Ayat
Terjemahan Per Kata
وَلَا
dan jangan
تَسُبُّواْ
kamu memaki-maki
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
يَدۡعُونَ
(mereka) seru/sembah
مِن
dari
دُونِ
selain
ٱللَّهِ
Allah
فَيَسُبُّواْ
maka mereka akan memaki
ٱللَّهَ
Allah
عَدۡوَۢا
melampaui batas
بِغَيۡرِ
dengan tidak/tanpa
عِلۡمٖۗ
pengetahuan
كَذَٰلِكَ
demikianlah
زَيَّنَّا
Kami jadikan mereka memandang baik
لِكُلِّ
bagi setiap
أُمَّةٍ
ummat
عَمَلَهُمۡ
pekerjaan mereka
ثُمَّ
kemudian
إِلَىٰ
kepada
رَبِّهِم
Tuhan mereka
مَّرۡجِعُهُمۡ
tempat kembali
فَيُنَبِّئُهُم
lalu Dia menerangkan kepada mereka
بِمَا
dengan apa
كَانُواْ
mereka adalah
يَعۡمَلُونَ
mereka kerjakan
وَلَا
dan jangan
تَسُبُّواْ
kamu memaki-maki
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
يَدۡعُونَ
(mereka) seru/sembah
مِن
dari
دُونِ
selain
ٱللَّهِ
Allah
فَيَسُبُّواْ
maka mereka akan memaki
ٱللَّهَ
Allah
عَدۡوَۢا
melampaui batas
بِغَيۡرِ
dengan tidak/tanpa
عِلۡمٖۗ
pengetahuan
كَذَٰلِكَ
demikianlah
زَيَّنَّا
Kami jadikan mereka memandang baik
لِكُلِّ
bagi setiap
أُمَّةٍ
ummat
عَمَلَهُمۡ
pekerjaan mereka
ثُمَّ
kemudian
إِلَىٰ
kepada
رَبِّهِم
Tuhan mereka
مَّرۡجِعُهُمۡ
tempat kembali
فَيُنَبِّئُهُم
lalu Dia menerangkan kepada mereka
بِمَا
dengan apa
كَانُواْ
mereka adalah
يَعۡمَلُونَ
mereka kerjakan
Terjemahan
Janganlah kamu memaki (sesembahan) yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa (dasar) pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.
Tafsir
(Dan janganlah kamu memaki sesembahan-sesembahan yang mereka puja) yaitu berhala-berhala (selain Allah) yaitu berhala-berhala yang mereka sembah (karena mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas) penuh dengan perasaan permusuhan dan kelaliman (tanpa pengetahuan) karena mereka tidak mengerti tentang Allah (Demikianlah) sebagaimana yang telah Kami jadikan sebagai perhiasan pada diri mereka yaitu amal perbuatan mereka (Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka) berupa pekerjaan yang baik dan pekerjaan yang buruk yang biasa mereka lakukan. (Kemudian kepada Tuhanlah mereka kembali) di akhirat kelak (lalu Dia memberikan kepada mereka apa yang dahulu mereka lakukan) kemudian Dia memberikan balasannya kepada mereka.
Tafsir Surat Al-An’am: 108
Dan janganlah kalian memaki sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa (dasar) pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhanlah tempat mereka kembali , lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.
Ayat 108
Allah ﷻ berfirman, melarang Rasul-Nya dan orang-orang mukmin menghina sembahan-sembahan orang-orang musyrik, walaupun dalam hinaan itu terkandung maslahat (kebaikan), hanya saja akan mengakibatkan mafsadat (kerusakan) yang lebih besar daripada itu. Kerusakan yang dimaksud ialah balasan hinaan yang dilakukan oleh orang-orang musyrik terhadap Tuhan kaum mukmin, yaitu:
“Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia.” (Al-Baqarah: 255)
Diriwayatkan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan asbabun nuzul ayat ini. Disebutkan bahwa orang-orang musyrik berkata, "Wahai Muhammad, berhentilah kamu dari mencaci maki tuhan-tuhan kami atau kalau tidak berhenti, kami akan balas mencaci maki Tuhanmu." Maka Allah melarang kaum mukmin memaki berhala-berhala sembahan kaum musyrik.
“Karena mereka nanti akan membalas dengan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa (dasar) pengetahuan.” (Al-An'am: 108)
Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah, bahwa dahulu orang-orang muslim sering mencaci maki berhala-berhala orang-orang kafir, maka orang-orang kafir balas mencaci maki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Oleh sebab itu, turunlah ayat ini.
Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkan dari As-Suddi yang telah mengatakan sehubungan dengan tafsir (asbabun nuzul) ayat ini, bahwa ketika Abu Thalib di ambang kematiannya, orang-orang Quraisy berkata, "Mari kita berangkat ke rumah orang ini, lalu kita perintahkan dia agar melarang keponakannya dari mengganggu kita, karena sesungguhnya kita benar-benar merasa malu bila membunuhnya sesudah dia meninggal dunia. Dan orang-orang Arab akan mengatakan, bahwa dahulu Abu Thalib melindunginya, tetapi setelah Abu Thalib meninggal dunia mereka baru berani membunuhnya.
