Ayat
Terjemahan Per Kata
مَن
barang siapa
جَآءَ
datang
بِٱلۡحَسَنَةِ
dengan kebaikan
فَلَهُۥ
maka baginya
عَشۡرُ
sepuluh
أَمۡثَالِهَاۖ
serupanya/kali lipat amalnya
وَمَن
dan barang siapa
جَآءَ
datang
بِٱلسَّيِّئَةِ
dengan kejahatan
فَلَا
maka tidak
يُجۡزَىٰٓ
diberi balasan
إِلَّا
kecuali/melainkan
مِثۡلَهَا
serupa/seimbang dengannya
وَهُمۡ
dan/sedang mereka
لَا
tidak
يُظۡلَمُونَ
mereka dianiaya
مَن
barang siapa
جَآءَ
datang
بِٱلۡحَسَنَةِ
dengan kebaikan
فَلَهُۥ
maka baginya
عَشۡرُ
sepuluh
أَمۡثَالِهَاۖ
serupanya/kali lipat amalnya
وَمَن
dan barang siapa
جَآءَ
datang
بِٱلسَّيِّئَةِ
dengan kejahatan
فَلَا
maka tidak
يُجۡزَىٰٓ
diberi balasan
إِلَّا
kecuali/melainkan
مِثۡلَهَا
serupa/seimbang dengannya
وَهُمۡ
dan/sedang mereka
لَا
tidak
يُظۡلَمُونَ
mereka dianiaya
Terjemahan
Siapa yang berbuat kebaikan, dia akan mendapat balasan sepuluh kali lipatnya. Siapa yang berbuat keburukan, dia tidak akan diberi balasan melainkan yang seimbang dengannya. Mereka (sedikit pun) tidak dizalimi (dirugikan).
Tafsir
(Siapa membawa amal yang baik) yakni zikir laa ilaaha illallaah/tidak ada tuhan selain Allah (maka baginya pahala sepuluh kali lipat amalnya) balasan pahalanya adalah sepuluh kali kebaikan (dan siapa membawa perbuatan yang jahat, maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya) balasannya yang setimpal (sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya atau dirugikan) dikurangi sesuatu dari pembalasan yang sebenarnya.
Tafsir surat Al-An’am: 160
Barang siapa yang berbuat kebaikan, dia akan mendapat balasan sepuluh kali lipatnya. Siapa yang berbuat keburukan, dia tidak akan diberi balasan yang seimbang dengan keburukannya. Mereka (sedikit pun) tidak dizalimi (dirugikan).
Ayat 160
Ayat ini merupakan penjelasan yang rinci bagi ayat lainnya yang disebutkan-Nya secara mujmal (global), yaitu firman-Nya: “Barang siapa yang datang dengan (membawa) kebaikan, maka ia memperoleh (balasan) yang lebih baik darinya.” (Al-Qashash: 84 dan An-Naml: 89)
Banyak hadits yang menyebutkan hal yang serupa dengan makna ayat ini, antara lain ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibnu Hambal. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Al-Ja'd Abu Usman, dari Abu Raja Al-Utaridi, dari Ibnu Abbas , bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda dalam riwayat yang dikemukakannya dari Tuhannya, yaitu: “Sesungguhnya Tuhan kalian adalah Maha Penyayang. Barang siapa berniat melakukan suatu kebaikan, lalu ia tidak mengerjakannya, dicatatkan baginya pahala satu kebaikan. Dan jika ia mengerjakannya, maka dicatatkan baginya sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat pahala kebaikan hingga kelipatan yang banyak. Barang siapa berniat hendak mengerjakan suatu keburukan, lalu ia tidak melakukannya, maka dicatatkan baginya pahala satu kebaikan. Jika ia melakukannya, maka dicatatkan baginya dosa satu keburukan atau Allah menghapuskannya. Dan tidak ada seorang pun yang binasa karena Allah melainkan orang yang (ditakdirkan) binasa.” Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam An-Nasai meriwayatkannya melalui hadits Al-Ja'd Abu Usman dengan lafal yang sama.
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Al-Ma'rur ibnu Suwaid, dari Abu Dzar yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Allah ﷻ berfirman, "Barang siapa yang melakukan kebaikan akan mendapat pahala sepuluh kali lipat daripada kebaikan tersebut, dan bahkan lebih dari itu. Dan barang siapa mengerjakan suatu keburukan akan menerima balasan yang sepadan, atau Aku akan mengampuninya. Barang siapa yang mengerjakan sepenuh bumi berupa dosa, kemudian ia menemui-Ku tanpa menyekutukan Aku dengan apapun, maka Aku jadikan baginya ampunan sebesar dosanya itu. Barang siapa mendekatkan dirinya kepada-Ku satu jengkal, niscaya Aku mendekat kepadanya satu hasta. Barang siapa mendekatkan dirinya kepada-Ku satu hasta, niscaya aku mendekatinya satu depa (rentangan tangan). Dan barang siapa yang datang kepada-Ku dengan berjalan kaki, niscaya Aku datangi dia dengan berlari kecil.” Imam Muslim meriwayatkannya dari Abu Kuraib, dari Abu Mu'awiyah dengan lafal yang sama, dan dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Waki', dari Al-A'masy dengan lafal yang sama. Ibnu Majah meriwayatkannya dari Ali ibnu Muhammad At-Tanafisi, dari Waki dengan lafal yang sama.
An-Hafidzh Abu Ya'Ia Al-Mausuli mengatakan, telah menceritakan kepada kami Syaiban, telah menceritakan kepada kami Hammad. Telah menceritakan kepada kami Sabit, dari Anas ibnu Malik, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Barang siapa yang berniat mengerjakan suatu kebaikan, lalu tidak melakukannya, maka dicatatkan baginya pahala satu kebaikan. Dan jika ia melakukannya, maka dicatatkan baginya sepuluh pahala kebaikan. Dan barang siapa berniat melakukan suatu keburukan, lalu tidak mengerjakannya, maka tidak dicatatkan sesuatu pun atasnya. Dan jika ia mengerjakannya, maka dicatatkan baginya dosa satu keburukan.”
Perlu diketahui bahwa orang yang meninggalkan keburukan, yakni yang tidak mengerjakannya (padahal ia sudah berniat) terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
Seseorang yang meninggalkannya karena Allah, maka baginya dicatatkan pahala satu kebaikan karena berkat upayanya dalam menahan diri untuk tidak mengerjakan keburukan demi karena Allah. Hal ini disebabkan karena amal dan niat. Maka disebutkan di dalam hadits bahwa dicatatkan baginya satu pahala kebaikan. Seperti yang disebutkan di dalam salah satu lafal hadits shahih, yaitu: “Sesungguhnya dia meninggalkannya demi Aku.”
Seseorang meninggalkannya karena lupa dan tidak ingat lagi kepadanya. Maka orang yang demikian tidak memperoleh pahala, tidak pula dosa, karena dia tidak berniat kebaikan dan tidak pula mengerjakan suatu keburukan.
