Ayat
Terjemahan Per Kata
وَيَوۡمَ
dan pada hari
نَحۡشُرُهُمۡ
Kami menghimpun mereka
جَمِيعٗا
semua
ثُمَّ
kemudian
نَقُولُ
Kami berkata
لِلَّذِينَ
kepada orang-orang yang
أَشۡرَكُوٓاْ
(mereka)musyrik
أَيۡنَ
dimana
شُرَكَآؤُكُمُ
sekutu-sekutu/sesembahan kamu
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
كُنتُمۡ
kalian adalah
تَزۡعُمُونَ
kamu katakan/mengakui
وَيَوۡمَ
dan pada hari
نَحۡشُرُهُمۡ
Kami menghimpun mereka
جَمِيعٗا
semua
ثُمَّ
kemudian
نَقُولُ
Kami berkata
لِلَّذِينَ
kepada orang-orang yang
أَشۡرَكُوٓاْ
(mereka)musyrik
أَيۡنَ
dimana
شُرَكَآؤُكُمُ
sekutu-sekutu/sesembahan kamu
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
كُنتُمۡ
kalian adalah
تَزۡعُمُونَ
kamu katakan/mengakui
Terjemahan
(Ingatlah) tatkala Kami kumpulkan mereka semua kemudian Kami berfirman kepada orang-orang yang mempersekutukan Kami, “Manakah sekutu-sekutumu yang kamu sangkakan?”
Tafsir
(Dan) ingatlah (hari yang di waktu itu Kami menghimpun mereka semuanya, kemudian Kami berkata kepada orang-orang musyrik) sebagai celaan ("Di manakah sesembahan-sesembahan yang kamu katakan dahulu?") yang kalian jadikan sebagai sekutu-sekutu Allah.
Tafsir Surat Al-An'am : 22-26
Dan (ingatlah) pada hari ketika Kami mengumpulkan mereka semua kemudian Kami berfirman kepada orang-orang yang menyekutukan Allah, "Dimanakah sembahan-sembahanmu yang dahulu kamu katakan (sebagai sekutu-sekutu Kami)?"
Kemudian tiadalah (jawaban) kebohongan mereka, kecuali mengatakan, "Demi Allah, Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah."
Lihatlah, bagaimana mereka telah berdusta terhadap diri mereka sendiri dan hilanglah dari mereka sembahan-sembahan yang dahulu mereka ada-adakan.
Dan di antara mereka ada yang mendengarkan bacaanmu (Muhammad), dan Kami telah menjadikan hati mereka tertutup (sehingga mereka tidak) memahaminya, dan telinganya tersumbat. Dan jika pun mereka melihat segala tanda (kebenaran), mereka tetap tidak mau beriman kepadanya. Sehingga apabila mereka datang kepadamu untuk membantahmu, orang-orang kafir itu berkata, "Al-Qur'an ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu."
Dan mereka melarang (orang lain) mendengarkan Al-Qur'an, dan mereka sendiri menjauhkan diri darinya. Dan mereka hanyalah membinasakan diri mereka sendiri, sedangkan mereka tetap tidak menyadari.
Ayat 22
Allah ﷻ berfirman menceritakan keadaan orang-orang musyrik: “Dan (ingatlah) di hari yang di waktu itu Kami mengumpulkan mereka semuanya.” (Al-An'am: 22)
Yakni pada hari kiamat nanti.
Lalu Allah menanyai mereka tentang berhala-berhala dan tandingan-tandingan yang mereka sembah-sembah itu selain Allah, seraya berfirman:
“Di manakah sembahan-sembahan kalian yang dahulu kalian katakan (sekutu-sekutu Kami)?” (Al-An'am: 22)
Ayat ini sama dengan ayat lain yang terdapat dalam surat Al Qasas:
“Dan (ingatlah) hari (di waktu) Allah menyeru mereka, seraya berkata, ‘Di manakah sekutu-sekutu-Ku yang dahulu kalian katakan’?” (Al-Qashash: 62)
Ayat 23
Firman Allah ﷻ : “Kemudian tiadalah fitnah mereka.” (Al-An'am: 23)
Yakni alasan mereka.