Maka berangkatlah Abu Sufyan, Abu Jahal, Nadr ibn al Haris, Umayyah serta Ubay (keduanya anak Khalaf), Uqbah ibnu Abu Mu'it, Amr ibnul As, dan Al-Aswad ibnul Bukhturi. Mereka terlebih dahulu mengutus seorang lelaki dari kalangan mereka yang dikenal dengan nama Al-Muttalib.
Mereka berpesan kepadanya, "Mintakanlah izin kepada Abu Thalib agar kami dapat menjenguknya." Lalu utusan itu datang menemui Abu Thalib dan berkata kepadanya, "Mereka adalah para tetua kaummu, mereka ingin masuk menjengukmu" Abu Thalib mengizinkan mereka menjenguk dirinya, lalu mereka masuk menemuinya dan berkata, "Wahai Abu Thalib engkau adalah pemimpin kami. Sesungguhnya Muhammad telah menyakiti kami dan sembahan-sembahan kami, maka kami ingin agar engkau untuk memanggilnya, dan melarangnya agar jangan mengata-ngatai sembahan-sembahan kami lagi. Jika kamu melakukannya maka kami pun akan membiarkannya bersama Tuhannya."
Nabi ﷺ dipanggil, maka Nabi ﷺ datang, dan Abu Thalib berkata kepadanya, "Mereka adalah kaummu, juga anak-anak pamanmu." Rasulullah ﷺ bertanya, "Apa yang kalian inginkan?" Mereka menjawab, "Kami menginginkan agar engkau membiarkan kami dan sembahan-sembahan kami, maka kami pun akan membiarkan engkau dan Tuhanmu." Nabi ﷺ berkata, "Bagaimana pendapat kalian jika aku menyetujui hal itu? Apakah kalian mau memberiku suatu kalimat yang jika kalian ucapkan kalimat ini niscaya kalian akan membuat semua orang Arab menghormati dan mengikuti kalian dan tunduklah kepada kalian semua orang Ajam (selain Arab), serta akan membayar upeti (imbalan) kepada kalian?" Abu Jahal bertanya, "Demi ayahmu, kami benar-benar akan memberimu sepuluh kali lipat dari apa yang engkau minta, tetapi apakah yang engkau maksudkan dengan kalimat itu?" Nabi ﷺ bersabda: Ucapkanlah, "Tidak ada Tuhan selain Allah" Tetapi mereka menolak dan enggan untuk mengucapkannya.
Abu Thalib berkata, "Wahai keponakanku, coba katakan yang lain, karena sesungguhnya kaummu akan merasa kaget dengan ucapan itu." Rasulullah ﷺ berkata: “Wahai paman, aku tidak akan mengatakan yang lainnya hingga mereka dapat mendatangkan matahari, lalu mereka letakkan di tanganku. Dan seandainya mereka dapat mendatangkan matahari, lalu meletakkannya di tanganku ini, aku tetap tidak akan mengatakan yang lainnya selain itu.” Nabi ﷺ menegaskan demikian dengan maksud memutuskan harapan mereka untuk dapat membujuk dirinya. Maka mereka menjadi marah dan mengatakan, "Berhentilah kamu mencaci para sembahan kami, atau kami akan balas mencacimu dan Tuhanmu?"
Yang demikian itu adalah yang dimaksudkan di dalam firman-Nya:
“Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa (dasar) pengetahuan.” (Al-An'am: 108)
Dari pengertian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa lebih baik meninggalkan suatu maslahat demi mencegah terjadinya mafsadat (kerusakan) yang jauh lebih parah daripada maslahatnya
Di dalam sebuah hadits shahih disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Terlaknatlah seseorang yang menghina kedua orang tuanya.” Mereka (para sahabat) bertanya, "Ya Rasulullah, bagaimanakah seseorang dapat menghina kedua orang tuanya sendiri?" Rasulullah ﷺ bersabda: “Dia menghina bapak seseorang, lalu orang yang dihina itu membalas dengan menghina bapaknya. Dan dia menghina ibu seseorang, lalu orang yang dihina itu membalas dengan mencaci ibunya.”
Firman Allah ﷻ: “Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka.” (Al-An'am: 108)
Yakni sebagaimana Kami jadikan mereka cinta kepada berhala-berhalanya, membelanya, dan menolongnya.Demikian pula Kami jadikan kepada kalangan umat terdahulu karena menyukai amal perbuatan mereka yang sesat. Hanya Allah-lah yang memiliki hujah yang kuat dan hikmah yang sempurna dalam menentukan apa yang dikehendaki dan apa yang dipilih-Nya.
“Kemudian kepada Tuhanlah tempat mereka kembali .” (Al-An'am: 108)
Maksudnya, kepulangan dan pengembalian mereka.
“Lalu Dia memberikan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (Al-An'am: 108)
Yakni Dia akan membalas mereka sesuai dengan amal perbuatan mereka. Jika amal perbuatan mereka baik, maka balasannya baik. Dan jika amal perbuatan mereka buruk, maka balasannya pun buruk.
