Ayat
Terjemahan Per Kata
ثُمَّ
kemudian
يُجۡزَىٰهُ
diberi balasan kepadanya
ٱلۡجَزَآءَ
balasan
ٱلۡأَوۡفَىٰ
cukup/sempurna
ثُمَّ
kemudian
يُجۡزَىٰهُ
diberi balasan kepadanya
ٱلۡجَزَآءَ
balasan
ٱلۡأَوۡفَىٰ
cukup/sempurna
Terjemahan
kemudian dia akan diberi balasan atas (amalnya) itu dengan balasan yang paling sempurna,
Tafsir
(Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna") pembalasan yang paling lengkap. Diambil dari asal kata, Jazaituhu Sa'yahu atau Bisa'yihi, artinya, "Aku memberikan balasan terhadap usahanya, atau aku memberikannya balasan atas usahanya." Dengan kata lain lafal Jazaa ini boleh dibilang sebagai Fi'il Muta'addi atau Fi'il Lazim.
Tafsir Surat An-Najm: 33-41
Maka apakah kamu melihat orang yang berpaling (dari Al-Qur'an)? Serta memberi sedikit dan tidak mau memberi lagi? Apakah dia mempunyai pengetahuan tentang yang gaib sehingga dia mengetahui (apa yang dikatakan)? Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran-lembaran Musa? Dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji (Yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya).
Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, mencela orang-orang yang berpaling dari ketaatan terhadap-Nya. Sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain: Dan ia tidak mau membenarkan (Rasul dan Al-Qur'an) dan tidak mau mengerjakan .shalat, tetapi ia mendustakan (Rasul) dan berpaling (dari kebenaran). (Al-Qiyamah: 31-32) Dan disebutkan dalam firman selanjutnya dari surat ini: serta memberi sedikit dan tidak mau memberi lagi? (An-Najm: 34) Yakni taat sebentar, kemudian berhenti, menurut Ibnu Abbas. Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah dan Qatadah serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang. Ikrimah dan Sa'id mengatakan bahwa perumpamaannya sama dengan suatu kaum yang menggali sebuah sumur, dan di tengah-tengah pekerjaannya mereka menjumpai batu besar yang menghambat mereka dari menyempurnakan pekerjaannya.
Lalu mereka berkata, "Kami telah lelah," kemudian mereka tinggalkan pekerjaannya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Apakah dia mempunyai pengetahuan tentang yang gaib sehingga dia mengetahui? (An-Najm: 35) Yakni apakah orang yang menggenggamkan tangannya dan tidak mau berinfak serta memutuskan kebajikannya mengetahui tentang yang gaib, bahwa kelak apa yang ada di tangannya bakal habis, yang karenanya dia menggenggamkan tangannya tidak mau berbuat kebajikan, maka apakah dia melihat akibat itu dengan mata kepalanya sendiri? Yakni pada kenyataannya tidaklah demikian.
Sesungguhnya dia menggenggamkan tangannya dari sedekah berbuat kebajikan dan memberikan santunan (derma) serta silaturahmi hanyalah semata-mata karena kekikiran dirinya. Untuk itulah maka disebutkan di dalam hadits bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda memerintahkan kepada Bilal yang menjadi bendaharanya: Belanjakanlah, wahai Bilal, janganlah kamu takut kehabisan demi karena Tuhan Yang mempunyai 'Arasy. Dan disebutkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dialah Pemberi rezeki yang sebaik-baiknya. (Saba':39) Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala: Ataukah belum diberitakan kepadanya apa yang ada dalam lembaran-lembaran Musa? Dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji? (An-Najm: 36-37) Said ibnu Jubair dan Ats-Tsauri mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah Nabi Ibrahim adalah orang yang selalu menyampaikan semua apa yang diperintahkan kepadanya.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa Nabi Ibrahim a.s. selalu menunaikan apa yang diperintahkan Allah kepadanya untuk disampaikan. Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa Nabi Ibrahim adalah orang yang selalu menunaikan apa yang diperintahkan kepadanya. Qatadah mengatakan, Nabi Ibrahim adalah orang yang selalu menunaikan ketaatannya kepada Allah dan menyampaikan risalah-Nya kepada makhluk-Nya. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir dan pengertiannya mencakup semua yang telah disebutkan di atas.
