Ayat
Terjemahan Per Kata
قُلۡ
katakanlah
فَلِلَّهِ
maka bagi Allah
ٱلۡحُجَّةُ
hujjah/alasan
ٱلۡبَٰلِغَةُۖ
yang jelas lagi kuat
فَلَوۡ
maka jika
شَآءَ
Dia menghendaki
لَهَدَىٰكُمۡ
pasti Dia memberi petunjuk kepadamu
أَجۡمَعِينَ
semuanya
قُلۡ
katakanlah
فَلِلَّهِ
maka bagi Allah
ٱلۡحُجَّةُ
hujjah/alasan
ٱلۡبَٰلِغَةُۖ
yang jelas lagi kuat
فَلَوۡ
maka jika
شَآءَ
Dia menghendaki
لَهَدَىٰكُمۡ
pasti Dia memberi petunjuk kepadamu
أَجۡمَعِينَ
semuanya
Terjemahan
Katakanlah (Nabi Muhammad), “Hanya milik Allahlah dalil yang kuat. Maka, kalau Dia menghendaki, niscaya kamu semua mendapat petunjuk.”
Tafsir
(Katakanlah) apabila kamu tidak mempunyai hujah ("Allah mempunyai hujah yang jelas lagi kuat) yang sempurna (maka jika Dia menghendaki) memberikan hidayah kepadamu (pasti Dia memberi hidayah kepada kamu semuanya.").
Tafsir Surat Al-An'am: 148-150
Orang-orang yang musyrik akan mengatakan, “Jika Allah menghendaki, tentu kami tidak akan mempersekutukan-Nya, begitu pula nenek moyang kami, dan kami tidak akan mengharamkan apa pun.” Seperti itu pulalah orang-orang sebelum mereka yang telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan azab Kami. Katakanlah (Muhammad), “Apakah kamu mempunyai dalil yang dapat kalian kemukakan kepada kami? Yang kalian ikuti hanya persangkaan belaka dan kalian hanya hanya berbohong.”
Katakanlah (Muhammad), "Allah mempunyai hujjah yang jelas dan kuat. Maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kalian semuanya."
Katakanlah (Muhammad), “Bawalah saksi-saksimu yang dapat membuktikan bahwa Allah mengharamkan ini.” Jika mereka memberi kesaksian, engkau jangan (ikut pula) memberi kesaksian bersama mereka. Jangan engkau mengikuti hawa nafsu orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat dan mempersekutukan Tuhan.
Ayat 148
Hal ini merupakan dialog yang dikisahkan oleh Allah ﷻ dan syubhat yang dijadikan sandaran oleh kaum musyrik dalam kemusyrikan mereka, serta pengharaman apa yang mereka haramkan sendiri. Maka sesungguhnya Allah mengetahui kemusyrikan dan pengharaman yang mereka lakukan terhadap banyak hal yang mereka haramkan terhadap diri mereka sendiri.
Sesungguhnya Allah mampu untuk merubah hal itu dengan mengilhamkan keimanan kepada kami, serta menghindarkan kami dari kekufuran, namun Allah tidak merubahnya. Maka hal tersebut menunjukkan bahwa hal itu berdasarkan kehendak dan keinginan-Nya, dan dengan rida-Nyalah kita ditakdirkan demikian. Karena itulah mereka mengatakan seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya:
“Jika Allah menghendaki, tentu kami tidak akan mempersekutukan-Nya, begitu pula nenek moyang kami, dan kami tidak akan mengharamkan apa pun.” (Al-An'am: 148) Perihalnya sama dengan yang disebutkan di dalam ayat lain, yaitu oleh firman-Nya:
“Dan mereka berkata, ‘Jikalau Allah Yang Maha Pemurah menghendaki, tentulah kami tidak menyembah (mereka)’." (Az-Zukhruf: 20), hingga akhir ayat.
Demikian pula ayat yang terdapat di dalam surat An-Nahl, semakna dengan ayat ini.
