Ayat
Terjemahan Per Kata
وَلِتَصۡغَىٰٓ
dan supaya cenderung
إِلَيۡهِ
kepadanya (bisikan)
أَفۡـِٔدَةُ
hati
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
لَا
tidak
يُؤۡمِنُونَ
beriman
بِٱلۡأٓخِرَةِ
kepada hari akhirat
وَلِيَرۡضَوۡهُ
dan supaya senang kepadanya
وَلِيَقۡتَرِفُواْ
dan supaya mereka kerjakan
مَا
apa
هُم
mereka
مُّقۡتَرِفُونَ
orang-orang yang mengerjakan
وَلِتَصۡغَىٰٓ
dan supaya cenderung
إِلَيۡهِ
kepadanya (bisikan)
أَفۡـِٔدَةُ
hati
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
لَا
tidak
يُؤۡمِنُونَ
beriman
بِٱلۡأٓخِرَةِ
kepada hari akhirat
وَلِيَرۡضَوۡهُ
dan supaya senang kepadanya
وَلِيَقۡتَرِفُواْ
dan supaya mereka kerjakan
مَا
apa
هُم
mereka
مُّقۡتَرِفُونَ
orang-orang yang mengerjakan
Terjemahan
(Setan-setan itu saling membisikkan perkataan yang indah juga) agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman pada akhirat tertarik pada bisikan itu serta menyenanginya, dan agar mereka melakukan apa yang biasa mereka (setan-setan itu) lakukan.
Tafsir
(Dan juga agar mau mendengar) diathafkan kepada Lafal ghuruuran; artinya agar mau cenderung (kepada bisikan itu) yakni godaan tersebut (hati kecil) hati sanubari (orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat dan agar mereka merasa senang kepadanya dan supaya mereka mau mengerjakan) (apa yang setan-setan itu kerjakan) yaitu berupa perbuatan-perbuatan dosa sehingga mereka mendapat siksaan karenanya.
Tafsir Surat Al-An'am: 112-113
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yang terdiri dari setan-setan manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah untuk menipu (manusia). Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak melakukannya, maka biarkanlah mereka bersama (kebohongan) yang mereka ada-adakan.
Dan agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat, tertarik kepada bisikan itu dan menyenanginya, dan supaya mereka mengerjakan apa yang mereka (setan) kerjakan.
Ayat 112
Allah ﷻ berfirman, "Sebagaimana Kami jadikan untukmu wahai Muhammad, musuh-musuh yang menolak, memusuhi dan menentangmu, Kami jadikan pula bagi setiap nabi yang ada sebelummu musuh-musuh tersebut. Karena itu janganlah engkau bersedih hati akan hal ini."
Ayat ini semakna dengan apa yang disebut di dalam ayat lain melalui firman-Nya:
“Jika mereka mendustakan kamu, maka Sesungguhnya Rasul-rasul sebelum kamu pun telah didustakan (pula).” (Ali Imran 184)
“Dan sesungguhnya rasul-rasul sebelum kamu pun telah didustakan, tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka.” (Al-An'am: 34), hingga akhir ayat.
“Tidaklah ada yang dikatakan (oleh orang-orang kafir) kepadamu tidak lain adalah apa yang telah dikatakan kepada rasul-rasul sebelummu. Sungguh, Tuhanmu mempunyai ampunan dan azab yang pedih.” (Fushshilat: 43)
“Dan seperti itulah, telah Kami adakan bagi tiap-tiap nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa.” (Al-Furqan: 31), hingga akhir ayat.
Waraqah ibnu Naufal pernah berkata kepada Rasulullah ﷺ: Sesungguhnya tiada seseorang pun yang datang dengan membawa hal yang sama dengan apa yang engkau bawa, tanpa mendapatkan permusuhan.
Adapun firman Allah ﷻ: “Yang terdiri dari setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin.” (Al-An'am: 112)
Ayat ini berkedudukan sebagai badal dari firman-Nya yang mengatakan, “Aduwwan” (musuh). Dengan kata lain, para nabi itu mempunyai musuh yaitu setan-setan dari kalangan manusia dan jin. Definisi setan ialah orang yang mempunyai perilaku yang buruk dan jahat. Dan tiada yang memusuhi para rasul kecuali setan-setan dari kalangan manusia dan jin. Semoga Allah melaknat dan memburukkan mereka.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya: “Setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin.” (Al-An'am: 112)
Bahwa dari kalangan makhluk jin terdapat setan-setan, dan dari kalangan manusia terdapat setan-setannya pula. Sebagian dari mereka membisikkan kepada sebagian yang lain.
Qatadah mengatakan, telah sampai kepadaku suatu berita yang menyatakan bahwa di suatu hari Abu Dzar hendak melakukan shalat, maka Nabi ﷺ bersabda: “Wahai Abu Dzar, mintalah perlindungan (kepada Allah) dari (gangguan) setan-setan dari kalangan manusia dan jin!” Abu Dzar bertanya, "Apakah dari kalangan manusia terdapat orang-orang yang menjadi setan?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Ya." Predikat hadits ini munqathi’ antara Qatadah dan Abu Dzar.
