Ayat

Terjemahan Per Kata
ذَٰلِكُمُ
demikian itulah
ٱللَّهُ
Allah
رَبُّكُمۡۖ
Tuhan kalian
لَآ
tidak ada
إِلَٰهَ
tuhan
إِلَّا
selain
هُوَۖ
Dia
خَٰلِقُ
Pencipta
كُلِّ
segala
شَيۡءٖ
sesuatu
فَٱعۡبُدُوهُۚ
maka sembahlah Dia
وَهُوَ
dan Dia
عَلَىٰ
atas
كُلِّ
segala
شَيۡءٖ
sesuatu
وَكِيلٞ
Pengurus
ذَٰلِكُمُ
demikian itulah
ٱللَّهُ
Allah
رَبُّكُمۡۖ
Tuhan kalian
لَآ
tidak ada
إِلَٰهَ
tuhan
إِلَّا
selain
هُوَۖ
Dia
خَٰلِقُ
Pencipta
كُلِّ
segala
شَيۡءٖ
sesuatu
فَٱعۡبُدُوهُۚ
maka sembahlah Dia
وَهُوَ
dan Dia
عَلَىٰ
atas
كُلِّ
segala
شَيۡءٖ
sesuatu
وَكِيلٞ
Pengurus
Terjemahan

Itulah Allah Tuhanmu. Tidak ada tuhan selain Dia, pencipta segala sesuatu. Maka, sembahlah Dia. Dialah pemelihara segala sesuatu.
Tafsir

(Demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain Dia; pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia) esakanlah Dia (dan Dia adalah pemelihara segala sesuatu) yang memelihara semuanya.
Tafsir Surat Al-An'am: 102-103
Yang (memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kalian, tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu. Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Mahahalus lagi Maha Mengetahui. Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala: Yang demikian itu adalah Allah Tuhan kalian. (Al-An'am: 102) Maksudnya, yang menciptakan segala sesuatu, tidak beranak, dan tidak pula beristri.
tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia. (Al-An'am: 102) Artinya, sembahlah Dia semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan akuilah ketauhidan-Nya (keesaaan-Nya), bahwa tidak ada Tuhan selain Dia, Dia tidak beranak, tidak diperanakkan, tidak beristri, dan tidak ada yang menyamai dan menandingi-Nya. dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu. (Al-An'am: 102) Yakni Dialah Yang memelihara. Yang Mengawasi dan Yang mengatur semua yang selain-Nya, Dia memberi mereka rezeki dan memelihara mereka sepanjang malam dan siang hari.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata. (Al-An'am: 103) Sehubungan dengan makna ayat ini, ada beberapa pendapat di kalangan para imam dari kalangan ulama Salaf. Menurut pendapat pertama, Allah tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata di dunia, sekalipun nanti di akhirat dapat dilihat. Demikianlah menurut apa yang disebutkan oleh banyak hadits mutawatir dari Rasulullah ﷺ melalui berbagai jalur periwayatan yang telah ditetapkan di dalam kitab-kitab Shahih, kitab-kitab Musnad, dan kitab-kitab Sunnah. Sehubungan dengan hal ini Masruq telah meriwayatkan dari Siti Aisyah yang mengatakan, "Barang siapa yang menduga bahwa Muhammad telah melihat Tuhannya, sesungguhnya ia telah berdusta." Menurut riwayat lain 'melihat Allah', karena sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman: Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan. (Al-An'am: 103) Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim, melalui hadits Abu Bakar ibnu Ayyasy, dari ‘Ashim ibnu Abun Nujud, dari Abud Duha, dari Masruq.
Hadits ini telah diriwayatkan pula oleh bukan hanya seorang, dari Masruq. Telah ditetapkan pula di dalam kitab Shahih dan kitab-kitab lainnya, dari Siti Aisyah melalui berbagai jalur periwayatan. Tetapi Ibnu Abbas berpendapat berbeda; menurut riwayat yang bersumberkan darinya, penglihatan ini bersifat mutlak (yakni di dunia dan akhirat). Menurut suatu riwayat yang bersumberkan darinya, Nabi ﷺ pernah melihat Tuhannya dengan pandangan kalbunya sebanyak dua kali. Masalah ini disebutkan di dalam permulaan tafsir surat An-Najm, Insya Allah.
