Ayat
Terjemahan Per Kata
وَلَا
dan janganlah
تَأۡكُلُواْ
kamu memakan
مِمَّا
dari apa (binatang)
لَمۡ
tidak
يُذۡكَرِ
disebut
ٱسۡمُ
nama
ٱللَّهِ
Allah
عَلَيۡهِ
atasnya
وَإِنَّهُۥ
dan sesungguhnya (perbuatan) itu
لَفِسۡقٞۗ
kefasikan/kejahatan
وَإِنَّ
dan sesungguhnya
ٱلشَّيَٰطِينَ
syaitan-syaitan
لَيُوحُونَ
mereka membisikkan
إِلَىٰٓ
kepada
أَوۡلِيَآئِهِمۡ
kawan-kawan mereka
لِيُجَٰدِلُوكُمۡۖ
agar mereka membantah kamu
وَإِنۡ
dan jika
أَطَعۡتُمُوهُمۡ
kamu menuruti mereka
إِنَّكُمۡ
sesungguhnya kalian
لَمُشۡرِكُونَ
tentu orang-orang musyrik
وَلَا
dan janganlah
تَأۡكُلُواْ
kamu memakan
مِمَّا
dari apa (binatang)
لَمۡ
tidak
يُذۡكَرِ
disebut
ٱسۡمُ
nama
ٱللَّهِ
Allah
عَلَيۡهِ
atasnya
وَإِنَّهُۥ
dan sesungguhnya (perbuatan) itu
لَفِسۡقٞۗ
kefasikan/kejahatan
وَإِنَّ
dan sesungguhnya
ٱلشَّيَٰطِينَ
syaitan-syaitan
لَيُوحُونَ
mereka membisikkan
إِلَىٰٓ
kepada
أَوۡلِيَآئِهِمۡ
kawan-kawan mereka
لِيُجَٰدِلُوكُمۡۖ
agar mereka membantah kamu
وَإِنۡ
dan jika
أَطَعۡتُمُوهُمۡ
kamu menuruti mereka
إِنَّكُمۡ
sesungguhnya kalian
لَمُشۡرِكُونَ
tentu orang-orang musyrik
Terjemahan
Janganlah kamu memakan sesuatu dari (daging hewan) yang (ketika disembelih) tidak disebut nama Allah. Perbuatan itu benar-benar suatu kefasikan. Sesungguhnya setan benar-benar selalu membisiki kawan-kawannya agar mereka membantahmu. Jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu benar-benar musyrik.
Tafsir
(Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah) seumpamanya karena mati dengan sendirinya atau disembelih dengan menyebut asma selain-Nya terkecuali apa yang disembelih oleh orang muslim, sekali pun tidak menyebut nama-Nya sewaktu menyembelihnya baik secara sengaja atau pun karena lupa, maka sembelihannya tetap halal, demikianlah menurut pendapat Ibnu Abbas, yang kemudian dianut oleh Imam Syafii. (Sesungguhnya) memakan hewan-hewan yang diharamkan itu (adalah suatu kefasikan) keluar dari garis apa yang telah dihalalkan. (Sesungguhnya setan itu membisikkan) menghembuskan godaannya (kepada kawan-kawannya) yaitu kepada orang-orang kafir (agar mereka membantah kamu) di dalam masalah menghalalkan bangkai (dan jika kamu menuruti mereka) di dalam hal ini (sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang musyrik). Ayat berikut ini diturunkan berkenaan dengan Abu Jahal dan lain-lainnya.
Tafsir Surat Al-An’am: 121
Dan janganlah kamu memakan dari binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kalian menuruti mereka, sesungguhnya kalian telah menjadi orang-orang yang musyrik.
Ayat 121
Ayat yang mulia ini dijadikan dalil oleh orang yang berpendapat bahwa hewan sembelihan tidak halal bila tidak disebutkan nama Allah ketika menyembelihnya, meskipun si penyembelih sendiri adalah orang muslim.
Para imam berselisih pendapat mengenai masalah ini. Maka ada tiga pendapat di kalangan mereka sehubungan dengannya. Ada yang mengatakan bahwa sembelihan yang tidak menyebut nama Allah ini tidak halal, baik tasmiyah ditinggalkan karena sengaja ataupun lupa. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Umar, Nafi' maula, Amir Asy-Sya'bi, dan Muhammad ibnu Sirin. Juga menurut suatu riwayat dari Imam Malik dan suatu riwayat dari Imam Ahmad ibnu Hambal yang didukung oleh sejumlah murid-muridnya dari kalangan ulama terdahulu dan ulama sekarang.
Pendapat ini dipilih oleh Abu Tsaur dan Daud Az-Zahiri. Dipilih pula oleh Abul Futuh Muhammad ibnu Muhammad ibnu Ali At-Ta-i dari kalangan ulama Mutaakhkhirin mazhab Syafti di dalam kitabnya yang berjudul Al-Arba'in. Mereka memperkuat mazhabnya dengan berdalilkan ayat ini dan firman Allah ﷻ dalam ayat mengenai berburu hewan, yaitu firman-Nya:
“Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kalian, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya).” (Al-Maidah: 4)
Kemudian hal ini dikuatkan dengan sebutan dalam ayat berikut: “Sesungguhnya perbuatan semacam itu adalah suatu kefasikan.” (Al-An'am: 121)
Menurut suatu pendapat yang mengatakan, bahwa dhamir (kata ganti) yang terdapat pada lafal “innahu” kembali kepada tindakan 'memakan'. Sedangkan menurut pendapat lain, kembali kepada 'menyembelih untuk selain Allah'. Pendapat ini diperkuat pula dengan hadits-hadits yang menyebutkan perintah membaca tasmiyah (Bismillah) pada saat menyembelih hewan sembelihan dan memburunya, seperti yang disebutkan pada dua hadits Addi ibnu Hatim dan Abu Sa'labah, yaitu: “Apabila engkau melepaskan anjing pemburumu yang telah terlatih dan engkau bacakan nama Allah ketika melepasnya, maka makanlah apa yang berhasil ditangkapnya untukmu.” Keduanya berada di dalam kitab Shahihain.
