Ayat
Terjemahan Per Kata
ذَٰلِكَ
yang demikian itu
أَن
bahwa
لَّمۡ
tidak
يَكُن
akan ada
رَّبُّكَ
Tuhanmu
مُهۡلِكَ
membinasakan
ٱلۡقُرَىٰ
negeri-negeri
بِظُلۡمٖ
dengan aniaya
وَأَهۡلُهَا
dan penduduknya
غَٰفِلُونَ
orang-orang yang lengah
ذَٰلِكَ
yang demikian itu
أَن
bahwa
لَّمۡ
tidak
يَكُن
akan ada
رَّبُّكَ
Tuhanmu
مُهۡلِكَ
membinasakan
ٱلۡقُرَىٰ
negeri-negeri
بِظُلۡمٖ
dengan aniaya
وَأَهۡلُهَا
dan penduduknya
غَٰفِلُونَ
orang-orang yang lengah
Terjemahan
Demikian itu (pengutusan para rasul) karena Tuhanmu tidak akan membinasakan suatu negeri karena kezaliman (mereka), sedangkan penduduknya dalam keadaan belum tahu.
Tafsir
(Yang demikian itu) dengan mengutus para utusan (supaya) huruf lam dimuqaddarahkan sedangkan an berasal dari anna yang ditakhfifkan; yaitu berasal dari liannahu (Tuhanmu tidak membinasakan kota-kota secara aniaya) sebagian dari kota-kota itu (sedangkan penduduknya dalam keadaan lengah) dan belum pernah diutus kepada mereka seorang rasul pun yang memberikan penjelasan kepada mereka.
Tafsir Surat Al-An'am: 131-132
Demikianlah (para rasul diutus) karena Tuhanmu tidak akan membinasakan suatu negeri secara zalim, sedangkan penduduknya dalam keadaan lengah (belum tahu).
Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (sesuai) dengan apa yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.
Ayat 131
Firman Allah ﷻ: “Demikianlah (para rasul diutus) karena Tuhanmu tidak akan membinasakan suatu negeri secara zalim, sedangkan penduduknya dalam keadaan lengah (belum tahu).”
(Al-An'am: 131)
Yakni sesungguhnya Kami memperingatkan kepada manusia dan jin dengan mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab kepada mereka, agar tidak ada seseorang pun yang diazab karena perbuatan zalimnya, padahal ia belum menerima oleh dakwah (peringatan). Tetapi Kami terlebih dahulu memberikan peringatan kepada semua umat bahwa Kami tidak mengazab seseorang kecuali setelah utusan-utusan Kami telah diutus kepada umat-umat mereka. Makna ayat ini semisal dengan firman-Nya:
“Dan tidak ada suatu umat pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan.” (Fathir: 24)
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah Tagut’." (An-Nahl: 36)
“Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (Al-Isra: 15)
“Setiap kali dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang kafir), penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka, ‘Apakah belum pernah datang kepada kalian (di dunia) seorang pemberi peringatan?’ Mereka menjawab, ‘Benar ada. Sesungguhnya telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan, maka kami mendustakan(nya)’.” (Al-Mulk: 8-9)
Masih banyak ayat lain yang bermakna semisal dengan ayat ini.
Imam Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan bahwa makna firman-Nya, mengandung dua pengertian, yaitu: Pertama, yang demikian itu adalah karena Tuhanmu tidaklah menghancurkan kota-kota secara tiba-tiba atas kezaliman penduduknya yang melakukan kemusyrikan ketika mereka dalam keadaan lengah.
