Ayat
Terjemahan Per Kata
قُل
katakanlah
لَّآ
tidak
أَجِدُ
aku mendapati
فِي
di dalam
مَآ
apa
أُوحِيَ
diwahyukan
إِلَيَّ
kepadaku
مُحَرَّمًا
sesuatu yang diharamkan
عَلَىٰ
atas
طَاعِمٖ
orang yang makan
يَطۡعَمُهُۥٓ
memakannya
إِلَّآ
kecuali
أَن
bahwa
يَكُونَ
adalah
مَيۡتَةً
bangkai
أَوۡ
atau
دَمٗا
darah
مَّسۡفُوحًا
tertumpah/mengalir
أَوۡ
atau
لَحۡمَ
daging
خِنزِيرٖ
babi
فَإِنَّهُۥ
maka sesungguhnya itu
رِجۡسٌ
kotor
أَوۡ
atau
فِسۡقًا
kejahatan
أُهِلَّ
disembelih
لِغَيۡرِ
bagi selain
ٱللَّهِ
Allah
بِهِۦۚ
dengannya
فَمَنِ
maka barang siapa
ٱضۡطُرَّ
terpaksa
غَيۡرَ
tidak/bukan
بَاغٖ
sengaja
وَلَا
dan tidak
عَادٖ
melampaui batas
فَإِنَّ
maka sesungguhnya
رَبَّكَ
Tuhanmu
غَفُورٞ
Maha Pengasih
رَّحِيمٞ
Maha Penyayang
قُل
katakanlah
لَّآ
tidak
أَجِدُ
aku mendapati
فِي
di dalam
مَآ
apa
أُوحِيَ
diwahyukan
إِلَيَّ
kepadaku
مُحَرَّمًا
sesuatu yang diharamkan
عَلَىٰ
atas
طَاعِمٖ
orang yang makan
يَطۡعَمُهُۥٓ
memakannya
إِلَّآ
kecuali
أَن
bahwa
يَكُونَ
adalah
مَيۡتَةً
bangkai
أَوۡ
atau
دَمٗا
darah
مَّسۡفُوحًا
tertumpah/mengalir
أَوۡ
atau
لَحۡمَ
daging
خِنزِيرٖ
babi
فَإِنَّهُۥ
maka sesungguhnya itu
رِجۡسٌ
kotor
أَوۡ
atau
فِسۡقًا
kejahatan
أُهِلَّ
disembelih
لِغَيۡرِ
bagi selain
ٱللَّهِ
Allah
بِهِۦۚ
dengannya
فَمَنِ
maka barang siapa
ٱضۡطُرَّ
terpaksa
غَيۡرَ
tidak/bukan
بَاغٖ
sengaja
وَلَا
dan tidak
عَادٖ
melampaui batas
فَإِنَّ
maka sesungguhnya
رَبَّكَ
Tuhanmu
غَفُورٞ
Maha Pengasih
رَّحِيمٞ
Maha Penyayang
Terjemahan
Katakanlah, “Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali (daging) hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi karena ia najis, atau yang disembelih secara fasik, (yaitu) dengan menyebut (nama) selain Allah. Akan tetapi, siapa pun yang terpaksa bukan karena menginginkannya dan tidak melebihi (batas darurat), maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Tafsir
(Katakanlah, "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku) tentang sesuatu (yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya kecuali kalau yang dimakan itu) dengan memakai ya dan ta (bangkai) dengan dibaca nashab dan menurut suatu qiraat dibaca rafa` serta tahtaniyyah (atau darah yang mengalir) yang beredar berbeda dengan darah yang tidak mengalir seperti hati dan limpa (atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor) haram (atau) kecuali jika hewan itu (binatang yang disembelih atas nama selain Allah) yakni hewan yang dipotong dengan menyebut nama selain nama Allah. (Siapa yang dalam keadaan terpaksa) menghadapi semua yang telah disebutkan sehingga ia memakannya (sedangkan ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun) kepadanya atas apa yang telah dimakannya (lagi Maha Penyayang.") terhadapnya. Kemudian apa yang telah disebutkan itu dilengkapi dengan sebuah hadis yang menambahkan yaitu setiap hewan yang bertaring dan setiap burung yang berkuku tajam.
Tafsir Surat Al-An'am: 145
Katakanlah, "Tiadalah kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang ingin memakannya, kecuali (daging) hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi karena sesungguhnya semuanya itu kotor, atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Tetapi barang siapa yang dalam keadaan terpaksa bukan karena menginginkan dan tidak melebihi (batas darurat), maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Ayat 145
Allah ﷻ berfirman, memerintahkan kepada Nabi dan hamba-Nya (yaitu Nabi Muhammad ﷺ):
“Katakanlah.” (Al-An'am: 145)
Wahai Muhammad, kepada mereka yang mengharamkan apa yang direzekikan oleh Allah kepada mereka dengan membuat-buat kebohongan terhadap Allah.
“Tiadalah kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya.” (Al-An'am: 145)
Yakni bagi orang yang memakan makanan. Menurut pendapat lain, makna yang dimaksud ialah bahwa saya tidak menjumpai sesuatu pun dari apa yang diharamkan kalian itu sebagai sesuatu yang (benar-benar) diharamkan. Menurut pendapat yang lainnya lagi ialah bahwa saya tidak pernah menjumpai sesuatu pun dari hewan-hewan tersebut diharamkan selain dari jenis-jenis berikut (yang disebutkan dalam ini).
Berdasarkan pengertian ini, segala sesuatu yang haram yang disebutkan dalam surat al-Maa-idah dan dalam beberapa hadits telah tercabut (terhapus) berdasarkan pengertian ayat ini. Sebagian ulama menamakan hal ini sebagai nasakh. Tetapi kebanyakan ulama mutaakhkhirin tidak menamakannya sebagai nasakh karena hal ini termasuk ke dalam Bab "Menghapuskan Hal yang Diperbolehkan Asalnya”. Wallahu a’lam.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:
“Atau darah yang mengalir.” (Al-An'am: 145)
Yaitu darah yang tercurahkan.
Ikrimah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Atau darah yang mengalir.” (Al-An'am: 145)
Kalau seandainya tidak ada ayat ini, niscaya orang-orang akan mencari-cari darah yang ada di urat-urat, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi.
