Ayat

Terjemahan Per Kata
وَلَوۡ
dan kalau
أَنَّنَا
sekiranya Kami
نَزَّلۡنَآ
Kami menurunkan
إِلَيۡهِمُ
kepada mereka
ٱلۡمَلَٰٓئِكَةَ
Malaikat
وَكَلَّمَهُمُ
dan berbicara dengan mereka
ٱلۡمَوۡتَىٰ
orang mati
وَحَشَرۡنَا
dan Kami mengumpulkan
عَلَيۡهِمۡ
atas mereka
كُلَّ
segala
شَيۡءٖ
sesuatu
قُبُلٗا
berhadapan
مَّا
tidak
كَانُواْ
adalah mereka
لِيُؤۡمِنُوٓاْ
akan beriman mereka
إِلَّآ
kecuali
أَن
jika
يَشَآءَ
dikehendaki
ٱللَّهُ
Allah
وَلَٰكِنَّ
akan tetapi
أَكۡثَرَهُمۡ
kebanyakan mereka
يَجۡهَلُونَ
mereka bodoh/tidak mengetahui
وَلَوۡ
dan kalau
أَنَّنَا
sekiranya Kami
نَزَّلۡنَآ
Kami menurunkan
إِلَيۡهِمُ
kepada mereka
ٱلۡمَلَٰٓئِكَةَ
Malaikat
وَكَلَّمَهُمُ
dan berbicara dengan mereka
ٱلۡمَوۡتَىٰ
orang mati
وَحَشَرۡنَا
dan Kami mengumpulkan
عَلَيۡهِمۡ
atas mereka
كُلَّ
segala
شَيۡءٖ
sesuatu
قُبُلٗا
berhadapan
مَّا
tidak
كَانُواْ
adalah mereka
لِيُؤۡمِنُوٓاْ
akan beriman mereka
إِلَّآ
kecuali
أَن
jika
يَشَآءَ
dikehendaki
ٱللَّهُ
Allah
وَلَٰكِنَّ
akan tetapi
أَكۡثَرَهُمۡ
kebanyakan mereka
يَجۡهَلُونَ
mereka bodoh/tidak mengetahui
Terjemahan

Seandainya Kami benar-benar menurunkan malaikat kepada mereka (sebagai saksi kebenaran Rasul), orang yang telah mati pun (Kami hidupkan kembali lalu) berbicara dengan mereka, dan Kami kumpulkan di hadapan mereka segala sesuatu (yang mereka inginkan), mereka tidak juga akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki. Namun, kebanyakan mereka tidak mengetahui (hakikat ini).
Tafsir

(Kalau sekiranya Kami turunkan malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka) seperti apa yang telah mereka minta (dan Kami kumpulkan pula) Kami himpunkan pula (segala sesuatu ke hadapan mereka) dibaca dengan damah kedua huruf permulaannya, jamak dari Lafal qabiil yakni gelombang demi gelombang. Dibaca kasrah huruf qaf-nya serta dibaca fatah huruf ba-nya; artinya: secara terang-terangan sehingga mereka dapat menyaksikan kebenaranmu (niscaya mereka tidak juga akan beriman) karena hal itu telah diketahui oleh Allah sebelumnya (kecuali) melainkan (jika Allah menghendaki) mereka beriman, maka baru mereka dapat beriman (akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui) tentang hal itu.
Kalau sekiranya Kami turunkan malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka, niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman bahwa sekiranya Allah memperkenankan permintaan mereka yang bersumpah dengan menyebut nama Allah dengan sumpah yang penuh kesungguhan, sesungguhnya jika datang kepada mereka suatu mukjizat, pastilah mereka akan beriman kepada mukjizat itu. Allah menurunkan malaikat kepada mereka untuk memberitahukan risalah Allah yang dibawa oleh rasul-rasul-Nya agar mereka percaya kepada rasul-rasul itu.