Dengan kata lain, Allah tidak akan menyegerakan azabnya kepada mereka sebelum Dia mengirimkan seorang rasul kepada mereka yang bertugas memperingatkan mereka akan hujah-hujah Allah dan memperingatkan mereka terhadap azab Allah di hari mereka dikembalikan. Allah sama sekali tidak akan menyiksa mereka ketika mereka sedang dalam keadaan lengah (belum mengetahui), yang pada akhirnya mereka akan beralasan dengan mengatakan, "Tidak pernah datang kepada kami seorang pembawa berita gembira, dan tidak ada pula seorang pemberi peringatan pun kepada kami." Kedua, firman-Nya: “Demikianlah (para rasul diutus) karena Tuhanmu tidak akan membinasakan suatu negeri secara zalim, sedangkan penduduknya dalam keadaan lengah (belum tahu).”
(Al-An'am: 131)
Artinya, Tuhanmu tidak akan mengazab mereka sebelum memberitahukan dan memperingatkan mereka melalui para rasul, mukjizat-mukjizat, serta pelajaran-pelajaran. Karena dengan demikian berarti Allah berbuat zalim terhadap mereka, sedangkan Allah tidak akan berbuat zalim terhadap hamba-hamba-Nya. Kemudian Ibnu Jarir sendiri men-rajih-kan (menguatkan) pendapat yang pertama, dan pendapat tersebut memang lebih kuat, tidak diragukan lagi.
Ayat 132
Firman Allah ﷻ: “Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (sesuai) dengan apa yang dikerjakannya.” (Al-An'am: 132)
Maksudnya, setiap orang yang beramal baik atau buruk, baik taat kepada Allah ataupun durhaka terhadap-Nya, masing-masing amalan mempunyai tingkatan dan kedudukannya sendiri. Barang siapa yang mengerjakan hal baik, Allah akan memberikan balasan yang baik pula. Jika seseorang melakukan hal buruk, balasannya akan buruk pula sesuai dengan perbuatannya.
Firman Allah ﷻ: “Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (sesuai) dengan apa yang dikerjakannya.” (Al-An'am: 132)
Dapat diartikan bahwa yang dimaksud dengan lafal “kullin” di sini adalah kepada orang-orang yang kafir dari kalangan jin dan manusia. Yakni masing-masing akan memperoleh kedudukan dan tingkatannya di dalam neraka sesuai dengan amal perbuatannya.
Perihalnya sama dengan yang disebutkan di dalam firman-Nya: Allah berfirman,
"Masing-masing mendapat (siksaan) yang berlipat ganda.” (Al-Araf: 38)
“Orang-orang yang kafir dan menghalangi (manusia) dari jalan Allah, Kami tambahkan kepada mereka siksaan di atas siksaan disebabkan mereka selalu berbuat kerusakan.” (An-Nahl: 88)
Adapun firman Allah ﷻ: “Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (Al-An'am: 132)
Menurut Ibnu Jarir, makna yang dimaksud ialah bahwa semua amal perbuatan mereka itu, wahai Muhammad, diketahui oleh Tuhanmu. Dia menghitung-hitungnya dan membalaskannya kepada mereka di sisi-Nya. Allah akan membalas amal perbuatan mereka pada hari mereka bertemu dengan-Nya, yaitu di hari mereka dikembalikan kepada-Nya.
Setelah menghardik jin dan manusia tentang sikap mereka terhadap rasul yang diutus kepada mereka, ayat ini menjelaskan hikmah diutusnya rasul. Demikianlah, para rasul diutus karena Tuhanmu tidak akan membinasakan penduduk suatu negeri secara zalim, sedang penduduknya dalam keadaan lengah atau belum tahu. Allah terlebih dahulu mengutus rasul yang mengingatkan kepada mereka, tetapi mereka tetap membangkang. Inilah hakikat keadilan. Dan masing-masing orang ada yang beramal untuk ketaatan dan ada pula yang senantiasa bermaksiat kepada Allah, mereka akan memperoleh balasan sesuai dengan tingkatannya, yaitu sesuai dengan apa yang mereka kerjakan. Dan Tuhanmu, wahai Nabi Muhammad tidak lengah terhadap apa yang mereka, yakni hamba-hamba-Nya, kerjakan.
