Ayat
Terjemahan Per Kata
وَكَذَٰلِكَ
dan demikianlah
جَعَلۡنَا
Kami telah menjadikan
فِي
pada
كُلِّ
tiap-tiap
قَرۡيَةٍ
negeri
أَكَٰبِرَ
pembesar-pembesar
مُجۡرِمِيهَا
orang-orang yang berdosa/jahat
لِيَمۡكُرُواْ
agar mereka mengadakan tipu daya
فِيهَاۖ
didalamnya (negeri itu)
وَمَا
dan tidaklah
يَمۡكُرُونَ
mereka memperdayakan
إِلَّا
kecuali/melainkan
بِأَنفُسِهِمۡ
pada diri mereka
وَمَا
dan/sedang tidak
يَشۡعُرُونَ
mereka menyadari
وَكَذَٰلِكَ
dan demikianlah
جَعَلۡنَا
Kami telah menjadikan
فِي
pada
كُلِّ
tiap-tiap
قَرۡيَةٍ
negeri
أَكَٰبِرَ
pembesar-pembesar
مُجۡرِمِيهَا
orang-orang yang berdosa/jahat
لِيَمۡكُرُواْ
agar mereka mengadakan tipu daya
فِيهَاۖ
didalamnya (negeri itu)
وَمَا
dan tidaklah
يَمۡكُرُونَ
mereka memperdayakan
إِلَّا
kecuali/melainkan
بِأَنفُسِهِمۡ
pada diri mereka
وَمَا
dan/sedang tidak
يَشۡعُرُونَ
mereka menyadari
Terjemahan
Demikian pula pada setiap negeri Kami jadikan orang-orang jahatnya sebagai pembesar agar melakukan tipu daya di sana. Padahal, mereka hanya menipu diri sendiri tanpa menyadarinya.
Tafsir
(Dan demikianlah) sebagaimana yang telah Kami jadikan orang-orang fasik penduduk Mekah terdiri dari para pembesarnya (Kami adakan pada tiap-tiap negeri penjahat-penjahat yang terbesar agar mereka melakukan tipu daya dalam negeri itu) dengan cara menghalang-halangi jalan keimanan (Dan mereka tidak memperdayakan melainkan dirinya sendiri) sebab akibat perbuatannya menimpa diri mereka sendiri (sedangkan mereka tidak menyadarinya) tentang hal tersebut.
Tafsir Surat Al-An'am: 123-124
Dan demikianlah Kami jadikan pada tiap-tiap negeri pembesar-pembesar yang jahat agar mereka melakukan tipu daya dalam negeri itu. Tapi mereka hanya menipu diri sendiri tanpa menyadarinya.
Dan apabila datang suatu ayat kepada mereka, tentu mereka berkata, "Kami tidak akan percaya (beriman) sebelum diberikan kepada kami seperti yang diberikan kepada Rasul-rasul Allah." Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan-Nya. Orang-orang yang berdosa, nanti akan ditimpa kehinaan di sisi Allah dan azab yang keras karena tipu daya yang mereka lakukan.
Ayat 123
Allah ﷻ berfirman, "Sebagaimana Kami jadikan di dalam negerimu, wahai Muhammad, pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar yang jahat serta orang-orang yang mengajak kepada kekafiran dan menghalang-halangi jalan Allah, mereka semua menentang dan memusuhimu. Seperti halnya yang dialami oleh para rasul sebelum kamu, mereka juga menghadapi cobaan yang serupa di masa lalu. Meskipun demikian, pada akhirnya para rasul mendapat hasil yang baik dan terpuji." Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:
“Dan seperti itulah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa.” (Al-Furqan: 31), hingga akhir ayat.
Firman Allah ﷻ lainnya mengatakan:
“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu.” (Al-Isra: 16), hingga akhir ayat.
Menurut suatu pendapat, makna ayat ialah Kami perintahkan kepada mereka untuk taat, tetapi mereka menentang. Akhirnya Kami binasakan mereka.
Menurut pendapat lain, makna yang dimaksud ialah Kami perintahkan mereka, yakni perintah yang berdasarkan takdir. Seperti yang disebutkan dalam ayat ini melalui firman-Nya:
“Agar mereka melakukan tipu daya dalam negeri itu.” (Al-An'am: 123)
Mengenai firman Allah ﷻ: “Pembesar-pembesar yang jahat agar mereka melakukan tipu daya dalam negeri itu.” (Al-An'am: 123)
Ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya:
“Pembesar-pembesar yang jahat agar mereka melakukan tipu daya dalam negeri itu.” (Al-An'am: 123)
Yakni Kami jadikan orang-orang jahat itu berkuasa, lalu mereka melakukan kedurhakaan di dalamnya. Dan apabila mereka melakukan hal tersebut, maka kami binasakan mereka dengan azab. Mujahid dan Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya:
“Pembesar-pembesar yang jahat.” (Al-An'am: 123)
Maksudnya, para pembesar dan para pemimpinnya. Menurut kami, hal ini sama dengan apa yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam firman-Nya:
“Dan setiap Kami mengutus seorang pemberi peringatan kepada suatu negeri, orang-orang yang hidup mewah (di negeri itu) berkata, ‘Kami benar-benar menolak apa yang kamu sampaikan sebagai utusan’. Dan mereka berkata, ‘Kami lebih banyak mempunyai harta dan anak-anak (daripada kalian) dan kami sekali-kali tidak akan diazab’.” (Saba 34-35)
“Dan demikian juga ketika Kami mengutus seorang pemberi peringatan sebelum engkau (Muhammad) dalam suatu negeri, orang-orang yang hidup mewah (di negeri itu) selalu berkata, ‘Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu (agama) dan sesungguhnya kami sekedar pengikut jejak-jejak mereka’." (Az-Zukhruf: 23)
Yang dimaksud dengan istilah “makar” atau tipu daya di sini ialah seruan mereka yang mengajak kepada kesesatan dengan melalui perkataan-perkataan yang indah dan perbuatan yang menggiurkan.
Perihalnya sama dengan pengertian yang diungkapkan dalam firman Allah yang menceritakan perihal kaum Nabi Nuh, yaitu: “Dan mereka melakukan tipu daya yang amat besar.” (Nuh: 22)
Dan firman Allah ﷻ yang mengatakan:
“Dan (alangkah mengerikan) kalau kamu melihat ketika orang-orang yang zalim itu dihadapkan kepada Tuhannya, sebagian dari mereka menghadapkan perkataan kepada sebagian yang lain. Orang-orang yang dianggap lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri, ‘Kalau tidaklah karena kalian, tentulah kami menjadi orang-orang yang beriman’. Orang-orang yang menyombongkan diri berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah, ‘Kamikah yang telah menghalangi kalian dari petunjuk sesudah petunjuk itu datang kepada kalian? (Tidak), sebenarnya kalian sendirilah orang-orang yang berdosa’. Dan orang-orang yang dianggap lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri, ‘(Tidak) sebenarnya tipu daya (kalian) pada waktu malam dan siang (yang menghalangi kami), ketika kalian menyeru kami supaya kami kafir kepada Allah dan menjadikan sekutu-sekutu bagi-Nya’.” (Saba: 31-33)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Umar. Telah menceritakan kepada kami Sufyan yang mengatakan bahwa setiap makar di dalam Al-Qur'an artinya perbuatan.
