Ayat
Terjemahan Per Kata
فَوَيۡلٞ
maka kecelakaanlah
يَوۡمَئِذٖ
pada hari itu
لِّلۡمُكَذِّبِينَ
bagi orang-orang yang mendustakan
فَوَيۡلٞ
maka kecelakaanlah
يَوۡمَئِذٖ
pada hari itu
لِّلۡمُكَذِّبِينَ
bagi orang-orang yang mendustakan
Terjemahan
Maka, pada hari itu celakalah orang-orang yang mendustakan,
Tafsir
(Maka kecelakaan yang besar) azab yang keras (di hari itu bagi orang-orang yang mendustakan) rasul-rasul.
Tafsir Surat Ath-Thur: 1-16
Demi Bukit, Dan Kitab yang ditulis, pada lembaran yang terbuka, dan demi Baitul Mamur dan atap yang ditinggikan (langit), dan laut yang di dalam tanahnya ada api, sesungguhnya azab Tuhanmu pasti terjadi, tidak seorang pun yang dapat menolaknya, pada hari ketika langit benar-benar berguncang, dan gunung benar-benar berjalan. Maka kecelakaan yang besarlah di hari itu bagi orang-orang yang mendustakan, (yaitu) orang-orang yang bermain-main dalam kebatilan, pada hari mereka didorong ke neraka Jahanam dengan sekuat-kuatnya. (Dikatakan kepada mereka), "Inilah neraka yang dahulu kamu selalu mendustakannya.
Maka apakah ini sihir? Ataukah kamu tidak melihat. Masuklah kamu ke dalamnya (rasakanlah panas apinya), maka baik kamu bersabar atau tidak, sama saja bagimu; kamu diberi balasan terhadap apa yang telah kamu kerjakan. Allah subhanahu wa ta’ala bersumpah dengan menyebut beberapa makhluk-Nya yang menunjukkan akan Kekuasaan-Nya yang besar, bahwa azab-Nya pasti akan menimpa musuh-musuh-Nya. Dan bahwa tiada seorang pun yang dapat menolak azab itu dari mereka. Thur artinya gunung yang mempunyai pohon-pohonan seperti bukit tempat Allah berbicara langsung kepada Musa a.s.
dan pengangkatan Isa menjadi rasuI-Nya. Bukit atau gunung yang tiada pepohonannya bukan dinamakan Thur, melainkan dinamakan Jabal. dan Kitab yang ditulis. (Ath-Thur: 2) Menurut suatu pendapat, yang dimaksud adalah Lauh Mahfuz, dan menurut pendapat yang lain artinya kitab-kitab yang diturunkan yang tertulis untuk dibacakan kepada manusia dengan terang-terangan. Karena itulah disebutkan dalam firman berikutnya: pada lembaran yang terbuka, dan demi Baitul Ma'mur. (Ath-Thur: 3-4) Di dalam kitab Shahihain disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ dalam hadits Isra-nya sesudah melampaui langit yang ketujuh menceritakan melalui sabdanya: Kemudian aku dinaikkan ke Baitul Mamur, dan ternyata Baitul Mamur itu setiap harinya dimasuki oleh tujuh puluh ribu (malaikat) yang tidak kembali lagi kepadanya sampai yang terakhir dari mereka.
Yakni mereka melakukan ibadah di dalamnya dan tawaf di sekelilingnya sebagaimana ahli bumi melakukan tawaf di Ka'bah mereka. Demikian pula Baitul Ma'mur, ia adalah Ka'bah penduduk langit yang ketujuh, karena itulah Nabi ﷺ menjumpai Nabi Ibrahim a.s. Al-Khalil sedang menyandarkan punggungnya di Baitul Ma'mur. Karena beliau a.s. adalah orang yang membangun Ka'bah di bumi, maka pahala yang diterimanya adalah dari jenis amal. Letak Baitul Ma'mur itu adalah lurus di atas Ka'bah; dan pada tiap-tiap langit terdapat Ka'bahnya tersendiri sebagai tempat mereka melakukan ibadah dan shalat dengan menghadap kepadanya.
Ka'bah yang ada di langit yang terdekat dinamakan Baitul Tzzah; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. "" "" Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Rauh ibnu Janah, dari Az-Zuhri, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ yang telah bersabda: Pada langit yang ketujuh terdapat sebuah Bait yang dinamakan Al-Mamur lurus di atas Ka'bah.
Dan pada langit yang keempat terdapat sebuah sungai yang dikenal dengan nama Sungai Kehidupan; Malaikat Jibril memasuki sungai itu setiap harinya dan menyelam di dalamnya sekali selam, kemudian ia keluar dan mengibaskan sayapnya, maka berhamburanlah darinya sebanyak tujuh puluh ribu tetes air. Allah menciptakan seorang malaikat dari tiap-tiap tetesnya, dan mereka diperintahkan untuk mendatangi Baitul Ma'mur, lalu mengerjakan shalat padanya.
Maka mereka mengerjakannya, setelah itu mereka keluar dan tidak kembali lagi padanya selama-lamanya. Dan seorang malaikat dari mereka diserahi untuk memimpin mereka, kemudian ia diperintahkan untuk membawa mereka berdiri di suatu tempat di langit untuk melakukan tasbih (menyucikan) Allah subhanahu wa ta’ala padanya hingga hari kiamat tiba. Hadits ini gharib sekali, Rauh ibnu Janah meriwayatkannya secara munfarid, dia adalah seorang Quraisy Al-Umawi, maula mereka adalah Abu Sa'id Ad-Dimasyqi. Sejumlah jamaah telah menilai hadits ini munkar, antara lain ialah Al-Juzjani, Al-Uqaili, Al-Hakim, Abu Abdullah An-Naisaburi, dan lain-lainnya.