“Kecuali mengatakan, ‘Demi Allah, Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah’.” (Al-An'am: 23)
Adh-Dhahhak telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Kemudian tiadalah fitnah mereka.” (Al-An'am: 23)
Yakni hujjah mereka.
Dan menurut ‘Atha’ Al-Khurasani, dari Ibnu Abbas disebutkan alasan mereka. Hal yang sama dikatakan oleh Qatadah. Menurut Ibnu Juraij, dari Ibnu Abbas, disebutkan jawaban mereka. Hal yang sama telah dikatakan pula oleh Adh-Dhahhak. ‘Atha’ Al-Khurasani mengatakan sehubungan dengan firman-Nya:
“Kecuali mengatakan, ‘Demi Allah, Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah’.” (Al-An'am: 23)
Ibnu Jarir mengatakan, pendapat yang benar ialah yang mengatakan bahwa tiadalah jawaban mereka ketika Kami menguji mereka, yakni alasan yang mereka kemukakan tentang kemusyrikan yang pernah mereka lakukan itu.
“Kemudian tiadalah fitnah mereka.” (Al-An'am: 23)
Yakni cobaan mereka ketika mereka diuji.
“Kecuali mengatakan, ‘Demi Allah, Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah’.” (Al-An'am: 23)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Said Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Yahya Ar-Razi dari Amr ibnu Abu Qais, dari Mutarrif, dari Al-Minhal, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa ia pernah kedatangan seorang lelaki yang langsung bertanya kepadanya mengenai makna firman-Nya:
“Demi Allah, Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah.” (Al-An'am: 23)
Ibnu Abbas menjawab, adapun mengenai firman-Nya:
“Demi Allah, Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah.” (Al-An'am: 23)
Yaitu sesungguhnya mereka ketika melihat bahwa tidak akan masuk surga kecuali orang-orang yang menjalankan shalat, maka mereka mengatakan, "Marilah kita ingkari." Namun ketika mereka hendak mengingkarinya, maka Allah mengunci mulut mereka sehingga tidak dapat berbicara, dan tangan serta kaki merekalah yang bersaksi. Mereka tidak dapat menyembunyikan suatu peristiwa pun dari Allah. Maka apakah di dalam kalbumu sekarang masih terdapat sesuatu (keraguan)? Sesungguhnya tiada sesuatu pun dari Al-Qur'an yang tidak diturunkan suatu keterangan mengenainya, tetapi kalian tidak mengerti takwil (tafsir) nya.
Adh-Dhahhak telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini berkenaan dengan orang-orang munafik. Tetapi pendapat ini masih perlu dipertimbangkan lagi, mengingat ayat ini Makkiyyah, sedangkan orang-orang munafik baru ada dalam periode Madaniyyah, dan ayat yang diturunkan berkenaan dengan orang-orang munafik adalah dalam surat Al-Mujadilah, yaitu firman-Nya: “(Ingatlah) hari (ketika) mereka dibangkitkan Allah semuanya, lalu mereka bersumpah kepada-Nya (bahwa mereka bukan orang musyrik).” (Al-Mujadilah: 18), hingga akhir ayat.
Ayat 24
Di dalam surat ini disebutkan pula hal yang berkenaan dengan mereka melalui firman-Nya:
“Lihatlah bagaimana mereka telah berbohong terhadap diri mereka sendiri dan hilanglah dari mereka sembahan-sembahan yang dahulu mereka ada-adakan.” (Al-An'am: 24)
Ayat ini semakna dengan apa yang terdapat di dalam firman-Nya:
“Kemudian dikatakan kepada mereka, ‘Manakah berhala-berhala yang selalu kalian persekutukan (yang kalian sembah) selain Allah?’ Mereka menjawab, ‘Mereka telah hilang lenyap dari kami’.” (Al-Mumin: 73-74), hingga akhir ayat.
