Ayat
Terjemahan Per Kata
وَهُوَ
dan Dia
ٱلَّذِي
yang
جَعَلَكُمۡ
menjadikan kamu
خَلَٰٓئِفَ
penguasa-penguasa
ٱلۡأَرۡضِ
bumi
وَرَفَعَ
dan Dia meninggikan
بَعۡضَكُمۡ
sebagian kamu
فَوۡقَ
diatas
بَعۡضٖ
sebagian lainnya
دَرَجَٰتٖ
beberapa derajat
لِّيَبۡلُوَكُمۡ
karena Dia hendak mengujimu
فِي
dalam/tentang
مَآ
apa
ءَاتَىٰكُمۡۗ
Dia telah berikan kepadamu
إِنَّ
sesungguhnya
رَبَّكَ
Tuhanmu
سَرِيعُ
amat cepat
ٱلۡعِقَابِ
siksa
وَإِنَّهُۥ
dan sesungguhnya Dia
لَغَفُورٞ
sungguh Maha Pengampun
رَّحِيمُۢ
Maha Penyayang
وَهُوَ
dan Dia
ٱلَّذِي
yang
جَعَلَكُمۡ
menjadikan kamu
خَلَٰٓئِفَ
penguasa-penguasa
ٱلۡأَرۡضِ
bumi
وَرَفَعَ
dan Dia meninggikan
بَعۡضَكُمۡ
sebagian kamu
فَوۡقَ
diatas
بَعۡضٖ
sebagian lainnya
دَرَجَٰتٖ
beberapa derajat
لِّيَبۡلُوَكُمۡ
karena Dia hendak mengujimu
فِي
dalam/tentang
مَآ
apa
ءَاتَىٰكُمۡۗ
Dia telah berikan kepadamu
إِنَّ
sesungguhnya
رَبَّكَ
Tuhanmu
سَرِيعُ
amat cepat
ٱلۡعِقَابِ
siksa
وَإِنَّهُۥ
dan sesungguhnya Dia
لَغَفُورٞ
sungguh Maha Pengampun
رَّحِيمُۢ
Maha Penyayang
Terjemahan
Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu beberapa derajat atas sebagian (yang lain) untuk menguji kamu atas apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat hukuman-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Tafsir
(Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi) jamak dari kata khalifah; yakni sebagian di antara kamu mengganti sebagian lainnya di dalam masalah kekhalifahan ini (dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian yang lain beberapa derajat) dengan harta benda, kedudukan dan lain sebagainya (untuk mengujimu) untuk mencobamu (tentang apa yang diberikan kepadamu) artinya Dia memberi kamu agar jelas siapakah di antara kamu yang taat dan siapakah yang maksiat. (Sesungguhnya Tuhanmu itu adalah amat cepat siksaan-Nya) terhadap orang-orang yang berbuat maksiat kepada-Nya (dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun) terhadap orang-orang mukmin (lagi Maha Penyayang.") terhadap mereka.
Tafsir surat Al-An’am: 165
Dan Dialah yang menjadikan kalian sebagai khalifah-khalifah di bumi dan Dia mengangkat (derajat) sebagian kamu di atas yang lain, untuk mengujimu atas (karunia) yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat memberi hukuman dan sungguh, Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang.
Ayat 165
Firman Allah ﷻ: "Dan Dialah yang menjadikan kalian penguasa-penguasa di bumi.” (Al-An'am: 165)
Dialah yang menjadikan kalian meramaikan bumi itu generasi demi generasi, zaman demi zaman, dan yang sudah lanjut diganti oleh penerusnya. Demikianlah menurut Ibnu Zaid dan lain-lainnya.
Ayat ini semakna dengan firman-Nya:
“Dan kalau Kami kehendaki benar-benar Kami jadikan sebagai ganti kalian di muka bumi malaikat-malaikat yang turun-temurun.” (Az-Zukhruf: 60)
“Dan yang menjadikan kalian (manusia) sebagai khalifah di bumi.” (An-Naml: 62)
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” (Al-Baqarah: 30)
“Mudah-mudahan Allah membinasakan musuh kalian dan menjadikan kalian khalifah di bumi (Nya), maka Allah akan melihat bagaimana perbuatan kalian.” (Al-A'raf: 129)
Adapun firman Allah ﷻ: “Dan Dia mengangkat (derajat) sebagian kamu di atas yang lain.” (Al-An'am: 165)
Yakni Dia membeda-bedakan di antara kalian dalam hal rezeki, akhlak, kebaikan, kejahatan, penampilan, bentuk, dan warna. Hanya Dialah yang mengetahui hikmah di balik semua itu.
Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan oleh ayat lain dalam firman-Nya:
“Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain sebagai pekerja.” (Az-Zukhruf: 32)
“Perhatikanlah bagaimana Kami lebihkan sebagian dari mereka atas sebagian (yang lain). Dan pasti kehidupan akhirat lebih tinggi tingkatannya dan lebih besar keutamaannya.” (Al-Isra: 21)
Firman Allah ﷻ: “Untuk mengujimu atas (karunia) yang diberikan-Nya kepadamu.” (Al-An'am: 165)
Maksudnya, untuk menguji kalian atas nikmat yang telah dikarunia-kan-Nya kepada kalian.
Dia melakukan ujian kepada kalian. Orang kaya diuji dalam kekayaannya yang menuntutnya harus mensyukuri nikmat itu, dan orang yang miskin diuji dalam kemiskinannya yang menuntutnya untuk bersikap sabar. Di dalam kitab Shahih Muslim disebutkan melalui hadits Abu Nadrah, dari Abu Sa'id Al-Khudri yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Sesungguhnya dunia itu indah dan manis, sesungguhnya Allah menjadikan kalian sebagai khalifah padanya, maka Dia akan melihat apa yang akan kalian kerjakan. Karena itu, berhati-hatilah kalian terhadap dunia dan berhati-hatilah kalian terhadap wanita, karena sesungguhnya fitnah (cobaan) yang pertama kali melanda kaum Bani Israil ialah masalah tentang wanita.”