Tetapi hadits ini telah diriwayatkan pula melalui jalur lain dari Abu Dzar Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Musanna, menceritakan kepada kami Abu Saleh, menceritakan kepadaku Mu'awiyah ibnu Saleh, dari Abu Abdullah Muhammad ibnu Ayyub dan guru-guru lainnya, dari Ibnu Aiz, dari Abu Dzar yang menceritakan: Saya datang kepada Rasulullah ﷺ di suatu majelis, dalam majelis itu Rasulullah ﷺ duduk dalam waktu yang cukup lama. Lalu beliau bersabda, "Wahai Abu Dzar, apakah kamu sudah shalat?" Saya menjawab, "Belum, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, "Berdirilah dan lakukanlah shalat dua rakaat!" Setelah selesai saya datang dan duduk lagi bersama beliau, lalu beliau bersabda, "Wahai Abu Dzar, apakah engkau meminta perlindungan kepada Allah dari godaan setan-setan dari kalangan jin dan manusia?" Saya menjawab, "Tidak wahai Rasulullah. Tetapi apakah ada setan dari kalangan manusia?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Ya, bahkan mereka lebih jahat daripada setan dari kalangan jin."
Hadits ini pun berpredikat munqathi’ (ada nama perawi yang tidak disebutkan sehingga mata rantainya terputus), tetapi diriwayatkan pula secara muttasil (lawan munqathi’), seperti yang dikatakan oleh Imam Ahmad. Ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Al-Mas'udi, telah mewartakan kepada kami Abu Umar Ad-Dimasyqi, dari Ubaid ibnul Husaihas, dari Abu Dzar yang menceritakan: Saya datang kepada Nabi ﷺ yang sedang berada di dalam masjid, lalu saya duduk, maka beliau ﷺ bersabda, "Wahai Abu Dzar, apakah engkau telah shalat?” Saya menjawab, "Belum.” Beliau bersabda, "Berdirilah dan shalatlah!" Lalu saya berdiri dan shalat, setelah itu saya duduk kembali. Maka beliau ﷺ bersabda, "Wahai Abu Dzar, apakah engkau meminta perlindungan kepada Allah dari kejahatan setan dari kalangan manusia dan jin?" Saya bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah dari kalangan manusia ada yang menjadi setan?” Beliau ﷺ menjawab, "Ya.” Hingga akhir hadits yang cukup panjang.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh An-Hafidzh Abu Bakar ibnu Murdawaih di dalam tafsirnya melalui hadits Ja'far ibnu Aun, Yala ibnu Ubaid, dan Ubaidillah ibnu Musa, ketiga-tiganya dari Al-Masudi dengan sanad yang sama. Jalur lain dari Abu Dzar. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Musanna, menceritakan kepada kami Al-Hajjaj, menceritakan kepada kami Hammad, dari Humaid ibnu Hilal, telah menceritakan kepadaku seorang lelaki dari kalangan ulama Dimasyq, dari Auf ibnu Malik, dari Abu Dzar, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: "Wahai Abu Dzar, apakah engkau telah memohon perlindungan kepada Allah dari kejahatan setan manusia dan setan jin?” Saya bertanya,”Wahai Rasulullah, apakah dari kalangan manusia ada yang menjadi setan?” Nabi ﷺ menjawab, "Ya.”
Jalur lain bagi hadits ini. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Auf Al-Himsi, menceritakan kepada kami Abul Mugirah, menceritakan kepada kami Mu'az ibnu Rifa'ah, dari Ali ibnu Yazid, dari Al-Qasim, dari Abu Umamah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: "Wahai Abu Dzar, apakah engkau telah meminta perlindungan (kepada Allah) dari setan-setan jin dan manusia?” Abu Dzar bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah manusia itu ada yang menjadi setan?” Nabi ﷺ menjawab, “Ya. setan-setan dari jenis manusia dan dari jenis jin. Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah-indah sebagai tipuan." Demikianlah jalur-jalur periwayatan hadits ini yang keseluruhannya menyimpulkan kekuatan dan kesahihannya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Waki', menceritakan kepada kami Abu Na'im, dari Syarik, dari Sa'id ibnu Masruq, dari Ikrimah sehubungan dengan makna firman-Nya:
“Setan-setan dari (jenis) manusia dan (dari jenis) jin.” (Al-An'am: 112)
Bahwa pada kalangan manusia tidak terdapat setan-setan, tetapi setan-setan dari jenis jin membisikkan kepada setan-setan dari jenis manusia, dan setan-setan dari jenis manusia membisikkan kepada setan-setan dari jenis jin.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Haris, menceritakan kepada kami Abdul Aziz, menceritakan kepada kami Israil, dari As-Suddi, dari Ikrimah sehubungan dengan firman-Nya:
“Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah untuk menipu (manusia).” (Al-An'am: 112)
Manusia itu mempunyai setan dan jin mempunyai setan, lalu setan jin membisikkan kepada setan manusia.
Maka sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah untuk menipu (manusia).
Asbat mengatakan dari As-Suddi, dari Ikrimah sehubungan dengan makna firman-Nya:
“Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain.” (Al-An'am: 112)
Adapun yang dimaksud dengan setan-setan dari jenis manusia ialah setan-setan yang menyesatkan orang lain, dan setan-setan dari jenis jin ialah yang menyesatkan jin lainnya. Keduanya bertemu, lalu saling mengatakan kepada temannya, "Sesungguhnya aku telah menyesatkan temanku dengan cara demikian dan demikian, maka sesatkanlah temanmu itu dengan cara demikian dan demikian." Maka sebagian dari mereka memberitahukan cara-cara menyesatkan kepada sebagian yang lain.