Ayat 25
Firman Allah ﷻ : “Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan (bacaan) mu, padahal Kami telah menjadikan hati mereka tertutup (sehingga mereka tidak) memahaminya, dan telinganya tersumbat. Dan jika pun mereka melihat segala tanda (kebenaran), mereka tetap tidak mau beriman kepadanya.” (Al-An'am: 25)
Yakni mereka berdatangan untuk mendengarkan bacaanmu, tetapi hal itu tidak ada manfaatnya barang sedikit pun bagi mereka, karena Allah ﷻ telah meletakkan tutupan di atas hati mereka hingga mereka tidak dapat memahami Al-Qur'an. Dan Allah meletakkan sumbatan pada telinga mereka sehingga mereka tidak dapat mendengarkan hal yang bermanfaat bagi diri mereka, seperti yang diungkapkan oleh Allah ﷻ dalam ayat lainnya:
“Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan.” (Al-Baqarah: 171), hingga akhir ayat.
Firman Allah ﷻ : “Dan jika pun mereka melihat segala tanda (kebenaran), mereka tetap tidak mau beriman kepadanya.” (Al-An'am: 25)
Yakni walaupun mereka telah melihat ayat-ayat, dalil-dalil, hujjah-hujjah yang jelas, dan bukti-bukti yang nyata, mereka tetap tidak mau beriman kepadanya. Mereka sama sekali tidak mempunyai pemahaman dan tidak mempunyai kesadaran. Sebagaimana seperti yang diungkapkan oleh firman-Nya:
“Kalau sekiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada diri mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar.” (Al-Anfal: 23)
Firman Allah ﷻ : “Sehingga apabila mereka datang kepadamu untuk membantahmu.” (Al-An'am: 25)
Yakni menentangmu dan membantah kebenaranmu dengan kebatilan.
“Orang-orang kafir itu berkata, ‘Al-Qur'an ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu’.” (Al-An'am: 25)
Yaitu, apa yang kamu bawa ini tidak lain hanyalah diambil dari kitab-kitab orang-orang yang terdahulu dan diturunkan dari mereka.
Ayat 26
Firman Allah ﷻ : “Mereka sendiri menjauhkan diri darinya.” (Al-An'am: 26)
Sehubungan dengan makna lafal “yanhauna 'anhu”, ada dua pendapat:
Pendapat pertama mengatakan, makna yang dimaksud ialah mereka melarang orang lain mengikuti kebenaran, membenarkan Rasul, dan taat kepada Al-Qur'an.
Dan makna “yanhauna ‘anhu” yakni menjauhkan mereka dari Al-Qur'an. Dengan demikian, berarti mereka menggabungkan dua perbuatan yang kedua-duanya buruk, yakni mereka tidak mau mengambil manfaat dan tidak menyeru seorang pun untuk mengambil manfaat.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:
“Mereka melarang (orang lain) mendengarkan Al-Qur'an.” (Al-An'am: 26)
Yakni mereka menjauhkan manusia dari Nabi Muhammad ﷺ agar mereka tidak beriman kepadanya.
Muhammad ibnul Hanafiyyah mengatakan, dahulu orang-orang kafir Quraisy tidak pernah mendatangi Nabi ﷺ dan melarang orang lain untuk mendatanginya. Hal yang sama telah dikatakan oleh Qatadah, Mujahid, Adh-Dhahhak, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang. Pendapat inilah yang lebih jelas (lebih kuat) dan yang dipilih oleh Ibnu Jarir.
Pendapat kedua diriwayatkan oleh Sufyan Ats-Tsauri, dari Habib Ibnu Abu Sabit, dari orang yang pernah mendengarnya dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan dengan firman-Nya:
"Mereka melarang (orang lain) mendengarkan Al-Qur'an.” (Al-An'am: 26)
Bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Thalib, ia melarang orang-orang mengganggu Nabi ﷺ.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Al-Qasim ibnu Mukhaimirah, Habib ibnu Abu Sabit, ‘Atha’ ibnu Dinar, dan lain-lainnya, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Thalib. Sa'id ibnu Abu Hilal mengatakan, ayat ini diturunkan berkenaan dengan semua paman Nabi ﷺ yang berjumlah sepuluh orang. Mereka adalah orang-orang yang paling keras dalam membela Nabi ﷺ secara terang-terangan, juga orang-orang yang paling keras dalam memusuhi Nabi ﷺ secara diam-diam. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
“Mereka melarang (orang lain) darinya.” (Al-An'am: 26)
Yaitu mereka melarang orang-orang membunuhnya (Nabi Muhammad ﷺ).
“Dan mereka sendiri menjauhkan diri darinya.” (Al-An'am: 26)
Yakni menjauhkan diri darinya.