Pengertian ini diperkuat pula dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala yang mengatakan: Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia. (Al-Baqarah: 124) Maka Ibrahim mengerjakan semua perintah itu dan meninggalkan semua larangan serta menyampaikan risalah dengan lengkap dan sempurna. Oleh karenanya maka dia berhak menjadi pemimpin bagi seluruh manusia yang patut dijadikan panutan dalam semua keadaan, perbuatan, dan ucapannya. Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman pula: Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (An-Nahl: 123) Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Auf Al-Himsi, telah menceritakan kepada kami Adam ibnu Abu Iyas Al-Asqalani, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnuz Zubair, dari Al-Qasim, dari Abu Umamah yangjnenceritakan bahwa Rasulullah ﷺ membaca ayat ini, yaitu firman-Nya: Dan lembaran-lembaran Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji? (An-Najm: 37) Lalu Rasulullah ﷺ bertanya.
Tahukah kamu apakah yang dimaksud dengan menyempurnakan janji?" Aku (Abu Umamah ) menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui." Rasulullah ﷺ bersabda: Menunaikan pekerjaan sehari-harinya dengan mengerjakan shalat empat rakaat di permulaan siang hari. Ibnu Jarir meriwayatkan hadits ini melalui Ja'far ibnuz Zubair, sedangkan Ja'far orangnya dha’if. Imam At-Tirmidzi mengatakan di dalam kitab Jami'-nya, telah menceritakan kepada kami Ja'far As-Samnani, telah menceritakan kepada kami Abu Misar, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Iyasy, dari Yahya ibnu Sa'd, dari Khalid ibnu Ma'dan, dari Jubair ibnu Nafir, dari Abu Darda dan Abu Dzar, dari Rasulullah ﷺ, dari Allah subhanahu wa ta’ala yang telah berfirman: Wahai anak Adam, salatlah karena Aku sebanyak empat rakaat pada permulaan siang hari (mu), niscaya Aku memberikan kecukupan kepadamu di akhir siang hari (mu).
Ibnu Abu Hatim rahimahullah mengatakan, telah menceritakan pula kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi' ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Asad ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah, telah menceritakan kepada kami Zaban ibnu Fayid, dari Sahl ibnu Mu'az ibnu Anas, dari ayahnya, dari Rasulullah ﷺ yang telah bersabda: Maukah aku ceritakan kepada kalian mengapa Allah menamakan Ibrahim dengan sebutan 'kekasih-Nya' yang selalu menyempurnakan janji? Sesungguhnya dia setiap pagi hari dan petang hari selalu mengucapkan, "Maka bertasbihlah kepada Allah ketika kamu berada di petang hari dan waktu subuh " (Ar-Rum: 17) Ibnu Jarir meriwayatkan hadits ini melalui Abu Kuraib, dari Rasyidin ibnu Sad, dari Zaban dengan sanad yang sama.
Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan apa yang telah Dia wahyukan kepada Ibrahim dan Musa yang termaktub di dalam lembaran-lembaran masing-masingnya. Untuk itu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. (An-Najm: 38) Yakni tiap-tiap diri yang berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri karena melakukan kekufuran atau suatu dosa, maka sesungguhnya yang menanggung dosanya adalah dirinya sendiri, tiada seorang pun yang dapat menggantikannya sebagai penanggungnya. Semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu, tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikit pun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. (Fathir: 18) Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. (An-Najm: 39) Yaitu sebagaimana tidak dibebankan kepadanya dosa orang lain, maka demikian pula dia tidak memperoleh pahala kecuali dari apa yang diupayakan oleh dirinya sendiri.
Berdasarkan ayat ini Imam Syafii dan para pengikutnya menyimpulkan bahwa bacaan Al-Qur'an yang dihadiahkan kepada mayat tidak dapat sampai karena bukan termasuk amal perbuatannya dan tidak pula dari hasil upayanya. Karena itulah maka Rasulullah ﷺ tidak menganjurkan umatnya untuk melakukan hal ini, tidak memerintahkan mereka untuk mengerjakannya, tidak pula memberi mereka petunjuk kepadanya, baik melalui nas hadits maupun makna yang tersirat darinya. Hal ini tidak pernah pula dinukil dari seseorang dari para sahabat yang melakukannya.