Pada ayat ini Allah telah menjelaskan sunah dan ketetapan-Nya sesuai dengan hikmah kebijaksanaan dan keadilan-Nya, apabila Allah hendak membinasakan suatu umat karena kedurhakaan dan kezalimannya, terlebih dahulu Allah mengutus seorang rasul yang akan memberi peringatan kepada mereka. Allah tidak akan menurunkan azab dan siksa-Nya kepada suatu umat yang dalam keadaan lalai dan terlena sebelum mengirim rasul-Nya kepada mereka yang memberi tuntunan dan petunjuk, yang akan memperingatkan dan menimbulkan kesadaran dalam hati mereka bahwa mereka benar-benar telah sesat dari jalan yang lurus dan telah melakukan perbuatan-perbuatan tercela yang bertentangan dengan keadilan dan perikemanusiaan.
Siksaan yang diturunkan Allah kepada hamba-Nya yang durhaka kepada rasul yang memberi peringatan kepada mereka, misalnya memusnahkan mereka seperti yang pernah terjadi pada kaum 'Ad dan tsamud; atau siksaan yang menghinakan mereka dengan cara mengusir dan mencerai beraikan mereka, seperti yang diderita oleh Bani Israil; ada pula siksaan yang menghancurkan kekuatan mereka, seperti yang diderita oleh kaum musyrikin Mekah. Sesudah Nabi Muhammad diutus Allah kepada semua umat manusia, siksaan yang menghancurkan dan memusnahkan itu tidak ada lagi. Adapun malapetaka yang terjadi, seperti gempa, topan, banjir dan sebagainya, adalah cobaan dan ujian bagi umat manusia agar mereka insaf dan sadar akan kekuasaan Allah dan agar mereka selalu ingat kepada-Nya, dan tidak berpaling dari petunjuk dan ajaran yang diturunkan-Nya dengan perantara rasul-Nya.
Allah sekali-kali tidak akan menganiaya hamba-Nya, tetapi merekalah yang menganiaya diri sendiri dengan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan sunatullah dan melanggar norma-norma yang telah diberikan-Nya untuk kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Mungkin ada beberapa umat yang nampaknya kuat dan jaya padahal umat itu telah berpaling dari norma-norma keadilan dan perikemanusiaan, bahkan ada yang mengingkari kekuasaan Allah dan menganggap agama sebagai racun yang membunuh manusia. Hal itu adalah istidraj dari Allah yang membiarkan mereka tenggelam dalam paham kebendaan, sombong dan takabur atas hasil yang mereka capai. Namun akhirnya mereka akan mengalami nasib seperti orang yang sombong dan takabur. Terserah kepada manusia itu sendiri apakah ia akan menjadi orang yang beriman, mematuhi dan menjalankan semua aturan dan ajaran yang diturunkan-Nya dengan perantaraan rasul-Nya, sehingga dia hidup berbahagia jasmani dan rohaninya, ataukah dia akan menganggap dirinya lebih berkuasa atau lebih pintar serta menganggap ajaran-ajaran agama itu sudah ketinggalan zaman. Manusia bebas berpikir, berbuat dan menetapkan sesuatu menurut kehendaknya dan akhirnya akan terombang-ambing antara teori-teori yang terus berubah dan tidak tentu ujung pangkalnya serta terjerumus ke jurang kehancuran, keonaran dan kerusakan. Allah telah membentangkan di hadapan manusia jalan yang baik dan jalan yang buruk; diserahkan kepada manusia untuk memilihnya, jalan mana yang akan ditempuhnya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 130
“Wahai golongan jin dan manusia."