“Dan mereka hanyalah membinasakan diri mereka sendiri, sedangkan mereka tidak menyadari.” (Al-An'am: 26)
Artinya, tiadalah yang mereka binasakan melainkan diri mereka sendiri. Perbuatan mereka hanya merugikan diri mereka sendiri, sedangkan mereka tidak menyadari.
Dan ingatlah, pada hari ketika Kami mengumpulkan mereka semua, seluruh manusia sejak zaman Adam hingga akhir zaman di Padang Mahsyar, kemudian Kami berfirman kepada orang-orang yang menyekutukan Allah, sebagai pertanggungjawaban, Di manakah sembahan-sembahanmu yang dahulu kamu sangka sebagai sekutu-sekutu Kami yang kamu perlakukan sebagai tuhan' Sikap orang-orang kafir dan musyrik di akhirat itu berbeda dengan sikap mereka di dunia. Ketika di akhirat kemudian tidaklah ada jawaban bohong mereka, karena mengikuti suara hati dan akal sehat, kecuali mengatakan, Demi Allah, mereka bersumpah dengan nama Allah, ya Tuhan kami, kini di akhirat, tidaklah kami mempersekutukan Engkau dengan suatu apa pun.
Dalam ayat ini, Allah memperingatkan orang musyrik tentang hari kebangkitan, ketika seluruh umat manusia dikumpulkan. Pada hari itu manusia hanya terbagi menjadi dua golongan: mereka yang rugi dan mereka yang beruntung. Kemudian Allah berkata kepada orang-orang musyrik, "Di manakah sembahan-sembahanmu yang dahulu kamu katakan sekutu Allah?" Allah bertanya demikian karena pada saat di dunia, mereka meminta pertolongan dan memanjatkan doa kepada sembahan selain Allah, yang mereka jadikan sebagai pelindung atau pengantar untuk mendekatkan diri kepada Allah atau untuk memberi syafaat kepada mereka pada hari Kiamat. Mengapa sembahan-sembahan itu menghilang dan tidak tampak bersama mereka pada hari itu? Seperti difirmankan Allah:
Kami tidak melihat pemberi syafa'at (pertolongan) besertamu yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu (bagi Allah). Sungguh, telah terputuslah (semua pertalian) antara kamu dan telah lenyap dari kamu apa yang dahulu kamu sangka (sebagai sekutu Allah). (al-An'am/6: 94).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 20
“Orang-orang yang telah Kami berikan kitab kepada mereka, telah mengenalnya; sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka sendiri. Mereka itu telah merugikan diri mereka sendiri."
Sebagaimana telah kita ketahui, surah ini diturunkan di Mekah, tetapi di ayat ini tersebut lagi tentang orang-orang yang keturunan Kitab dan mereka, khususnya orang Yahudi, lebih banyak tinggal di Madiriah. Terdapatlah riwayat bahwa pemuka-pemuka Quraisy mengirim utusan ke Madiriah sebelum Rasulullah ﷺ hijrah. Mereka pergi bertanya kepada pemuka-pemuka Yahudi, apa benar terdapat di dalam kitab suci mereka, akan datang nabi akhir zaman itu? Sebab, pada zaman jahiliyyah orang-orang penyembah berhala tetap mengetahui bahwa Ahlul Kitab itu lebih banyak pengetahuan. Tidaklah jelas apakah utusan-utusan itu bertemu dengan pemuka-pemuka Yahudi itu atau tidak. Cuma setelah mereka kembali ke Mekah, utusan itu memberi tahu kepada pengutusnya bahwa menurut keterangan Ahlul Kitab tidaklah ada tersebut kedatangan Muhammad itu dalam Taurat. Kata-kata yang palsu inilah yang dibantah dengan ayat ini, yaitu bahwasanya kedatangan Muhammad itu memang telah di-nubuwwah-kar di dalam Taurat, bahkan telah mereka kenal tanda-tandanya sebagai mereka mengenal anak-anak mereka sendiri. Namun, baik Ahlul Kitab yang mendustakan kenyataan itu maupun kaum Musyrikin tidaklah mau mengakui kerasulan Muhammad ﷺ Oleh sebab itu, mereka telah merugikan diri sendiri. Rugi karena telah mendustakan kebenaran. Mereka tidak mau menerima Islam sebab iba meninggalkan kedudukan mereka, sebab mereka merasa tinggi selama ini. Mereka berat akan menjadi pengikut Muhammad ﷺ sebab terikat pada kedudukan dan pengaruh, sedangkan dalam ajaran islam, semua orang sama, yang mulia hanyalah mereka yang lebih tinggi tingkat takwanya kepada Allah. Dalam Islam, sama saja kedudukan Abu Bakar orang Quraisy asli dengan Bilal bekas budak atau Umar bin Khaththab dengan Shuhaib yang dulunya bekas budak bangsa Romawi. Orang Quraisy pun suka menerima kerugian ruhani, tidak mendapat hidayat Ilahi, karena enggan menjadi pengikut dari anak yatim dalam asuhan Abu Thalib. Mereka menyangka bahwa mempertahankan kedudukan itu adalah keuntungan, padahal itulah kerugian yang sebesar-besarnya bagi mereka.