Firman Allah ﷻ: “Dan mereka tidak memperdayakan melainkan dirinya sendiri, sedangkan mereka tidak menyadarinya.” (Al-An'am: 123)
Yakni hasil tipu daya dan penyesatan yang dilakukan mereka terhadap orang-orang yang mereka sesatkan itu tidak ada dampak buruk yang menimpa kepada orang lain, melainkan hanya kepada diri mereka sendiri.
Perihalnya sama dengan yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam firman-Nya:
“Dan sesungguhnya mereka akan memikul beban (dosa) mereka, dan beban-beban (dosa yang lain) di samping beban mereka sendiri.” (Al-'Ankabut:13)
“Dan sebagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikit pun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, amatlah buruk apa (dosa) yang mereka pikul itu.” (An-Nahl: 25)
Ayat 124
“Dan apabila datang suatu ayat kepada mereka, tentu mereka berkata, ‘Kami tidak akan percaya (beriman) sebelum diberikan kepada kami seperti yang diberikan kepada rasul-rasul Allah’." (Al-An'am: 124)
Maksudnya, apabila datang kepada mereka suatu ayat, bukti, dan hujah yang pasti, maka mereka mengatakan:
“Kami tidak akan percaya (beriman) sebelum diberikan kepada kami seperti yang diberikan kepada rasul-rasul Allah.” (Al-An'am: 124)
Yaitu supaya para malaikat datang kepada kami membawa risalah dari Allah, sebagaimana para malaikat itu datang kepada rasul-rasul. Makna ayat ini senada dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:
“Berkatalah orang-orang yang tidak menanti-nanti pertemuan(nya) dengan Kami, ‘Mengapakah tidak diturunkan malaikat kepada kita atau (mengapa) kita (tidak) melihat Tuhan kita’?” (Al-Furqan: 21)
Adapun firman Allah ﷻ: “Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan.” (Al-An'am: 124)
Artinya, Dia lebih memahami penempatan risalah yang benar dan memahami orang yang tepat dan pantas menyampaikannya diantara makhluk ciptaan-Nya.
Perihalnya sama dengan makna yang disebutkan dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
“Dan mereka berkata, ‘Mengapa Al-Qur'an ini tidak diturunkan kepada seorang besar (yang berpengaruh) dari salah satu dua negeri ini (Mekkah dan Taif). Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu’?” (Az-Zukhruf: 31-32), hingga akhir ayat.
Mereka bermaksud bahwa mengapa Al-Qur'an ini tidak diturunkan kepada seorang lelaki pembesar yang kaya, dihormati, dan berpengaruh di mata mereka. Yang dimaksud dengan istilah “qaryataini” atau dua negeri dalam ayat ini ialah Mekah dan Taif. Karena itu mereka menghina Rasulullah ﷺ karena rasa iri hati dan benci kepadanya, serta keingkaran dan kesombongan mereka terhadapnya. Semoga Allah melaknat mereka.
Seperti yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam firman-Nya yang ditujukan kepada Nabi ﷺ, yaitu:
“Dan apabila orang-orang kafir itu melihat kamu, niscaya mereka tidak lain hanyalah membuat kamu menjadi bahan ejekan. (Mereka mengatakan), ‘Apakah ini orang yang mencela tuhan-tuhan kalian?’ Padahal mereka adalah orang-orang yang ingkar mengingat Allah Yang Maha Pemurah.” (Al-Anbiya: 36)
“Dan apabila mereka melihat kamu (Muhammad), mereka hanyalah menjadikan kamu sebagai ejekan (dengan mengatakan), ‘Inikah orangnya yang diutus Allah sebagai rasul’?" (Al-Furqan: 41)
“Dan sungguh telah diperolok-olokkan beberapa rasul sebelum kamu, maka turunlah azab kepada orang-orang yang mengolok-olok itu sebagai balasan (azab) terhadap olok-olok mereka.” (Al-An'am: 10)
Meskipun demikian, pada kenyataannya mereka mengakui keutamaan yang dimiliki oleh Rasulullah ﷺ, kedudukannya yang terhormat, dan nasabnya yang mulia, juga kesucian ahli bait-nya. Serta tempat beliau dididik dan dibesarkan. Semoga Allah melimpahkan shalawat kepadanya, semoga para malaikat dan orang-orang yang mukmin selalu membacakan shalawat untuknya. Sehingga mereka memberi julukan di kalangan sesama mereka sebelum beliau ﷺ menerima wahyu dengan sebutan yang terhormat, yaitu Al-Amin. Kenyataan ini diakui oleh pemimpin orang-orang kafir (yaitu Abu Sufyan) ketika ditanya oleh Kaisar Heraklius, Raja Romawi, "Bagaimanakah nasabnya (Muhammad) di kalangan kalian?" Abu Sufyan menjawab, "Dia di kalangan kami adalah orang yang bernasab terhormat." Heraklius bertanya, "Apakah kalian pernah menuduhnya sebagai pendusta sebelum dia mengatakan apa yang dikatakannya itu?" Abu Sufyan menjawab, “Tidak pernah." Hadisnya cukup panjang, dan tersimpulkan darinya bahwa Kaisar Romawi berdasarkan berita tersebut mengakui kesucian sifat-sifat Nabi ﷺ yang menunjukkan kebenaran dari kenabiannya dan kebenaran dari apa yang disampaikannya.
Imam Ahmad berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Mus'ab, telah menceritakan kepada kami Al-Auza'i, dari Syaddad Abu Ammar, dari Wasilah ibnu Asqa' yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Sesungguhnya Allah telah memilih dari kalangan anak Ibrahim yaitu Nabi Ismail, dan Dia telah memilih dari keturunan Ismail Bani Kinanah, dan memilih dari Bani Kinanah Kabilah Quraisy, dan memilih dari Kabilah Quraisy Bani Hasyim, dan Dia memilihku dari kalangan Bani Hasyim. Imam Muslim mengetengahkan secara munfarid melalui hadits Al-Auza'i, yaitu Abdur Rahman ibnu Amr (imam penduduk Syam) dengan lafal yang semisal.
Di dalam Shahih Bukhari disebutkan melalui Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Aku dibangkitkan melalui generasi-generasi yang terbaik dari keturunan Bani Adam, satu generasi demi generasi, sehingga aku dibangkitkan melalui generasi yang aku berada di dalamnya.”
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, dari Sufyan, dari Yazid ibnu Abu Ziyad, dari Abdullah ibnul Haris ibnu Naufal, dari Al-Muttalib ibnu Abu Wada'ah yang mengatakan bahwa Al-Abbas telah menceritakan bahwa pernah sampai kepada Rasulullah ﷺ sebagian dari apa yang dikatakan oleh orang-orang mengenai dirinya. Maka Rasulullah ﷺ naik ke atas mimbar dan bersabda (kepada mereka), "Siapakah aku ini?" Mereka menjawab, "Engkau adalah utusan Allah." Nabi ﷺ bersabda: “Aku adalah Muhammad ibnu Abdullah ibnu Abdul Muttalib, sesungguhnya Allah menciptakan makhluk-(Nya) dan menjadikan diriku di dalam sebaik-baik makhluk-Nya. Dan Allah menjadikan mereka dua golongan, maka Dia menjadikan diriku di dalam golongan yang terbaik. Dia menciptakan kabilah-kabilah, maka Dia menjadikan diriku di dalam kabilah yang terbaik Dan Dia menjadikan mereka terbagi-bagi dalam banyak ahli bait, maka Dia menjadikan diriku di dalam sebaik-baik ahli bait mereka. Maka saya memiliki ahli bait dan diri yang paling baik di antara kalian.”