Pangkal ayat ini memberi penjelasan lagi bagi kita, bahwa yang di-khithab (diseru) dan yang mendapat taklif (perintah Allah), bukan saja manusia melainkan termasuk juga jin. Pertanyaan Allah yang berkali-kali berturut-turutdi dalam surah ar-Rahmaanyangberbunyi tukadzdzibaan (kamu berdua mendustakan), ialah kamu berdua manusia dan jin."Bukankah telah datang kepada kamu beberapa rasul dari (kalangan) kamu." Di sini disebut beberapa rasul. Karena kalimat rusul adalah kata jamak dari rasul. Nyata bahwa rasul-rasul Allah itu bukan dua, malahan banyak sekali. Rasul-rasul itu diutus buat menyeru manusia dan jin agar tunduk taat kepada Allah dan sebagainya, mengakui keesaan Ilahi."Yang menceritakan kepada kamu tentang ayat-ayat-Ku." Artinya, ajaran utama dan pertama yang dibawa oleh sekalian rasul itu adalah tentang kekuasaan Allah, keesaan Allah, tentang Dia Pencipta dunia seluruh alam ini dan tidak berserikat yang lain dengan Dia."Dan, telah memberi ancaman kepada kamu dari hal pertemuan hari kamu ini?" Inilah intipati ajaran yang kedua, yaitu membawa ancaman, membawa nadziir bahwa hidup ini tidaklah selesai sehingga dunia ini saja, melainkan akan bersambung lagi dengan kehidupan akhirat. Di sanalah kelak akan diperhitungkan segala amalan makhluk. Diperhitungkan seadil-adilnya dan akan mendapat siksalah orang-orang yang tidak berlaku jujur menempuh jalan ash-shirathal-mustaqim selama di dunia ini. Apabila hari itu datang, seorang pun tidak akan dapat mengelak dari tanggung jawab.
Di dalam ayat ini sekali lagi didatangkan pertanyaan kepada jin dan manusia karena mereka yang menerima khithab. Kemudian, kita pertalikan ayat ini kembali dengan ayat 112 tersebut bahwa setiap seorang nabi diutus Allah, pastilah saja setan-setan yang terdiri dari manusia-manusia dan jin yang mendapat seruan Ilahi itu terbelok dari jalan yang diserukan, terpesong pada jalan yang salah.
Di dalam ayat ini, didatangkanlah tempelak (teguran) kembali kepada jin dan manusia yang terpedaya oleh seruan salah satu. Dan, pertanyaan itu datang kelak kemudian hari pada hari Kiamat. Sekarang sudah Kami lihat betapa akhir kejadian ini maka bagaimana lagi sikapmu?
“Berkata mereka, ‘Kami telah menyaksikan atas diri-diri kami.'" Menyaksikan atas diri kami masing-masing, artinya, sekarang telah kami alami sendiri akibat dari kesalahan kami. Yakinlah kami sekarang bahwa Kiamat yang dahulu kami ragukan, sekarang telah kami hadapi sendiri.
Kemudian, datanglah keterangan Allah, “Dan telah tertipu mereka oleh kehidupan dunia." Allah sendirilah yang memberikan peringatan kepada Rasul dan kepada umat yang beriman bahwa sebab yang utama dari kesesatan mereka ialah karena mereka ditipu oleh kehidupan dunia yang tidak kekal ini. Kehidupan dunia ialah segala hal yang memerdayakan manusia sehingga mereka tidak ingat lagi kepada siksaan akhirat. Dan, waktu hidup di dunia ini nabi-nabi dan rasul-rasul telah memberi ingat akan hari akhirat itu. Kita sendiri, sekarang ini, dalam kehidupan sehari-hari telah mendengar ajaran rasul-rasul, telah membaca isi kitab-kitab, terutama Al-Qur'an. Namun, jika kesenangan hidup di dunia ini telah memanggil, kalahlah peringatan akan hari akhirat itu oleh rayuan dan tipuan hidup duniawi. Karena kerinduan akan kesenangan yang sementara, kita tidak ingat lagi akan kesenangan akhirat.
Untuk menjelaskan pengertian ayat ini, dapatlah kita kemukakan suatu misal yang dapat kita alami sehari-hari.
