Ayat
Terjemahan Per Kata
وَعَلَى
dan atas
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
هَادُواْ
(mereka) Yahudi
حَرَّمۡنَا
Kami haramkan
كُلَّ
setiap
ذِي
memiliki
ظُفُرٖۖ
berkuku
وَمِنَ
dan dari
ٱلۡبَقَرِ
sapi
وَٱلۡغَنَمِ
dan kambing
حَرَّمۡنَا
Kami haramkan
عَلَيۡهِمۡ
atas mereka
شُحُومَهُمَآ
lemak dari kedua-duanya
إِلَّا
kecuali
مَا
apa
حَمَلَتۡ
terbawa/melekat
ظُهُورُهُمَآ
punggung keduanya
أَوِ
atau
ٱلۡحَوَايَآ
perut besar
أَوۡ
atau
مَا
apa
ٱخۡتَلَطَ
tercampur
بِعَظۡمٖۚ
dengan tulang
ذَٰلِكَ
demikianlah
جَزَيۡنَٰهُم
Kami beri balasan mereka
بِبَغۡيِهِمۡۖ
dengan sebab kedurhakaan mereka
وَإِنَّا
dan sesungguhnya Kami
لَصَٰدِقُونَ
sungguh yang benar
وَعَلَى
dan atas
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
هَادُواْ
(mereka) Yahudi
حَرَّمۡنَا
Kami haramkan
كُلَّ
setiap
ذِي
memiliki
ظُفُرٖۖ
berkuku
وَمِنَ
dan dari
ٱلۡبَقَرِ
sapi
وَٱلۡغَنَمِ
dan kambing
حَرَّمۡنَا
Kami haramkan
عَلَيۡهِمۡ
atas mereka
شُحُومَهُمَآ
lemak dari kedua-duanya
إِلَّا
kecuali
مَا
apa
حَمَلَتۡ
terbawa/melekat
ظُهُورُهُمَآ
punggung keduanya
أَوِ
atau
ٱلۡحَوَايَآ
perut besar
أَوۡ
atau
مَا
apa
ٱخۡتَلَطَ
tercampur
بِعَظۡمٖۚ
dengan tulang
ذَٰلِكَ
demikianlah
جَزَيۡنَٰهُم
Kami beri balasan mereka
بِبَغۡيِهِمۡۖ
dengan sebab kedurhakaan mereka
وَإِنَّا
dan sesungguhnya Kami
لَصَٰدِقُونَ
sungguh yang benar
Terjemahan
Atas orang-orang Yahudi Kami mengharamkan semua (hewan) yang berkuku. Kami mengharamkan pula atas mereka lemak sapi dan domba, kecuali yang melekat di punggungnya, yang ada dalam isi perutnya, atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami menghukum mereka karena kedurhakaannya. Sesungguhnya Kami Mahabenar.
Tafsir
(Dan kepada orang-orang Yahudi) yaitu pemeluk agama Yahudi (Kami haramkan segala binatang yang berkuku) maksudnya hewan yang jari-jari kakinya tidak terpisah-pisah seperti unta dan burung unta (dan dari sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang) yaitu lemak perut dan lemak pantat (kecuali lemak yang melekat di punggung keduanya) lemak yang menggantung pada punggungnya (atau) yang menempel (di perut besar) yang ada di lambung, kata jamak dari haawiyaa atau haawiyah (atau yang bercampur dengan tulang) lemak yang menempel di tulang, maka jenis lemak ini dihalalkan untuk mereka. (Demikianlah) masalah pengharaman ini (Kami hukum mereka) sebagai balasan (atas kedurhakaan mereka) oleh sebab kelaliman mereka sendiri sebagaimana yang telah disebutkan dalam surah An-Nisa (dan sesungguhnya Kami adalah Maha Benar) di dalam berita-berita Kami dan janji-janji Kami.
Tafsir Surat Al-An'am: 146
Dan kepada orang-orang Yahudi Kami mengharamkan semua (hewan) yang berkuku dan Kami haramkan kepada mereka lemak sapi dan domba, kecuali yang melekat di punggungnya, yang ada dalam isi perutnya, atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami menghukum mereka karena kedurhakaan mereka. Dan sungguh, Kami adalah Maha Benar.
Ayat 146
Ibnu Jarir mengatakan bahwa Allah ﷻ berfirman, "Kami telah mengharamkan kepada semua orang Yahudi semua hewan yang berkuku, yaitu hewan ternak dan burung yang kukunya tidak terbelah (berkuku tunggal), seperti unta, burung unta, angsa, dan bebek."
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya:
“Dan kepada orang-orang Yahudi Kami haramkan segala binatang yang berkuku.” (Al-An'am: 146)
Yakni unta dan burung unta.
Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid dan As-Suddi dalam suatu riwayatnya. Sa'id ibnu Jubair mengatakan, yang dimaksud ialah segala jenis hewan yang kukunya tidak terbelah. Menurut suatu riwayat darinya, yang dimaksud ialah segala hewan yang terbelah kukunya, antara lain ayam kalkun.
Qatadah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
“Dan kepada orang-orang Yahudi Kami haramkan segala binatang yang berkuku.” (Al-An'am: 146)
Hal yang haram ini disebutkan untuk unta dan burung unta serta yang lain-lainnya, seperti burung dan ikan.
Menurut riwayat yang lain adalah unta dan burung unta, lalu diharamkan kepada mereka memakan daging hewan dari jenis unggas, yaitu bebek dan sejenisnya serta semua jenis hewan yang kukunya tidak terbelah.
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Mujahid, bahwa yang dimaksud ialah segala hewan yang berkuku, yaitu burung unta dan unta, kedua-duanya terbelah kukunya. Saya (perawi) bertanya kepada. Al-Qasim ibnu Abu Buzzah, "Apakah yang dimaksud dengan kedua-duanya terbelah kukunya?" Al-Qasim berkata, "Setiap hewan yang jari-jemari kakinya terbelah, boleh dimakan." Perawi bertanya, "Hewan ternak dan burung pipit mempunyai jari-jemari kaki yang terbelah." Al-Qasim menjawab, ''Orang-orang Yahudi memakannya." Al-Qasim berkata, “Sedangkan telapak unta, telapak kaki burung unta, telapak kaki angsa tidak terbelah. Maka orang-orang Yahudi tidak memakan unta, burung unta, angsa, dan hewan lain yang kaki kakinya tidak terbelah. dan orang-orang Yahudi tidak memakan kuda zebra."
