Ayat
Terjemahan Per Kata
أَفَسِحۡرٌ
maka apakah sihir
هَٰذَآ
ini
أَمۡ
atau
أَنتُمۡ
kamu
لَا
tidak
تُبۡصِرُونَ
kamu melihat
أَفَسِحۡرٌ
maka apakah sihir
هَٰذَآ
ini
أَمۡ
atau
أَنتُمۡ
kamu
لَا
tidak
تُبۡصِرُونَ
kamu melihat
Terjemahan
Apakah ini sihir? Ataukah kamu tidak melihat?
Tafsir
(Maka apakah ini sihir) maksudnya, apakah azab yang kalian lihat sekarang seperti juga apa yang kalian katakan mengenai wahyu, bahwa itu adalah sihir. (Ataukah kalian tidak melihat?).
Tafsir Surat Ath-Thur: 1-16
Demi Bukit, Dan Kitab yang ditulis, pada lembaran yang terbuka, dan demi Baitul Mamur dan atap yang ditinggikan (langit), dan laut yang di dalam tanahnya ada api, sesungguhnya azab Tuhanmu pasti terjadi, tidak seorang pun yang dapat menolaknya, pada hari ketika langit benar-benar berguncang, dan gunung benar-benar berjalan. Maka kecelakaan yang besarlah di hari itu bagi orang-orang yang mendustakan, (yaitu) orang-orang yang bermain-main dalam kebatilan, pada hari mereka didorong ke neraka Jahanam dengan sekuat-kuatnya. (Dikatakan kepada mereka), "Inilah neraka yang dahulu kamu selalu mendustakannya.
Maka apakah ini sihir? Ataukah kamu tidak melihat. Masuklah kamu ke dalamnya (rasakanlah panas apinya), maka baik kamu bersabar atau tidak, sama saja bagimu; kamu diberi balasan terhadap apa yang telah kamu kerjakan. Allah subhanahu wa ta’ala bersumpah dengan menyebut beberapa makhluk-Nya yang menunjukkan akan Kekuasaan-Nya yang besar, bahwa azab-Nya pasti akan menimpa musuh-musuh-Nya. Dan bahwa tiada seorang pun yang dapat menolak azab itu dari mereka. Thur artinya gunung yang mempunyai pohon-pohonan seperti bukit tempat Allah berbicara langsung kepada Musa a.s.
dan pengangkatan Isa menjadi rasuI-Nya. Bukit atau gunung yang tiada pepohonannya bukan dinamakan Thur, melainkan dinamakan Jabal. dan Kitab yang ditulis. (Ath-Thur: 2) Menurut suatu pendapat, yang dimaksud adalah Lauh Mahfuz, dan menurut pendapat yang lain artinya kitab-kitab yang diturunkan yang tertulis untuk dibacakan kepada manusia dengan terang-terangan. Karena itulah disebutkan dalam firman berikutnya: pada lembaran yang terbuka, dan demi Baitul Ma'mur. (Ath-Thur: 3-4) Di dalam kitab Shahihain disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ dalam hadits Isra-nya sesudah melampaui langit yang ketujuh menceritakan melalui sabdanya: Kemudian aku dinaikkan ke Baitul Mamur, dan ternyata Baitul Mamur itu setiap harinya dimasuki oleh tujuh puluh ribu (malaikat) yang tidak kembali lagi kepadanya sampai yang terakhir dari mereka.
Yakni mereka melakukan ibadah di dalamnya dan tawaf di sekelilingnya sebagaimana ahli bumi melakukan tawaf di Ka'bah mereka. Demikian pula Baitul Ma'mur, ia adalah Ka'bah penduduk langit yang ketujuh, karena itulah Nabi ﷺ menjumpai Nabi Ibrahim a.s. Al-Khalil sedang menyandarkan punggungnya di Baitul Ma'mur. Karena beliau a.s. adalah orang yang membangun Ka'bah di bumi, maka pahala yang diterimanya adalah dari jenis amal. Letak Baitul Ma'mur itu adalah lurus di atas Ka'bah; dan pada tiap-tiap langit terdapat Ka'bahnya tersendiri sebagai tempat mereka melakukan ibadah dan shalat dengan menghadap kepadanya.