Ayat ini secara khusus ditujukan kepada kaum muslim tentang bagaimana seharusnya bersikap menghadapi sesembahan kaum musyrik. Dan janganlah kamu, wahai kaum muslim, memaki sesembahan seperti berhala-berhala dan lainnya yang mereka sembah selain Allah, karena jika kamu memakinya, maka akibatnya mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas atau tanpa berpikir dan tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, sudah menjadi sebuah ketentuan yang berlaku sepanjang masa bahwa Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka. Kemudian pada saat yang telah ditentukan, kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan untuk mendapatkan balasan yang setimpal. Belum jera juga kaum musyrik untuk menampilkan argumen penolakan, bahkan mereka mengukuhkan penolakan dengan sumpah. Dan mereka, yakni kaum musyrik, bersumpah mengukuhkan ucapan mereka dengan menggunakan nama Allah dengan segala kesungguhan, bahwa demi Allah, sungguh jika datang suatu mukjizat, yakni mukjizat apa saja yang mereka usulkan selama ini, kepada mereka, pastilah mereka akan beriman kepadanya. Katakanlah kepada mereka, wahai Nabi Muhammad, Sungguh mukjizat-mukjizat itu hanya ada pada sisi Allah atau berdasar kuasa-Nya. Jika Dia berkehendak, Dia akan menurunkannya kepada kalian, dan jika Dia tidak berkehendak, maka mukjizat itu tidak akan turun. Dan tahukah kamu, yakni siapa yang memberitahukan kepada kalian, wahai kaum mukmin, bahwa apabila mukjizat datang mereka akan beriman' Kenyataannya mereka tidak juga akan beriman
.
Mengenai sebab turunnya ayat ini diceritakan sebagai berikut, pada suatu ketika orang-orang Islam mencaci-maki berhala, sesembahan orang-orang kafir, kemudian mereka dilarang dari memaki-maki itu. (Riwayat 'Abd ar-Razzaq dari Qatadah).
Allah melarang kaum Muslimin memaki berhala yang disembah kaum musyrik untuk menghindari makian terhadap Allah dari orang-orang musyrik, karena mereka adalah orang-orang yang tidak mengetahui sifat-sifat Allah dan sebutan-sebutan yang seharusnya diucapkan untuk-Nya. Maka bisa terjadi mereka mencaci-maki Allah dengan kata-kata yang menyebabkan kemarahan orang-orang mukmin. Dari ayat ini dapat diambil pengertian bahwa sesuatu perbuatan apabila dipergunakan untuk terwujudnya perbuatan lain yang maksiat, maka seharusnyalah ditinggalkan, dan segala perbuatan yang menimbulkan akibat buruk, maka perbuatan itu terlarang. Ayat ini memberikan isyarat pula kepada adanya larangan bagi kaum Muslimin bahwa mereka tidak boleh melakukan sesuatu yang menyebabkan orang-orang kafir tambah menjauhi kebenaran. Mencaci-maki berhala sebenarnya adalah mencaci-maki benda mati. Oleh sebab itu memaki berhala itu adalah tidak dosa. Akan tetapi karena memaki berhala itu menyebabkan orang-orang musyrik merasa tersinggung dan marah, yang akhirnya mereka akan membalas dengan mencaci-maki Allah, maka terlaranglah perbuatan itu.
Allah memberikan penjelasan bahwa Dia menjadikan setiap umat menganggap baik perbuatan mereka sendiri. Hal ini berarti bahwa ukuran baik dan tidaknya sesuatu perbuatan atau kebiasaan, adakalanya timbul dari penilaian manusia sendiri, apakah itu merupakan perbuatan atau kebiasaan yang turun-temurun ataupun perbuatan serta kebiasaan yang baru saja timbul, seperti tersinggungnya perasaan orang-orang musyrik apabila ada orang-orang yang memaki berhala-berhala mereka. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran untuk menilai perbuatan atau kebiasaan itu baik atau buruk, adalah termasuk persoalan yang ikhtiyari. Hanya saja di samping itu Allah telah memberikan naluri pada diri manusia untuk menilai perbuatan dan kebiasaan itu, apakah perbuatan dan kebiasaan itu termasuk baik ataukah buruk. Sedangkan tugas-tugas Rasul adalah penyampaikan wahyu yang membimbing dan mengarahkan naluri untuk berkembang sebagaimana mestinya ke jalan yang benar agar mereka dapat menilai perbuatan serta kebiasaan itu dengan penilaian yang benar.
Pada akhir ayat ini Allah memberikan penjelasan bahwa manusia keseluruhannya akan kembali kepada Allah setelah mereka mati, yaitu pada hari kebangkitan; karena Dialah Tuhan yang sebenarnya dan Dia akan memberitakan seluruh perbuatan yang mereka lakukan di dunia, dan akan memberikan balasan yang setimpal.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 104
“Sesungguhnya telah datang kepada kamu beberapa pandangan dari Tuhan kamu."