Firman Allah ﷻ: “Dan Kami haramkan kepada mereka lemak sapi dan domba, kecuali yang melekat di punggungnya, yang ada dalam isi perutnya, atau yang bercampur dengan tulang.” (Al-An'am: 146)
As-Suddi mengatakan, yang dimaksud ialah lemak yang ada pada usus, perut, dan kedua pinggul. Orang-orang Yahudi mengatakan, "Sesungguhnya hal tersebut diharamkan oleh Israil (Nabi Ya'qub), maka kami pun mengharamkannya pula." Hal yang sama dikatakan oleh Ibnu Zaid.
Qatadah mengatakan bahwa lemak yang diharamkan ialah lemak yang ada pada usus, perut, serta semua lemak yang tidak menempel pada tulang.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya:
“Kecuali yang melekat di punggungnya, yang ada dalam isi perutnya.” (Al-An'am: 146)
Yakni selain lemak yang menempel pada punggungnya.
As-Suddi dan Abu Saleh mengatakan bahwa lemak yang terdapat di pantat juga termasuk lemak yang menempel pada punggung keduanya.
Firman Allah ﷻ: “Yang ada dalam isi perutnya.” (Al-An'am: 146)
Imam Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, “hawaya” adalah bentuk jamak, sedangkan bentuk tunggalnya ialah “hawiya” dan “hawiyah”, artinya perut besar yang dikenal dengan nama lain banatul lahan, maba'ir, dan marabid. Di dalamnya terdapat apa yang disebut am'a.
Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan bahwa makna ayat ini ialah dilarang mengonsumsi lemak dari sapi dan kambing, kecuali lemak yang menempel pada punggung dan yang terdapat di dalam perut besar. Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:
“Yang ada dalam isi perutnya.” (Al-An'am: 146)
Yang dimaksud ialah mab'ar atau perut.
Mujahid mengatakan bahwa hawaya pengertiannya mencakup mab'ar dan marbad (bagian perut yang memproses kotoran). Hal yang sama dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair, Adh-Dhahhak, Qatadah, Abu Malik, dan As-Suddi. Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa hawaya ialah marabid yang di dalamnya terdapat am'a, sedangkan bagian dindingnya dinamakan banatul lahan yang menurut perkataan orang Arab disebut marabid.
Firman Allah ﷻ: “Atau yang bercampur dengan tulang.” (Al-An'am: 146)
Yaitu lemak yang menempel pada tulang.
Ibnu Juraij mengatakan bahwa lemak pantat yang bercampur dengan tulang pangkal kaki dihalalkan. Dan semua lemak yang ada pada kaki, lambung, kepala, mata serta yang bercampur dengan tulang dihalalkan. Hal yang semisal dikatakan oleh As-Suddi.
Firman Allah ﷻ:
“Demikianlah Kami menghukum mereka kerena kedurhakaan mereka.” (Al-An'am: 146)
Yakni Kami sengaja membuat kesempitan (kesulitan) ini terhadap mereka dan Kami bebankan pada diri mereka sebagai hukuman karena kedurhakaan mereka dan menentang perintah-perintah Kami.
Sebagaimana yang disebutkan di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah.” (An-Nisa: 160)
Adapun firman Allah ﷻ:
“Dan sesungguhnya Kami adalah Maha Benar.” (Al-An'am: 146)
Maksudnya, sesungguhnya Kami benar-benar adil dalam menghukum mereka dengan hukuman tersebut.
Ibnu Jarir mengatakan, Allah ﷻ berfirman bahwa sesungguhnya Kami benar-benar jujur dalam pemberitaan Kami kepadamu Muhammad, Kami menegaskan pengharaman hal itu terhadap mereka (orang-orang Yahudi). Sama sekali tidak seperti dugaan mereka yang menyangka bahwa Israil (Nabi Ya'qub)lah yang telah mengharamkan hal itu atas dirinya sendiri.
Abdullah ibnu Abbas mengatakan bahwa ketika sampai kepada Khalifah Umar ibnul Khattab berita tentang Samurah yang menjual khamr, maka Khalifah Umar berkata, "Semoga Allah melaknat Samurah. Tidakkah dia mengetahui bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: 'Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi. Sesungguhnya Allah mengharamkan mereka mengonsumsi lemak, namun mereka mencairkannya, memprosesnya dalam bentuk lain, lalu mereka menjualnya'.
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya melalui hadits Sufyan ibnu Uyainah, dari Amr ibnu Dinar, dari Tawus, dari Ibnu Abbas, dari Umar dengan lafal yang sama.
Al-Laits mengatakan, telah menceritakan kepadanya Yazid ibnu Abu Habib. ‘Atha’ ibnu Abu Rabah pernah mengatakan, ia telah mendengar Jabir ibnu Abdullah mengatakan bahwa ia telah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda pada hari kemenangan atas kota Mekah: “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan memperjualbelikan khamr, bangkai, babi, dan patung-patung.” Maka ada yang bertanya. “Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurutmu mengenai lemak bangkai, karena sesungguhnya lemak bangkai dipakai untuk meminyaki kulit dan mengecat perahu, serta minyaknya dipakai untuk lampu penerangan oleh banyak orang?" Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak, ia tetap haram.”
Kemudian pada saat itu juga Rasulullah ﷺ bersabda: “Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi, sesungguhnya ketika Allah mengharamkan untuk mereka lemaknya (hewan ternak), maka mereka memprosesnya dalam bentuk lain, kemudian mereka jual dan mereka makan hasil jualannya.”
Jama'ah meriwayatkannya melalui berbagai jalur dari Yazid ibnu Abu Humaid dengan lafal yang sama. Az-Zuhri meriwayatkan dari Sa'id ibnul Musayyab. dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi. Allah mengharamkan lemak bagi mereka, tetapi mereka menjualnya dan memakan hasil jualannya.” Imam Bukhari dan Imam Muslim secara bersamaan meriwayatkannya dari Abdan, dari Ibnul Mubarak, dari Yunus, dari Az-Zuhri dengan sanad yang sama.