Firman Allah ﷻ: “Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-An'am: 165)
Makna ayat mengandung pengertian tarhib dan targib, yakni ancaman dan sekaligus anjuran, bahwa perhitungan dan siksa-Nya amat cepat terhadap orang yang durhaka kepada-Nya dan menentang rasul-rasul-Nya.
“Dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-An'am: 165)
Yakni Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepada orang yang taat kepada-Nya dan mengikuti rasul-rasul-Nya dalam mengamalkan apa yang mereka sampaikan, baik berupa berita maupun perintah.
Menurut Muhammad ibnu Ishaq, makna yang dimaksud ialah Allah ﷻ benar-benar mengasihi hamba-hamba-Nya, sekalipun mereka berlumuran dengan dosa. (Riwayat Ibnu Abu Hatim)
Di dalam Al-Qur'an banyak didapati kedua sifat tersebut diungkapkan secara bergandengan, seperti yang terdapat di dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mempunyai ampunan (yang luas) bagi manusia, sekalipun mereka zalim; dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar sangat keras siksaannya.” (Ar-Ra'd: 6)
“Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Akulah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, dan bahwa sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih.” (Al-Hijr: 49-50)
Dan ayat-ayat lainnya yang menunjukkan makna targib dan tarhib. Terkadang Allah menyeru hamba-hamba-Nya menuju kepada-Nya dengan raghbah (dorongan), dan penyebutan sifat-sifat surga, serta pahala yang ada di sisi-Nya. Terkadang menyeru mereka dengan ungkapan rahbah (ancaman), yaitu dengan menyebutkan tentang neraka, siksaan, dan azab yang ada padanya, berbagai peristiwa han Kiamat yang menakutkan. Dan terkadang diungkapkan kedua-duanya secara bersamaan agar masing-masing orang menjadi sadar.
Semoga Allah menjadikan diri kita ini termasuk orang yang taat kepada apa yang diperintahkan-Nya, meninggalkan apa yang dilarang dan diperingatkan oleh-Nya, serta percaya kepada semua apa yang diberitakan oleh-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Dekat, Maha Memperkenankan lagi Maha Mendengar doa, Maha Pemurah, Maha Mulia lagi Maha Pemberi.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Zuhair, dari Al-Ala, dari ayahnya, dari Abu Hurairah secara marfu', bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Seandainya orang mukmin mengetahui azab yang disiapkan Allah, niscaya tidak ada seorang pun yang mengharapkan surga-Nya. Dan seandainya seorang kafir mengetahui rahmat yang disiapkan Allah, niscaya tidak seorang pun yang putus harapan untuk dapat masuk Surga. Allah menciptakan seratus (macam) rahmat, lalu Dia memberikan satu macam rahmat di antara makhluk-Nya, dengan satu rahmat itu mereka saling mengasihi (di antara sesamanya), sedangkan yang sembilan puluh sembilannya berada di sisi Allah.” Imam At-Tirmidzi meriwayatkannya dari Qutaibah, dari Abdul Aziz Ad-Darawardi, dari Al-Ala dengan lafal yang sama, lalu Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan.
Imam Muslim meriwayatkannya dari Yahya ibnu Yahya, Qutaibah, dan Ali ibnu Hijr. Ketiga-tiganya dari Ismail ibnu Ja'far, dari Al-Ala, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Setelah Allah menciptakan makhluk-Nya, maka Dia menulis di dalam Kitab-Nya yang ada di sisi-Nya di atas Arasy, ‘Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan murka-Ku’."
Dari Abu Hurairah pula disebutkan, ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Allah menjadikan rahmat terdiri atas seratus bagian, maka Dia memegang di sisi-Nya sembilan puluh sembilan bagiannya, dan menurunkan ke bumi satu bagiannya. Maka dengan satu bagian itu seluruh makhluk saling mengasihi, sehingga seekor binatang mengangkat kakinya karena khawatir menginjak anaknya. Hadits diriwayatkan oleh Imam Muslim. Demikianlah akhir surat Al-An'am, dan segala puji serta karunia hanyalah kepunyaan Allah.
Pada akhir surah ini dijelaskan bahwa hidup adalah cobaan dari Allah. Dan Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi, setiap generasi digantikan oleh generasi berikutnya sampai hari kiamat, untuk meramaikan bumi di atas dasar nilai-nilai Ilahi. Dan Dia mengangkat derajat sebagian kamu di atas yang lain'ada yang kaya, miskin, lemah, kuat, sehat, sakit, dan sebagainya'untuk menguji kesyukuranmu atas karunia yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat memberi hukuman bagi mereka yang durhaka dan sungguh, Dia Maha Pengampun bagi yang taat dan bertobat dari dosadosanya, Maha Penyayang kepada makhluk-Nya. Alif Laam Miim, shaad. Huruf-huruf abjad pada permulaan surah ini mengisyaratkan kemukjizatan Al-Qur'an. Beberapa surah dalam AlQur'an, memang, dibuka dengan huruf abjad seperti , AAlif Laam miim, Alif Laam Raa, Alif, Laam, Miim, Shaat, dan sebagainya. Makna huruf-huruf itu hanya Allah yang tahu. Ada yang berpendapat bahwa hurufhuruf itu adalah nama surah dan ada pula yang berpendapat bahwa gunanya untuk menarik perhatian, atau untuk menunjukkan mukjizat Al-Qur'an, karena Al-Qur'an disusun dari rangkaian huruf-huruf abjad yang digunakan dalam bahasa bangsa Arab sendiri. Meskipun demikian, mereka tidak pernah mampu untuk membuat rangkaian huruf-huruf itu menjadi seperti Al-Qur'an.
.