Imam Hakim mengatakan bahwa tiada dalil asal bagi hadits ini, baik melalui hadits Abu Hurairah maupun dari Sa'id atau Az-Zuhri. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hannad ibnus Sirri, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari Sammak ibnu Harb, dari Khalid ibnu Ur'urah, bahwa seorang lelaki bertanya kepada sahabat Ali, "Apakah Baitul Ma'mur itu?" Ali menjawab, "Ia adalah suatu Bait yang ada di langit dikenal dengan nama Ad-Darrah.
letaknya tepat lurus di atas Ka'bah; kesuciannya di langit sama dengan kesucian Baitullah yang ada di bumi. Setiap hari terdapat tujuh puluh ribu malaikat yang mengerjakan shalat padanya, kemudian mereka tidak kembali lagi kepadanya untuk selama-lamanya." Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Syu'bah dan Sufyan As'-Sauri. dari Sammak. Pada riwayat keduanya disebutkan bahwa orang yang menanyakan hal itu adalah Ibnul Kawa.
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Abu Kuraib, dari Talq ibnu Ganam, dari Zaidah, dari ‘Ashim, dari Ali ibnu Rabi'ah yang menceritakan bahwa Ibnul Kawa pernah bertanya kepada Ali tentang Baitul Ma'mur. Maka Ali menjawab, "Baitul Ma'mur adalah sebuah masjid yang ada di langit, yang dikenal dengan nama Ad-Darrah. Setiap hari dimasuki oleh tujuh puluh ribu malaikat, kemudian mereka tidak kembali lagi kepadanya selama-lamanya." Ibnu Jarir telah meriwayatkannya pula melalui hadits AbutTufail, dari Ali dengan lafal yang semisal. Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Baitul Ma'mur adalah suatu Baitullah yang terletak berhadapan dengan "Arasy, diramaikan oleh para malaikat yang melakukan shalat di dalamnya setiap harinya sebanyak tujuh puluh ribu malaikat, kemudian mereka tidak kembali lagi kepadanya.
Hal yang sama dikatakan oleh Ikrimah, Mujahid, dan sejumlah ulama Salaf. Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan As-Suddi mengatakan, telah diceritakan kepada kami bahwa Rasulullah ﷺ pernah bertanya kepada sahabat-sahabatnya, "Tahukah kalian, apakah Baitul Ma'mur itu?" Mereka menjawab, "Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.'" Maka Rasulullah ﷺ bersabda: Sesungguhnya Baitul Mamur itu adalah sebuah masjid di langit tepat di atas Ka 'bah. Seandainya terjatuh, niscaya akan menimpa Ka 'bah; ada tujuh puluh ribu malaikat yang mengerjakan shalat di dalamnya. Apabila mereka keluar darinya, mereka tidak kembali lagi kepadanya hingga yang paling akhir dari mereka.
Lain halnya dengan Adh-Dhahhak. ia menduga bahwa yang meramaikannya adalah sejumlah malaikat yang dikenal dengan nama jin, salah satu kabilah dari iblis; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan atap yang ditinggikan (langit). (Ath-Thur: 5) Sufyan As'-Sauri, Syu'bah, dan Abul Ahwas telah meriwayatkan dari Sammak, dari Khalid ibnu Ur'urah, dari Ali sehubungan dengan makna firman-Nya: dan atap yang ditinggikan. (Ath-Thur: 5) Yakni langit. Sufyan mengatakan bahwa lalu Khalid ibnu Ur'urah membaca firman-Nya: Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara, sedangkan mereka berpaling dari segala tanda-tanda (kekuasaan Allah) yang terdapat padanya. (Al-Anbiya: 32) Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid, Qatadah, As-Suddi, Ibnu Juraij, dan Ibnu Zaid, lalu dipilih oleh Ibnu Jarir.
Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan bahwa makna yang dimaksud adalah 'Arasy; 'Arasy adalah atap bagi semua makhluk. Apa yang dikatakannya itu cukup beralasan, dan ini merupakan salah satu pendapat sama dengan yang lainnya, menurut jumhur ulama. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan laut yang di dalam tanahnya ada api. (Ath-Thur: 6) Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah perairan yang ada di bawah 'Arasy, yang darinya Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan hujan yang dapat menghidupkan semua jasad di dalam kuburnya di hari semua makhluk dikembalikan (kepada-Nya).
Jumhur ulama mengatakan bahwa makna yang dimaksud adalah lautan ini. Dan mengenai makna firman-Nya, "Al-Masjur" masih diperselisihkan. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah laut itu kelak di hari kiamat akan dinyalakan menjadi api, seperti pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya: dan apabila lautan dipanaskan. (At-Takwir: 6) Yakni dinyalakan sehingga menjadi api yang bergejolak yang meliputi semua ahlul mauqif (orang-orang yang di Padang Mahsyar).
Sa'id ibnul Musayyab telah meriwayatkan hal ini dari Ali ibnu Abu Thalib. Hal yang sama telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dan pendapat yang sama dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair, Mujahid, Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair, dan lain-lainnya. Al-Ala ibnu Badr mengatakan bahwa sesungguhnya laut itu dikatakan al-masjur karena airnya tidak dapat diminum dan tidak dapat dijadikan sebagai pengairan tetumbuhan; hal yang sama terjadi pada semua laut kelak di hari kiamat.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, dari Al-Ala ibnu Badr. Diriwiyatkan dari Sa'id ibnu Jubair, bahwa makna masjur ialah yang dilepaskan. Qatadah mengatakan, masjur artinya yang penuh; pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir, alasannya ialah karena laut di masa sekarang bukanlah bahan bakar, melainkan makna yang dimaksud adalah penuh. Menurut pendapat yang lainnya lagi, makna yang dimaksud ialah kosong.