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ishaq. telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Harb, telah menceritakan kepada kami Wahib, telah menceritakan kepada kami Khalid Al-Hazza, dari Barakah Abul Walid, dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah ﷺ duduk di belakang maqam Ibrahim, lalu mengangkat pandangannya ke langit seraya berdoa: “Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi tiga kali. Sesungguhnya Allah mengharamkan kepada mereka lemak, tetapi mereka memperjualbelikannya dan memakan hasil jual belinya.
Dan sesungguhnya Allah tidak mengharamkan kepada suatu kaum untuk memakan sesuatu, kecuali Dia mengharamkan mereka memakan hasil penjualannya.”
Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu ‘Ashim, telah memberitakan kepada kami Khalid Al-Hazza dari Barakah Abul Walid, telah memberitakan kepada kami Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah ﷺ duduk di Masjidil Haram menghadap Hijir Ismail, lalu beliau memandang ke langit dan tertawa seraya berdoa: “Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi. Diharamkan atas mereka lemak, tetapi mereka memperjualbelikannya dan memakan hasil jual belinya.” Dan sesungguhnya apabila Allah mengharamkan kepada suatu kaum untuk memakan sesuatu, berarti diharamkan pula mereka memakan hasil penjualannya. Imam Abu Daud meriwayatkannya melalui hadits Khalid Al-Hazza.
Al-A'masy meriwayatkan dari Jami ibnu Syaddad, dari Kalsum, dari Usamah ibnu Zaid yang menceritakan, "Kami masuk menjenguk Rasulullah ﷺ, yang sedang sakit. Maka kami menjumpai beliau sedang tidur seraya menutupi wajahnya dengan kain burdah buatan Adn. Tidak lama kemudian beliau ﷺ membuka penutup wajahnya dan bersabda: 'Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi. Allah mengharamkan lemak kambing, tetapi mereka memakan hasil penjualannya'."
Menurut riwayat yang lain disebutkan: “Diharamkan atas mereka lemak, tetapi mereka menjualnya dan memakan hasil penjualannya.”
Menurut lafal lain yang ada pada Imam Abu Daud, dari Ibnu Abbas, secara marfu disebutkan: “Sesungguhnya apabila Allah mengharamkan memakan sesuatu, maka diharamkan pula mereka hasil penjualannya.”
Dan khusus kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan semua hewan yang berkuku, yaitu ialah hewan-hewan yang jari-jarinya tidak terpisah antara yang satu dengan yang lain, seperti: unta, itik, angsa, dan lain-lain. Dan Kami haramkan juga kepada mereka lemak sapi dan domba, kecuali yang melekat di punggungnya, atau yang dalam isi perutnya, yakni usus, dan lemak yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami menghukum mereka karena kedurhakaannya, bukan karena makanan itu haram zatnya seperti haramnya babi dan bangkai. Dan sungguh, Kami Mahabenar. Maka jika mereka mendustakan kebenaran mengenai makanan yang halal dan haram yang telah kamu jelaskan, wahai Nabi Muhammad, katakanlah, Demikianlah ketetapan Tuhanmu yang mempunyai rahmat yang luas. Dan siksa yang dijatuhkan atau diberikan-Nya kepada orangorang yang berdosa tidak dapat dielakkan.
Pada ayat ini diterangkan pula makanan yang diharamkan bagi kaum Yahudi saja, yaitu semua binatang yang tidak berkuku. Maksudnya binatang-binatang yang jarinya tidak pernah terpisah antara yang satu dengan yang lain, seperti: unta, itik, angsa, dan lain sebagainya. Diharamkan pula bagi mereka lemak sapi dan lemak kambing, kecuali yang melekat di punggung atau di perut besar dan usus atau lemak yang bercampur dengan tulang.
Semua makanan yang tersebut di atas diharamkan bagi kaum Yahudi saja sebagai hukuman atas kedurhakaan mereka bukan karena makanan itu haram zatnya seperti haramnya babi dan bangkai. Yang mengharamkan makanan itu bagi mereka, bukan syariat Nabi Muhammad, tetapi semua itu adalah haram menurut syariat mereka. Nabi hanya menceritakan dengan perantaraan wahyu dari Allah (Al-Qur'an).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Al-Qur'an itu bukan karya Muhammad, tetapi wahyu dari Allah yang disampaikan kepadanya. Sebab Nabi Muhammad sendiri takkan dapat mengetahui yang demikian, karena dia tak tahu membaca dan menulis, sedangkan kaum musyrikin Mekah tak mengetahui pula hal yang demikian. Kemudian Allah menekankan bahwa diharamkannya makanan-makanan itu bagi kaum Yahudi adalah sebagai hukuman atas kedurhakaan mereka. Allah menegaskan bahwa Dia adalah Mahabenar dalam segala pemberitaan dan tindakan-Nya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 145
“Katakanlah, Tidaklah aku dapati di dalam yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi si pemakan yang mau memakannya kecuali bahwa adalah dia itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya dia itu kotor, atau suatu pendurhakaan yang disembelih untuk yang selain Allah."
Di sini, Nabi Muhammad ﷺ menegaskan bahwa beliau sendiri sebagai rasul Allah yang menerima peraturan Allah sebagai wahyu, yang bertanggung jawab menyampaikannya pula kepada manusia, tidak ada mendapati dalam wahyu yang diterimanya itu, yaitu Al-Qur'an, suatu makanan yang dilarang kecuali yang empat macam itu saja. Yaitu, segala macam bangkai, dan darah yang mengalir, dan daging babi. Karena, semua manusia yang mempunyai perasaan halus sudah tahu bahwa bangkai itu kotor dan bisa mengandung penyakit. Akan tetapi, tidak banyak orang, orang mau mengerti bahwa daging babi pun kotor sehingga bukan saja tahi binatang lain dan tahi manusia dimakannya, bahkan tahinya sendiri dia tidak peduli, dimakannya juga. Oleh sebab itu, babi pun diharamkan. Setelah itu, segala binatang yang disembelih karena buat mendurhakai Allah karena mempersekutukan yang lain dengan Allah, yaitu disembelih buat memuja berhala atau memuja hantu atau iblis. Cuma empat itulah yang terang diharamkan oleh Al-Qur'an
“Maka barangsiapa yang terpaksa, bukan karena ingin atau sengaja hendak melebihi, maka sesungguhnya Tuhan engkau adalah Pengampun lagi Penyayang."