Seseorang meninggalkannya karena tidak mampu dan malas setelah berusaha melakukan unsur-unsur yang menyebabkan terjadinya kejahatan dan mengerjakan hal-hal yang mendekatkan dirinya kepada perbuatan jahat. Maka orang seperti ini sama kedudukannya dengan orang yang mengerjakannya, seperti yang disebutkan di dalam hadits shahih dari Nabi ﷺ, yang telah bersabda: “Apabila dua orang muslim berhadapan dengan pedangnya masing-masing, maka orang yang membunuh dan yang terbunuh sama-sama masuk Neraka.” Para Sahabat bertanya: “Ya Rasulallah, yang demikian itu adalah bagi si pembunuh, lalu mengapa si terbunuh (mendapatkan hal yang sama)?” Beliau menjawab: “Karena sesungguhnya dia pun berkeinginan keras untuk membunuh kawannya.”
Imam Abu Ya'la Al-Mausuli mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mujahid ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ali, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnus Sabah serta Abu Khaisamah. Keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Sulaiman. Keduanya dari Musa ibnu Ubaidah, dari Abu Bakar ibnu Ubaidillah ibnu Anas, dari kakeknya (yaitu Anas) yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Barang siapa berniat melakukan suatu kebaikan, maka Allah mencatatkan satu pahala kebaikan baginya. Jika dia mengerjakannya, maka dicatatkan baginya sepuluh pahala kebaikan. Dan barang siapa berniat mengerjakan suatu keburukan, maka tidak dicatatkan baginya sebelum dia mengerjakannya. Jika dia mengerjakannya, maka dicatatkan atas dirinya dosa satu keburukan. Jika ia meninggalkannya (tidak mengerjakannya), maka dicatatkan baginya pahala satu kebaikan, Allah ﷻ berfirman, "Sesungguhnya dia meninggalkannya karena takut kepada-Ku.” Ini menurut lafal hadits Mujahid, yakni Ibnu Musa.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, telah menceritakan kepada kami Syaiban ibnu Abdur Rahman, dari Ar-Rakiin ibnur Rabi', dari ayahnya, dari pamannya (yaitu Fulan ibnu Amilah), dari Kharim ibnu Fatik Al-Asadi, bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda: “Sesungguhnya manusia itu ada empat macam, dan amal perbuatan itu ada enam macam:
Manusia yang diberi keluasan di dunia dan di akhirat, manusia yang diberi keluasan di dunia tapi disempitkan di akhirat, manusia yang disempitkan di dunianya tapi diberi keluasan di akhirat, dan manusia yang sengsara di dunia dan akhirat.
Sedangkan amal perbuatan itu ada dua hal (balasan) yang memastikan (surga dan neraka), balasan yang setimpal, sepuluh kali lipat pahala dan tujuh ratus kali lipat pahala.
Dua hal yang memastikan ialah barang siapa yang meninggal dunia dalam keadaan muslim, beriman, dan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun, maka wajib baginya (masuk) surga. Dan barang siapa yang mati dalam keadaan kafir, maka wajib baginya (masuk) neraka. Dan barang siapa yang berniat mengerjakan suatu kebaikan, lalu ia tidak mengerjakannya dan Allah mengetahui bahwa niat itu timbul dalam kalbunya serta berkeinginan untuk mengerjakannya, maka dicatatkan baginya satu pahala kebaikan.
Dan barang siapa yang berniat melakukan suatu keburukan, maka tidak dicatatkan hal itu atas dirinya, dan barang siapa yang mengerjakannya, maka dicatatkan atas dirinya satu dosa keburukan tanpa dilipatgandakan. Barang siapa yang mengerjakan suatu kebaikan, maka baginya pahala sepuluh kali lipat. Dan barang siapa yang mengeluarkan suatu (berinfaq) di jalan Allah ﷻ, maka dilipatgandakan (pahalanya) menjadi tujuh ratus kali lipat. Imam At-Tirmidzi dan Imam An-Nasai meriwayatkannya melalui hadits Ar-Rakin ibnur Rabi, dari ayahnya, dari Basyir ibnu Amilah, dari Kharim ibnu Fatik dengan sanad yang sama, tetapi sebagian dari lafaznya saja.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Dzar'ah, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Umar Al-Qawariri, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zurai', telah menceritakan kepada kami Habib ibnu Muljam, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi ﷺ yang telah bersabda: “Yang menghadiri shalat Jumat ada tiga macam orang, yaitu seseorang yang menghadirinya dengan lagwu (tanpa tujuan yang benar), maka shalat Jumat itu sia-sia (yakni tidak mendapat pahalanya).
Seseorang yang menghadirinya dengan doa, maka jika Allah menghendaki, niscaya Dia memberinya dan jika Allah menghendaki yang lain, niscaya Dia tidak memberinya.
Dan seseorang yang menghadirinya dengan tenang, diam, tidak melangkahi leher seorang muslim pun dan tidak mengganggu seseorang pun, maka hal itu merupakan penghapus dosa-dosanyanya sampai Jumat berikutnya dan tiga hari setelahnya. Yang demikian itu karena Allah ﷻ telah berfirman,
"Barang siapa yang berbuat kebaikan, dia akan mendapat balasan sepuluh kali lipatnya." (Al-An'am: 160).”
An-Hafidzh Abul Qasim At-Ath-Thabarani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim ibnu Marsad, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepadaku Damdam ibnu Zur'ah, dari Syuraih ibnu Ubaid, dari Abu Malik Al-Asy'ari yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Shalat Jumat merupakan kifarat (penghapus dosa) yang terjadi antara Jumat itu dengan Jumat berikutnya serta tiga hari setelahnya.” Karena itu karena Allah ﷻ telah berfirman,
"Barang siapa yang berbuat kebaikan, dia akan mendapat balasan sepuluh kali lipatnya." (Al-An'am: 160).
Dari Abu Dzar disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Barang siapa melakukan puasa tiga hari pada setiap bulan, maka sesungguhnya ia seperti melakukan puasa setahun penuh.” Hadits diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dan apa yang tertera di atas menurut lafaznya. Telah meriwayatkannya pula Imam An-Nasai, Ibnu Majah, dan Imam At-Tirmidzi.
Sedangkan Imam At-Tirmidzi menambahkan: Maka Allah menurunkan hal yang membenarkan itu dalam Kitabnya, yaitu: "Barang siapa yang berbuat kebaikan, dia akan mendapat balasan sepuluh kali lipatnya." (Al-An'am: 160).
Yaitu satu hari sebanding dengan sepuluh hari. Kemudian Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan.
Ibnu Mas'ud berpendapat sehubungan dengan firman-Nya: “Barang siapa yang berbuat kebaikan, dia akan mendapat balasan sepuluh kali lipatnya.” (Al-An'am: 160)
Barang siapa datang membawa amal kebaikan dan kalimah 'Tidak ada Tuhan selain Allah', yakni ia mukmin, dan barang siapa yang datang dengan membawa amal jahat, yakni ia musyrik.