Perhatikanlah! Di ayat sebelumnya (103) Tuhan menyebut abshar, yaitu pandangan-pan-dangan mata. Sekarang, dalam ayat ini Allah menyebut basha-ir, yaitu pandangan hati, yang kita ambil artinya pandangan-pandangan juga. Arti yang luas dari basha-ir ialah pendapat hati, makrifat yang putus, pendirian yang teguh, huj-jah, bijaksana. Penglihatan mata melihat apa yang dapat dicapai oleh mata, tetapi pandangan hati menembus pada apa yang tak tampak oleh mata. Biasanya disebutkan orang di antara yang tersurat dengan yang tersirat. Maka melihat yang tersurat, hati memandang yang tersirat. Mata di dalam ayat ini Allah telah mengatakan bahwa banyaklah Allah mendatangkan pandangan kepada kamu, yang sepatutnya kamu perhatikan. Jangan hanya melihat dengan mata saja, tetapi pandanglah dengan hati. Sebab, mata itu hanyalah alat penyambung saja dari hati, Yang sebenarnya mengambil kesimpulan bukanlah mata, melainkan hati. Hati lebih banyak menampak apa yang tidak kelihatan oleh mata. Maka berfirmanlah Allah selanjutnya, “Maka barangsiapa yang telah memandang maka itu adalah untuk dirinya dan barangsiapa yang membuta, itu pun celaka untuk dirinya juga." Artinya kalau segala pandangan yang diberikan oleh Allah itu kamu terima dan kamu lihat, bukan hanya semata-mata dengan mata lahir ini, melainkan disambut oleh kesadaran hati sehingga dapatlah kamu menilai kebenaran maka yang akan merasai bagiannya ialah kamu sendiri, bukan orang lain. Mereka akan keluar dari daerah kegelapan hati, kebodohan, kemusyrikan, dan kezaliman sebab dia telah mendapat inti sesuatu. Sebab yang melihat bukan matanya saja, tetapi dipertimbangkan oleh hatinya, jika hanya matanya saja yang melihat, padahal hati atau akal dan pikiran tidak berjalan mempertimbangkan apa yang dilihat oleh mata, samalah dia dengan orang buta bahkan lebih celaka dari orang yang buta matanya, tetapi tidak buta hatinya.
“Dan bukanlah aku penjaga atas kamu."
Artinya, ujung ayat ialah bahwa Nabi saw, disuruh menyampaikan bahwa keselamatan diri mereka adalah amat bergantung kepada usaha ikhtiar mereka sendiri, jika mereka menggunakan pandangan hati, akan sampailah faedah pandangan-pandangan berbagai macam yang diberikan Allah itu ke dalam dirinya dan yang akan berbahagia adalah mereka sendiri juga. Dan kalau mereka membuta, tidak mau peduli, tidak mempergunakan pertimbangan akal yang waras, yang akan celaka mereka juga. Rasul ﷺ hanyalah sekadar menyampaikan. Rasul tidak berkuasa berbuat apa-apa. Rasul tidak akan mengawal, mereka adalah manusia yang berakal.
Ayat 105
“Dan seperti demikianlah, Kami telah memperpaling-palingkan ayat-ayat."
Ayat-ayat di sini artinya ialah keterangan. Yaitu bahwa dengan berbagai jalan Allah telah menyampaikan keterangan itu. Kadang-kadang sampai menyebut belahnya buah dan biji, kadang-kadang menyebut belahnya subuh oleh datangnya fajar. Terkadang menyebut asal-usul kejadian manusia dari diri yang satu, dan bermacam-macam lagi. Allah memberikan penerangan dari segala sudut, dipalingkan ke sana dan dipalingkan kemari, tetapi tujuan hanya satu, yaitu memberi pengertian kepada mereka untuk memberikan petunjuk dan ilmu, menggugah akal pikiran mereka. “Namun akhirnya mereka berkata, ‘Engkau telah membaca!'" Artinya, segala seruan, pelajaran dan pandangan dan ayat-ayat dengan segala macam perpalingan itu telah mereka tolak saja dengan kasar. Yaitu bahwa segala yang engkau sampaikan itu, ya, Muhammad, tidak ada yang wahyu dari Allah, tetapi semuanya itu telah engkau pelajari dari orang lain. Itulah yang engkau baca-bacakan kepada kami. Malahan ada mereka mengatakan bahwa Muhammad ﷺ datang berulang-ulang belajar hikmah kuno kepada seorang budak bangsa Romawi, seorang ahli membuat pedang yang sudah lama tinggal di Mekah, Itulah guru Muhammad ﷺ yang mengajarnya apa yang dikatakannya wahyu (an-Nahl). Tuduhan yang sangat dangkal ini disuruh Allah membantah; bahwa Allah telah tahu, mereka menuduh bahwa segala ayat ini dipelajari oleh Rasulullah ﷺ kepada seorang ‘Ajami, yaitu orang Romawi, padahal wahyu ini turun dalam bahasa Arab. Dan bahasa Arab yang dipakai oleh Muhammad ﷺ ini pun sangat halus dan fasihnya sehingga sefasih-fasih orang Quraisy pun kagum mendengarkan ayat itu, tidak tertolok terbandirig oleh siapa pun juga orang Arab sendiri. Maka, melihat kenyataan itu, dapatkah diterima keterangan kamu bahwa Al-Qur'an ini dipelajari Muhammad kepada seorang budak ahli menempa pedang, yang datang dari negeri Rum? Yang bagaimanapun lamanya tinggal bergaul dengan orang Arab asli Quraisy di Mekah, tetapi lidah Rum-nya itu tidak dapat diperbaikinya sehingga mesti kentara juga. Orang itu yang kamu katakan guru dari Muhammad? Tuduhan ini pun tidak lain asal menuduh saja karena kufur. Mengapa tidak disebut saja nama seorang ahli bahasa orang Arab Quraisy sendiri, yang telah terkenal ahlinya dalam pidato atau dalam syair? Tentu tidak bisa karena memang orang itu tidak ada. Mereka tidak mau berdusta kecil sebab itu mereka ambillah dusta yang lebih besar.
Kemudian datanglah penutup ayat,
“Dan untuk Kami menenangkannya kepada kaum yang hendak tahu."