Dalil lainnya yaitu hadits Rafi' ibnu Khadij yang mengatakan: “Sesuatu (alat) apa saja yang dapat mengalirkan darah dan telah dibacakan nama Allah atasnya, maka makanlah binatang itu.” Hadits ini pun terdapat di dalam kitab Shahihain.
Terdapat pula hadits Ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda kepada makhluk jin: “Dihalalkan bagi kalian setiap tulang yang disebutkan nama Allah ketika menyembelihnya.” Hadits riwayat Imam Muslim.
Dalil lainnya yaitu hadits Jundub ibnu Sufyan Al-Bajali yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Barang siapa yang menyembelih (kurban) sebelum mengerjakan shalat (Hari Raya Kurban), hendaklah ia menyembelih lagi hewan lain sebagai gantinya. Dan barang siapa yang belum menyembelih (kurban) hingga kami selesai melakukan shalat (Hari Raya Kurban), hendaklah ia menyembelih dengan menyebut nama Allah.”
Hadits diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Disebutkan dari Siti Aisyah bahwa orang-orang bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya banyak kaum yang datang kepada kami dengan membawa daging, tanpa kami ketahui apakah mereka menyebutkan nama Allah ketika menyembelihnya ataukah tidak." Maka Rasulullah ﷺ menjawab: Mintalah mereka membacakan tasmiyah oleh kalian, kemudian makanlah! Siti Aisyah mengatakan bahwa mereka masih baru meninggalkan masa kekafirannya (yakni baru masuk Islam). Hadits riwayat Imam Bukhari.
Segi penyimpulan dalilnya memberikan pengertian bahwa mereka memahami bacaan tasmiyah (basmalah) itu merupakan suatu keharusan yang tidak boleh ditinggalkan. Mereka merasa khawatir bila tasmiyah belum dibacakan oleh kaum-kaum tersebut, mengingat banyak dari mereka yang baru masuk Islam.
Maka Nabi ﷺ memerintahkan para sahabatnya untuk melakukan tindakan pencegahan, yaitu membaca tasmiyah di saat hendak memakannya, dengan maksud agar tasmiyah yang terakhir ini sebagai ganti dari tasmiyah yang tidak diucapkan di saat menyembelihnya, jika memang belum dibacakan. Untuk meluruskannya Nabi ﷺ memerintahkan para sahabatnya untuk memberlakukan hukum-hukum kaum muslim terhadap mereka.
Pendapat yang kedua sehubungan dengan masalah ini mengatakan bahwa bacaan tasmiyah tidak disyaratkan, atau dengan kata lain tidak wajib, tetapi hanya disunnahkan saja. Jika bacaan tasmiyah ditinggalkan, baik secara sengaja ataupun lupa, tidak membahayakan hasil sembelihan (selagi yang menyembelihnya adalah orang muslim). Demikianlah menurut mazhab Syafi'i dan semua sahabatnya, juga menurut suatu riwayat dari Imam Ahmad yang dinukil darinya oleh Hambal. Pendapat ini dikatakan pula oleh suatu riwayat dari Imam Malik, yang diriwayatkan oleh Asyhab ibnu Abdul Aziz dari teman-ieman Imam Malik. Hal yang sama telah diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas, Abu Hurairah, dan ‘Atha’ ibnu Abu Rabah.
Imam Syafii menakwilkan ayat ini, yaitu firman-Nya:
“Dan janganlah kalian memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.” (Al-An'am: 121)
Yaitu hewan sembelihan yang disembelih bukan karena Allah. Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam firman-Nya:
“Atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (Al-An'am: 145)
Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari ‘Atha’ sehubungan dengan makna firman-Nya:
“Dan janganlah kalian memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.” (Al-An'am: 121) Bahwa Allah melarang memakan hasil sembelihan yang dilakukan oleh orang-orang Quraisy untuk berhala-berhalanya, dan Allah melarang memakan hasil sembelihan orang-orang Majusi.
Metode pengambilan dalil yang ditempuh oleh Imam Syafii ini kuat. Sebagian dari ulama mutaakhkhirin berupaya menguatkan pendapat ini dengan menginterpretasikan huruf wawu yang ada pada firman-Nya sebagai wawu hal, yang artinya 'janganlah kalian memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya, sedangkan hewan tersebut berstatus fasik (haram). Dan seekor binatang dinamakan fasik, karena binatang tersebut disembelih untuk selain Allah'.
Kemudian sebagian dari ulama mutaakhkhirin itu mengatakan bahwa takwil ini adalah suatu ketentuan dan tidak boleh menganggap wawu sebagai wawu 'athaf, karena bila dianggap sebagai wawu athaf berarti memerlukan adanya ataf jumlah ismiyah khabariyah kepada jumlah fi'liyah talabiyah. Akan tetapi, pendapat ini dapat dibantah dengan firman selanjutnya yang mengatakan:
“Sesungguhnya setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya.” (Al-An'am: 121)
Karena sesungguhnya huruf wawu pada ayat ini sudah pasti merupakan huruf 'athaf.
Jika wawu yang didakwakan olehnya bahwa wawu itu adalah wawu haliyah yang sesungguhnya, seperti yang telah dikatakannya, niscaya jumlah ini tidak dapat di-'athaf-kan kepada jumlah yang sebelumnya. Jika jumlah ini di-'athaf-kan kepada jumlah talabiyah, berarti diberlakukan sama seperti apa yang diberlakukan terhadap yang lainnya. Jika terbukti bahwa huruf wawu tersebut bukan wawu haliyah, berarti apa yang dikatakan oleh sebagian ulama mutaakhkhirin tersebut tidak berlaku lagi.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, menceritakan kepada kami Yahya ibnul Mugirah, telah menceritakan kepada kami Jarir. dari ‘Atha’, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat:
“Dan janganlah kalian memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.” (Al-An'am: 121)
Bahwa yang dimaksud adalah bangkai. Kemudian Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari Abu Dzar'ah, dari Yahya ibnu Abu Kasir, dari Ibnu Luhai'ah, dari ‘Atha’ ibnus Saib dengan lafal yang sama.