Hammad meriwayatkan dari Imran ibnu Jarir yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Abu Mijlaz tentang darah yang tersisa setelah hewan disembelih, termasuk darah yang masih menempel pada daging serta sesuatu dari darah yang masih terlihat merah dalam kadar tertentu. Maka Abu Mijlaz menjawab, "Sesungguhnya yang dilarang oleh Allah hanyalah darah yang mengalir."
Qatadah mengatakan, "Darah yang diharamkan adalah darah yang mengalir, sedangkan darah yang bercampur dengan daging, maka hukumnya tidak haram."
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Hajjaj ibnu Minhaj, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Al-Qasim, dari Siti Aisyah , bahwa ia membolehkan daging yang dihasilkan dari buruan hewan pemangsa, membolehkan pula merah-merah dan darah yang masih ada dalam kadar tertentu. Lalu ia membacakan ayat ini. Hadits ini shahih gharib.
Al-Humaidi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Dinar yang mengatakan bahwa ia pernah berkata kepada Jabir ibnu Abdullah, "Sesungguhnya mereka menganggap bahwa Rasulullah ﷺ telah melarang (memakan) daging keledai kampung pada masa Perang Khaibar." Maka Jabir ibnu Abdullah menjawab bahwa dahulu hal yang sama pernah dikatakan oleh Al-Hakam ibnu Amr dari Rasulullah ﷺ Tetapi Ibnu Abbas menolak hal tersebut, lalu membacakan firman-Nya:
“Katakanlah, ‘Tiadalah kudapatkan di dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya’.” (Al-An'am: 145), hingga akhir ayat.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ali ibnul Madini, dari Sufyan dengan sanad yang sama. Abu Daud mengetengahkannya melalui hadits Ibnu Juraij, dari Amr ibnu Dinar. Imam Hakim meriwayatkannya di dalam kitab Mustadrak-nya, dan juga terdapat di dalam kitab Shahih Bukhari, sebagaimana pendapat saya.
Abu Bakar ibnu Murdawaih dan Imam Hakim didalam kitab Mustadraknya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ali ibnu Dahim, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Hazim, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im Al-Fadl ibnu Dakin, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Syarik, dari Amr ibnu Dinar,dari Abusy Sya'sa, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Pada masa jahiliah orang-orang memakan banyak jenis makanan dan meninggalkan banyak jenis makanan hanya karena merasa jijik. Maka Allah mengutus Nabi-Nya, menurunkan Kitab-Nya, menyatakan apa hal-hal yang dihalalkan-Nya dan hal-hal yang diharamkan-Nya. Apa yang dihalalkan-Nya berarti halal, dan apa yang diharamkan-Nya berarti haram, sedangkan apa yang tidak disebutkan oleh-Nya berarti dimaafkan." Lalu Ibnu Abbas membacakan firman-Nya:
“Katakanlah, ‘Tiadalah kudapatkan di dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya’.” (Al-An'am: 145), hingga akhir ayat.
Demikianlah menurut lafal yang diketengahkan oleh Ibnu Murdawaih. Abu Daud meriwayatkannya secara munfarid dengan lafal yang sama, dari Muhammad ibnu Daud ibnu Sabih, dari Abu Na'im dengan sanad yang sama. Imam Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih, tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak mengetengahkannya.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dari Sammak ibn Harb, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa seekor kambing betina milik Saudah binti Zam'ah mati. Lalu Saudah berkata, "Wahai Rasulullah, kambingku telah mati." Rasulullah ﷺ bersabda, "Mengapa kalian tidak mengambil kulitnya?" Saudah bertanya, "Bolehkah kita mengambil kulit dari kambing yang telah mati?" Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya, menjelaskan bahwa sesungguhnya yang dikatakan oleh Allah:
“Katakanlah, ‘Tiadalah kudapatkan di dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali (daging) hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi karena sesungguhnya semuanya itu kotor’.” (Al-An'am: 145). “Sesungguhnya kalian tidak diperintahkan untuk memakannya, tetapi diperintahkan untuk menyamaknya agar kulitnya bisa kalian manfaatkan.
Maka Saudah mengirimkan seseorang untuk menguliti bangkai kambingnya, lalu dia menyamak kulitnya. Saudah menjadikan kulit yang disamak itu untuk qirbah (tempat air), dan dimanfaatkannya sampai qirbah itu rusak.
Imam Ahmad, Imam Bukhari, dan Imam An-Nasai meriwayatkannya melalui hadits Asy-Sya'bi, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dari Saudah binti Zam'ah dengan lafal yang sama atau yang semisal. Sa'id ibnu Mansur menceritakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Muhammad, dari Isa ibnu Namilah Al-Fazzari, dari ayahnya yang mengatakan bahwa ia pernah berada di sisi Ibnu Umar, yaitu ketika seorang lelaki bertanya kepada Ibnu Umar mengenai daging landak. Maka Ibnu Umar membacakan ayat berikut kepadanya, yaitu firman-Nya:
“Katakanlah,‘Tiadalah kudapatkan di dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya’." (Al-An'am: 145), hingga akhir ayat.
Lalu ada seorang yang sudah lanjut usia yang juga ada di tempat itu berkata bahwa ia pernah mendengar Abu Hurairah mengatakan dalam kisahnya ketika berada di dekat Nabi ﷺ Disebutkan bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda: “Landak adalah termasuk hewan yang kotor (yakni tidak halal).” Maka Ibnu Umar berkata, "Jika Nabi ﷺ memang mengatakannya, maka hukumnya adalah seperti apa yang dikatakan oleh Nabi ﷺ" Imam Abu Daud meriwayatkannya dari Abu Tsaur, dari Said ibnu Mansur dengan sanad yang sama.
Firman Allah ﷻ: “Tetapi barang siapa yang dalam keadaan terpaksa bukan karena menginginkan dan tidak melebihi (batas darurat).” (Al-An'am: 145)
Maksudnya, barang siapa yang dalam keadaan terpaksa memakan sesuatu yang diharamkan oleh Allah dalam ayat ini, sedangkan dia tidak dalam keadaan memberontak, tidak pula melampaui batas.
“Maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-An'am: 145)
Yakni Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepadanya.
Tafsir ayat ini telah disebutkan di dalam surat Al-Baqarah sehingga sudah cukup jelas. Makna dari konteks ayat ini ialah sebagai sanggahan terhadap orang-orang musyrik yang suka mengada-adakan suatu hal baru yang mereka buat-buat sendiri, dengan pemikiran mereka yang rusak (tidak benar) mereka mengharamkan bahiirah, saa-ibah, washiilah, haam, dan yang semisalnya. Maka Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya agar memberitahukan kepada mereka bahwa tiadalah ditemukan dalam apa yang diwahyukan oleh Allah kepadanya yang menunjukkan bahwa hal tersebut haram. Sesungguhnya yang diharamkan-Nya hanyalah apa yang disebutkan dalam ayat ini, yaitu bangkai, darah yang mengalir, daging babi, dan hewan yang disembelih dengan tidak menyebut nama Allah.
Apa pun yang selain daripada itu Allah tidak pernah tidak mengharamkannya, Yang mana hal itu dianggap suatu yang dimaafkan dan didiamkan. Lalu mengapa kalian wahai orang-orang musyrik, mengatakan bahwa itu haram, dan atas dasar apa kalian mengharamkannya padahal Allah tidak mengharamkannya? Berdasarkan hal tersebut di atas, maka selanjutnya tidak ada lagi pengharaman terhadap hal yang lain, sebagaimana pendapat yang masyhur di antara madzhab-madzhab para ulama yang melarang memakan daging keledai kampung, daging hewan pemangsa, dan setiap burung yang bercakar tajam.
Pada ayat-ayat yang lalu kaum musyrik dikritik dengan celaan yang tajam karena mereka mengharamkan sebagian dari hewan ternak tan-pa ada larangan dari Allah atau petunjuk dari nabi-nabi mereka, pada ayat ini dijelaskan berbagai makanan yang diharamkan untuk kaum muslim dan kaum Yahudi. Katakanlah kepada kaum musyrik yang membuat-buat aturan sendiri dan telah berdusta terhadap Allah, Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali empat jenis saja, yaitu (1) daging hewan yang mati dengan sendirinya atau sebab alamiah, biasa disebut dengan bangkai, (2) darah yang mengalir, (3) daging babi'karena semua itu kotor'atau (4) hewan yang disembelih bukan atas nama Allah. Akan tetapi, barang siapa yang terpaksa memakannya bukan karena menginginkan dan tidak mele-bihi batas darurat, melainkan hanya sekadar untuk bisa bertahan dari kelaparan yang mengancam keselamatan jiwa, maka sungguh, Tuhanmu Maha Pengampun, Maha Penyayang. Dan khusus kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan semua hewan yang berkuku, yaitu ialah hewan-hewan yang jari-jarinya tidak terpisah antara yang satu dengan yang lain, seperti: unta, itik, angsa, dan lain-lain. Dan Kami haramkan juga kepada mereka lemak sapi dan domba, kecuali yang melekat di punggungnya, atau yang dalam isi perutnya, yakni usus, dan lemak yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami menghukum mereka karena kedurhakaannya, bukan karena makanan itu haram zatnya seperti haramnya babi dan bangkai. Dan sungguh, Kami Mahabenar.
Pada ayat ini Allah memerintahkan kepada Rasulullah ﷺ agar mengatakan kepada kaum musyrikin yang telah membuat-buat peraturan sendiri dan telah berdusta terhadap Allah, dan mengatakan kepada manusia lainnya bahwa dia tidak menemukan, dalam wahyu yang diwahyukan kepadanya, sesuatu yang diharamkan oleh Allah kecuali empat macam saja, yaitu:
1. Hewan yang mati dengan tidak disembelih sesuai dengan peraturan syariat, di antaranya hewan yang mati tidak disembelih, hewan yang mati tercekik, terpukul, terjatuh, dan lain sebagainya.
2. Darah yang mengalir atau yang keluar dari tubuh hewan yang disembelih atau karena luka, dan sebagainya. Tidak termasuk darah yang tidak mengalir seperti hati, limpa dan sisa darah yang melekat di daging. Ketentuan ini antara lain disebutkan dalam sebuah hadis:
Artinya:
"Dihalalkan untuk kami dua macam bangkai, yaitu bangkai ikan dan bangkai belalang, dan dihalalkan pula dua macam darah yaitu hati dan limpa". (Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu 'Umar)
3. Daging babi dan semua bagian tubuhnya termasuk bulu, kulit, tulang, susu dan lemaknya.
4. Binatang yang disembelih dengan tidak menyebut nama Allah, seperti disembelih dengan menyebut nama berhala atau sesembahan lainnya selain Allah.
Orang yang terpaksa makan makanan tersebut karena sangat lapar dan tidak ada makanan yang lain, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak pula melampui batas, ia boleh memakannya sekadar untuk menghilangkan laparnya dan memelihara dirinya dari kematian.
Selain dari makanan yang diharamkan di atas, di dalam hadis banyak terdapat berbagai macam binatang yang dilarang memakannya, seperti yang terdapat dalam hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah dan al-Bukhari dari Ibnu 'Umar bahwa beliau berkata:
"Nabi ﷺ melarang makan makanan daging keledai peliharaan pada peperangan khaibar". (Riwayat al-Bukhari dari Ibnu 'Umar)
Juga tersebut dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim:
"Rasulullah ﷺ melarang makan semua binatang buas yang bertaring dan semua burung yang bercakar." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 145
“Katakanlah, Tidaklah aku dapati di dalam yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi si pemakan yang mau memakannya kecuali bahwa adalah dia itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya dia itu kotor, atau suatu pendurhakaan yang disembelih untuk yang selain Allah."