Seandainya hal ini (bacaan Al-Qur'an untuk mayat) merupakan hal yang baik, tentulah kita pun menggalakkannya dan berlomba melakukannya. Pembahasan mengenai amal taqarrub itu hanya terbatas pada apa-apa yang digariskan oleh nas-nas syariat, dan tidak boleh menetapkannya dengan berbagai macam hukum analogi dan pendapat mana pun. Akan tetapi, berkenaan dengan doa dan sedekah (yang pahalanya dihadiahkan buat mayat), maka hal ini telah disepakati oleh para ulama, bahwa pahalanya dapat sampai kepada mayat, dan juga ada nas dari syariat yang menyatakannya.
Adapun mengenai hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya, dari Abu Hurairah . yang menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: Apabila manusia mati, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, yaitu anak saleh yang mendoakannya, atau sedekah jariyah sesudah kepergiannya atau ilmu yang bermanfaat. Ketiga macam amal ini pada hakikatnya dari hasil jerih payah yang bersangkutan dan merupakan buah dari kerjanya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits: Sesungguhnya sesuatu yang paling baik yang dimakan oleh seseorang adalah dari hasil upayanya dan sesungguhnya anaknya merupakan hasil dari upayanya.
Sedekah jariyah, seperti wakaf dan lain sebagainya yang sejenis, juga merupakan hasil upaya amal dan wakafnya. Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman: Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. (Yasin: 12) Ilmu yang dia sebarkan di kalangan manusia, lalu diikuti oleh mereka sepeninggalnya, hal ini pun termasuk dari jerih payah dan amalnya. Di dalam kitab shahih disebutkan: Barang siapa yang menyeru kepada jalan petunjuk, maka baginya pahala yang semisal dengan pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi-pahala mereka barang sedikit pun.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). (An-Najm: 40) Yakni kelak di hari kiamat, semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya: Dan katakanlah, "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.(At-Taubah: 105) Yaitu kelak Dia akan memberitahukan kepada kalian amal perbuatan kalian dan membalaskannya terhadap kalian dengan pembalasan yang sempurna.
Jika baik, maka balasannya baik; dan jika buruk, balasannya buruk. Demikian pula yang disebutkan dalam surat ini melalui firman-Nya: Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna. (An-Najm: 41) Maksudnya, balasan yang penuh."
41-42. Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna. Amal yang baik akan mendapat balasan yang berlipat ganda, dan amal yang buruk akan dibalas sesuai kadar keburukannya. Dan selain itu, disebutkan pula dalam lembaran-lembaran kitab suci itu bahwa sesungguhnya hanya kepada Tuhanmu permulaan dan kesudahan segala sesuatu. 41-42. Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna. Amal yang baik akan mendapat balasan yang berlipat ganda, dan amal yang buruk akan dibalas sesuai kadar keburukannya. Dan selain itu, disebutkan pula dalam lembaran-lembaran kitab suci itu bahwa sesungguhnya hanya kepada Tuhanmu permulaan dan kesudahan segala sesuatu.
Ayat ini menyatakan bahwa Allah akan membalas amal perbuatan seseorang dengan balasan yang lebih sempurna dengan melipatgandakan baginya perbuatan baik, dan membalas suatu kejahatan dengan yang serupa atau dimaafkan.
Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa Akulah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang, dan sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih. (al-hijr/15: 49-50).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
ORANG YANG MEMENTINGKAN DIRI SENDIRI
Setelah itu sekarang Allah menyuruh memerhatikan haluan hidup dari orang yang mementingkan diri sendiri atau yang di dalam bahasa asing disebut orang egoistis.
Ayat 33
“Apakah engkau lihat onang yang benpaling?"
Berpaling, sebab dia tidak memerhatikan panggilan kepada jalan yang benar kepada hidup bermasyarakat.
Ayat 34
“Dan membelikan hanya sedikit dan enggan menambah?"