Dari sini Ibnu Jarir berpemahaman, yang dimaksud dengan setan-setan dari jenis manusia yang dijelaskan pada Ikrimah dan As-Suddi ialah setan-setan dari jenis jin. Merekalah yang berperan menyesatkan manusia. Pengertiannya adalah bahwa setan-setan dari jenis manusia bukan termasuk dari kalangan mereka. Memang tidak diragukan lagi, hal ini jelas dinyatakan dari perkataan Ikrimah. Mengenai perkataan As-Suddi, tidak sama dengan pemahaman ini, tetapi hanya mempunyai kemiripan.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan hal yang semisal dari Ibnu Abbas melalui riwayat Adh-Dhahhak, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Sesungguhnya dari kalangan jin terdapat setan-setan yang menyesatkan sejenisnya, sebagaimana setan-setan dari kalangan manusia menyesatkan sesamanya." Kemudian Ibnu Abbas mengatakan, "Lalu keduanya (yakni setan dari kalangan manusia dan setan dari kalangan jin) bertemu dan mengatakan kepada pihak lainnya, 'Saya telah menyesatkannya dengan cara demikian dan demikian'."
Hal inilah yang dimaksudkan oleh firman Allah ﷻ:
“Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (Al-An'am: 112)
Pada garis besarnya pendapat yang shahih adalah apa yang telah disebutkan oleh hadits Abu Dzar yang lalu, yang menyatakan bahwa sesungguhnya dari jenis manusia terdapat setan-setan dari kalangan mereka sendiri. Pengertian setan ialah segala sesuatu yang bersifat membangkang. Karena itu, disebutkan di dalam hadits shahih Muslim dari Abu Dzar, bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Anjing hitam adalah setan.” Makna yang dimaksud hanya Allah Yang lebih mengetahui bahwa pada hewan anjing terdapat pula setan-setan.
Ibnu Juraij mengatakan, Mujahid telah mengatakan sehubungan dengan tafsir ayat ini, bahwa jin kafir adalah setan-setannya. mereka membisikkan kepada setan-setan dari kalangan manusia (yakni orang-orang kafir) perkataan yang indah untuk menyesatkan manusia.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari Ikrimah yang mengatakan bahwa ia pernah berkunjung kepada Al-Mukhtar, dan Al-Mukhtar menghormati kedatangannya dan mendudukkannya hingga hampir tiba saat istirahat malam hari baginya. Ikrimah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Al-Mukhtar berkata kepadanya, "Keluarlah kamu dan temuilah orang-orang, lalu berbicaralah dengan mereka." Lalu aku (Ikrimah) keluar dan ada seorang lelaki datang, kemudian bertanya, "Bagaimanakah pendapatmu dengan wahyu itu?" Saya jawab bahwa wahyu itu ada dua macam, yaitu pertama disebutkan oleh firman-Nya:
“Dengan mewahyukan Al-Qur'an ini kepadamu.” (Yusuf: 3)
Dan oleh firman-Nya: “Setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah sebagai tipuan.” (Al-An'am: 112)
Mendengar jawabanku mereka hampir saja memukuliku, tetapi aku katakan kepada mereka, "Mengapa kalian bersikap demikian? Sesungguhnya aku hanya memberi fatwa kepada kalian dan sebagai tamu kalian." Akhirnya mereka melepaskan diriku. Sesungguhnya Ikrimah menyindir Al-Mukhtar, anak lelaki Abu Ubaid, semoga Allah memburukkan rupanya karena dia mendakwakan bahwa dirinya kedatangan wahyu. Padahal saudara perempuannya (yaitu Safiyyah) adalah istri Abdullah ibnu Umar, termasuk seorang wanita saleh.
Ketika Abdullah ibnu Umar mendapat berita bahwa Al-Mukhtar mengakui dirinya mendapat wahyu, maka Abdullah ibnu Umar berkata, "Dia benar." Allah ﷻ telah berfirman:
“Sesungguhnya setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya.” (Al-An'am: 121)
Adapun firman Allah ﷻ:
“Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah sebagai tipuan.” (Al-An'am: 112) Maksudnya, sebagian dari mereka membisikkan kata-kata yang indah lagi penuh kepalsuan untuk menipu pendengarnya dari kalangan orang-orang yang tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
“Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak melakukannya.” (Al-An'am: 112)
Yang demikian itu terjadi karena takdir Allah, keputusan, kehendak serta kemauan-Nya, bahwa setiap nabi mempunyai musuh dari kalangan mereka yang disebutkan di atas.
“Maka tinggalkanlah mereka.” (Al-An'am: 112)
Maksudnya, biarkanlah mereka.
“Dan apa yang mereka ada-adakan.” (Al-An'am: 112)
Yaitu kebohongan yang mereka buat. Dengan kata lain, abaikan saja gangguan mereka dan bertawakallah kepada Allah dalam menghadapi permusuhan mereka. Karena sesungguhnya Allah akan mencukupimu dan menolongmu dalam menghadapi mereka.
Ayat 113
Firman Allah ﷻ: “Agar tertarik kepada bisikan itu.” (Al-An'am: 113)
Yakni cenderung kepadanya. Demikianlah menurut Ibnu Abbas.
“Hati hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat.” (Al-Anam: 113)
Yaitu hati, akal, dan pendengaran mereka. Menurut pendapat As-Suddi, makna yang dimaksud ialah hati orang-orang kafir.