Masih dalam seputar hadits ini, diriwayatkan dari Siti Aisyah ; ia telah menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Jibril pernah berkata kepadaku, "Saya pernah mengelilingi bumi ini arah timur dan arah baratnya, maka saya tidak menjumpai seorang lelaki pun yang lebih utama daripada Muhammad. Dan saya pernah mengelilingi bumi ini arah timur dan arah baratnya, maka saya tidak menjumpai suatu puak pun dari suatu kabilah yang lebih utama daripada Bani Hasyim.” Hadits riwayat Imam Hakim dan Imam Baihaqi. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar, telah menceritakan kepada kami ‘Ashim, dari Zurr ibnu Hubaisy, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah pernah memandang kepada semua kalbu hamba-hamba-Nya.
Dia menjumpai kalbu Muhammad ﷺ adalah sebaik-baik kalbu hamba-hamba-Nya. Karena itu, Dia memilihnya sebagai kekasih-Nya dan mengutusnya sebagai Rasul-Nya. Kemudian Allah memandang kepada semua kalbu hamba-hamba-Nya sesudah kalbu Muhammad ﷺ Maka Dia menjumpai kalbu sahabat-sahabatnya adalah sebaik-baik kalbu hamba-hamba-Nya, lalu Dia menjadikan mereka sebagai pembantu-pembantu Nabi-Nya, mereka berperang membela agama-Nya. Karena itu, apa yang dipandang oleh orang-orang muslim baik, maka hal itu baik pula menurut Allah; dan apa yang dipandang buruk oleh orang-orang muslim, maka hal itu buruk pula menurut Allah. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Syuja' ibnul Walid, bahwa Qabus ibnu Abu Zabyan telah menceritakan dari ayahnya, dari Salman yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda kepadanya: "Wahai Salman, janganlah engkau membenciku, karena akibatnya engkau akan meninggalkan agamamu.
Saya (Salman) bertanya, "Wahai Rasulullah, mana mungkin saya benci kepadamu, padahal dengan melaluimulah Allah memberi kami petunjuk?" Rasulullah ﷺ bersabda, "Bila engkau membenci Arab, berarti engkau membenciku." Ibnu Abu Hatim menuturkan sehubungan dengan tafsir ayat ini suatu riwayat dari Muhammad ibnu Mansur Al-Jawaz, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu Husain yang menceritakan bahwa seorang lelaki melihat Ibnu Abbas yang sedang masuk ke dalam masjid melalui pintu besarnya. Ketika Ibnu Abbas memandang kepada lelaki itu, maka lelaki itu takut kepadanya, dan bertanya, "Siapakah orang ini?" Mereka (yang hadir) menjawab, "Ibnu Abbas, anak paman Rasulullah ﷺ." Lalu lelaki itu membacakan firman-Nya:
“Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan.” (Al-An'am: 124)
Adapun firman Allah ﷻ: “Orang-orang yang berdosa, nanti akan ditimpa kehinaan di sisi Allah dan siksa yang keras.” (Al-An'am: 124), hingga akhir ayat.
Makna ayat ini mengandung ancaman yang keras dari Allah dan peringatan yang kuat, ditujukan kepada orang-orang yang sombong, tidak mau mengikuti rasul-rasul-Nya dan tidak mau taat kepada para rasul dalam semua apa yang didatangkan oleh para rasul kepada mereka. Maka orang-orang tersebut kelak di hari kiamat pasti akan tertimpa kehinaan di hadapan Allah selama-lamanya, sebagai pembalasan terhadap perbuatan sombong mereka ketika di dunia.
Perbuatan mereka yang demikian itu menjerumuskan diri mereka ke dalam kehinaan di hari kiamat kelak. Makna ayat ini senada dengan apa yang disebutkan dalam firman lainnya, yaitu:
“Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (Al-Mumin: 60)
Dalam keadaan kecil, hina, dan terlecehkan.
Firman Allah ﷻ: “Dan siksa yang keras disebabkan mereka selalu membuat tipu daya.” (Al-An'am: 124)
Mengingat tipu muslihat itu kebanyakan dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi (yakni dengan cara yang diam diam dan halus dalam melancarkan tipu daya), maka para pelakunya akan mendapat azab yang keras dari Allah di hari kiamat kelak sebagai pembalasan yang setimpal:
“Dan Tuhanmu tidak menzalimi seorang jua pun.” (Al-Kahfi: 49)
Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya: “Pada hari ditampakkan segala rahasia.” (At-Tariq: 9)
Yakni segala sesuatu yang rahasia, yang tersembunyi, dan yang ada di dalam hati, semuanya diperlihatkan.
Di dalam kitab Shahihain disebutkan oleh sebuah hadits dari Rasulullah ﷺ yang telah bersabda: “Setiap perbuatan khianat akan terungkap di hadapan semua orang kelak di hari kiamat, sebuah panji dikibarkan di medan terbuka lalu dikatakan bahwa panji ini adalah pengkhianatan si Fulan bin Fulan.”
Hikmah yang terkandung di dalam hadits ini adalah meskipun perbuatan tipu muslihat (pengkhianatan) itu tersembunyi, tidak ada yang bisa menyaksikannya. Namun, di hari kiamat kelak tindakan itu akan terungkap dan akan menjadi panji yang berkibar untuk menandakan pelakunya.
Allah lalu menenangkan hati Nabi Muhammad dengan menjelaskan bahwa para pembesar yang jahat tidak hanya terdapat di Mekah saja, tetapi juga di setiap negeri. Dan demikianlah pada setiap negeri Kami jadikan pembesar-pembesar yang jahat agar melakukan tipu daya di negeri itu karena mereka lebih mampu menipu daya bawahannya, dan dalam kebiasaan, masyarakat akan mengikuti atasannya apakah dalam hal kebaikan atau keburukan. Tapi mereka hanya menipu diri sendiri tanpa menyadarinya, akibat dari perbuatan mereka akan mengenai mereka sendiri.
Kemudian Allah menjelaskan tentang salah satu bentuk tipuan pemuka Quraisy agar penduduk Mekah tidak mengikuti Rasulullah. Dan apabila datang suatu ayat kepada mereka yang menjelaskan tentang kebenaran Nabi Muhammad, mereka berkata, Kami tidak akan percaya, yakni beriman, sebelum diberikan kepada kami seperti apa yang diberikan kepada rasul-rasul Allah, yaitu wahyu yang dengan itu mereka menjadi nabi, sehingga menjadi orang yang diikuti, bukan yang mengikuti. Mereka dengki kepada kenabian Nabi Muhammad. Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan-Nya. Penunjukan seseorang menjadi nabi adalah hak Allah semata sebagai anugerah dari-Nya terhadap orang tersebut, bukan sesuatu yang diminta, bukan karena keturunan, kecerdasan, dan banyaknya harta. Kemudian Allah menjelaskan tentang nasib mereka yang berdosa, seperti pemuka Quraisy. Orang-orang yang berdosa nanti akan ditimpa kehinaan di sisi Allah dan azab yang keras karena tipu daya yang mereka lakukan. Mereka menghalangi masyarakat untuk beriman kepada Nabi Muhammad.