Artinya, Al-Qur'an ini akan terus diterangkan juga oleh Allah kepada kaum yang mau mengetahui yang tidak terikat oleh taklid dan membuta, yang terbuka matanya dan terbuka hatinya, yang ingin kebahagiaan dirinya sebagai yang pada ayat yang di atas tadi. Adapun me-reka yang tetap hendak membuta, biarlah mereka menuduh bahaya segala ajaran ini adalah dipelajari Muhammad kepada orang lain, entah tukang pedang budak bangsa Rum atau ‘Adas budak Nasrani yang mengakui Islam ketika bertemu satu kali dengan Rasulullah di Thaif. Namun, segala tuduhan itu hanya akan menambah kejatuhan dan kebutaan mereka jua.
Untuk meneguhkan sikap Rasulullah ﷺ menghadapi tugas yang berat ini maka ber-firmanlah Allah selanjutnya.
Ayat 106
“Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepada engkau daripada Tuhan engkau “
“Dan berpalinglah dari orang-orang yang mempersekutukan itu."
Artinya, dengan berjalan terusnya Rasul menanamkan pokok keyakinan ini bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah, manusia akan terbagi dua juga, yaitu yang percaya dan yang menolak. Atau yang menerima tauhid dan yang tetap dalam musyrik. Maka tanamkanlah tauhid ini sampai mendalam kepada orang yang telah bersedia beriman dan jangan engkau buang tempo terhadap orang yang menolak dengan membuta-tuli itu. Sebab kalau sudah sampai mereka berkata dengan tidak semena-mena bahwa ajaranmu ini hanya ulangan pelajaran engkau dengan orang lain, tandanya kekufuran mereka ini tidak usah diladeni lagi. Engkau jalan terus memancangkan tauhid di hati umat.
Ayat 107
“Dan jikalau Allah menghendaki, tidaklah mereka akan mempersekutukan."
Dahulu ketika menafsirkan ayat yang serupa ini (lihat tafsir ayat 35), telah kita misalkan binatang-binatang seperti lebah yang disatukan saja semuanya, tetapi tidak berpikir. Maka, di sini pun demikian pula, kalau Allah mau, Dia dapat juga membuat manusia ini menjadi Mukmin semua dan kemusyrikan jadi hilang, orang bersatu semua dalam tauhid, laksana keadaan malaikat. Namun, ini adalah manusia, kejadian manusia lain dari binatang seumpama lebah atau seumpama malaikat. Dalam diri manusia disediakan Allah kesanggupan menerima iman atau kufur, tauhid atau syirik, taat atau fasik, dan semuanya ini ditempuh dengan perjuangan.
“Dan tidaklah Kami jadikan engkau menjadi penjaga atas mereka dan tidaklah engkau atas mereka menjadi pengurus."
Penjaga dan pemelihara mereka adalah Allah sendiri dan pengurus mereka pun tidak lain daripada Allah. Urusan itu terpulanglah seratus per seratus kepada Allah. Dan engkau sendiri teruskanlah pula kewajibanmu menyampaikan, mentablighkan. Tidaklah dipikulkan kepadamu kewajiban yang tidak dapat engkau pikul. Bukan engkau yang akan mengurus iman mereka, tegasnya bukan engkau yang menguasai mereka. Oleh sebab itu, jika belum berhasil, tidak usahlah engkau merasa berkecil hati. Serahkan hal itu kepada Allah.
Menurut Ibnu Abbas, ayat itu telah mansukh setelah datang perintah jihad memerangi Musyrikin. Akan tetapi, jumhur berpendapat bahwa di sini tidak terdapat soa) nasikh dan mansukh. Memang, sebelum umat terbentuk dan kekuatan Islam belum tumbuh, belum ada perintah berperang. Setelah pihak Musyrikin itu sendiri sampai mengusir Nabi dan kaum Muslimin sendiri dari Mekah, berkumpul ke Madiriah datanglah perintah boleh berperang karena mempertahankan aqidah. Akan tetapi, isi ayat memberi petunjuk manusia atau mengawal dan mengurus ini dada mereka dan hidayah mereka, tetaplah Allah jua bukan Nabi. Meskipun ketika habis Peperangan Hunain, Rasulullah ﷺ membagi-bagikan harta rampasan perang sebanyak-banyaknya kepada orang muallaf Mekah, yang membelokkan hati mereka daripada syirik pada iman, bukanlah Rasulullah saw, dan bukan pula harta rampasan itu, melainkan Allah jua adanya.
(108) Dan janganlah kamu maki apa yang mereka seru selain Allah itu karena mereka akan memaki Allah (pula) dengan sebab tak ada ilmu. Seperti demikianlah, telah Kami hiaskan bagi tiap-tiap umat akan amalan mereka kemudian itu kepada Tuhan merekalah tempat pengembalian mereka. Maka, Dia akan menerangkan kepada mereka apa-apa yang telah mereka kerjakan itu.
(109) Dan bersumpahlah mereka dengan nama Allah, sebenar-benar persumpahan jika datang kepada mereka suatu ayat, sungguh-sungguh mereka akan beriman! Katakanlah, “Ayat-ayat itu tidak ada hanyalah pada sisi Allah!" Dan tidaklah menyadarkan kepada kamu bahwasanya ayat-ayat itu apabila datang, mereka tidak juga akan beriman.