“Dan (supaya mereka) menyenanginya.” (Al-An'am: 113) Maksudnya, menyukai dan menginginkannya. Sesungguhnya orang-orang seperti itu hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada hari akhirat. Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam firman-Nya:
“Maka sesungguhnya kalian dan apa-apa yang kalian sembah itu, tidak dapat menyesatkan (seseorang) terhadap Allah, kecuali orang-orang yang akan masuk neraka yang menyala-nyala.” (Ash-Shaffat: 161-163)
“Sesungguhnya kalian benar-benar dalam keadaan berbeda-beda pendapat, dipalingkan darinya (Rasul dan Al-Qur'an) orang yang dipalingkan.” (Adz-Dzariyat: 8-9)
Adapun firman Allah ﷻ: “Dan supaya mereka mengerjakan apa yang mereka (setan) kerjakan.” (Al-Anam: 113)
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah supaya mereka menghasilkan apa yang telah dihasilkan oleh setan-setan itu. Sedangkan menurut As-Suddi dan Ibnu Zaid ialah agar mereka mengerjakan apa yang dikerjakan oleh setan-setan itu.
Dan agar hati kecil orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat, tertarik kepada bisikan itu, karena kerapuhan iman mereka, dan bukan cuma tertarik, tetapi juga menyenanginya, mereka rela dan senang terhadap apa yang mereka dengar, dan agar mereka melakukan apa yang biasa mereka lakukan. Keimanan kepada hari akhir adalah benteng yang bisa menjaga manusia dari godaan setan. Jika tidak, manusia bisa melakukan apa saja, mengikuti hawa nafsunya sendiri. Dia tidak merasa harus bertanggung jawab terhadap perbuatannya itu di akhirat kelakKemudian Nabi Muhammad diperintahkan untuk berkata kepada kaum musyrik tentang siapa yang pantas untuk menjadi hakim yang menentukan benar atau salahnya suatu persoalan. Pantaskah aku mencari hakim selain Allah untuk memutuskan siapa di antara kita yang benar, padahal Dialah yang menurunkan Kitab Al-Qur'an kepadamu secara rinci tentang sesuatu yang hak dan yang batil, yang bagus dan yang buruk, yang halal dan yang haram' Orang-orang yang telah Kami beri kitab seperti orang Yahudi dan Nasrani mengetahui benar melalui kitabkitab yang diturunkan kepada mereka dan apa yang diceritakan oleh nabi-nabi mereka, bahwa Al-Qur'an itu diturunkan dari Tuhanmu dengan benar. Maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu terhadap apa yang diwahyukan Allah kepadamu, wahai Rasul. Ungkapan ini ditujukan kepada pengikutnya, karena sesungguhnya Rasulullah sama sekali tidak ragu terhadap wahyu Allah dan kebenaran agama Islam.
Setan membisikkan kata-kata yang penuh tipu daya kepada orang-orang yang akan disesatkannya agar mereka tidak percaya adanya kehidupan akhirat dan agar mereka cenderung pada bisikan-bisikan itu, lalu mereka tertarik untuk mengikuti apa yang dibisikkan. Adapun orang-orang yang menyadari bahwa setiap perbuatannya pasti harus dipertanggungjawabkan, dia tidak akan tertipu oleh bisikan-bisikan setan, walaupun setan-setan itu berusaha keras untuk mempengaruhi mereka agar mengerjakan apa yang dibisikan.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 111
“Dan, walaupun Kami turunkan kepada mereka malaikat dan Kami percakapkan pada mereka orang mati, dan Kami kumpulkan atas mereka segala sesuatu berhadapan, niscaya tidaklah mereka akan beriman."
Pernah juga timbul usul dari kalangan mereka supaya diperlihatkan kepada mereka malaikat itu, sebagaimana yang telah tersebut pada ayat kedelapan yang lalu. Meskipun kehendak mereka itu dikabulkan lalu malaikat itu diperlihatkan kepada mereka, tidak juga mereka akan beriman. Dan, pernah juga mereka menolak kepercayaan pada hari Kiamat sebab belum ada orang mati kembali hidup buat menerangkan keadaan hidup di seberang kubur itu. Pada ayat ini diterangkan, walaupun ada orang mati dihidupkan kembali, disuruh bercakap-cakap dengan mereka, tidak juga mereka akan percaya. Atau, dikumpulkan beberapa tanda lain dari kebesaran Allah, mukjizat yang memperlihatkan hal yang luar biasa, tidak jugalah mereka akan percaya. Sebab pada ayat 110 yang lalu sudah diterangkan bahwa di dalam kesesatan itu mereka akan kebingungan terus dan hati mereka akan berpaling-paling dibawa oleh segala macam perpalingan buat menolak segala kenyataan itu.
Akan ada saja alasan mereka untuk membantahnya.
Apa sebabnya mereka tidak akan beriman?
Sebabnya ialah bahwa yang tertutup itu adalah hati itu sendiri. Mereka meminta supaya malaikat diperlihatkan. Kalau malaikat sudah diperlihatkan, apakah mereka benar-benar akan beriman? Atau misalnya ada orang mati hidup kembali dan datang bercakap-cakap dengan mereka, apakah mereka akan mau percaya? Tidak! Sebab, yang tertutup itu adalah hati. Permintaan mereka yang berbagai ragam itu saja sudah menunjukkan bahwa hati merekalah yang tertutup. Hati merekalah yang bimbang dan ragu buat taat.