Sebagian penduduk Mekah telah sesat karena bujukan pembesar-pembesar mereka yang melakukan bermacam-macam kejahatan dan tipu daya. Hampir di setiap negeri dan kota besar terdapat beberapa pembesar yang korup dan jahat yang melakukan tipu daya. Telah menjadi sunatullah di dalam masyarakat bahwa setiap kali Allah mengutus seorang rasul di suatu tempat untuk memberi bimbingan kepada mereka selalu ada pembesar-pembesar yang memusuhi rasul itu serta pengikut-pengikutnya. Padahal rasul itu bermaksud mengadakan perbaikan dan pembenahan. Sering muncul di beberapa negeri dan kota besar, sejumlah tokoh yang ingin merebut kekuasaan dan menimbun kekayaan dengan berbagai macam cara. Bawahan mereka yang tidak sejalan dengan pembesar mereka merasa bingung dalam melaksanakan tugasnya. Mereka tidak sanggup mengikuti pemimpin-pemimpinnya yang korup dan menyeleweng. Dalam suasana kacau seperti itu, diperlukan adanya kebijaksanaan, keimanan yang kuat dan mental yang tinggi, sehingga tidak mudah dibawa arus kesesatan yang menyebabkan datangnya murka Allah.
Yang dimaksud dengan pembesar-pembesar yang jahat ialah mereka yang menentang seruan agama dan memusuhi rasul-rasul serta pengikut-pengikutnya. Demikianlah keadaan negeri Mekah ketika diutusnya Nabi Muhammad. Keadaan serupa itu terus berulang di negeri-negeri lain. Para pembesar yang korup memusuhi rasul-rasul dan pengikut-pengikutnya yang menyampaikan ajaran agama. Pada hakekatnya mereka itu adalah penipu belaka, menipu dirinya sendiri, akan tetapi mereka tidak sadar.
Telah menjadi sunatullah, bahwa suatu kejahatan akan membawa pada keburukan. Tiap-tiap tipu daya yang direncanakan terhadap hamba-hamba Allah yang saleh akhirnya menimpa diri pelakunya. Banyak peristiwa dalam sejarah manusia menunjukkan bahwa umat-umat yang menentang rasul-rasul dan para pengikutnya akhirnya dihancurkan oleh Allah dengan bermacam-macam azab, seperti bencana alam, dan lain-lain. Mereka melakukan tipu daya untuk menentang perbaikan akhlak dan moral manusia, karena terdorong oleh keinginan untuk menduduki jabatan-jabatan tinggi dan menuruti dorongan hawa nafsunya. Mereka tidak menyadari bahwa akibat perbuatan yang buruk itu akan menimpa diri mereka sendiri, karena mereka tidak memahami sunatullah tersebut.
Dalam ayat-ayat di atas, Allah memberikan ancaman kepada semua pembesar yang durhaka, Allah juga memberi motivasi kepada Nabi Muhammad dan pengikut-pengikutnya untuk terus melakukan amal saleh karena dalam rangka melaksanakan tugas yang suci, mereka tidak boleh menghiraukan godaan dan rintangan yang timbul dari manapun datangnya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 122
“Dan apakah orang yang telah mati, lalu Kami hidupkan dia dan Kami jadikan baginya cahaya yang berjalan dia dengan (cahaya) itu di antara manusia, akan sama seperti orang yang dalam kegelapan, yang tidak ada jalan keluar daripadanya?"
Dengan susunan firman Allah sebagai bertanya ini, apakah sama, segera kita dapat me-mahamkan bahwa keduanya tidaklah sama. Tidaklah sama di antara macam insan itu. Yang pertama ialah orang yang diumpamakan telah mati, tetapi Allah telah menghidupkannya dan diberi pula cahaya. Maka, dengan cahaya anugerah Allah itulah dia berjalan di tengah-tengah manusia.
YANG MATI HIDUP KEMBALI
Hal yang umum kita ketahui ialah bahwasanya manusia yang masih di dunia ini, jika mereka mati tidaklah bisa dihidupkan kembali. Salah satu tiang dari kepercayaan kita, ialah bahwa kelak kemudian Hari Kiamat akan terjadi dan seluruh manusia yang telah mati akan dihidupkan kembali.
Berkali-kali Allah menunjukkan bukti bahwa hal demikian bisa terjadi. Kita disuruh melihat tanah yang mati, tumbuh-tumbuhan yang mati hancur karena datangnya musim panas. Kelak kemudian hari datanglah hujan. Maka, rumput-rumput itu pun hidup kembali. Tanah yang tadiriya gersang menjadi subur.
Akan tetapi, di dalam ayat ini Allah mengemukakan lagi suatu perumpamaan tentang orang yang mati dalam dunia ini, bisa dihidupkan Allah kembali. Dan, sesudah dihidupkan, dia pun diberi cahaya dan dengan cahaya itu dia bisa keluar ke hadapan alam, untuk hidup di tengah orang banyak. Allah memberi sabda dalam ayat ini bahwasanya orang yang seperti ini, hidup sesudah mati, tidaklah sama dengan orang yang masih dalam kegelapan, dan tidak dapat membebaskan diri dalam suasana gelap itu. Orang yang seperti ini tetaplah mati, walaupun masih hidup. Meskipun kita hidup di dalam dunia, menarik napas turun dan naik, kalau jiwa tidak mem-punyai cahaya, samalah artinya dengan mati. Hidup manusia tidaklah ada artinya samalah dengan mati, kalau sekiranya dia tidak mempunyai aqidah, atau kepercayaan dan pegangan. Manusia yang hidup di dunia tanpa kepercayaan dan pegangan, samalah hidupnya dengan kehidupan binatang yang melata di muka bumi. Yang diingat oleh binatang siang dan malam hanyalah makan, minum, kawin, dan beranak, sesudah itu mati. Binatang di rimba tidak mempunyai peraturan sehingga diberi orang sebutan hukum rimba. Sedangkan binatang ternak diasuh dan dibesarkan orang hanya untuk disembelih.
Sejak mulai manusia mempunyai kepercayaan atau aqidah, sejak itulah dia mempunyai hidup yang sebenarnya. Sebab, pangkal hidup sejati itu adalah di dalam hati. Hati memancarkan cahaya pada mata. Dengan tidak ada aqidah, mata hati jadi buta. Timbul aqidah, mata hati jadi terang benderang. Terang nyata ke mana jalan yang akan dituju. Hidup yang sejati itu dapat memandang segala sesuatu, mendengar segala sesuatu dan menilai segala sesuatu dan merasakan segala sesuatu. Sedang sebelum aqidah itu masuk ke dalam hati, walaupun mata terkembang namun apa yang dilihat mata, yang didengar telinga, tidaklah dapat dirasakan dalam hati, sebab alat penampung tidak ada. Dengan adanya aqidah, segala sesuatu dilihat dengan penglihatan yang baru.