Ibnu Abu Hatim menuturkan bahwa Muhammad ibnu Muslim pernah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ibrahim Ad-Dauraqi, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Mu'in; ia mengatakan bahwa ia pernah mendengar Isma'il ibnu Ulayyah mengatakan sehubungan dengan makna firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata. (Al-An?am: 103) Hal ini di dunia. Ayah Ibnu Abu Hatim pernah mengatakan dari Hisyam ibnu Ubaidillah yang telah mengatakan hal yang sama.
Pendapat lain mengatakan bahwa makna firman-Nya: Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata. (Al-An?am: 103) Yakni semua penglihatan mata. Hal ini telah di-takhsis oleh hadits yang menyatakan bahwa orang-orang mukmin kelak di akhirat dapat melihat Tuhannya. Pendapat lain yaitu dari kalangan Mu'tazilah mengatakan sesuai dengan pemahaman mereka terhadap makna ayat ini, yaitu bahwa Allah tidak dapat dilihat, baik di dunia maupun di akhirat.
Dengan demikian, mereka berpendapat berbeda dengan ahli sunnah wal jama'ah dalam masalah ini karena ketidakmengertian mereka kepada apa yang ditunjukkan oleh Kitabullah dan sunnah Rasulullah. Adapun dalil dari Al-Qur'an ialah firman Allah subhanahu wa ta’ala: Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri, kepada Tuhannyalah mereka melihat. (Al-Qiyamah: 22-23) Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman pula, menceritakan perihal orang-orang kafir: Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar tertutup dari (melihat) Tuhan mereka. (Al-Muthaffifin: 15) Imam Syafii mengatakan bahwa hal ini menunjukkan bahwa orang-orang mukmin tidak terhalang untuk melihat Tuhan mereka Yang Mahasuci lagi Mahatinggi.
Adapun mengenai dalil dari sunnah, maka banyak hadits mutawatir diriwayatkan dari Abu Sa'id, Abu Hurairah, Anas, Juraij, Suhaib, Bilal, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang dari kalangan sahabat, dari Nabi ﷺ; semuanya menyebutkan bahwa orang-orang mukmin kelak di akhirat dapat melihat Allah di 'Arasat (halaman-halaman surga) dan di taman-taman surga. Semoga Allah menjadikan kita dari golongan mereka berkat karunia dan kemuliaanNya, amin.
Menurut pendapat lain sehubungan dengan makna firman-Nya: Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata. (Al-An'am: 103) Yakni oleh rasio (akal). Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim, dari Ali ibnul Husain, dari Al-Fallas, dari Ibnu Mahdi, dari Abul Husain Yahya ibnul Husain qari' ahli Mekah, bahwa dia telah mengatakan hal tersebut. Tetapi pendapat ini gharib sekali, dan berbeda dengan makna lahiriah ayat. Seakan-akan dia berpandangan bahwa lafal idrak di sini bermakna ru-yah.
Ulama lain mengatakan bahwa tidak ada pertentangan antara ketetapan melihat dan pe-nafi'-an idrak dan yang lebih khusus daripada ru-yah (melihat), karena sesungguhnya pengertian idrak (mencapai) tidak memastikan adanya pe-nafi-an hal yang lebih khusus dengan pe-nafi-an yang lebih umum. Kemudian mereka berselisih pendapat mengenai pengertian pencapaian yang ditiadakan (yang di-nafi-kan), yakni bagaimana hakikatnya? Menurut suatu pendapat, yang di-nafi-kan adalah mengetahui hakikat-Nya, karena sesungguhnya tidak ada yang mengetahui-Nya selain Dia sendiri, sekalipun orang-orang mukmin dapat melihat-Nya.
Perihalnya sama dengan orang yang melihat rembulan, sesungguhnya dia tidak dapat mengetahui hakikat, keadaan, dan materinya. Maka Tuhan Yang Mahabesar lebih utama daripada hal tersebut, dan hanya Dialah Yang memiliki perumpamaan Yang Mahatinggi. Ibnu Ulayyah mengatakan bahwa pengertian tersebut (yakni mustahil mengetahui hakikat Allah) hanya terjadi di dunia. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim. Pendapat lainnya lagi mengatakan bahwa makna pengetahuan atau idrak lebih khusus daripada ru-yah (penglihatan), makna idrak sama dengan meliputi.