Firman Allah ﷻ: “Seperti itu jugalah orang-orang sebelum mereka yang telah mendustakan (para rasul).” (Al-An'am: 148)
Maksudnya, dengan kesyubhatan ini telah banyak orang yang sesat sebelum mereka. Alasan dan bukti yang mereka kemukakan itu salah. Karena seandainya alasan mereka benar, niscaya Allah tidak akan menimpakan azab-Nya kepada mereka, tidak akan membinasakan mereka, tidak akan mengutuskan rasul-rasul-Nya secara bergantian kepada mereka, dan tidak akan menimpakan azab yang pedih terhadap mereka yang musyrik.
“Katakanlah (Muhammad), Apakah kamu mempunyai dalil yang dapat kamu kemukakan kepada kami?” (Al-An'am: 148) Misalnya Allah ridha kepada kalian sehubungan dengan perbuatan yang kalian lakukan itu.
"Yang dapat kalian mengemukakannya kepada Kami?" (Al-An'am: 148)
Yakni kalian perlihatkan dan kalian jelaskan serta kalian kemukakan hal itu kepada kami.
“Kalian ikuti hanya persangkaan belaka” (Al-An'am: 148)
Yaitu dugaan dan ilusi belaka. Makna yang dimaksud “zhan” dalam ayat ini ialah keyakinan yang tidak benar (sesat).
“Dan kalian hanya berbohong.” (Al-An'am: 148)
Kalian hanya berbohong terhadap Allah dalam apa yang kalian persangkakan itu.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya:
“Jika Allah menghendaki, tentu kami tidak mempersekutukan-Nya.” (Al-An'am: 148)
Dan firman-Nya: “Seperti itu pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul).” (Al-An'am: 148)
Dan firman Allah ﷻ: “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak mempersekutukan-(Nya).” (Al-An'am: 107) Karena sesungguhnya mereka mengatakan bahwa penyembahan mereka kepada sembahan-sembahan mereka dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah. Maka Allah memberitahukan kepada mereka bahwa perbuatan itu sama sekali tidak mendekatkan mereka kepada Allah.
Dan Firman Allah ﷻ: “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak mempersekutukan-(Nya).” (Al-An'am: 107)
Allah ﷻ berfirman bahwa seandainya Dia menghendaki, niscaya Dia dapat mengumpulkan mereka semua ke dalam jalan petunjuk.
Firman Allah ﷻ: “Katakanlah, ‘Allah mempunyai hujjah jelas dan kuat. Maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kalian semuanya’.” (Al-An'am: 149)
Allah ﷻ berfirman kepada Nabi-Nya, Muhammad: “Katakanlah.” (Al-Anam: 149)
kepada mereka, wahai Muhammad.
“Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat.” (Al-Anam: 149) Artinya, Allah mempunyai hikmah yang sempurna dan hujjah yang jelas dan kuat dalam memberikan petunjuk kepada orang yang ditunjuki-Nya dan menyesatkan orang yang disesatkan-Nya.
“Jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kalian semuanya”. (Al-An'am: 149)
Dengan kata lain, semuanya itu terjadi dengan takdir, kehendak, dan pilihan-Nya. Dia ridha kepada orang-orang mukmin serta murka terhadap orang-orang kafir, seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
“Kalau Allah menghendaki tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk.” (Al-An'am: 35)
“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi.” (Yunus: 99)
Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan semua manusia umat yang satu (sejalan atau sepemahaman), tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu.
Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Tuhanmu (keputusanNya) telah ditetapkan:
“Sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.” (Hud: 118-119)
Menurut Adh-Dhahhak, tidak ada hujjah bagi orang yang durhaka terhadap Allah, tetapi Allah-lah yang mempunyai hujjah yang jelas dan kuat terhadap hamba-hamba-Nya.
Firman Allah ﷻ: “Katakanlah, ‘Bawalah saksi-saksi kalian’." (Al-An'am: 150)
Maksudnya, datangkanlah saksi-saksi kalian.
“Yang dapat membuktikan bahwa Allah mengharamkan (makanan yang kalian) haramkan ini.” (Al-An'am: 150)
Yakni apa yang kalian haramkan, kalian dustakan, dan kalian buat-buat dengan menjual nama Allah padanya.
“Jika mereka memberi kesaksian, engkau jangan (ikut pula) memberi kesaksian bersama mereka.” (Al-An'am: 150)
Karena sesungguhnya apa yang mereka persaksikan dalam keadaan seperti ibu hanyalah kesaksian dusta dan buat-buatan semata.