Seperti yang mereka mintakan, yang disitir dalam firman-Nya: atau kamu datangkan Allah dan malaikat-malaikal dengan berhadapan muka dengan kami. (Al-Isra: 92) Mereka berkata, "Kami tidak akan beriman sehingga diberikan kepada kami yang serupa dengan apa yang telah diberikan kepada utusan-utusan Allah.(Al-An'am: 124) Berkatalah orang-orang yang tidak menanti-nanti pertemuan(nya) dengan Kami, "Mengapakah tidak diturunkan kepada kita malaikat atau (mengapa) kita (tidak) melihat Tuhan kita?" Sesungguhnya mereka memandang besar tentang diri mereka dan mereka benar-benar telah melampaui batas (dalam melakukan) kezaliman. (Al-Furqan: 21) Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka. (Al-An'am: 111) Maksudnya, orang-orang yang telah mati itu memberitahukan kepada mereka tentang kebenaran dari apa yang didatangkan oleh para rasul (dalam dialog mereka dengan para malaikat).
dan Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka. (Al-An'am: 111) Sebagian dari ulama membacanya qibalan, berasal dari kata muqabalah dan mu'ayanah (berhadap-hadapan). Sedangkan ulama yang lainnya membaca qubulan, yang menurut suatu pendapat mempunyai makna yang sama, yaitu berasal dari muqabalah dan mu'ayanah juga, seperti yang diriwayatkan oleh Ali ibnu Abu Talhah dan Al-Aufi, dari Ibnu Abbas. Hal yang sama dikatakan pula oleh Qatadah dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam.
Mujahid mengatakan, makna qubulan ialah bergelombang-gelombang, yakni ditampilkan kepada mereka semua umat secara bergiliran, satu demi satu, lalu para malaikat memberitahukan kepada mereka tentang kebenaran dari apa yang didatangkan oleh para rasul kepada mereka. niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki. (Al-An'am: 111) Dengan kata lain, sesungguhnya hidayah itu hanyalah diberikan oleh Allah, bukan oleh mereka (para malaikat itu), bahkan Allah memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya.
Dia Maha Melakukan semua apa yang dikehendaki-Nya. Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai. (Al-Anbiya: 23) Berkat ilmu-Nya, hikmah-Nya, kekuasaan-Nya, keperkasaan-Nya, dan kemenangan-Nya. Ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka kalimat Tuhanmu, tidak akan beriman, meskipun datang kepada mereka segala macam keterangan, hingga mereka menyaksikan azab yang pedih. (Yunus: 96-97)"
Kaum musyrik berjanji akan beriman kepada Allah jika diturunkan kepada mereka tanda-tanda fisik yang mereka minta. Pada ayat ini dijelaskan bahwa janji tersebut hanya bohong belaka. Dan sekalipun Kami benar-benar menurunkan malaikat kepada mereka, sehingga mereka bisa melihat malaikat dalam wujudnya yang asli dan orang yang telah mati berbicara dengan mereka menceritakan apa yang mereka rasakan di alam kubur dan Kami kumpulkan pula di hadapan mereka segala sesuatu yang mereka inginkan, dan menjelaskan tentang sesuatu yang hak mereka tidak juga akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki. Tapi kebanyakan mereka tidak mengetahui arti kebenaran. Hati mereka tertutup oleh kekufuran, kesombongan, dan keangkuhan.
Untuk menenangkan hati Nabi Muhammad, Allah menjelaskan bahwa adanya penentangan dari berbagai pihak adalah sesuatu yang biasa dihadapi dahulu oleh para nabi dan pembawa kebenaran. Dan demikianlah untuk setiap nabi Kami menjadikan musuh yang terdiri dari setan-setan manusia dan jin, manusia jika sudah dikuasai oleh setan, maka itulah setan yang berwujud manusia, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah sebagai tipuan agar manusia tertarik oleh rayuannya, padahal hal itu akan menjerumuskan orang yang mengikuti ajakannya. Setiap nabi pasti mempunyai musuh. Itu adalah kehendak Allah, sesuai dengan hikmah-Nya. Untuk itu, kalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak akan melakukannya, yaitu tidak akan memusuhi para nabi, dan tidak akan melakukan kebohongan itu, karena semua itu berada dalam kekuasaan Allah. Maka biarkanlah mereka bersama apa, yakni kebohongan, yang mereka adaadakan. Dengan demikian, Allah bisa melihat siapa di antara mereka yang taat dan siapa yang durhaka. Mereka yang ikut bisikan setan pasti akan tahu akibat dari perbuatan mereka. Kemudian Allah menjelaskan lagi tentang hikmah di balik semua itu melalui tiga hal, yaitu tertarik kepada kebatilan yang diembuskan kepada mereka, menyenanginya, dan melakukannya, seperti dijelaskan pada ayat berikut.