Mengabaikan dan menolak perintah dan garis yang ditentukan Allah berarti kufur. Kalau orang sudah mulai kufur, berartilah bahwa dia mulai saat itu memutuskan hubungannya dengan kehidupan yang sejati, yaitu hidup yang tidak mengenal fana, tidak mengenal hancur dan lenyap. Bahkan hidup yang kekal. Sebab itu, kufur berarti maut. Kufur berarti kehilangan wibawa dalam jiwa, kehilangan kekuatan dan sinar. Sedang iman artinya ialah cahaya, tali yang berhubung, yang tidak pernah putus. Iman adalah perbantuan yang tidak pernah berhenti. Iman ialah dialog terus-menerus di antara yang diciptakan dengan yang mencipta. Dengan demikian, bolehlah dikatakan bahwa iman itu ialah hidup.
Kufur menutup nyawa dan menghambatnya buat naik. Kufur menyebabkan permainan jiwa hanya di bawah-bawah, tak dapat meningkat ke atas. Padam segala timbang rasa, padam segala perasaan halus. Kufur mempersempit langkah dan mempersempit alam tempat berdiri sehingga pikiran hanya sekadar untuk kepuasan nafsu dan penguasaan benda. Sedang iman adalah dada lapang, sinar yang tak pernah padam, ketenteraman, dan kedamaian.
Kafir adalah batil. Yang batil itu tidak ada ujudnya. Dia tidak berurat dan tidak berakar ke bumi. Orang yang memutuskan sendiri hubungannya dengan pencipta alam sebab putus hubungannya dengan pencipta alam, niscaya putus pula hubungannya dengan alam. Oleh sebab itu, hidupnya hanya sekadar bernapas dan hanya untuk dirinya. Persis, sebagai kehidupan binatang. Kedatangannya ke dunia tidaklah menukuk menambah dan perginya dari alam tidak pula menyebabkan orang merasa rhgi.
Dari mana kita memulai kehidupan itu?
Memulai kehidupan ialah dari mulai kesadaran kita atas hubungan kita dengan Allah. Perhubungan dengan Allah menyebabkan timbulnya hubungan sesama makhluk di dalam jalan Allah. Sejak saat itu, kita yang tadiriya mati, memulai hidup baru. Kita yang tadiriya hilang, telah timbul kembali. Jalan Allah itu (sabilillah) adalah kekal. As-shirathal mustctqim adalah lurus tak berhenti, jalan terus, terus dan lurus, sampai pada perhentian terakhir, yaitu surga Jannatun Na'im. Inti daripada surga itu, tidak lain ialah melihat wajah Allah.
Maka, bersatu-padulah setiap hamba Allah yang menempuh jalan itu, berjalan di atas garis itu, menjadi umat yang satu, tak terpisah. Tauhidul-kalimah di dalam kalimat tauhid. Orang-orang seperti ini tidak pernah merasa kecil sebab hidupnya terikat dalam kebesaran Allah. Allahu Akbar! Tidak pernah merasa takut mati. Sebab maut itu hanya pembatas di antara dua suasana hidup, yaitu hidup fana dengan hidup baqa. Tidak pernah merasa miskin sebab jiwa kaya dengan iman, kaya dengan takwa, kaya dengan hubungan cinta ke langit dan cinta di atas permukaan bumi. Tidak merasa takut mati karena dia merasa bahwa pendiriannya dan aqidahnya tidak pernah berguncang. Tidak merasa takut mati sebab dia yakin bahwa dengan kematiannya pun, perjuangan ini akan diteruskan oleh orang lain.
Nabi Muhammad pernah mengajarkan doa agar kita memohon kepada Allah sehabis shalat atau pada waktu-waktu yang lain agar Tuhan menganugerahi diri kita nur atau cahaya, dan agar Allah memberikan nur itu ke dalam hati, ke dalam tubuh, kepada kedua tangan, ke muka dan ke belakang, ke atas diri dan ke bawah, ke kanan atau ke kiri, malahan sampai kepada kuburan sebagai istirahat terakhir di dunia ini, agar kiranya Allah memberikan nur itu.
Wahai saudaraku, kalau nur ini telah mulai ada dalam hati, pastilah hakikat kebenaran agama yang kita peluk ini akan dibukakan Allah kepada kita. Iman yang dituruti amal, menyebabkan timbulnya kasyaf rahasia itu terbuka sehingga tidak ada lagi jarak di antara langit dengan bumi, tidak ada lagi jarak di antara dunia dengan akhirat, tidak ada lagi pemisahan di antara dunia dengan agama, masjid dengan parlemen. Dia rupanya bukanlah semata-mata upacara agama dan ibadah, tetapi hidup seluruhnya sehingga kalau kita jatuh cinta kepada hidup, bukanlah karena kita ingin hendak terus hidup dalam dunia ini. Kita mencintai hidup, ialah karena hidup itu buat beribadah. Dan, walaupun orang lain tidak melihat, kita ingin beramal juga, beramal yang baik. Sebab kita telah tahu, apalah artinya hidup itu kalau tidak berbuat yang baik.
Nur ini menghilangkan segala keraguan, kecemasan, dan mundur-maju. Ia menimbulkan rasa tenteram dan menimbulkan yakin. Ia menimbulkan keberanian menghadapi kesukaran. Karena iman belum ada artinya sebelum ia menempuh ujian. Apabila ia akan menghadapi suatu tujuan yang mulia, dari semula dia telah bersedia menghadapi kesukaran dan rintangan. Karena dia sudah tahu bahwa iman tidak mungkin subur kalau tidak disiram dengan air percobaan. Seorang Mukmin dengan nur iman itu tenang terus, sebab dia yakin sesudah pasang turun, pasang itu akan naik. Sebab, sesudah badai dan topan tengah malam, besok pagi matahari akan cerah kembali.
Oleh sbab itu, nur iman memancarkan hidup dan kufur menyebabkan mati. Hidupnya laksana menghasta kain sarung, berputar-putar di sana sama saja.
Bahkan ajaib sekali pengaruh iman dalam dada itu pada sinar di mata. Dan, ajaib pula kegelapan kufur dalam hati itu pada gelapnya pandang mata. Amat halus rupanya urat saraf yang menyambungkan rasa hati dengan sinar mata.
Itulah sebabnya di dalam ayat ini Allah bertanya, “Dan, apakah orang yang telah mati, lalu Kami hidupkan dia," yaitu Kami beri dia iman lalu timbullah cahaya dalam pribadiriya lantaran iman. Dengan cahaya itu, dia sanggup berdiri, bahkan berjalan melangkah lapang di antara manusia. Apakah engkau sangka bahwa orang yang telah diberi Allah cahaya itu akan sama dengan orang yang hidup dalam kegelapan terus-menerus sebab hatinya gelap gulita? Dan, dia tidak sanggup keluar dari suasana gelap itu? Laksana orang yang tersentak dari tidurnya tengah malam, padahal kesadarannya belum pulih, lalu dia “dimaling oleh rumahnya sendiri?"
Sedikit tentang sebab turun ayat.