Dapat pula dijadikan dalil oleh mazhab ini, yaitu sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud di dalam hadits-hadits mursal-nya melalui hadits Tsaur ibnu Yazid, dari As-Suit As-Sudusi maula Suwaid ibnu Maimun, salah seorang tabi'in yang disebut oleh Abu Hatim ibnu Hibban di dalam Kitabbus Siqat termasuk orang-orang yang berpredikat tsiqah “terpercaya”. Ia mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Sembelihan orang muslim itu halal, baik ia menyebut nama Allah ataupun tidak (ketika menyembelihnya). Karena sesungguhnya jika orang muslim menyebut (dalam doanya), maka yang mereka sebut hanyalah nama Allah saja.
Hadits ini mursal, diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Imam Daruquthni melalui Ibnu Abbas yang mengatakan: “Apabila orang muslim melakukan sembelihan dan tidak menyebut nama Allah, maka makanlah (hasil sembelihannya), karena sesungguhnya di dalam diri orang muslim itu sendiri terdapat suatu nama dari nama-nama Allah.”
Imam Baihaqi mengetengahkan dalilnya pula dengan hadits Siti Aisyah yang tadi, yaitu yang mengatakan bahwa ada orang-orang yang bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya banyak orang yang baru saja meninggalkan masa Jahiliahnya datang kepada kami dengan membawa daging, tanpa kami ketahui apakah mereka menyebut nama Allah ketika menyembelihnya ataukah tidak." Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Bacakanlah tasmiyah oleh kalian, kemudian makanlah!” Imam Baihaqi mengatakan, "Seandainya bacaan tasmiyah merupakan suatu syarat bagi kehalalan daging, niscaya tidak ada keringanan (rukhsah) bagi mereka, kecuali jika tasmiyah diucapkan dengan jelas."
Pendapat ketiga mengatakan sehubungan dengan masalah ini bahwa sesungguhnya meninggalkan bacaan basmalah ketika menyembelih karena lupa tidak mempengaruhi kehalalan sembelihan. Tetapi jika orang yang bersangkutan meninggalkannya secara sengaja, maka hasil sembelihannya tidak halal. Pendapat inilah yang terkenal di kalangan mazhab Imam Malik dan Imam Ahmad ibnu Hambal. Hal yang sama dikatakan oleh Imam Abu Hanifah dan teman-temannya serta Ishaq ibnu Rahawath. Pendapat ini bersumber dari riwayat yang diketengahkan dari Ali. Ibnu Abbas, Sa'id ibn al Musayyab, ‘Atha’, Tawus, Al-Hasan Al-Basri, Abu Malik, Abdur Rahman ibnu Abu Laila.
Ja'far ibnu Muhammad, dan Rabi'ah ibnu Abu Abdur Rahman. Imam Abul Hasan Al-Marginani di dalam kitabnya Al-Hidayah menyebutkan adanya ijma' sebelum Imam Syafii yang mengatakan haram memakan hasil sembelihan tanpa menyebut nama Allah dengan sengaja. Karena itulah Abu Yusuf dan semua ulama yang berpredikat syekh mengatakan bahwa seandainya seorang hakim memutuskan boleh menjualnya, maka keputusannya itu tidak boleh dilaksanakan karena bertentangan dengan ijma'. Apa yang dikatakannya ini sangatlah gharib, karena dalam pembahasan di atas telah disebutkan adanya pernyataan yang menyatakan adanya perbedaan pendapat di kalangan para ulama sebelum masa Imam Syafii.
Imam Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan: “Barang siapa yang mengharamkan hasil sembelihan orang yang lupa (membaca tasmiyah), sesungguhnya ia telah menyimpang dari pendapat yang berlandaskan pada dalil-dalil mengenainya dan bertentangan dengan hadits Rasulullah ﷺ mengenai masalah ini."
Yang dimaksud adalah apa yang telah diriwayatkan oleh An-Hafidzh Abu Bakar Al-Baihaqi, telah menceritakan kepada kami Abu Abdullah An-Hafidzh, telah menceritakan kepada kami Abul Abbas Al-Asam, telah menceritakan kepada kami Abu Umayyah At-Tarsusi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yazid, telah menceritakan kepada kami Ma'qal ibnu Ubaidillah, dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dari Nabi ﷺ yang telah bersabda: “Orang muslim dicukupkan oleh namanya. Jika ia lupa membaca tasmiyah saat melakukan penyembelihan, hendaklah ia menyebut nama Allah dan hendaklah ia memakan (hasil sembelihan)nya.”
Predikat hadits ini dinilai marfu' adalah keliru, kekeliruannya terletak pada Ma'qal ibnu Ubaidillah Al-Jazari. Karena meskipun dia termasuk perawi yang dicatat oleh Imam Muslim, tetapi Sa'id ibnu Mansur dan Abdullah ibnuz Zubair Al-Humaidi meriwayatkannya dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari Amr, dari Abusy Sya'sa, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa ini merupakan perkataan Ibnu Abbas.
Keduanya menambahkan Abusy Sya'sa dalam sanadnya dan menilainya tsiqah “terpercaya”, jalur ini lebih shahih menurut Imam Baihaqi dan ahli huffaz lainnya. Kemudian Ibnu Jarir dan lain-lainnya mengutip dari Asy-Sya'bu dan Muhammad ibnu Sirin. Keduanya memakruhkan memakan sembelihan yang dilakukan tanpa tasmiyah karena lupa. Tetapi ulama Salaf menggunakan istilah makruh itu sebenarnya untuk menunjukkan makna haram, menurut kebiasaan yang mereka lakukan.
