Ayat
Terjemahan Per Kata
وَبِٱلۡأَسۡحَارِ
dan di waktu sahur
هُمۡ
mereka
يَسۡتَغۡفِرُونَ
mereka mohon ampun
وَبِٱلۡأَسۡحَارِ
dan di waktu sahur
هُمۡ
mereka
يَسۡتَغۡفِرُونَ
mereka mohon ampun
Terjemahan
dan pada akhir malam mereka memohon ampunan (kepada Allah).
Tafsir
(Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun) mereka berdoa dengan mengucapkan, "Allaahumaghfir Lanaa", Ya Allah ampunilah kami.
Tafsir Surat Adz-Dzariyat: 15-23
Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik. Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah). Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.
Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan? Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu. Maka demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, menceritakan perihal orang-orang yang bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala, bahwa sesungguhnya mereka di hari mereka dikembalikan kepada-Nya dimasukkan ke dalam surga yang penuh dengan taman-taman dan mata air-mata air. Berbeda halnya dengan nasib yang dialami oleh orang-orang yang celaka; mereka mengalami azab, pembalasan, dibakar di dalam neraka, dan dirantai dengan belenggu-belenggu.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka. (Adz-Dzariyat: 16) Ibnu Jarir mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah mereka mengamalkan fardu-fardu yang telah ditetapkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala atas diri mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik. (Adz-Dzariyat: 16) Yakni sebelum diperintahkan untuk mengerjakan amal-amal fardu, mereka adalah orang-orang yang berbuat baik dalam amal perbuatannya. Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Mahran, dari Sufyan, dari Abu Umar, dari Muslim Al-Batin, dari ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka. (Adz-Dzariyat: 16) Yakni amal-amal fardu yang telah diwajibkan atas mereka oleh Tuhan mereka.
Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik. (Adz-Dzariyat: 16) Maksudnya, sebelum ada amal-amal fardu itu mereka juga telah beramal baik. Tetapi sanad riwayat ini tidak shahih sampai kepada Ibnu Abbas. Usman ibnu Abu Syaibah telah meriwayatkan dari Mu'awiyah ibnu Hisyam, dari Sufyan, dari Abu Umar Al-Bazzar, dari Muslim Al-Batin, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas , lalu disebutkan hal yang semisal.
Dan tafsir yang dikemukakan oleh Ibnu Jarir masih perlu diteliti kembali, mengingat firman Allah subhanahu wa ta’ala, "Akhizina" merupakan kata keterangan keadaan dari firman-Nya: berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air. (Adz-Dzariyat: 15) Maka orang-orang yang bertakwa, di dalam surganya mereka menerima pemberian dari Tuhan mereka berupa kenikmatan dan kegembiraan serta kesenangan. Dan firman Allah subhanahu wa ta’ala: Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik. (Adz-Dzariyat: 16) Makna ayat ini senada dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya: (kepada mereka dikatakan), "Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu. (Al-Haqqah: 24) Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan kebaikan amal perbuatan mereka melalui firman-Nya: Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. (Adz-Dzariyat: 17) Ulama tafsir berbeda pendapat sehubungan dengan i'rab kalimat ayat ini, ada dua pendapat di kalangan mereka mengenainya.
Salah satunya menyebutkan bahwa huruf ma adalah nafiyah, artinya mereka sedikit menjalani malam harinya karena mereka tidak tidur. Ibnu Abbas telah mengatakan, bahwa tiada suatu malam pun yang mereka lalui, melainkan mereka mengambil sebagian darinya, walaupun sedikit (untuk mengerjakan shalat malam hari). Qatadah telah meriwayatkan dari Mutarrif ibnu Abdullah, bahwa sedikit sekali malam hari yang mereka lalui, melainkan mereka mengerjakan shalat padanya, adakalanya dari permulaannya atau dari tengahnya. Mujahid mengatakan, sedikit sekali mereka tidur malam hari sampai subuh tanpa mereka jalani shalat tahajud.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Qatadah. Anas ibnu Malik dan Abul Aliyyah mengatakan bahwa mereka selalu mengerjakan shalat (sunat) antara magrib dan isya. Abu Ja'far Al-Baqir mengatakan bahwa mereka tidak tidur sebelum mengerjakan shalat 'atamah (isya). Pendapat yang kedua menyebutkan bahwa ma adalah masdariyah, yang artinya mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir. Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. (Adz-Dzariyat: 17) Mereka jalani shalat malam hari dengan keteguhan hati, karenanya mereka tidak tidur di malam hari kecuali hanya sedikit.