(110) Dan akan Kami perpaling-palingkan hati mereka dan pandangan-pandangan mereka, sebagaimana mereka tidak beriman sejak pertama kali."Dan Kami biarkan mereka di dalam kesesatan itu pada kebingungan.
Pada ayat yang telah lalu Allah telah memerintahkan kepada Rasul-Nya supaya jalan terus mengerjakan dakwah dan jangan dipedulikan macam-macam kata dan permintaan dari orang-orang musyrikin itu. Nabi disuruh sabar dan memperbanyak maaf, sebab persediaan dan alat menerima yang ada pada manusia tidaklah sama, selalu bertinggi berendah juga. Rasul hanya menyampaikan bukan memaksakan, pemberi petunjuk bukan menjalankan kehendaknya dengan kekerasan. Yang akan menumbuhkan iman di dalam hati manusia hanyalah Allah sendiri. Setelah itu Allah menambah lagi peringatan-Nya.
Ayat 108
“Dan janganlah kamu maki apa yang mereka seru selain Allah itu karena mereka akan memaki Allah (pula) dengan sebab tak ada ilmu." Pada ayat ini diperingatkanlah kepada sekalian orang Mukmin bahwa berhala-berhala yang disembah oleh orang jahiliyyah itu janganlah dimaki atau dihinakan. Lebih baik tunjukkan saja dengan alasan yang masuk akal bagaimana keburukan menyembah berhala. Namun, jangan berhala itu dimaki atau dicerca. Sebab kalau pihak orang-orang yang beriman sudah mulai memaki-maki atau mencerca dan menghinakan berhala mereka, tandanya pihak kita sudah kehabisan alasan untuk memburukkan perbuatan mereka. Dan kalau berhala yang mereka sembah dimaki oleh pihak Muslimin, niscaya mereka akan mencerca memaki pula apa yang disembah oleh orang yang beriman. Yang disembah oleh orang yang beriman, tidak lain, hanyalah Allah. Maka oleh karena jahil, tidak ada ilmu tentang Allah, mereka nanti akan memaki Allah pula. Padahal, sebagaimana dimaklumi orang-orang yang menyembah berhala itu mengakui juga bahwa Allah Ta'aala tetap ada dan tetap Esa. Mereka menyembah berhala, kata mereka, hanyalah untuk perantara saja yang akan menyampaikan permohonan mereka kepada Allah. Namun, kalau lantaran hati mereka telah disakiti sebab berhala mereka dimaki dengan tiada ada pertimbangan ilmu lagi, akhirnya mereka pun memaki Allah. Sakit hati mereka kepada kaum Muslimin yang memaki berhala mereka, mereka balaskan dengan memaki Allah. Dengan demikian keadaan tidak akan bertambah baik, tetapi bertambah kacau. Kalau mereka memaki Allah karena membalaskan maki orang beriman terhadap berhala mereka, niscaya orang Islam yang memaki itu tidak lepas dari dosa, sebab mereka yang memulai.
Ayat ini menunjukkan bahwa memaki karena perbedaan pendapat atau pendirian tidaklah menunjukkan bahwa orang-orang yang mengerjakannya itu orang yang berilmu. Di dalam bahasa Arab diungkapkan,
“Yang memulai lebih dahulu, itulah yang lebih zalim!"
Pengajaran ini dapat diperluas lagi. Menurut hadits yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Amr, berkata Rasulullah ﷺ
“Termasuk dosa besar seseorang mencerca ayah bundanya."
Maka bertanyalah mereka, “Ya, Rasulullah! Adakah orang yang mencerca ayahnya?" Beliau menjawab:
“Dia memaki ayah seseorang lalu orang itu memaki ayahnya pula. Lalu dimakinya ibunya, dia pun membalas memaki ibunya pula." (HR Bukhari dan Muslim)
Orang Islam terikat dengan larangan yang keras ini, terutama apabila berhadapan dengan zendirig-zendirig dan misi-misi Kristen. Kadang-kadang di dalam melakukan propaganda agama mereka, tidaklah mereka merasa keberatan menyakitkan hati kaum Muslimin dengan mengatakan Nabi Muhammad ﷺ nabi palsu, nabi syahwat, kepala perang yang ganas, menyiarkan Islam dengan pedang dan sebagainya. Malahan terkadang lebih kasar dari itu, ada yang berkata bahwa Muhammad itu mengharamkan daging babi, sebab dia sendiri amat rakus makan babi! Niscaya sakitlah hati kita mendengarkan kata-kata yang demikian. Padahal kalau kita balas dengan memaki-maki Nabi Isa al-Masih alaihis-salam, kita pun keluar dari Islam, menjadi kafir. Sebab Nabi Isa, walaupun mereka anggap sebagai Tuhan, bagi kita beliau adalah salah seorang nabi dan rasul yang kita imani dan muliakan. Adapun membalas makian mereka kepada Muhammad ﷺ dengan memaki Nabi Isa lagi berdosa besar, apalagi jika kita yang memulai memaki Nabi Isa lalu mereka balas lagi dengan memaki Nabi Muhammad ﷺ, niscaya kita memikul dosa dua kali yang kedua-duanya besar. Pertama memaki Nabi Isa alaihis-salam, kedua menyebabkan orang lain memaki Nabi Muhammad ﷺ
Jika orang Islam memegang teguh agamanya, tidaklah mungkin terjadi pertengkaran yang mengakibatkan maki-memaki. Di dalam ayat sudah diisyaratkan bahwasanya perbuatan yang demikian hanya timbul dengan sebab tidak ada ilmu. Sebagaimana pepatah yang terkenal, “Kalau isi otak tidak ada yang akan dikeluarkan, padahal mulut hendak berbicara juga maka akhirnya isi ususlah yang dikeluarkan!" Demikian juga orang Kristen yang memegang agamanya dengan betul, niscaya mereka tidak akan memakai perkataan yang dapat menyakitkan hati, kebohongan dan makian dalam melakukan propaganda agama mereka sebab salah satu isi Injil yang mereka pegang adalah, “Kasihanilah musuhmu!"