Hanya saja menurut kaidah Ibnu Jarir yang menyatakan bahwa perkataan satu orang atau dua orang tidak dapat dianggap sebagai menentang pendapat jumhur (mayoritas bersama), karena itu ia menganggapnya sebagai ijma. Ini adalah hal penting yang perlu diperhatikan. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Waki', telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Jahir ibnu Yazid yang menceritakan bahwa Al-Hasan pernah ditanya oleh seseorang, "Saya datang dengan membawa burung-burung. Di antaranya ada yang disembelih dengan menyebut nama Allah ketika menyembelihnya, ada pula yang lupa disebutkan nama Allah ketika menyembelihnya, tetapi burung-burung ini bercampur menjadi satu (sulit membedakannya)," Maka Al-Hasan menjawab, “Makanlah, makanlah." Kemudian saya (perawi) bertanya kepada Muhammad ibnu Sirin (mengenai hal tersebut). Maka Ibnu Sirin membacakan firman-Nya:
“Dan janganlah kalian memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.” (Al-An'am: 121) Pendapat ini berpegang kepada dalil hadits yang diriwayatkan melalui berbagai jalur yang ada pada Ibnu Majah, dari Ibnu Abbas dan Abu Hurairah. Serta Abu Dzar, Uqbah ibnu Amir, dan Abdullah ibnu Amr, dari Nabi ﷺ yang telah bersabda: “Sesungguhnya Allah telah memaafkan umatku yang keliru, ,lupa dan hal yang dipaksakan kepada mereka.” Tetapi hal ini masih perlu dipertimbangkan.
An-Hafidzh Abu Ahmad ibnu Addi telah meriwayatkan melalui hadits Marwan ibnu Salim Al-Qarqasani, dari Al-Auza'i, dari Yahya ibnu Kasir, dari Abu Salamah. dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa pernah ada seorang lelaki datang kepada Nabi ﷺ, lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu tentang seorang lelaki dari kalangan kami yang melakukan sembelihan, tetapi ia lupa membaca tasmiyah?" Maka Nabi ﷺ menjawab melalui sabdanya: “Nama Allah sudah terdapat pada setiap orang muslim.” Tetapi sanad hadits ini dha’if karena sesungguhnya Marwan ibnu Salim Al-Qarqasani yang dikenal dengan julukan Abu Abdullah Asy-Syami orangnya berpredikat dha’if.
Perihal predikatnya yang dha’if ini sering dibicarakan bukan hanya oleh seorang saja dari kalangan para imam. Kami bahas masalah ini secara terpisah dengan pembahasan yang cukup rinci, di dalamnya disebutkan mazhab-mazhab para imam dan dalil serta sumber mereka. Disebutkan pula bagaimana segi-segi pengambilan dalilnya serta kontradiksi dan pertentangannya.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa ahlul 'ilmi berselisih pendapat mengenai ayat ini, apakah ada sesuatu dari hukum ayat ini yang di-mansukh ataukah tidak. Sebagian dari mereka mengatakan, tidak ada sesuatu pun darinya yang di-mansukh. Dan bahwa ayat ini bersifat muhkam (jelas) dalam pembahasan yang diketengahkannya. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Mujahid dan kebanyakan ahlul ilmi.
Telah diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Basri dan Ikrimah apa yang diceritakan kepada kami oleh Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Wadih, dari Al-Husain ibnu Waqid, dari Ikrimah dan Al-Hasan Al-Basri, bahwa keduanya mengatakan sehubungan dengan firman-Nya:
“Maka makanlah binatang-binatang (yang halal) yang ketika disembelih disebut nama Allah, jika kalian beriman kepada ayat-ayat-Nya.” (Al-An'am: 118)
“Dan janganlah kalian memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.” (Al-An'am: 121)
Ayat-ayat tersebut di-mansukh dan dikecualikan darinya firman-Nya: “Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Ahli Kitab itu halal bagi kalian, dan makanan kalian halal (pula) bagi mereka.” (Al-Maidah: 5)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah membacakan kepadanya Al-Abbas ibnul Walid ibnu Yazid, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Syu'aib, telah menceritakan kepadanya An-Nu'man (yakni Ibnul Munzir). Dari Mak-hul yang mengatakan bahwa Allah ﷻ telah berfirman di dalam Kitab-Nya: “Dan janganlah kalian memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.” (Al-An'am: 121)
Kemudian Allah me-mansukh-nya karena kasih sayang-Nya kepada kaum muslim. Untuk itu Allah ﷻ berfirman dalam ayat lainnya:
“Pada hari ini dihalalkan bagi kalian yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Ahli Kitab itu halal bagi kalian.” (Al-Maidah: 5)
Dengan demikian, berarti Allah telah me-mansukh-nya dan menghalalkan makanan (sembelihan) Ahli Kitab.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, "Yang benar adalah tidak ada pertentangan antara penghalalan makanan (sembelihan) Ahli Kitab dengan pengharaman sembelihan yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya."
Pendapat yang dikatakan oleh Ibnu Jarir ini memang benar, sedangkan ulama Salaf yang mengatakannya di-mansukh, sebenarnya yang mereka maksudkan hanyalah takhsis (pengkhususan).
Firman Allah ﷻ: “Sesungguhnya setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kalian.” (Al-An'am: 121)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj. Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Ayyasy, dari Abu Ishaq yang mengatakan bahwa pernah ada seorang lelaki bertanya kepada Ibnu Umar, bahwa sesungguhnya Al-Mukhtar menduga dirinya mendapat wahyu. Maka Ibnu Umar berkata, "Dia benar." Lalu Ibnu Umar membacakan firman-Nya:
“Sesungguhnya setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya.” (Al-An'am: 121)
Telah menceritakan pula kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Huzaifah, telah menceritakan kepada kami Ikrimah ibnu Ammar, dari Abu Zamil yang mengatakan bahwa ketika ia sedang duduk di hadapan Ibnu Abbas dan bertepatan saat itu Al-Mukhtar ibnu Abu Ubaid sedang mengerjakan hajinya, lalu datanglah seorang lelaki kepada Ibnu Abbas dan bertanya. “Wahai Ibnu Abbas, Abu Ishaq (Al-Mukhtar) menduga bahwa dirinya telah mendapat wahyu malam ini." Maka Ibnu Abbas menjawab, "Benar." Maka aku (perawi) merasa tidak setuju dan mengatakan, "Ibnu Abbas mengatakan bahwa Al-Mukhtar benar?" Maka Ibnu Abbas berkata, "Keduanya memang dinamakan wahyu, yaitu wahyu Allah dan wahyu setan. Wahyu Allah diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, sedangkan wahyu setan diturunkan kepada kawan-kawannya." Kemudian Ibnu Abbas membacakan firman Allah ﷻ: “Sesungguhnya setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya.” (Al-Maidah: 121)
Dalam keterangan sebelum ini disebutkan dari Ikrimah sehubungan dengan makna firman-Nya: “Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (Al-An'am: 112)
Telah disebutkan hal yang sama dengan keterangan dalam tafsir ayat ini.