Dalam ayat ini diterangkan kepada kaum Muslimin, jika sekiranya Allah berkenan menurunkan malaikat-malaikat kepada kaum musyrik sehingga mereka dapat melihatnya dengan mata kepala mereka sendiri dan dapat mendengar perkataannya dengan telinga mereka sendiri tentang kesaksian para malaikat bahwa Muhammad itu betul-betul utusan Allah, dan sekiranya orang-orang yang telah mati dihidupkan kembali lalu berbicara dengan mereka tentang kebenaran Nabi Muhammad, dan juga sekiranya segala sesuatu baik berupa keterangan Al-Qur'an tentang kebenaran Nabi dan mukjizatnya itu dikumpulkan dan ditampakkan kepada mereka, niscaya mereka tidak beriman, sebagaimana mereka nyatakan dalam sumpah mereka. Mereka meminta tanda-tanda itu bukan untuk mencari petunjuk ke arah iman, melainkan untuk tujuan permusuhan, sehingga apapun yang mereka saksikan selalu mereka anggap sebagai sihir. Jika Allah menghendaki mereka beriman, tentu hati mereka terbuka untuk beriman dengan cara yang sungguh-sungguh. Mereka tidak mengetahui bahwa iman tidak perlu disangkutpautkan dengan melihat tanda-tanda kebenaran, sebab telah menjadi kebenaran umum bahwa keimanan adalah semata-mata anugerah dari Allah Ta'ala. Walaupun kepada orang-orang musyrik telah diperlihatkan tanda-tanda kebenaran Nabi Muhammad, namun hal itu tidak menjadi jaminan mereka benar-benar akan beriman, sebab datangnya keimanan bukanlah dengan paksaan, melainkan karena keikhlasan hati, karunia, taufik dan hidayah dari Allah swt.
Selanjutnya Allah menerangkan bahwa watak orang musyrik itu tidak diketahui oleh kebanyakan kaum Muslimin sehingga mereka meminta kepada Nabi Muhammad untuk memperlihatkan mukjizatnya, dengan harapan agar orang-orang kafir itu beriman. (Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan 'kebanyakan orang yang tidak mengetahui ialah orang-orang kafir).
Ayat 111
“Dan, walaupun Kami turunkan kepada mereka malaikat dan Kami percakapkan pada mereka orang mati, dan Kami kumpulkan atas mereka segala sesuatu berhadapan, niscaya tidaklah mereka akan beriman."
Pernah juga timbul usul dari kalangan mereka supaya diperlihatkan kepada mereka malaikat itu, sebagaimana yang telah tersebut pada ayat kedelapan yang lalu. Meskipun kehendak mereka itu dikabulkan lalu malaikat itu diperlihatkan kepada mereka, tidak juga mereka akan beriman. Dan, pernah juga mereka menolak kepercayaan pada hari Kiamat sebab belum ada orang mati kembali hidup buat menerangkan keadaan hidup di seberang kubur itu. Pada ayat ini diterangkan, walaupun ada orang mati dihidupkan kembali, disuruh bercakap-cakap dengan mereka, tidak juga mereka akan percaya. Atau, dikumpulkan beberapa tanda lain dari kebesaran Allah, mukjizat yang memperlihatkan hal yang luar biasa, tidak jugalah mereka akan percaya. Sebab pada ayat 110 yang lalu sudah diterangkan bahwa di dalam kesesatan itu mereka akan kebingungan terus dan hati mereka akan berpaling-paling dibawa oleh segala macam perpalingan buat menolak segala kenyataan itu.
Akan ada saja alasan mereka untuk membantahnya.
Apa sebabnya mereka tidak akan beriman?
Sebabnya ialah bahwa yang tertutup itu adalah hati itu sendiri. Mereka meminta supaya malaikat diperlihatkan. Kalau malaikat sudah diperlihatkan, apakah mereka benar-benar akan beriman? Atau misalnya ada orang mati hidup kembali dan datang bercakap-cakap dengan mereka, apakah mereka akan mau percaya? Tidak! Sebab, yang tertutup itu adalah hati. Permintaan mereka yang berbagai ragam itu saja sudah menunjukkan bahwa hati merekalah yang tertutup. Hati merekalah yang bimbang dan ragu buat taat.