Hal yang sama diriwayatkan dari sejumlah ulama Salaf, dan memang ada hadits marfu' yang mengatakan demikian, tetapi kesahihannya hanya Allah yang mengetahui, hanya saya sendiri tidak meriwayatkannya dari jalur yang dapat dipegang. Hadits-hadits dan atsar-atsar mengenai masalah ini cukup banyak, apa yang telah kami sebutkan mudah-mudahan sudah mencukupi.
Berkaitan dengan hari pembalasan, Allah menjelaskan tentang anugerah-Nya yang agung terhadap orang mukmin yang berbuat baik. Barang siapa berbuat kebaikan, walaupun sedikit, akan men-dapat balasan sepuluh kali lipat, bahkan bisa lebih dari itu sampai tujuh ratus kali lipat dari amalnya, karena Allah Mahakaya. Hal itu jika amal baik tersebut disertai dengan keikhlasan dan sesuai dengan aturan agama Islam. Dan barang siapa berbuat kejahatan dibalas seimbang dengan kejahatannya sebagai bentuk keadilan Allah. Mereka sedikit pun tidak dirugikan atau dizalimi. Allah tidak akan berbuat zalim sedikit pun terhadap hambahamba-Nya, seperti mengurangi pahala atau menambahkan dosa yang tidak diperbuat. Dialah Yang Maha Pemurah, Maha Penyayang Pada akhir surah ini Allah memberi arahan kepada Nabi mengenai berbagai soal yang penting. Katakanlah, wahai Nabi Muhammad, Sesungguhnya Tuhanku yang memilikiku, memeliharaku, dan mendidikku, telah memberiku petunjuk ke jalan yang lurus, agama yang benar, agama Nabi Ibrahim yang lurus yang condong kepada kebenaran. Dia, Nabi Ibrahim, tidak termasuk orang-orang musyrik, bahkan menjadi bapak orang-orang yang bertauhid, menjadi teladan dan contoh yang baik bagi kaum muslim. Ayat ini menandaskan kebenaran agama Islam sebagai agama yang lurus, pelanjut dari agama yang dibawa oleh para nabi terdahulu.
Pada ayat ini diterangkan dengan jelas, bahwa siapa berbuat amal baik, maka Allah akan memberikan pahala balasannya di hari akhirat dengan sepuluh kali lipat amalnya. Barang siapa berbuat kejahatan hanya dibalas setimpal dengan kejahatannya, sebab Allah tidak akan menganiaya sedikitpun atau merugikan mereka. Yang dimaksud dengan orang yang beramal baik di sini ialah orang-orang mukmin, karena amal baik orang kafir sebelum masuk Islam tidak akan bermanfaat bagi mereka di akhirat, seperti yang diterangkan di dalam firman Allah:
Itulah petunjuk Allah, dengan itu Dia memberi petunjuk kepada siapa saja di antara hamba-hamba-Nya yang Dia kehendaki. Sekiranya mereka mempersekutukan Allah, pasti lenyaplah amalan yang telah mereka kerjakan. (al-An'am/6: 88)
Maksud dari ungkapan "balasan sepuluh kali lipat" di sini belum termasuk apa yang dijanjikan Allah dengan balasan yang jauh lebih banyak dan berlipat ganda kepada orang-orang yang membelanjakan hartanya di jalan Allah sampai 700 kali lipat.
Jika kamu meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, niscaya Dia melipatgandakan (balasan) kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Mensyukuri, Maha Penyantun. (at-Tagabun/64: 17)
Di dalam hadis Nabi Muhammad, banyak dijumpai tentang balasan amal baik dan amal jahat bahkan diterangkan pahala bagi orang yang belum mengerjakan suatu perbuatan baik tapi hanya sekadar niat atau ketetapan hati untuk meluluhkannya. Hal ini tersebut dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah yang menceritakan sebagai berikut:
Sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda, "Allah berfirman, apabila hamba-Ku hendak mengerjakan kebaikan dan tidak dikerjakannya, maka tulislah baginya satu pahala kebajikan. Dan apabila dikerjakannya, maka tulislah sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat pahala kebaikan. Dan apabila hamba-Ku hendak mengerjakan suatu pekerjaan jahat, janganlah dituliskan (jangan dicatat) sebagai suatu kesalahan sebelum dikerjakannya. Dan apabila dikerjakannya, catatlah baginya satu kesalahan (kejahatan)." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda, "Allah berfirman kepada malaikat-Nya, apabila hamba-Ku hendak mengerjakan suatu pekerjaan jahat, janganlah dituliskan (jangan dicatat) sebagai suatu kesalahan sebelum dikerjakannya. Dan apabila dikerjakannya, catatlah baginya satu kesalahan (kejahatan). Dan jika ditinggalkannya (tidak jadi diperbuatnya) karena Aku (karena Allah), maka tulislah baginya satu kebajikan. Dan apabila ia hendak mengerjakan kebaikan dan tidak dikerjakannya, maka tulislah baginya satu pahala kebajikan. Dan apabila dikerjakannya, maka tulislah sampai tujuh ratus kali lipat pahala kebaikan baginya."
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 159
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah-betahkan agama mereka dan jadilah mereka bergolong-golongan, bukanlah engkau daripada mereka, pada apa jua pun."
Kalau di ayat 153 telah dijelaskan bahwa jalan yang benar dan lurus hanya satu dan jalan yang lain berapa pun banyaknya, tidak lain hanyalah membawa perpecahan maka di ayat ini dijelaskan lagi, walaupun semua orang telah masuk ke jalan yang satu itu, jalan ash-shirathal mustaqim, jalan yang ditempuh nabi, semua perpecahan akan timbul lagi kalau setelah masuk ke dalam jalan itu lalu jalan itu ditinggalkan dan menempuh jalan sendiri-sendiri. Orang membuat kelompok sendiri-sendiri dalam jalan yang satu itu sehingga tidak disadari mereka menjadi berpecah sesudah bersatu. Dengan demikian, agama yang satu menjadi pecah-belah sehingga timbul golongan-golongan. Di dalam ayat ini Allah telah memberi peringatan kepada Rasul-Nya, “Bukanlah engkau daripada mereka, pada apa jua pun." Artinya, sekalian golongan itu pada hakikatnya telah terlepas daripada pimpinan Rasul, sebab Rasul tidak boleh berpihak pada salah satu daripada golongan-golongan itu, walaupun tiap-tiap golongan akan mendakwakan bahwa pihak merekalah yang diakui oleh Rasul.