Firman Allah ﷻ: “Agar mereka membantah kalian.” (Al-Anam: 121)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Imran ibnu Uyaynah, dari ‘Atha’ ibnus-Saib. Dari Sa'id ibnu Jubair yang menceritakan bahwa orang-orang Yahudi pernah berdebat dengan Nabi ﷺ. Mereka mengatakan, "Kami memakan apa yang kami bunuh dan mengapa kami tidak boleh memakan apa yang dibunuh oleh Allah?" Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya:
“Dan janganlah kalian memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.” (Al-An'am: 121)
Demikianlah Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya secara mursal. Tetapi Abu Daud meriwayatkannya secara muttasil, untuk itu ia mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Imran ibnu Uyaynah, dari ‘Atha’ ibnus Saib, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa orang-orang Yahudi datang kepada Nabi ﷺ, lalu mereka berkata, "Kita dibolehkan memakan hewan yang kita bunuh, lalu mengapa kita tidak boleh memakan hewan yang dibunuh oleh Allah (yakni mati dengan sendirinya)?"
Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya:
“Dan janganlah kalian memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.” (Al-An'am: 121), hingga akhir ayat.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Muhammad ibnu Abdul A'la dan Sufyan ibnu Waki'. Keduanya dari Imran ibnu Uyaynah dengan sanad yang sama. Al-Bazzar meriwayatkannya dari Muhammad ibnu Musa Al-Jarasi, dari Imran ibnu Uyaynah dengan sanad yang sama. Akan tetapi, hal ini masih perlu dipertimbangkan dari tiga segi, yaitu: Pertama, orang-orang Yahudi tidak berpendapat menghalalkan bangkai, sehingga mereka perlu mendebat. Kedua, ayat ini termasuk Makkiyyah. Ketiga, hadits ini diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dari Muhammad ibnu Musa Al-Jarasi, dari Ziyad ibnu Abdullah Al-Buka-u dari ‘Atha’ ibnus Saib, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas. Imam At-Tirmidzi meriwayatkannya dengan teks, bahwa telah datang kepada Nabi ﷺ Lalu ia menuturkan hadits hingga habis, dan mengatakan sesudahnya bahwa predikat hadits ini adalah hasan gharib. Hadits ini diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair secara mursal. Imam Ath-Thabarani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Abdul Aziz, telah menceritakan kepada kami Al-Hakam ibnu Aban, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa ketika diturunkannya firman Allah ﷻ:
“Dan janganlah kalian memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.” (Al-An'am: 121) Maka orang-orang Persia mengirimkan utusannya kepada orang-orang Quraisy untuk mendebat Muhammad ﷺ Mereka memerintahkan kepada orang-orang Quraisy agar mengatakan kepada Muhammad, "Mengapa hewan yang engkau sembelih dengan tanganmu sendiri memakai pisau hukumnya halal, sedangkan hewan yang disembelih oleh Allah ﷻ dengan pisau dari emas (yakni mati dengan sendirinya) hukumnya haram?" Maka turunlah firman-Nya:
“Sesungguhnya setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kalian, dan jika kalian menuruti mereka. Sesungguhnya kalian tentu menjadi orang-orang yang musyrik.” (Al-An'am: 121)
Dengan kata lain, sesungguhnya setan-setan yang dari Persia itu membisikkan kepada kawan-kawannya dari kalangan Quraisy.
Imam Abu Daud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Kasir, telah menceritakan kepada kami Israil, telah menceritakan kepada kami Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya:
“Sesungguhnya setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya.” (Al-Anam: 121)
Mereka mengatakan, "Apa yang disembelih oleh Allah, jangan kalian makan, dan apa yang kalian sembelih sendiri, makanlah." Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya:
“Dan janganlah kalian memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.” (Al-An'am: 121)
Ibnu Majah dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari Amr ibnu Abdullah, dari Waki', dari Israil dengan sanad yang sama. Sanad hadits ini shahih.
Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui berbagai jalur dari Ibnu Abbas, tetapi di dalamnya tidak disebut orang-orang Yahudi. Hadits inilah yang dijaga, mengingat ayat yang bersangkutan adalah ayat Makkiyyah, dan orang-orang Yahudi pun tidak menyukai bangkai.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami ibnu Waki', telah menceritakan kepada kami Jarir, dari ‘Atha’, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas mengenai firman-Nya:
“Dan janganlah kalian memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya.” (Al-An'am: 121) sampai dengan firman-Nya:
“Agar mereka membantah kalian.” (Al-An'am: 121)
Bahwa setan membisikkan kepada teman-temannya untuk mengatakan, "Mengapa kamu dibolehkan memakan apa yang kalian bunuh, dan dilarang memakan apa yang dibunuh oleh Allah?"
Menurut lafal lain yang juga dari Ibnu Abbas, hewan yang kalian bunuh maksudnya hewan yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, dan hewan yang mati ialah hewan yang tidak disebutkan nama Allah ketika menyembelihnya.
Juraij mengatakan, Amr ibnu Dinar telah meriwayatkan dari Ikrimah, bahwa sesungguhnya orang-orang musyrik Quraisy selalu berkirim surat kepada orang-orang Persia, mendukung perlawanan mereka terhadap orang-orang Romawi. Dan orang-orang Persia selalu membalas surat mereka. Orang-orang Persia mengirim surat kepada orang-orang musyrik Quraisy yang isinya mengatakan bahwa “sesungguhnya Muhammad dan sahabat-sahabatnya menduga mereka mengikuti perintah Allah. Tetapi mengapa hewan yang disembelih oleh Allah dengan pisau dari emas, mereka tidak memakannya. Sedangkan hewan yang mereka sembelih sendiri mereka makan?” Orang-orang musyrik menulis kata-kata tersebut dalam suratnya yang ditujukan kepada sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ. Maka hal tersebut membuat suatu ganjalan dalam hati orang-orang muslim, lalu Allah ﷻ menurunkan firman-Nya:
“Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu. Dan jika kalian menuruti mereka, sesungguhnya kalian telah menjadi orang-orang yang musyrik.” (Al-An'am: 121)
Turun pula firman-Nya yang mengatakan:
“Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (Al-An'am: 112)
As-Suddi mengatakan sehubungan dengan tafsir ayat ini, sesungguhnya orang-orang musyrik pernah mengatakan kepada orang-orang muslim: “Mengapa kalian menduga bahwa kalian mengikuti jalan yang diridhai Allah, tetapi hewan yang dibunuh oleh Allah kalian tidak mau memakannya, sedangkan hewan yang kalian sembelih mau kalian memakannya?" Maka Allah ﷻ berfirman:
“Sesungguhnya kalian telah menjadi orang-orang yang musyrik.” (Al-An'am: 121)
Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid, Adh-Dhahhak, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf.