“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, dan orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat, dan Tuhan mereka.” (Al-An'am: 150)
Yaitu mempersekutukan-Nya dan menjadikan tandingan bagi-Nya.
Katakanlah kepada mereka wahai Nabi Muhammad, Alasan yang kuat hanya pada Allah, yaitu alasan yang dapat mematahkan sangkaansangkaan buruk kalian. Dia-lah yang berhak memberi petunjuk bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya. Maka kalau Dia menghendaki, niscaya kamu semua mendapat petunjuk. Katakanlah kepada orang-orang musyrik itu, wahai Rasulullah, Bawalah saksi-saksimu yang dapat membuktikan dan berani mengakui bahwa Allah mengharamkan beberapa binatang ternak ini seperti sa'ibah dan bahirah. Jika mereka memberikan kesaksian, yaitu kesaksian dusta, engkau jangan ikut pula memberikan kesaksian bersama mereka dan jangan membenarkan persaksian mereka. Jangan engkau ikuti keinginan orangorang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat, dan mereka mempersekutukan Tuhan.
Pada ayat ini Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya agar menegaskan kepada orang-orang musyrik yang mendasarkan tindakan dan ketetapan mereka kepada sangkaan, bukan kepada ilmu pengetahuan dan syariat nabi-nabi yang terdahulu bahwa Allah-lah yang mempunyai ilmu pengetahuan, hujjah, dan dasar-dasar yang kuat. Dialah yang berhak memberi petunjuk kepada yang benar yang harus diikuti dengan patuh oleh hamba-Nya yang beriman dan bertakwa. Barang siapa di antara hamba-Nya yang taat kepada-Nya dan menjalankan petunjuk yang diberikan-Nya, niscaya ia akan menjadi hamba yang saleh dan bahagia. Tetapi bila ada di antara hamba-Nya yang membangkang, mengingkari petunjuk-petunjuk itu, bahkan berani menyamakan dirinya dengan Allah, maka akan celakalah dia di dunia dan di akhirat. Semuanya terserah kepada manusia apakah dia akan memilih jalan lurus yang membawa kebahagiaan dengan menjalankan petunjuk Tuhan-nya atau jalan sesat yang membawa celaka dengan mengingkari petunjuk itu dan memperturutkan hawa nafsunya.
Inilah jalan yang ditetapkan Allah bagi manusia dan jin seluruhnya. Jika Allah menghendaki tentulah Dia dapat menjadikan kamu seperti malaikat yang selalu patuh kepada Tuhannya sesuai dengan tabiatnya, seperti yang dijelaskan dalam firman-Nya:
Tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (at-Tahrim/66: 6)
Sudah menjadi sunah dan ketetapan Allah bahwa manusia harus mempergunakan akalnya untuk memilih jalan mana yang ditempuhnya. Bila dia memilih jalan yang benar akan berbahagialah dia, dan bila memilih jalan yang salah dan menyesatkan akan celakalah dia. Demikianlah sunatullah dan tiada seorang pun yang dapat mengubahnya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 148
“Akan berkata orang-orang yang mempersekutukan itu, ‘Jika Allah menghendaki, niscaya tidaklah kami akan mem-pensekutukan dan tidak (pula) bapak-bapak kami, dan tidak kami akan mengharamkan apa-apa."
Mafhum dengan jawaban ini ialah bahwa apabila mereka mempersekutukan Allah dengan yang lain, tidaklah itu atas kehendak mereka melainkan takdir dari Allah sendiri. Dan jika mereka membuat peraturan haram dengan khayat sendiri, dengan Saaibah, Ba-hirah. Wasilah dan dengan Haam; ada binatang yang dijadikan binatang larangan, yang begini dan yang begitu, semuanya itu pun atas kehendak takdir Allah belaka. Kalau Allah tidak menghendaki tentu tidak akan terjadi demikian. Maka, datang pulalah sambungan ayat, “Seperti itu pulalah telah mendustakan orang-orang yang sebelum mereka." Artinya, suara-suara yang seperti ini bukan sekarang saja, bahkan orang-orang dahulu, umat nabi-nabi yang dahulu pun pernah, jika mereka terdesak dalam perbuatannya yang karut, mereka melepaskan diri dengan menyandarkannya pada takdir."Kalau bukan kehendak Tuhan, tidaklah kami akan begini."