“Maka bukanlah mereka itu orang-orang yang beriman."
Lebih sukalah mereka tetap di dalam ke-kufuran, walaupun telah berhadapan dengan kenyataan, memang Muhammad rasul Allah, ketimbang menjadi Mukmin, yang mereka rasa akan menjatuhkan martabat mereka.
Sayidul-Islam yang besar, Sayyid Quthub, di dalam tafsirnya yang terkenal, Di Bawah Lindungan AL-Al-Qur'an, yaitu tafsir yang ditulis pada zaman modern oleh seorang yang telah menyelami kepalsuan dan kejahatan bangsa-bangsa penjajah terhadap Islam, telah menuliskan dalam tafsir itu bagaimana kelanjutan bahwa Ahlul Kitab itu telah mengenal akan Nabi Muhammad sebagai mengenal anak mereka sendiri.
Sayyid Quthub berkata, bahwa Ahlul Kitab telah tahu dan paham, telah mengerti siapa Nabi Muhammad dan telah mengetahui pula bahwa Al-Qur'an yang diturunkan kepadanya memang benar. Betapa sebagaimana telah diisyaratkan di dalam ayat ini pengetahuan mereka akan kebenaran Nabi Muhammad itu bukanlah buat mereka imani, melainkan buat mereka kafiri. Dan selama empat belas abad kerasulan Nabi Muhammad ﷺ hingga sekarang, pengetahuan mereka tentang Nabi Muhammad, tentang Al-Qur'an, tentang hakikat Islam masih tetap mereka tambah. Islam masih tetap mereka selidiki dan pelajari. Berpuluh bahkan beratus orang Yahudi dan Nasrani, menyediakan diri untuk mempelajari Islam secara mendalam, hingga pada detail-detailnya. Tentang sejarah Islam, sejarah Rasulullah ﷺ, dan segala ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan Islam. Mereka mempelajari fikih Islam, tasawuf Islam, tafsir A(-Qur'an, ilmu hadits, dan mereka ikhtiarkan mencetak kembali naskah-naskah tulisan tangan sebagai pusaka dari kebudayaan Islam. Pemerintah-pemerintah mendirikan perpustakaan yang mengandung naskah-naskah asli dari karangan pujangga dan sarjana dan sastrawan Islam sehingga kadang-kadang pusaka seorang pujangga besar Islam yang asli tidak ditemukan di perpustakaan di Istanbul atau Isfahan, tetapi didapati di Cambrige, Leiden, atau Leipzich.
Di negeri-negeri besar dibangun Islamic Studie, baik di London, Sarbone atau Bonn, maupun Chicago atau Montreal. Beratus sarjana yang diriamai orientalis benar-benar pantas disebut sarjana pengetahuan Islam. Mereka lebih leluasa menyelidiki Islam sebab mendapat bantuan dari pemerintahnya sendiri atau oleh fonds yang disediakan untuk itu. Mereka benar-benar mengetahui Islam, mengetahui Nabi Muhammad ﷺ, dan kitab suci yang beliau bawa, seperti mengetahui anak mereka sendiri. Namun, pengetahuan mereka yang luas itu bukan mereka gunakan untuk mengetahui kebenaran Islam supaya mereka peluk, melainkan hendak dicari segi kelemahannya. Kadang-kadang, secara telanjur ataupun sengaja mereka memuji beberapa kelebihan Islam, walaupun di dalam pujian itu tersembunyi racun.