Al-Asmu'i telah meriwayatkan dari Abu Amr ibnul Ala, dari Zur-Rummah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: dan laut yang di dalam tanahnya ada api. (Ath-Thur: 6) Bahwa makna yang dimaksud ialah 'dan laut yang kosong (kering)'; suatu umat keluar untuk mencari air minum, lalu mereka mengatakan, "Sesungguhnya telaga itu kini telah kering." Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dalam Masanidusy Syu'ara. Menurut pendapat yang lain, yang dimaksud dengan masjur ialah yang terhalang dan tercegah dari bumi (daratan) agar jangan memenuhinya karena akan menenggelamkan para penghuninya.
Demikianlah menurut Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas. Hal yang sama dikatakan oleh As-Suddi dan lain-lainnya, hal yang semakna ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah di dalam kitab musnadnya. Ia mengatakan: telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Al-Awwam, telah menceritakan kepadaku seorang syaikh yang berjaga-jaga di pantai, ia mengatakan bahwa ia pernah bersua dengan Abu Saleh maula Umar ibnul Khattab.
Lalu ia mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Umar ibnul Khattab, dari Rasulullah ﷺ yang telah bersabda: Tiada suatu malam pun melainkan laut muncul padanya sebanyak tiga kali meminta izin kepada Allah subhanahu wa ta’ala untuk membanjiri mereka (manusia yang ada di daratan), tetapi Allah subhanahu wa ta’ala mencegahnya. Al-Hafidzh Abu Bakar Al-Ismaili mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Sufyan, dari Ishaq ibnu Rahawaih, dari Yazid ibnu Harun, dari Al-Awam ibnu Hausyab, telah menceritakan kepadaku seorang syaikh yang sedang berjaga-jaga, bahwa di suatu malam ia berjaga di posnya; tiada seorang penjaga pun yang keluar di malam itu selain dirinya. Lalu ia mendatangi pelabuhan dan menaiki tempat yang tinggi.
Maka diilusikan kepadanya bahwa seakan-akan laut muncul hingga ketinggiannya menyamai puncak-puncak bukit. Hal itu terjadi selama berkali-kali, padahal aku dalam keadaan berjaga (tidak tidur). Maka ia menemui Abu Saleh (dan menanyakan kejadian itu kepadanya), lalu Abu Saleh berkata bahwa telah menceritakan kepada kami Umar ibnul Khattab, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Tiada suatu malam pun melainkan laut mengalami pasang sebanyak tiga kali meminta izin kepada Allah subhanahu wa ta’ala untuk membanjiri (menenggelamkan) mereka, tetapi Allah subhanahu wa ta’ala mencegahnya. Di dalam sanad hadits ini terdapat seorang lelaki yang tidak dikenal lagi tidak disebutkan namanya. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Sesungguhnya azab Tuhanmu pasti terjadi. (Ath-Thur: 7) Ini adalah subjek dari sumpah, artinya benar-benar pasti terjadi terhadap orang-orang kafir. Seperti yang disebutkan dalam ayat selanjutnya: tidak seorang pun yang dapat menolaknya. (Ath-Thur: 8) Yakni tiada seorang pun yang dapat menolak azab itu dari mereka, jika Allah menghendakinya terhadap mereka.
Al-Hafidzh Abu Bakar ibnu Abud Dunia mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Daud, dari Saleh Al-Murri, dari Ja'far ibnu Zaid Al-Abdi yang mengatakan bahwa Khalifah Umar keluar di suatu malam untuk meninjau kota Madinah. Lalu ia melewati rumah seorang muslim yang secara kebetulan sedang berdiri mengerjakan salatnya, maka Umar berhenti mendengarkan bacaannya. Lelaki itu membaca firman-Nya: Demi bukit. (Ath-Thur: 1) sampai dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala: sesungguhnya azab Tuhanmu pasti terjadi, tidak seorang pun yang dapat menolaknya. (Ath-Thur: 7-8) Lalu Umar berkata, "Demi Tuhan Yang memiliki Ka'bah, ini adalah sumpah yang hak (benar)." Lalu Umar turun dari keledainya dan bersandar pada dinding dan diam dalam waktu yang cukup lama.
Kemudian pulang ke rumahnya, sesudah itu ia tinggal di rumahnya selama sebulan, dijenguk oleh banyak orang tanpa mereka ketahui apa penyebab sakitnya. Imam Abu Ubaid di dalam kitab Fadailul Al-Qur'an mengatakan telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Saleh, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Hassan, dari Al-Hasan, bahwa Umar membaca firman-Nya: sesungguhnya azab Tuhanmu pasti terjadi, tidak seorang pun yang dapat menolaknya. (Ath-Thur: 7-8) Maka Umar pun sakit keras karenanya selama dua puluh hari, yang selama itu banyak orang menjenguknya.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: pada hari ketika langit benar-benar berguncang. (Ath-Thur: 9) Ibnu Abbas dan Qatadah mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah pada hari ketika langit berguncang. Diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud ialah mengalami keretakan-keretakan. Mujahid mengatakan, makna yang dimaksud ialah berputar-putar, Adh-Dhahhak mengatakan langit bergerak-gerak dan berputar karena diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan sebagian darinya mengguncang sebagian yang lain. Inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir, bahwa yang dimaksud dengan mauran ialah gerakan yang berputar-putar. Lalu Abu Ubaidah alias Ma'mar ibnul Musanna menyitir suatu bait syair Al-A'sya:
Seakan-akan cara jalan si dia (kekasihnya) dari rumah tetangganya bagaikan gerakan awan, tidak pelan dan tidak pula cepat. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan gunung benar-benar berjalan. (Ath-Thur: 10) Yakni lenyap dari tempatnya dan menjadi debu serta meledak dengan sehebat-hebatnya. Maka kecelakaan yang besarlah di hari itu bagi orang-orang yang mendustakan. (Ath-Thur: 11) Artinya, celakalah mereka karena azab dan pembalasan serta siksaan Allah yang ditimpakan kepada mereka. (yaitu) orang-orang yang bermain-main dalam kebatilan. (Ath-Thur: 12) Mereka selama hidup di dunia tenggelam di dalam kebatilannya dan menjadikan agama mereka sebagai main-mainan dan olok-olokan.