Banyak orang yang hatinya langsung beriman, wa;aupun mukjizat tidak didatangkan. Sahabat-sahabat Rasulullah saw. kebanyakan beriman pada ajaran Rasulullah bukanlah karena mukjizat melainkan karena terbuka hati mereka menerima kedatangan agama. Abu Bakar ash-Shiddiq sendiri menerima Islam bukanlah karena mukjizat Rasulullah saw. melainkan karena hati dan pikirannya dapat menerima keterangan agama yang disampaikan Nabi. Kemudian, setelah Nabi saw. menerangkan bahwa dia telah melakukan Isra' dan Mi'raj tadi malam, dia menyatakan percaya saja. Mukjizat Nabi Shaleh dengan unta Allah yang terkenal. Unta itu adalah permintaan dari kaumnya sendiri. Permintaan itu dikabulkan, tetapi kemudian unta itu mereka sembelih.
Di ujung ayat diterangkan, “Kecuali bahwa Allah menghendakiKalau ayat sudah dikunci dengan kata begini, bukanlah menunjukkan bahwa orang yang telah dicap Allah hatinya itu dengan kekufuran, niscaya soal kufur ini diserahkan saja kepada takdir Allah sehingga kita menjadi Jabariyyah. Lalu, kita pahamkan bahwa betapa pun hebatnya kekufuran mereka, kalau Allah menghendaki, sebentar saja bisa berubah, walaupun tidak menempuh hukum-hukum sunnatullah. Sekali kembali bukanlah mempermudah arti maksud ayat yang memakai tutup masyi-atillah ini. Di dalam percakapan sehari-hari kita juga banyak memakai ungkapan seperti ayat ini. Misalnya, seorang sakit keras dan hampir meninggal, dan tanda-tanda bahwa dia akan mati sudah tampak, tinggal menunggu saatnya lagi. Kita berkata, “Si Fulan sudah dalam sakaratulmaut, tidak ada harapan hidup lagi kecuali kalau datang ketentuan lain dari Allah." Dengan demikian, tidak ada lagi kita yang mengharap bahwa dia akan sembuh dan duduk kembali. Kalau dia sembuh kembali, kita pandanglah itu suatu keajaiban yang luar biasa, yang cuma Allah saja yang dapat membuatnya. Lain, tidak! Atau, satu perumpamaan lain, pada sebuah kampung yang rumah-rumahnya sangat berdempet-dempet dan sesak, sedangkan hari musim ke-marau, tengah hari tepat, tiba-tiba terbakar dapur dari sebuah rumah diridirig pelupuh dan atap rumbia. Dalam setengah jam saja, seluruh rumah itu telah habis dimakan api, dan mulai menjalar ke rumah-rumah di kiri-kanannya. Padahal, telepon untuk memberitahukan adanya kebakaran tidak ada di kampung itu dan gardu polisi sangat jauh. Tempat melapor dan tempat pemadam kebakaran lebih jauh lagi. Api dalam waktu belum cukup satu jam telah menghabiskan sepuluh buah rumah. Orang-orang yang melihat telah memastikan bahwa dalam tempo dua jam kampung ini pasti habis kecuali kalau datang takdir Allah yang tidak disangka-sangka sehingga api padam dengan sendirinya. Kemungkinan yang demikian itu ada saja, misalnya turun hujan lebat yang luar biasa, bagai dicurahkan dari langit. Meskipun kemungkinan itu ada, tetapi dalam kenyataan-nya kampung itu akan musnah.
Memang, segala sesuatu ini pada hakikatnya bergantung sangat pada kehendak Allah. Di dalam ayat 103, di akhir juz ke-7 yang lalu telah dijelaskan oleh Allah bahwa Allah itu tidak dapat ditinjau dengan penglihatan kita yang terbatas ini, tetapi sebaliknya, segala pandangan dan tinjauan kita dapat diduga oleh Allah.
Umar bin Khaththab, seorang kafir besar pada mulanya, bahkan pernah bermaksud hendak membunuh Nabi. Hanya satu kali membaca catatan ayat Al-Qur'an yang ada dalam tangan adik perempuannya, pada saat itu juga telah langsung beriman. Maksudnya, yang tadiriya hendak membunuh Nabi, berganti dengan maksud mencari Nabi sampai dapat, untuk minta diterima menjadi seorang Muslim.