Orang yang diumpamakan telah mati adalah sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ yang utama itu. Menurut riwayat lbnu Abbas dan Zaid bin Aslam dan adh-Dhahhak, yang dimaksud dengan orang ini ialah Umar bin Khaththab. Menurut Ikrimah ialah Amar bin Yasir. Menurut suatu riwayat lagi yang dibawakan Ar-Razi dari lbnu Abbas, ialah Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Rasulullah ﷺ Yang mana pun yang akan dikuatkan di antara riwayat itu, tetapi teranglah sahabat-sahabat yang tersebut itu, bahkan sahabat-sahabat yang lain pun, adalah sebelum mendapat hidayat Allah dan bimbingan Rasulullah ﷺ laksana orang yang telah mati belaka. Kalau manusia hidup di dunia ini hanya semata-mata memikirkan isi perut, memenuhi syahwat, samalah artinya dengan mati. Barulah hidup berarti sebenar-benar hidup apabila cahaya iman telah di-sinarkan Allah ke dalam kalbu, dan dengan sinar cahaya iman itulah mereka berjalan di tengah-tengah manusia. Lantaran sinar iman itu mereka tidak merasa takut menghadapi hidup dan tidak duka cita memikirkan yang sesudah mati. Dan, sinar jiwa mereka memancarkan juga pada wajah mereka. Orang seperti ini niscaya tidak sama dengan orang yang kegelapan jahiliyyah dan syirik. Ahli-ahli tafsir sependapat bahwa yang dituju dengan orang yang hidup dalam kegelapan ini, dan tidak mendapat jalan keluar, ialah Abu Jahal. Susah jugalah hidupnya, orang yang laksana mati karena tidak mendapat cahaya itu. Mereka berkeliling-keliling di sekitar tempat yang gelap itu saja, tidak mendapat jalan keluar, sedang mereka tidak sadar bahwa mereka hidup dalam gelap, yang sama artinya dengan maut. Dan, wajah orang yang begini pun gelap terus.
“Demikian itulah, telah dihiaskan bagi orang-orang yang kafir itu apa-apa yang telah mereka kerjakan."
Yang mereka kerjakan tidak lain daripada yang mungkar. Menyembah berhala, me-nyembelih kurban buat berhala, menghalangi kebenaran, menentang ajaran tauhid. Mereka senang dengan perbuatan mereka yang salah itu, apalagi karena bisik rayuan setan-setan selalu pula menghiaskan kata lemak manis memujikan sikap mereka sehingga yang salah mereka pertahankan dan katakan benar. Bertambah lama mereka akan bertambah keras mempertahankan pendirian yang salah itu. Di dalam ayat ini dikatakan “dihiaskan/' sebagai lanjutan dari kata pada ayat 112 yang lalu, zukhrufal-qauli ghururan kata lemak manis dari tipu daya atau dari kesombongan. Bisik iblis dan setan bisalah masuk ke dalam hati orang yang hidup dalam kegelapan itu sehingga yang buruk dihiaskan, lalu dikatakan baik dan kemusyrikan dihiaskan lalu dikatakan itulah yang sejati ibadah. Berhala dipujikan lalu dikatakan Allah. Karena di dalam batin sudah gelap, petunjuk tidak masuk, berputar-putarlah ia dari sana ke sana juga sehingga sampai saat terakhir ia tidak mendapat jalan keluar dari kesulitan jiwa itu.
HALANGAN DARI PENGUASA
Ayat 123
“Dan demikianlah telah Kami jadikan pada tiap-tiap negteni beberapa orang besar-besar. Jadi pendurhakanya supaya mereka menipu daya di dalamnya."
Pada ayat yang terdahulu disuruh membandirig di antara orang yang mati dihidupkan kembali dengan cahaya, dibandirigkan dengan orang yang tetap dalam kegelapan dan tidak mendapat jalan keluar. Ahli tafsir tadi telah memberikan penafsirannya bahwa orang yang kembali hidup dengan cahaya itu ialah salah seorang di antara Umar bin Khaththab, Amar bin Yasir atau Hamzah bin Abdul Muthalib. Semua orang ini dulunya hidup laksana mati sebab mereka pun penyembah-penyembah berhala dengan pikiran mati sebab hanya menuruti adat pusaka nenek moyang, tetapi mereka kemudian telah diberi sinar cahaya iman dan hidup di tengah-tengah masyarakat dengan sinar cahaya iman itu. Lawannya, yang tetap hidup dalam gelap itu ialah Abu Jahal. Demikian kata ahli tafsir. Maka, terkenallah bahwa sejak Nabi Muhammad ﷺ menyampaikan dakwahnya, dalam masa 13 tahun, sampai beliau pindah ke Madiriah, Abu Jahal itulah yang mengatur segala tipu daya bagaimana menghalang dan menggagalkan segala usaha Rasulullah ﷺ, baik secara halus maupun secara kasar, malahan lebih banyak secara kasar.
Di dalam ayat ini diperingatkanlah kepada Rasul dan sekalian orang yang beriman bah-wasanya segala cara-cara yang dilakukan Abu Jahal adalah hal yang lumrah. Bahwasanya, di tiap negeri, baik negeri besar maupun negeri kecil, memang ditakdirkan Allah ada orang-orang besar negeri itu yang mendurhakai atau berusaha menghalang-halangi segala maksud yang baik dan menipu daya di dalamnya.
Liyamkuru fiha, kita artikan karena hendak membuat tipu daya di dalamnya, yaitu di dalam negeri itu. Yamkuru ialah dari kata “makar", kita artikan tipu daya. Di dalam bahasa hukum, dalam bahasa Indonesia modern, kata-kata makar itu telah diambil alih masih hidup dalam kegelapan, yaitu dan dijadikan bahasa Indonesia. Segala tindak pidana untuk maksud yang jahat di dalam bahasa hukum di Indonesia disebut makar. Dalam maksud asalnya disebut maksud makar. Makar ialah segala tipu daya dan telah buat memalingkan seseorang dari tujuan yang di-maksudnya pada tujuan yang lain, baik dengan perbuatan maupun dengan ucapan-ucapan yang manis. Dan, dipakai untuk memalingkan orang dari yang benar pada yang salah, dari yang baik pada yang jahat.
Dalam ayat ini, Allah menegaskan bahwa dalam perjuangan menegakkan agama Allah, janganlah heran apabila mendapat hambatan dan gangguan dari orang-orang terkemuka di negeri itu. Sebab, yang begitu selalu terjadi di tiap-tiap negeri jika ada orang yang bermaksud baik dan bercita-cita mulia. Mereka itu selalu berbuat makar dengan segala tipu daya akal busuk menyalahartikan segala maksud yang baik itu dan bekerja keras membelokkan tujuannya. Dan, ayat ini menjadi pedoman bagi umat Muhammad hingga ke akhir zaman, apabila mereka bermaksud akan menegakkan agama yang hak. Halangan pasti ada. Yang menghalangi bukan sembarang orang, bahkan orang-orang terkemuka di negeri itu.