Apabila kita kembali menelaah surah Al-Qur'an itu secara keseluruhan, maka kita akan dapat mengambil kesimpulan bahwa hidup dan kehidupan ini telah disoroti dengan sinar cahaya petunjuk dari segenap penjuru, karena di dalamnya diterangkan perkara-perkara akidah atau kepercayaan serta dalil-dalilnya, Rasul telah menyampaikan perintah Allah melalui wahyu untuk membantah orang-orang kafir yang membangkang, dalam masalah kebangkitan hari akhirat dan al-jaza' (balasan amal), tentang hubungan manusia dengan Penciptanya, hubungan manusia dengan sesama manusia terutama dalam berbuat baik kepada kedua ibu-bapak, tentang pertentangan dalam agama, amal perbuatan dan lain-lain.
Dari kenyataan sejarah sepanjang masa, terbukti manusia tetap manusia, dahulu maupun sekarang senantiasa terjadi permusuhan walaupun sesama saudara dan sesama manusia, maka akan dapat dirasakan pula hubungan dan hikmahnya pada akhir ayat ini, "Dan Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi dan Dia mengangkat (derajat) sebagian kamu di atas yang lain, untuk mengujimu atas (karunia) yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat memberi hukuman dan sungguh, Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang." Ayat ini seakan mengatakan, sesungguhnya Tuhanmu yang menciptakan segala sesuatu, Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi ini dan Dia meninggikan derajat sebagian kamu dari yang lainnya, baik kedudukan dan harta maupun kepintaran dan lain-lainnya, karena Dia hendak mengujimu dengan apa yang telah diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksa-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang yang benar-benar minta ampun kepada-Nya dan Maha Penyayang bagi hamba-Nya yang mukmin.
Ayat ini menegaskan, bahwa Allah-lah yang menjadikan manusia penguasa-penguasa di bumi untuk mengatur kehidupan rakyatnya dan Dia pulalah yang meninggikan derajat sebagian mereka dari sebagian lainnya. Semua itu adalah menurut sunatullah untuk menguji mereka masing-masing bagaimana mereka menyikapi karunia Allah yang diberikan Tuhan kepadanya. Mereka akan mendapat balasan dari ujian itu, baik di dunia maupun di akhirat. Penguasa-penguasa diuji keadilan dan kejujurannya, si kaya diuji bagaimana dia membelanjakan hartanya, si miskin dan si penderita diuji kesabarannya. Oleh karena itu, manusia tidak boleh iri hati dan dengki dalam pemberian Tuhan kepada seseorang, karena semua itu dari Allah dan semua pemberian-Nya adalah ujian bagi setiap orang.
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 161
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya telah diberi petunjuk akan daku oleh Tuhanku kepada jalan yang tulus.'"
Ini memperjelas lagi bunyi ayat 153 tersebut. Hanya satu jalan itu, yang selainnya adalah jalan bersimpang-siur, bukan jalan Allah, tetapi jalan-jalan setan. Dan memperjelas lagi ayat 159 tersebut, yaitu akan berpecah-belah dari agama barangsiapa yang menyeleweng dari jalan itu, lalu membuat golongan-golongan, yang Rasul disuruh menegaskan bahwa beliau tidak masuk ke dalam golongan yang mana pun
sebab beliau tetap pada jalan yang lurus yang telah ditentukan Allah kepadanya itu. jalan yang lurus itu ialah: “Agamayang teguh," yakni tegak dan tetap. Tidak berkisar ke kanan dan ke kiri. ‘Agama Ibrahim yang jujur." Yang lurus dan tidak condong ke mana-mana hanya tetap tujuannya kepada Allah.
“Dan tidaklah dia itu dari orang-orang yang musyrikin."
Dengan keterangan ujung ayat ini, jelaslah bahwa jalan yang ditempuh Nabi Muhammad ﷺ ini bukanlah yang baru dibuat, melainkan jalan yang satu itu saja, jalan agama Ibrahim. Sebab jalan yang lurus dan yang satu itu, tidaklah akan berubah-ubah selama-lamanya, dan tidaklah Ibrahim itu orang yang mempersekutukan yang lain dengan Allah, tidaklah dia memperhambakan dirinya kepada benda.
jalan yang lurus, agama yang teguh, agama yang jujur dari Ibrahim itu, ialah percaya kepada Allah Yang Maha Esa, dan istiqamah, artinya tidak bergeser, walaupun serambut dari pendirian itu. Dan ikhlas, bersih ke luar dan ke dalam sehingga isi hati dapat dilihat pada seri wajah. Kepercayaan yang teguh kepada-Nya, menyebabkan beribadah hanya semata-mata kepada-Nya pula. Pokok ajaran ini diriamai: millatu Ibrahim, agama Nabi Ibrahim. Sebab segala ajaran rasul-rasul yang datang sebelum Ibrahim atau sesudahnya, pokok ajaran yang mereka bawa hanya inti ajaran Ibrahim itu juga. Cara melakukan ibadah bisa berbeda, itulah yang diriamai syari'at. Namun, yang akan diibadati tidak akan berubah-ubah selama-lamanya, yaitu Allah Yang Tunggal itu jua. Ditegaskan dalam ayat ini bahwa Ibrahim itu sekali-kali tidak pernah mempersekutukan yang lain dengan Allah. Dan dengan mengemukakan bahwa yang dijalankan Muhammad ﷺ ini tidak lain daripada agama Ibrahim, terpanggillah kembali Ahiul Kitab dan musyrikin Quraisy. Karena kedua pihaknya tidak ada yang ingkar akan keutamaan Ibrahim,
baik sebagai nenek maupun sebagai dasar dari agama yang mereka peluk, yang sudah banyak tambahan-tambahannya dan bid'ahnya. Yang sudah menjadi bergolong-golongan sampai 71 atau 73 golongan itu.