Abdullah bin Salam, seorang Yahudi di Madiriah, ketika Rasulullah saw, baru datang ke Madiriah, dia turut dibawa arus orang banyak untuk menemui Rasulullah dan ingin melihat wajahnya. Setelah didengarnya Rasulullah ber-cakap, tergoreslah satu kesan dalam hatinya bahwa orang yang seperti ini tidak mungkin berdusta. Orang ini pasti bercakap benar lalu dia pun masuk Islam.
Hati orang-orang seperti Umar bin Khath-thab dan Abdullah bin Salam itu telah kosong terlebih dahulu dari prasangka. Oleh karena itu, mudahlah masuk iman ke dalamnya. Oleh sebab itu, kehendak Allah, atau masyi-atillah tidaklah terlepas dari penentuan nasib manusia.
Kita banyak bertemu teman yang waktu mudanya menjadi orang yang menentang agama dengan terang-terangan. Bahkan, merasa bangga dan merasa dirinya seorang intelektual sebab dia membantah agama. Tiba-tiba setelah bertemu lagi beberapa tahun di belakang, dia telah bertukar menjadi seorang yang saleh dan fanatik beragama. Ada seorang doktor yang pendidikannya sangat jauh dari agama dan karena pergaulannya (milieunya) memandang bahwa hidup beragama itu hanyalah kehidupan orang-orang yang tidak terpelajar, tetapi beberapa tahun di belakang berubah menjadi seorang yang saleh. Sebabnya mudah saja. Dia ditunjuk oleh pemerintah jadi anggota rombongan kesehatan orang haji ke Mekah. Karena tugas jawatan, terpaksa juga dia ke Mekah. Namun, sampai di Mekah, terlepaslah dia, di luar kesadarannya daripada kungkungan apa yang dikatakannya rasio (akal) itu, lalu dia terjun ke dalam hidup kerohanian dan merasakan nikmat jiwa yang tiada tepermanai, yang belum pernah dirasainya selama ini, walaupun hidupnya sangat mewah.
Ini pun menunjukkan bahwa tertariknya seorang ke dalam suasana iman, besar juga hu-bungannya dengan kehendak Allah. Oleh sebab itu, kepercayaan kepada adanya Allah itulah yang perlu lebih dahulu dipupuk. Meskipun pada mulanya hanya semata-mata kepercayaan saja.
Lalu di ujung ayat diterangkan,
“Tetapi, kebanyakkan mereka Itu tidak tahu."
Ujung ayat inilah yang memperkuat penafsiran kita tadi. Kebanyakan mereka tidak tahu, bodoh, jahil, tidak memerhatikan sun-natullah. Yaitu bahwa bukanlah mukjizat itu yang akan dapat mengubah sikap jiwa yang telah dicap Allah karena kesalahan sendiri itu. Menurut setengah ahli tafsir, ujung ayat ini yaitu sebagai perangsang kepada orang-orang yang beriman, yang kurang memerhatikan adanya sunnatullah. Orang Mukmin itu menyangka, kalau sudah ada mukjizat, tentu orang-orang kafir itu akan segera beriman. Padahal, datangnya iman kepada hati yang kafir, bukan karena dibukakan oleh suatu mukjzat, melainkan kalau dalam hati itu sendiri telah tersedia persiapan penampung iman. Sebelum kaum musyrikin itu beriman, sudah banyak terlebih dahulu sahabat-sahabat Rasulullah saw. yang beriman bukan karena suatu mukjizat, melainkan karena di dalam jiwa sudah ada persediaan menerima. Orang yang mempunyai persediaan yang demikian telah memandang bahwa seluruh alam ini adalah mukjizat. Kejadian langit dan bumi, edaran matahari dan bulan, semuanya itu adalah mukjizat yang membuktikan tentang adanya Khalik penciptanya.
Ayat 112
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi Itu ada musuh, setan-setan, manusia, dan jin"
Di pangkal ayat ini Allah telah menegaskan suatu sunnatullah, yaitu bila seseorang nabi atau rasul telah diutus Allah, sudah pasti bahwa ada musuh-musuhnya, ialah dari setan-setan, manusia, dan jin. Musuh kasar dan musuh halus. Dengan pangkal ayat yang berbunyi, “Dan, demikianlah," berarti bahwa Allah menjelaskan bahwa setiap nabi pelopor cita-cita menegakkan kebenaran itu sudah sewajarnya mendapat musuh, mendapat penghalang dan penghambat. Disebutkan Allah sifat-sifat kelakuan setan-setan dan jin dan manusia itu, yaitu, “Membisikkan setengah mereka kepada yang setengah, kata-kata yang lemak manis sebagai tipu daya."
