Muhammad itu adalah Nur Muhammad atau Al-Haqiqatul Muhammadiyah, yaitu Allah sendiri yang menjelaskan diri (Ibraaz) menjadi Nur lalu menjadi Nurul Anwar lalu dari limpahan Nur itulah terjadi alam ini.
Muhammad ﷺ telah disuruh Allah dalam wahyu ayat ini, menjelaskan kepada kita bahwa dia bukan malak, bukan malaikat dan bukan nur, nurul anwar, atau nur Muhammad, tetapi dia adalah manusia. Dia adalah manusia yang menerima wahyu dan menyampaikannya kepada seluruh manusia.
Bahagialah orang yang garis aqidahnya tidak menyeleweng dari bunyi ayat dan tersesatlah orang yang mencari tafsiran lain yang mempersulit dirinya sendiri.
Ayat 51
“Dan ancamkanlah dengan dia (Al-Qur'an) kepada orang-orang yang takut bahwa mereka akan dikumpulkan kepada Tuhan mereka."
Setelah dalam beberapa ayat diturunkan untuk memberi kesadaran kepada musyrikin Mekah maka dengan ayat ini dibolehkan sebentar peringatan kepada orang Mukmin sendiri yang di tengah-tengah kekufuran kaum mereka, mereka sendiri bertambah insaf dan mengerti, bertambah tunduk dan patuh. Sebab, jika iman orang telah tumbuh, peringatan ancaman pun akan menambah takut mereka kepada Allah dan jiwa mereka pun senang menerima ancaman itu sehingga bertambah mendalam."Tidak ada bagi mereka selain daripada-Nya pelindung dan tidak pula yang akan menolong melepaskan." Jika telah berkumpul kelak di hadapan hadirat Ilahi, semua orang akan langsung bertanggung jawab di hadapan Allah, jikalau ada kesalahan dan dosa, seorang pelindung pun tidak akan berupaya untuk melindungi.
Semuanya sama kedudukannya di hadapan Allah. Seumpama “pelarian politik" di satu ne-geri mencari perlindungan ke negeri lain sehingga tidak sampai kekuasaan negeri yang telah ditinggalkannya itu buat menangkapnya. Niscaya mustahil akan kejadian demikian dengan kekuasaan Allah yang meliputi seluruh alam.
Dan tidak pula ada yang bisa menolong melepaskan atau memberikan syafaat. Tidak ada seorang malaikat dan tidak pula seorang rasul pun yang dapat memberikan syafaat ketika itu yang dapat memohonkan kepada Allah supaya adzab orang ini diringankan. Syafi' atau pemberi syafaat tentu berbeda dengan pelindung (wali). Karena, wali diharapkan akan melindungi sehingga si bersalah tidak dapat dituntut. Adapun si syafi' atau yang diharap menolong melepaskan ialah yang memintakan keringanan atau dimaafkan saja. Artinya, mereka itu pun mengakui bahwa orang ini bersalah, tetapi mengharaplah dia akan belas kasihan Allah, hukum yang berat agar diringankan, hukum yang ringan akan dibebaskan. Syafi' begini pun tidak akan ada. Memang ada juga disebut, misalnya di dalam ayat Kursi (al-Baqarah: 255) bahwa tidak ada syafi' kecuali bagi yang diberi izin Allah. Apa artinya ini? Ialah bahwa Allah ada memberikan izin kepada rasul, terutama kepada Nabi Muhammad ﷺ buat memohonkan ampunan untuk yang bersalah dan tersebut pula dalam surah al-Mu'min ayat 7 bahwa malaikat pemikul Arsy yang bertasbih memuji Allah, selalu pula memohonkan ampun untuk orang-orang yang beriman dan memohonkan agar mereka dimasukkan ke dalam surga bersama ayah-ayah mereka dan istri-istri mereka dan anak keturunan mereka. Dengan demikian, para rasul dan malaikat itu telah diberi izin oleh Allah memohonkan ampun dan syafaat. Namun perhatikanlah, apakah karena diberi izin oleh Allah Ta'aala, mereka lalu berkuasa melepaskan diri mereka dari adzab? Tidak, sekali-kali tidak. Mereka hanya diberi izin Allah memohonkan ampun untuk mereka. Keputusan terakhir tetap pada Allah. Oleh karena itu, ditutuplah ayat ini dengan firman Allah,
“Mudah-mudahan mereka menjadi orang-orang yang bertakwa."
Dengan peringatan dan ancaman ini, yang khusus diberikan kepada orang yang telah beriman sendiri, yang telah ada rasa takut dalam hatinya kepada Allah bahwa jika dikumpulkan kelak pada hari Kiamat, tidak ada orang yang dapat melindungi dan tidak ada pula penolong yang akan melepaskan dari hukuman, melainkan tetap keputusan hukum pada Allah, mudah-mudahan akan bertambah imanlah orang yang beriman dan bertambahlah mereka bertakwa, berbakti, dan selalu memelihara hubungan jiwanya dengan Allah.