Banyak di antara orientalis itu adalah alat penjajahan. Ditugaskan mencari “rahasia" Islam yang dipeluk oleh rakyat jajahan untuk dapat tetap menjajah umat itu. Dan sebagian besarnya lagi dibelanjai oleh zendirig dan misi Kristen, guna mencari dari segi mana Islam dapat dihancurkan. Sebab, kaum Kristen selalu mengakui bahwa orang Islam ini “keras kepala", tidak mau dikristenkan.
Di dalam kalangan orang Islam sendiri yang diberikan pendidikan Barat, pendidikan kolonialisme, ditanamkan perasaan benci, jijik kepada ulama Islam sendiri. Cacat yang timbul dari kebodohan kaum Muslimin dijadikan alasan untuk mencela agama Islam, Sebagaimana kita rasakan sendiri betapa bencinya orang-orang yang mendapat didikan Belanda pada zaman kolonial pada pondok dan pesantren, kiai, santri, dan ajengan. Kemudian, ditanamkanlah kepada mereka rasa simpati membabi buta pada segala hal yang berbau Barat dan simpati kepada orang-orang kafir Belanda kalau dia pandai berbahasa Arab. Timbullah dalam kalangan orang yang pada kulitnya masih berwarna Islam, tetapi batinnya sudah memandang Islam seperti memandang orang lain. Mereka lebih percaya Islam yang diterangkan oleh Younbull, Snouck Hourgronje, Goldziher, Moltke, Louis Masig-non, De Boer, Dozy, daripada Islam yang dibahas oleh ulama Islam sendiri.
Dari para orientalis inilah keluar beberapa keterangan yang mereka sebut “ilmiah", tetapi sebenarnya pemalsuan Islam. Misalnya bahwa Islam disiarkan dengan pedang. Islam mewajibkan poligami. Umat Islam tidak akan maju selama mereka masih berpegang kukuh pada ajaran-ajaran agamanya. Bahwasanya ilmu fikih Islam tidak asli, tetapi caplokan saja dari fikih Romawi. Tasawuf Islam bukan asli dari Islam, melainkan diambil dari Kristen; kata yang setengah. Dari Hindu, kata yang lain. Dari Budha kata yang lain pula. Pendeknya tasawuf Islam diambil dari segala macam agama kecuali dari Islam.
Dan ini semuanya adalah “ilmiah" mesti diterima dan ditelan saja sebab yang menga-takannya orientalis Barat. Barangsiapa yang membantah, walaupun secara ilmiah pula, dengan cepat dituduh fanatik.
Keluarlah ajaran bahwa filsafat Islam tidak ada. Yang ada hanya filsafat Yunani yang ditelan oleh orang Islam lalu ditambah di sana-sini. Sebab, orang Arab sebagai bangsa Semit tidak sanggup berfilsafat. Orang Arab sebagai bangsa Semit tidak sanggup berpikir mendalam, mereka hanya meniru. Kemudian, diputar pulalah plat ini oleh “sarjana pengekor" yang inengulang-ulangkan sabda dari gurunya dengan tidak sanggup menimbang sendiri karena pengetahuannya tentang Islam itu sendiri tidak ada.
Keluarlah ajaran dari orientalis itu juga bahwa agama Islam yang masuk ke Indonesia ini tidak asli dari Arab, tetapi sudah campur aduk dengan filsafat Hindu. Atau bahwa orang Indonesia sebelum memeluk Islam sudah mencapai kebudayaan yang tinggi. Sesudah Islam masuk kemari maka mundurlah itu dan baru maju kembali setelah datang bimbingan Belanda.