Selain ayat ini, banyaklah kita bertemu bahwa pokok agama yang dibawa rasul-rasul umumnya dan Muhammad ﷺ khususnya ialah agama Ibrahim ini. Kita bertemu ini di dalam surah an-Nahl: ayat 120 yang di sana Ibrahim sampai dibahasakan sebagai “seorang umat" dan di ayat 123 dijelaskan lagi kepada Rasul bahwa dia diberi wahyu supaya mengikuti agama Ibrahim itu; dan kita pun akan bertemu lagi siapa Ibrahim dalam surah al-Haj dan surah yang memakai namanya sendiri, surah Ibraahim, demikian juga di surah al-Baqarah dan Aali ‘Imraan, dan banyak lagi surah yang lainnya, yang kalau kita pelajari dengan saksama, akan bertambah mengertilah kita apa tujuan ajaran Muhammad ﷺ dan mengerti pula betapa hebat perlawanan Musa dan Harun kepada Fir'aun karena menentang mempertuhan manusia.
Ayat 162
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku, adalah karena Allah, Tuhan sarwa sekalian alam."
Setelah di ayat yang dahulu itu dijelaskan bahwa Allah-lah sebagai pemusatan iman untuk menegakkan aqidah maka di ayat ini dijelaskan lagi lanjutan iman kepada Allah itu dengan kesatuan tujuan ibadah kepada-Nya pula. Sebab kita telah percaya bahwa Dia Esa maka kita satukan pula ibadah kita kepada-Nya. Nabi Muhammad ﷺ memelopori ibadah itu. Oleh karena itu, disuruh beliau menyatakan dengan tegas bahwa shalat beliau hanya karena Allah dan untuk Allah.
Pertama shalat. Karena inilah pokok. Tanda percaya kepada-Nya dan tanda cinta kepada-Nya, diri sedia selalu menghadap-Nya. Jika datang panggilan, saat itu juga aku hadir. Allah
Mahabesar, Allah Mahabesar! Yang lain kecil dan remeh belaka. Kemudian, ialah ibadahku semuanya. Di sini, disebut nusuki, yang diartikan pada umumnya untuk sekalian ibadah. Adapun pangkal pokok arti dipakai untuk penyembelihan kurban ketika mengerjakan haji untuk Allah. Kemudian itu dipakai untuk pekerjaan haji itu sendiri. Ke mana pun hendak dipakai maknanya, tetapi tujuannya hanya satu, yaitu baik ketika aku menyembelih kurban maupun ketika aku wuquf di Arafah atau thawaf keliling Ka'bah atau (berjalan) di antara Shafa dan Marwah, ataupun yang lain. Semuanya aku kerjakan karena Allah, untuk Allah.
Bahkan, bukan itu saja, hidupku ini pun dan matiku pun untuk Allah karena Allah. Semuanya itu aku serahkan kepada Tuhanku, Allah Tuhan dari sarwa sekalian alam ini. Tidak dua, tidak berbilang, hanya satu.
Dengan segenap kesadaran hidupku ini aku kurbankan untuk mencapai ridha-Nya dan dengan segenap kesadaran pula aku bersedia bila saja datang panggilan maut, buat menghadap hadirat-Nya.
Ayat 163
“Tidak ada sekutu bagi-Nya."
Tiada berserikat yang lain dengan Dia di dalam menguasai, mengatur, dan memelihara alam ini."Dan begitulah aku diperintah." Sehingga jika sekiranya orang bertanya kepadaku, mengapa engkau shalat, mengapa engkau bernusuk (beribadah), aku akan menjawab tegas, “Sebab begitulah yang diperintahkan Tuhanku itu kepadaku." Dan sekiranya ada orang bertanya guna apa engkau hidup, aku pun akan menjawab, “Aku diperintahkan Allah hidup buat menyembah-Nya!" Dan jika orang bertanya untuk siapa engkau bersedia kalau Allah meminta pengurbanan jiwamu, sebagai tanda kasihmu akan Allah? Aku pun akan menjawab, “Aku bersedia mati untuk Allah!" Dan aku tidak takut menghadapi maut, sebab aku dengan demikian akan pulang kepada Allah.
“Dan aku adalah yang mula pertama menyerah diri."
(ujung ayat 163)
Sifat-sifat ketuhanan Allah sudah terang dan nyata, jalan lurus menuju-Nya pun sudah terang. Teranglah bahwa Dia Esa dalam seluruh kekuasaan-Nya. Oleh sebab itu, kepada-Nyalah tiap-tiap orang yang berpikiran waras akan menyerahkan dirinya. Dan bebas merdeka tiap-tiap orang yang berpikiran waras dari pengaruh yang lain. Sebab yang lain itu adalah alam belaka, makhluk belaka, dan benda belaka.
Diriku ini ingin bebas, ingin merdeka dari segala benda itu lalu menyerah kepada Dia, Allah Yang Esa itu. Menyerah diri itulah yang disebut Muslim, dan penyerahan diri itulah yang disebut Islam. Di sini, Muhammad ﷺ disuruh menegaskan bahwa di dalam menentukan langkah penyerahan yang sekarang ini, adalah beliau orang yang pertama. Beliau yang berjalan di muka sekali, di dalam perjalanan menuju menyerah diri kepada Allah dan yang lain, kalau mau selamat ikutilah dia.
Dan ini pulalah tuntunan tegas kepada manusia selurunnya supaya bersama-sama me-nempuh jalan menyerah diri kepada Allah itu, menjadi Muslimin. Sebab, beliau bukan hanya mengajak dan menyuruh, tetapi berjalan di muka sekali, menjadi orang pertama menjadi imam yang akan dicontoh diteladari.
Ucapan yang diajarkan Allah kepada Rasulullah ﷺ ini adalah inti sejati tauhid, tawakal yang sempurna kepada Allah, dalam tiap gerak jantung dan gerak hidup. Setiap ibadah, sejak dari shalat, puasa, zakat dan naik haji, semuanya untuk Allah. Hidup dan mati diserahkan kepada Allah. Kehidupan yang nyata dan kehidupan dalam cita, sama sekali meyakinkan penyerahan yang bulat kepada Allah dan keridhaan menerima ketentuan-Nya.