Ayat 52
“Dan janganlah engkau usil orang-orang yang menye'iu Tuhan meteka pada pagi had dan petang yang menginginkan wajah Tuhannya."
Hebat juga sebab turun ayat ini. Menurut riwayat Ibnu Jarir, Imam Ahmad (kita salin secara bebas).
Pada suatu hari, Rasulullah ﷺ sedang berkumpul memberikan pelajaran kepada beberapa orang sahabatnya, di antaranya ialah Shuhaib, ‘Ammar, Khabbab, dan beberapa Muslimin lain yang dipandang masyarakat Quraisy sebagai orang-orang yang lemah. Istilah sekarangnya ialah rakyat jelata. Shuhaib itu orang Romawi, tidak punya keluarga di Mekah, Ammar, dan Khabbab golongan miskin, bukan dari suku terkemuka. Orang-orang seperti itulah yang terlebih dahulu beriman kepada Rasulullah ﷺ Ketika beliau berkumpul dengan mereka, tiba-tiba datanglah beberapa orang terkemuka dan disegani orang dari kalangan Quraisy. Menurut riwayat lain dari Ibnu )arir dan Ibnul Mundzir dari Ikrimah, orang-orang itu di antaranya ialah ‘Utbah bin Rabi'ah, Syaibah bin Rabi'ah, Qarzah bin Ainr bin Naufal, dan al-Harits bin Amr bin Naufal. Melihat orang-orang yang mengelilingi Nabi itu, mereka berkata, “Ya Muhammad, apakah orang-orang yang semacam ini yang lebih engkau pentingkan daripada kaummu sendiri? Apakah orang-orang semacam kami akan menjadi pengikut dari orang-orang semacam ini? Usirlah orang-orang ini dari sekitar engkau supaya kalau mereka telah engkau usir, kami mau mengikut engkau!" Dalam ri-wayat yang satu lagi, mereka datang kepada Abu Thalib supaya hal itu disampaikan kepada Muhammad. Mereka berkata, “Kalau anak saudaramu itu telah mengusir orang-orang itu, yaitu budak-budak dan kaki-tangan kami, tukang-tukang angkat barang-barang kami (kuli-kuli kami) niscaya mungkin kami mau mengikutinya." Konon, Umar bin Khaththab pun nyaris tertarik dengan ajakan itu. Pada waktu itulah turun ayat ini, “Jangan engkau usir orang-orang yang telah menyeru Tuhan mereka pada pagi hari dan petang yang menginginkan wajah Tuhannya." Orang-orang yang telah mengerjakan perintah Allah karena iman yang telah shalat pada waktu Shubuh sampai di waktu Isya. Karena segala pengajaran engkau itu telah masuk ke dalam hati mereka. Dan segala ibadah yang mereka kerjakan itu tidak lain ialah karena mereka mengharapkan wajah Allah, artinya ridha Allah! “Tidaklah kewajiban engkau atas sesuatu dari perhitungan mereka dan tidak (pula) kewajiban mereka atas sesuatu dari perhitungan engkau."
Artinya, bahwasanya segala ajaran yang engkau sampaikan kepada mereka, mereka terima. Mereka telah beribadah dan bertanggung jawab langsung kepada Allah sehingga dalam hal beribadah, tidaklah mereka memperhitungkan dosa dan pahala, sah atau tidak sah berhadapan dengan engkau, melainkan di antara mereka dengan Tuhan mereka sendiri. Bahkan engkau pun, wahai utusan-Ku, di samping engkau disuruh menyampaikan kepada mereka, engkau pun mempunyai kewajiban pula beribadah kepada Allah. Kalau mereka diperintah shalat, engkau pun diperintah sha-lat. Apabila mereka diperintahkan berpuasa, engkau pun diperintah demikian. Amalanmu sendiri adalah hubunganmu langsung dengan Allah. Tidak ada persangkut-pautan amalanmu dengan pertanggungjawaban mereka. Dengan demikian, ayat ini menegaskan, di hadapan perintah Allah, sama ratalah berkewajiban semuanya, baik nabi maupun umatnya. Malahan ada perintah untuk Nabi ﷺ lebih berat, yaitu shalat malam. Kepada umat hanyalah disunnahkan (dianjurkan), padahal kepada beliau diwajibkan. Malahan sampai kepada rumah tangga beliau sendiri. Sebagaimana tersebut dalam surah al-Ahzaab, kalau ada istri-istrinya bersalah, adzab buat mereka berlipat dua kali daripada adzab kepada orang kebanyakan, (ayat 30).