Keluarlah teori asal bangsa: orang Turki, walaupun telah Islam, mereka berasal dari bangsa Mongol, bukan Arab. Orang Mesir, walaupun telah Islam, mereka adalah pemeluk kebudayaan Fir'aun. Orang Persia (Iran) lebih tinggi dari Arab sebab mereka keturunan bangsa Aria. Pendeknya, tiap-tiap bangsa yang telah dipersatukan oleh Islam menjadi satu umat, dipecah-belahkan dengan “ilmiah" orientalis yang mengetahui agama Islam dan Nabi Muhammad seperti mengetahui anaknya sendiri, menjadi bangsa yang berkeping-keping, berpecah-belah. Setelah semuanya pecah-belah, barulah berkompromi di antara Nasrani dengan Yahudi atau politik zionisme dengan politik pengkristenan, mencaplok tanah suci kaum Muslimin, bumi Palestina.
Pendeknya, mereka mengetahui Islam dan Nabi Muhammad sebagaimana mengetahui anak mereka sendiri.
Kadang kala dipujilah kekuatan agama Islam setinggi langit, tetapi seperti kita katakan sebelumnya, dalam pujian itu bersembunyilah racun. Berapa banyaknya di tanah air kita Indonesia ini saja, orang yang memuji Islam setinggi langit setelah membaca keterangan-keterangan dan cerita-cerita dari Prof. Snouck Hougronje, yang beberapa tahun lamanya di pusat Islam sendiri, di Mekah, untuk mengetahui Islam dari sumbernya.
Namun, dalam memenuhi itu, mereka sangat menentang apabila Islam hendak digerakkan secara diriamis.
Berapa pula banyaknya penyelidik-penyelidik Belanda mencapai titel kesarjanaan karena mempelajari tasawuf Islam di Indonesia. Mulai dari Hamzah Fanshuri, Syamsuddiri Sumaterani, Nuruddiri Ar-Raniriy, Sunan Borang, Syekh Siti Jenar, dan lain-lain, sampai mereka keluarkan buku-bukunya yang jika orang Islam Indonesia membaca kupasan itu, padahal mereka belum mengetahui hakikat Islam dari sumber Islam sendiri, dari bahasa Arab, sudah terang dengan bimbingan orientalis itu mereka bukan akan mengembangkan citra Islam yang hidup, tetapi mem-bangkitkan kembali ilmu klenik, mistik, primbon, kebatinan dan sinkritisme, menye-sual-nyesuaikan Islam dengan Hindu, Buddha dengan animisme. Asal jangan Islam yang hidup.
Mereka mengetahui Nabi Muhammad, mengetahui Islam seperti mengetahui anak mereka sendiri. Namun, bukan untuk mereka imani, melainkan untuk mereka ingkari dan menuntun orang-orang yang lemah keislamannya supaya dengan “teratur" keluar dari Islam.
paikan segala permohonan mereka kepada Allah dan berhala-berhala itu pula yang akan memberikan pembelaan kepada mereka di akhirat. Atau Ahlul Kitab yang menambah-nambah agama mereka sendiri dengan berbagai upacara sehingga hilang keasliannya. Niscaya aniayatah namanya segala perbuatan itu sebab mengerjakan pekerjaan yang tidak ada pokok asalnya.
“Sesungguhnya, tidaklah akan berbahagia orang-orang yang zalim."
Pada ayat 20, telah diterangkan bahwa orang-orang ini telah merugikan diri sendiri sebab telah keluar dari garis jalan yang benar. Mereka telah aniaya. Salah dari pangkal, niscaya salah sampai ke ujung. Oleh sebab itu, tidaklah mereka akan menang. Percumalah usaha mereka mempertahankan kedudukan dan kemewahan sebab perjuangan mereka adalah di pihak yang kalah. Kekalahan akan menimpa mereka sebab jalan yang dipilih adalah jalan yang salah. Mereka mengambil selain Allah jadi Tuhan, padahal tidak ada Tuhan selain Allah, Pada saat mana pun yang selain Allah itu tidak dapat membantu mereka.
ORANG-ORANG YANG ZALIM
Ayat 21
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta atas nama Allah."