Mereka mengatakan bahwa tidak adanya peliputan bukan berarti memastikan tidak adanya penglihatan, sebagaimana tidak adanya ilmu yang meliputi bukan berarti memastikan tidak adanya ilmu. Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman: sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi-Nya. (Thaha: 110) Di dalam sebuah hadits shahih Muslim disebutkan: Saya tidak dapat meliputi pujian kepada-Mu, pujian-Mu hanyalah seperti apa yang Engkau pujikan terhadap diri-Mu. Hal ini tidaklah memastikan tidak adanya pujian kepada Dia. Maka demikian pula dalam masalah tersebut. Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan. (Al-An'am: 103) Ibnu Abbas mengatakan bahwa makna ayat ialah penglihatan seseorang tidak dapat meliputi Kerajaan (Allah).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Dzar'ah, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Hammad ibnu Talhah Al-Qannad, telah menceritakan kepada kami Asbat, dari Sammak, dari Ikrimah, bahwa pernah ditanyakan kepadanya mengenai makna firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata. (Al-An'am: 103) Ikrimah berkata, "Tidakkah engkau melihat langit?" Si penanya menjawab, "Ya, tentu saja melihat." Ikrimah berkata, "Apakah semuanya dapat terlihat?" Sa'id ibnu Arubah telah meriwayatkan dari Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya: Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan. (Al-An'am: 103) Bahwa Dia Mahabesar dari kemampuan penglihatan mata untuk dapat melihat-Nya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sa'd ibnu Abdullah ibnu Abdul Hakam, telah menceritakan kepada kami Khalid ibnu Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Abu Urfujah, dari Atiyyah Al-Aufi sehubungan dengan makna firman-Nya: Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri, kepada Tuhannyalah mereka melihat. (Al-Qiyamah: 22-23) Atiyyah mengatakan bahwa mereka melihat Allah, tetapi pandangan mereka tidak dapat meliputi-Nya karena Kebesaran-Nya, sedangkan pandangan Allah meliputi mereka semuanya.
Yang demikian itu disebutkan oleh firman-Nya: Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan. (Al-An'am: 103) Sehubungan dengan makna ayat ini, ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dalam bab ini. Untuk itu Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa: telah menceritakan kepada kami Abu Dzar'ah, telah menceritakan kepada kami Minjab ibnul Haris As-Sahmi, telah menceritakan kepada kami Bisyr Ammarah, dari Abu Rauq, dari Atiyyah Al-Aufi, dari Abu Sa'id Al-Khudri, dari Rasulullah ﷺ sehubungan dengan makna firman-Nya: Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan. (Al-An'am: 103) Nabi ﷺ bersabda: Seandainya jin dan manusia, dan setan serta para malaikatsejak mereka diciptakan hingga semuanya mati dibariskan menjadi satu saf, niscaya mereka masih belum dapat meliputi Allah selama-lamanya.
Tetapi hadits ini gharib dan tidak dikenal, melainkan hanya melalui jalur ini; tidak ada seorang pun dari pemilik kitab Sittah yang meriwayatkannya. Ulama lainnya lagi mengatakan sehubungan dengan makna ayat ini dengan mengetengahkan apa yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi di dalam kitab Jami-nya, Ibnu Abu ‘Ashim di dalam kitab Sunnah-nya, Ibnu Abu Hatim di dalam kitab Tafsir-nya, Ibnu Murdawaih di dalam kitab Tafsir-nya, dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadits Al-Hakam ibnu Aban yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ikrimah berkata, "Aku pernah mendengar Ibnu Abbas mengatakan, 'Muhammad pernah melihat Tuhannya Yang Mahasuci lagi Mahatinggi.' Maka aku berkata, 'Bukankah Allah telah berfirman: Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan. (Al-An'am: 103)?' Ibnu Abbas berkata kepadaku, 'Semoga engkau tidak beribu (yakni celakalah kamu).
Yang demikian itu adalah nur-Nya yang juga merupakan nur-Nya. Apabila Allah menampakkan nur-Nya, maka tidak ada sesuatu pun yang dapat melihat-Nya'." Menurut riwayat lain, tidak ada sesuatu pun yang dapat tegak karena-Nya. Imam Hakim mengatakan bahwa atsar ini shahih dengan syarat Syaikhain (Bukhari dan Muslim), tetapi keduanya tidak mengetengahkannya. Semakna dengan atsar ini ada sebuah hadits yang ditetapkan di dalam kitab Shahihain melalui hadits Abu Musa Al-Asy'ari secara marfu yaitu: Sesungguhnya Allah tidak pernah tidur, dan tidak layak bagi-Nya tidur; Dia merendahkan timbangan (amal) dan meninggikannya.