Menurut penafsiran dari setengah penafsiran salaf, ayat ini adalah mengenai kepada Ahlul Kitab yang telah terdahulu. Karena agama yang asal hanyalah satu, yaitu agama tauhid. Agama itulah yang ditegakkan oleh Ibrahim, Musa, dan Isa. Namun, kemudian oleh pengikut-pengikut yang datang di belakang, agama yang asli itu telah dipecah-belah, ada yang menyebut mereka Yahudi dan ada yang menyebut mereka Nasrani, masing-masing mengatakan bahwa mereka adalah di pihak yang benar lalu satu golongan memusuhi golongan yang lain. Dan ahli tafsir yang lain menerangkan bahwa ayat ini adalah peringatan khusus pada umat Muhammad ﷺ sendiri, yang persatuan mereka dalam satu aqidah akan terpecah-belah oleh karena timbulnya bermacam pendapat, lalu timbul tambahan-tambahan yang bukan-bukan, yang disebut bid'ah, tiap-tiap golongan mendakwakan, merekalah yang benar, dan yang lain salah semuanya.
Kalau direnungkan kedua penafsiran ini, dapatlah digabungkan menjadi satu. Kalau di-tafsirkan bahwa yang dimaksud ayat ini ialah Ahlul Kitab, dapat juga diterima, sebab ayat ini ialah sesudah menerangkan persamaan Wasiat Sepuluh Al-Qur'an dengan Wasiat Sepuluh dalam Taurat. Dan penafsiran pun tidak salahnya jika dilanjutkan kepada umat Muhammad sendiri, sebab memang ada peringatan khusus kepada umat Muhammad yang jelas tersebut di dalam surah Aali ‘lmraan ayat 105 yang melarang berpecah-belah dan berselisih-selisih sesudah datang keterangan, sebagai telah terjadi kepada Ahlul Kitab yang dahulu. Pendeknya ke mana pun hendak dibawa ayat ini, teranglah yang menjadi intinya memberi peringatan keras tentang bahaya perpecahan. Baik dalam kalangan Ahlul Kitab maupun kalangan umat Muhammad.
Ibnu Abbas berkata, “Sebelum Muhammad ﷺ diutus Allah, Yahudi dan Nasrani telah berselisih-selisih. Setelah Muhammad diutus datanglah ayat, ‘Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan jadilah mereka bergolong-golongan' ini."
Abu Hurairah berkata bahwa tujuan ayat ini ialah kepada umat Muhammad ini. Dan menurut hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, al-Hakim, Ibnu juraij, ath-Thabrani, dan lain-lain, Nabi Muhammad ﷺ mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat ini ialah ahli bid'ah dan ahli ahwaa' (beragama menurut hawa nafsu sendiri) yang terdapat dalam umat ini. Dan keterangan ini pun dikuatkan suatu hadits yang dirawikan Ibnu Abi Hatim, Abusy-Syaikh, ath-Thabrani, dan al-Baihaqi di dalam kitabnya Syu'abui Iman yang diterima dari Umar bin Khaththab, bahwa Nabi ﷺ pernah berkata kepada Aisyah, “Wahai Aisyah, sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi bergolong-golongan, ialah orang-orang yang empunya bid'ah, dan yang memperturutkan hawa nafsu dalam beragama dan orang-orang yang membawakan kesesatan (dhalalah) daripada umat ini. Mereka itu tidak ada bagi mereka tobat. Wahai Aisyah, tiap-tiap orang yang berdosa, bisa diberi tobat, kecuali tukang-tukang bid'ah dan tukang hawa nafsu. Mereka tidak diberi tobat. Aku berlepas diri dari mereka dan mereka pun lepas diri dariku."
Arti hadits ini bukanlah bahwa mereka telah tahu bahwa perbuatan mereka telah terang bid'ah dan sudah jelas bagi mereka bahwa mereka memang salah lalu mereka kembali pada kebenaran dan tobat, lalu tobat mereka tidak diterima. Bukanlah demikian makna hadits ini. Namun, maksudnya ialah bahwa mereka tidak mau tobat karena mereka tetap menyangka bahwa mereka di pihak benar.
Sekianlah yang tertulis di dalam Tafsir ad-DurruI Mantsur.
Di dalam menafsirkan ayat ini, ahli-ahli tafsir membawakan pula sebuah hadits dari beberapa jalan riwayat. Satu di antara hadits itu berbunyi:
“Telah berpecah-belah Yahudi kepada 71 atau 72 pecahan dan berpecah-belah Nasrani kepada 71 atau 72 pecahan, dan akan berpecah belah umatku kepada 73 pecahan." (HR Abu Dawud dari Abu Hurairah)
Dan satu hadits lagi, dirawikan oleh Abu Dawud juga dari hadits Mu'awiyah begini bu-nyinya:
“Ketahuilah bahwasanya Rasulullah ﷺ pernah berdiri di hadapan kami lalu berkata, ‘Sesungguhnya dari Ahlul Kitab yang sebelum kamu telah berpecah-belah 72 agama dan agama yang ini pun akan berpecah-belah pula menjadi 73. Dan yang 72 akan masuk neraka dan yang satu akan masuk surga, yaitu al-Jamaah. (HR Abu Dawud)
Dan ada pula tambahan dalam satu riwayat yang lain:
“Dan sesungguhnya akan keluar pada umatku suatu kaum yang mengiringkan kepada mereka hawa nafsu itu sebagaimana anjing mengiringkan tuannya. Tidak ada yang tinggal lagi urat-urat dan tidak pula bagian-bagian anggota tubuh, melainkan dimasukinya."
Yaitu anjing yang mengikuti tuannya itu menggigit tuannya, sehingga menjalarlah segala penyakit anjing itu ke seluruh bagian tubuh orang yang digigitnya itu.
Dan pada sebuah hadits lain yang dirawikan oleh Tirmidzi dari Abdullah bin Amr bin al-Ash. Begini pula bunyinya:
“Sesungguhnya akan datanglah kepada umatku sebagaimana yang telah datang kepada Bani Israil, jejak terompah menuruti jejak terompah. Dan bahwa Bani Israil telah terpecah-belah kepada 72 agama dan akan terpecah belah pula umatku kepada 73 agama, semuanya akan masuk neraka, kecuali agama satu saja." Lalu mereka bertanya, “Siapakah dia (yang satu itu), ya, Rasulullah." Beliau menjawab, “Yaitu barangsiapa yang ada dia menuruti aku dan sahabat-sahabatku." (HR at-Tirmidzi)
Demikianlah hadits tentang perpecahan-perpecahan 71 atau 72 Ahlul Kitab dan 73 umat Muhammad ﷺ itu tersebut dalam tafsir-tafsir dan di dalam kitab-kitab hadits, dengan berbagai lafazh, dan lagi riwayat lain yang tidak kita salinkan dalam tafsir yang kecil ini, sebab artinya dalam bahasa kita adalah sama.
Sekarang, marilah kita bicarakan hadits-hadits yang dapat menambah jelas ayat ini untuk kita pahamkan lebih mendalam. Mula-mula sekali, di dalam ayat ini kita bertemu pengakuan dari Allah dan Rasul sendiri bahwa dalam tiap agama akan terdapat berbagai ragam jalan pikiran atau yang disebut ra'yi.