Ka'bah yang ada di langit yang terdekat dinamakan Baitul Tzzah; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. "" "" Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Rauh ibnu Janah, dari Az-Zuhri, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ yang telah bersabda: Pada langit yang ketujuh terdapat sebuah Bait yang dinamakan Al-Mamur lurus di atas Ka'bah.
Dan pada langit yang keempat terdapat sebuah sungai yang dikenal dengan nama Sungai Kehidupan; Malaikat Jibril memasuki sungai itu setiap harinya dan menyelam di dalamnya sekali selam, kemudian ia keluar dan mengibaskan sayapnya, maka berhamburanlah darinya sebanyak tujuh puluh ribu tetes air. Allah menciptakan seorang malaikat dari tiap-tiap tetesnya, dan mereka diperintahkan untuk mendatangi Baitul Ma'mur, lalu mengerjakan shalat padanya.
Maka mereka mengerjakannya, setelah itu mereka keluar dan tidak kembali lagi padanya selama-lamanya. Dan seorang malaikat dari mereka diserahi untuk memimpin mereka, kemudian ia diperintahkan untuk membawa mereka berdiri di suatu tempat di langit untuk melakukan tasbih (menyucikan) Allah subhanahu wa ta’ala padanya hingga hari kiamat tiba. Hadits ini gharib sekali, Rauh ibnu Janah meriwayatkannya secara munfarid, dia adalah seorang Quraisy Al-Umawi, maula mereka adalah Abu Sa'id Ad-Dimasyqi. Sejumlah jamaah telah menilai hadits ini munkar, antara lain ialah Al-Juzjani, Al-Uqaili, Al-Hakim, Abu Abdullah An-Naisaburi, dan lain-lainnya.
Imam Hakim mengatakan bahwa tiada dalil asal bagi hadits ini, baik melalui hadits Abu Hurairah maupun dari Sa'id atau Az-Zuhri. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hannad ibnus Sirri, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari Sammak ibnu Harb, dari Khalid ibnu Ur'urah, bahwa seorang lelaki bertanya kepada sahabat Ali, "Apakah Baitul Ma'mur itu?" Ali menjawab, "Ia adalah suatu Bait yang ada di langit dikenal dengan nama Ad-Darrah.
letaknya tepat lurus di atas Ka'bah; kesuciannya di langit sama dengan kesucian Baitullah yang ada di bumi. Setiap hari terdapat tujuh puluh ribu malaikat yang mengerjakan shalat padanya, kemudian mereka tidak kembali lagi kepadanya untuk selama-lamanya." Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Syu'bah dan Sufyan As'-Sauri. dari Sammak. Pada riwayat keduanya disebutkan bahwa orang yang menanyakan hal itu adalah Ibnul Kawa.
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Abu Kuraib, dari Talq ibnu Ganam, dari Zaidah, dari ‘Ashim, dari Ali ibnu Rabi'ah yang menceritakan bahwa Ibnul Kawa pernah bertanya kepada Ali tentang Baitul Ma'mur. Maka Ali menjawab, "Baitul Ma'mur adalah sebuah masjid yang ada di langit, yang dikenal dengan nama Ad-Darrah. Setiap hari dimasuki oleh tujuh puluh ribu malaikat, kemudian mereka tidak kembali lagi kepadanya selama-lamanya." Ibnu Jarir telah meriwayatkannya pula melalui hadits AbutTufail, dari Ali dengan lafal yang semisal. Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Baitul Ma'mur adalah suatu Baitullah yang terletak berhadapan dengan "Arasy, diramaikan oleh para malaikat yang melakukan shalat di dalamnya setiap harinya sebanyak tujuh puluh ribu malaikat, kemudian mereka tidak kembali lagi kepadanya.