Dilaporkan kepada-Nya amal perbuatan siang hari sebelum malam tiba, dan amal malam hari sebelum siang hari tiba. Hijab (penghalang)-Nya adalah nur (atau api), seandainya Dia membuka hijab~Nya, niscaya kesucian Zat-Nya akan membakar semua makhluk-Nya sepanjang penglihatan-Nya. Di dalam kitab-kitab terdahulu disebutkan bahwa sesungguhnya Allah berfirman kepada Musa ketika Musa memohon agar dapat melihat-Nya, "Wahai Musa, sesungguhnya tidak ada makhluk hidup pun yang melihatKu melainkan pasti mati, dan tidak ada benda mati pun (yang Aku menampakkan diri-Ku kepadanya) melainkan pasti hancur lebur." Dan Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman: Tatkala Tuhannya tampak bagi gunung itu, kejadian itu membuat gunung itu hancur lebur dan Musa pun jatuh pingsan.
Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, "Mahasuci Engkau, aku bertobat kepada Engkau, dan aku orang yang pertama-tama beriman. (Al-A'raf: 143) Yang di-nafi-kan (ditiadakan) oleh atsar ini adalah idrak secara khusus, tetapi bukan berarti me-nafi-kan dapat melihat-Nya kelak di hari kiamat; kelak di hari kiamat Allah menampakkan diri-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin menurut apa yang dikehendaki-Nya. Adapun mengenai keagungan dan kebesaran-Nya, sesuai dengan Zat-Nya Yang Mahatinggi lagi Mahasuci serta Mahabersih, tidak dapat dicapai oleh pandangan mata.
Karena itulah Ummul Muminin Siti Aisyah menetapkan adanya penglihatan (dapat melihat Allah) di akhirat dan me-nafi-kan (meniadakan)nya di dunia. Siti Aisyah mengatakan demikian dengan berdalilkan firman-Nya yang mengatakan: Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan. (Al-An'am: 103) Hal yang di-nafi-kan oleh Siti Aisyah ialah pencapaian yang dengan kata lain melihat kebesaran dan keagungan Allah sesuai dengan keadaan Zat-Nya, karena sesungguhnya hal tersebut tidak mungkin bagi manusia, tidak mungkin bagi para malaikat, tidak mungkin pula bagi makhluk lainnya.
sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan. (Al-An'am: 103) Artinya, Dia meliputi semuanya dan mengetahui seluk-beluknya, karena sesungguhnya semuanya itu adalah makhluk-Nya, seperti yang disebutkan di dalam ayat lain: Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kalian lahirkan dan rahasiakan); dan Dia Mahahalus lagi Maha Mengetahui? (Al-Mulk: 14) Adakalanya pengertian absar diungkapkan menunjukkan makna orang-orang yang melihat, seperti yang dikatakan oleh As-Suddi dalam takwil firman-Nya: Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan. (Al-An'am: 103) Yakni tiada sesuatu pun yang dapat melihat-Nya, sedangkan Dia melihat semua makhluk.
Abul Aliyah telah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: dan Dialah Yang Mahahalus lagi Maha Mengetahui. (Al-An'am: 103) Yakni Mahahalus untuk mengeluarkannya lagi Maha Mengetahui tentang tempatnya, Wallahu lam. Takwil ini sama pengertiannya dengan nasihat Luqman terhadap anaknya, seperti yang disitir oleh firman Allah subhanahu wa ta’ala berikut: (Luqman berkata), "Wahai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Mahahalus lagi Maha Mengetahui. (Luqman: 16)"
Setelah terbukti bahwa keyakinan mereka itu salah dan sesat, ayat ini sampai kepada kesimpulan bahwa yang memiliki sifat-sifat yang demikian mulia itulah Allah Yang Maha Esa, Tuhan pemelihara kamu; tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Dia; pencipta segala sesuatu, karena itu maka sembahlah Dia; Dialah pemelihara segala sesuatu. Untuk lebih menguatkan uraian sifat-sifat Allah seperti yang disebut sebelumnya, Allah lalu menyatakan bahwa Dia tidak dapat dicapai dalam bentuk apa pun oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat menjangkau dan melihat dengan sejelas-jelasnya segala penglihatan itu, dan Dialah Yang Mahahalus sehingga tidak dapat dilihat oleh makhluk, lagi Mahateliti sehingga dapat melihat segala sesuatu.