Banyak orang yang hatinya langsung beriman, wa;aupun mukjizat tidak didatangkan. Sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ kebanyakan beriman pada ajaran Rasulullah bukanlah karena mukjizat melainkan karena terbuka hati mereka menerima kedatangan agama. Abu Bakar ash-Shiddiq sendiri menerima Islam bukanlah karena mukjizat Rasulullah ﷺ melainkan karena hati dan pikirannya dapat menerima keterangan agama yang disampaikan Nabi. Kemudian, setelah Nabi ﷺ menerangkan bahwa dia telah melakukan Isra' dan Mi'raj tadi malam, dia menyatakan percaya saja. Mukjizat Nabi Shaleh dengan unta Allah yang terkenal. Unta itu adalah permintaan dari kaumnya sendiri. Permintaan itu dikabulkan, tetapi kemudian unta itu mereka sembelih.
Di ujung ayat diterangkan, “Kecuali bahwa Allah menghendakiKalau ayat sudah dikunci dengan kata begini, bukanlah menunjukkan bahwa orang yang telah dicap Allah hatinya itu dengan kekufuran, niscaya soal kufur ini diserahkan saja kepada takdir Allah sehingga kita menjadi Jabariyyah. Lalu, kita pahamkan bahwa betapa pun hebatnya kekufuran mereka, kalau Allah menghendaki, sebentar saja bisa berubah, walaupun tidak menempuh hukum-hukum sunnatullah. Sekali kembali bukanlah mempermudah arti maksud ayat yang memakai tutup masyi-atillah ini. Di dalam percakapan sehari-hari kita juga banyak memakai ungkapan seperti ayat ini. Misalnya, seorang sakit keras dan hampir meninggal, dan tanda-tanda bahwa dia akan mati sudah tampak, tinggal menunggu saatnya lagi. Kita berkata, “Si Fulan sudah dalam sakaratulmaut, tidak ada harapan hidup lagi kecuali kalau datang ketentuan lain dari Allah." Dengan demikian, tidak ada lagi kita yang mengharap bahwa dia akan sembuh dan duduk kembali. Kalau dia sembuh kembali, kita pandanglah itu suatu keajaiban yang luar biasa, yang cuma Allah saja yang dapat membuatnya. Lain, tidak! Atau, satu perumpamaan lain, pada sebuah kampung yang rumah-rumahnya sangat berdempet-dempet dan sesak, sedangkan hari musim ke-marau, tengah hari tepat, tiba-tiba terbakar dapur dari sebuah rumah diridirig pelupuh dan atap rumbia. Dalam setengah jam saja, seluruh rumah itu telah habis dimakan api, dan mulai menjalar ke rumah-rumah di kiri-kanannya. Padahal, telepon untuk memberitahukan adanya kebakaran tidak ada di kampung itu dan gardu polisi sangat jauh. Tempat melapor dan tempat pemadam kebakaran lebih jauh lagi. Api dalam waktu belum cukup satu jam telah menghabiskan sepuluh buah rumah. Orang-orang yang melihat telah memastikan bahwa dalam tempo dua jam kampung ini pasti habis kecuali kalau datang takdir Allah yang tidak disangka-sangka sehingga api padam dengan sendirinya. Kemungkinan yang demikian itu ada saja, misalnya turun hujan lebat yang luar biasa, bagai dicurahkan dari langit. Meskipun kemungkinan itu ada, tetapi dalam kenyataan-nya kampung itu akan musnah.
Memang, segala sesuatu ini pada hakikatnya bergantung sangat pada kehendak Allah. Di dalam ayat 103, di akhir juz ke-7 yang lalu telah dijelaskan oleh Allah bahwa Allah itu tidak dapat ditinjau dengan penglihatan kita yang terbatas ini, tetapi sebaliknya, segala pandangan dan tinjauan kita dapat diduga oleh Allah.
Umar bin Khaththab, seorang kafir besar pada mulanya, bahkan pernah bermaksud hendak membunuh Nabi. Hanya satu kali membaca catatan ayat Al-Qur'an yang ada dalam tangan adik perempuannya, pada saat itu juga telah langsung beriman. Maksudnya, yang tadiriya hendak membunuh Nabi, berganti dengan maksud mencari Nabi sampai dapat, untuk minta diterima menjadi seorang Muslim.
Abdullah bin Salam, seorang Yahudi di Madiriah, ketika Rasulullah saw, baru datang ke Madiriah, dia turut dibawa arus orang banyak untuk menemui Rasulullah dan ingin melihat wajahnya. Setelah didengarnya Rasulullah ber-cakap, tergoreslah satu kesan dalam hatinya bahwa orang yang seperti ini tidak mungkin berdusta. Orang ini pasti bercakap benar lalu dia pun masuk Islam.
Hati orang-orang seperti Umar bin Khath-thab dan Abdullah bin Salam itu telah kosong terlebih dahulu dari prasangka. Oleh karena itu, mudahlah masuk iman ke dalamnya. Oleh sebab itu, kehendak Allah, atau masyi-atillah tidaklah terlepas dari penentuan nasib manusia.
