Ayat
Terjemahan Per Kata
وَمَا
dan tidak
يَنطِقُ
dia mengucap/berkata
عَنِ
dari
ٱلۡهَوَىٰٓ
hawa nafsu
وَمَا
dan tidak
يَنطِقُ
dia mengucap/berkata
عَنِ
dari
ٱلۡهَوَىٰٓ
hawa nafsu
Terjemahan
dan tidak pula berucap (tentang Al-Qur’an dan penjelasannya) berdasarkan hawa nafsu(-nya).
Tafsir
(Dan tiadalah apa yang diucapkannya itu) apa yang disampaikannya kepada kalian (menurut kemauan hawa nafsunya) menurut kehendaknya sendiri.
Tafsir Surat An-Najm: 1-4
Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru, dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). Asy-Sya'bi dan lain-lainnya menyebutkan bahwa Pencipta boleh saja bersumpah dengan menyebut nama makhluk-Nya yang dikehendaki-Nya, tetapi bagi makhluk tidak boleh bersumpah dengan menyebut nama selain Tuhan Yang Maha Pencipta (Allah subhanahu wa ta’ala), menurut riwayat Ibnu Abu Hatim. Ulama tafsir berbeda pendapat sehubungan dengan makna firman-Nya: Demi bintang ketika terbenam. (An-Najm: 1) Ibnu Abu Nujaih telah meriwayatkan dari Mujahid, bahwa yang dimaksud dengan bintang di sini adalah bintang surayya, yakni apabila terbenam bersamaan dengan munculnya fajar.
Hal yang sama telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Sufyan Ats-Tsauri, lalu dipilih oleh Ibnu Jarir. As-Suddi mengatakan bahwa bintang yang dimaksud adalah bintang zahrah (venus). Lain pula dengan Adh-Dhahhak, ia mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Demi bintang ketika terbenam. (An-Najm: 1) Yakni apabila dilemparkan ke arah setan-setan; pendapat ini mempunyai alasannya yang tersendiri. Al-A'masy telah meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan firman-Nya: Demi bintang ketika terbenam. (An-Najm: 1) Yaitu Al-Qur'an pada saat diturunkan.
Ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya: Maka Aku bersumpah dengan tempat beredarnya bintang-bintang. Sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang besar kalau kamu mengetahui, sesungguhnya Al-Qur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuz), tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan semesta alam. (Al-Waqi'ah: 75-80) Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala: kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. (An-Najm: 2) Inilah jawab dari sumpah di atas, yaitu kesaksian terhadap Rasul ﷺ bahwa beliau adalah orang yang berada pada jalan yang lurus, mengikuti kebenaran dan bukanlah orang yang sesat.
Yang dimaksud dengan orang yang sesat ialah orang yang menempuh jalan menyimpang tanpa pengetahuan. Dan orang yang keliru ialah orang yang mengetahui kebenaran, tetapi dengan sengaja menyimpang darinya. Maka Allah subhanahu wa ta’ala membersihkan Rasul-Nya dan syariat-Nya dari kemiripan yang biasa dilakukan oleh ahli kesesatan seperti kaum Nasrani dan golongan-golongan orang-orang Yahudi, yang mengetahui sesuatu, tetapi menyembunyikannya dan mengerjakan hal yang bertentangan dengannya. Bahkan salawat dan salam Allah terlimpahkan kepadanya, dan apa yang diamanatkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepadanya berupa syariat yang agung merupakan syariat yang benar-benar lurus, pertengahan, dan tepat.
Karena itulah maka disebutkan oleh firman-Nya: dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. (An-Najm: 3) Yakni apa yang diucapkannya itu bukanlah keluar dari hawa nafsunya dan bukan pula karena dilatarbelakangi tujuan. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (An-Najm: 4) Yaitu sesungguhnya yang diucapkannya itu hanyalah semata-mata berdasarkan wahyu yang diperintahkan kepadanya untuk ia sampaikan kepada manusia dengan sempurna dan apa adanya tanpa penambahan atau pengurangan. Sehubungan dengan hal ini Imam Ahmad mengatakan:
telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Jarir ibnu Us'man ibnu Abdur Rahman ibnu Maisarah, dari Abu Umamah, bahwa dia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: "Sesungguhnya dimasukkan ke dalam surga berkat syafaat seorang lelaki yang bukan nabi sebanyak orang yang semisal dengan dua kabilah atau salah satu dari dua kabilah yaitu Rabi'ah dan Mudar. Maka ada seorang lelaki yang bertanya, "Wahai Rasulullah, bukankah Rabi'ah itu berasal dari Mudar? Rasulullah ﷺ menjawab, "Aku hanya mengatakan apa yang harus kukatakan. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, dari Ubaidillah ibnul Akhnas, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Abdullah, dari Yusuf ibnu Mahik, dari Abdullah ibnu Amr yang mengatakan bahwa ia mencatat semua yang pernah ia dengar dari Rasulullah ﷺ dengan maksud untuk menghafalkannya.