pada hari mereka didorong. (Ath-Thur: 13) Maksudnya, didorong dan digiring. ke neraka Jahanam dengan sekuat-kuatnya. (Ath-Thur: 13) Mujahid, Asy-Sya'bi, Muhammad ibnu Ka'b, Adh-Dhahhak, As-Suddi, dan Ats-Tsauri mengatakan bahwa mereka didorong ke dalam neraka dengan sekuat-kuatnya. (Dikatakan kepada mereka), 'Inilah neraka yang dahulu kamu selalu mendustakannya. (Ath-Thur: 14) Malaikat Zabaniyah atau juru siksa mengatakan hal tersebut kepada mereka sebagai cemoohan dan kecaman. Maka apakah ini sihir? Ataukah kamu tidak melihat. Masuklah kamu ke dalamnya (rasakanlah panas apinya). (Ath-Thur: 15-16) Yaitu masukilah neraka ini dan rasakanlah panas apinya yang membakar kalian dari semua arah.
maka baik kamu bersabar atau tidak, sama saja bagimu. (Ath-Thur: 16) Yakni baik kamu bersabar mengalami azab dan siksanya ataukah tidak sabar, tiadajalan lain bagi kalian darinya dan kalian tidak dapat menghindar darinya. sesungguhnya kamu hanya diberi apa yang telah kamu kerjakan. (Ath-Thur: 16) Allah tidak akan berbuat aniaya terhadap seorang pun, bahwa masing-masing mendapat balasan sesuai amal perbuatannya."
11-12. Ketika azab itu datang, maka celakalah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah, terutama yang terkait dengan keesaan-Nya dan keniscayaan kiamat. Mereka itulah orang-orang yang terus bermain-main dalam kebatilan dan perbuatan dosa. 11-12. Ketika azab itu datang, maka celakalah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah, terutama yang terkait dengan keesaan-Nya dan keniscayaan kiamat. Mereka itulah orang-orang yang terus bermain-main dalam kebatilan dan perbuatan dosa.
Dalam ayat ini Allah menerangkan kepada siapa azab itu ditimpakan setelah terjadinya guncangan langit dan beterbangan gunung-gunung yaitu kepada orang-orang pendusta yang bergelimang dengan kebatilan dan selalu menolak kebenaran serta tidak ingat akan adanya hari perhitungan dan tidak pernah takut akan adanya siksaan Tuhan.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SURAH ATH-THUUR
(BUKIT)
SURAH KE-52, 49 AYAT, DITURUNKAN DI MEKAH
Bismillahirrahmanirrahim
Ayat 1
“Demi bukit"
Sebagaimana kita maklumi, bila kita manusia bersumpah tidaklah kita bersumpah dengan menyebut sebarang makhluk pun. Kita hanya boleh bersumpah dengan nama yang Mahasuci, Mahamulia, Mahakuasa, Maha Esa; pendeknya kita hanya boleh bersumpah dengan memuliakan nama Allah. Dalam ketentuan hukum bersumpah dengan selain Allah, termasuk musyrik juga. Dengan demikian maka sumpah adalah mempertaruhkan nama yang Mahasuci, yang kita junjung tinggi yang tidak boleh kita permain-mainkan.
Maka di ayat pertama surah ini Allah berkata, “Demi bukit." Thuur berarti bukit. Tidaklah setinggi gunung. Gunung di dalam bahasa Arab disebut jabal. Bukit yang dimaksud di sini ialah Bukit Thuur. Bukit tempat Nabi Musa menerima wahyu Taurat dari Allah. Di dalam surah at-Tiin dia pun telah dijadikan peringatan yang ketiga, sesudah tiin dan zaitun. Maka dapatlah kita pahami bahwa ayat pertama ini Allah memberi peringatan kepada kita akan Bukit Thuur, suatu jalan sejarah yang amat penting bagi kaum Muslimin dalam perkembangan agama Allah. Bukit Thuur di zaman sekarang termasuk wilayah Mesir. Suatu tempat strategis yang sangat diincar oleh orang Israel. Pada waktu penulis naik haji kedua kali di tahun 1950, sehabis mengerjakan haji penulis melakukan perlawatan pertama di negeri Mesir. Pada masa itu orang-orang yang selesai mengerjakan haji dapat meneruskan ke Mesir dengan kapal udara, tetapi wajib berhenti buat melakukan karantina di Thuur itu tiga hari tiga malam lamanya.
Selepas karantina itu, barulah kapal terbang dibolehkan menuju Mesir, setelah lebih dahulu diperiksa dan ditanyai, apa maksud perlawatan ke Mesir itu. Selama dalam karantina itulah penulis melihat letak negeri Thuur. Dari jauh ditunjukkan orang kepada penulis Bukit Thuur tempat Nabi Musa a.s. menerima wahyu itu. Dan dikatakan orang juga bahwa di bukit itu ada sebuah biara, tempat beribadah dan tafakur pendeta-pendeta Nasrani, yang biara itutelah didiami oleh pendeta-pendeta beratus tahun lamanya. Kabarnya konon pendeta-pendeta penghuni biara itu, ada penyimpan surah yang asli dari surah Nabi kita Muhammad ﷺ kepada Muqauqis, Raja Muda Kerajaan yang memerintah Mesir atas nama Kerajaan Rum di zaman Nabi ﷺ masih hidup.