Ayat 164
Di pangkal ayat dijelaskan, “Katakan!" artinya ialah bahwa ucapan ini, yaitu bakal hidup, tauhid yang sejati dan pengabdian yang sempurna, semuanya hanya kepada Allah Rabbul ‘alamin. Timbul ucapan yang demikian karena hati telah sampai pada puncak keya-kinan bahwa yang menjaga memelihara, yang melindungi dan menentukan hanya Allah saja. Ditegaskan lagi bahwa Dia tidak bersekutu dengan yang lain. Laa syarika lahu. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan segala yang aku kerjakan ini, aku kerjakan sebab demikian aku diperintahkan. Dan untuk buktinya, aku pun tampil ke muka, aku orang yang pertama. Dan segala akibat dari pengakuanku ini, walau mati sekalipun aku sudi menerimanya.
Dalam satu doa iftitah pembukaan shalat, sebelum kita membaca al-Faatihah, Nabi pun mengajarkan agar kita umatnya membaca pula ayat ini. Kita sebagai umat Nabi hendaklah meniru Nabi dalam segala langkahnya, agar sampai ke akhirat kelak pun kita tetap di dalam rombongan yang mengiringkannya. Kita pun disuruh Islam yang kamil, menyerah yang sepenuhnya mengabdikan diri, beribadah kepada Allah. Dan kita diperintah mengerjakan ibadah menurut yang dicontohkan oleh Rasul, maka kita pun taat. Sami'na wa atha'na, kami dengar dan kami patuhi. Ayat ini dilanjutkan lagi dengan penegasan lain, sebagai tantangan kepada orang yang masih ragu-ragu atas pendirian ini.
“Katakanlah, ‘Apakah yang selain Allah akan aku hanapkan menjadi Tuhan? Padahal Dialah Tuhan dari tiap-tiap sesuatu.'"
Katakanlah. Agar manusia-manusia yang menentangmu itu tidak ragu-ragu dan tidak meraba-raba lagi tentang bagaimana pendirianmu yang sebenarnya."
Apakah itu akan mempertuhan berhala? Padahal, berhala itu dibuat manusia dari kayu atau dari batu, sedangkan bahan kayu dan batu itu datang dari Allah juga?
Apakah aku akan mempertuhan malaikat, padahal malaikat tidak bisa bergerak kalau tidak Allah mengizinkan? Apakah kepada sesama manusia aku akan bertuhan, padahal asal-usul kejadian manusia itu pun sama dengan asal-usul kejadianku sendiri?
Apakah aku akan mengharap selain Allah menjadi Tuhan, padahal hanya Allah yang me-nentukan nasibku, yang menjamin hidupku, yang membuat aku bisa tegak di dunia ini, dan Dia pula yang menentukan hari depanku,
Apakah aku mengharapkan yang selain Allah menjadi Tuhan, padahal seluruh alam ini, langit dan bumi ini dalam genggaman-Nya dan aku tidak ada berarti apa-apa dalam kebesaran alam itu.
Kalau segala sesuatu itu, sejak dari berhala dan patung sampai pada malaikat dan sesama manusia, baru ada karena diadakan Allah, dan akan lenyap kalau Allah hendak melenyapkan, mengapa ke sana aku hendak menyerahkan nasibku? Demikian pula orang Nasrani, mereka percaya bahwa Lahut, yaitu Tuhan Pencipta ialah Allah, tetapi mereka mengatakan bahwa al-Masih dalam keadaan Nasut-nya, yang berarti kemanusiaannya, Hului atau menjelma Lahut ke dalam Nasut itu sehingga menyembah al-Masih bagi mereka ialah menyembah Allah juga. Dengan ini, Nabi Muhammad ﷺ telah memberikan pimpinan yang tegas bagi kita bahwa itu pun tidak mungkin. Kalau sekiranya Allah menjelma menjadi al-Masih Nasut, al-Masih manusia maka kala Dia menjelma itu tentunya Allah tidak ada di tempat lain, tetapi terkurung di tempat terbatas sehingga Allah Maha Pengatur langit, bumi, bintang-bintang, bulan, dan matahari, diperkecil lalu dimasukkan ke dalam tubuh manusia. Dan ketika dia disalib, sebagai rangkaian dari kepercayaan itu, payahlah buat menyelesaikan pikiran, apakah ketika itu Allah masih Hului menjelma dalam tubuh Isa atau telah meninggalkan Isa. Dan kalau dikatakan bahwa Dia telah pergi dari dalam tubuhnya itu, seperti dibuktikan dengan perkataan yang dikatakan al-Masih, “Ya, Tuhanku, Ya Tuhanku, mengapa engkau tinggalkan' daku," maka teranglah bahwa yang disalib itu adalah manusia, bukan Tuhan. Dan memang sejak semula, sampai wafatnya, bahkan sampai sekarang setelah tubuhnya tak ada lagi, memanglah al-Masih itu manusia, bukan Tuhan. Dan Tuhan dari al-Masih itu adalah Allah.
Sebagai akibat dari pernyataan keyakinan hidup itu, bahwa ibadah shalat dan ibadah yang lain, bahkan hidup dan mati semuanya tertuju pada satu jurusan, yaitu Allah yang tidak bersekutu dengan yang lain, Allah yang Mahakuasa atas seluruh alam, dan sebagai akibat pula dari lanjutan kepercayaan bahwa tidak suatu pun yang diharap-harapkan hendak dijadikan Tuhan buat disembah, sebab yang mencipta seluruh alam ini hanya Allah; dan sebagai akibat dari semuanya itu jelaslah bahwa diri pribadi ini bebas dari segala pengaruh. Tidak ada tempat takut melainkan Allah, bahkan tidak ada yang lain tempat bertanggung jawab atas segala amal yang diamalkan, usaha yang diusahakan, melainkan Allah. Dosaku tidak orang lain yang akan menanggung, sebaliknya dosa orang lain pun tidak ada yang akan menanggung. Masing-masing kita langsung bertanggung jawab kepada Allah. Dan itulah penjelasan lanjutan ayat.