Firman Allah ﷻ:
“Dan jika kalian menaati mereka, sesungguhnya kalian telah menjadi orang-orang yang musyrik.” (Al-An'am: 121)
Yakni jika kalian menyimpang dari perintah Allah dan syariat-Nya yang telah ditetapkan-Nya kepada kalian, lalu kalian menempuh jalan yang lain, dan kalian lebih menaati selain Allah, maka kalian telah menjadi orang musyrik. Maka hal seperti ini dinamakan perbuatan syirik. Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya:
“Dan jika kalian menuruti mereka.” (Al-An'am: 121)
Yaitu memakan bangkai.
“Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi) dan rahib-rahib (Nasrani) mereka sebagai tuhan selain Allah.” (At-Taubah: 31), hingga akhir ayat.
Sehubungan dengan tafsir ayat ini Imam At-Tirmidzi di dalam kitab tafsirnya telah meriwayatkan dari Adi ibnu Hatim yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, mereka tidak menyembahnya (orang-orang alim dan para rahib)." Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak, sesungguhnya mereka (orang-orang alim dan para rahib) menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal bagi pengikut-pengikutnya, lalu para pengikut mereka menurutinya. Itulah penyembahan mereka kepada orang-orang alim dan para rahibnya.”
Setelah Allah menjelaskan tentang daging hewan yang boleh dimakan, pada ayat ini Allah menjelaskan tentang daging yang tidak boleh dimakan. Dan janganlah kamu memakan dari apa'daging hewan'yang ketika disembelih tidak disebut nama Allah, perbuatan itu benar-benar suatu kefasikan, keluar dari ketentuan ajaran Islam dan ketaatan kepada Allah. Lalu Allah menjelaskan tentang sumber timbulnya kefasikan. Sesungguhnya setan-setan akan membisikkan, dengan bisikan yang menyesatkan, kepada kawan-kawannya dan memberikan masukan kepada mereka agar mereka membantah kamu, seperti menghalalkan sesuatu yang haram dan sebaliknya, dengan alasan yang dibuat-buat. Dan jika kamu menuruti mereka, tentu kamu telah menjadi orang musyrik karena sengaja beralih dari aturan Allah kepada aturan lainnya. Kemudian Allah menjelaskan tentang perbedaan yang mencolok antara orang muslim dan orang musyrik atau kafir dalam bentuk pertanyaan agar pembaca merenung dan menemukan sendiri jawabannya. Dan apakah orang yang sudah mati yaitu orang kafir lalu Kami hidupkan dan Kami beri dia cahaya yang berupa hidayah, berupa Al-Qur'an atau Islam, yang membuatnya dapat berjalan menuju ke arah yang benar di tengah-tengah orang banyak, sama dengan orang yang berada dalam kegelapan, yaitu kekufuran, kebutaan mata hati, dan kebodohan sehingga dia tidak dapat keluar dari sana' Dia selalu bimbang dan ragu dalam
Sabab Nuzul ayat ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan al-Hakim dari Ibnu 'Abbas pada ayat mengatakan, "orang-orang datang kepada Nabi saw, mereka berkata: 'apa yang disembelih Allah jangan kalian makan, apa yang kalian sembelih, itulah yang kalian makan", maka turunlah ayat ini.
Sesungguhnya setan-setan, jin dan manusia itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar membantah kaum Muslimin. Ikrimah berkata, "Setan dari golongan Majusi setelah mendengar bahwa Nabi Muhammad, mengharamkan bangkai, mereka menulis kepada orang Quraisy yang pada waktu itu sering mengadakan surat-menyurat dengan orang-orang Majusi. Di dalam surat itu mereka mengatakan, "Muhammad mengaku dirinya telah mengikuti perintah Allah, tetapi mengapa ia beranggapan bahwa yang disembelih oleh manusia halal, tetapi yang disembelih oleh Allah (bangkai) adalah haram?" Lalu Allah menurunkan ayat ini.
Tentang makan daging hewan yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, ada beberapa pendapat di kalangan ulama Islam. Menurut Imam Malik, semua hewan yang disembelih dengan tidak menyebut nama Allah ketika menyembelihnya haram dimakan. Menurut Imam Abu Hanifah, jika nama Allah tidak disebut dengan sengaja, maka haram makan daging hewan itu, dan jika tidak disebut karena lupa, maka halal makannya. Menurut Imam Syafi'i, semua hewan yang ketika menyembelihnya tidak disebut nama Allah, baik disengaja maupun karena lupa, maka dagingnya halal dimakan, asalkan orang yang menyembelihnya adalah Muslim.
Demikianlah jika kaum Muslimin mengikuti kehendak kaum musyrikin tentang menghalalkan bangkai, maka mereka pasti termasuk golongan musyrik. Ayat ini menunjukkan bahwa barang siapa yang menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah atau mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah, maka mereka termasuk orang-orang musyrik, karena dengan demikian mereka telah menetapkan adanya pihak yang berhak membuat syariat selain Allah ﷻ
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 118
“Maka, makanlah dari apa yang disembelih dengan menyebut nama Allah atasnya."
Maksud dari kalimat, “dari apa yang disembelih," ialah karena telah tertentu binatang-binatang ternak atau binatang-binatang buruan yang dihalalkan agama memakannya. Hendaklah binatang buruan atau binatang ternak yang akan dimakan itu disembelih terlebih dahulu dengan menyebut nama Allah.