Maka Bukit Thuur tempat Nabi Musa menerima wahyu inilah dijadikan peringatan pertama untuk jadi peringatan di dalam surah ini. Peringatan untuk kita umat Muhammad, bahwasanya bukit gersang timbunan batu granit yang tidak berubah-ubah sudah ribuan tahun itu, walaupun dia laksana membisu namun dari sana timbul pelajaran bagi umat manusia bahwa perjuangan antara yang hak dan yang batil akan tetap ada di dunia ini selama manusia pun masih tetap ada. Dia bisa berhenti di tempat yang baru, di mana manusia mulai menegakkan masyarakatnya.
Ayat 2
“Dan (demi) Kitab yang tertulis."
Ayat 3
“Pada lembaran yang terbuka."
Di setengah kitab tafsir disebutkan bahwasanya kitab yang ditulis itu tentu saja kitab Taurat. Sebab ayat pertama menyebut Bukit Thuur, niscaya kitab yang diturunkan di sana ialah kitab Taurat. Tetapi memilih susunan kata, pertalian ayat yang kedua dan ketiga, bolehlah pula kita memahamkan lebih luas dari itu. Sebab alam terbentang di kiri kanan kita ini, di atas di bawah kita, di muka di belakang kita, asal kita masih suka memerhatikan, semuanya itu adalah kitab yang tertulis, yang ditulis oleh huruf-huruf dan bahasa pemahaman kita, kita selalu dapat membaca asal saja kecerdasan kita tidak buta huruf. Semua tertulis dengan bahasa manusia. Maka pada tafsir dari ayat 190 pada surah ketiga Aali Tmraan yang turun kepada nabi kita di waktu sahur, diikuti oleh beberapa ayat sesudahnya, maka teringatlah kita akan sabda Nabi ﷺ setelah ayat-ayat itu,
“Celakalah bagi barang siapa yang membaca ayat ini, padahal tidak dia pikirkan apa yang terkandung di dalamnya."
Memang selalu banyak kitab yang tertulis, baik secara harfiyah ataupun secara simbolis. Secara harfiyah dapat kita renungkan berapa juta jilidkah kitab-kitab hasil usaha pemikiran manusia. Berapa Bibliotik atau Library, atau perpustakaan, didirikan oleh ahli atau sarjana seluruh dunia. Tiap universitas mendirikan perpustakaan. Badan Kongres Amerika di Washington mempunyai tidak kurang dari 1.500.000 jilid buku. Jangankan membaca seluruh isinya, sedangkan membalik-balik saja lembaran tiap-tiap buku, mungkin umur kita telah habis sebelum terbalik-balikkan oleh kita semua buku itu.
Sebab itu dapatlah kita memahamkan kembali peringatan Allah pula dalam surah yang lain, surah al-Qalam ayat 1,
“Demi Qalam (pena) dan (demi) apa yang mereka tuliskan.'' (al-Qalam: 1)
Dengan menilik hasil pena manusia itu saja pun kita sudah merasa kagum. Apalah lagi bahan isi alam yang akan diolah oleh manusia, alangkah banyaknya. Umur kita tidak cukup buat menghasilkan semuanya.
Camile Falamarion, seorang sarjana Barat berkata, “Ilmu-ilmu yang kita dapati dalam perjuangan hidup ini, adalah laksana mutiara yang dihempaskan oleh ombak ke tepi. Itulah kita yang ambil dengan bangga. Padahal yang tersembunyi di dasar laut masih banyak lagi."
thawaf tiap hari ke Baitul Ma'mur itu. Mana yang telah datang satu kali, selesai beribadah lalu pergi dan tidak berulang datang lagi.
Banyak hadits-hadits yang menerangkan tentang al-Baitil Ma'mur itu. Sayyidina Ali bin Abi Thaiib menyebut namanya yang lain, yaitu adh-Dhurrah. Kemuliaannya di langit kata Sayyidina Ali sama dengan kesucian Ka'bah di bumi.
Cerita yang beginilah yang bernama sam-'iyaat, yaitu cerita-cerita perihal di tempat lain, baik yang ada sekarang atau yang akan kita dapati di alam lain kelak atau sekarang yang kita dengar dari riwayat Rasulullah ﷺ sendiri, yang kita wajib percaya sepanjang yang kita dengar itu, dengan tidak perlu kita persoalkan lagi bagaimana caranya. Menerima dengan penuh kepercayaan apa yang kita dengar dari Nabi itu, adalah sebagian dari iman juga. Sebab sebagai pemeluk dari suatu agama, kita telah mempunyai pokok pendirian bahwa Rasulullah ﷺ itu mustahil berdusta.
Ayat 4
“Dan (demi) al-Baitil Ma'mun."
Al-Bait al-Ma'mur. Al-bait artinya rumah, al-Ma'mur artinya yang ramai, jadi rumah yang selalu ramai. Di dalam sebuah hadits yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim, al-Bait al-Ma'mur atau rumah yang ramai itu adalah terletak di dalam langit yang ketujuh. Di dalam hadits Isra' dan Mi'raj ada disebutkan bahwa Nabi Muhammad dalam Mi'rajnya diberi Allah juga kesempatan buat sampai ke sana dan sesampai di sanalah, bertemu beliau Muhammad ﷺ dengan Nabi Ibrahim sedang bersandar pada tempat yang mulia itu.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyatakan Nabi Ibrahim mendapat kehormatan setinggi itu ialah karena beliau yang mendirikan Ka'bah di dunia. Kedudukan al-Baitil Ma'mur di langit, sama dengan kedudukan Ka'bah di bumi. Yaitu tempat ibadah malaikat yang datang dari segenap penjuru langit. Tidak kurang dari 70.000 malaikat yang datang beribadah dan
Ayat 5
“Dan (demi) atap yang ditinggikan."