Imam Malik pernah berkata, “Rasulullah ﷺ telah meninggal dan telah sempurna urusan ini semuanya dan lengkap. Maka, yang mestinya kita ikut ialah jejak yang ditinggalkan oleh Rasulullah ﷺ dan sekali-kali jangan diikut ra'yi (pendapat orang). Karena, apabila engkau ikuti pendapat seseorang, akan datang pulalah seorang yang lain dengan ra'yi-nya pula, yang lebih kuat ra'yi-nya dari ra'yi engkau lalu engkau ikuti pula. Pada pandanganku hal ini tidak akan habis-habisnya."
Yang dimaksud ra'yi oleh Imarn Malik di sini ialah yang bersangkut dengan sekalian urusan agama, mengenai aqidah, ibadah, dan halal haram. Bukan yang berkenaan dengan dunia dan kepentingan negara, siasat, dan pelaksanaan hukum. Sebab, dalam hal yang berkenaan dengan urusan-urusan dunia itu, Imam Malik mempunyai suatu ajaran yang bernama al-mashalihil mursalah, yaitu ke-muslihatan umum, yang memang jadi tujuan juga oleh diutusnya Rasul. Oleh sebab itu, Asy-Syatibi di dalam kitabnya al-sham pada bab IX menyatakan bahwa mujtahid yang menggunakan ijtihadnya di dalam masalah-masalah ijtihadiyah tidaklah kena oleh ayat ini.
Tentu saja tidak kena para mujtahid itu oleh ayat ini. Karena kalau mereka kena, tentu agama menjadi sempit. Padahal dalam perkembangan zaman, banyak timbul soal yang wajib diselesaikan secara ijtihad, yang pada zaman Rasul sendiri sebelum ada. Masalah ijtihadiyah ialah masalah yang tidak ada nash padanya, dan belum pernah ulama yang dahulu, terutama salaf, memperbincangkan soal itu.
Ijtihad dalam hal fiqih, yang berarti memahamkan agama telah dimulai oleh ulama-ulama yang dahulu. Sejak sahabat-sahabat sampai kepada tabiin dan ulama mutaqaddimin sudah ada ijtihad. Namun, ulama-ulama yang dahulu itu selalu mengatakan bahwa pendapat i j tihad mereka adalah zhann i belaka, tidak pasti dan tidakyakin. Keempat Imam sama saja bunyi seruan mereka, yaitu pendapat mereka hanya boleh dipakai bila kenyataannya berlawanan dengan Al-Qur'an dan hadits. Imam Syafi'i terkenal dengan perkataan beliau:
“Kalau terdapat hadits yang shahih (benar) maka itulah madzhabku."
Maka yang menimbulkan perpecahan bukanlah beberapa ijtihad, tetapi apabila suatu hasil ijtihad telah dipegang dengan yakin, dan tidak boleh ditinjau atau diubah lagi. Kemudian, timbul berbagai madzhab dan tiap madzhab mengatakan bahwa pihak merekalah yang benar. Kadang-kadang, ternyata pendapat seorang mujtahid itu setelah diselidiki dengan saksama, berbeda dengan maksud suatu hadits yang shahih. Hadits shahih itu tidak dipakai orang karena orang telah memegang hasil ijtihad imamnya, dengan tak mau beranjak lagi.
Dan ... timbul perpecahan!
Imam-imam yang berempat tidaklah berselisih. Mereka sendiri hormat-menghormati di dalam pendapat masing-masing dan dapat bertolak angsur. Namun, pengikut yang datang di belakang telah pecah, seakan-akan madzhab menjadi suatu agama tersendiri, sampai menjadi pembicaraan di kalangan madzhab Hanafi, apa bolehkah seorang laki-laki bermadzhab Hanafi kawin dengan seorang perempuan bermadzhab Syafi'i. Di negeri Mekah sendiri, pusat perhimpunan kiblat kaum Muslimin, pernah beratus tahun lamanya terjadi shaiat berjamaah di Masjidil Haram empat imam bergilir pada tiap waktu karena pengikut madzhab yang ini tidak mau mengikut imam madzhab yang itu, sebab amalan dalam soal furu' ada perbedaan berkecil-kecil. Barulah pada 1925 setelah negeri Mekah ditaklukkan oleh Ibnu Sa'ud, shaiat berjamaah di Masjidil Haram dijadikan hanya satu kali pada tiap waktu. Sebelum itu, menurut cerita orang-orang tua, penganut madzhab Hanafi akan duduk saja menganggur ketika jamaah dengan imam madzhab lain, dan mereka baru mau shaiat setelah imam mereka tampil ke muka, yaitu yang paling penghabisan.
Pengetahuan kita tentang pecah-pecahan pula agar gelar Sayyid itu jangan hanya boleh dipakai oleh keturunan ‘Alawi, melainkan boleh juga dipakai oleh keturunan yang lain. Bertahun-tahun lamanya timbul dendam yang sangat mendalam di antara kedua belah pihak. Dan penjajah Belanda “tidak keberatan" campur tangan.
Dan terkadang timbul perselisilan yang membawa perpecahan karena masalah furu' (ranting) yang membawa juga pada permusuhan dan dendam kesumat. Misalnya saat timbul perselisihan tentang sunnah atau tidaknya melafazkan niat (ushalli) saat hendak memulai shalat. Atau tentang bid ah tidaknya berdiri (qiyam) membaca “Marhaban" ketika memperingati Maulid Nabi Muhammad ﷺ Atau tentang sunnah atau bid'ahkah membaca talqin, yaitu mengajarkan beberapa ajaran pada mayat sesudah dikuburkan. Dan tumbuh juga perpecahan dan bergolong-golongan ketika memperbincangkan sampaikah atau tidak apabila seorang membaca surah Yaasiin, lalu menghadiahkan pahalanya membaca itu pada orang yang telah mati.
Di sinilah kita berjumpa suatu ujung yang sulit. Kalau soal-soal demikian tidak dibicarakan, timbullah kebekuan dalam agama dan terhentilah penyelidikan mencari mana yang lebih dekat kepada sunnah, artinya terhentilah penyelidikan agama secara ilmiah. Namun biasanya pula, kalau telah mulai dibicarakan, timbullah perselisihan, ada yang membantah dan ada yang mempertahankan. Kemudian, timbul ta'ashshub. Berkeras mempertahankan pendirian, baik pendirian mempertahankan maupun pendirian merombak. Di sinilah asal-usul berkaum muda dan berkaum tua. Maka, timbullah apa yang diperingatkan Allah dalam Al-Qur'an dijelaskan oleh Nabi dalam hadits tadi, yaitu berpecah-belah dan bergolong-golongan.
Namun, haruslah kita dengan teliti dan saksama memahami ayat-ayat dan hadits-hadits ini. Agama ‘bukan melarang kita membahas dan menyelidiki soal-soal agama, ushul dan furu', ijtihadiyah dan khilafiyah. Agama bukan melarang itu, bahkan menganjurkannya. Sebab kita disuruh berpikir, berpaham, dan mempergunakan akal. Yang dilarang adalah memaksakan pendapat sendiri kepada orang lain atau dengan paksa mempertahankan pendirian sendiri dan memandang musuh atau lawan terhadap orang lain yang tidak sepaham. Dan lebih celaka lagi kalau perselisihan paham dalam soal-soal yang demikian sudah dijadikan latar belakang politik, untuk mempertahankan kedudukan golongan. Apalagi kalau sudah saling mengafirkan.