Di sini, Nabi Muhammad ﷺ menegaskan bahwa beliau sendiri sebagai rasul Allah yang menerima peraturan Allah sebagai wahyu, yang bertanggung jawab menyampaikannya pula kepada manusia, tidak ada mendapati dalam wahyu yang diterimanya itu, yaitu Al-Qur'an, suatu makanan yang dilarang kecuali yang empat macam itu saja. Yaitu, segala macam bangkai, dan darah yang mengalir, dan daging babi. Karena, semua manusia yang mempunyai perasaan halus sudah tahu bahwa bangkai itu kotor dan bisa mengandung penyakit. Akan tetapi, tidak banyak orang, orang mau mengerti bahwa daging babi pun kotor sehingga bukan saja tahi binatang lain dan tahi manusia dimakannya, bahkan tahinya sendiri dia tidak peduli, dimakannya juga. Oleh sebab itu, babi pun diharamkan. Setelah itu, segala binatang yang disembelih karena buat mendurhakai Allah karena mempersekutukan yang lain dengan Allah, yaitu disembelih buat memuja berhala atau memuja hantu atau iblis. Cuma empat itulah yang terang diharamkan oleh Al-Qur'an
“Maka barangsiapa yang terpaksa, bukan karena ingin atau sengaja hendak melebihi, maka sesungguhnya Tuhan engkau adalah Pengampun lagi Penyayang."
4 Kalimat thaa'im, kita artikan “si pemakan" Meskipun bahasa ini masih jarang terpakai, telah kita pergunakan sebab sudah ada kawannya yang biasa terpakai, yaitu si pemakai. Si pemakai untuk sandang dan si pemakan untuk pangan!
Cuma keempat macam itulah yang haram dimakan menurut Al-Qur'an. Hanya diboleh-kan karena terpaksa saja. Misalnya, tidak ada makanan lain lagi, hanya itu saja. Sedangkan kalau makanan itu tidak dimakan, bisa mati kelaparan. Inilah yang diriamai rukhshah, keringanan atau pengecualian karena memelihara nyawa adalah wajib. Atau, misalnya dipaksa orang lain, jika tidak dimakan, akan dibunuhnya. Ditekankan lagi pengecualian itu, yaitu bukan karena dia sendiri mau atau memang ingin akan makanan itu. Dan, ditambahkan lagi supaya jangan melebihi karena terasa enaknya.
Karena keterangan yang seperti ini dari Al-Qur'an, seluruh ulama ahli fiqih dan ahli ijtihad dalam Islam sepakat, atau ijma bahwa yang empat ini tetaplah haramnya, tidak seorang juga yang berpendapat lain. Cuma timbul pertikaian pendapat di antara mereka bahwa yang lain dari yang empat itu karena ada hadits-hadits Rasulullah ﷺ melarang memakan binatang-binatang yang lain yang dahulu ketika menafsirkan surah al-Maa'idah ayat 3 sudah kita perbincangkan juga. Ada Rasulullah ﷺ melarang memakan segala burung yang makannya sambil menerkam, se-umpama burung elang dan sebagainya. Yaitu, burung-burung yang memakan daging. Dan, beliau larang pula segala binatang buas yang bersaing (bertaring). Yaitu, sebangsa singa, harimau, serigala, kucing dan sebagainya. Karena binatang-binatang itu buas dan makan daging.5 Ada juga larangan Rasulullah ﷺ memakan himar (keledai) jinak, bukan keledai hutan. Maka, setengah ulama berpendirian pula menambahkan segala yang dilarang Rasulullah ﷺ itu, menjadi haram dimakan, sebagaimana yang empat tersebut di dalam Al-Qur'an itu. Karena menurut pendirian mereka hadits-hadits atau Sunnah Rasulullah ﷺ adalah sebagai pelengkap dari Al-Qur'an, Menurut mereka segala yang diharamkan atau dilarang oleh Rasulullah ﷺ itu, walaupun tidak disebut oleh Al-Qur'an, tentu terdapat persamaan ‘Iiiat dari salah satu makanan empat yang dilarang itu. Misalnya, tentang haramnya makan anjing, ialah karena persamaan kotornya dengan babi dan termasuk pula binatang buas. Ahli-ahli ftqih kerap kali menyebut kedua binatang ini dengan disenapaskan. Demikian juga tikus, karena kotornya.
5 Di sini jelas bahwa anjing termasuk golongan binatang buas yang dilarang Rasulullah ﷺ memakannya, bukan larangan dari Al-Qur'an sebagai yang empat tegas tadi.
Akan tetapi, setengah ulama lagi tidaklah berpendapat bahwa apa yang dilarang oleh Rasulullah ﷺ dengan sabda beliau, sama haramnya dengan apa yang dijelaskan dengan ayat Al-Qur'an. Karena, pada pendapat mereka hadits-hadits pelarangan itu tidaklah sama tingkat qath'i-nya. (sifat memutuskan) sebagai Al-Qur'an. Sebab, hadits-hadits itu ahaad, yaitu didapat dari riwayat seorang kepada seorang, tidak mencapai mutawatir sebagai Al-Qur'an. Jadi, sifat hadits ahaad itu kata mereka bukan qath'i, melainkan zhanni. Namun, bukan berarti bahwa mereka mengatakan boleh saja memakan segala yang tidak tersebut dalam daftar empat makanan melainkan termasuk yang dibenci, atau tidak disukai. Yang di dalam hukum ushul fiqih disebut makruh, atau di-benci.
Di antara imam-imam ikutan umat, terdapat dua pribadi besar yang melambangkan kedua paham ini. Imam Syafi'i berpendapat yang pertama, yaitu haram, sedangkan guru beliau, Imam Malik, berpendapat semuanya itu makruh, dibenci.
Setengah ulama lagi menampak jalan lain lagi. Kata mereka, ukuran makanan yang lain itu bergantunglah pada thayyibat dan khabaits. Thayyibat ialah yang baik-baik. Dan, khabaits ialah yang keji, kotor atau jijik. Al-Qur'an diturunkan ialah buat mengharamkan yang keji dan yang kotor dan menghalalkan yang thayyibat, yang baik. Maka, golongan ini menampak pula suatu keterangan perbuatan Rasul ﷺ tentang ini. Pada suatu hari Khalid bin Walid membawa seekor dhab, sebangsa bengkarung yang telah diselai (dikeringkan) di atas batu panas, ke hadapan Nabi, lalu Khalid mempersilahkan beliau memakannya. Beliau menolak, dengan alasan yang ringan saja, yaitu dhab itu tidak ada di bumi kaum beliau. Oleh karena itu, beliau tidak biasa memakannya. Akan tetapi, beliau tidak melarang Khalid memakannya. Meskipun Rasulullah saw, dan Khalid bin Walid sama-sama anak Mekah tulen. Dengan sebab kejadian ini, condonglah ulama pada pendapat bahwa dhab itu makruh dimakan. Makruhnya karena salah satu dari dua sebab. Pertama, karena menghormati sunnah, yaitu sebab Nabi tidak suka memakannya, tetapi tidak melarang orang lain. Kedua, karena dia termasuk yang kotor juga, tetapi tidak sekotor empat yang terdaftar.