Atap yang ditinggikan ialah langit. Demikian menurut keterangan ahli-ahli sebagai Sufyan, Mujahid, Qatadah. dan as-Suddi. Hal ini dapat kita rasakan apabila kita ingat penafsiran tentang langit. Bila ditanya orang apakah langit itu? Orang menjawab, “Langit adalah apa yang berada di atas kita." Sebab apa yang tinggi di atas kita itulah langit kita.
Dari tempat yang rendah kita melihat hujan turun. Sebab dia datang dari jurusan yang tinggi dari kita maka kita anggap saja hujan itu turun dari langit. Tetapi apabila kita naik kapal udara, kita melihat bahwa hujan itu bukan turun dari langit, melainkan dari segumpal awan di bawah dari kapal udara yang kita naiki itu, dan “langit" kita lebih tinggi daripada awan yang menurunkan hujan itu. Maka bertambah tinggi terbang, bertambah rendahlah jurusan yang tadinya telah kita katakan langit tadi, dan pindahlah apa yang kita katakan langit itu kepada apa yang di atas kita lagi! Bertambah tinggi dan tinggi lagi terbang kita, bertambah jauh juga langit ke atas kita. Sebab itu amat tepatlah peringatan Allah, “Dan (demi) atap yang ditinggikan." Bertambah tinggi terbang kita, bertanbah lebih tinggi letak langit di atas kita.
Ayat 6
“Dan (demi) laut yang berapi."
Menurut satu tafsir yang di uraikan oleh Sa'id bin al-Musayyad yang beliau terima pula dari Ali bin Abi Thalib, bahwasanya air laut meskipun karena jelas bahwa ia adalah genangan air, namun ia selalu menggelagak. Yaitu gelagakyang pada hakikat manunjukkan bahwa air laut itu mengandung panas. Dan panas itu artinya ialah mengandung api.
Keterangan ini dikuatkan lagi oleh firman Allah, surah at-Takwiir ayat 6,
“Demi apabila lautan telah mendidih." (at-Takwiir: 6)
Kadang-kadang pergolakan zaman menyampaikan kita kepada penafsiran ayat ini. Kemajuan teknologi manusia menyebabkan sesudah manusia mencari minyak bumi pereka pun mencari minyak di laut. Maka dari dalam dasar laut itu dikeluarkan minyak .Ini adalah salah satu tanda yang nyata bahwa lautan bisa mendidih mengeluarkan api.
Kemudian itu dibuat oranglah kapal-kapal tangki pengangkut minyak beribu-ribu ton dari satu benua ke benua yang lain. Kita melihat Selat Malaka menjadi jalan laut kapal-kapal tangki berpuluh setiap hari. Maka terjadilah beberapa kali kecelakaan, yaitu kapal tangki bocor,minyak mengalir keluar. Ikan-ikan jadi mati karena keracunan minyak, dan tidak jarang terjadi kebakaran di laut! Api menjalar di atas laut. Susah memadamkannya, tidak bisa dipadamkan oleh pompa air, karena
satu-satu waktu telah sangat berpadu antara minyak dengan air.
Ini semuanya telah kita dapat saksikan. Baik dilihat mata kepala, atau membaca dari surat-surat kabar, ataupun dapat dilihat di te-lavisi, sehingga di zaman kemajuan teknologi ini manusia pun maju untuk sampai kepada suatu suasana kebingungan melihat bekas kemajuan pikirannya sendiri.
Terkenal pula apa yang dinamai polusi, yaitu keruh dan kotornya udara dari bekas kemajuan pikiran manusia, dengan menjulangnya asap pabrik-pabrik, dengan mengebutnya asap minyak dari berjuta mobil yang dipakai manusia, sehingga bertemu pula apa yang dikatakan di dalam surah ar-Ruum ayat 41,
“Telah timbul kerusakan di darat dan di laut karena usaha tangan manusia." (ar-Ruum: 41)
Maka ayat 6 ini, “demi laut yang berapi", dikuatkan lagi oleh surah at-Takwiir ayat 6, adalah peringatan bagi manusia bahwa bisa saja kalau Kiamat mau datang maka dari lautan yang luasnya 4/5 dari seluruh bumi dari dalam laut itulah menggelojak api. Di negeri kita sendiri, dari sebuah pulau kecil antara. Jawa dan Sumatera terdapat Pulau Krakatau. Selalu dapat kita lihat pada lautan dekat pulau kecil itu mengepul asap dari dalam laut, yang satu-satunya memberi ingat bahwa dari sana bisa meletus lagi, sebagaimana pada tahun 1833 telah ditimbulkan Allah letusan besar dari lautan, yang didengar dahsyatnya letusan itu di seluruh dunia.
Oleh sebab itu maka tepatlah firman Allah selanjutnya,
Ayat 7
“Sesungguhnya adzab Tuhanmu itu pasti terjadi."
Dengan enam peringatan sebagai permulaan, sejak dari Bukit Thursina, yang di sana Musa menerima wahyu dan perintah agar menghadapi Fir'aun dengan serba kezaliman dan aniaya, sampai peringatan menyuruh membaca perubahan-perubahan yang selalu tertulis di alam ini, sampai pula cerita tentang al-Baitil Ma'mur, yang Nabi kita Muhammad ﷺ telah diberi kesempatan melihat tempat itu waktu Mi'raj, diiringi lagi dengan peringatan tentang langit yang ditinggikan, dan akhirnya sekali diperingatkan bahwa lautan yang luas itu pun menggelegak, menggelora, sebab dia mengandung api. Dengan mengemukakan keenam peringatan ini, dengan sendirinya manusia akan dituntun oleh pikirannya, oleh logikanya bahwa semuanya itu tidaklah kekal. Semuanya itu fana, yang baqa hanya Allah. Dan dengan wajar manusia sampai kepada kesimpulan:
Ayat 8
“Tidak sesuatu pun yang dapat bertakan."