Hal yang sama dikatakan oleh Ikrimah, Mujahid, dan sejumlah ulama Salaf. Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Suddi mengatakan, telah diceritakan kepada kami bahwa Rasulullah ﷺ pernah bertanya kepada sahabat-sahabatnya, "Tahukah kalian, apakah Baitul Ma'mur itu?" Mereka menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.'" Maka Rasulullah ﷺ bersabda: Sesungguhnya Baitul Mamur itu adalah sebuah masjid di langit tepat di atas Ka 'bah. Seandainya terjatuh, niscaya akan menimpa Ka 'bah; ada tujuh puluh ribu malaikat yang mengerjakan shalat di dalamnya. Apabila mereka keluar darinya, mereka tidak kembali lagi kepadanya hingga yang paling akhir dari mereka.
Lain halnya dengan Adh-Dhahhak. ia menduga bahwa yang meramaikannya adalah sejumlah malaikat yang dikenal dengan nama jin, salah satu kabilah dari iblis; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan atap yang ditinggikan (langit). (Ath-Thur: 5) Sufyan As'-Sauri, Syu'bah, dan Abul Ahwas telah meriwayatkan dari Sammak, dari Khalid ibnu Ur'urah, dari Ali sehubungan dengan makna firman-Nya: dan atap yang ditinggikan. (Ath-Thur: 5) Yakni langit. Sufyan mengatakan bahwa lalu Khalid ibnu Ur'urah membaca firman-Nya: Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara, sedangkan mereka berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang terdapat padanya. (Al-Anbiya: 32) Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid, Qatadah, As-Suddi, Ibnu Juraij, dan Ibnu Zaid, lalu dipilih oleh Ibnu Jarir.
Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan bahwa makna yang dimaksud adalah 'Arasy; 'Arasy adalah atap bagi semua makhluk. Apa yang dikatakannya itu cukup beralasan, dan ini merupakan salah satu pendapat sama dengan yang lainnya, menurut jumhur ulama. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan laut yang di dalam tanahnya ada api. (Ath-Thur: 6) Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah perairan yang ada di bawah 'Arasy, yang darinya Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan hujan yang dapat menghidupkan semua jasad di dalam kuburnya di hari semua makhluk dikembalikan (kepada-Nya).
Jumhur ulama mengatakan bahwa makna yang dimaksud adalah lautan ini. Dan mengenai makna firman-Nya, "Al-Masjur" masih diperselisihkan. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah laut itu kelak di hari kiamat akan dinyalakan menjadi api, seperti pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya: dan apabila lautan dipanaskan. (At-Takwir: 6) Yakni dinyalakan sehingga menjadi api yang bergejolak yang meliputi semua ahlul mauqif (orang-orang yang di Padang Mahsyar).
Sa'id ibnul Musayyab telah meriwayatkan hal ini dari Ali ibnu Abu Thalib. Hal yang sama telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dan pendapat yang sama dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair, Mujahid, Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair, dan lain-lainnya. Al-Ala ibnu Badr mengatakan bahwa sesungguhnya laut itu dikatakan al-masjur karena airnya tidak dapat diminum dan tidak dapat dijadikan sebagai pengairan tetumbuhan; hal yang sama terjadi pada semua laut kelak di hari kiamat.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, dari Al-Ala ibnu Badr. Diriwiyatkan dari Sa'id ibnu Jubair, bahwa makna masjur ialah yang dilepaskan. Qatadah mengatakan, masjur artinya yang penuh; pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir, alasannya ialah karena laut di masa sekarang bukanlah bahan bakar, melainkan makna yang dimaksud adalah penuh. Menurut pendapat yang lainnya lagi, makna yang dimaksud ialah kosong.
Al-Asmu'i telah meriwayatkan dari Abu Amr ibnul Ala, dari Zur-Rummah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan laut yang di dalam tanahnya ada api. (Ath-Thur: 6) Bahwa makna yang dimaksud ialah 'dan laut yang kosong (kering)'; suatu umat keluar untuk mencari air minum, lalu mereka mengatakan, "Sesungguhnya telaga itu kini telah kering." Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dalam Masanidusy Syu'ara. Menurut pendapat yang lain, yang dimaksud dengan masjur ialah yang terhalang dan tercegah dari bumi (daratan) agar jangan memenuhinya karena akan menenggelamkan para penghuninya.