Ada dua-tiga macam asbabun nuzul tersebut dalam kitab-kitab tafsir yang kesimpulannya adalah bahwa memang pernah kejadian kaum Muslimin tatkala di Mekah memaki dan mencela dan mencerca berhala-berhala kaum Musyrikin itu maka lantaran sakit hati berhala mereka dimaki, mereka maki pulalah Allah. Sebab kaum beriman menyembah Allah. Kemudian, datanglah ayat ini, larangan kepada kaum Muslimin memaki berhala mereka agar mereka jangan memaki Allah. Tersebab bodoh tak ada pengetahuan. Tegasnya jangan berlawan dengan orang bodoh kalau engkau berakal. Sebab akhirnya engkau jugalah yang akan terpaksa mengalah. Jangan “cari pasal" dengan mereka.
“Seperti demikianlah telah Kami hiaskan bagi tiap-tiap umat akan amalan merekaLanjutan ayat ini menegaskan lagi kebiasaan jiwa tiap-tiap golongan umat, yaitu selalu merasa bangga dengan kelebihan dan keutamaan yang ada pada mereka. Segala amal perbuatan mereka dihiaskan, artinya, dirasa paling bagus, paling betul. Lantaran telah dihiaskan datam hati begitu rupa, amal yang betul diangkat-angkat dan ditonjolkan setinggi langit, yang sepuluh dijadikan seratus, dan amalan yang salah dibela mati-matian supaya dipandang betul. Pokok ayat ini menerangkan bahwa rasa bangga dengan usaha sendiri itu adalah ditanamkan oleh Allah sendiri dalam hati tiap-tiap umat. Dapatlah kita rasakan bahwa penghiasan begini ditanamkan Allah untuk menjaga niscaya kebanggaan dan hiasan itu dapat membawa kegelapan. Adat jahiliyyah pusaka nenek moyang yang nyata salahnya, tidak masuk akal, sebagai menyembah berhala, tentu akan dipertahankan juga. Sebagai umat Arab sendiri. Pada zaman jahiliyyah dihiaskan bagi mereka kebanggaan kabilah, kebanggaan berhala. Setelah datang Islam, di kalangan merekalah timbul Nabi akhir zaman Muhammad ﷺ dan dengan bahasa mereka, Al-Qur'an diturunkan. Hal ini bolehlah dibanggakan karena telah dihiaskan Allah kepada mereka. Namun, kalau Nabi Muhammad ﷺ dibanggakan oleh orang Arab sebab dia bangsa Arab, padahal amalan yang beliau ajarkan tidak diamalkan. Atau orang Arab berbangga sebab Al-Qur'an berbahasa Arab, tetapi tuntunan Al-Qur'an tidak dituruti, sama sajalah keadaannya dengan perhiasan yang dibanggakan orang pada zaman jahiliyyah.
Pada ayat ini kita bertemu bahwa amal itu dihiaskan Allah kepada suatu umat. Namun, di ayat yang lain kelak kita akan bertemu pula bahwa setan pun turut menghiaskan amalan yang jahat kepada orang yang diperdayakan nya, sebagai yang tersebut dalam surah al-An'aam ini sendiri ayat 40 dan 137; al-Anfaal: 49, an-Nahl: 63; an-Naml: 24, al-'Ankabut: 38; Hamim-Sajadah; 25, dan lain-lain.
“Kemudian itu, kepada Tuhan merekalah tempat pengembalian mereka maka Dia akan menerangkan kepada mereka apa-apa yang telah mereka kerjakan itu."
Maka bolehlah mereka bangga menerima apa yang dihiaskan oleh Allah dan jangan merasa bangga menerima apa yang dihiaskan oleh setan. Selama masih hidup di dunia berlom-balah berbuat yang baik dan bertambah banyak berbuat kebajikan yang timbul dari hati yang ikhlas, bertambah banyak pulalah pahala yang akan diterima di sisi Allah kelak, setelah semua makhluk atau umat dikembalikan ke hadirat Allah. Pada waktu itulah kelak akan dijelaskan oleh Allah apa macamnya amalan kita itu, baik dibalas baik, buruk pun dibalas buruk. Dibalas dengan seadil-adilnya.
Ayat 109
“Dan bersumpahlah mereka dengan nama Allah, sebenar-benar penumpahan jika datang kepada mereka suatu ayat, sungguh-sungguh mereka akan beriman."