Pada zaman modern ini, pihak-pihak yang berkuasa mudah saja melakukan makar itu dalam mempertahankan kekuasaannya. Orang yang berjuang hendak menegakkan ajaran Nabi Muhammad ﷺ mendapat berbagai halangan dan rintangan. Cara propaganda yang modern bisa saja membuat suatu cita-cita yang benar dan suci sebagai suatu kejahatan. Keinginan agar hukum Allah berlaku dalam masyarakat dapat saja dituduh sebagai pemberontak dan segala usaha hendak menyingkirkan peraturan Allah dari muka bumi mendapatkan pujian yang besar. Berusaha menegakkan syiar Allah, mengucapkan salam menurut ajaran Muhammad ﷺ teguh memegang ajaran Al-Qur'an, sabda dan wahyu Allah, dapat saja dituduh fanatik dan menghalang-halangi kemajuan. Inilah usaha dari “Akaabira Mujrimiha!" Penjahat kaliber besar dalam negeri itu.
Kemudian, datanglah ujung ayat,
“Padahal tidaklah mereka menipu daya," atau tidaklah mereka berbuat makan, “melainkan kepada diri mereka sendiri. Namun, mereka tidaklah sadar."
Segala usaha makar mereka itu, tidak lain mempertinggi tempat mereka jatuh. Mereka hendak memakar orang lain, dan tidak mereka sadari yang kena makar oleh perbuatan mereka itu ialah diri mereka sendiri. Sebab, makar itu adalah perbuatan jahat, dan kejahatan jika sudah dimulai, tidak dapat dihentikan di tengah jalan. Kejahatan pertama mesti diikuti oleh kejahatan kedua, sampai akhirnya kejahatan mereka sendirilah yang mengelilingi dan mengepung diri mereka. Setelah di ujung sekali mungkin mereka sadar, tetapi buat mundur tidak dapat lagi.
Untuk menjadi perbandirigan lebih baik kita kemukakan dua kisah berkenaan dengan Abu Jahal dengan makarnya ini.
Pada suatu hari Rasulullah ﷺ bertemu dengan Abu Jahal di satu tempat, Abu Jahal langsung mencaci-maki Nabi Muhammad ﷺ, menyakiti, menista, dan menghinakan beliau. Nabi Muhammad ﷺ menghadapi itu dengan tenang dan diam, tidak menjawab apa-apa.
Di antara orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu, ada seorang perempuan hamba sahaya, budak dari Abdullah bin Jud'an.
Ketika perempuan itu berjumpa dengan Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Rasulullah ﷺ, yang ketika itu baru kembali dari berburu, sedang anak panah dan busurnya masih ter-genggam dalam tangannya. Perempuan itu berkata kepada Hamzah,
“Wahai Abu Ammarah (gelar panggilan Hamzah), sekiranya engkau melihat apa yang dilakukan Abil Hakam bin Hisyam (yakni Abu Jahal) terhadap anak saudaramu, Muhammad, entah apa yang akan terjadi. Dia mencaci-maki, menyakiti, dan menghina Muhammad, sedangkan Muhammad hanya diam saja."
Mendengar itu, hati Hamzah tersentak marah kepada Abu Jahal. Meskipun ketika itu dia belum memeluk agama Islam, perasaan kekeluargaan mendorongnya untuk membela Nabi Muhammad ﷺ Dia pergi mencari Abu jahal. Didapatinya Abu Jahal berada di satu majelis di tengah kaumnya.
Hamzah memanggilnya dan terus memukulnya dengan anak panah yang tergenggam dalam tangannya sehingga luka dan berdarah, sambil dia berkata kepada Abu Jahal, “Engkau caci-maki Muhammad. Ketahuilah, aku pun juga sekarang menganut agamanya."
Melihat tindakan Hamzah dan mendengar kata-katanya yang tegas dan berani itu dengan sikap bersedia menghadapi segala kemungkinan untuk berkelahi, semangat Abu Jahal menjadi luntur, segala pengikutnya terpesona, diam tak berkutik. Sehingga, harga diri Abu Jahal sebagai orang yang dibesarkan dan dibanggakan oleh pengikutnya, pada waktu itu jatuh dalam pandangan mereka.
Kemudian, Hamzah pergi mencari Nabi Muhammad ﷺ Ketika berjumpa Nabi, di-ceritakan nyalah apa tindakan yang telah diperbuatnya terhadap Abu Jahal yang sangat memusuhi Nabi Muhammad itu. Dan, ketika itu pulalah dia mengucapkan dua kalimat syahadat, menyatakan dengan ikhlas menganut Islam.
Dalam cerita lain, ialah Abu Jahal menipu. Datang seorang Badui menjual ternaknya be-berapa ekor ke Mekah. Kemudian, kelihatan oleh Abu Jahal. Dia pun bersedia membeli ternak itu. Disuruhnya Badui itu menghalaukan ternak tersebut ke kandang persediaan Abu Jahal dan dia berjanji akan membayarnya besok. Setelah besok harinya Badui tadi datang menemui Abu Jahal, lalu dijanjikan besok pula, dari besok ke besok sehingga berhari-hari dia telah tertahan di Mekah, uangnya tidak diterima, sedangkan ternaknya sudah masuk ke kandang ternak Abu Jahal, tidak dapat diambilnya lagi. Dia mencoba mengadukan permasalahannya kepada pemuka-pemuka Quraisy. Namun, tidak seorang pun yang mau menolong. Akhirnya, setelah beberapa kali keliling-keliling, dia masuk ke dalam masjid dan bertemu dengan pemuka-pemuka Quraisy itu. Dia minta tolong dan minta akal supaya uangnya dapat diterimanya. Di antara mereka itu, lalu menunjukkan kepada Badui itu, Nabi kita Muhammad ﷺ yang sedang duduk dekat Ka'bah. Kemudian, pemuka Quraisy itu berkata, “Cobalah engkau temui orang itu. Dialah yang dapat menolongmu memintakan uangmu itu kepada Abu Jabal."
Badui kampung yang jujur itu, yang tidak mengerti duduk soal, terus saja menemui Rasulullah ﷺ dan mengadukan perasaannya dan meminta tolong. Adapun orang musyrikin yang menyuruh tadi berdiri dari jauh sambil tersenyum-senyum.
Mereka jadi heran. Sebab, setelah mendengar kisah orang Badui itu, Rasulullah ﷺ berdiri dari duduknya, lalu diajaknya Badui itu menurutkannya. Berjalanlah mereka berdua menuju rumah Abu Jahal. Sampai di muka pintu, beliau ketuk pintu itu dan dipanggilnya Abu Jahal dengan suara nyaring, “Abu Jahal!"
Abu Jahal segera membuka pintu. Baru saja berhadapan, beliau pegang leher baju Abu Jahal dengan segera berkata, “Bayar sekarang juga uang orang ini!" Gemetar seluruh tubuh Abu Jahal dan dia berkata, “Baiklah!" Kemudian, dilepaskanlah dia oleh Rasulullah. Dia pun langsung ke dalam biliknya mengambil sebuah pundi penuh berisi uang, lalu diserahkannya kepada Rasulullah ﷺ dan Rasulullah ﷺ pun berkata kepada Badui tadi, “Ini uangmu, ambillah!" Kemudian beliau pun kembali ke masjid diiringkan Badui itu sambil menggenggam pundi-pundi penuh berisi uang, dengan sangat gembiranya. Sesampai di masjid, berkerumunlah orang-orang yang menyuruh dengan mengejek dan tersenyum tadi, tercengang melihat apa yang telah terjadi. Dan, Nabi Muhammad ﷺ kembali ke dalam tafakurnya di dekat Ka'bah.