Demikianlah menurut Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas. Hal yang sama dikatakan oleh As-Suddi dan lain-lainnya, hal yang semakna ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah di dalam kitab musnadnya. Ia mengatakan: telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Al-Awwam, telah menceritakan kepadaku seorang syaikh yang berjaga-jaga di pantai, ia mengatakan bahwa ia pernah bersua dengan Abu Saleh maula Umar ibnul Khattab.
Lalu ia mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Umar ibnul Khattab, dari Rasulullah ﷺ yang telah bersabda: Tiada suatu malam pun melainkan laut muncul padanya sebanyak tiga kali meminta izin kepada Allah subhanahu wa ta’ala untuk membanjiri mereka (manusia yang ada di daratan), tetapi Allah subhanahu wa ta’ala mencegahnya. Al-Hafidzh Abu Bakar Al-Ismaili mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Sufyan, dari Ishaq ibnu Rahawaih, dari Yazid ibnu Harun, dari Al-Awam ibnu Hausyab, telah menceritakan kepadaku seorang syaikh yang sedang berjaga-jaga, bahwa di suatu malam ia berjaga di posnya; tiada seorang penjaga pun yang keluar di malam itu selain dirinya. Lalu ia mendatangi pelabuhan dan menaiki tempat yang tinggi.
Maka diilusikan kepadanya bahwa seakan-akan laut muncul hingga ketinggiannya menyamai puncak-puncak bukit. Hal itu terjadi selama berkali-kali, padahal aku dalam keadaan berjaga (tidak tidur). Maka ia menemui Abu Saleh (dan menanyakan kejadian itu kepadanya), lalu Abu Saleh berkata bahwa telah menceritakan kepada kami Umar ibnul Khattab, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Tiada suatu malam pun melainkan laut mengalami pasang sebanyak tiga kali meminta izin kepada Allah subhanahu wa ta’ala untuk membanjiri (menenggelamkan) mereka, tetapi Allah subhanahu wa ta’ala mencegahnya. Di dalam sanad hadits ini terdapat seorang lelaki yang tidak dikenal lagi tidak disebutkan namanya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Sesungguhnya azab Tuhanmu pasti terjadi. (Ath-Thur: 7) Ini adalah subjek dari sumpah, artinya benar-benar pasti terjadi terhadap orang-orang kafir. Seperti yang disebutkan dalam ayat selanjutnya: tidak seorang pun yang dapat menolaknya. (Ath-Thur: 8) Yakni tiada seorang pun yang dapat menolak azab itu dari mereka, jika Allah menghendakinya terhadap mereka.
Al-Hafidzh Abu Bakar ibnu Abud Dunia mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Daud, dari Saleh Al-Murri, dari Ja'far ibnu Zaid Al-Abdi yang mengatakan bahwa Khalifah Umar keluar di suatu malam untuk meninjau kota Madinah. Lalu ia melewati rumah seorang muslim yang secara kebetulan sedang berdiri mengerjakan salatnya, maka Umar berhenti mendengarkan bacaannya. Lelaki itu membaca firman-Nya: Demi bukit. (Ath-Thur: 1) sampai dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala: sesungguhnya azab Tuhanmu pasti terjadi, tidak seorang pun yang dapat menolaknya. (Ath-Thur: 7-8) Lalu Umar berkata, "Demi Tuhan Yang memiliki Ka'bah, ini adalah sumpah yang hak (benar)." Lalu Umar turun dari keledainya dan bersandar pada dinding dan diam dalam waktu yang cukup lama.