Di dalam ayat ini, Allah menjelaskan, Nabi Muhammad tidaklah masuk ke dalam salah satu dari partai atau golongan yang telah berpecah-belah itu, walaupun masing-masing mempertahankan bahwa merekalah yang paling dekat kepada Nabi. Barulah Nabi masuk kembali kepada golongan itu apabila mereka telah masuk kembali. Bersatu bukanlah persatuan paham yang dipaksakan; bersatu ialah hormat-menghormati sebab Nabi sendiri di dalam hadits-hadits yang kita salinkan tadi tetap menyatakan bahwa, walaupun telah berpecah menjadi 73 partai, semuanya itu masih tetap beliau sebut “umati" umatku!
Dalam sejarah Islam terkenal timbul golongan Khawarij, Syi'ah, Mu'tazilah, Asy'ari-yah, al-Maturidiyah, dan golongan yang menamakan dirinya Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Kalau ta'ashshub golongan telah memuncak, masing-masing mengatakan bahwa pihak merekalah yang lebih benar dan pihak yang lain adalah salah belaka. Padahal kalau kita analisa, dapatlah disimpulkan bahwa pada tiap-tiap golongan itu ada yang benar dan ada yang salah. Karena semuanya adalah hasil pendapat. Kalau pintu untuk bertukar pikiran telah ditutup dengan ta'ashshub, masih bisalah selalu ada peninjauan untuk memperbaiki mana yang salah dan menyetujui mana yang benar. Sebab Nabi sendiri pun telah bersabda:
“Tidaklah akan berkumpul umatku di atas suatu yang sesat."
Artinya, tidak ada golongan yang telah memutuskan bahwa jalan yang akan mereka tempuh ialah jalan sesat!
Meskipun Syria dan Lebanon itu sama-sama Arab, sama-sama Syam karena di Syria lebih banyak penduduk Islam dan Lebanon lebih banyak penduduk Kristen, penjajah Pe-rancis berusaha memecah belah kedua negeri ini. Keduanya merdeka, tetapi pecah. Dan di Lebanon dalam jumlah penduduk yang 1 juta itu terdapat 40 persen orang Kristen dan 60 persen orang Islam. Padahal maksud negara-negara penjajah, terutama Perancis hendak membuat negara itu bercorak Kristen. Untuk itu dihembuskan perpecahan di antara golongan-golongan Islam, yaitu Ahlul Sunnah, Syi'ah dan Duruz. Dan oleh karena pandainya penjajah melakukan jarumnya, mereka pun mengakuilah adanya perpecahan itu. Merasalah golongan Sunni bahwa mereka lain dari Syi'ah dan Syi'ah lain dari Duruz. Karena mereka terpecah, golongan yang terbesar ialah yang 40 persen, bukan yang 60 persen.
Penjajah Perancis di negeri-negeri Islam Afrika Utara (Tunisia, Marokko, dan Aljazair) menanamkan pula perpecahan di antara golongan Arab dengan golongan Barbar. Dengan jalan demikian, mereka dapat dijajah.
Beratus tahun di antara Persia (Iran) dan Arab bermusuhan karena berlainan madzhab. Namun, pada 1931 ketika terjadi Kongres Islam di Palestina, ulama-ulama Ahlus Sunnah telah mempersilakan mujahid madzhab Syi'ah yang terkenal dari Najaf (Irak) menjadi imam shalat berjamaah, yaitu Mauiana al-Kasyif al-Ghitha' Padahal ketika perselisihan diperdalam, Ahlus Sunnah amat keberatan menjadi makmum terhadap Syi'ah.
Hal yang luar biasa ini telah terjadi sebab pemuka-pemuka Islam itu telah insaf bahwa tangan lainlah yang memecahkan mereka. Bukan mereka yang pecah.
Contoh kecil dalam hal itu pernah juga terjadidilndonesia.SayyidAlibinAbdurrahman al-Habsyi Kwitang pernah menjadi imam shalat Idul Fitri di tanah lapang, padahal pada pendapat beliau lebih baik (afdhal) di masjid saja. Almarhum Kiai HA Wahid Hasyim pernah juga pada 1950 menjadi imam shalat Id di tanah lapang Gambir Jakarta. Namun, setelah perselisihan golongan diperhebat kembali di antara yang afdhal ke tanah lapang dan yang afdhal ke masjid saja, pernah kejadian berkali-kali (seumpama pernah kejadian di Tegal) bahwa ada orang shalat di dalam masjid dengan imam dan khatibnya sendiri, padahal tanah lapang (alun-alun) itu adalah di hadapan masjid. Memang di Tanah Jawa, alun-alun adalah di muka masjid. Tentu kita dapat mengatakan bahwa kalau misalnya Nabi kita Muhammad ﷺ hidup, tentu beliau tidak akan ikut pada kedua sembahyang itu. Karena kedua pihak sama mengerti pendapat masing-masing dan dapat dimusyawaratkan dengan baik, kalau tidak ada ta'ashshub, atau dengan keras mempertahankan golongan.
Sabda Nabi tentang 73 pecahan dan golongan itu, hanya satu yang masuk surga yaitu yang masuk al-Jama'ah, atau yang berpegang pada yang aku bersama sahabat memegangnya, dapatlah tiap-tiap golongan mendabik dada mengatakan bahwa kamilah golongan yang satu itu dan yang lain salah semuanya. Sehingga perpecahan bertambah hebat. Sebab si manusia sendiri telah menentukan surga hanya monopoli kepunyaan golongannya. Namun, kalau hadits ini dipahamkan kembali dengan saksama, niscaya tiap-tiap golongan itu akan sama-sama berusaha mencari manakah amalan yang diridhai oleh Allah dan Rasul supaya dia masuk surga. Bukan berlomba menyalahkan golongan lain, melainkan tiap-tiap golongan berlomba membuat amalan yang lebih baik. Pedoman ini telah diberikan Allah pula di dalam surah al-Hujuraatayat 11. Yaitu, supaya suatu kaum jangan menghina kaum yang lain dan segolongan perempuan jangan menghina golongan perempuan yang lain, karena mungkin pada yang dihinakan itu ada amalannya yang lebih baik daripada amalan si penghina itu.