Namun, apa yang dikatakan oleh Al-Qur'an ini. Menyandarkan sesuatu kelemahan pada takdir bukanlah timbul dalam kalangan kaum musyrikin Quraisy pada zaman Rasulullah ﷺ saja, tetapi sudah lama dahulu dari itu. Dalam kalangan penganut agama Nasrani sendiri sudah lama jadi perbincangan tentang takdir dan ikhtiar. Paham determinisme dengan indeter-minisme, bebaskah manusia di dalam hidupnya ataukah dia terkungkung oleh suatu yang telah ditentukan sehingga gerak-geriknya terbatas.
Dalam ayat ini tampak sekali bahwa pada zaman jahiliyyah itu golongan musyrikin meng-ambil takdir menjadi tempat lari dari tanggung jawab. Alasannya telah habis, ketika ditanya tidak dapat memberikan jawaban. Kemudian, setelah terdesak keluar pengakuan bahwa kalau bukan kehendak Tuhan, tidaklah mereka akan begitu.
Ayat berkata bahwa “lari kepada takdir" adalah tempat pelarian orang-orang yang lemah, baik pada zaman dahulu maupun pada zaman Rasulullah ﷺ
Maka, datanglah sambungan ayat,"Sehingga mereka merasakan siksaan Kami." Artinya, lari menyembunyikan muka ke dalam suasana takdir, padahal selama ini Allah didurhakai adalah membuat Allah murka.
Mengapa engkau lari pada takdir saja padahal engkau sadari sendiri bahwa engkau telah diberi akal buat menimbang buruk dan mengapa tidak engkau duduk saja dalam rumah, tidak usah berusaha ke mana-mana? Karena kalau sudah takdir Allah, niscaya rezeki dan makan-minum akan datang sendiri ke dalam rumahmu, langsung masuk mulutmu? Mengapa tidak engkau tunggu saja? Tentu engkau sendiri akan menjawab bahwa engkau masih berusaha mencarinya karena belum pernah Allah menakdirkan makanan langsung masuk mulut kalau tidak dijemba dengan jari dan dicari menurut hukum sebab dan akibat.
Di dalam ayat ini ditegaskan bahwasanya jawab “Kalau Allah menghendaki, tidaklah mereka akan mempersekutukan Tuhan dan tidak pula nenek moyang mereka dahulu-dahulu akan mempersekutukan Tuhan", adalah jawab musyrikin jahiliyyah dan demikian juga jawaban orang-orang dulu, orang yang hendak ingkar dari tanggung jawab. Bahkan, demikian juga jawab orang zaman sekarang, setelah Nabi Muhammad ﷺ diutus dan setelah senjata itu dikritik dalam Al-Qur'an. Paham Jabariyyah, yaitu bahwa jika nasibku begini sekarang ini, jika aku jatuh hina, jika umat Islam beratus tahun lamanya menjadi anak jajahan, semuanya itu adalah takdir yang mesti diterima. Kalau kita bodoh, ialah takdir!
Kalau si fulan dihukum lalu masuk penjara, demikianlah takdir Ilahi. Tidak ada kita yang boleh membantah?
Maka datanglah sambungan ayat lagi, “Adakah pada kamu suatu ilmu yang bisa kamu keluarkan kepada Kami?" Adakah pada kamu satu ilmu bahwasanya kamu sudah ditentukan akan sengsara? Sebab itu kamu tidak usah berikhtiar lagi? Kamu sudah ditentukan memang untuk jadi musyrik, sebab itu tidak perlu lagi mendengarkan ajaran Rasul tentang tauhid? Tidak ada! Ilmu itu tidak ada. Tidak pernah Allah memberi tahu nasib seseorang akan malang, nasib seseorang akan tetap menjadi kafir. Yang terang dan tegas diberitahukan Allah dengan perantaraan rasui-rasul-Nya, hanyalah bahwa seseorang diperintah percaya kepada Allah, diperintah mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk. Diperintah beriman dan beramal, berusaha. Berulang-ulang para rasul datang membawakan petunjuk Allah, menjelaskan ini adalah hak dan itu adalah batil. Mengancam masuk neraka siapa yang menyeleweng dari jalan yang benar, diberi kabar gembira dengan surga barangsiapa yang menuju jalan lurus yang digariskan Allah. Dan segala perintah atau larangan Tuhan sesuai dengan akal budi murni. Setiap orang ingin kepada yang baik dan setiap orang tidak suka kepada yang buruk dan barangsiapa yang berusaha, diberi hasil oleh Allah, dan kalau tidak berhasil tanda ada sebab tersembunyi yang menghalanginya, yang harus diselidiki.