Bukit Thursina telah berdiri beribu tahun; Fir'aun melawan dengan sombongnya. Akhirnya dia hancur.
Ensiklopedi alam selalu terbuka buat dibaca. Namun manusia kian lama kian lalai memerhatikan itu. Akhirnya yang zalim jatuh juga, tidak dapat bertahan. Langit ditinggikan! Oleh setengah manusia langit yang tinggi tidak mendekatkan, bahkan menjauhkan dari Allah. Akhirnya dari langit yang tinggi itu adzablah yang turun, manusia pun tidak dapat bertahan.
Dengan sombong manusia melayari laut, menghubungkan letak yang jauh terpisah. Allah bukakan laut boleh dilayari, namun akhirnya kemajuan hubungan laut telah mereka jadikan kesempatan yang luas buat menindas yang kuat kepada yang lemah. Dengan kapal bangsa-bangsa yang kuat menjajah yang lemah. Akhirnya dari laut akan merebaklah api besar, membakar kezaliman. Tidak satu kekuatan pun yang bisa bertahan!
Lalu mulailah Allah menggambarkan bagaimana keadaan yang akan dihadapi manusia pada waktu itu kelak.
Ayat 9
“Pada had yang langit akan berguncang sebenar berguncang."
Dapatlah diperkirakan sendiri bagaimana dahsyatnya jika langit yang di atas kita ini, yang biasanya tenang, tiba-tiba jadi berguncang, tidak ada ketetapannya lagi.
Kalau kita sendiri pening, pusing, dunia ini rasanya terbalik. Mata dapat dipicingkan untuk membuat perasaan kita yang berguncang itu tenang kembali. Karena yang guncang itu hanya semata-mata perasaan kita. Tetapi langit itu sendiri yang sebenar berguncang, tidaklah ada bagi kita sendiri kesanggupan buat menenangkan diri.
Ayat 10
“Dan akan benkisan gunung-gunung sebenar berkisar."
Gambarkanlah bagaimana dahsyatnya bilamana gunung-gunung itu berkisar. Artinya ialah gempa bumi yang sangat besar. Sedang gempa bumi sedikit saja pada 18 Juni 1926 di Padang Panjang, terjadi pada hari Senin dua kali. Pertama pagi-pagi kira-kira pukul 9, hanya kira-kira setengah menit. Rumah-rumah batu sudah mulai retak-retak dan orang-orang yang hidup sehari-hari mulai panik. Dan tiba-tiba sekitar pukul 11 siang, dua jam setelah yang pertama, berguncang pula alam kira-kira satu menit. Dan dalam satu menit itu rumah-rumah digoyang, bukan lagi retak-retak, melainkan hancur, gugur. Manusia yang berada di dalam rumah tidak dapat lari, tidak sempat lagi keluar. Mereka telah tertimbun oleh runtuhan rumahnya dan mati. Maka dalam masa hanya satu menit, berpuluh orang mati dalam himpitan akibat gempa. Padahal hanya satu menit, namun rasanya sudah sangat lama. Setelah lepas masa satu menit itu kota Padang Panjang yang megah bertukar menjadi onggokan batu-batu. Manusia berpekikan menghadapi bahaya, padahal alam telah tenang kembali. Gunung Merapi masih tetap di sebelah kanan, dilihat dari utara, dan Singgalang tetap di sebelah kiri. Sudah berlalu masa itu, tahun 1926, 1936, 1946, 1956, 1966 dan 1976, dan tafsir ini dibuat 50 tahun kemudian. Sejak terjadi gempa bumi 1926 itu dibuat peraturan bahwa penduduk tidak usah lagi membuat rumah-rumah batu. Cukup berdinding kayu atau berdinding kawat, lalu dipugar dengan semen. Jika terjadi gempa lagi bambu atau kawat akan tinggal, hanya semennya saja yang akan terbongkar. Tetapi Alhamdulillah sejak 1926 itu, sampai masa tafsir ini diperbuat belum terjadi lagi gempa sebesar itu di Padang Panjang.
Maka jika dibandingkan gempa bumi Padang Panjang 1926 itu dengan gempa yang digambarkan pada ayat ini, belum berarti apa-apa gempa bumi Padang Panjang itu. Sebab gunung-gunung belum dikisarkan, sebenar berkisar. Gunung Merapi, Singgalang, Talang, Sago, Tandikat, Pasaman, dan Talamau, itulah tujuh gunung di alam Minangkabau. Tidak satu pun yang berkisar dari tempatnya dalam gempa yang hanya satu menit itu. Gambarkanlah dan bayangkan bagaimana kalau Kiamat itu terjadi!
Ayat 11
“Maka celaka besarlah di hari itu bagi orang yang mendustakan."
Sampai kepada zaman kita sekarang ini masih banyak orang yang mendustakan, tidak mau percaya bahwa dunia ini akan Kiamat. Bukan saja mereka tidak memercayai hari Kiamat, adanya Allah pun mereka tidak percaya. Komunisme di mana-mana di seluruh dunia ini bukan saja tidak percaya akan adanya Allah, bahkan dengan seluruh daya dan upaya berusaha keras memberantas dan memberondong segala kepercayaan yang ada sangkut-pautnya dengan agama, dengan Allah, dengan Kiamat dan seumpamanya itu. Tetapi
oleh karena kepercayaan itu adalah suara batin setiap manusia usaha mereka untuk menghapus itu ternyata sama dengan menghapus manusia sendiri. Sebab itu ketika Lenin antiagama nomor satu di dunia telah mati, dibuatlah kuburnya dan diawetkan mayatnya, sehingga sejak dia mati (1924) sampai sekarang mayat itu masih ada dan masih dihormati dalam upacara yang khusyu itu dirasakan adanya kepercayaan!