Kita telah biasa memahami bahwa setan-setan itu bertubuh halus, sebangsa jin yang tidak kelihatan. Makhluk-makhluk itu akan mengganggu setiap orang yang berbuat baik. Namun, dalam ayat ini telah dijelaskan bahwasanya setan-setan itu bukan semata-mata jin halus saja, bahkan ada juga setan-setan kasar, yaitu manusia-manusia yang perangainya seperti perangai setan. Mengganggu, menyakiti, menghalangi, dan menghambat.
Di dalam ayat ini, didahulukan menyebut manusia, baru menyebut jin. Di dalam surah an-Naas, surah terakhir dalam Al-Qur'an, di ayat penutup didahulukan menyebut jin daripada menyebut manusia. Dalam ayat yang tengah kita tafsirkan ini, telah diterangkan setengah daripada cara-cara mereka bekerja, yaitu berbisik-bisik, yang setengah membisikkan kepada yang setengah, setengah manusia setan berbisik kepada manusia setan yang lain, atau setan jin halus membisikkan kepada manusia setan kasar, kata-kata lemak manis yang pada lahirnya seperti madu, padahal setelah dirasakan ternyata bahwa dia adalah empedu. Isinya tipu daya belaka.
Dapatlah kita melihat dan mengalami, betapa manusia-manusia sebagai setan kasar membuat hasutan ke sana-kemari, membuat fitnah untuk memutarbalikkan keadaan, agar orang diyakinkan bahwa yang benar adalah salah dan yang salah adalah benar. Yang, kalau lama-lama telah dihembuskan racun fitnah itu, orang pun mulai percaya.
Dan, dapat pula kita pahami pengaruh dari jin-jin halus yang masih dipercaya oleh setengah orang yang imannya masih lemah sehingga ada orang yang percaya kepada bunyi burung, untuk meminta advice dan nasihat dalam menjalankan pemerintahan. Malahan, satu waktu di negeri Indonesia ini ada orang-orang yang meminta nasihat pada jelangkung, yaitu memanggil ruh-ruh orang yang telah mati untuk meminta nasihat daripadanya. Dan, apa kata jelangkung itu, mereka percayai.
Pada beberapa ayat dalam Al-Qur'an, diakui adanya jin. Kepercayaan tentang adanya jin ialah termasuk kepercayaan yang pokok. Tidak kurang dari 26 ayat yang menerangkan tentang jin. Malahan di dalam surah ar-Rahinaan, diterangkan asal kejadiannya, yaitu daripada nyala api (ayat 15). Dan, satu surah khusus bernama surah al-Jinn. Baik di dalam surah al-Jinn itu atau dalam surah-surah yang lain, dapatlah kita pahamkan dengan jelas bahwa martabat jin tidak lebih mulia daripada manusia, malahan sama-sama mendapat perintah untuk menyembah Allah. Surah adz-Dzaariyaat ayat 56 menjelaskan untuk beribadah kepada Allah dan berbakti kepada Allah. Ayat ini memberikan derajat yang sama bagi jin dan manusia. Namun, datang ayat-ayat lain lagi memberikan penjelasan bahwa martabat manusia lebih tinggi daripada martabat jin. pada surah al-Baqarah ayat 30 dijelaskan tugas manusia bahwa mereka dijadikan khalifah oleh Allah dan jin tidaklah dijadikan khalifah. Meskipun sama dijadikan buat beribadah kepada Allah, tugas manusia lebih tinggi daripada tugas jin.
Diakui dalam beberapa surah bahwa jin itu pergi mengintip-ngintip dan mencoba-coba mendengarkan perkabaran langit untuk mengetahui rahasia hidup yang ditentukan Allah bagi manusia. Akan tetapi, setiap jin itu mencoba hendak mendengarkan, datanglah bintang Syihab memanah si pengintip itu sehingga mereka jatuh tersungkur hangus. (Lihat surah al-Mulk: 5 dan surah al-jinn: 8-9, dan lain-lain.)