Kamu sembah berhala, kamu buat pantang, tabu, pamali, dan sebagainya, bikinan khayat kamu sendiri. Kadang-kadang hati kecil kamu sendiri mengakui bahwa perbuatan itu bodoh atau goblok? Kalau dalam hatimu ada kemauan, niscaya kamu bisa membuang segala kepercayaan yang karut itu, hawa nafsumulah yang bertahan, lalu kamu ambil takdir untuk tempat bersembunyi.
“Penyakit" ini menular kepada umat Islam sendiri, umat yang mengaku dirinya umat Muhammad ﷺ pada zaman kemundurannya sehingga Sayyid Jamaluddiri al-Afghani menulis sebuah rencana di dalam surah kabar al-Urwatul Wutsqaa di Paris 90 tahun yang lalu tentang al-Qadha dan 1-Qadar. Bahwa kepercayaan pada takdir adalah rukun (tiang) keenam dalam aqidah dan imannya seorang Muslim. Jika iman bertambah tinggi mutunya sehingga menimbulkan Ruh atau semangat dan menimbulkan nur atau cahaya, pastilah kepercayaan pada takdir jadi pen-dorong buat berani menempuh hidup. Kata beliau, salah satu sebab kemenangan Islam dan ajaran Islam membanjiri dunia dalam masa seperempat abad saja, lain tidak ialah karena kepercayaan kepada takdir. Pejuang-pejuang, muhajidiri yang menyerbu ke medan perang, meruntuhkan parit-parit pertahanan musuh yang teguh sehingga menaklukkan Semenanjung lberia di barat dan Sungai Indus di timur adalah karena mujahidiri itu percaya pada takdir bahwa kalau tidak mati kata Allah, tidaklah akan mati, walaupun dalam penyerbuan itu pedang musuh telah berkilatan sekeliling leher. Sebaliknya, setelah iman menurun, mundur, redup, dan kemudian padam sehingga Islam hanya tinggal nama, datanglah penyakit Jabariyyah (nasibku yang malang adalah takdir Allah). Dan “kalau tidak atas kehendak Allah, tidaklah nasibku akan begini!" Dan sebagainya.
Tersebut enam puluh dua sebab dari kemunduran kaum Muslimin yang dilukiskan oleh Sayyid Abdurrahman El-Kawakibi, satu di antaranya ialah Jabariyyah ini.
Maka orang musyrikin yang bertahan “kalau bukan kehendak Allah, tidak kami akan begini," yaitu jawaban orang lemah pada zaman dahulu dan orang lemah sampai zaman sekarang, tidaklah dapat mengemukakan alasan yang ilmiah, yang masuk akal, yang dapat diberikan dan yang memuaskan.
Sudah pasti bahwa mereka tidak dapat mengemukakan alasan tepat. Sebab agama mereka bukan dari akal, bukan dari ilmu dan
bukan sama sekali dari wahyu. Sebab itu datanglah kepastian pada ujung ayat,
“Tidak ada yang kamu ikuti kecuali sangka-sangka dan tidaklah kamu ini melainkan berdusta semua."
Tegasnya, kamu tidak akan dapat menjawab tantangan itu. Kalau mereka menjawab juga, pastilah jawaban itu yang tidak masuk akal dan melantur. Sebab, pendirian mereka itu tidaklah berdasar keyakinan, melainkan agak-agak dan sangka-sangka. Sedangkan sangka-sangka itu tidaklah dapat ditegakkan kalau telah berhadapan dengan kebenaran. Maka, selama perbuatan mereka ini masih mereka teruskan saja, pastilah pekerjaan itu kian lama kian berlawan dengan akal dan pikiran mereka sendiri. Oleh sebab itu, kalau mereka masih hendak meneruskan perbuatan musyrik, mestilah terus-menerus berdusta, yaitu mendustai akal mereka sendiri. Bukan saja berdusta mulut, bahkan terlebih lagi ialah perbuatan itu sendiri dusta adanya. Karena segala perbuatan yang tidak berdasar atas kebenaran, dustalah namanya.