Segolongan kaum Muslimin mendirikan suatu partai agama, yang bercita-cita (ideologi) agar hukum, peraturan, dan syari'at Allah berlaku dalam negara mereka. Padahal, negara itu bersifat nasional dan tidak yakin akan peraturan syari'at Islam. Negara itu berdasar sekularisme, yaitu pemerintahan yang sengaja dijauhkan dari segala pengaruh agama.
Pada suatu hari, datanglah ajakan pada penganjur partai yang berideologi Islam itu supaya duduk dalam satu kabinet (pemerintahan). Dia akan diangkat jadi menteri, padahal dia tahu kalau dia terus duduk dalam pemerintahan, belumlah mungkin negara itu menegakkan syari'at Islam, malahan akan tetap membuat undang-undang yang jauh dari Islam. Namun, tawaran itu diterimanya juga. Sebab apa? Sebab hidup menjadi penguasa atau menjadi menteri akan mengakibatkan kemewahan, rumah gedung yang indah, mobil yang mengilap dan semua itu karena pangkat dan kedudukan tinggi. Dia simpan cita-cita yang telah dibinanya itu dan diterimanya jabatan karena keinginan pada kemewahan duniawi. Beberapa waktu kemudian terjadi lagi perubahan pemerintahan dan pangkatnya pun jatuh. Dan, cita-cita yang telah direnca-nakannya beberapa tahun itu belumlah dapat dilaksanakannya sama sekali dalam pemerintahan yang dimasukinya itu. Setelah keluar dari jabatan pemerintahan, dia pun menyesal.
Sesudah pekerjaan itu ditinggalkannya, barulah dia menyaksikan sendiri dengan dirinya apa yang menjadi tujuan hidupnya yang sejati tidaklah pernah dicapainya melainkan bertambah jauh. Yang dicapainya hanyalah kemewahan buat dirinya sendiri dan itu pun hanya sebentar. Karena politik berubah, dia jatuh sesudah naik atau dia mati, padahal selama berpangkat dahulu dia tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk menegakkan citanya yang sejati. Dan, cita (ideologi) adalah perjuangan hidup manusia yang sejati. Dia menyangka beruntung, padahal modal aslinya sendiri yang telah hilang dan licin tandas. Oleh sebab itu, lebih dijelaskan lagi pada ujung ayat.
“Dan mereka pun telah menyaksikan atas kesalahan diri-diri mereka bahwa sesungguhnya mereka memang telah menjadi orang-orang yang kafir."
Tegasnya, mereka akhirnya insaf bahwa mereka telah menempuh jalan yang salah, yaitu meninggalkan jalan shirathal-mustaqim, jalan Allah yang lurus, lalu oleh karena perdayaan setan manusia dan jin yang menyebar kata lemak manis, padahal berisi tipuan. Dan setengah dari tipuan itu ialah keenakan dan kemewahan duniawi, lalu cita-cita yang asal mereka tinggalkan. Cita-cita yang asal mereka pandang perkara kecil dan remeh belaka. Peraturan Allah meliputi akan seluruh segi dari kehidupan. Selain dari ibadah untuk diri sendiri, seumpama shalat dan puasa, manusia pun diperintah menjalankan peraturan Allah mengenai masyarakat, dan mengenai ekonomi, sosial, dan politik, serta mengenai negara. Dahulu ketika menerima pangkat dan jabatan, mereka tidak sadar bahwa dengan perbuatannya itu mereka telah menunjukkan bahwa mereka tidak percaya lagi akan peraturan Allah bisa menyelamatkan dunia ini.
Dengan membayangkan pengakuan bahwa mereka telah kafir di ujung ayat itu, dapatlah kita memahamkan bahwa kufur itu bukanlah semata-mata karena tidak mengakui adanya rasul saja. Meskipun mengaku bahwa Allah itu ada, padahal tidak meyakini peraturan dari Allah atau memandang bahwa peraturan buatan manusia lebih baik dari peraturan dari Allah, kufurlah orang itu, walaupun mulanya tidak merasa kufur. Jalan pikiran manusia yang sehatlah setelah merasakan berbagai pengalaman yang pahit, yang menginsafkan bahwa dia telah kufur. Barulah setelah maut datang dan tidak dapat dielakkan, ternyata bahwa dunia telah habis begitu saja, tanpa bekas. Dan, setelah datang Hari Mahsyar, hari yang pasti itu, diinsafi bahwa dia kecil tak berharga, lebih hina dari cacing. Waktu itu baru mengaku terus terang, “Aku ini telah kafir!"