Tidak lama kemudian., Abu Jahal pun datang. Berkerumunlah mereka menemuinya, hendak menanyakan mengapa sampai dia kalah. Abu jahal menjawab bahwa ketika namanya dipanggil oleh Muhammad, jiwanya sudah mulai merasa kecut. Dan, setelah pintu dibuka, dilihatnya di belakang kepala Muhammad itu tersembul pula kepala seekor unta yang sangat besar dan menakutkan sehingga lantaran takut, dia pun tidak dapat membantah apa yang dikehendaki Muhammad ﷺ lagi.
Inilah dua macam contoh tentang betapa kecilnya jiwa Abu Jahal jika benar-benar telah berhadapan pribadi dengan pribadi. Sebab jiwanya kosong, isinya hanya kekosongan dan kesombongan. Ahli-ahli ilmu jiwa dapatlah menganalisa kedua cerita ini secara ilmiah. Meskipun sudah kejadian seperti itu, Abu Jahal masih tetap melanjutkan makarnya sampai dia mati dalam Peperangan Badar, dibunuh oleh bekas tukang pengembala untanya sendiri, Abdullah bin Mas'ud.
Dari kedua kisah ini, dapatlah kita melihat teladan ketinggian budi Nabi kita ﷺ Ketika dirinya dicaci-maki, disakiti dan dihinakan oleh Abu Jahal, beliau tidak sedikit juga menunjukkan rasa marah sehingga Abu Jahal menyangka beliau pengecut sehingga paman beliau, Hamzahlah yang naik darah karena perbuatan Abu Jahal yang sangat kurang ajar itu. Namun, setelah orang lain yang datang dari dusun, seorang Badui, mengadukan halnya bahwa dia telah dianiaya dan dicurangi oleh Abu Jahal, setelah si Badui itu diberi nasihat oleh orang lain supaya mengadu kepada beliau, Muhammad ﷺ, pada waktu itulah baru beliau bertindak.
Mulanya kaum musyrikin itu menyangka bahwa Rasulullah ﷺ tidak akan berani menemui Abu Jahal meminta penyelesaian
harga unta orang Badui itu. Tentu, Abu Jahal sendiri pun tidak sedikit juga menyangka bahwa Rasulullah ﷺ akan berani menemui dia. Kemudian, setelah leher bajunya ditarik-tarik menyuruh membayar uang Badui itu, barulah Abu Jahal insaf dengan siapa dia sedang berhadapan. Di situlah, dia baru tahu bahwa Nabi Muhammad ﷺ tidaklah akan segera marah kalau hanya diri pribadiriya yang tersinggung, tetapi marahnya akan menggelegak kalau perintah Allah disanggah dan orang yang lemah hendak dianiaya.
Ayat 124
“Dan, apabila datang kepada mereka suatu ayat, mereka berkata, Sekali-kali kami tidakkan percaya sehingga didatangkan seumpama apa yang didatangkan kepada Rasul-rasul Allah."
Inilah salah satu contoh betapa makar yang dilakukan oleh orang yang kafir terhadap Rasul Allah. Setelah didatangkan kepada mereka satu perintah Allah dengan perantaraan Rasul Allah, mereka menolak dan berkata, “Kami tidak mau percaya pada keterangan itu, kalau dikatakan dia diterima dari Allah dengan perantaraan Jibril. Apakah kelebihan Muhammad itu daripada kami. Dia manusia, kami pun manusia. Kalau dia dapat wahyu, mengapa kepada kami tidak pula akan datang wahyu?"
Al-Walid bin al-Mughirah dengan sombongnya pernah berkata, “Kalau nubuwwah ini memang datang kepada engkau, saya pun lebih pantas mendapat nubuwwah daripada engkau. Sebab, usia saya lebih tua daripada usia engkau dan harta benda saya lebih banyak dari harta benda engkau."
Dan, Abu Jahal pun pernah berkata, “Demi Allah, kami tidak suka, kami tidak akan sekali-kali akan menjadi pengikutnya. Kalau wahyu datang pula kepada kami, seperti yang datang kepadanya itu, baru kami mau percaya."
Ini adalah suatu kesombongan yang senantiasa terdapat pada orang yang merasa dirinya berpengaruh. Kesombongan inilah yang menghambat dan mendiridirigi mereka sehingga mereka lebih suka menerima menjadi kafir daripada jadi orang Mukmin.
“Tetapi, Allah-lah yang lebih mengetahui kira-kira di mana yang patut Dia menjadikan risalah-Nya."
Kalau kita pahamkan isi firman Allah ini dengan saksama, terasalah bagaimana kerasnya sambutan Allah atas kata-kata sombong orang-orang kafir itu. Yang tidak mau percaya akan kebenaran yang dibawa oleh Rasul Allah, kalau mereka pun tidak diberi wahyu pula. Sebagai al-Walid bin al-Mughirah yang menyombong karena usianya lebih tua dan dia seorang kaya. Dan, Abu Jahal yang merasa dirinya pun patut jadi Nabi, dituruni wahyu. Dengan sambungan ayat ini Allah menjawab, “Tuhanlah yang lebih tahu memilih siapa orang yang patut dijadikan Rasul."
Tampaklah bahwa orang-orang ini tidak tahu diri. Seakan-akan ayat ini berkata, “Cer-minilah dirimu dahulu, lihat mukamu di sana. Bukan macam engkau orang yang akan dipilih Allah menjadi Rasul-Nya. Bukan soal umur karena banyak orang yang telah tua umurnya, tetapi tidak ada nilai apa-apa dalam jiwa dan otaknya. Dan, bukan pula kekayaan yang akan menentukan orang jadi Nabi. Menjadi Rasul bukanlah dengan menggunakan uang suap, seperti yang selalu dilakukan orang-orang yang ingin pangkat, supaya dia dipilih oleh rakyat."
Muhammad ﷺ tidak meminta jabatan menjadi Rasul itu. Dan, dia dipilih Allah menjadi Rasul-Nya, setelah terlebih dahulu jiwanya dipelihara dan dipupuk bertahun-tahun.
Dalam perjuangan menegakkan ajaran Rasulullah ﷺ sampai pada zaman kita ini, masih saja ada orang yang kafir, yang mengatakan bahwa dia pun sanggup mencapai wahyu sebagai yang dicapai rasul-rasul Allah. Di negeri kita ini karena pengaruh bekas ajaran Hindu dan bekas bisikan penjajahan, ada saja guru-guru klenik yang mendakwakan dirinya
mendapat Wahyu Cakraningrat. Kadang kala, mereka ini diperkuda tenaga-tenaga politik yang benci pada ajaran Islam. Bahkan, ada yang berkata bahwa ilmu pengetahuan zaman modern yang dicapai manusia, sudah jauh lebih maju daripada wahyu-wahyu yang ada dalam kitab-kitab suci itu. Setengah mereka itu hanyalah sebagai burung beo, mengucapkan kalimat yang diajarkan oleh tuannya (His Master's Voice), yang mereka sendiri tidak mengerti apa yang mereka katakan.
“Akan mengenallah kepada orang-orang yang berdosa itu kehinaan dari sisi Allah, dan siksaan yang sangat, lantaran apa yang mereka tipu dayakan itu."
(ujung ayat 124)