Mereka mengerjakannya dengan penuh semangat hingga waktunya memanjang sampai waktu sahur, sehingga bacaan istigfar mereka dilakukan di waktu sahur. Qatadah mengatakan bahwa Al-Ahnaf ibnu Qais telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. (Adz-Dzariyat: 17) Mereka tidak tidur kecuali sedikit. Kemudian Al-Ahnaf mengatakan bahwa dirinya bukan termasuk ahli ayat ini. Al-Hasan Al-Basri mengatakan, Al-Ahnaf ibnu Qais pernah mengatakan bahwa ia membandingkan amalnya dengan amal penghuni surga, maka ia menjumpai suatu kaum yang berbeda jauh dengannya.
Mereka adalah kaum yang amal perbuatan kami tidak dapat mencapai tingkatan amal mereka, mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan aku (Al-Ahnaf) membandingkan amal perbuatanku dengan amal penghuni neraka, ternyata ia menjumpai mereka adalah kaum yang tiada kebaikan pada diri mereka; mereka adalah orang-orang yang mendustakan Kitabullah dan rasul-rasul Allah, serta mendustakan adanya hari berbangkit sesudah mati. Dan aku menjumpai orang yang terbaik di antara kami adalah kaum yang mencampur amal saleh dan amal yang buruk.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa seorang lelaki dari Bani Tamim bertanya kepada Ubay , "Wahai Abu Usamah, ada suatu sifat yang tidak dijumpai di kalangan kami, Allah subhanahu wa ta’ala telah menyebutkan perihal suatu kaum melalui firman-Nya: 'Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam' (Adz-Dzariyat: 17). Dan kami, demi Allah, sedikit melakukan shalat di malam hari." Maka Ubay menjawab, "Beruntunglah bagi orang yang tidur bila mengantuk dan bertakwa kepada Allah apabila terbangun." Abdullah ibnu Salam mengatakan, "Ketika Rasulullah ﷺ tiba di Madinah, maka orang-orang bersegera menemuinya, dan aku termasuk salah seorang yang datang menemuinya. Ketika aku melihat wajahnya, ternyata menurut keyakinanku beliau bukanlah seorang yang pendusta. Dan kalimat yang mula-mula kudengar darinya ialah: Wahai manusia, berilah makan, hubungkanlah tali persaudaraan, sebarkanlah salam, dan salatlah di malam hari pada saat manusia lelap dalam tidurnya, niscaya kalian masuk surga dengan selamat'.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasan ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah, telah menceritakan kepadaku Yahya ibnu Abu Abdur Rahman Al-Habli, dari Abdullah ibnu Umar yang mengatakan bahwa sesungguhnya Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Sesungguhnya di dalam surga terdapat gedung-gedung yang bagian luarnya dapat dilihat dari bagian dalamnya, dan bagian dalamnya dapat dilihat dari bagian luarnya. Abu Musa Al-Asy'ari bertanya, "Wahai Rasulullah, untuk siapakah gedung-gedung itu?" Rasulullah ﷺ menjawab: Untuk orang yang lembut dalam tutur katanya, dan gemar memberi makan (fakir miskin), serta melakukan shalat malam harinya karena Allah di saat manusia lelap dalam tidurnya. Ma'mar mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. (Adz-Dzariyat: 17) Bahwa menurut Az-Zuhri dan Al-Hasan, keduanya sering menyebutkan bahwa mereka banyak tidur di malam harinya tanpa mengerjakan shalat (sunat malam hari).