Allah menerangkan kepada orang-orang musyrik, bahwa Allah memiliki sifat-sifat seperti disebutkan dalam ayat yang lalu. Itulah sebenarnya Tuhan yang wajib mereka sembah. Yang menciptakan segala sesuatu, tidak ada tuhan yang lain kecuali Dia, bukan tuhan-tuhan yang mereka ciptakan seperti berhala-berhala, atau malaikat-malaikat yang dianggap sebagai anak Tuhan; karena semuanya itu adalah makhluk ciptaan Allah yang tidak pantas diperserikatkan kepada Dia.
Di akhir ayat ini Allah menegaskan bahwa Dialah pemelihara segala sesuatu yaitu menguasai segala urusan, mengurusi jagat raya dan isinya dengan ilmu, hikmat dan kekuasaan-Nya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 100
“Dan mereka jadikan bagi Allah sekutu-sekutu daripada jin."
Alam jin ialah makhluk halus yang tidak kelihatan oleh mata. Menurut keterangan Qatadah dan As-Suddi, yang dimaksud dengan jin di sini ialah malaikat. Dan menurut keterangan Al-Hassan, yang mereka maksud ialah setan. Sebab, memang ada kepercayaan bahwa penguasa alam itu adalah dua. Pertama Allah sebagai Tuhan sekalian kebaikan, kebenaran, kemuliaan, dan ketinggian yang dilambangkan dengan nur atau terang. Dan Tuhan yang kedua ialah iblis atau setan, sebagai Tuhan dari segala kejahatan, kedurhakaan, kekufuran, dan dilambangkan dengan kegelapan. Penganut agama Manu di Iran (Persia) adalah menganut paham yang demikian. Itulah agama orang Persia yang hingga sekarang mereka anut. Tuhan dengan dua nama. Pertama, Ahuramazda (Tuhan Terang). Kedua, Ahriman sebagai Tuhan dari kegelapan. Mereka ambillah api, lalu mereka sembah, sebab api sebagai lambang daripada terang. Lantaran itu agama mereka menjadi penyembah api yang kita kenal dengan sebutan Majusi. Setelah seluruh Iran menerima Islam, sisa kaum Majusi itu lari ke India. Sampai sekarang mereka berpusat di Bombay. Di sana masih mereka pelihara api yang disembah itu yang tidak boleh dibiarkan padam, sebab itu dijaga terus, sudah lebih dari 2.000 tahun.
Adapun orang Arab sendiri pada zaman jahiliyyah itu ada pula kepercayaannya bahwa Tuhan kawin dengan jin lalu mendapat putri perempuan. Putri itulah yang jadi malaikat.
Menyembah jin adalah kepercayaan lama dari bangsa Yunani dan Romawi. Mereka bagi menjadi tiga tingkat. Yang pertama sekali ialah Egrinus, disebut juga Zeus, disebut juga Yupiter. Derajat kedua ialah tuhan-tuhan yang mengatur tiap-tiap kota atau daerah sehingga tiap kota ada tuhannya yang mengaturnya sendiri. Di Roma sendiri didirikan sebuah berhala Tuhan perempuan yang terbuat dari emas. Karena banyak yang dituhankan, majulah seni memahat patung bangsa Yunani dan Romawi.
Tingkat ketiga ialah pengiring-pengiring dan tuhan-tuhan itu.
Homerus pengarang Elyses Odysses, syair-syair dongeng kuno itu mengarang syair men-ceritakan peperangan di antara tuhan-tuhan itu, kadang-kadang berebut kekasih, yaitu tuhan-tuhan perempuan.
Orang Hindu menamai tuhan-tuhan itu dewa. Orang Hindulah yang paling banyak memiliki tuhan-tuhan atau dewa-dewa. Dewa tertinggi ialah Kanara. Yang kedua Yaka, yang membagi-bagikan rezeki kepada manusia. Dan ada lagi dewa-dewa perempuan. Yang tertinggi sekali ialah Dewi Indra. Orang Hindu pada dasarnya percaya bahwa Tuhan Yang Tertinggi hanyalah Esa juga, yaitu Brahman. Namun, menjadi Trimurti, yaitu Brahma, Wisynu, dan Syiwa. Kemudian, timbul lagi dewa-dewa lain berpuluh ribu banyaknya.