Ketika terjadi Perang Dunia II, Jerman (Hitler) menyerang Rusia, usaha utama pemimpin-pemimpin Soviet ialah memelihara dan menyembunyikan jenazah yang amat dimuliakan itu jangan sampai jatuh ke tangan musuh. Dan bagi peziarah-peziarah luar negeri yang datang ke Rusia, ziarah melihat jenazah Lenin itu adalah suatu yang termasuk program resmi.
Demikian juga telah diperbuat oleh Republik Rakyat China terhadap jezanah Mao Tse Tung di Peking.
Namun demikian, baik di Rusia atau di China mereka dengan keras menolak iman tentang adanya Allah, adanya Kiamat, adanya hari pembalasan. Dalam nyanyian partai Komunis ada tersebut,
“Musnahkan adat serta paham tua."
Maka tentang Kiamat, hari pembalasan, surga dan neraka dan sebagainya itu, semuanya menurut mereka adalah paham tua atau paham kolot yang mesti dimusnahkan. Percaya akan adanya Allah adalah “adat" yang sudah bobrok; mesti diganti dengan memuja jenazah Lenin dan Mao Tse Tung.
Tetapi usaha memberantas dan menghancurkan agama itu yang telah direncanakan dan diatur tiap hari, tiap bulan, tiap tahun, oleh ahli-ahli pikir yang andal, semuanya lebih besar ongkosnya daripada hasilnya. Dalam buku Tiga Tahun di Moskow yang ditulis oleh Walter Badle Smith, mantan duta besar Amerika di Rusia (1946-1949), dia jelaskan bagaimana ramainya orang Rusia menghormati hari-hari besar agama, seumpama Hari Paskah dan lain-lain, sehingga gereja-gereja jadi penuh sesak oleh manusia. Bahkan ada pemegang kekuasaan tertinggi yang terlanjur mulutnya menyatakan keinginan hatinya hendak turut dalam penghormatan hari mulia itu.
Melihat perkembangan dalam masyarakat di Rusia masa ini, yang rasa agama tumbuh kembali, sedang segala cemooh yang disusun pemerintah, meskipun disiarkan setiap hari, namun orang memegang agama masih jauh lebih banyak dari yang mengakui ateis atau tidak beragama. Komunis kelihatan lebih tampak, lain tidak, hanyalah karena dia berkuasa. Sudah berkuasa Komunis di Rusia sudah sejak tahun 1917, namun belum pernah teori yang dianut itu dapat sesuai dengan kenyataan. Yang adalah perebutan kekuasaan yang ditebus dengan menumpahkan darah barangsiapa yang dicurigai. Zaman Stalin terkenal dengan beratus, beribu, bahkan berjuta nyawa melayang dari orang yang dianggap melawan Stalin. Setelah Stalin mati, barulah Khrushchev membuka kejahatan dan kezaliman Stalin. Dan waktu itulah baru terdengar kata-kata “kultus individu" yang berarti bahwa segala gerak negara bergantung kepada suka atau dukanya seseorang. Di zaman hidup Stalin terkenal kekejaman Beria. Tetapi setelah Stalin mati, Beria pula yang dikorbankan orang. Setiap waktu ada saja perubahan baru, pe-mimpin naik, pemimpin tersingkir. Akhir sekali, tengah tafsir ini dikerjakan, naiklah Breznev, disingkirkannya Bodgomi. Breznev kepala tertinggi pemerintahan merangkap ketua partai. Dan semuanya itu tidak ada yang dihadapi dengan tenteram. Karena siapa yang kalah siasat akan hancur. Sampai seorang pengarang Rusia, bernama Creak meramalkan bahwa rezim komunis ini tidak akan dapat dipertahankan lagi, sampai tahun 1984.
Karena karangannya itu, dia terancam nyawa di negeri Rusia dan ketika tafsir ini dibuat, dia hidup di negeri Belanda.
Maka kegelisahan yang dirasakan pada negeri-negeri yang jatuh ke dalam kekuasaan
nya tepat benar dengan bunyi ayat 12,
Ayat 12
“Onang-orang yang dalam sengsana mereka masih bermain-main."
Artinya ialah bahwa orang-orang yang memegang kekuasaannya itu mereka telah melupakan nilAl-nilai yang tinggi. Mereka tidak percaya bahwa kekuasaan yang hanya menggantungkan kekuasaan kepada kekuatan, tidaklah kekuasaan itu akan lekat ke dalam hati rakyat. Rakyat hanya merasa takut, tidak merasa sayang. Rakyat akan menyumpah dalam hati. Maka kalau kekuasaan itu runtuh dan hancur, kelak tidak ada lagi rakyat yang akan menangis karena air matanya sudah lama kering!
Ayat 13
“Pada hati yang mereka akan didonong ke dalam Jahannam dengan sekali downgan."
Susunan kata ini dalam bahasa Arab lebih keras lagi bunyinya. Kalimat yuda'-'una kita artikan didorong. Kalimat ini telah kena buat jadi arti dari kalimat itu. Sebab kata-kata didorongkan berarti bahwa orang itu enggan dan takut akan masuk ke dalam neraka. Kalau tidak didorongkan mereka masih akan tertegun tegak di luar, bertambah lama bertambah takut. Maka dengan sekali dorong saja pun berhamburan mereka masuk ke dalam Jahannam itu.
Ayat 14
“inilah dia mereka yang selalu kamu dustakan itu."
Perkataan hardikan inilah yang diucapkan oleh Malaikat Zabaniah pengawal neraka kepada orang-orang yang kafir tatkala hidupnya di dunia itu.