Kemudian pulang ke rumahnya, sesudah itu ia tinggal di rumahnya selama sebulan, dijenguk oleh banyak orang tanpa mereka ketahui apa penyebab sakitnya. Imam Abu Ubaid di dalam kitab Fadailul Al-Qur'an mengatakan telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Hassan, dari Al-Hasan, bahwa Umar membaca firman-Nya: sesungguhnya azab Tuhanmu pasti terjadi, tidak seorang pun yang dapat menolaknya. (Ath-Thur: 7-8) Maka Umar pun sakit keras karenanya selama dua puluh hari, yang selama itu banyak orang menjenguknya.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: pada hari ketika langit benar-benar berguncang. (Ath-Thur: 9) Ibnu Abbas dan Qatadah mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah pada hari ketika langit berguncang. Diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud ialah mengalami keretakan-keretakan. Mujahid mengatakan, makna yang dimaksud ialah berputar-putar, Adh-Dhahhak mengatakan langit bergerak-gerak dan berputar karena diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan sebagian darinya mengguncang sebagian yang lain. Inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir, bahwa yang dimaksud dengan mauran ialah gerakan yang berputar-putar. Lalu Abu Ubaidah alias Ma'mar ibnul Musanna menyitir suatu bait syair Al-A'sya:
Seakan-akan cara jalan si dia (kekasihnya) dari rumah tetangganya bagaikan gerakan awan, tidak pelan dan tidak pula cepat. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan gunung benar-benar berjalan. (Ath-Thur: 10) Yakni lenyap dari tempatnya dan menjadi debu serta meledak dengan sehebat-hebatnya. Maka kecelakaan yang besarlah di hari itu bagi orang-orang yang mendustakan. (Ath-Thur: 11) Artinya, celakalah mereka karena azab dan pembalasan serta siksaan Allah yang ditimpakan kepada mereka. (yaitu) orang-orang yang bermain-main dalam kebatilan. (Ath-Thur: 12) Mereka selama hidup di dunia tenggelam di dalam kebatilannya dan menjadikan agama mereka sebagai main-mainan dan olok-olokan.
pada hari mereka didorong. (Ath-Thur: 13) Maksudnya, didorong dan digiring. ke neraka Jahanam dengan sekuat-kuatnya. (Ath-Thur: 13) Mujahid, Asy-Sya'bi, Muhammad ibnu Ka'b, Adh-Dhahhak, As-Suddi, dan Ats-Tsauri mengatakan bahwa mereka didorong ke dalam neraka dengan sekuat-kuatnya. (Dikatakan kepada mereka), 'Inilah neraka yang dahulu kamu selalu mendustakannya. (Ath-Thur: 14) Malaikat Zabaniyah atau juru siksa mengatakan hal tersebut kepada mereka sebagai cemoohan dan kecaman. Maka apakah ini sihir? Ataukah kamu tidak melihat. Masuklah kamu ke dalamnya (rasakanlah panas apinya). (Ath-Thur: 15-16) Yaitu masukilah neraka ini dan rasakanlah panas apinya yang membakar kalian dari semua arah.
maka baik kamu bersabar atau tidak, sama saja bagimu. (Ath-Thur: 16) Yakni baik kamu bersabar mengalami azab dan siksanya ataukah tidak sabar, tiadajalan lain bagi kalian darinya dan kalian tidak dapat menghindar darinya. sesungguhnya kamu hanya diberi apa yang telah kamu kerjakan. (Ath-Thur: 16) Allah tidak akan berbuat aniaya terhadap seorang pun, bahwa masing-masing mendapat balasan sesuai amal perbuatannya."
Begitu masuk neraka, para pengingkar itu mendapat ejekan dan kecaman. 'Kamu sudah merasakan sendiri pedihnya azab neraka yang dauhlu kamu ingkari, maka dengan demikian, apakah neraka ini hanya merupakan sihir yang mengelabui mata ataukah kamu memang tidak melihat sehingga kamu akan terus mengingkari keberadaannya'16. Wahai para pengingkar, masuklah ke dalamnya dan rasakanlah panas apinya; maka baik kamu bersabar atas pedihnya siksa neraka itu atau tidak bersabar atasnya, keduanya akan sama saja akibatnya bagimu. Tetapi, ketahuilah bahwa Allah tidak menganiaya kamu dengan siksa itu. Sesungguhnya kamu hanya diberi balasan yang setimpal atas apa yang telah kamu kerjakan.