Di Syria sampai sekarang ini terdapat satu golongan agama bernama Yazidiyah. Mereka pun menyembah setan, memuja iblis agar iblis jangan memperdayakan mereka. Dan dalam kalangan Kristen juga ada kepercayaan bahwa iblis itu pun setelah diusir dari surga, menjadi musuh bagi Allah dan manusia sejak dari Adam dan Hawa. Namun, dia masih tetap berkuasa dalam alam ini, sebagai Tuhan dari kejahatan. Kadang-kadang, mereka namai setan itu Penghulu Dunia.
Dengan ayat ini, disebutkanlah bahwa ada juga Musyrikin Arab yang mempersekutukan Allah dan jin."Padahal Dialah yang menjadikan mereka." Artinya, padahal Allah-lah yang menjadikan jin-jin itu! Bagaimana Allah yang menjadikan makhluk yang tidak kelihatan oleh mata itu akan dipersekutukan dengan yang Dia jadikan? Disamakan kedudukan barang yang dijadikan dengan yang menjadikan. Meskipun di kalangan mereka ada yang berkata bahwa setan dan iblis adalah tuhan dari kegelapan, yang mungkin dari sebab hendak membersihkan Allah, padahal dengan demikian mereka telah mengurangi kekuasaan Allah separuh.
Sehingga tersebab kepercayaan itu, Allah tidak sanggup lagi mengubah kejahatan, sebab kejahatan tidak dapat dikuasal-Nya. Sebab kejahatan di bawah kuasa setan.
Rupanya kepercayaan-kepercayaan semacam itu terdapat juga pada bangsa kita, sebagai sisa dari paham diriamisme purbakala.
Di daerah-daerah yang belum mendalam perasaan tauhid, walaupun sudah memeluk agama Islam, masih terdengar jugasekali-sekali bahwa di suatu tempat adalah angker atau sakti dan ada “penghuni"nya. Agar “penghuni" itu jangan mengganggu, terkadang diadakan sajian (sajen) atau sekurang-kurangnya kalau melintas di tempat itu hendaklah memberi hormat dan meminta permisi."Izinkanlah perhamba datuk jalan di sini!" Dan lain-lain. Dan masih ada pusaka ucapan mantra yang sekarang sudah tak terpakai lagi, misalnya:
Hai yang di bigak yang di bigau, yang di seraja tua, yang di gunung merapi.
Hai si Mambang tunggal si Mambang hitam.
Dengan mantra itu disebutlah orang halus atau jin atau orang sibunian atau dewa sebagai kata orang Hindu atau jin sebagai kata orang Arab. Maka dengan ayat yang tengah kita tafsirkan ini, Allah tidaklah memungkiri bahwa makhluk yang demikian memang ada. Namun, semuanya itu adalah Allah sendiri yang menjadikannya dan tidaklah dia bersekutu dengan Allah dalam menguasai alam ini sendiri pun. Maka, kalau makhluk itu telah mulai kita puja, diberi sajian, dihormati, atau dimintai tolong, mulailah dia dipersekutukan dengan Allah. Dan kalau telah mempersekutukan Allah, tentulah musyrik, tidak tulen tauhidnya lagi, artinya kufur.
Kalau kita pahamkan lagi lebih mendalam, tampaklah bahwa adanya makhluk-makhluk gaib itu bukan tidak diakui. Ada ruh baik dan ada ruh jahat. Ada malaikat dan ada jin, ada setan dan ada iblis, ada orang sibunian dan ada hantu, ada hantu haru-haru, ada hantu rumah dan ada pontianak dan ada si cindai. Di antara 1.000 cerita tentang orang bertemu dengan hantu, agak sebuah tentu ada yang betul. Bahkan gerakan Theosofie sengaja mengadakan latihan untuk bertemu dengan ruh orang yang telah mati. Pengalaman ahli-ahli tasawuf pun pernah menemui penjelmaan ruh yang mulanya seperti asap, lalu menubuh. Namun, ajaran tauhid menyebabkan bahwa manusia yang matang tauhidnya tidak terpengaruh dan tidak takut kepada segala ruh-ruh itu sebab mereka itu semuanya bukan Tuhan, bukan bersekutu dengan Allah dan tidak bisa membawa cedera kepada manusia kalau tidak izin Allah. Lantaran itu maka orangyang bertauhid, sedikitpun tidak merasa gentar menghadapi segala-galanya itu. Yang kerap kali terganggu oleh ruh-ruh jahat itu, hanyalah orang-orang yang kurang iman dan tauhidnya juga.