4 Kalimat thaa'im, kita artikan “si pemakan" Meskipun bahasa ini masih jarang terpakai, telah kita pergunakan sebab sudah ada kawannya yang biasa terpakai, yaitu si pemakai. Si pemakai untuk sandang dan si pemakan untuk pangan!
Cuma keempat macam itulah yang haram dimakan menurut Al-Qur'an. Hanya diboleh-kan karena terpaksa saja. Misalnya, tidak ada makanan lain lagi, hanya itu saja. Sedangkan kalau makanan itu tidak dimakan, bisa mati kelaparan. Inilah yang diriamai rukhshah, keringanan atau pengecualian karena memelihara nyawa adalah wajib. Atau, misalnya dipaksa orang lain, jika tidak dimakan, akan dibunuhnya. Ditekankan lagi pengecualian itu, yaitu bukan karena dia sendiri mau atau memang ingin akan makanan itu. Dan, ditambahkan lagi supaya jangan melebihi karena terasa enaknya.
Karena keterangan yang seperti ini dari Al-Qur'an, seluruh ulama ahli fiqih dan ahli ijtihad dalam Islam sepakat, atau ijma bahwa yang empat ini tetaplah haramnya, tidak seorang juga yang berpendapat lain. Cuma timbul pertikaian pendapat di antara mereka bahwa yang lain dari yang empat itu karena ada hadits-hadits Rasulullah ﷺ melarang memakan binatang-binatang yang lain yang dahulu ketika menafsirkan surah al-Maa'idah ayat 3 sudah kita perbincangkan juga. Ada Rasulullah ﷺ melarang memakan segala burung yang makannya sambil menerkam, se-umpama burung elang dan sebagainya. Yaitu, burung-burung yang memakan daging. Dan, beliau larang pula segala binatang buas yang bersaing (bertaring). Yaitu, sebangsa singa, harimau, serigala, kucing dan sebagainya. Karena binatang-binatang itu buas dan makan daging.5 Ada juga larangan Rasulullah ﷺ memakan himar (keledai) jinak, bukan keledai hutan. Maka, setengah ulama berpendirian pula menambahkan segala yang dilarang Rasulullah ﷺ itu, menjadi haram dimakan, sebagaimana yang empat tersebut di dalam Al-Qur'an itu. Karena menurut pendirian mereka hadits-hadits atau Sunnah Rasulullah ﷺ adalah sebagai pelengkap dari Al-Qur'an, Menurut mereka segala yang diharamkan atau dilarang oleh Rasulullah ﷺ itu, walaupun tidak disebut oleh Al-Qur'an, tentu terdapat persamaan ‘Iiiat dari salah satu makanan empat yang dilarang itu. Misalnya, tentang haramnya makan anjing, ialah karena persamaan kotornya dengan babi dan termasuk pula binatang buas. Ahli-ahli ftqih kerap kali menyebut kedua binatang ini dengan disenapaskan. Demikian juga tikus, karena kotornya.
5 Di sini jelas bahwa anjing termasuk golongan binatang buas yang dilarang Rasulullah ﷺ memakannya, bukan larangan dari Al-Qur'an sebagai yang empat tegas tadi.
Akan tetapi, setengah ulama lagi tidaklah berpendapat bahwa apa yang dilarang oleh Rasulullah ﷺ dengan sabda beliau, sama haramnya dengan apa yang dijelaskan dengan ayat Al-Qur'an. Karena, pada pendapat mereka hadits-hadits pelarangan itu tidaklah sama tingkat qath'i-nya. (sifat memutuskan) sebagai Al-Qur'an. Sebab, hadits-hadits itu ahaad, yaitu didapat dari riwayat seorang kepada seorang, tidak mencapai mutawatir sebagai Al-Qur'an. Jadi, sifat hadits ahaad itu kata mereka bukan qath'i, melainkan zhanni. Namun, bukan berarti bahwa mereka mengatakan boleh saja memakan segala yang tidak tersebut dalam daftar empat makanan melainkan termasuk yang dibenci, atau tidak disukai. Yang di dalam hukum ushul fiqih disebut makruh, atau di-benci.
Di antara imam-imam ikutan umat, terdapat dua pribadi besar yang melambangkan kedua paham ini. Imam Syafi'i berpendapat yang pertama, yaitu haram, sedangkan guru beliau, Imam Malik, berpendapat semuanya itu makruh, dibenci.
Setengah ulama lagi menampak jalan lain lagi. Kata mereka, ukuran makanan yang lain itu bergantunglah pada thayyibat dan khabaits. Thayyibat ialah yang baik-baik. Dan, khabaits ialah yang keji, kotor atau jijik. Al-Qur'an diturunkan ialah buat mengharamkan yang keji dan yang kotor dan menghalalkan yang thayyibat, yang baik. Maka, golongan ini menampak pula suatu keterangan perbuatan Rasul ﷺ tentang ini. Pada suatu hari Khalid bin Walid membawa seekor dhab, sebangsa bengkarung yang telah diselai (dikeringkan) di atas batu panas, ke hadapan Nabi, lalu Khalid mempersilahkan beliau memakannya. Beliau menolak, dengan alasan yang ringan saja, yaitu dhab itu tidak ada di bumi kaum beliau. Oleh karena itu, beliau tidak biasa memakannya. Akan tetapi, beliau tidak melarang Khalid memakannya. Meskipun Rasulullah saw, dan Khalid bin Walid sama-sama anak Mekah tulen. Dengan sebab kejadian ini, condonglah ulama pada pendapat bahwa dhab itu makruh dimakan. Makruhnya karena salah satu dari dua sebab. Pertama, karena menghormati sunnah, yaitu sebab Nabi tidak suka memakannya, tetapi tidak melarang orang lain. Kedua, karena dia termasuk yang kotor juga, tetapi tidak sekotor empat yang terdaftar.