Mereka berpaling daripada seruan agar hidup bermasyarakat, hidup tolong-menolong dengan orang lain, terutama yang miskin agar dibantu, yang lemah agar dikuatkan dengan tangan kita sendiri. Orang yang berpaling tidaklah mau memberikan pertolongan kalau tidak diajak, kalau tidak diseru. Kalau dia hendak memberi, dia merasa memberi itu karena terpaksa saja, karena segan menyegan. Maka karena didesak orang juga, maulah dia membagi, tetapi hanya sedikit, tidak sepadan dengan kekayaannya. Kalau kiranya dipandang bahwa pemberiannya itu amat sedikit dibandingkan dengan kekayaan yang ada padanya, laludiminta supaya dia menambah maka dengan rasa enggan dan dengan mengomel dia menyatakan enggan memberikan tambahan itu. Orang yang begini adalah orang bakhil, jiwanya telah dikuasai oleh hartanya. Bukan dia lagi yang menguasai harta. Maka bakhil ini dipandang satu penyakit yang sangat buruk, yang menghambat kemajuan dari satu masyarakat. Dalam masyarakat orang bakhil ini, kemajuan pembangunan tidak akan ada. Karena orang berlomba menyembunyikan hartanya, takut akan diminta untuk berbuat kebajikan.
Ayat 35
“Atau adakah di sisinya ilmu tentang yang gaib dan dia pun melihat?"
Adakah orang yang bakhil, yang enggan mengeluarkan hartanya akan berbuat baik itu mengetahui yang gaib, sehingga diketahuinya bahwa dia akan lama menyimpan harta itu? Bahwa dia tidak akan mati? Bahwa dia akan senang selalu? Adakah dia melihat bahwa hidupnya di zaman yang akan datang akan senang dan umurnya akan lanjut? Adakah dia telah melihat itu semuanya?
Ayat 36
“Atau tidakkah diberitakan kepadanya apa yang tentulis di dalam sunat-sunat Musa?"
Surat-surat yang diterima Nabi Musa, yang disebut juga shuhuf, ialah berbagai wahyu yang beliau terima dan beliau tuliskan. Selain daripada menerima kitab Tauratyang terkenal diturunkan kepada Nabi Musa, beliau pun menerima juga surat-surat yang lain, atau shuhuf yang lain, yang berisi undang-undang dan pengajaran.
Ayat 37
“Dan ibrahim yang telah memenuhi (kewajibannya) ?"
Ayat 38
Nabi Ibrahim pun menerima pula surat-surat atau shuhuf itu daripada Allah, agar disampaikan kepada umat yang beliau datangi."(Bahwasanya) seonang pemikul beban tidaklah akan memikul beban onang lain."
Inilah isi dan kandungan daripada surat-surat atau shuhuf yang diturunkan Allah kepada Musa atau kepada Ibrahim, isi semuanya itu sama. Yaitu bahwasanya sesuatu beban yang dipikulkan kepada seseorang, adalah tanggungan dari orang itu sendiri. Kalau si Ahmad misalnya yang diperintah, tidaklah sah kalau si Hamid yng disuruh bertanggung jawab. Masing-masing manusia memikul tanggung jawab sendiri-sendiri, tidak boleh disuruh orang lain memikulnya. Kalau Ahmad yang bersalah, tidaklah si Mahmud yang mesti menanggung kesalahan itu.
Ayat 39
“Dan bahwa manusia tidaklah akan mempenoleh, melainkan sekadan usahanya"
Ayat ini adalah pengakuan dari Allah sendiri, bahwasanya memang Ibrahim telah diberi berbagai cobaan dari Allah dan cobaan itu telah disempurnakannya dengan baik. Setelah Ibrahim memenuhi ujian itu dan memenuhi apa yang diperintahkan dengan baik, dengan setia dan tidak ada yang kecewa, sampai mau dibakar, sampai disuruh menyembelih anak, dan semuanya itu dipatuhinya, barulah datang titah Allah bahwa dia akan diangkat Allah menjadi imam bagi manusia. Tegasnya barulah di waktu itu diakui Allah bahwa dia berhak jadi Imam. Lalu Ibrahim memohonkan, kalau boleh anak-cucu keturunan beliau pun dapat pula jadi imam itu. Tetapi Allah pun menjawab, bahwa janji Allah buat jadi imam itu tidak akan dapat memasukkan ke dalamnya orang-orang zalim.
Maka ayat yang kita salinkan ini menguatkan lagi bagi tafsir ayat yang tengah kita uraikan, yaitu, “Bahwa manusia tidaklah akan memperoleh melainkan sekadar usahanya" Mentang-mentang ayah seorang besar, seorang berjasa, belumlah langsung anak akan mendapat untung baik saja dari sebab usaha ayahnya. Kita pun jangan lupa bahwa ayah kandung Nabi Ibrahim sendiri adalah seorang tukang membuat berhala yang sangat ditentang oleh Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim karena sangat halus perasaannya dan sangat iba kasihan kepada ayahnya yang tidak Islam itu, telah memohon kepada Allah agar ayahnya diberi ampun. Namun Allah tidak me-ngabulkan permohonan itu.