“Dan tidaklah akan menanggung seorang penanggung akan tanggungan orang lain." Kalau aku bersalah, yang akan menanggung kesalahanku itu, yang akan bertanggung jawab ialah aku sendiri di hadapan Allah. Tanggungan dosaku tidaklah akan ditanggung orang lain. Dalam menyelesaikan suatu kesalahan, aku akan berhadapan langsung dengan Allah. Tidaklah ada seorang malaikat atau seorang guru, atau seorang nabi yang akan menjadi penanggung dari dosaku. Terutama terhadap Nabi Isa al-Masih a.s. jikalau ada yang berbuat dosa sepuas-puas hatiku, lalu al-Masih yang akan menebus dosaku itu dengan dirinya sendiri, tidaklah mungkin. Aku yang membuat suatu beban berat, tidaklah al-Masih yang mesti memikulnya. Dan tidak berhala, patung, pastor, dan tidak tuan syekh yang berkubur di satu pekuburan. Dengan ini, teranglah bahwa aqidah tauhid itu, yaitu memercayai bahwa Allah itu Esa adanya, lalu beribadah kepada-Nya saja, mempunyai ekor yang lain lagi, yaitu tanggung jawab tiap-tiap pribadi tentang dosa, hanya kepada-Nya yang satu itu juga.
“Kemudian kepada Tuhan kamulah tempat kamu kembali. Maka Dialah yang akan memberitakan kepada kamu tentang apa yang telah pernah kamu perselisihkan."
Artinya, akan kembalilah kamu kepada-Nya saja di hari akhirat itu, sesudah melalui hidup dunia ini. Kembali kepada-Nya saja, tidak pada yang lain. Waktu itulah diberitahukan kepadamu dengan jelas bukti kesalahanmu ketika hidup di dunia yang telah menjadi berselisih karena banyak yang disembah. Ada yang menyembah berhala dan macam-macam pula berhalanya. Ada yang menyembah gunung, ada yang menyembah Isa al-Masih, ada yang menyembah Budha Gauthama, menyembah matahari, bulan, bintang, dan bahkan ada yang menyembah kemaluan ayahnya. Pada Allah sendiri jualah kiranya segala keputusan, dan batallah segala yang kamu sembah selain dari Dia itu.
Dengan ayat ini, terutama yang menerangkan bahwa seorang tidak akan menanggung beban tanggungan orang lain, dapatlah dipahamkan, memberikan hadiah pahala bacaan al-Faatihah atau surah Yaasiin dan seba-gainya untuk orang yang telah mati, menjadi percuma, tidak ada gunanya. Apalagi salafush-shalihin pun tidak pula meninggalkan contoh yang dapat ditiru dalam amalan seperti ini. Sekarang kebiasaan tambahan itu telah merata di mana-mana. Dan kalau dicari dari mana asal mulanya menurut ilmiah, sebagaimana tuntutan kepada orang Quraisy tentang binatang larangan dan ladang larangan pada ayat 143 dan 144 di atas tadi, akan payah pula orang mencari dasarnya.
Kita baca, Misalnya surah Yaasiin atau al-Faatihah atau tahlil. Kita mengharap semoga Allah memberi kita pahala pembacaan itu. Soal pahala adalah soal karunia Allah, menjadi soal yang gaib. Bukan sebagai suatu kuitansi yang terang diterima dengan tangan. Kemudian, pahala itu kita hadiahkan kepada orang yang telah mati.
Sudah terangkah pahala itu ada di tangan kita? Dan siapakah yang akan menyampaikan hadiah pahala itu kepada si mati? Niscaya kita mengharap supaya Allah juga yang memberikan kepada si mati itu bukan? Maka, setelah pahala yang telah kita terima itu kita minta tolong kepada Allah menghadiahkannya, masihkah kita berpahala juga? Kalau memang perbuatan ini berasal dari agama, alangkah senangnya orang yang telah mati itu. Selalu dikirimi pahala oleh orang yang hidup, yaitu pahala “hangat-hangat", yang baru diterimanya sendiri dari Allah, sedangkan orang yang telah mati itu tidak ada memikul kewajiban lagi, buat mengamalkan suatu amalan. Dan kalau ini diselesaikan benar-benar dengan pikiran tenang, niscaya orang yang lalai beragama di kala hidup tidaklah merasa bahwa salahnya berat. Sebab, setelah mati dia selalu akan dapat kiriman “pahala" dari saudaranya, yang diusahakan oleh saudaranya itu sendiri.
Yang terang sebagai Sunnah dan teladan dari Rasulullah ﷺ hanyalah mendoakan kepada Allah, semoga Muslimin dan Muslimat, yang hidup atau yang mati diberi rahmat, karunia dan kelapangan oleh Allah. Berdoa demikian memang berpahala dan pahalanya itu adalah untuk yang berdoa. Adapun doa itu dikabulkan atau tidak oleh Allah, terserah kepada Allah sendiri. Ini sangat jauh bedanya dengan membaca surah Yaasiin, lalu dapat pahala dan pahala itu dikirim kepada si mati, untuknya.