Sayyidiria Umar menyatakan pendapat, kalau dhab itu ada sekarang, saya pun suka memakannya, tetapi tidak pula ada riwayat shahih menyatakan bahwa Sayyidiria Umar pernah memakannya. Kemudian setelah ahli obat-obatan campur memperkatakan urusan dhab ini, terbuka rahasia baru, yaitu bahwa dia adalah semacam obat buat menguatkan syahwat setubuh!
Kira-kira pada 1320 Hijriyah (1898) terjadilah di Mekah suatu perbincangan ilmiah, meskipun bersifat senda gurau. Tuan Syekh Ahmad Khathib suka benar memakan goreng ikan belut. Sebagaimana diketahui belut itu adalah ikan yang menyerupai ular. Ulama-ulama Mekah yang belum tahu karena memang di negeri itu belut tidak ada, berpendapat bahwa Syekh Ahmad Khathib sebagai seorang imam, khathib, dan guru besar (profesor) madzhab Syafi'i di Mekah telah memakan makanan yang haram menurut madzhabnya, atau makruh menurut madzhab Malik. Sampai ko-nonnya beliau mengeluarkan sebuah risalah kecil untuk mempertahankan halalnya makan belut itu. (Penulis tidak bertemu risalah itu, hanya menerima berita ini dari ayah dan guru penulis.)
Kejadian ini menjadi bahan kita pula meninjau tentang thayyibat dan khabaits itu. Buat ulama Mekah yang tidak mengenal sawah Indonesia dan belutnya, tentulah belut itu khabaits. Dan buat Syekh Ahmad Khathib dan buat kita, tentu belut itu termasuk thayyibat, yang hidupnya hanya di dalam luluk atau lumpur sawah atau di dalam air.
Sayyid Rasyid Ridhamenyatakan pendapat tentang timbulnya ijtihad ulama-ulama di zaman dahulu, yang kata beliau mempersulit dari hal makanan ini. Beliau berkata, “Suatu hal yang pasti dalam akhlak manusia dan tabiat mereka bahwa lingkungan (milieu) tempat mereka hidup memiliki pengaruh juga terhadap ijtihad dan paham mereka. Ahli-ahli ijtihad itu mengharamkan manfaat-manfaat yang tidak terhitung banyaknya yang dijadikan Allah, sebagai anugerah Allah kepada manusia, seumpama sabda-Nya, “Dialah yang menjadikan untuk kamu apa yang di bumi ini semuanya." Orang-orang yang berijtihad itu hidup di suatu negeri yang sangat maju kebudayaannya, penduduknya telah bersenang-senang dengan hasil tamaddun raja-raja Kisra (Persia) dan kaisar (Rum), di negeri-negeri yang derajat kemajuannya sudah laksana surga, sebagai Baghdad, Mesir dan lain-lain. Segalanya itu berpengaruh pada jalan berpikir mereka sehingga apa yang dipandang buruk oleh orang Arab yang telah hidup dalam kemewahan dalam kemajuan hidup itu, mereka hukumkan haram pula untuk orang Badui yang hidup serba sukar dan makhluk Allah di lain negeri. Dan, kalau bukanlah karena pengaruh kebudayaan mereka yang telah maju itu, niscaya mereka peliharalah di dalam melakukan ijtihad itu segala pokok-pokok yang tegas dari syari'at yang mempermudah bukan mempersukar dan mereka ambil saja garis yang umum, padahal tidaklah masuk akal bahwa Allah akan memberati sekalian bangsa mesti menuruti selera bangsa Arab yang mewah dengan makanan mereka!'1
Menilik dari isi tulisan tersebut jelaslah bahwa Sayyid Rasyid Ridha cenderung pada paham bahwa ijtihad beberapa ulama Islam yang tersebut dalam berbagai kitab fiqih menyatakan pendapat memperluas lagi tentang haram dimakan, tidaklah selayaknya. Sebab, ulama-ulama itu terpengaruh oleh lingkungan hidup mereka, baik di Baghdad maupun di Mesir, di negeri yang telah lama mencapai kemajuan hidup (tamaddun) sehingga cara mereka makan dan pilihan atas binatang yang akan dimakan sudah lebih teratur. Mereka telah merasa jijik memakan ular, biawak dan sebagainya. Akan tetapi, Sayyid Rasyid Ridha menyuruh meninjau kembali paham ijtihad yang memperluas daerah yang haram itu, mengingat bahwa ada lagi bangsa pemeluk Islam yang tamaddun-nya belum seperti Arab kota, di Mesir dan Baghdad.
PERBINCANGAN ULAMA TENTANG MAKANAN
Sebagian besar ulama, dipelopori oleh sahabat Nabi, Ibnu Abbas dan ulama Mujtahid yang besar. Imam Malik bin Anas berpendapat bahwa yang terang-terangan haram dimakan hanyalah yang empat itu saja, “Bangkai, daging babi, darah yang mengalir, dan binatang yang disembelih buat menghormati yang selain Allah (misalnya berhala)" Mereka pertahankan pendirian sebab diadakan ayat ini Nabi ﷺ disuruh Tuhan menjelaskan, “Katakanlah olehmu, apa yang diwahyukan kepadaku apa yang diharamkan atas si pemakan yang akan memakannya." Kemudian, beliau jelaskan hanya yang empat itulah yang diharamkan. Dan tidak ada lagi perintah yang lain.
Dapat dipahami dari ayat ini bahwa yang selain dari yang empat itu, apa saja macam makanan atau ternak atau binatang buas tidak ada yang haram sebab tidak ada wahyu yang diturunkan Allah untuk mengharamkannya.