Kemudian orang-orang Quraisy melarangku berbuat demikian. Mereka mengatakan, "Sesungguhnya kamu mencatat semua yang kamu dengar dari Rasulullah ﷺ, padahal Rasulullah ﷺ adalah seorang manusia yang juga berbicara di saat emosinya." Maka aku menahan diri dari menulis, kemudian aku ceritakan hal itu kepada Rasulullah ﷺ Beliau ﷺ bersabda: Teruskanlah tulisanmu, maka demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman-Nya, tiadalah yang keluar dari lisanku melainkan hanya hak (benar) belaka. Imam Abu Dawud meriwayatkan hadits ini melalui Musaddad dan Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, keduanya dari Yahya ibnu Sa'id Al-Qattan dengan sanad yang sama. Al-Hafidzh Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Mansur.
telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Al-Al-Laits, dari Ibnu Ajian, dari Zaid ibnu Aslum, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ yang telah bersabda: Apa yang kusampaikan kepada kalian dari sisi Allah itulah hal yang tiada keraguan padanya. Kemudian Al-Bazzar mengatakan, "Kami tidak mengetahui hadits ini diriwayatkan kecuali hanya melalui sanad ini." Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Al-Laits, dari Muhammad ibnu Sa'id ibnu Abu Sa'id, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah ﷺ yang telah bersabda: "Tiadalah yang kuucapkan melainkan benar belaka. Sebagian sahabat bertanya.Sesungguhnya engkau adakalanya berseloroh dengan kami, wahai Rasulullah. Rasulullah ﷺ bersabda, "Sesungguhnya aku tidak pernah mengucapkan kecuali kebenaran belaka."
Apa saja yang dilakukan oleh Nabi Muhammad merupakan perintah Tuhannya, dan tidaklah pula yang diucapkannya itu, yaitu ayat-ayat Al-Qur'an, merupakan perkataan kosong dan menurut keinginannya saja. 4. Al-Qur'an yang disampaikannya tidak lain adalah wahyu Allah yang diwahyukan kepadanya.
Dalam ayat ini Allah ﷻ menerangkan bahwa Muhammad ﷺ itu tidak sesat dan tidak keliru karena beliau seorang yang tidak pernah menuruti hawa nafsunya termasuk dalam perkataannya. Orang yang mungkin keliru atau tersesat ialah orang yang menuruti hawa nafsunya. Sebagaimana firman Allah: Janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. (shad/38: 26).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SURAH AN-NAJM
(BINTANG)
SURAH KE-53, 62 AYAT, DITURUNKAN DI MEKAH
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Pengasih.
Ayat 1
“Demi bintang apabila dia telah terbenam."
Di permulaan surah ini Allah mengambil sumpah di atas bintang. Bahasa Arabnya ialah an-Najm, yang kita artikan bintang. Tetapi Imam Fakhruddin ar-Razi menjelaskan di dalam tafsirnya bahwa arti an-Najm itu bukanlah semata-mata satu saja bintang. Beliau berkata dia berarti juga tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di bumi. Arti yang ketiga ialah bahwa bintang yang dimaksud di sini ialah Al-Qur'an sendiri, sebab dia memberi petunjuk.
Maka seorang Badwi penunjuk jalan yang tengah di perjalanan tidaklah mereka merasa bingung dan ragu jika musafir di waktu malam gelap gulita. Karena suatu jurusan yang akan ditempuh baik timur atau utara baik barat atau selatan, sudah ada bintangnya sendiri berpengalaman mengambil petunjuk pada edaran bintang-bintang itu. Maka dapatlah kita memberi tafsir dari ayat surah an-Najm.
“Demi bintang apabila dia telah terbenam." Bagaimanalah jadinya manusia yang sedang musafir dalam alam ini, kalau kiranya dia berjalan di dalam gelapgulita malam, sedang satu bintang pun tidak kelihatan cahayanya, sehingga gelap arah yang akan dituju dalam hidup.