Sayyidiria Umar menyatakan pendapat, kalau dhab itu ada sekarang, saya pun suka memakannya, tetapi tidak pula ada riwayat shahih menyatakan bahwa Sayyidiria Umar pernah memakannya. Kemudian setelah ahli obat-obatan campur memperkatakan urusan dhab ini, terbuka rahasia baru, yaitu bahwa dia adalah semacam obat buat menguatkan syahwat setubuh!
Kira-kira pada 1320 Hijriyah (1898) terjadilah di Mekah suatu perbincangan ilmiah, meskipun bersifat senda gurau. Tuan Syekh Ahmad Khathib suka benar memakan goreng ikan belut. Sebagaimana diketahui belut itu adalah ikan yang menyerupai ular. Ulama-ulama Mekah yang belum tahu karena memang di negeri itu belut tidak ada, berpendapat bahwa Syekh Ahmad Khathib sebagai seorang imam, khathib, dan guru besar (profesor) madzhab Syafi'i di Mekah telah memakan makanan yang haram menurut madzhabnya, atau makruh menurut madzhab Malik. Sampai ko-nonnya beliau mengeluarkan sebuah risalah kecil untuk mempertahankan halalnya makan belut itu. (Penulis tidak bertemu risalah itu, hanya menerima berita ini dari ayah dan guru penulis.)
Kejadian ini menjadi bahan kita pula meninjau tentang thayyibat dan khabaits itu. Buat ulama Mekah yang tidak mengenal sawah Indonesia dan belutnya, tentulah belut itu khabaits. Dan buat Syekh Ahmad Khathib dan buat kita, tentu belut itu termasuk thayyibat, yang hidupnya hanya di dalam luluk atau lumpur sawah atau di dalam air.
Sayyid Rasyid Ridhamenyatakan pendapat tentang timbulnya ijtihad ulama-ulama di zaman dahulu, yang kata beliau mempersulit dari hal makanan ini. Beliau berkata, “Suatu hal yang pasti dalam akhlak manusia dan tabiat mereka bahwa lingkungan (milieu) tempat mereka hidup memiliki pengaruh juga terhadap ijtihad dan paham mereka. Ahli-ahli ijtihad itu mengharamkan manfaat-manfaat yang tidak terhitung banyaknya yang dijadikan Allah, sebagai anugerah Allah kepada manusia, seumpama sabda-Nya, “Dialah yang menjadikan untuk kamu apa yang di bumi ini semuanya." Orang-orang yang berijtihad itu hidup di suatu negeri yang sangat maju kebudayaannya, penduduknya telah bersenang-senang dengan hasil tamaddun raja-raja Kisra (Persia) dan kaisar (Rum), di negeri-negeri yang derajat kemajuannya sudah laksana surga, sebagai Baghdad, Mesir dan lain-lain. Segalanya itu berpengaruh pada jalan berpikir mereka sehingga apa yang dipandang buruk oleh orang Arab yang telah hidup dalam kemewahan dalam kemajuan hidup itu, mereka hukumkan haram pula untuk orang Badui yang hidup serba sukar dan makhluk Allah di lain negeri. Dan, kalau bukanlah karena pengaruh kebudayaan mereka yang telah maju itu, niscaya mereka peliharalah di dalam melakukan ijtihad itu segala pokok-pokok yang tegas dari syari'at yang mempermudah bukan mempersukar dan mereka ambil saja garis yang umum, padahal tidaklah masuk akal bahwa Allah akan memberati sekalian bangsa mesti menuruti selera bangsa Arab yang mewah dengan makanan mereka!'1
Menilik dari isi tulisan tersebut jelaslah bahwa Sayyid Rasyid Ridha cenderung pada paham bahwa ijtihad beberapa ulama Islam yang tersebut dalam berbagai kitab fiqih menyatakan pendapat memperluas lagi tentang haram dimakan, tidaklah selayaknya. Sebab, ulama-ulama itu terpengaruh oleh lingkungan hidup mereka, baik di Baghdad maupun di Mesir, di negeri yang telah lama mencapai kemajuan hidup (tamaddun) sehingga cara mereka makan dan pilihan atas binatang yang akan dimakan sudah lebih teratur. Mereka telah merasa jijik memakan ular, biawak dan sebagainya. Akan tetapi, Sayyid Rasyid Ridha menyuruh meninjau kembali paham ijtihad yang memperluas daerah yang haram itu, mengingat bahwa ada lagi bangsa pemeluk Islam yang tamaddun-nya belum seperti Arab kota, di Mesir dan Baghdad.
PERBINCANGAN ULAMA TENTANG MAKANAN
Sebagian besar ulama, dipelopori oleh sahabat Nabi, Ibnu Abbas dan ulama Mujtahid yang besar. Imam Malik bin Anas berpendapat bahwa yang terang-terangan haram dimakan hanyalah yang empat itu saja, “Bangkai, daging babi, darah yang mengalir, dan binatang yang disembelih buat menghormati yang selain Allah (misalnya berhala)" Mereka pertahankan pendirian sebab diadakan ayat ini Nabi ﷺ disuruh Tuhan menjelaskan, “Katakanlah olehmu, apa yang diwahyukan kepadaku apa yang diharamkan atas si pemakan yang akan memakannya." Kemudian, beliau jelaskan hanya yang empat itulah yang diharamkan. Dan tidak ada lagi perintah yang lain.
Dapat dipahami dari ayat ini bahwa yang selain dari yang empat itu, apa saja macam makanan atau ternak atau binatang buas tidak ada yang haram sebab tidak ada wahyu yang diturunkan Allah untuk mengharamkannya.