Lantaran kita kaum Muslimin yang datang di belakang ini pun karena meninjau kembali beberapa keterangan dari orang-orang dahulu yang banyak membicarakan soal 73 partai ini. Seumpama Ibnu Hazmin dalam al-Fashl atau as-Safarani di dalam kitab aqidahnya, bahwa Amir Syakib Arsalan sendiri di dalam komentarnya atas kitab HadhiruI Alamil Islamy pun menuruti cara itu. Yaitu ketika menerangkan 73 golongan dalam Islam lalu disebut:
Golongan Syfah itu terdiri dari Syi'ah Itsna ‘Asyariyah, Syi'ah Isma'iliyah, Syi'ah Qaramithah, Kaisaniyah, Zaidiyah, dan lain-lain. Adapun Mu'tazilah itu terdiri dari sekian banyak. Kemudian, dihitung pula beberapa pecahannya. Adapun Khawazij itu terdiri dari Hururiyah dan Ibadiyah dan ... lalu didaftarkan pula beberapa nama sehingga semuanya jadi berjumlah 72. Kemudian, diterangkan bahwa Ahli Sunnah wal Jama'ah ialah ini! Padahal orang Syi'ah membuat pula daftar demikian dan pada penutupnya mereka mengatakan bahwa yang benar hanya satu, yaitu madzhab Ahlul Bait.
Moga-moga berdekatlah paham penulis tafsir ini dengan kebenaran. Pada pendapat penulis jika Rasulullah ﷺ menyebut bahwa umatnya akan berpecah menjadi 73 golongan, artinya ialah akan terdapat banyak sekali per-simpang-siuran pikiran. Kita teringat bahwa di dalam pemakaian bahasa Arab, yang berlaku juga dalam Al-Qur'an bahwa kalimat tujuh atau tujuh puluh adalah menunjukkan banyak, bukan berarti tepat tujuh puluh buah. Karena ini bukan kelompok, hanyalah penggolongan pikiran maka jalan pikiran yang banyak ber-simpang-siur itu bisa sesat semua, kecuali mana yang berpegang teguh pada apa yang dipegang Rasulullah ﷺ dan sahabat-sahabatnya.
Oleh sebab itu, supaya pikiran kita yang banyak simpang-siurnya itu jangan membawa kesesatan hendaklah masing-masing kita selalu berusaha mendekati mana yang sesuai dengan kehendak Rasulullah ﷺ. Kita pakailah akal, ijtihad mashalihil mursalah, qiyas, istihsan dan sebagainya. Dengan demikian, kita mengharapkan selalu semoga hasil yang kita usahakan itu sesuailah hendaknya dengan kehendak Allah dan Rasul. Dan kalau kita memperoleh pendapat yang baru lalu menurut pendapat kita apa yang dipegang oleh golongan lain salah, janganlah terburu nafsu menyalahkannya. Karena barangkali penyelidikannya belum sampai pada apa yang kita selidiki. Dan jika ada orang yang menyatakan pendapat baru, kita jangan pula lekas marah. Karena, kerap kali yang menghalangi kita menerima kebenaran baru itu bukanlah karena benarnya apa yang kita pegang, melainkan karena tiap-tiap manusia itu menurut ilmu jiwa amat berat bercerai dari kebiasaannya.
Dan masing-masing kita memperdalam iman dan memperbanyak amal. Dan masing-masing kita tidak merasa golongan tersendiri. Namun, masing-masing kita sadar bahwa Nabi kita Muhammad ﷺ tetap mengatakan bahwa kita semuanya ini adalah “umati" umatku semua. Tersebutlah di ujung ayat,"
Lain tidak peikaia meieka itu kepada Allah-tah. Kemudian Dia akan memberitakan kepada meieka apa yang meieka keijakan."
Mari kita hormati kebebasan pikiran, biarpun sampai lebih dari 73 macam, asalkan semua bukan mendakwakan dia yang paling benar, melainkan semuanya berusaha mencari yang lebih benar. Berpadu dan bersatu, saling menolong, mempertahankan kemerdekaan agama dan tanah air, menolak penjajahan dan menentang segala campur tangan asing yang akan merusak binasakan quwwah yang ada dalam Islam.
MEMECAH BELAH AGAMA PADA ZAMAN MODERN
Segala yang kita urai paparkan sebelumnya, adalah hasil penyelidikan atas buah pikiran ahli-ahli tafsir yang telah terdahulu. Namun, pada zaman modern ini timbul lagi keadaan-keadaan baru yang membawa pecah-belahnya kekuatan Islam, secara baru pula. Orang bukan lagi berpecah-belah pada madzhab di dalam agama atau firqah-firqah yang terkenal, yang menimbulkan nama Mu'-tazilah, Khawarij, Syfah, Murji'ah, dan seba-gainya, yang telah tersebut namanya dalam sejarah perkembangan pikiran Islam. Karena meskipun timbul madzhab dan firqah dalam Islam, perselisihan hanya terjadi dalam suasana sesama sendiri, dalam melakukan taat kepada Allah. Misalnya di antara ketaatan memegang yang tertulis, yaitu madzhab salaf dan kebebasan memakai pikiran, yaitu Mu'tazilah.
Banyak terdapat aliran filsafat, baik mengenai urusan kenegaraan, ekonomi, maupun kemasyarakatan. Terdapat berbagai paham dan ajaran dengan berbagai nama. Seumpama sosialisme, komunisme, liberalisme, pragmatisme, demokrasi, dan sebagainya. Orang-orang yang masih mengakui beragama Islam tetapi tidak mengkaji sedalam-dalamnya ajaran Islam sendiri, lalu meminjam atau mempertahankan ideologi-ideologi yang lain itu dan meninggalkan syari'at Islam sendiri. Mereka mengambil sosialisme sebagai dasar negara mereka karena dunia sekarang katanya sedang diliputi oleh paham sosialisme. Bahkan ada di antara peniru itu yang berkata bahwa ajaran Islam tidak sesuai lagi dengan zaman. Ajaran Islam hanya sesuai dengan masyarakat Arab, tidak cocok dengan masyarakat kita. Padahal sosialisme yang mereka ambil alih dari ajaran orang lain terpaksa juga terkadang mereka sesuaikan dengan iklim negeri mereka sendiri.
Dengan sendirinya, mereka berpecah-belah dari agama Islam dan pindah demikian saja pada ajaran lain. Padahal ajaran lain itu hanya buatan manusia yang bisa berubah karena perubahan ruang dan perubahan waktu.
Ada pula yang mengakui bahwa beberapa ajaran dari ideologi lain itu sesuai dengan Islam. Karena ajaran itu sesuai dengan Islam, mereka tinggalkan Islam itu sendiri dan mereka pilih ajaran lain itu. Padahal kalau mereka berpikir sehat, kalau memang ajaran lain itu ada sebahagian yang sesuai dengan Islam, mengapa tidak Islam saja mereka pertahankan dan lengkapi mana yang kurang dari segi pelaksanaan? Itulah sebabnya, kerap kali terdapat orang Islam yang taat mengerjakan shalat lima waktu, padahal mereka mempertahankan nasionalisme yang sempit. Itu pula sebabnya, ada ulama yang berpidato di muka umum dengan mengemukakan beberapa ayat dan hadits Nabi untuk membela sosialisme atau komunisme.