Maka persumpahan dengan bintang pada ayat ini, sama juga artinya dengan sumpah-sumpah Allah yang lain-lain di dalam Al-Qur'an. Bila bintang-bintang tidak dapat dipedomani lagi, artinya seluruh langit telah gelap, manusia pun kehilangan pedoman, kehilangan arah pastilah kekacauan yang datang.
Ilmu manusia yang masih terbatas sekali tentang bintang di langit telah memberikan keterangan yang amat dahsyat. Ada disebutkan tentang bintang asy-Syi'raa, yang kelak akan bertemu dalam surah an-Najm ini juga pada ayat 49. Dinyatakan oleh ahli-ahli penyelidik bintang-bintang bahwa jauhnya dari bumi sampai 300.000 tahun perjalanan cahaya. Dalam bahasa Indonesia disebut Bintang Lembu. Diterangkan juga tentang peraturan keseimbangan daya tarik yang ada pada seluruh alam. Daya tarik itulah yang menyebabkan sudah berjuta-juta tahun bintang-bintang itu tetap pada tempatnya masing-masing. Maka kalau tergeser satu dari tempatnya, porak-porandalah susunan pertalian di antara yang satu dengan yang lain. Artinya, hancurlah seluruh alam ini karena keseimbangan tidak ada lagi. Pikirkanlah dan bandingkan! Bumi kita ini adalah salah satu daripada bintang-bintang yang berjuta-juta kelihatan di halaman langit. Kelihatan kecil, berkelap-kelip di halaman langit. Bumi ini terasa besar karena kita berdiam di sini. Dan dia pun akan kelihatan kecil, sekecil bintang-bintang itu pula kalau kita misalnya berada di salah satu bintang-bintang itu dan melihat ke bumi. Maka dapatlah dikira-kirakan betapa dahsyat jika salah satu bintang terganjak atau terjatuh dari tempatnya, Kiamatlah dunia, bahkan alam seluruhnya.
Yang disumpahkan Allah dengan bintang bila dia jatuh dari tempatnya itu ialah ayat yang selanjutnya,
Ayat 2
‘Tidaklah tersesat teman kamu itu."
Ayat ini dihadapkan manusia di zaman Nabi, yang telah menyatakan beliau sebagai temannya, atau sahabatnya. Segala orang yang telah bertemu dengan beliau dan percaya akan risalah beliau, disebut sahabat beliau dan beliau adalah sahabat mereka, teman setia. Maka di dalam ayat di per ingatkanlah bahwa teman mereka itu, yaitu Nabi Muhammad ﷺ tidaklah tersesat, tidaklah bertindak sekehendak hati, semau-inaunya.
“Dan tidaklah dia keliru."
Perbedaan sesat dan keliru ialah bahwa sesat (dhalla) ialah salah mengambil jalan karena tidak tahu sama sekali. Sedang keliru (ghawaa) ialah menyangka bahwa jalan yang ditempuh itulah yang benar, meskipun telah ditegur, lalu ditempuh juga, akhirnya bertemu jalan yang buntu. Dalam ayat diberi jaminan oleh Allah, bahwasanya Nabi ﷺ yang dalam ayat derajat orang yang beriman kepadanya diangkat naik karena Nabi ﷺ disebut shci-hibukum, yaitu teman kamu, sahabat kamu. Kalau kamu beriman kepadanya, kamu adalah temannya. Oleh sebab yang disebut sahabatnya adalah yang bertemu dengan dia, tentulah kita yang datang jauh di belakang beliau ini, menurut kaidah ini tidak termasuk sahabatnya lagi. Namun beliau membukakan pintu juga bagi umat beliau yang datang di belakang, sebagai tersebut di dalam hadits yang telah kita salinkan juga pada jilid pertama tafsir ini,
“Bahagialah orang yang melihat akan daku lalu percaya kepadaku. Kemudian berbahagialah (beliau ulangi tujuh kali) orang yang percaya kepadaku padahal dia tidak pernah melihat aku.''
Oleh sebab itu maka kalimat shahibukum adalah kata penghormatan yang tinggi untuk orang yang beriman pada segala zaman.
TUTUR NABI IALAH WAHYU
Ayat 3
“Dan, tidaklah dia … dari kemauan sendiri."