Masih adakah hubungan orang yang telah mati dengan orang yang masih hidup? Tentu masih ada, jika orang yang telah mati itu meninggalkan amalan yang terus-menerus akan diterima hasilnya setelah dia mati. Jadi, bukan dia menerima kiriman hasil amalan orang lain, melainkan amalnya sendiri juga. Hal ini dijelaskan oleh hadits yang dirawikan oleh Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan an-Nasa'i dari Abu Hurairah. Demikian bunyinya:
“Apabila mati seorang anak Adam, putuslah amalnya kecuali dari yang tiga. Yaitu, sedekah jariyah, ilmu ;yan,g diambil orang manfaatnya dari dia, dan anak yang s ha (ih, yang mendoakannya." (HR Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasa'i)
Ketiganya ini adalah amal orang itu sendiri ketika dia hidup. Setelah dia mati, amal itu masih tinggal dan berkembang, dan dia menerima hasilnya saja. Sedekah jariyah, yaitu sedekah yang dapat diambil orang faedahnya berlama masa, seumpama kebun wakaf atau menggali sumur, atau mewakafkan tanah untuk masjid dan lain-lain. Ilmu yang bermanfaat, selama masih ilmu itu berkembang, niscaya dia akan menerima hasilnya juga. Sudah hancur badannya dalam kubur, tetapi jasanya dengan ilmu yang ditinggalkannya itu masih dirasai orang. Seumpama Thomas Alva Edison mendapat ilmu tentang lampu listrik. Maka selama faedah listrik itu masih dipakai orang di dunia ini, sampai menyambung suara khut-bah Jum'at dari Hari Raya Islam, Thomas Alva Edison masih menerima pahala jasanya (jika amalnya disertai iman, Corr).
Dan anak yang shalih ialah berkat didikan si ayah juga, yang setelah mati si ayah masih menerima doanya. Dia akan selalu mendoakan kepada Allah, “Ya Tuhanku, beri rahmatlah ayah bundaku yang telah wafat itu." Dia diberi pahala oleh Allah karena mendoakan ayah bundanya dengan tidak usah mengirimkan pahala itu kepada ayah bundanya, sebab Allah sendirilah yang akan melapangnya jika doa anak itu dikabulkan.
Dan sebuah hadist lagi, yang menganjurkan berjasa di waktu hidup untuk diterima hasilnya setelah meninggal dunia:
“Dari Anas bin Malik r.a. berkata dia, berkata Rasululah sate., ‘Adalah tujuh perkara yang akan mengalir pahalanya untuk seorang hamba Allah, padahal dia sudah di dalam kuburnya sesudah matinya. Yaitu barangsiapa yang mengajarkan suatu ilmu atau memperluas sungai atau menggali sumur atau menanamakan pohon kurma atau membangun sebuah masjid atau mewariskan sebuah mushaf Al-Qur'an atau meninggalkan seorang anak yang memohonkan am-punan Allah untuknya sesudah matinya."
Oleh sebab itu, selain mengajarkan ilmu yang berfaedah, mengeruk sungai supaya perahu-perahu yang berlayar di atasnya tidak kandas, atau membuat tanggul untuk membagi-bagikan air sungai bagi mengairi sawah lebih luas, adalah termasuk amal jariyah juga. Apalagi menggalikan sumur untuk orang minum, atau menanam pohon-pohon di pinggir jalan yang buahnya bisa menghilangkan dahaga orang yang lalu lintas pun termasuk amal jariyah.
Isi hadits ini telah memperluas apa yang dimaksud dengan amal jariyah, yang hasilnya tetap akan diterima, walaupun seseorang telah tinggal tulang di dalam kubur.
Dan adakah lagi amal yang lain yang masih dapat diterima oleh seorang yang telah mati atau hasilnya sesudah dia mati?
Masih ada. Yaitu seperti yang disebutkan oleh sabda Nabi Muhammad ﷺ yang dirawikan Muslim dari Jarir bin Abdil Malik al-Bajali:
“Barangsiapa vang menjejakkan di dalam Islam sesuatu jejak yang baik, maka untuk dialah pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya, dengan tidak akan dikurangi dari pahala mereka yang lain itu sedihi t pun. Dan barangsiapa jyang menjejakkan dalam Islam akan satu jejak yang buruk, adalah atasnya dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya dan tidak dikurangi (pula) dari dosa mereka yang lain itu sedikit pun." (HR Muslim)
Jejak yang baik ialah meninggalkan contoh yang baik dan bermanfaat, yaitu membuka jalan baru yang dahulu belum dikenal sehingga mencapai yang lebih maju. Bukan menambah-nambah agama yang telah ada dan cukup, melainkan menambah jalan buat melancarkannya. Seumpama mendapat alat peti cetak sehingga Al-Qur'an dan kitab-kitab agama dapat disebarkan lebih banyak. Karena mendapat jalan baru itu, dia mendapat pahala. Dan selama orang lain menuruti jejaknya, orang yang menuruti dapat pahala dan dia pun tetap dapat pahala juga. Sebaliknya orang yang membuat contoh jalan baru yang buruk, yang jahat, supaya orang datang memuja pada kuburnya, mendapat kepala dosa sebab dia yang memulai. Dan selama manusia; masih berduyun datang memuja kubur itu, yang memuja itu berdosa dan yang memulai perbuatan itu dahulunya masih tetap menerima dosanya, walaupun dia sudah lama mati.
Dengan kedua hadits ini kita mendapat pengetahuan, walaupun orang telah meninggal dunia, masih ada jalan untuknya menerima pahala terus-terusan, dari amalnya pada waktu hidup. Bukannya dengan meminta kepada orang lain membaca tahlil atau al-Faatihah atau surah Yaasiin, lalu supaya orang lain itu sudi pula menghadiahkan pahala membaca itu kepadanya. Sebab cara yang demikian terlalu berbelit-belit jalannya dan tidak dijamin akan sampai. Sebab, ayat-ayat terlalu banyak mengatakan bahwa tiap-tiap orang akan bertanggung jawab langsung kepada Allah, diperiksa tentang dosa dan pahalanya, walaupun yang sebesar zarrah pun akan di-perlihatkan dan akan dipertimbangkan di hadapannya. Tidak ada ayat atau hadits yang menyebutkan bahwa kalau ada datang kiriman pahala dari dunia, beberapa daftar dosa itu akan dihapuskan oleh Allah. Adapun dengan menanam amal jariyah, ilmu yang memberi manfaat dan doa anak yang shalih, memang ada jaminan dari hadits Rasulullah ﷺ yang shahih, dan bisa dikerjakan pada masa hidup ini juga. Demikian pula hadits tentang sunnah yang baik dan sunnah yang buruk tadi.