Abd bin Humaid, Abu Dawud, Ibnu Abi Hatim, Abusy-Syaikh, al-Hakim (dishahihkan-nya), dan Ibnu Mardawaihi meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa beliau berkata, “Orang-orang jahiliyyah itu memakan makanan macam-macam dan meninggalkan makanan macam-macam pula karena merasa keberatan. Kemudian, diutus Allah-lah nabi-Nya dan diturunkan-Nya kitab-Nya, dan dihalalkan-Nya yang halal dan diharamkan-Nya yang haram. Maka, apa yang telah Dia halalkan, halallah dia, dan apa yang telah Dia haramkan, tetaplah haram. Dan mana yang Dia diamkan, itu adalah dimaafkan. Kemudian, beliau baca ayat, “Katakanlah, tidak aku perdapat... dan seterusnya," itu.
Menurut riwayat lain dari Abdurrazzaq dan Abd bin Humaid bahwa dia (Ibnu Abbas) pernah membaca ayat ini. Setelah selesai membacanya beliau berkata, “Selain dari ini, semuanya halal!"
Menurut riwayat Imam Bukhari, Abu Dawud, Ibnul Mundzir, dan Abusy-Syaikh dari Amr bin Diriar ini berkata, “Aku katakan kepada jabir bin Zaid, ada orang mendakwakan bahwasanya Rasulullah ﷺ melarang memakan daging keledai peliharaan (keledai jinak) pada zaman peperangan Khaibar." Kemudian, jabir bin Zaid menjawab, “Memang pernah al-Hakam bin Amer al-Ghifari menyatakan di Bashrah kepada kami bahwa Nabi kita memang pernah mengatakan demikian. Namun, yang demikian itu tidak diterima oleh Al-Bahr Ibnu Abbas." Lalu beliau baca ayat ini.
Setengah dari gelar Ibnu Abbas ialah Bahrul Uhim yang berarti lautan ilmu.
Adapun orang-orang yang menganut pendapat ini, yang membatasi bahwa yang jelas haramnya dengan wahyu hanya yang empat itu saja, memandang bahwa kalau ada hadits-hadits Rasulullah melarang makanan yang lain maka sekalian larangan Nabi itu tidaklah
membawa pada hukum haram. Hanyalah semata-mata makruh. Oleh sebab itu, asy-Sya'bi berpendapat halal memakan daging gajah, beralasan pada ayat ini juga.
Mereka pun berpegang pula pada suatu hadits yang dirawikan oleh al-Bazzar dan al-Hakim dari sahabat Abu Darda, Rasulullah ﷺ bersabda,
“Mana yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya maka halallah dia. Dan mana yang Dia haramkan maka haram pulalah dia. Dan mana yang Dia diamkan saja daripadanya maka itu dimaafkan. Sebab itu, terimalah daripada Allah mana yang Dia maafkan. Karena sesungguhnya Allah tidaklah akan melupakan sesuatu." (HR al-Bazzar dari Abu Darda)
Golongan yang kedua, sepakat dengan golongan yang pertama tentang haramnya yang empat macam itu. Karena sesuatu yang telah ada nashnya yang qath'i, yang tegas dan tepat dalam Al-Qur'an tidak usah diperbincangkan lagi. Akan tetapi, ada lagi beberapa hadits Rasulullah ﷺ mengharamkan atau melarang yang lain-lain, sebagai telah kita sebutkan di atas tadi. Golongan kedua ini setelah menilai hadits-hadits yang menentukan makanan yang dilarang itu, berpendapat bahwa selain dari yang empat diharamkan Al-Qur'an ada lagi yang diharamkan Rasulullah ﷺ dengan sabdanya. Yang tegas ialah burung-burung yang mempunyai kuku untuk mencengkeram dan binatang-binatang yang mempunyai saing atau taring untuk menggusi. Artinya, burung-burung buas dan binatang-binatang buas. Termasuk di situ anjing karena anjing memang memakan daging, artinya buas. Dan, juga kucing sebab dia bertaring.
Bagaimana dengan pendapat dari “Lautan Ilmu" (Ibnu Abbas) yang menolak keterangan Jabir bin Zaid yang membawakan riwayat bahwa Nabi ﷺ pernah dengan jelas mengharamkan daging keledai jinak. Ibnu Abbas menolak keterangan itu dengan membaca ayat yang tengah kita tafsirkan ini. Penolakan Ibnu Abbas ini tidak semua orang menerimanya. Tersebut pada riwayat, sikap Imam Bukhari membantahnya. Katanya, “Meskipun ‘Lautan Ilmu' menolak keterangan Rasulullah dalam mengharamkan daging keledai jinak itu, daging keledai jinak tetap haram, walaupun ‘Lautan Ilmu' tidak mau menerima." Sebab riwayat hadits itu jelas dan sah dari Nabi ﷺ Lalu, Bukhari berkata pula, “Berpegang dengan perkataan seorang sahabat Nabi, padahal bertentangan dengan perkataan Nabi adalah satu pilihan yang salah dan jauh dari keinsafan."
Asy-Syaukani menulis dalam Nailul Authar, “Mengambil dalil dengan ayat ini, barulah sempurna pada sesuatu yang tidak ada nash (dari Nabi) dalam mengharamkannya. Nash yang je-las atas mengharamkan mesti didahulukan daripada menghalalkan yang umum dan atas qiyas."
Apatah lagi Ibnu Umar pun pernah rujuk (kembali) dari hanya berpegang dengan umum ayat ini.
Dirawikan oleh Said bin Manshur dan Imam Ahmad dan Abu Dawud dari Numailah al-Fazzari, berkata dia,
“Dirawikan Said bin Mamfiur, Imam Ahmad, dan A bu Dawud dari Numailah al-Fazzan. Dia berkata, “Aku berada di sisi Ibnu Umar ketika orang bertanya kepada beliau tentang Hukum memakan binatang gunja (landak). Lalu, beliau jawab dengan membaca ayat ini, ‘Katakanlah, tidak ada aku perdapat... dan seterusnya. ‘ Maka, menyelalah seorang orang tua yang ikut serta duduk dalam majelis itu, ‘Aku mendengar Abu Hurairah berkata, ‘Diperkatakan orang tentang landak itu di hadapan Nabi.' Lalu Nabi ﷺ berkata, ‘Sesuatu yang keji di antara berbagai yang keji.' Mendengar itu berkatalah Ibnu Umar, ‘Kalau Nabi sudah berkata demikian maka hukumnya ialah sebagaimana yang beliau katakan itu."‘ (HR Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Said bin Manshur)
Artinya bahwa di dalam Al-Qur'an sudah jelas bahwa Allah mengharamkan segala yang keji-keji (khabaits).b Terang, di situ bahwa Rasulullah ﷺ diutus Allah selain dari menghalalkan yang thayyibah dan mengharamkan yang khabaits, yang keji-keji. Dengan riwayat yang dibawakan Abu Hurairah ini, tunduklah Abdullah bin Umar dan tidaklah beliau berani memegang saja akan umum ayat ini, setelah mendengar bahwa landak atau gunja dipandang keji oleh Nabi. Sebab, beliau lebih tahu tentang mana yang keji itu.