Ayat ini menjelaskan bahwasanya apabila Rasulullah bertutur atau bercakap mengeluarkan perkataan, tidaklah itu timbul dari kehendaknya sendiri saja. Bahkan bila ada orang berbuat suatu perbuatan di hadapan beliau, sedang perbuatan itu tidak beliau larang, melainkan beliau diam, maka diamnya itu pun jadi hujjah (alasan dan dalil) bahwa diamnya adalah tanda perbuatan itu boleh dikerjakan.
Itulah sebabnya maka dibagi Sunnah Rasul itu kepada tiga: pertama aqwaal (ucapan) beliau. Kedua, af'aal (perbuatan) beliau. Ketiga, taqrir (perbuatan orang lain) yang tidak beliau tegur.
Oleh sebab itu maka segala ucapan yang beliau ucapkan, tidaklah lepas dari batas-batas wahyu. Dan tidaklah mungkin perkataan beliau berlawanan dengan wahyu yang beliau terima dari Allah dengan perantaraan Jibril. Sebab itu maka ayat selanjutnya menyebutkan dengan terang,
Ayat 4
“Tidaklah dia itu melainkan wahyu yang telah diwahyukan."
Ayat ini adalah sambungan dari ayat 3 sebelumnya. Bahwa beliau bercakap tidaklah dari hawa, yaitu perasaannya sendiri. Apa yang beliau ucapkan ialah menurut wahyu Allah semata-mata. Ini dijelaskan di ayat yang lain,
“Dan kalau dia mengatakan di atas nama Kami sebagian dari kata-kata, sungguh akan Kami tarik daripadanya dengan tangan kanan; kemudian itu sungguh Kami potong daripadanya tali jantungnya." (al-Haaqqah: 44-46)
Maksudnya ialah Nabi Muhammad ﷺ sekali-kali tidak boleh bercakap dengan sebagian perkataan semau-maunya saja, tidak berdasar kepada wahyu yang dia terima dari Allah maka dia akan ditarik dengan tangan kanan Allah. Sudah terang bahwa menyebut tangan kanan adalah semata-mata menjelaskan bagaimana kerasnya hukum Allah yang akan berlaku atas diri beliau, sebab tangan kanan adalah untuk menunjukkan bahwa tarikannya
lebih kuat dari tangan kiri. Tetapi setengah ahli tafsir memberi arti bahwa tangan kanan Nabi Muhammad ﷺ-lah yang akan ditarik dan tali jantungnya yang akan diputuskan kalau dia berani bercakap semau-maunya, keluar dari garis wahyu.
Maka kita pun maklum bahwa Rasulullah ﷺ banyak bercakap, yang kita namai al-Hadits atau as-Sunnah. Percakapan Rasulullah ﷺ itu dicatat oleh ahli-ahli pencatat. Sebagai Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Tirmidzi, an-Nasa'i, al-Baihaqi, ad-Daruquthni, Ibnu Hibban, ad-Darimi, Ibnu Khuzaimah, Abu Dawud, dan lain-lain.
Dan hadits-hadits itu teranglah bukan wahyu. Tetapi peringatan dari ayat 44, 45, dan 46 surah al-Haaqqah itu ialah bahwa Nabi ﷺ tidak boleh bercakap dalam keadaan berbeda perkataannya dengan barang mana pun isi wahyu Ilahi. Maka kalau wahyu datang memberikan ijmaal, datanglah uraian dari Nabi ﷺ secara tafshil Misalnya datang perintah Ilahi shalat lima waktu maka datanglah perbuatan Nabi menjelaskan bagaimana melakukan shalat itu, dengan sabda beliau,
“Shalatlah kamu seperti kamu lihat aku shalat."
Datanglah perintah, wahyu di dalam Al-Qur'an supaya kita mengerjakan haji, lalu Rasulullah ﷺ memperlihatkan contoh bagaimana kaifiyat, cara-cara mengerjakan haji itu, dan beliau pun bersabda,
“Ambillah daripadaku cara-cara mengerjakan manasik (kewajiban-kewajiban dan rukun haji) kamu."