Kita banyak bertemu teman yang waktu mudanya menjadi orang yang menentang agama dengan terang-terangan. Bahkan, merasa bangga dan merasa dirinya seorang intelektual sebab dia membantah agama. Tiba-tiba setelah bertemu lagi beberapa tahun di belakang, dia telah bertukar menjadi seorang yang saleh dan fanatik beragama. Ada seorang doktor yang pendidikannya sangat jauh dari agama dan karena pergaulannya (milieunya) memandang bahwa hidup beragama itu hanyalah kehidupan orang-orang yang tidak terpelajar, tetapi beberapa tahun di belakang berubah menjadi seorang yang saleh. Sebabnya mudah saja. Dia ditunjuk oleh pemerintah jadi anggota rombongan kesehatan orang haji ke Mekah. Karena tugas jawatan, terpaksa juga dia ke Mekah. Namun, sampai di Mekah, terlepaslah dia, di luar kesadarannya daripada kungkungan apa yang dikatakannya rasio (akal) itu, lalu dia terjun ke dalam hidup kerohanian dan merasakan nikmat jiwa yang tiada tepermanai, yang belum pernah dirasainya selama ini, walaupun hidupnya sangat mewah.
Ini pun menunjukkan bahwa tertariknya seorang ke dalam suasana iman, besar juga hu-bungannya dengan kehendak Allah. Oleh sebab itu, kepercayaan kepada adanya Allah itulah yang perlu lebih dahulu dipupuk. Meskipun pada mulanya hanya semata-mata kepercayaan saja.
Lalu di ujung ayat diterangkan,
“Tetapi, kebanyakkan mereka Itu tidak tahu."
Ujung ayat inilah yang memperkuat penafsiran kita tadi. Kebanyakan mereka tidak tahu, bodoh, jahil, tidak memerhatikan sun-natullah. Yaitu bahwa bukanlah mukjizat itu yang akan dapat mengubah sikap jiwa yang telah dicap Allah karena kesalahan sendiri itu. Menurut setengah ahli tafsir, ujung ayat ini yaitu sebagai perangsang kepada orang-orang yang beriman, yang kurang memerhatikan adanya sunnatullah. Orang Mukmin itu menyangka, kalau sudah ada mukjizat, tentu orang-orang kafir itu akan segera beriman. Padahal, datangnya iman kepada hati yang kafir, bukan karena dibukakan oleh suatu mukjzat, melainkan kalau dalam hati itu sendiri telah tersedia persiapan penampung iman. Sebelum kaum musyrikin itu beriman, sudah banyak terlebih dahulu sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ yang beriman bukan karena suatu mukjizat, melainkan karena di dalam jiwa sudah ada persediaan menerima. Orang yang mempunyai persediaan yang demikian telah memandang bahwa seluruh alam ini adalah mukjizat. Kejadian langit dan bumi, edaran matahari dan bulan, semuanya itu adalah mukjizat yang membuktikan tentang adanya Khalik penciptanya.
Ayat 112
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi Itu ada musuh, setan-setan, manusia, dan jin"
Di pangkal ayat ini Allah telah menegaskan suatu sunnatullah, yaitu bila seseorang nabi atau rasul telah diutus Allah, sudah pasti bahwa ada musuh-musuhnya, ialah dari setan-setan, manusia, dan jin. Musuh kasar dan musuh halus. Dengan pangkal ayat yang berbunyi, “Dan, demikianlah," berarti bahwa Allah menjelaskan bahwa setiap nabi pelopor cita-cita menegakkan kebenaran itu sudah sewajarnya mendapat musuh, mendapat penghalang dan penghambat. Disebutkan Allah sifat-sifat kelakuan setan-setan dan jin dan manusia itu, yaitu, “Membisikkan setengah mereka kepada yang setengah, kata-kata yang lemak manis sebagai tipu daya."
Kita telah biasa memahami bahwa setan-setan itu bertubuh halus, sebangsa jin yang tidak kelihatan. Makhluk-makhluk itu akan mengganggu setiap orang yang berbuat baik. Namun, dalam ayat ini telah dijelaskan bahwasanya setan-setan itu bukan semata-mata jin halus saja, bahkan ada juga setan-setan kasar, yaitu manusia-manusia yang perangainya seperti perangai setan. Mengganggu, menyakiti, menghalangi, dan menghambat.
Di dalam ayat ini, didahulukan menyebut manusia, baru menyebut jin. Di dalam surah an-Naas, surah terakhir dalam Al-Qur'an, di ayat penutup didahulukan menyebut jin daripada menyebut manusia. Dalam ayat yang tengah kita tafsirkan ini, telah diterangkan setengah daripada cara-cara mereka bekerja, yaitu berbisik-bisik, yang setengah membisikkan kepada yang setengah, setengah manusia setan berbisik kepada manusia setan yang lain, atau setan jin halus membisikkan kepada manusia setan kasar, kata-kata lemak manis yang pada lahirnya seperti madu, padahal setelah dirasakan ternyata bahwa dia adalah empedu. Isinya tipu daya belaka.
Dapatlah kita melihat dan mengalami, betapa manusia-manusia sebagai setan kasar membuat hasutan ke sana-kemari, membuat fitnah untuk memutarbalikkan keadaan, agar orang diyakinkan bahwa yang benar adalah salah dan yang salah adalah benar. Yang, kalau lama-lama telah dihembuskan racun fitnah itu, orang pun mulai percaya.
Dan, dapat pula kita pahami pengaruh dari jin-jin halus yang masih dipercaya oleh setengah orang yang imannya masih lemah sehingga ada orang yang percaya kepada bunyi burung, untuk meminta advice dan nasihat dalam menjalankan pemerintahan. Malahan, satu waktu di negeri Indonesia ini ada orang-orang yang meminta nasihat pada jelangkung, yaitu memanggil ruh-ruh orang yang telah mati untuk meminta nasihat daripadanya. Dan, apa kata jelangkung itu, mereka percayai.