“Menyebut nama Allah atasnyaartinya hendaklah ketika binatang itu disembelih, dise-butkan terlebih dahulu nama Allah. Tegasnya, bismillahirrahmanir-rahim atau bismillah (di atas nama Allah).
Hal ini disebutkan karena banyak sekali pada zaman dahulu orang menyembelih binatang halal sebagai tanda pemujaan pada berhala. Itu sebabnya, ujung ayat ini menegaskan bahwa orang yang beriman pasti menyembelih dengan menyebut nama Allah,
“Jika memang kamu beniman kepada ayat-ayat-Nya."
Sebaliknya, kalau kamu bukan orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya sama saja bagi kamu makanan yang akan kamu makan, dengan nama Allah atau dengan nama setan atau dengan nama berhala.
Ayat 118 ini dapat lagi lebih dijelaskan jika dipertalikan dengan ayat 106 dari surah al-Maa'idah yang telah lalu dan ayat 138 pada surah yang telah kita tafsirkan ini atau pada ayat-ayat di surah yang lain.
PERATURAN PENYEMBELIHAN
Sebagaimana pada ayat-ayat sebelumnya telah diterangkan, yaitu hidup seorang Muslim tidaklah lepas dari peraturan yang ditentukan Allah. Sekarang, disebutkanlah salah satu dari peraturan itu, yaitu hendaklah makan pe-
Ayat 119
“Mengapa kamu tidak akan memakan dari apa yang disebutkan nama Allah atasnya?"
Mengapa kamu memakan saja sembarang makanan, serupa dengan orang yang masih jahiliyyah, tidak membedakan di antara yang bersih dengan yang kotor, yang halal dengan yang haram, mana yang untuk Allah dan mana yang untuk setan? Mana yang disembelih untuk berhala."Padahal telah Dia jelaskan kepada kamu, apa yang Dia haramkan atas kamu" Telah diharamkan darah dan daging babi dan telah diharamkan memakan segala macam bangkai, yaitu yang matinya karena tidak disembelih, atau segala yang disembelih untuk pemujaan pada berhala. Tentang makanan yang diharamkan ini sudah dijelaskan sejak semula, yaitu sejak dari zaman Mekah, sebelum syari'at-syari'at yang lain diturunkan. Surah al-An'aam yang kita tengah tafsirkan ini diturunkan di Mekah dan surah an-Nahl (lebah) diturunkan di Mekah pula. Pada kedua surah ini telah dijelaskan makanan yang haram itu.3 “Kecuali apa yang terpaksa kamu padanya."Terpaksa karena makanan lain tidak ada lagi sehingga kita bisa mati lantaran kelaparan. Atau dipaksa oleh orang lain, kalau tidak dimakan akan dibunuh dan sebagainya yang bersifat paksaan.
Imam Ahmad bin Hanbal memberikan fatwa yang tegas tentang makan daging yang haram ini karena terpaksa. Yaitu, kalau seseorang yang hampir mati karena kelaparan sedang di hadapannya hanya ada daging haram itu, misalnya bangkai, daging babi, dan sembelihan untuk berhala, lalu orang itu enggan memakan sehingga dia mati karena kelaparan itu, dia berdosa besar karena menganiaya dirinya sendiri. Oleh sebab itu, tidaklah boleh kita berkata, “Biar saja mati daripada memakan makanan itu" Sebab, sudah sama artinya dengan mati membunuh diri. Dan, mati membunuh diri adalah termasuk dalam tujuh dosa yang paling besar.
3 Lihat an-Nahl ayat 115. Dan diulangi lagi di surah yang diturunkan di Madiriah atau surah al-Baqarah ayat 173 dan surah al-Maa'idah ayat 4.
“Dan, sesungguhnya kebanyakan (orang) telah menyesatkan dengan hawa nafsu mereka, dengan tidak berpengetahuan." Artinya, banyaklah orang yang telah sesat lalu menyesatkan orang-orang lain pula dengan pengaruh hawa nafsu mereka dalam soal makanan dan sembelihan pada khususnya dan soal-soal yang lain pada umumnya. Misalnya, karena sangat hormat kepada seorang yang saleh dihormati semasa hidupnya dan sampai setelah matinya. Lama-lama penghormatan bertukar menjadi pemujaan. Sampal-sampai menyembelih binatang ternak untuk menghormati orang itu, sampal-sampai disembelih di atas namanya.
Maka, tersebutlah dalam ayat asal mula umat Nabi Nuh menyembah berhala. Asal mulanya, pada zaman itu ada beberapa orang saleh atau berjasa yang sangat dihormati kaumnya di kala hidup. Setelah meninggal, penghormatan kepadanya kian lama kian berlebihan. Mungkin pada mulanya hanya semata-mata patung peringatan, tetapi lama-lama menjadi patung berhala. Orang-orang yang berjasa itulah yang disebut namanya di dalam surah Nuuh ayat 23, yaitu Waddan, Suwaa'an, Yaghuuts, Ya'uuq, dan Nasran. Mulanya dipuji, setelah itu dipuja, lama-lama berhala-berhala atau patung-patung mereka itu dipandang sebagai penjelmaan dari diri mereka sendiri sehingga dimohonkanlah kepada mereka supaya menolong menyampaikan doa kepada Allah agar disampaikan suatu hajat dan keinginan. Di antaranya, untuk itu disembelihlah kurban untuktanda kesetiaan kepadanya. Di beberapa negeri di dunia ini masih didapati bekas-bekas pemujaan kepada berhala purbakala itu mengurbankan manusia untuk pemujaan. Sama sekali ini dianjur-anjurkan oleh pemuka-pemuka agama, dukun, datu, pendeta atau kahin, untuk menyesatkan orang lain, tidak dengan ilmu. Artinya, tidak sebuah juga yang menuruti akal sehat, melainkan hawa nafsu, termasuk ingin menunjukkan kekuasan. Sebab, pada zaman dahulu datu atau dukun itu juga dianggap sebagai wakil Tuhan di dunia atau wakil dari ruh nenek moyang dan juga menjadi raja.
Di akhir ayat berfirmanlah Allah,
“Dan, sesungguhnya Tuhan engkau. Dialah yang lebih mengetahui, siapa orang-orang yang melanggar batas."