Teranglah hadits-hadits itu bukan wahyu, tetapi tidak menyalahi, tidak mengubah atau menambah atau mengurangi apa yang terkandung dalam wahyu. Dikuatkan lagi oleh ayat-ayat Allah sendiri dalam Al-Qur'an,
“Dan apa pan yang didatangkan kepada kamu oleh Rasul, hendaklah kamu ambil akan dia, dan apa yang dia larang kamu, hendaklah kamu hentikan." (al-Hasyr: 7)
Dan firman Allah lagi,
“Sesungguhnya adalah bagi kamu pada utusan Allah itu teladan yang (yaitu) bagi barangsiapa yang mengharapkan (dari Allah) dan hari yang akhir dan yang ingat kepada Allah sebanyak-banyaknya." (al-Ahzaab: 21)
Pada ayat-ayat ini teranglah bahwa Allah memberikan jaminan bahwa Rasulullah ﷺ jika bercakap, tidaklah beliau bercakap dengan sekehendak hatinya saja, melainkan percakapan beliau tidak akan keluar dari garisan wahyu. Dan ditegaskan lagi oleh Allah, bahwa dia tidak berani bercakap sekehendak hati, menyimpang dari wahyu, dia akan dihukum, tangannya akan ditarik dan dipotong tali jantungnya. Setelah itu diwajibkan taat kepadanya, kerjakan perintahnya, hentikan larangannya. Di dalam surah an-Nisaa' ayat 80 tersebut dengan jelas,
“Dan barangsiapa yang taat kepada Rasul maka sesungguhnya dia itu telah taat kepada Allah. Dan barangsiapa yang berpaling maka tidaklah Kami mengutus engkau kepada mereka buat jadi penjaga." (an-Nisaa': 80)
Maksudnya ialah kalau Rasul tidak mereka taati, teranglah mereka akan dihukum oleh Allah dan Rasul tidak ada upaya buat menghalangi jika hukum itu datang. Semua orang sama di hadapan keadilan Allah.
Di zaman modern sekarang ini ada orang Islam tersesat berpikir. Mereka mengatakan bahwa kita cukup berpegang kepada Al-Qur'an saja. Tidak usah pakai hadits lagi. Sebab hadits itu kata mereka, banyak yang tidak shahih. Sebab itu tinggalkan saja!
Pendapat begini adalah racun perusak sendi-sendi Islam yang disiarkan oleh Orientalis Barat, yang sama sekali bukan ilmiah sifatnya. Dengan katanya cukup Al-Qur'an saja itu, anjuran ini telah melanggar akan aturan Al-Qur'an sendiri, yang menyatakan bahwa taat kepada Rasul itu. sudah sama dengan taat kepada Allah. Maka dengan meninggalkan hadits Rasul itu, telah jelas bahwa kita telah tidak berpegang lagi kepada perintah Allah. Bukan satu, bukan dua ayat-ayat yang memerintahkan taat kepada Allah dan Rasul. Sehingga dengan pasti dapat kita terangkan, bahwa anjuran orang dengan taat kepada Allah saja, dengan meninggalkan Rasul, sama artinya dengan kafir,
“Dan barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka bagi mereka adalah api neraka Jahannam, kekal mereka di dalamnya selama-lamanya." (al-Jinn: 23)
Orang yang kekal di neraka itu ialah orang yang kafir.
Kalau mereka mengatakan bahwa al-hadits itu banyak yang palsu, yang dhaif, yang munkar.
Kita bertanya, “Adakah di antara mereka yang berani mengatakan, ‘Semua hadits Nabi ﷺ adalah palsu, semua dhaip'"
Menurut pengetahuan kita, sudah empat belas abad agama Islam sampai sekarang, tidak ada orang yang mengatakan semua hadits palsu, semua hadits dhaif. Tidak ada! Orang hanya mengatakan banyak.
Maka menurut undang-undang ilmiah, selama ilmiah itu masih memakai sendi-sendi penyelidikan yang wajar, kalau banyak yang palsu atau dhaif, bukanlah orang membuangkan semua, melainkan menyelidiki, menapis, menyaring, menyisihkan mana yang beras dan mana yang antah. Bukan membuangkan semua karena di sana terdapat antah!
Dalam perkembangan agama Islam, dari abad Islam yang kedua, di zaman tabi'in, yaitu angkatan sesudah sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ, telah diadakan orang penyelidikan, penelitian dan penyisihan tentang hadits-hadits ini, sehingga telah diketahui bahwa di samping yang dhaif atau palsu terdapat yang shahih, atau yang sah, yang kuat (gavri), yang hasan (bagus); bahkan ada yang mutawatir, yaitu yang mustahil akan bersekongkol orang membuat berita bohong. Seumpama cara shalat, menghadap kiblat, Zhuhur empat rakaat, Shubuh dua, Maghrib tiga, dan sebagainya. Ini adalah contoh-contoh dari hadits yang mutawatir, demikian juga wu-quf di Arafah. Sebab itu kalau ada orang yang mengatakan bahwa semua hadits tidak usah dipakai lagi, sebab ada hadits itu yang palsu atau dhaif, bukanlah orang itu berkata dengan ilmu, melainkan sengaja hendak menghancurkan sendi-sendi Islam dengan menghalangi hubungan orang dengan sunnah Rasul.