Tidak ada lagi kezaliman yang melebihi itu! Yaitu tetap mempertahankan kekufuran, padahal kebenaran telah datang. Mereka masih saja mempertahankan kekufuran, padahal ke-kufuran itu bersandar pada membuat-buat dusta atas nama Allah, membangsakan kepada Allah hal-hal yang tidak-tidak. Di antaranya ialah menyembah berhala dan mengatakan, berhala itu adalah anak perempuan Allah atau kedustaan lain yang mengatakan bahwa berhala-berhala itulah yang akan menyam-
Ayat 22
“Dan (ingatlah) hani yang akan Kami kumpulkan mereka itu semua kemudian itu akan kami tanyakan kepada orang-orang yang telah mempersekutukan itu, ‘Mana dia sekutu-sekutu kamu itu? Yang kamu menganggapnya
Hari Kiamat akan datang. Semua makhluk akan dihadapkan ke hadapan Allah, dosa dan pahala akan diperhitungkan. Sedangkan yang berkuasa pada hari itu hanyalah Allah saja, mereka akan diperiksa dan akan didakwa. Orang-orang yang mereka sembah atau berbalakan, tidak seorang pun yang muncul untuk membantu. Kalaupun ada, mereka sendiri akan dihisab seperti hamba Allah yang lain.
Mereka tidak lebih dari makhluk biasa. Yang dituhankan sama hinanya dengan yang menu-hankan. Ketika itu, akan ditanyakanlah kepada orang yang mempersekutukan Allah itu, “Mana sekutu-sekutu kamu itu?" Ke mana mereka akan dicari, padahal terang mereka tidak ada atau tidak berarti apa-apa, mereka tidak berkuasa dan tidak berdaya untuk menolong. Kala di dunia mereka itu dianggap Allah, disembah, dipuja, dan dihantarkan saji-sajian (sesajen). Sekarang ternyata mereka tidak ada, tidak muncul. Karena memang sama sekali itu tidak ada. Dia ada ketika di dunia, hanyalah karena diadakan oleh orang-orang yang menyembahnya. Dia hanya kayu atau batu atau seorang manusia yang datang dihadapkan ke hadapan Mahkamah Ilahi, di-mintai pertanggungjawabannya.
Ayat 23
“Kemudian itu, tidaklah ada fitnah mereka melainkan mereka berkata, ‘Demi Allah, Tuhan kami, bukanlah kami ini orang-orang yang musyrik."
Artinya, setelah diberi keterangan bahwa segala perbuatan mereka itu syirik, mereka coba mengelakkan diri, membuat suatu jawaban yang mempersulit diri mereka sendiri, sebab itu diriamakan fitnah. Mereka mengatakan bahwa mereka bukan musyrik. Allah tetap satu. Namun, karena Allah yang satu itu terlalu tinggi, tidaklah sembarang orang yang dapat mendekati Dia kalau tidak memakai perantaraan. Oleh sebab itu, mereka membela diri dan berkata bahwa mereka memuja yang lain itu bukanlah karena mempersekutukan yang lain itu dengan Allah, melainkan karena hendak memelihara kemuliaan Allah belaka, jawaban ini adalah fitnah sebab mempersulit diri mereka sendiri. Kalau mereka mengatakan Allah itu terlalu tinggi buat mereka dapat mencapainya dengan langsung sehingga perlu perantaraan, nyatalah bahwa mereka sendiri yang telah mengadakan diridirig di antara diri mereka dengan Allah, yaitu diridirig yang mereka buat-buat sendiri.
Maka dibukalah betapa kacaunya jawaban mereka itu.
Ayat 24
“Pandanglah! Betapa mereka telah berdusta atas diri mereka sendiri."
Cobalah pandang dan perhatikan betapa dustanya jawaban itu. Dan yang mereka dustai ialah diri mereka sendiri, sebab jawaban yang dusta itu tidak cocok dengan rasa hati sanubari mereka sendiri. Mereka mengatakan tidak mempersekutukan Allah, padahal yang mereka puja ialah yang lain. Mereka menyembah yang lain, meminta agar yang lain menyampaikan persembahan mereka kepada Allah. Lantaran itu, yang Allah sendiri mau dibuat bagaimana? Adakah sudah terang dalam pertimbangan akalmu yang cerdas bahwa berhala yang tidak bernyawa itu, setelah menerima persembahanmu, lalu pergi kepada Allah mengantarkannya dan melaporkan bahwa si anu berkirim sembah kepadamu? Padahal Allah itu lebih dekat kepadamu daripada berhala itu sendiri? Dan pandang pulalah,
“Dan bagaimana hilang dari mereka apa yang telah mereka ada-adakan itu."
(ujung ayat 24)