Demikianlah, beberapa orang pemuka kaum musyrikin di Mekah itu telah datang kepada Rasullulah ﷺ menerangkan bahwa mereka sungguh-sungguh mau percaya pada apa yang beliau serukan itu, asal saja beliau membawakan suatu mukjizat. Kata mereka, “Isa al-Masih sudah menghidupkan orang mati! Nabi Saleh telah mengeluarkan seekor unta dari dalam batu! Maka, sekarang engkau sendiri pun, sebab mengaku menjadi rasul, cobalah tunjukkan kepada kami suatu ayat (mukjizat), yaitu cobalah jadikan Bukit Shafa ini menjadi emas. Sebaik Bukit Shafa menjadi emas maka pada waktu itu juga kami semuanya ini akan percaya kepada engkau, kami bersumpah!" (HR Abusy Syekh dari Ibnu Jarir).
Menurut lanjutan riwayat, Nabi ﷺ telah menadahkan tangannya ke langit sebab percaya akan sumpah mereka. Segeralah turun Jibril memberitahukan bahwa seketika juga permohonan itu bisa dikabulkan Allah, tetapi Nabi ﷺ disuruh memilih satu di antara dua. Yaitu kalau permohonan itu dikabulkan oleh Allah, padahal di antara mereka masih ada yang kafir maka semua mereka akan dimusnahkan. Atau permohonan ini tidak dikabulkan, melainkan dibiarkan dan diharapkan ada di antara mereka yang tobat maka tobat mereka akan diterima, dengan tidak perlu mengadakan mukjizat. Mendengar keterangan itu, Rasulullah ﷺ memilih yang kedua. Setelah beliau pilih yang kedua, turunlah ayat ini.
Rasulullah ﷺ telah mengerti apa akibatnya kalau mereka mungkir. Sebab hal yang seperti ini telah kejadian kepada umat Nabi Saleh. Setelah unta mukjizat itu keluar, mereka bunuh! Maka, hancur lumatlah kaum Tsamud itu disapu bersih oleh adzab Allah. Hal seperti ini pun bisa kejadian pula kepada kaum Quraisy itu. Akan ada saja kelak yang mengatakan bahwa bukit menjadi emas itu hanyalah sihir saja.
Nabi akhir zaman tidak mau umatnya hanya percaya karena suatu keganjilan. Beliau lebih suka umatnya memeluk agama dengan pengertian karena keingkaran dan kekufuran itu bukan dari lubuk jiwa, melainkan hanya hawa nafsu. Muhammad ﷺ memohonkan kemenangan agama yang abadi, bukan kemusnahan suatu umat. Oleh karena itu, dipilihnya yang kedua. Dan Bukit Shafa tidak jadi menjadi emas sehingga jika dimisalkan Bukit Shafa menjadi emas, padahal bukit itu masih ada sampai sekarang, apakah yang akan kejadian dalam keadaan manusia sebagai sekarang ini? Niscaya salah satu dari dua. Pertama, bukit itu menjadi berhala dan disembah. Kedua, Bukit Shafa menjadi tambang emas dan Mekah tidak lagi menjadi pusat peribadatan, tetapi tempat mencari kekayaan dan kemewahan!
“Katakanlah, ‘Ayat-ayat itu tidak ada, hanyalah pada sisi Allah.'" Katakanlah wahai utus-an-Ku, bahwasanya Yang Mahakuasa menentukan mukjizat itu bukanlah aku dan bukan siapa-siapa, melainkan Allah. Kata-kata ini penuh didikan adab sopan yang tinggi, mengajak orang menuju sepenuh perhatian kepada Allah, bukan menuntut untuk mengadakan yang ganjil-ganjil sebagai menentang kepada Rasul.
Mula-mula orang-orang yang sudah beriman sendiri pun telah mengharapkan terjadi Bukit Shafa menjadi emas, sebab mereka percaya kepada sumpah orang yang musyrikin itu. Kemudian, di ujung ayat Allah berfirman,
yang dihadapkan kepada orang-orang yang beriman.
“Dan tidakkah menyadarkan kepada kamu bahwasanya ayat-ayat itu apabila datang, mereka tidak juga akan beriman?"
Dengan ujung ayat ini, diberi pengertianlah umat yang beriman bahwa persangkaan mereka Musyrikin itu akan meneguhi sumpah mereka lalu masuk Islam setelah melihat bukit menjadi emas adalah persangkaan yang hampa belaka. Niat mereka meminta mukjizat bukanlah karena ingin beriman, melainkan karena hendak menguji atau menentang Nabi Muhammad ﷺ saja. Tantangan mereka itu adalah dari sikap jiwa, bukan daripada kejujuran.
Ayat 110
“Dan akan Kami perpaling-palingkan hati mereka dan pandangan-pandangan mereka, sebagaimana mereka tidak beriman sejak pertama."
Lanjutan penjelasan kepada orang-orang beriman tadi bahwa Musyrikin itu tidak juga akan mau percaya, walaupun gunung batu menjadi emas. Kalau misalnya itu kejadian, akan berpaling-palinglah hati mereka dan pemandangan mereka lalu mereka berbantah-bantahan lagi dan mencari dalih lagi. Misalnya mereka akan berkata, ‘Apakah ini satu sambungan sihir lagi dari Muhammad?" Apakah ini bukan satu penipuan bagi kita? Apakah ini satu permainan sulap saja? Pendeknya, mereka sejak bermula telah mengatur siasat buat menolak lagi mukjizat gunung emas itu kalau kejadian sehingga mereka akan tetap saja dalam kekufuran, sebagaimana pertama kali, sebelum mukjizat diadakan.
“Dan Kami biarkan mereka di dalam kesesalan itu, pada kebingungan."
(ujung ayat 110)