Semuanya akan terus menerima pahala, walaupun telah hancur tulang di dalam kubur. Seumpama Kiai H.A. Dahlan pendiri Perserikatan Muhammadiyah dan Kiai Hasyim Asy'ari pendiri Nahdhatul Ulama maka selama kedua pergerakan Islam itu masih mengembangkan sayap amalnya yang baik di Indonesia ini, menurut hadits ini beliau-beliau itu masih tetap menerima pahala dari bekas Sunnah yang baik yang beliau-beliau tinggalkan itu. Dan Imam Ghazali akan masih tetap menerima pahala selama kitab-kitab karangan beliau masih dipelajari orang. Dan di atas dari itu semua, nabi kita Muhammad ﷺ yang telah meninggal 13 setengah abad yang lalu, masih tetap menerima pahala yang baik dari bekas usaha beliau, selama shalawat dan salam terhadap diri beliau masih terdengar di permukaan bumi ini. Sebab, yang beliau terima ialah bekas amalan beliau tatkala hidup yang berpanjang-panjang bekasnya itu sampai ke akhir zaman.
Akhir penutup surah ini ialah:
Ayat 165
“Dan Dialah yang telah menjadikan kamu khalifah bumi dan telah Dia angkatkan setengah kamu atas yang setengah beberapa derajat"
Arti khalifah ialah pengganti atau penyambung. Ayat ini telah diartikan dengan dua macam. Pertama, kamu wahai insan telah diangkat oleh Allah menjadi khalifah-Nya dalam bumi ini. Untuk tafsiran yang seperti ini lebih baik dipakai kalimat aslinya saja, yaitu khalifah. Karena sukar memberinya arti dalam bahasa Indonesia atau Melayu. Sebab, sebagaimana telah kita ketahui di dalam surah al-Baqarah, Allah telah menjadikan Adam khalifah di bumi. Dengan demikian, manusia turunan Adam ini pun mengikuti jejak nenek moyangnya itu, meneruskan menerima khalifah Allah di bumi ini. Atau tafsiran yang kedua, umat Muhammad ini menjadi khalifah daripada umat-umat yang telah lalu. Jadi bukan khalifah Allah, melainkan pengganti tugas nenek moyang atau penyambung usaha orang dahulu-dahulu. Tugas menjadi khalifah ialah meramaikan bumi, memeras akal budi untuk mencipta, berusaha, mencari dan menambah ilmu dan membangun, berkemajuan dan berkebudayaan, mengatur siasat negeri dan bangsa dan benua. Di dalam memikul kewajiban menjadi khalifah itu ditakdirkanlah, derajat manusia tidak sama, sebab yang setengah dilebihkan dari yang lain. Ada yang pintar, bodoh, kuat, lemah, mulia, hina, ada yang menjadi penguasa, ada yang menjadi rakyat jelata."Untuk menguji kamu pada apa-apa yang telah Dia datangkan kepada kamu." Artinya, sesungguhnya derajat manusia tidak sama, tetapi seluruh manusia diberi akal dan diberi pula petunjuk dengan agama, diutus rasul-rasul diturunkan kitab-kitab. Bagaimana perbedaan nasib tadi menjadi ujianlah tentang kesanggupan manusia itu melalui hidup masing-masing. Di dalam perjuangan hidup di dunia, yang pintar supaya memimpin yang bodoh, yang kuat supaya membela yang lemah. Namun, pada sisi Allah yang mulia ialah barangsiapa yang lebih takwa kepada-Nya. Yang tahan menderita dan bersyukur jika dapat untung. Dan sampai di akhirat kelak manusia pun akan mendapat ganjaran sesuai dengan niat dan amalnya, dengan iman atau kufurnya, dengan tauhid atau syiriknya.
Dalam ayat ini bertemulah kita kembali inti sari dari tauhid. Bahwasanya seluruh manusia dalam sifat kemanusiaannya adalah sama tugasnya, sama-sama khalifah. Baik khalifah Allah menurut tafsir yang pertama atau khalifah dari umat yang dahulu sebagai tafsiran yang kedua. Dengan demikian, seluruh manusia itu terjadi langsung menurut kehendak dan berhubungan langsung dengan Allah. Tidak ada “orang tengah" yang membatas di antara manusia dengan Allah. Perbedaan nasib boleh diterima sebagai suatu kenyataan, tetapi bukan berarti bahwa orang disuruh bermalas-malas. Sebab selain dari ketentuan Maharaya dari Allah, pada tiap-tiap pribadi insan itu tersimpan suatu alat pemberian Allah untuk bekal hidupnya, yaitu kesadaran hidup yang timbul dari akalnya.
Meskipun ada orang pandai dan ada orang bodoh, keduanya sama-sama makhluk Allah. Perbedaan keadaan, pertingkatan derajat di antara manusia adalah ujian semata-mata, bukan buat lemah dan melempem, melainkan buat diatasi. Kalau bukan buat diatasi, tidaklah insan akan diriamai khalifah bumi. Di dalam Al-Qur'an, kita selalu bertemu ayat-ayat yang mengandung ibtilaa' walanabluwannakum, walaqad fatanna, sesungguhnya akan Kami uji kamu, sesungguhnya telah Kami cobai kamu. Dengan ujian dan cobaan itu menanglah siapa yang sabar dan syukur, yang gigih dan tidak mengenal putus asa. Dan dalam melaksanakan tugas jadi khalifah itu, umur pun sampai, kita pun mati dan kembali ke hadirat Allah, mempertanggungjawabkan usaha kita sebagai khalifah. Maka berfirmanlah Allah sebagai penutup ayat dan penutup surah:
“Sesungguhnya Tuhan engkau itu sangat cepat slksaan-Nya dan sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun lagi Penyayang."
(ujung ayat 165)