Ibnu Abbas dan Ibrahim An-Nakha'i mengatakan sehubungan dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala: Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. (Adz-Dzariyat: 17) Yakni mereka tidak tidur. Adh-Dhahhak mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik, mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. (Adz-Dzariyat: 16-17) Kemudian menganggap firman berikutnya sebagai kalimat baru: Di waktu sebagian malam mereka tidak tidur dan di waktu akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah). (Adz-Dzariyat: 17-18) Pendapat ini jauh dari kebenaran dan dianggap menyimpang. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah). (Adz-Dzariyat: 18) Mujahid dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa makna istigfar di sini adalah shalat sunat.
Ulama lainnya berpendapat bahwa mereka mendahulukan shalat sunat di malam hari, sedangkan istigfarnya mereka akhirkan sampai waktu sahur. Seperti yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: dan yang memohon ampun di waktu sahur. (Ali Imran: 17) Dan bilamana istigfar itu dilakukan dalam shalat, maka lebih utama. Di dalam kitab-kitab shahih disebutkan dari sejumlah sahabat dari Rasulullah ﷺ yang telah bersabda: Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala turun di setiap malam ke langit yang paling dekat, hingga malam hari tersisa sepertiganya lagi, maka Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, "Apakah ada orang yang bertobat, maka Aku akan menerima tobatnya; apakah ada orang yang memohon ampun, maka Aku memberi ampun kepadanya; dan apakah ada orang yang meminta, maka Aku akan memberinya apa yang dimintanya?" Hingga fajar terbit (yakni waktu subuh datang).
Banyak ulama tafsir yang mengatakan sehubungan dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala yang menceritakan perkataan Nabi Ya'qub kepada anak-anaknya: Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. (Yusuf: 98) Bahwa Nabi Ya'qub mengakhirkan bacaan istigfarnya untuk mereka sampai waktu sahur. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian. (Adz-Dzariyat: 19) Setelah Allah subhanahu wa ta’ala menyifati mereka sebagai orang-orang yang rajin mengerjakan shalat malam hari, lalu menyebutkan sifat terpuji mereka lainnya, yaitu bahwa mereka selalu membayar zakat dan bersedekah serta bersilaturahmi. Untuk itu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Dan pada harta mereka ada hak. (Adz-Dzariyat: 19) Yaitu bagian yang telah mereka pisahkan, sengaja disiapkan untuk diberikan kepada orang yang meminta-minta dan yang tidak mendapat bagian.
Adapun pengertian sa'il sudah jelas, yaitu orang yang mulai meminta-minta dan dia punya hak untuk meminta-minta, seperti yang disebutkan oleh Imam Ahmad dalam riwayatnya yang menyebutkan bahwa: telah menceritakan kepada kami Waki' dan Abdur Rahman, keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Mus'ab ibnu Muhammad, dari Ya'la ibnu Abu Yahya, dari Fatimah bintil Husain, dari ayahnya Al-Husain ibnu Ali yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Orang yang meminta-minta mempunyai hak, sekalipun ia datang dengan berkendaraan di atas kuda. Imam Abu Dawud meriwayatkannya melalui hadits Sufyan Ats-Tsauri dengan sanad yang sama.
Kemudian Abu Dawud menyandarkannya melalui jalur lain, dari Ali ibnu Abu Thalib Telah diriwayatkan pula melalui hadits Al-Hurmas ibnu Ziad secara marfu' hal yang semisal. Adapun pengertian orang yang mahrum, maka menurut Ibnu Abbas dan Mujahid, artinya orang yang beruntung karena tidak mempunyai jatah dari Baitul Mal, tidak mempunyai mata pencaharian, tidak pula mempunyai keahlian profesi yang dapat dijadikan tulang punggung kehidupannya. Ummul Muminin Aisyah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Muharif (orang yang tidak mendapat bagian atau tidak beruntung) ialah orang yang sulit dalam mencari mata pencaharian. Adh-Dhahhak mengatakan bahwa orang yang mahrum ialah orang yang tidak sekali-kali mempunyai harta melainkan habis saja, dan itu sudah menjadi takdir Allah baginya.