Bertambah kuat tauhid dan iman, bertambah terasalah bahwa di kiri kanan kita ini ada yang halus yang menjaga kita. Hal itu dijelaskan terang oleh Al-Qur'an, sebagaimana telah banyak kita bicarakan. Dan bertambah kita menjauh dari Allah, bertambah banyaklah gangguan dari yang halus yang lain kepada kita, baik godaan setan maupun godaan hantu. Bertambah kecil jiwa seseorang, pengecut, penuh takhyul dan khurafat maka yang tidak hantu pun akan menjelma jadi hantu.
Oleh karena itu, tidak perlu kita belajar suatu “ilmu" buat berteman dengan orang halus. Akan tetapi, perkuatlah iman dan tauhid kepada Allah maka Allah berjanji akan memberikan teman. (Lihat Fushshilat ayat 30).
Di sini, dapatlah kita merasakan betapa penting arti tauhid bagi kepentingan pribadi.
“Dan mereka karang-karangkan untuk Dia anak-anak laki-laki dan anak-anak perempuan dengan tidak ada pengetahuan." Mereka karang-karangkan saja, mereka buat-buatkan saja bahwa Allah itu ada beranak, ada yang laki-laki dan ada yang perempuan; semuanya itu adalah karena kebodohan saja. Karena kalau mereka tidak didorong oleh kebodohan sedang mereka ada pengetahuan tentang hakikat ketuhanan, menurut akal yang cerdas, tidaklah mungkin mereka membuat-buat kata atau kepercayaan yang demikian.
“Mahasucilah Dia dan Mahatinggi daripada apa yang mereka sifatkan itu."
Mahasuci dan Mahatinggi Dia sehingga tidaklah pantas Dia dikotori dengan kepercayaan demikian. Mahatinggi Dia, jauh dari persangkaan yang demikian itu bodohnya. Kalau Dia beranak, seorang atau banyak, laki-laki atau perempuan, niscaya Allah itu terdiri dari satu janin dan anak-anaknya itu menurunkan akan jenisnya pula sehingga penuhlah alam ini dengan berbagal-bagai tuhan, yang akan timbul perebutan pengaruh, sebagai telah dikhayatkan oleh Homerus dengan syair-syairnya itu sehingga Aristoteles sendiri lalu membantah dan mengatakan tidak masuk akal bahwa tuhan-tuhan akan berperang sesamanya.
Ayat 101
“Penjetmakan semua langit dan bumi. Bagaimana akan ada bagi-Nya anak? Padahal tidak ada bagi-Nya istri?"
Allah yang menjelmakan semua langit dan bumi dengan kehendak-Nya sendiri, tidak menurut contoh yang diberikan orang lain, asli tidak ada tandirigan (original). Semua manusia yang berakal, pemeluk segala agama, walaupun penyembah dewa-dewa sekalipun mengakui bahwa Allah Yang Tunggal itulah yang menciptakan semua langit dan bumi. Cobalah perhatikan betapa besarnya kerajaan semua langit dan bumi itu. Sekarang dikatakan Dia beranak. Kalau Dia beranak, niscaya ada istrinya. Kalau sudah beranak-beristri tentu Dia sebagaimana yang kita katakan tadi, terdiri dari satu jenis. Dan kalau ada satu jenis niscaya ada lagi jenis lain. Pendeknya, kalau dia sudah beranak-anak dan beristri, bukanlah dia Tuhan. Dan bukan jenis yang semacam itu yang sanggup menciptakan semua langit dan bumi ini, “Dan Dialah yang menjadikan segala sesuatu." Dia menjadikan, bukan menganak-kan! Segala sesuatu yang kamu buat-buatkan atau yang kamu karang-karangkan sebagai anak dari Allah bukanlah dia anak-Nya, melainkan makhluk-Nya. Dengan demikian, kalau kalimat suatu bahasa telah kamu pakai, untuk bukan maksudnya sehingga makhluk yang dijadikan Allah kamu katakan anak Allah, niscaya langit dan bumi, bintang, matahari, dan bulan, binatang di darat dan ikan di laut, semuanya hendaklah dikatakan anak Allah pula! Dan kalau sudah demikian maksudmu hendak mengisti-mewakan beberapa makhluk itu menjadi anak Allah, tidaklah ada faedahnya sama sekali, me-lainkan dari khayat dan dongeng!
“Dan Dia atas tiap-tiap sesuatu adalah Mengetahui."