Ujung ayat ini pun menjadi peringatan sangat keras bagi umat Muhammad ﷺ sendiri jika mereka diberi Allah nikmat menjadi penyambut waris nabi-nabi, menjadi imam orang banyak, jadi ulama atau guru atau syekh mursyid, sebagai istilah ahli tasawuf. Supaya mereka berhati-hati memimpin umat, jangan sampai mereka yang menyesatkan umat, yang tadiriya bertujuan menyembah Allah yang SATU, lama-lama menjadi penyembah guru waktu hidupnya, kemudian menyembah guru sesudah matinya, kemudian memuja kuburnya tempat penyimpan tulang-tulangnya, lalu menjadikan dia berhala atau wasilah untuk menyampaikan permohonan kepada Allah. Allah tahu siapa yang melanggar batas itu, menyesatkan orang awam dengan tidak ada ilmu.
Ayat 120
“Dan jauhilah … dosa dan batinnya."
Pangkal ayat ini telah menjelaskan bahwasanya dosa itu ada dosa batin. Hendaklah berusaha menjauhi keduanya. Dosa zahir ialah sikap dan usaha, amal dan perbuatan, merugikan diri sendiri atau merugikan orang lain. Percakapan yang merusak, tingkah laku yang tidak senonoh, mencuri atau membegal, minum arak atau memakan yang haram, menipu atau korupsi, walaupun semua itu dikerjakan diam-diam, dengan sembunyi. Seumpama orang yang tidak ada halangan apa-apa, lalu dibukakannya puasanya, padahal disangka orang dia masih puasa. Maka, segala perbuatan mengerjakan yang dilarang dan meninggalkan yang disuruh, adalah termasuk dosa zahir, walaupun orang lain tidak tahu. Adapun dosa batin adalah segala macam yang berhubungan dengan hati. Seumpama niat yang tidak jujur.
…dengki dan hasad, takabur dan dendam, berpikir dan merencana siasat yang hendak men-celakakan orang lain. Dan, puncak dari segala dosa batin, ialah mempersekutukan yang lain dengan Allah Ta'aala. Dan, yang berkenaan dengan soal yang dibicarakan ialah memakan makanan yang haram dimakan. Semata-mata memakan yang telah ditentukan haramnya oleh syara' adalah termasuk dosa zahir. Akan tetapi, kalau hati pun sudah mengakui tidak haram, memakan binatang yang disembelih untuk memuja berhala, menjadilah dia dosa zahir dan dosa batin.
Dan, kata ahli-ahli tafsir lagi, dosa zahir ialah zina terang-terangan, misalnya memasuki rumah pelacuran. Dan, kata mereka dosa batin ialah mengadakan piaraan, itulah yang pada zaman jahiliyyah disebut zina rahasia. Diketahui orang, tetapi tidak dicela orang sebab yang melakukannya orang-orang besar. Tersebutlah bahwa Abu Sufyan pada zaman jahiliyyah mempunyai piaraan di Thaif, yang di dalam kata-kata pasaran disebut gula-gula sehingga beroleh seorang putra bernama Zayyad. Untuk kepentingan politik karena tenaganya diperlukan, Zayyad diakui oleh Mu'awiyah setelah dia mendirikan Kerajaan Bani Umaiyah bahwa dia adalah anak yang sah dari Abu Sufyan dan berhak memakai nama Zayyad bin Abu Sufyan. Meskipun sudah dengan pengakuan khalifah sendiri, pendapat umum masih ragu akan kebenaran pengakuan Mu'awiyah itu, masih tetap orang menyebut namanya Zayyad bin Abihi (Zayyad anak bapanya).
Maka, kata ahli tafsir, zina halus itu pun hendaklah jauhi, sebab itu adalah dosa batin yang besar pula.
“Dan, sesungguhnya orang-orang yang berbuat sesuatu dosa, akan dibalaslah dengan apa yang telah mereka usahakan itu."
Artinya, betapa pun pintarnya menyembunyikan, baik dosa zahir yang dikerjakan sembunyi-sembunyi maupun dosa batin
yang hanya dibenam dalam hati, asal tersebut dosa. Namun, pada hakikatnya pasti mendapat balasan juga. Baik balasan dunia ini karena rahasia terbuka atau kekacauan pikiran sendiri karena dikejar dosa sehingga bertambah lama bertambah kusut. Atau seorang pezina mendapat sakit sifilis, seorang pemabuk menjadi rusak jantungnya, mencuri, lalu kedapatan, tertangkap basah, dan lain-lain. Kadang-kadang dosa ayah ditanggungkan juga akibatnya oleh anak. Seumpama seorang sakit sifilis, mata anaknya buta sedari lahir atau istrinya sendiri menjadi mandul karena rahimnya hancur oleh bekas kepindahan sifilis suaminya. Dan, banyak lagi bekas yang lain yang diterimanya sementara hidup. Terkadang orangnya sudah bertobat, tetapi bekas kesalahan masih terdapat pada badan. Seumpama seorang pencuri yang telah dipotong tangannya. Sehabis tangan dipotong, dia pun tobat dan menjadi orang yang saleh. Namun, bekas dosanya itu masih dibawanya juga ke mana pun dia pergi, dengan tangan yang hilang. Apatah lagi kelak di akhirat. Dosa akan berbalasan. Janganlah mencoba hendak bermain-main dengan dosa, sebab mata Allah selalu melihat.
Ayat 121
“Dan janganlah kamu makan dari apa yang tidak disebutkan nama Allah atasnya. Sesungguhnya, … adalah suatu kedurhakaan."
Akhirnya, janganlah kamu makan suatu penyembelihan yang tidak disebut padanya nama Allah, artinya makanan yang disembelih untuk berhala karena makanan itu timbul dari suatu ibadah kemusyrikan Kedurhakaan arti dari fasik. Sebab, penyembelihan itu sudah terang-terang dikerjakan karena mendurhakai Allah, tersebab mempersekutukan yang lain dengan Allah.
“Dan, sesungguhnya setan-setan itu membisikkan kepada pengikut-pengikut mereka supaya mereka membantah kamu. Dan jika kamu menuruti kepada mereka, sesungguhnya musyriklah kamu."
(ujung ayat 121)