Ayat 149
“Katakanlah, ‘Maka pada Allah-tah alasan yang kuat.'"
“Maka kalau Dia kehendaki, niscaya diberi-Nya petunjuklah kamu sekalian."
Akan tetapi, mereka menegakkan alasan Jabariyyah bahwa kalau Allah Ta'aala yang menghendaki, niscaya tidaklah mereka akan mempersekutukan Allah dengan yang lain. Mereka telah mengambil pendirian Jabariyyah, yaitu membangsakan kedurhakaan dan ke-sesatan mereka kepada Allah, padahal mereka sendiri yang memilih jalan syirik. Kalau diajak bertukar pikiran, mereka tidak dapat menegakkan alasan. Sekarang, disuruhlah Rasul menerangkan kepada mereka bahwa hujjah atau alasan Allah-lah yang selalu benar. Kamu sendiri harus berusaha mencari kebenaran itu, wajib berusaha mempergunakan akalmu menimbang di antara yang benar dengan yang salah. Kalau kebenaran itu telah kamu terima dan akal kamu telah kamu pakai, agak-agak di hati dengan ilmu. Pada waktu itu, niscaya kalau Allah menghendaki, kamu sekalian akan bisa diberi-Nya petunjuk.
Dengan ikhtiar apa agar kehendak Allah memberi petunjuk itu tercapai? jawabnya: dekati Dia. Di dalam ayat ini terseliplah suatu peringatan “kehendak Allah" bukan hanya ditunggu melainkan diusahakan sehingga takdir Allah pun bertali dengan ikhtiar manusia.
Janganlah kamu permudah-mudah saja menyebut “jika Allah menghendaki", padahal kamu sendiri bertahan dalam kesalahan. Namun, insaflah kamu akan dirimu dan kesalahanmu, supaya jika Allah menghendaki, kamu akan diberi-Nya petunjuk. Di antara takdir Allah dengan ikhtiar manusia tidaklah boleh dipisahkan. Kalau tidak demikian niscaya tidak berguna turunnya wahyu dan datangnya Rasul, untuk memberikan petunjuk jalan yang benar yang wajib ditempuh dan yang salah yang wajib dijauhi.
Kemudian datanglah lagi ayat mendesak mereka:
Ayat 150
“Katakanlah, “Bawalah kernmi saksi-saksi kamu, yang akan menyaksikan bahwa Allah telah mengharamkan ini."
Di ayat ini sekali lagi Rasul disuruh menuntut kepada mereka, jika mereka berkeras juga mempertahankan isi ladang larangan atau binatang-binatang larangan itu, sedangkan mereka sendiri tidak sanggup memberikan alasan tentang kebenarannya, cobalah cari orang lain yang boleh dijadikan saksi, misalnya orang-orang tua yang banyak pengalaman dan pengetahuan, yang dapat mengemukakan alasan kebenaran perbuatan itu, misalnya bahwa memang dahulunya dibuat larangan demikian karena alasan begini dan begitu. Maka datang lanjutan ayat, “Tetapi jika mereka telah menyaksikan maka janganlah engkau menjadi saksi bersama mereka." Sambungan ayat ini menegaskan bahwa saksi yang sebenar-benarnya saksi tidak akan ada karena memang pekerjaan itu semuanya tidak ada dasarnya. Kalau misalnya mereka mengemukakan juga saksi-saksi itu, pastilah saksi yang hanya mengemukakan agak-agak, sangka-sangka, dan khayat bukan-bukan juga. Oleh karena itu, janganlah kesaksian yang demikian engkau sertai, atau engkau akui, ya utusan-Ku! Sebabnya dijelaskan lagi pada lanjutan ayat,
“Dan, janganlah engkau ikuti hawa nafsu orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan orang-orang yang tidak percaya pada akhitat itu, sedang mereka terhadap Tuhan mereka adalah mempersekutukan."
(ujung ayat 150)