Islam adalah satu ajaran yang datang dari langit, mengandung syari'at, ibadah, muamalah (kemasyarakatan), dan kenegaraan. Semua datang dari satu sumber, yaitu tauhid, kepercayaan kepada Allah. Ia tidak boleh dipreteli, misalnya dijalankan shalatnya saja, tetapi kenegaraannya diambil dari ajaran lain. Dituruti aturan nikah kawinnya saja, padahal ajaran ekonominya dikesampingkan. Jika ada keyakinan bahwa ada ajaran lain untuk mengatur masyarakat yang lebih baik dari islam, kafirlah orangnya, walaupun dia masih shalat.
Bahaya yang menimpa Islam sekarang ialah bahwa penganutnya sendiri meninggalkan ajarannya, lalu memakai ajaran lain. Mencela dan mengatakan Islam tidak sesuai dengan zaman modern, tetapi orang-orang itu masih juga mengakui dirinya orang Islam. Mereka berpecah-belah dari agamanya dan membentuk kelompok sendiri di dalam mengekor kepada paham lain.
Kemudian datanglah lanjutan ayat, memberikan penghargaan yang tinggi terhadap amal dan perbuatan yang baik.
Ayat 160
“Dan barang siapa yang datang dengan satu kebajikan maka untuknya adalah sepuluh kali ganda."
Sesudah menerangkan perpecah-belahan yang membawa timbulnya golongan-golongan, Allah menerangkan bahwa Rasulullah ﷺ tidaklah masuk kepada salah satu golongan mana pun. Masing-masing diri dalam masing-masing golongan bertanggung jawab sendiri tentang pendiriannya di hadapan Allah dan Allah kelak akan menerangkan duduk perkara yang sebenarnya sejelas-jelasnya. Sekarang dengan ayat ini diperintahkan kita masing-masing memperbanyak berbuat baik. Buktikanlah pendirian yang diyakini kebaikannya dengan amalan yang baik pula.
Artinya ialah barangsiapa yang datang kepada Tuhannya pada Hari Kiamat dengan sifat-sifat yang baik, yang telah dicapkan kepada dirinya oleh imannya, dibuktikan pula iman itu dengan amal yang shalih maka dia akan mendapat ganjaran atau pahala atau balasan dari sisi Allah dengan sepuluh ganda kebaikan. Satu dia berbuat baik, sepuluh ganda gantinya dari Allah. Sebab kesudian berbuat amal yang baik ialah dari sebab di dalam jiwa sendiri memang telah tertanam keinginan berbuat baik.
Pada umumnya kita bertemu, baik di dalam Al-Qur'an ataupun penjelasan di dalam hadits bahwa suatu kebaikan akan dibalas sepuluh kali ganda. Namun, tersebut di dalam surah al-Baqarah: ayat 261, bahwa orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah seumpama menanam satu benih biji, yang bertangkai tujuh dan tiap-tiap satu tangkai berbuah seratus, menjadi satu biji yang ditanam akan memberikan hasil 700 buah biji lagi. Selanjutnya, diterangkan bahwa Allah akan melipatgandakan lagi bagi siapa yang dikehendaki-Nya, Dan di dalam surah al-Baqarah ayat 245 dan di dalam al-Hadid: ayat 11 dan surah al-Taghabun: ayat 17 terdapat keterangan yang sama bahwa barangsiapa yang sudi meminjami Allah dengan pinjaman yang baik, Allah berjanji akan membayarnya kembali berlipat ganda. Apabila dipertemukan ketiga macam ayat ini, kita mendapat kesimpulan bahwasanya seorang yang berbuat suatu kebaikan maka sekurang-kurangnya dia akan mendapat balasan dari Allah sepuluh ganda. Dan ke atasnya sampai berlipat ganda bahkan sampai sangat banyak. Sebab perkataan dari 700 adalah arti daripada sangat banyaknya ganda yang akan diberikan Allah. Sebab, cara orang menafkahkan harta benda itu memang bertingkat-tingkat pula. Keikhlasan memberi, menjaga perasaan yang diberi, kadang-kadang diberikan dengan rahasia, bukan karena ingin cari nama, atau memulai terlebih dahulu mengeluarkan harta supaya dituruti oleh teman yang lain, lepas dari mengharapkan balasan di belakang hari. Semua itu ada tingkatannya. Kadang-kadang seorang yang kurang mampu, tetapi karena ikhlasnya diberikannya agak banyak jika dibandirigkan kekuatannya yang terbatas itu. Niscaya dia akan mendapat pahala lebih besar dari orang kaya raya yang memberikan di bawah dari kepatutan menilik kepada kekayaannya.
Misalnya ada seorang yang kekayaannya hanya satu juta, lalu dia memberikan dua ratus ribu. Tentu pahaia orang ini lebih besar dibandirigkan orang yang kekayaannya seratus juta, sedangkan dia hanya memberi satu juta. Meskipun pada jumlah tampak di lahir, lebih banyak satu juta daripada dua ratus ribu. Dalam salah satu perlombaan mengeluarkan harta guna membelanjai jalan Allah, Abu Bakar pernah memberikan seluruh harta bendanya dan Umar memberikan separuh dari kekayaannya.
Uang sepuluh rupiah di tangan seorang fakir miskin jauh lebih mahai harganya daripada uang satu juta di tangan seorang yang multi miliuner. Kalau si miskin memberikan uang sepuluh rupiah itu untuk jalan Allah, artinya dia memberikan sepiring nasi yang akan dimakannya. Sedangkan orang kaya yang memberikan satu juta belum berarti apa-apa jika dibandirigkan dengan yang tinggal dalam tangannya. Memberikan harta dengan hati gembira untuk membangunkan kebajikan, baik di dalam keadaan miskin maupun keadaan mampu karena mengharapkan balasannya di akhirat, lebih baik daripada mengeluarkan sambil bersungut dalam hati, walaupun di muka kelihatan manis juga. Namun, batas paling sedikit daripada ganjaran yang akan diberikan Allah ialah satu dibalas sepuluh. Dan ke atasnya tidaklah ada batasnya, entah tujuh ratus entah lebih. Oleh sebab itu, ketika sampai di akhirat untuk menerima balasan itu, segala orang akan ditimpa oleh penyesalan, walau dia orang yang dermawan sekalipun. Melihat penggandaan pahala yang diterima, mereka akan menyesal, mengapa hanya sekian aku memberi dahulunya, sedangkan aku sanggup memberi lebih. Padahal begini besar ganjaran yang diterima lantaran pengurbanan yang aku berikan dahulu itu.
Dan datanglah sambungan ayat, “Dan ba-rangsiapa yang datang dengan satu kejahatan maka tidaklah dia akan diganjari, melainkan seumpamanya." Artinya, barangsiapa yang datang di akhirat menghadap Allah dengan
sifat-sifat jahat yang telah tertanam dalam diri karena kufur atau berbuat perbuatan-perbuatan keji dari munkar, ganjaran siksaan yang akan diterimanya setimpal dengan keja-hatannya itu. Sudah sewajarnyalah bahwa suatu kejahatan meninggalkan bekas yang buruk dalam jiwa, itulah yang akan dibalas dengan adil oleh Allah.
“Sedang mereka tidaklah akan dianiaya."
(ujung ayat 160)