Menurut ayat-ayat itu, jin pencuri pendengaran itu mencoba mendengarkan berita langit. Baru didengarnya separuh, dia sudah kena panah, lalu lari. Yang separuh itulah yang mereka sampaikan kepada tukang tenung dan bisik-bisik jin itulah yang disampaikannya kepada orang yang percaya, dan di sinilah banyak manusia yang disesatkan.
Kagum kita akan peringatan dan isyarat ayat ini. Sebab, suatu waktu apabila aqidah tauhid sudah lemah, pemegang-pemegang pemerintahan sendiri pun percaya pada jin, pada bunyi burung perkutut, pada tuah keris, pada jelangku ng, dan tukang tenung. Bisik desus dukun klinik telah campur menentukan program pemerintahan, padahal bisik desus itu diterimanya dari jin halus, yang bersama dengan setengah manusia, berkumpul jadi satu, menjadi komplot atau gerombolan buat menyusun kata berhias, zukhrufal-qauli, yang penuh dengan tipu daya. Dan, orang yang me-mercayainya kadang-kadang serupa dengan pemain judi. Diberi mereka kemenangan agak dua kali, lalu mereka yakin dan berpegang pada kemenangan itu, meskipun mereka telah kalah sepuluh kali.
Komplotan atau gerombolan setan manusia atau jin itu akan menyusun satu rencana lain untuk membelokkan perhatian orang dari kebenaran yang dijuruskan oleh Rasul. Seorang rasul diutus Allah menyeru manusia menempuh Shirathil-Mustaqim, jalan yang lurus. Dengan demikian, segala setan manusia dan jin itu menyusun pula kata-kata yang penuh tipu daya untuk membelokkan perhatian orang dari jalan yang lurus itu. Mereka mencoba menggariskan jalan yang lain, memujikan, mempropagandakan supaya orang merasa bahwa yang mereka kemukakan itulah yang benar. Inilah tipu daya! Karena, kalau sudah diselidiki kelak dengan saksama, akan ternyata bahwa rencana yang mereka kemukakan itu hanya semata-mata zukhrufal-qauli, yaitu kata-kata yang dihiasi. Zukhruf artinya perhiasan, lebih besar bungkusnya daripada isinya, reklame yang kosong penuh tipu.
Ayat ini adalah pedoman dan peringatan bagi orang yang berjuang di garis depan di dalam menegakkan kebenaran yang dibawa oleh para rasul. Pada zaman Nabi Musa telah kejadian. Beliau menyeru Bani Israil pada tauhid kepada Allah Yang Maha Esa. Samiri pun datang mengemukakan konsep baru, yaitu membuat berhala dari anak sapi. Namun, rencana Samiri hanya laku laris jika Musa sedang tidak berada di rumah. Setelah dia datang, rencana Samiri lumar dengan sendirinya. Pada zaman Nabi Muhammad saw., beberapa orang musyrik telah mencoba hendak menandirigi Al-Qur'an dengan syair-syair dan dongeng.
Sepintas lalu, saran mereka bisa diterima orang,. Namun setelah dituruti agak lama, timbullah rasa bosan karena tidak ada dasarnya. Kadang-kadang gagasan itu hanya berlaku sementara orang masih bodoh, sebab hiasan kata lebih banyak daripada inti kata. Bertambah orang berpikir, bertambah orang muak menuruti.
Pada segala zaman setengah manusia mencoba membuat berbagai “filsafat" buat menandirigi wahyu yang dibawa oleh para rasul. Akhirnya, ternyata bahwa filsafat hanya sebagai menghasta kain sarung dan wahyu tetap kekal dalam kebenarannya. Akhirnya, terpaksa gagasan itu dipertahankan dengan senjata dan diktator. Setelah diktator jatuh, zukhrufal-qauli itu pun hilang keangkerannya.
Oleh sebab itu, datanglah penegasan Allah pada lanjutan ayat, “Dan, jika Tuhan engkau menghendaki, tidaklah mereka berbuat begitu."
Lanjutan ayat ini memberikan napas lega bagi orang Mukmin. Di sini, tegas bahwasanya setan-setan yang terdiri dari setan kasar (manusia) dan setan halus (jin) itu tidaklah mempunyai kekuatan sendiri.
Di atas dari kehendak kemauan mereka, ada lagi kekuasaan tertinggi, yaitu kehendak Allah. Sekali lagi, masyi-atullah.