Ayat 5
“Yang memberinya ajaran ialah yang sangat kuat."
Inilah jaminan selanjutnya tentang wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad ﷺ itu. Bahwasanya yang mengajarkan wahyu itu kepada beliau ialah makhluk yang sangat kuat. Ibnu Katsir dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan yang sangat kuat itu ialah Malaikat Jibril.
Ayat 6
“Yang mempunyai keteguhan."
Mujahid, al-Hasan, dan Ibnu Zaid memberi arti, “Yang mempunyai keteguhan." Ibnu Abbas memberi arti, “Yang mempunyai rupa yang elok." Qatadah memberi arti, “Yang mempunyai bentuk badan yang tinggi bagus." Ibnu Katsir ketika memberi arti berkata, “Tidak ada perbedaan dalam arti yang dikemukakan itu. Karena Malaikat Jibril itu memang bagus dipandang mata dan mempunyai kekuatan luar biasa. Lanjutan ayat ialah fastawaa, artinya,
“Yang menampakkan diri yang asli."
Menurut riwayat dari Ibnu Abi Hatim yang diterimanya dari Abdullah bin Mas'ud, bahwasanya Rasulullah ﷺ melihat rupanya yang asli itu dua kali. Kali yang pertama ialah ketika Rasul ﷺ meminta kepada Jibril supaya sudi memperlihatkan diri menurut rupanya yang asli. Permintaan itu dia kabulkan lalu kelihatanlah dia dalam keasliannya itu memenuhi ufuk! Kali yang kedua ialah ketika dia memperlihatkan diri dalam keadaannya yang asli itu, ketika Jibril akan menemani beliau pergi Isra' dan Mi'raj. Dalam pernyataan diri dari keasliannya itu, Nabi melihatnya dengan sayap yang sangat banyak, enam ratus sayap.
Ayat 7
“Sedang dia berada di ufuk yang tinggi."
Kelihatan oleh Rasulullah ﷺ Jibril dalam keasliannya itu, dengan enam ratus sayap, dan tiap sayap memenuhi ufuk.
Anas bin Malik, al-Hasan, dan Ikrimah mengatakan bahwa Nabi ﷺ melihat Jibril dalam keadaan demikian dengan matanya sendiri. Ada juga orang yang memberi tafsir bahwa yang kelihatan oleh Muhammad ﷺ itu ialah Allah sendiri. Namun Aisyah istri Nabi ﷺ membantah tafsir itu sekeras-kerasnya. Kata beliau,
“Engkau telah mempercakapkan sesuatu yang menyebabkan bulu ramaku berdiri."
Masruq (seorang tabi'in) berkata, “Harap tenang!" Lalu Masruq membaca ayat,
“,Sesungguhnya dia telah melihat ayat-ayat dari Tuhannya yang besar/' (an-Najm: 18)
Lalu Aisyah menjelaskan, “Ke mana engkau terbawa hai Masruq. Yang dimaksud ayat ini bukan Allah tetapi Jibril! Siapa yang memberitakan kepadamu bahwa Muhammad ﷺ pernah melihat Tuhannya? Siapa yang mengatakan kepadamu bahwa dia Nabi ﷺ menyembunyikan, tidak menyampaikan apa yang disuruh Allah menyampaikan? Siapa yang mengatakan kepadamu bahwa Muhammad mengetahui lima perkara (seperti tersebut di akhir surah Luqmaan). Siapa yang mengatakan semuanya itu, dia telah membuat dusta. Beliau ﷺ hanya melihat Jibril dan dia melihat Jibril dalam keasliannya hanya dua kali."
Ayat 8
“Kemudian dia pun dekat, bertambah Dekat."
Itu pun masih menceritakan bahwa pada waktu itu Nabi Muhammad ﷺ melihat Jibril dalam keadaan yang dekat sekali.
Ayat 9
“Maka jadilah dekatnya sejarak dua busur panah atau lebih dekat."