Karena itu dalam ayat ini Allah mengejek mereka, yaitu orang-orang musyrik yang ketika di dunia menganggap Muhammad ﷺ tukang sihir yang menyihir akal dan menutup mata mereka. Allah ﷻ mengejek mereka ketika mereka diazab di akhirat. "Apakah yang mereka lihat dengan mata kepala mereka sekarang ini, seperti azab yang diberitahukan kepada mereka di dunia itu, ataukah mereka masih terlena oleh sihir seperti dahulu mereka menganggap Muhammad ﷺ menyihir mereka di dunia, ataukah mata mereka tidak melihat apa-apa?" Sungguh azab itu telah menjadi kenyataan, mata mereka tidak kena sihir dan tidak pula ditutupi.
Jelasnya apakah dalam penglihatan mereka ada keraguan ataukah mata mereka sedang sakit? Tidak, kedua-duanya tidak, yang mereka lihat itu adalah kenyataan yang sebenarnya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 15
“Apakah sihir ini?"
Ungkapan ini ialah pertanyaan kepada mereka yang tidak mau menerima kenyataan dan kebenaran itu. Ketika penulis tafsir ini masih muda, banyak terdengar orang-orang yang masih sempit pikirannya dilarang oleh gurunya mendengar keterangan agama secara luas dan masuk akal. Guru itu berkata, “jangan didengarkan percakapan si anti. Dia pintar bicara, nanti engkau tertarik kepadanya lalu engkau tersesat." Demikian pula yang telah terjadi pada Rasulullah ﷺ. Wahyu-wahyu
yang beliau sampaikan sangat memesona. Orang musyrikin melarang kawan-kawannya mendengar seruan Nabi. Mana yang terdengar dengan hati terbuka dengan pikiran cerdas, pasti tertarik karena seruan itu mengandung kebenaran. Di situ timbullah pertanyaan, “Apakah sihir ini?"
“Ataukah kamu yang tidak melihat?"
Tegasnya ialah bahwa kalau melihat dengan saksama, berpikir dengan teratur, kamu pasti menerimanya dan kamu tidak akan mengatakan bahwa seruan Rasul itu bukanlah sihir. Tetapi mata hatimu tertutup dan telingamu engkau sumbat, tentu akan tetap engkau mengatakan sihir.
Ayat ini menyadarkan akan pentingnya mempergunakan akal dan pikiran di dalam mempertimbangkan sesuatu. Kita tidak layak hanya mendengar percakapan orang lain dengan tidak mempergunakan pertimbangan akal kita yang bebas. Tukang-tukang sihir di zaman Fir'aun mengeluarkan tali dan tongkat yang dengan kekuatan sihir disangka bahwa semuanya ular! Tetapi setelah Nabi Musa melepaskan tongkatnya maka menjalarlah tongkat Nabi Musa itu, dikejarnya segala tali dan tongkat sihir itu lalu dimakannya semua, sampai habis. Setelah semua tongkat dan tali itu habis ditelannya, dia kembali kepada Nabi Musa, sesampai di tangan beliau dia berubah jadi tongkat kembali, sedang tali-tali dan tongkat-tongkat tukang-tukang sihir itu telah habis masuk ke dalam perut tongkat Nabi Musa. Di sini ayat pertanyaan di atas dapat dipasang kembali, ‘Apakah sihir ini? Ataukah kamu yang tidak melihat?"