Pada beberapa ayat dalam Al-Qur'an, diakui adanya jin. Kepercayaan tentang adanya jin ialah termasuk kepercayaan yang pokok. Tidak kurang dari 26 ayat yang menerangkan tentang jin. Malahan di dalam surah ar-Rahinaan, diterangkan asal kejadiannya, yaitu daripada nyala api (ayat 15). Dan, satu surah khusus bernama surah al-Jinn. Baik di dalam surah al-Jinn itu atau dalam surah-surah yang lain, dapatlah kita pahamkan dengan jelas bahwa martabat jin tidak lebih mulia daripada manusia, malahan sama-sama mendapat perintah untuk menyembah Allah. Surah adz-Dzaariyaat ayat 56 menjelaskan untuk beribadah kepada Allah dan berbakti kepada Allah. Ayat ini memberikan derajat yang sama bagi jin dan manusia. Namun, datang ayat-ayat lain lagi memberikan penjelasan bahwa martabat manusia lebih tinggi daripada martabat jin. pada surah al-Baqarah ayat 30 dijelaskan tugas manusia bahwa mereka dijadikan khalifah oleh Allah dan jin tidaklah dijadikan khalifah. Meskipun sama dijadikan buat beribadah kepada Allah, tugas manusia lebih tinggi daripada tugas jin.
Diakui dalam beberapa surah bahwa jin itu pergi mengintip-ngintip dan mencoba-coba mendengarkan perkabaran langit untuk mengetahui rahasia hidup yang ditentukan Allah bagi manusia. Akan tetapi, setiap jin itu mencoba hendak mendengarkan, datanglah bintang Syihab memanah si pengintip itu sehingga mereka jatuh tersungkur hangus. (Lihat surah al-Mulk: 5 dan surah al-jinn: 8-9, dan lain-lain.)
Menurut ayat-ayat itu, jin pencuri pendengaran itu mencoba mendengarkan berita langit. Baru didengarnya separuh, dia sudah kena panah, lalu lari. Yang separuh itulah yang mereka sampaikan kepada tukang tenung dan bisik-bisik jin itulah yang disampaikannya kepada orang yang percaya, dan di sinilah banyak manusia yang disesatkan.
Kagum kita akan peringatan dan isyarat ayat ini. Sebab, suatu waktu apabila aqidah tauhid sudah lemah, pemegang-pemegang pemerintahan sendiri pun percaya pada jin, pada bunyi burung perkutut, pada tuah keris, pada jelangku ng, dan tukang tenung. Bisik desus dukun klinik telah campur menentukan program pemerintahan, padahal bisik desus itu diterimanya dari jin halus, yang bersama dengan setengah manusia, berkumpul jadi satu, menjadi komplot atau gerombolan buat menyusun kata berhias, zukhrufal-qauli, yang penuh dengan tipu daya. Dan, orang yang me-mercayainya kadang-kadang serupa dengan pemain judi. Diberi mereka kemenangan agak dua kali, lalu mereka yakin dan berpegang pada kemenangan itu, meskipun mereka telah kalah sepuluh kali.
Komplotan atau gerombolan setan manusia atau jin itu akan menyusun satu rencana lain untuk membelokkan perhatian orang dari kebenaran yang dijuruskan oleh Rasul. Seorang rasul diutus Allah menyeru manusia menempuh Shirathil-Mustaqim, jalan yang lurus. Dengan demikian, segala setan manusia dan jin itu menyusun pula kata-kata yang penuh tipu daya untuk membelokkan perhatian orang dari jalan yang lurus itu. Mereka mencoba menggariskan jalan yang lain, memujikan, mempropagandakan supaya orang merasa bahwa yang mereka kemukakan itulah yang benar. Inilah tipu daya! Karena, kalau sudah diselidiki kelak dengan saksama, akan ternyata bahwa rencana yang mereka kemukakan itu hanya semata-mata zukhrufal-qauli, yaitu kata-kata yang dihiasi. Zukhruf artinya perhiasan, lebih besar bungkusnya daripada isinya, reklame yang kosong penuh tipu.
Ayat ini adalah pedoman dan peringatan bagi orang yang berjuang di garis depan di dalam menegakkan kebenaran yang dibawa oleh para rasul. Pada zaman Nabi Musa telah kejadian. Beliau menyeru Bani Israil pada tauhid kepada Allah Yang Maha Esa. Samiri pun datang mengemukakan konsep baru, yaitu membuat berhala dari anak sapi. Namun, rencana Samiri hanya laku laris jika Musa sedang tidak berada di rumah. Setelah dia datang, rencana Samiri lumar dengan sendirinya. Pada zaman Nabi Muhammad ﷺ, beberapa orang musyrik telah mencoba hendak menandirigi Al-Qur'an dengan syair-syair dan dongeng.
Sepintas lalu, saran mereka bisa diterima orang,. Namun setelah dituruti agak lama, timbullah rasa bosan karena tidak ada dasarnya. Kadang-kadang gagasan itu hanya berlaku sementara orang masih bodoh, sebab hiasan kata lebih banyak daripada inti kata. Bertambah orang berpikir, bertambah orang muak menuruti.