Abd bin Humaid, Abu Dawud, Ibnu Abi Hatim, Abusy-Syaikh, al-Hakim (dishahihkan-nya), dan Ibnu Mardawaihi meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa beliau berkata, “Orang-orang jahiliyyah itu memakan makanan macam-macam dan meninggalkan makanan macam-macam pula karena merasa keberatan. Kemudian, diutus Allah-lah nabi-Nya dan diturunkan-Nya kitab-Nya, dan dihalalkan-Nya yang halal dan diharamkan-Nya yang haram. Maka, apa yang telah Dia halalkan, halallah dia, dan apa yang telah Dia haramkan, tetaplah haram. Dan mana yang Dia diamkan, itu adalah dimaafkan. Kemudian, beliau baca ayat, “Katakanlah, tidak aku perdapat... dan seterusnya," itu.
Menurut riwayat lain dari Abdurrazzaq dan Abd bin Humaid bahwa dia (Ibnu Abbas) pernah membaca ayat ini. Setelah selesai membacanya beliau berkata, “Selain dari ini, semuanya halal!"
Menurut riwayat Imam Bukhari, Abu Dawud, Ibnul Mundzir, dan Abusy-Syaikh dari Amr bin Diriar ini berkata, “Aku katakan kepada jabir bin Zaid, ada orang mendakwakan bahwasanya Rasulullah ﷺ melarang memakan daging keledai peliharaan (keledai jinak) pada zaman peperangan Khaibar." Kemudian, jabir bin Zaid menjawab, “Memang pernah al-Hakam bin Amer al-Ghifari menyatakan di Bashrah kepada kami bahwa Nabi kita memang pernah mengatakan demikian. Namun, yang demikian itu tidak diterima oleh Al-Bahr Ibnu Abbas." Lalu beliau baca ayat ini.
Setengah dari gelar Ibnu Abbas ialah Bahrul Uhim yang berarti lautan ilmu.
Adapun orang-orang yang menganut pendapat ini, yang membatasi bahwa yang jelas haramnya dengan wahyu hanya yang empat itu saja, memandang bahwa kalau ada hadits-hadits Rasulullah melarang makanan yang lain maka sekalian larangan Nabi itu tidaklah
membawa pada hukum haram. Hanyalah semata-mata makruh. Oleh sebab itu, asy-Sya'bi berpendapat halal memakan daging gajah, beralasan pada ayat ini juga.
Mereka pun berpegang pula pada suatu hadits yang dirawikan oleh al-Bazzar dan al-Hakim dari sahabat Abu Darda, Rasulullah ﷺ bersabda,
“Mana yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya maka halallah dia. Dan mana yang Dia haramkan maka haram pulalah dia. Dan mana yang Dia diamkan saja daripadanya maka itu dimaafkan. Sebab itu, terimalah daripada Allah mana yang Dia maafkan. Karena sesungguhnya Allah tidaklah akan melupakan sesuatu." (HR al-Bazzar dari Abu Darda)
Golongan yang kedua, sepakat dengan golongan yang pertama tentang haramnya yang empat macam itu. Karena sesuatu yang telah ada nashnya yang qath'i, yang tegas dan tepat dalam Al-Qur'an tidak usah diperbincangkan lagi. Akan tetapi, ada lagi beberapa hadits Rasulullah ﷺ mengharamkan atau melarang yang lain-lain, sebagai telah kita sebutkan di atas tadi. Golongan kedua ini setelah menilai hadits-hadits yang menentukan makanan yang dilarang itu, berpendapat bahwa selain dari yang empat diharamkan Al-Qur'an ada lagi yang diharamkan Rasulullah ﷺ dengan sabdanya. Yang tegas ialah burung-burung yang mempunyai kuku untuk mencengkeram dan binatang-binatang yang mempunyai saing atau taring untuk menggusi. Artinya, burung-burung buas dan binatang-binatang buas. Termasuk di situ anjing karena anjing memang memakan daging, artinya buas. Dan, juga kucing sebab dia bertaring.
Bagaimana dengan pendapat dari “Lautan Ilmu" (Ibnu Abbas) yang menolak keterangan Jabir bin Zaid yang membawakan riwayat bahwa Nabi ﷺ pernah dengan jelas mengharamkan daging keledai jinak. Ibnu Abbas menolak keterangan itu dengan membaca ayat yang tengah kita tafsirkan ini. Penolakan Ibnu Abbas ini tidak semua orang menerimanya. Tersebut pada riwayat, sikap Imam Bukhari membantahnya. Katanya, “Meskipun ‘Lautan Ilmu' menolak keterangan Rasulullah dalam mengharamkan daging keledai jinak itu, daging keledai jinak tetap haram, walaupun ‘Lautan Ilmu' tidak mau menerima." Sebab riwayat hadits itu jelas dan sah dari Nabi ﷺ Lalu, Bukhari berkata pula, “Berpegang dengan perkataan seorang sahabat Nabi, padahal bertentangan dengan perkataan Nabi adalah satu pilihan yang salah dan jauh dari keinsafan."
Asy-Syaukani menulis dalam Nailul Authar, “Mengambil dalil dengan ayat ini, barulah sempurna pada sesuatu yang tidak ada nash (dari Nabi) dalam mengharamkannya. Nash yang je-las atas mengharamkan mesti didahulukan daripada menghalalkan yang umum dan atas qiyas."
Apatah lagi Ibnu Umar pun pernah rujuk (kembali) dari hanya berpegang dengan umum ayat ini.