Berkata ahli tafsir al-Baidhawi, “Dengan ayat ini, dapatlah diambil dalil tentang Allah bukan beranak dari beberapa wajah. Pertama, Dia pencipta menjelmakan semua langit dan bumi. Dan semua langit dan bumi itu adalah jenis, tidaklah pernah beranak, tetapi ada terus dan lama. Maka, penjelmaan semua langit dan bumi itu pun lebih tinggilah daripada persangkaan akan beranak. Kedua, yang masuk akal, kalau ada maka dia adalah hasil hubungan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan Tuhan bukan laki-laki dan bukan perempuan. Ketiga, seorang anak niscaya sebangsa dengan ayahnya dan di sini tidak dapat sebangsa itu karena dua sebab. Sebab pertama, selain dan Allah adalah makhiuk Allah, sedangkan makhluk tidaklah sebangsa dengan Khaliknya. Sebab kedua, Zat Allah itu Maha Mengetahui akan sekalian dan seluruh makhluk-Nya. Sedang yang selain Dia itu tidaklah demikian." Sekian al-Baidhawi.
Ayat 102
“Demikian itulah Allah, Tuhan kamu. Tidak ada Tuhan melainkan Dia. Yang menjadikan tiap sesuatu maka sembahlah Dia dan Dia atas tiap-tiap sesuatu adalah Pemelihara."
Begitulah Tuhan kamu itu, wahai segala manusia yang mempunyai akal, sejak orang yang masih musyrik sampai pada mukallaf. Suci Dia dari yang kamu sifatkan itu sebab itu bersihkan pulalah akal kamu dari kekeruhan dan kekarutan. Hanya Dia sendirilah yang mengurus dan menguasai alam ini, semua langit dan bumi dan semua makhluk. Memang Allah menjadikan sesuatu makhluk buat di-perintah-Nya, melaksanakan apa yang Dia perintahkan, yakni malaikat. Malaikat adalah makhluk, bukan anak Tuhan. Dimisalkan kamu hendak masuk ke dalam istana menghadap raja, alangkah janggalnya jika kamu tiap-tiap berjumpa dengan penjaga pintu, penjaga pagar, opas pejabat lalu kamu menyembah kepada mereka? Itu hanyalah misal yang ringan saja, sebab Allah tiada dapat dimisalkan.
Ayat 103
“Tidaklah mencapai akan Dia pemandangan."
Pandangan mata yang lemah peralatannya ini tidaklah dapat mencapai untuk melihat Allah. Oleh karena itu, janganlah pula kamu bodoh sehingga kamu tidak percaya akan adanya Allah lantaran matamu tidak dapat melihat Dia, Yang dapat dicapai oleh penglihatan mata hanyalah sedikit sekali daripada alam ini. Beribu-ribu kali penglihatan mata terkicuh oleh yang dilihat, walaupun yang dilihat barang yang nyata. Berapa banyaknya benda yang dari jauh kelihatan indah, seumpama puncak gunung, tetapi setelah kita sampai di puncaknya, ternyata yang indah itu tidak ada.
Kadang-kadang mata melihat awan bergumpal-gumpal pada waktu pagi dan petang hari, berbagai macam warnanya. Padahal warna itu hanya kelihatannya saja. Sebab, kalau misalnya kita pergi ke tempat awan itu, ternyata warna itu sama sekali tidak ada.
Demikianlah amal di luar diri menurut yang dicapai oleh penglihatan mata ini. Apalagi yang di dalam diri kita sendiri, yang terang adanya, tetapi tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata kita, amatlah banyaknya. Telinga kita, kuduk kita, apalagi hati jantung kita, isi perut kita. Malahan mata yang kita pergunakan untuk melihat itu pun belum pernah kita lihat dan selama hidup tidak akan dapat kita lihat. Demikianlah kalau kita bicarakan perihal yang nyata, tetapi tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata. Apalagi Allah. Oleh sebab itu, selalu Allah di dalam Al-Qur'an menyuruh mempergunakan akal, pikiran, paham, dan fikih. Karena dengan itu, baru kita dapat mencapai keyakinan akan adanya Allah. “Tetapi, Dia mencapai pemandangan-pemandangan itu." Artinya, bahwa pandangan mata kita yang lemah ini tidaklah dapat melihat Allah, tetapi Allah sendiri tetap mencapai dan melihat penglihatan mata kita itu. Di ujung ayat disebutkan,
“Dan Dia adalah Amat Halus lagi Amat Tahu."