Pada segala zaman setengah manusia mencoba membuat berbagai “filsafat" buat menandirigi wahyu yang dibawa oleh para rasul. Akhirnya, ternyata bahwa filsafat hanya sebagai menghasta kain sarung dan wahyu tetap kekal dalam kebenarannya. Akhirnya, terpaksa gagasan itu dipertahankan dengan senjata dan diktator. Setelah diktator jatuh, zukhrufal-qauli itu pun hilang keangkerannya.
Oleh sebab itu, datanglah penegasan Allah pada lanjutan ayat, “Dan, jika Tuhan engkau menghendaki, tidaklah mereka berbuat begitu."
Lanjutan ayat ini memberikan napas lega bagi orang Mukmin. Di sini, tegas bahwasanya setan-setan yang terdiri dari setan kasar (manusia) dan setan halus (jin) itu tidaklah mempunyai kekuatan sendiri.
Di atas dari kehendak kemauan mereka, ada lagi kekuasaan tertinggi, yaitu kehendak Allah. Sekali lagi, masyi-atullah.
Di ayat yang sebelumnya sudah diberikan penjelasan pertama, yaitu betapa pun berbagai mukjzat telah dikemukakan, sampai malaikat datang atau sampai orang yang telah mati dapat bercakap, tetapi nur hidayah iman yang akan masuk ke dalam hati seseorang hanya bergantung pada kehendak Allah jua.
Di ayat ini diulangi lagi keterangan ini. Yaitu, walaupun seluruh tenaga jahat yang kasar dan yang halus telah menyusun kata lemak manis penuh hiasan buat menipu, kalau Allah menghendaki, tidaklah mereka akan dapat berbuat apa-apa. Di kedua ayat ini jelaslah bahwa kuasa tertinggi tetap pada Allah. Adapun jalan hidup insani yang telah digariskan Allah dalam alam dunia ini ialah perjuangan di antara buruk dengan baik, di antara yang salah dengan yang benar. Meskipun seorang rasul membawa kebenaran, namun halangan ruh jahat pasti ada, tipu daya yang menghalanginya pasti ada. Namun, tipu daya lemak manis itu tidak akan mempan kalau Allah tidak menghendakinya.
Tentu timbul pertanyaan, “Kalau memang gerombolan jahat itu tidak akan dapat berbuat apa-apa kalau Allah tidak menghendaki, mengapa Allah biarkan juga mereka?" Di sini, tentu orang yang beriman sudah dapat menjawab pertanyaan itu. Allah akan membiarkan mereka kalau pihak orang yang beriman lalai dan lengah. Maksud mereka akan berhasil kalau pihak yang berjuang menegakkan kebenaran tidak berjuang sungguh-sungguh. Itulah sebabnya, Islam tidak bisa tegak kalau jihad terhenti, dan Islam akan kendur kalau semangat jihadnya telah padam. Sebaliknya, apabila semangat iman, takwa dan jihad telah bergelora dalam jiwa Mukmin penegak ajaran Rasul sehingga mereka lebih dekat kepada Allah, niscaya segala rencana jahat, segala tipu daya zukhrufal-qauli pihak lawan itu tidak akan mempan. Mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa.
Oleh sebab itu, penegasan Allah di ujung ayat jelas sekali, yaitu,
“Mereka, biarkanlah mereka dengan apa yang mereka buat-buatkan itu."
Yaftarun artinya ialah rencana palsu yang dibuat-buat, dikarang-karang, yang dasarnya tidak ada sama sekali. Biarkanlah mereka berbuat segala rencana itu dan janganlah bimbang. Asal kamu sudah tahu bahwa setan-setan kasar dan halus itu ada, asal kamu sudah paham bahwa menegakkan sesuatu kebenaran Ilahi selalu menghendaki perjuangan dan kesadaran, sudah cukuplah. Besarkan hatimu dan kuatkan jiwa. Sebab, kalau imanmu telah teguh dan kamu telah lebih dekat kepada Allah, niscaya segala rencana, kata berhias, atau demagogi itu dengan sendirinya akan habis sirna, tidak ada bekasnya di muka bumi.
Lanjutan ayat menjelaskan lagi bahwa usaha setan-setan kasar dan halus itu, mulutnya yang lemak manis, katanya penuh hiasan, tetapi maksudnya hanya menipu, hanya dapat memengaruhi manusia-manusia yang tidak ada dasar. Allah berfirman,
Ayat 113
“Dan, supaya tertonik kepadanya hati orang-orang yang tidak percaya kepada akhirat."
Pangkal ayat ini sudah menjelaskan bahwasanya gagasan kata berhias, tetapi kosong isinya itu hanya dapat menarik atau membuat cenderung hati orang yang tidak mempunyai dasar kepercayaan, orang yang tidak mengenal hari esok, yang pikirannya terlalu pendek dan terbatas."Dan, supaya mereka ridha kepa-da-Nya." Inilah gambaran kelemahan jiwa orang yang tidak mempunyai pegangan kepercayaan. Asal didengarnya mulut manis, dia tertarik dan dia cenderung, akhirnya dia menjadi penganut yang rela menerima. Setelah itu mereka pun mencoba melancarkan apa yang mereka rencanakan. Namun, ujung ayat telah memberikan kepastian, memberikan kesempatan bagi mereka sebab usaha itu tidaklah akan berhasil menghalangi tegaknya kebenaran. Kata ujung ayat,
“Dan, supaya mereka kerjakan keburukan apa yang hendak mereka kerjakan."
(ujung ayat 113)