Dirawikan oleh Said bin Manshur dan Imam Ahmad dan Abu Dawud dari Numailah al-Fazzari, berkata dia,
“Dirawikan Said bin Mamfiur, Imam Ahmad, dan A bu Dawud dari Numailah al-Fazzan. Dia berkata, “Aku berada di sisi Ibnu Umar ketika orang bertanya kepada beliau tentang Hukum memakan binatang gunja (landak). Lalu, beliau jawab dengan membaca ayat ini, ‘Katakanlah, tidak ada aku perdapat... dan seterusnya. ‘ Maka, menyelalah seorang orang tua yang ikut serta duduk dalam majelis itu, ‘Aku mendengar Abu Hurairah berkata, ‘Diperkatakan orang tentang landak itu di hadapan Nabi.' Lalu Nabi ﷺ berkata, ‘Sesuatu yang keji di antara berbagai yang keji.' Mendengar itu berkatalah Ibnu Umar, ‘Kalau Nabi sudah berkata demikian maka hukumnya ialah sebagaimana yang beliau katakan itu."‘ (HR Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Said bin Manshur)
Artinya bahwa di dalam Al-Qur'an sudah jelas bahwa Allah mengharamkan segala yang keji-keji (khabaits).b Terang, di situ bahwa Rasulullah ﷺ diutus Allah selain dari menghalalkan yang thayyibah dan mengharamkan yang khabaits, yang keji-keji. Dengan riwayat yang dibawakan Abu Hurairah ini, tunduklah Abdullah bin Umar dan tidaklah beliau berani memegang saja akan umum ayat ini, setelah mendengar bahwa landak atau gunja dipandang keji oleh Nabi. Sebab, beliau lebih tahu tentang mana yang keji itu.
Sikap Ibnu Umar ini memperkuat pendirian lagi bagi golongan kedua bahwa segala yang dilarang oleh Rasulullah ﷺ memakannya dengan hadits, samalah derajatnya dengan empat yang dilarang dalam ayat-ayat ini.
Pendirian ini dikuatkan lagi dengan sebuah hadits,
“Dari al-Miqdam bin Ma'adikariba dia berkata, ‘Berkata Rasulullah ﷺ, ‘Ketahuilah, adakah agaknya seorang yang sampai kepadanya suatu hadits daripadaku?' (Ketika itu beliau sedang tidur-tiduran di atas hamparannya). Lalu beliau bersabda selanjutnya, ‘Di antara kami dan di antara kamu adalah kitab Allah. Apa yang kami dapati halal di dalam kitab itu niscaya kami halalkan dan mana yang kami dapati haram, niscaya kami haramkan. Dan, barang yang diharamkan oleh Rasulullah adalah serupa dengan apa yang diharamkan oleh Allah Ta'aala."“ (HR at-Tirmidzi. Beliau berkata, “Hadits ini hasan dan gharib.")
Oleh sebab itu, golongan ini tidaklah membagi, Yaitu, mana yang diharamkan dalam Al-Qur'an menjadi haram dan mana yang dilarang oleh Rasul ﷺ menjadi makruh.
Menurut pendirian kedua ini segala binatang bersaing atau bertaring, seumpama singa, harimau, beruang, kucing, serigala, anjing, tupai adalah haram. Landak (gunjd) haram karena keji. Elang, rajawali sikok, dan segala burung yang mencengkeram dengan kuku adalah haram pula. Mereka berpendapat bahwa nilai isi hadits dalam perkara ini tidaklah kurang daripada nilai wahyu. Sebab Nabi saw, mengharamkan sesuatu bukanlah atas mau dan hawa nafsunya sendiri. Apatah sudah terkenal bahwa sunnah Rasul adalah tafsir yang utama daripada Al-Qur'an.
Menulis al-Qasirni di dalam tafsirnya, “Meskipun ayat ini umum jika dibandirigkan dengan tiap-tiap yang diharamkan Allah daripada binatang, dia pun dengan sendirinya meliputi juga segala yang diharamkan sesudah itu.
“Memang ada riwayat dari Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Aisyah dan ada juga riwayat seperti itu dari Imam Malik. Tetapi, pendirian ini gugur dengan sendirinya dan madzhab ini sangat lemah (dhaif) karena dia memandang enteng yang lain, yang turun sesudah itu dalam Al-Qur'an dan memandang tidak berharga hadits-hadits yang shahih daripada Rasulullah ﷺ sesudah ayat ini turun, dengan tidak ada alasan yang dapat dipegang dan tidak ada sesuatu pendirian yang mewajibkannya."
Berkata Imam Asy-Syaukani dalam tafsirnya Fathul Qadir ketika menafsirkan ayat ini, “Di dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada Nabi ﷺ memberi kabar kepada kaum musyrikin bahwa Nabi tidak mendapati suatu wahyu pun yang mengharamkan sesuatu yang mereka katakan haram itu, selain dari empat perkara yang tersebut itu. Dari sini, dapat diambil kesimpulan bahwa makanan yang diharamkan hanya terbatas pada yang empat ini saja. Tetapi, harus diingat bahwa ayat ini diturunkan di Mekah. Dan, sesudah itu telah turun pula di Madiriah surah al-Maa'idah. (Lihat surah al-Maa'idah ayat 3) Dalam ayat itu jelas ditambah lagi makanan yang diharamkan, yaitu al-munkhaniqatu, al-mauqudzatu, al-mu-taraddiyatu, dan an-nathihatu.
Menulis pula Ibnu Katsir di dalam tafsirnya Ruhul Bayan, “Yang ditangkap dari maksud yang dikandung di dalam ayat ini ialah menolak kaum musyrikin yang membuat-buat (bid'ah) mengharamkan Bahirah, Saaibah, Wasilah, dan Haam itu, dan seumpamanya. Kemudian, Allah menyuruhkan Rasul-Nya mengharamkan demikian itu. Yang diharamkan dengan wahyu hanyalah bangkai dan lain-lain yang tersebut seratanya itu. Lain dari itu, tidak ada yang haram. Melainkan dimaafkan dan didiamkan. Mengapa kamu katakan semuanya itu haram? Dari mana kamu dapat alasan mengharamkannya, padahal Allah tidak mengharamkan?"
Berkata Ibnu Katsir selanjutnya, “Atas dasar ini bukanlah berarti bahwa ada pula selain yang empat ini tidak diharamkan sesudah itu. Sebagaimana telah datang larangan memakan daging keledai jinak dan daging binatang buas dan sekalian burung yang mencengkeram dengan kuku." Demikian Ibnu Katsir.
Dan, segala keterangan penafsiran-penafsiran yang kita kumpulkan ini dapatlah ditarik pengertian bahwasanya ayat yang tengah kita tafsirkan ini tidaklah seyogianya kita jadikan dasar buat bertengkar tentang yang haram dan yang makruh. Atau tentang hadits-hadits Rasulullah yang melarang memakan makanan yang tertentu itu dipandang tidak seberat yang empat yang ditegaskan ayat ini atau tegasnya dipandang enteng. Sebab, sunnah adalah penafsiran dari Al-Qur'an, sebagaimana yang sudah sepatutnya dimaklumi orang yang memahami agama. Dan, maksud utama dari ayat yang tengah kita tafsirkan ini ialah menolak dan membantah kaum musyrikin yang membuat-buat hukum sendiri, mengharamkan apa yang tidak diharamkan oleh Allah. Membuat suatu hukum yang tidak ada sumbernya kecuali khayatan belaka. Dan, ayat ini turun di Mekah.