Ayat 40
“Dan bahwasanya segala usahanya itu kelak akan diperlihatkan kepadanya
Itulah keadilan Ilahi, yang tersebut jugs di dalam surah al-Zilzaal ayat 7 dan 8.
“Dan barangsiapa yang beramal walaupun sebesar atom kebajikan atau keburukan akan dilihatnya jua." (al-Zilzaal: 7-8)
Daripada segala ayat ini dapatlah kita mengambil kesimpulan bahwasanya yang akan dapat kita peroleh ialah dari usaha kita sendiri. Dosa yang saya perbuat tidaklah akan menjadi tanggungan orang lain dan jasa yang saya kerjakan, saya pulalah yang akan mengambil hasilnya. Tidaklah seorang dapat mem
banggakan bahwa neneknya si Anu, bapaknya si Fulan, orang-orang yang ternama dan orang-orang yang berjasa. Kalau seseorang tidak berusaha sendiri berbuat amal yang baik bagi dirinya, janganlah membangga dan berharap dari jasa dan usaha nenek moyangnya.
Ada orang mengemukakan alasan bahwasanya usaha orang tua terhadap anaknya itu akan sampai juga walaupun si ayah sudah mati. Mereka mengemukakan alasan hadits Muslim yang shahih, yaitu
“Apabila meninggal seorang anak Adam, terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara:
(2) Dari anak yang shalih mendoakannya. (2) Shadaqah jariyah yang dia tinggalkan. (3) Ilmu yang diambil orang manfaat daripadanya." (HR Muslim)
Ibnu Katsir pengarang tafsir yang terkenal mengatakan bahwa yang tiga itu, bukanlah usaha daripada anak yang ditinggalkan, melainkan usaha si ayah yang telah mati itu sendiri yang dia masih berhak menerima hasilnya. Ketiga-tiganya itu pada hakikatnya adalah usaha dari ayah itu sendiri, jerih payah dan amalannya. Sebagaimana tersebut di dalam hadits,
“SesMngguhrvya sebaik-baik makanan seorang laki-laki ialah dari bekas usahanya sendiri dan anaknya termasuk bekas usahanya sendiri."
Dan shadaqah jariyah seumpama wakaf dan yang seumpamanya, itu pun adalah dari si mati itu sendiri, dan amalnya dan sedekahnya. Inilah yang tersebut di dalam Al-Qur'an,
“Sesungguhnya Kami akan menghidupkan orang yang telah mati dan Kami tuliskan apa yang telah mereka amalkan lebih dahulu dan bekas yang mereka tinggalkan(Yaasiin: 12)
Dan ilmu yang dia sebarkan di antara manusia lalu diamalkan ilmu itu oleh manusia tadi, itu pun bekas usaha dan amal orang yang telah mati itu juga. Sebab sudah tersebut di dalam hadits yang shahih, sabda Nabi ﷺ.
“Barangsiapa yang menyeru manusia …suatu petunjuk, akan adalah baginya pahala seumpama pahala yang diterima oleh orang yang mengikutinya, dengan tidak dikurangi ganjarannya itu sedikit jua pun."
“Dan bahwasanya segala usahanya itu kelak akan diperlihatkan kepadanya." Segala usahanya itu, yang baik ataupun yang buruk, semuanya akan diperlihatkan kepadanya di hari Kiamat. Jika dia berusaha yang baik, gembiralah dia menerima ganjaran yang baik pula. Jika yang buruk pula yang banyak dikerjakan, itu pun akan diperlihatkan juga dengan tidak ada yang tersembunyi. Oleh sebab itu hendaklah kita berusaha membuat yang baik banyak-banyak dan berusaha pula memperkecil berbuat yang jahat dan tidak diridhai oleh Allah.
“Kemudian itu," yaitu setelah semuanya diperlihatkan,
Ayat 41
“Akan diberikan kepadanya ganjaran yang cukup."
Akhirnya datanglah ayat selanjutnya,
Ayat 42
“Dan sesungguhnya kepada Tuhan engkaulah segala kesudahan."