Sikap Ibnu Umar ini memperkuat pendirian lagi bagi golongan kedua bahwa segala yang dilarang oleh Rasulullah ﷺ memakannya dengan hadits, samalah derajatnya dengan empat yang dilarang dalam ayat-ayat ini.
Pendirian ini dikuatkan lagi dengan sebuah hadits,
“Dari al-Miqdam bin Ma'adikariba dia berkata, ‘Berkata Rasulullah ﷺ, ‘Ketahuilah, adakah agaknya seorang yang sampai kepadanya suatu hadits daripadaku?' (Ketika itu beliau sedang tidur-tiduran di atas hamparannya). Lalu beliau bersabda selanjutnya, ‘Di antara kami dan di antara kamu adalah kitab Allah. Apa yang kami dapati halal di dalam kitab itu niscaya kami halalkan dan mana yang kami dapati haram, niscaya kami haramkan. Dan, barang yang diharamkan oleh Rasulullah adalah serupa dengan apa yang diharamkan oleh Allah Ta'aala."“ (HR at-Tirmidzi. Beliau berkata, “Hadits ini hasan dan gharib.")
Oleh sebab itu, golongan ini tidaklah membagi, Yaitu, mana yang diharamkan dalam Al-Qur'an menjadi haram dan mana yang dilarang oleh Rasul ﷺ menjadi makruh.
Menurut pendirian kedua ini segala binatang bersaing atau bertaring, seumpama singa, harimau, beruang, kucing, serigala, anjing, tupai adalah haram. Landak (gunjd) haram karena keji. Elang, rajawali sikok, dan segala burung yang mencengkeram dengan kuku adalah haram pula. Mereka berpendapat bahwa nilai isi hadits dalam perkara ini tidaklah kurang daripada nilai wahyu. Sebab Nabi saw, mengharamkan sesuatu bukanlah atas mau dan hawa nafsunya sendiri. Apatah sudah terkenal bahwa sunnah Rasul adalah tafsir yang utama daripada Al-Qur'an.
Menulis al-Qasirni di dalam tafsirnya, “Meskipun ayat ini umum jika dibandirigkan dengan tiap-tiap yang diharamkan Allah daripada binatang, dia pun dengan sendirinya meliputi juga segala yang diharamkan sesudah itu.
“Memang ada riwayat dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Aisyah dan ada juga riwayat seperti itu dari Imam Malik. Tetapi, pendirian ini gugur dengan sendirinya dan madzhab ini sangat lemah (dhaif) karena dia memandang enteng yang lain, yang turun sesudah itu dalam Al-Qur'an dan memandang tidak berharga hadits-hadits yang shahih daripada Rasulullah ﷺ sesudah ayat ini turun, dengan tidak ada alasan yang dapat dipegang dan tidak ada sesuatu pendirian yang mewajibkannya."
Berkata Imam Asy-Syaukani dalam tafsirnya Fathul Qadir ketika menafsirkan ayat ini, “Di dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada Nabi ﷺ memberi kabar kepada kaum musyrikin bahwa Nabi tidak mendapati suatu wahyu pun yang mengharamkan sesuatu yang mereka katakan haram itu, selain dari empat perkara yang tersebut itu. Dari sini, dapat diambil kesimpulan bahwa makanan yang diharamkan hanya terbatas pada yang empat ini saja. Tetapi, harus diingat bahwa ayat ini diturunkan di Mekah. Dan, sesudah itu telah turun pula di Madiriah surah al-Maa'idah. (Lihat surah al-Maa'idah ayat 3) Dalam ayat itu jelas ditambah lagi makanan yang diharamkan, yaitu al-munkhaniqatu, al-mauqudzatu, al-mu-taraddiyatu, dan an-nathihatu.
Menulis pula Ibnu Katsir di dalam tafsirnya Ruhul Bayan, “Yang ditangkap dari maksud yang dikandung di dalam ayat ini ialah menolak kaum musyrikin yang membuat-buat (bid'ah) mengharamkan Bahirah, Saaibah, Wasilah, dan Haam itu, dan seumpamanya. Kemudian, Allah menyuruhkan Rasul-Nya mengharamkan demikian itu. Yang diharamkan dengan wahyu hanyalah bangkai dan lain-lain yang tersebut seratanya itu. Lain dari itu, tidak ada yang haram. Melainkan dimaafkan dan didiamkan. Mengapa kamu katakan semuanya itu haram? Dari mana kamu dapat alasan mengharamkannya, padahal Allah tidak mengharamkan?"
Berkata Ibnu Katsir selanjutnya, “Atas dasar ini bukanlah berarti bahwa ada pula selain yang empat ini tidak diharamkan sesudah itu. Sebagaimana telah datang larangan memakan daging keledai jinak dan daging binatang buas dan sekalian burung yang mencengkeram dengan kuku." Demikian Ibnu Katsir.
Dan, segala keterangan penafsiran-penafsiran yang kita kumpulkan ini dapatlah ditarik pengertian bahwasanya ayat yang tengah kita tafsirkan ini tidaklah seyogianya kita jadikan dasar buat bertengkar tentang yang haram dan yang makruh. Atau tentang hadits-hadits Rasulullah yang melarang memakan makanan yang tertentu itu dipandang tidak seberat yang empat yang ditegaskan ayat ini atau tegasnya dipandang enteng. Sebab, sunnah adalah penafsiran dari Al-Qur'an, sebagaimana yang sudah sepatutnya dimaklumi orang yang memahami agama. Dan, maksud utama dari ayat yang tengah kita tafsirkan ini ialah menolak dan membantah kaum musyrikin yang membuat-buat hukum sendiri, mengharamkan apa yang tidak diharamkan oleh Allah. Membuat suatu hukum yang tidak ada sumbernya kecuali khayatan belaka. Dan, ayat ini turun di Mekah.