Kemudian setelah Hijrah ke Madiriah, barulah Al-Qur'an sendiri menambah beberapa yang diharamkan. Ditambah lagi oleh keterangan-keterangan Rasulullah ﷺ
Ayat yang berikutnya (ayat 146) menerangkan lagi makanan-makanan yang diharamkan Allah kepada orang Yahudi.
MAKANAN YANG HARAM BAGI YAHUDI
Ayat 146
“Dan, atas orang-orang Yahudi telah Kami haramkan tiap-tiap yang mempunyai kuku."
Dalam kitab Perjanjian Lama (Kitab Ulangan), pasal 14 dari ayat 7 dan 8 ada tersebut: Ayat 7: Melainkan ini juga yang tiada boleh kamu makan dari segala binatang yang hanya memamah biak saja atau dari segala yang hanya kukunya terbelah dua saja, yaitu unta, kawelu, dan kelinci karena sungguh pun ia memamah biak, tetapi tiada kukunya terbelah dua; haramlah ia kepadamu.
Ayat 8: Dan lagi, babi karena sungguh pun kukunya terbelah dua, tetapi tiada ia memamah biak maka haramlah ia kepadamu, janganlah kamu makan dagingnya dan jangan menjamah bangkainya.
Dari ayat-ayat kitab pegangan mereka ini, kita mendapat kejelasan bahwa yang dimaksud diharamkan kepada orang Yahudi tiap-tiap yang mempunyai kuku, ialah kuku yang tidak terbelah. Yang boleh dimakan hanya binatang yang kukunya terbelah dua serta makannya memamah biak Binatang yang berkuku satu sebagai kuda, unta, kawelu, dan kelinci tidak boleh dimakan. Babi pun, walaupun kukunya terbelah dua karena dia makan tidak memamah biak, dia pun haram mereka makan.
Binatang yang boleh mereka makan diterangkan di dalam ayat 4 sebelumnya, yaitu lembu, domba, kambing, rusa, kijang, kerbau, pelanduk, banteng, seladang, dan rusa dandi (impala).
Namun, terhadap lembu dan kambing ada lagi ketentuan hukumnya, sebagai tersebut pada lanjutan ayat, “Dan daripada lembu dan kambing telah Kami haramkan atas mereka lemaknya kecuali lemak yang ada di punggung keduanya atau di dalam perut atau apa yang tercampur dengan tulang."
Dalam ayat ini terdapatlah penjelasan, orang Yahudi diharamkan makan lemak lembu dan lemak kambing kecuali lemak-lemak yang sukar memisahkannya dari daging, sebagai lemak yang lekat di bagian punggung atau terlekat pada bagian perut (usus) dan yang bercampur pada tulang-tulang.
Lanjutan ayat menjelaskan apa sebab semua itu diharamkan bagi orang Yahudi,
“Demikian itulah Kami balas mereka dengan sebab kejahatan mereka. Sesungguhnya Kami adalah benar."
Nash ayat ini menjelaskan sebab semuanya ini diharamkan, yaitu sebab yang khas bagi Yahudi. Dan, ujung ayat menjelaskan bahwa keterangan dari Allah inilah yang benar. Bukan pembelaan diri dari Yahudi sendiri, yang selalu mengatakan bahwa Israil, nama kecil dari nenek moyang mereka, Nabi Ya'qub. Nabi Ya'qublah kata mereka yang mengharamkan segala makanan itu untuk dirinya sendiri, lalu mereka mengikutinya. Semua makanan ini halal bagi Nabi Ya'qub, beliau makan. Namun, beliau haramkan atas kehendak Allah kepada orang Yahudi karena mereka jua yang selalu melanggar.
Dalam Perjanjian Lama mereka, kitab Imamat Orang Levi pada pasal 3 dijelaskan bahwa kalau mereka hendak mengadakan kurban, yaitu dengan membakar binatang yang dikurbankan itu, hendaklah yang diutamakan membakarnya lemak-lemak dari binatang itu, baik lembu atau domba, atau kambing. Mungkin sekali setengah dari kenakalan mereka ialah tidak memedulikan atau melalaikan pembakaran kurban itu, tidak mereka bakar lemak-lemaknya karena ingin makanan yang lemak sehingga makanan sendiri lebih dipentingkan daripada kurban. Kemudian, datang perintah mengharamkan beberapa yang tersebut itu, sebab hukuman.
Di dalam surah an-Nisaa' ayat 160, surah Aali ‘Imraan ayat 93, bisa kita lihat tambahan keterangan tentang makanan-makanan yang diharamkan atas Yahudi itu. Dan dalam surah Aali ‘Imraan ayat 50 dijelaskan lagi bahwa kedatangan Nabi Isa al-Masih ialah menghalalkan kembali beberapa makanan yang diharamkan atas Yahudi itu. Dan, sekarang datanglah lanjutan ayat,
Ayat 147
“Maka jika mereka dustakan engkau maka katakanlah, Tuhan kamu adalah mempunyai rahmat yang luas,'"
Jika segala keterangan yang engkau berikan itu masih tetap mereka tolak dan dustakan, tidaklah penolakan keterangan itu akan memberi mara bahaya bagi engkau. Sebab, rahmat Allah senantiasa melindungi engkau dan melindungi tiap-tiap orang yang beriman. Bukan saja Nabi dan orang-orang yang beriman yang mengecap lezat cita rahmat Ilahi, bahkan seluruh makhluk adalah diliputi oleh rahmat Allah. Sikap dari kaum musyrikin yang kasar dan jiwa mereka yang kecil dan kecewa tidaklah akan mengurangi rahmat Allah itu.
“Dan, tidaklah dapat ditolak siksaan-Nya daripada kaum yang berbuat dosa."
(ujung ayat 147)