Tukang-tukang sihir Fir'aun telah melihat dengan saksama. Setelah mereka lihat, mereka mendapati bahwa yang dari Nabi Musa ini bukan sihir! ini betul-betul mukjizat, artinya tidak mampu akal memikirkan. Sedang tongkat-tongkat dan tali-tali yang mereka lemparkan tadi hanya dikhayatkan saja dengan kekuatan sugesti bahwa semua jadi ular. Dan setelah semuanya tali dan tongkat tidak ada yang lari, bahkan tidak ada yang berganjak dari tempatnya ketika dimakan satu demi satu oleh ular tongkat Nabi Musa dan kemudian ular itu kembali jadi tongkat, sujudlah sekalian ahli sihir itu dan mengaku tunduk kepada Musa, sebab semua sudah yakin bahwa yang dibawa Musa ini bukan sihir, melainkan qudrat dan iradah dari Allah Yang Mahakuasa. Seluruhnya segera bertukar dari tukang-tukang sihir menjadi umat yang percaya, yang iman akan adanya Yang Mahakuasa melebihi dari mengatasi segala kekuasaan yang ada di dunia ini walaupun kekuasaan Fir'aun sendiri. Untuk keyakinan itu mereka rela menerima ketika hukuman mati dijatuhkan Fir'aun kepada mereka. Hukuman itu dengan jelas diterangkan di dalam Al-Qur'an,
“Sesungguhnya akan kami potong tangan-tangan kamu dan kaki-kaki kamu dengan bersilang dan sungguh akan kami salibkan kamu sekalian di batang kurma dan akan tahu sendirilah kamu siapa di antara kita yang teramat kejam adzabnya dan terlebih kekal." (Thaahaa: 71)
Tetapi takutkah mereka akan adzab siksaan yang sangat kejam dan bengis itu? Dipotong tangan dan kaki secara bersilangan? Kalau yang dipotong tangan kanan maka kaki yang dipotong ialah yang kiri; sesudah dipotongi cara demikian lalu dinaikkan ke batang kurma dan dipakukan, disalibkan!
Takutkah mereka akan semuanya itu? Tidak! Mereka tidak takut, bahkan mereka sambut dengan gagah,
“Putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan, yang akan kamu putuskan itu cumalah hidup di dunia ini saja." (Thaahaa: 72)
Itulah keyakinan sejati. Yang dibawa oleh Nabi Musa ini sudah terang bukan sihir. Tetapi mukjizat, kekuasaan Allah yang tidak dapat diatasi oleh manusia. Fir'aun boleh menggunakan kekuasaan, kegagah-perkasaan buat memaksa mereka mengubah pendirian itu, namun mereka tidak mau. Tidak ada yang lebih sengsara daripada mengubah pendirian. Maka jawaban orang-orang Mukmin itu adalah jawaban yang tepat, “Kalian hanya berkuasa di dunia ini saja. Dengan menghukum kami sampai mati, kebenaran itu tidak juga akan dapat diubah."
Di tiap zaman akan terjadi hal seperti ini. Barang yang batil hendak ditegakkan dengan kekerasan. Maka orang-orang yang lemah imannya dapat mendustai dirinya sendiri, lalu turut mempertahankan yang batil dengan mengatakan bahwa yang batil itu ialah yang hak. Orang yang seperti ini, yang mendustai diri, kebanyakan ialah karena takut mati. Padahal dengan mendustai diri itu dia tidak insaf bahwa hidupnya tidak ada harga lagi; artinya lebih hina daripada mati.
Ayat 16
“Nyalakanlah dia maka sobatlah kamu ataupun kamu tidak sobat, samalah bagi kamu"
Artinya ialah sebagai akibat daripada penolakan dan ketidak-percayaan kamu akan adanya hari akhirat itu, tidak lain yang akan kamu terima dan derita kelak ialah adzab siksaan, “Nyalakanlah," bagi kamu api neraka itu. Disebutkan bahwa alat penyaiakan itu ialah manusia dan batu,
“Bahan bakarnya manusia dan batu." (al-Baqarah: 24)
Kamu sabar ataupun tidak sabar namun derita neraka itu akan sama saja sakitnya. Hal ini tidak akan dapat diubah lagi sampai hukum selesai. Penderitaan itu hanya akan dapat dihindari di waktu hidup ini dengan menjauhi apa yang dilarang oleh Allah dan melaksanakan dengan patuh apa yang disuruh.
“Sesungguhnya kamu akan diberi ganjaran hanya menurut apa yang pernah kamu kerjakan."