Ayat ini betul-betul menonjok hidung orang-orang kafir musyrik yang sombong itu. Mereka meminta supaya sahabat-sahabat tersebut diusir raja, sebab mereka dipandang orang-orang rendah. Kalau sudah diusir, baru mereka mau mendekat. Namun, ayat Allah telah menaikkan kedudukan para orang yang mereka suruh usir itu bahwa mereka beribadah di hadapan Allah sama juga dengan Rasul beribadah. Mereka tidak bertanggung jawab atas amalan Rasul dan Rasul tidak pula bertanggung jawab atas amalan mereka. Dan setelah itu, di ujung ayat ditegaskan kepada Rasul ﷺ,
“Maka bila engkau usil mereka, jadilah engkau dari orang-orang yang zalim."
Niscaya zalimlah Rasulullah ﷺ kalau orang-orang itu beliau usir, padahal mereka telah tekun ibadah kepada Allah, khusyu, dan tadharru. Apalagi kalau hanya memperturutkan kehendak orang-orang yang sombong itu. Alangkah buruknya kalau orang-orang yang telah nyata beriman dan sudi berkurban untuk iman mereka, lalu diusir karena hendak memberikan tempat kepada orang-orang yang sombong karena mereka merasa lebih tinggi. Padahal kesombongan mereka itu saja pun sudah menjadi diridirig untuk masuknya kebenaran ke dalam hati mereka. Apabila orang-orang yang seperti ini sekali telah ber-lantas angan maka untuk selanjutnya mereka akan tetap demikian. Zalimlah Rasul kalau orang-orang itu diusir, padahal mereka sudah pasti hanya karena mengharapkan yang belum tentu, seperti pantun Melayu berikut:
Anak orang Sikiing Tinggi',
Di Bubut capa dihempaskan.
Harapkan burung terbang tinggi,
Punai di tangan dilepaskan.
Atau “harapkan guntur di langit, air di tempayan dituangkan." Belum tentu guntur itu akan menjadi hujan, padahal air persediaan sudah terlebih dahulu tertuang. Ini adalah zalim kepada orang yang diusir dan zalim kepada diri sendiri.
Dan ayat ini pun memberikan pengajaran pula kepada kita bahwa bukanlah Nabi kita yang menentukan iman seseorang, melainkan Allah. Dan kita mendapat pengajaran pula bahwa Shuhaib dan Ammar dan kawan-kawannya dari kalangan orang yang dipandang tingkat bawah dalam masyarakat, itulah dia pengikut yang setia. Adapun orang-orang yang disebut “cabang atas" masuk mereka hanya karena mencari keuntungan diri sendiri. Kecuali orang-orang siperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Sa'ad bin Abu Waqqash, dan lain-lain, yang dengan masuknya mereka ke dalam lingkungan iman, setelah lebih dahulu mereka tanggalkan pengaruh perasaan cabang atas itu. Dan oleh Rasulullah ﷺ mereka itu, sejak dari Abu Bakar dan Umar, sampai kepada Shuhaib dan Bilal, semua dibahasakan sama, yaitu: ash-habi, semua sahabatku!
Dan ayat ini pun menunjukkan bahwa dalam Islam tidak ada penguasa agama tertinggi.
Yang tinggi ialah siapa yang lebih takwa. Dan takwa adalah dalam dada dan dalam bukti amal.
Ayat 53
“Dan demikianlah telah Kami uji sebagian dari mereka dengan yang sebagian."
Artinya, sebagaimana yang telah kita ketahui pada sebab turun ayat tadi, telah berjalanlah ujian Allah di antara mereka, di antara yang sebagian dengan yang sebagian. Yaitu sebagian musyrik yang sombong karena mereka, kaya, terpandang, dan terkemuka lalu merasa diri tinggi padahal kufur. Dengan yang sebagian lagi, yaitu orang-orang yang dipandang rendah dan hina karena mereka miskin, bekas budak-budak dari orang-orang kaya tadi, bekas tukang angkut barang mereka, tetapi mereka telah beriman kepada Allah dan tekun beribadah kepada Allah."Sehingga mereka pun berkata", yaitu orang-orang yang merasa dirinya tinggi tadi yang merasa mereka lebih penting, dan lebih berpengaruh sehingga Muhammad hendaknya memerhatikan mereka kalau agamanya mau maju. Mereka berkata, “Apakah orang-orang ini yang diberi karunia Allah atas mereka di antara kita?" Apakah orang-orang semacam si Shuhaib, si Ammar, si Khabbab, si Bilal, si Salim Maula Abu Huzaifah Maula Usaid? Atau Abdullah bin Mas'ud, si Miqdad bin Amr, si Waqid bin Abdullah, atau yang lain-lain yang tidak ada harganya dalam masyarakat dan bukan keseganan orang? Orang-orang yang beginikah yang lebih dihargai daripada kita? Orang-orang beginikah yang akan mengalahkan kita? Untuk menjawab pertanyaan yang sombong itu, datanglah ujung ayat,
“Bukankah Allah itu lebih tahu akan orang-orang yang bersyukur?"
(ujung ayat 53)