Kemudian setelah Hijrah ke Madiriah, barulah Al-Qur'an sendiri menambah beberapa yang diharamkan. Ditambah lagi oleh keterangan-keterangan Rasulullah ﷺ
Ayat yang berikutnya (ayat 146) menerangkan lagi makanan-makanan yang diharamkan Allah kepada orang Yahudi.
MAKANAN YANG HARAM BAGI YAHUDI
Ayat 146
“Dan, atas orang-orang Yahudi telah Kami haramkan tiap-tiap yang mempunyai kuku."
Dalam kitab Perjanjian Lama (Kitab Ulangan), pasal 14 dari ayat 7 dan 8 ada tersebut: Ayat 7: Melainkan ini juga yang tiada boleh kamu makan dari segala binatang yang hanya memamah biak saja atau dari segala yang hanya kukunya terbelah dua saja, yaitu unta, kawelu, dan kelinci karena sungguh pun ia memamah biak, tetapi tiada kukunya terbelah dua; haramlah ia kepadamu.
Ayat 8: Dan lagi, babi karena sungguh pun kukunya terbelah dua, tetapi tiada ia memamah biak maka haramlah ia kepadamu, janganlah kamu makan dagingnya dan jangan menjamah bangkainya.
Dari ayat-ayat kitab pegangan mereka ini, kita mendapat kejelasan bahwa yang dimaksud diharamkan kepada orang Yahudi tiap-tiap yang mempunyai kuku, ialah kuku yang tidak terbelah. Yang boleh dimakan hanya binatang yang kukunya terbelah dua serta makannya memamah biak Binatang yang berkuku satu sebagai kuda, unta, kawelu, dan kelinci tidak boleh dimakan. Babi pun, walaupun kukunya terbelah dua karena dia makan tidak memamah biak, dia pun haram mereka makan.
Binatang yang boleh mereka makan diterangkan di dalam ayat 4 sebelumnya, yaitu lembu, domba, kambing, rusa, kijang, kerbau, pelanduk, banteng, seladang, dan rusa dandi (impala).
Namun, terhadap lembu dan kambing ada lagi ketentuan hukumnya, sebagai tersebut pada lanjutan ayat, “Dan daripada lembu dan kambing telah Kami haramkan atas mereka lemaknya kecuali lemak yang ada di punggung keduanya atau di dalam perut atau apa yang tercampur dengan tulang."
Dalam ayat ini terdapatlah penjelasan, orang Yahudi diharamkan makan lemak lembu dan lemak kambing kecuali lemak-lemak yang sukar memisahkannya dari daging, sebagai lemak yang lekat di bagian punggung atau terlekat pada bagian perut (usus) dan yang bercampur pada tulang-tulang.
Lanjutan ayat menjelaskan apa sebab semua itu diharamkan bagi orang Yahudi,
“Demikian itulah Kami balas mereka dengan sebab kejahatan mereka. Sesungguhnya Kami adalah benar."
Nash ayat ini menjelaskan sebab semuanya ini diharamkan, yaitu sebab yang khas bagi Yahudi. Dan, ujung ayat menjelaskan bahwa keterangan dari Allah inilah yang benar. Bukan pembelaan diri dari Yahudi sendiri, yang selalu mengatakan bahwa Israil, nama kecil dari nenek moyang mereka, Nabi Ya'qub. Nabi Ya'qublah kata mereka yang mengharamkan segala makanan itu untuk dirinya sendiri, lalu mereka mengikutinya. Semua makanan ini halal bagi Nabi Ya'qub, beliau makan. Namun, beliau haramkan atas kehendak Allah kepada orang Yahudi karena mereka jua yang selalu melanggar.
Dalam Perjanjian Lama mereka, kitab Imamat Orang Levi pada pasal 3 dijelaskan bahwa kalau mereka hendak mengadakan kurban, yaitu dengan membakar binatang yang dikurbankan itu, hendaklah yang diutamakan membakarnya lemak-lemak dari binatang itu, baik lembu atau domba, atau kambing. Mungkin sekali setengah dari kenakalan mereka ialah tidak memedulikan atau melalaikan pembakaran kurban itu, tidak mereka bakar lemak-lemaknya karena ingin makanan yang lemak sehingga makanan sendiri lebih dipentingkan daripada kurban. Kemudian, datang perintah mengharamkan beberapa yang tersebut itu, sebab hukuman.
Di dalam surah an-Nisaa' ayat 160, surah Aali ‘Imraan ayat 93, bisa kita lihat tambahan keterangan tentang makanan-makanan yang diharamkan atas Yahudi itu. Dan dalam surah Aali ‘Imraan ayat 50 dijelaskan lagi bahwa kedatangan Nabi Isa al-Masih ialah menghalalkan kembali beberapa makanan yang diharamkan atas Yahudi itu. Dan, sekarang datanglah lanjutan ayat,
Ayat 147
“Maka jika mereka dustakan engkau maka katakanlah, Tuhan kamu adalah mempunyai rahmat yang luas,'"
Jika segala keterangan yang engkau berikan itu masih tetap mereka tolak dan dustakan, tidaklah penolakan keterangan itu akan memberi mara bahaya bagi engkau. Sebab, rahmat Allah senantiasa melindungi engkau dan melindungi tiap-tiap orang yang beriman. Bukan saja Nabi dan orang-orang yang beriman yang mengecap lezat cita rahmat Ilahi, bahkan seluruh makhluk adalah diliputi oleh rahmat Allah. Sikap dari kaum musyrikin yang kasar dan jiwa mereka yang kecil dan kecewa tidaklah akan mengurangi rahmat Allah itu.
“Dan, tidaklah dapat ditolak siksaan-Nya daripada kaum yang berbuat dosa."
(ujung ayat 147)