Di ayat yang sebelumnya sudah diberikan penjelasan pertama, yaitu betapa pun berbagai mukjzat telah dikemukakan, sampai malaikat datang atau sampai orang yang telah mati dapat bercakap, tetapi nur hidayah iman yang akan masuk ke dalam hati seseorang hanya bergantung pada kehendak Allah jua.
Di ayat ini diulangi lagi keterangan ini. Yaitu, walaupun seluruh tenaga jahat yang kasar dan yang halus telah menyusun kata lemak manis penuh hiasan buat menipu, kalau Allah menghendaki, tidaklah mereka akan dapat berbuat apa-apa. Di kedua ayat ini jelaslah bahwa kuasa tertinggi tetap pada Allah. Adapun jalan hidup insani yang telah digariskan Allah dalam alam dunia ini ialah perjuangan di antara buruk dengan baik, di antara yang salah dengan yang benar. Meskipun seorang rasul membawa kebenaran, namun halangan ruh jahat pasti ada, tipu daya yang menghalanginya pasti ada. Namun, tipu daya lemak manis itu tidak akan mempan kalau Allah tidak menghendakinya.
Tentu timbul pertanyaan, “Kalau memang gerombolan jahat itu tidak akan dapat berbuat apa-apa kalau Allah tidak menghendaki, mengapa Allah biarkan juga mereka?" Di sini, tentu orang yang beriman sudah dapat menjawab pertanyaan itu. Allah akan membiarkan mereka kalau pihak orang yang beriman lalai dan lengah. Maksud mereka akan berhasil kalau pihak yang berjuang menegakkan kebenaran tidak berjuang sungguh-sungguh. Itulah sebabnya, Islam tidak bisa tegak kalau jihad terhenti, dan Islam akan kendur kalau semangat jihadnya telah padam. Sebaliknya, apabila semangat iman, takwa dan jihad telah bergelora dalam jiwa Mukmin penegak ajaran Rasul sehingga mereka lebih dekat kepada Allah, niscaya segala rencana jahat, segala tipu daya zukhrufal-qauli pihak lawan itu tidak akan mempan. Mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa.
Oleh sebab itu, penegasan Allah di ujung ayat jelas sekali, yaitu,
“Mereka, biarkanlah mereka dengan apa yang mereka buat-buatkan itu."
Yaftarun artinya ialah rencana palsu yang dibuat-buat, dikarang-karang, yang dasarnya tidak ada sama sekali. Biarkanlah mereka berbuat segala rencana itu dan janganlah bimbang. Asal kamu sudah tahu bahwa setan-setan kasar dan halus itu ada, asal kamu sudah paham bahwa menegakkan sesuatu kebenaran Ilahi selalu menghendaki perjuangan dan kesadaran, sudah cukuplah. Besarkan hatimu dan kuatkan jiwa. Sebab, kalau imanmu telah teguh dan kamu telah lebih dekat kepada Allah, niscaya segala rencana, kata berhias, atau demagogi itu dengan sendirinya akan habis sirna, tidak ada bekasnya di muka bumi.
Lanjutan ayat menjelaskan lagi bahwa usaha setan-setan kasar dan halus itu, mulutnya yang lemak manis, katanya penuh hiasan, tetapi maksudnya hanya menipu, hanya dapat memengaruhi manusia-manusia yang tidak ada dasar. Allah berfirman,
Ayat 113
“Dan, supaya tertonik kepadanya hati orang-orang yang tidak percaya kepada akhirat."
Pangkal ayat ini sudah menjelaskan bahwasanya gagasan kata berhias, tetapi kosong isinya itu hanya dapat menarik atau membuat cenderung hati orang yang tidak mempunyai dasar kepercayaan, orang yang tidak mengenal hari esok, yang pikirannya terlalu pendek dan terbatas."Dan, supaya mereka ridha kepa-da-Nya." Inilah gambaran kelemahan jiwa orang yang tidak mempunyai pegangan kepercayaan. Asal didengarnya mulut manis, dia tertarik dan dia cenderung, akhirnya dia menjadi penganut yang rela menerima. Setelah itu mereka pun mencoba melancarkan apa yang mereka rencanakan. Namun, ujung ayat telah memberikan kepastian, memberikan kesempatan bagi mereka sebab usaha itu tidaklah akan berhasil menghalangi tegaknya kebenaran. Kata ujung ayat,
“Dan, supaya mereka kerjakan keburukan apa yang hendak mereka kerjakan."