Ayat 131
“Demikianlah karena Tuhan engkau tidaklah membinasakan negeri-negeri itu dengan aniaya, sedang penduduknya lalai."
“Demikianlah" kata Allah. Demikianlah, Allah memberi petunjuk terlebih dahulu kepada manusia dengan mengirimkan rasul-rasul dan memberi mereka wahyu dengan perantaraan rasul-rasul itu, ditunjuki jalan yang lurus dan benar. Sebab, Allah tidak mau langsung saja menurunkan suatu adzab, membinasakan suatu negeri, dengan tidak terlebih dahulu mengirimkan peringatan-peringatan. Karena, kalau Allah berbuat demikian, adalah Allah bersifat aniaya. Aniaya adalah sifat yang mustahil bagi Allah.
Orang tengah terlalai lengah, orang tidak tahu apa-apa tentang yang buruk dan yang baik dan tak ada peringatan datang, tak ada rasul yang diutus, tak ada kitab suci turun. Orang yang demikian mustahil datang-datang diadzab disiksa saja.
Mustahil, artinya tidak masuk di akal. Tidak masuk di akal bahwa Allah yang mempunyai sifat Maha Sempurna, tiba-tiba mendatangkan saja suatu adzab siksaan dengan tidak memberikan petunjuk terlebih dahulu mana yang salah dan mana yang benar.
TINGKATAN-TINGKATAN AMAL
Ayat 132
“Dan, bagi tiap-tiap orang ada beberapa denajat dari apa yang mereka amalkan."
Di dalam ayat ini terdapat kalimat dara-jaat sebagai kata banyak (jamak) dari kalimat darajat. Darajat dengan tidak memanjangkan pada huruf “jim" berarti satu tingkat dan darajat dengan memanjangkan huruf “jim" artinya ialah tingkat bertingkat. Laksana anak-anak tangga yang diriaiki, dipanjat, dan digagai sampai tercapai puncak yang di atas sekali. Maka, di dalam ayat ini, Allah berfirman bahwa tiap-tiap orang di dalam satu amalan yang dia amalkan, dengan berangsur dia akan naik sejak dari anak tangga pertama sampai kepada anak tangga yang di atas sekali.
Dalam Al-Qur'an banyak terdapat ayat-ayat yang menerangkan bahwa dalam perjuangan hidup di dunia ini, seorang dapat mencapai derajat-derajat yang tinggi. Dalam surah al-Mujadalah, dijelaskan bahwa Allah akan mengangkat orang yang berilmu pengetahuan dan beriman beberapa derajat sampai tinggi. Ibarat kesungguh-sungguhan orang yang bertugas melakukan tugasnya dapat menaikkan kariernya lebih tinggi dan begitu pulalah karier seorang Mukmin bisa naik mencapai tingkat-tingkat tertinggi dengan tidak ada batasnya jika diukur dengan ukuran kebendaan. Sebab, ini adalah termasuk dalam alam ruhaniyah.
Misalnya, dalam tingkat pertama orang menjadi seorang Muslim (menyerah diri kepada Allah) naik menjadi Mukmin (beriman teguh), shalihin (berbuat berbagai kebajikan), naik lagi menjadi muttaqin (orang yang bertakwa), naik lagi menjadi imam lilmuttaqin (menjadi imam, contoh teladan bagi orang muttaqin lainnya), sampai kepada derajat mu-qarrabin (yang terdekat kepada Allah).
“Dan, tidaklah Tuhan engkau lalai dari apa yang mereka amalkan."
(ujung ayat 132)