Lebih banyak kerja atau amalan yang buruk dan tercela lebih banyak pulalah siksa dan penderitaan di akhirat itu kelak. Dan kalau yang baik yang lebih banyak, semoga dapat menghapus pengaruh dari yang jahat. Menurut sabda Nabi ﷺ,
“Bertakwalah kepada Allah di mana saja pun kamu berada dan ikutilah suatu amal yang buruk dengan yang baik, semoga dapat yang baik itu menghapuskan yang buruk dan berperangailah terhadap manusia dengan perangai yang baik." (HR Tirmidzi dari Abu Hurairah)
Dengan cara demikian semoga perangAl-perangai dan kelakuan yang baiklah yang akan terbiasa banyak dikerjakan dan bertambah lama bertambah kuranglah perangai yang buruk. Karena yang baik jualah yang jadi cita-cita manusia.
Ayat 17
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu adalah pada surga-surga yang penuh nikmat."
Sesudah rasa cemas karena ngerinya adzab di dalam neraka, langsung sekali ditunjukkan jalan keluar. Orang-orang yang bertakwa yaitu orang yang selalu memelihara hubungan baiknya dengan Allah dan tidak usah dia khawatir akan adzab yang pedih dan ngeri itu. Sebab dia tidak akan kena oleh adzab itu. Sebab
sejak semula, dalam hidup yang sekarang dia telah mendapat dan selalu menjaga, jangan sampai apa yang diperintahkan Allah tidak dikerjakan dan apa yang dilarang Allah tidak dihentikan.
“Dan adapun orang yang takut akan maqam (kebesaran) Tuhannya dan dapat menahan diri dari hawa nafsunya maka surgalah yang jadi tempat kediamannya." (an-Naazi'aat: 40-41)
Maka selalu Allah sesudah menerangkan adzab yang ngeri, siksa yang berat dalam neraka, selalu menunjukkan jalan keluar, yaitu tidak usah takut mendengar adzab pedih dan ngeri itu, dan pilihlah jalan yang baik di waktu hidup di dunia ini, niscaya tidaklah akan bertemu kelak segala yang diancamkan itu.
Ayat 18
“Bersukaria mereka dengan apa yang diberikan oleh Tuhan mereka."
Dan yang akan diberikan itu, tidaklah seimbang dengan yang dikerjakan di dunia ini. Dalam hidup kita di dunia yang hanya sebentar, kita berbuat baik, kita beribadah bukanlah terus-menerus, kita shalat hanya lima kali sehari semalam, kita puasa hanya sebulan dalam setahun, kita berzakat hanya kalau ada harta yang akan dizakatkan, kita naik haji yang wajib hanya sekali seumur hidup. Jika kita kerjakan itu dengan setia, tulus dan ikhlas, dan kita tidak sombong, tidak aniaya kepada sesama manusia, maka bersukarialah dengan apa yang diberikan itu sebagai ganjarannya. Sungguh tidak sepadan nikmat yang akan kita terima itu dengan amal baik yang kita kerjakan. Kita misalkan berusia sampai seratus tahun, sedang nikmat yang akan kita terima itu adalah kekal selama-lamanya, tidak akan dibatas oleh maut lagi.
“Dan dipelihara mereka oleh Tuhan mereka dari adzab neraka."
Itulah janji dan jaminan Allah kepada kita, hamba-Nya ini. Dan janji Allah adalah benar.
Ayat 19
"Makanlah dan minumlah dengan senang dari apa yang telah kamu kerjakan."
Dengan ayat ini ditegaskan bahwa jaminan Allah atas makanan dan minuman di hari akhirat itu kelak adalah hasil belaka dari usaha dan amal kita ketika hidup di dunia ini juga.
Lalu dijanjikan lagi hidup yang mewah dan senang,
Ayat 20
“… mereka atas tempat-tempat tidur yang tersusun."
Inilah lanjutan gambaran dari kesenangan yang akan dirasakan di akhirat itu. Di sana akan didirikan tempat-tempat tidur, katil yang menyenangkan jika manusia bertelekan padanya, betul-betul tempat istirahat, yang akan kita rasakan betapa besar nikmatnya jika kita rasakan betapa penat, betapa lelah dalam hidup yang sekarang.
“Dan Kami kawinkan mereka dengan bidadari."