Di dalam Tafsir al-Kabir oleh Fakhruddin ar-Razi, beliau ini menerangkan satu kali Malaikat Jibril itu memperlihatkan dirinya dalam keadaannya dengan enam ratus sayap dan sebelah kakinya saja memenuhi ufuk. Tetapi sekali lagi dia memperlihatkan dirinya menyerupai manusia, sebagai tersebut di dalam hadits shahih bahwa datang seorang laki-laki menanyakan beberapa soal kepada Nabi ﷺ apa arti Islam, apa arti iman, apa arti ihsan, dan bila Kiamat (Saat) akan terjadi dan apa tanda-tandanya. Dia bertanya itu di hadapan banyak sahabat-sahabat Nabi ﷺ. Setelah selesai bertanya dia pun berjalan
meninggalkan tempat itu. Setelah dia pergi Nabi ﷺ memberitahu kepada para sahabat, bahwa orang tadi adalah malaikat, “Datang mengajarkan kepada kamu dari hal agama kamu."
Maka ketika Nabi ﷺ melihat Jibril dalam keadaannya yang asli itu, dengan enam ratus sayap dan kaki yang memenuhi ufuk itu, sedang Jibril jauh dari Nabi. Tetapi dia menjelma sebagai ketika datang bertanya di hadapan orang banyak itu beliau sangat dekat, “Maka jadilah dekatnya sejarak dua busur panah atau lebih dekat."
Untuk jelasnya dapat di sini kita salinkan hadits yang terkenal,
“Daripada Umar bin al-Khathab r.a., berkata dia, ‘Sedang kami duduk di dekat Rasulullah ﷺ pada suatu hari, tiba-tiba datanglah kepada kami seorang laki-laki yang sangat putih kainnya dan sangat hitam rambutnya, tidak dilihat pada dirinya bekas-bekas tanda orang musafir, dan tidak ada yang kenal kepadanya di antara kami seorang jua pun, sehingga dia duduk di sisi Nabi lalu disandarkannya lututnya kepada lutut Nabi dan diletakkannya kedua belah telapak t angannya ke atas paha Nabi dan dia pun berkata, ‘Hai Muhammad! Ceritakanlah kepadaku dari hal /siam itu (sampai kepada akhir hadits).
“Maka dia pun pergi maka tinggallah seketika lamanya."
Ucapan ini dari Sayyidina Umar sendiri.
“Kemudian heliau (ﷺ) berkata, ‘Hai Umar tahukah engkau siapa orang yang datang bertanya itu?'"
“Aku menjawab, ‘Allah dan RasulNyalah yang lebih tahu."
Beliau berkata,
“Orang itu ialah Jibril. Dia datang untuk mengajarkan kepada kamu agama kamu."(HR Muslim)
Maka hadits ini dapatlah memberikan paham kepada kita tentang maksud dari ayat, “Maka jadilah dekatnya sejarak dua busur panah atau lebih dekat"lagi daripada Nabi ﷺ, sehingga sampai disandarkannya lututnya kepada lutut Nabi ﷺ dan diletakkannya kedua belah telapak tangannya ke atas kedua belah paha Nabi, demikian rapat dan dekat sehingga tidak berjarak lagi.
Ayat 10
“Maka Dia pun mewahyukan kepada hamba-Nya apa yang hendak Dia wahyukan."
Pada ayat inilah baru dijelaskan bahwa wahyu itu datang dari Allah Ta'aala sendiri dan Jibril hanyalah sebagai pembawa wahyu belaka.
Menurut riwayat yang disampaikan oleh Ibnu Asakir dengan sanadnya dari Habbar bin al-Aswad dan beberapa ahli hadits yang lain, Utbah anak Abu Lahab ketika akan pergi ke negeri Syam menyuruh orang menyampaikan pesannya kepada Rasulullah ﷺ bahwa dia tidak percaya sama sekali berita tentang Malaikat Jibril membawa wahyu kepada Rasulullah ﷺ Utbah mengatakan kepada
orang banyak, “Ketahuilah olehmu sekalian bahwa aku tidak percaya dan kafir terhadap riwayat yang dikatakan Muhammad itu bahwa Jibril telah mendekat kepadanya untuk menyampaikan wahyu itu." Berita ini pun disampaikan orang kepada Rasulullah ﷺ Mendengar sanggahannya itu bersabdalah Nabi, “Allah akan mengirim salah satu dari anjing-anjing-Nya."