Abu Qilabah mengatakan bahwa pernah ada banjir melanda Yamamah yang merusak harta seseorang, maka seseorang dari kalangan sahabat mengatakan bahwa orang ini adalah orang yang mahrum. Ibnu Abbas mengatakan pula demikian juga Sa'id ibnul Musayyab, Ibrahim An-Nakha'i, Nafi' maula Ibnu Umar, dan ‘Atha’ ibnu Abu Rabah bahwa yang dimaksud dengan orang yang mahrum ialah orang yang tidak mendapat bagian (tidak beruntung). Qatadah dan Az-Zuhri mengatakan bahwa orang mahrum adalah orang yang tidak pernah meminta sesuatu pun dari orang lain.
Az-Zuhri mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Orang yang miskin itu bukanlah orang yang berkeliling meminta-minta ke sana dan kemari yang pergi setelah diberi sesuap dua suap makanan, atau sebiji dua biji buah kurma. Tetapi orang yang miskin (sesungguhnya) ialah orang yang tidak mendapatkan kecukupan bagi penghidupannya, dan tidak pula diketahui keadaannya hingga mudah diberi sedekah. Hadits ini telah disandarkan oleh Syaikhain dalam kitab shahih masing-masing melalui jalur lain. Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa orang yang miskin adalah orang yang datang, sedangkan ganimah telah habis dibagikan dan tiada yang tersisa lagi untuknya.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku sebagian teman-teman kami yang mengatakan bahwa kami pernah bersama Khalifah Umar ibnu Abdul Aziz di tengah jalan ke Mekah, lalu datanglah seekor anjing, maka Umar memberikan kepadanya sepotong paha kambing yang ia comot dari kambing panggangnya, dan orang-orang yang bersamanya mengatakan bahwa sesungguhnya anjing itu mahrum. Asy-Sya'bi mengatakan, "Aku benar-benar kepayahan dalam mencari makna yang dimaksud dari lafal mahrum." Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa orang yang mahrum adalah orang yang tidak memiliki harta lagi karena sesuatu penyebab, semua hartanya telah lenyap.
Baik hal itu karena dia tidak mampu mencari mata pencaharian atau karena hartanya telah ludes disebabkan musibah atau faktor lainnya. Ats-Tsauri telah meriwayatkan dari Qais ibnu Muslim, dari Al-Hasan ibnu Muhammad yang menceritakan bahwa sesungguhnya Rasulullah ﷺ pernah mengirimkan suatu pasukan, lalu mereka mendapat ganimah, maka datanglah kepada Nabi ﷺ suatu kaum yang tidak menyaksikan pembagian ganimah itu. Maka turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya: Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian. (Adz-Dzariyat: 19) Hal ini menunjukkan bahwa ayat ini adalah Madaniyah, padahal kenyataannya tidaklah demikian: ia Makkiyyah yang juga mencakup peristiwa yang akan terjadi sesudahnya.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. (Adz-Dzariyat: 20) Yakni di bumi banyak terdapat tanda-tanda yang menunjukkan kebesaran penciptanya dan kekuasaan-Nya yang mengagumkan. Yaitu melalui apa yang telah disebar oleh-Nya di bumi ini berupa berbagai macam tetumbuhan dan hewan-hewan, serta bumi yang menghampar, gunung-gunung, hutan belukar, sungai-sungai, beraneka ragam warna kulit manusia dan bahasa mereka. Juga pembawaan yang telah diciptakan di dalam diri manusia berupa berbagai kehendak dan kekuatan, serta perbedaan yang ada pada mereka dalam hal akal, pemahaman, gerakan, kebahagiaan, dan kecelakaan.
Pada susunan tubuh mereka banyak pula mengandung hikmah karena Allah telah meletakkan tiap-tiap anggota tubuh pada mereka di tempat-tempat yang tepat dan diperlukan. Karena itulah maka disebutkan oleh firman-Nya: dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan? (Adz-Dzariyat: 21) Qatadah mengatakan bahwa barang siapa yang memikirkan penciptaan dirinya, niscaya dia akan mengetahui bahwa sesungguhnya dirinya dan sendi-sendi tulang-tulangnya diciptakan hanyalah untuk beribadah. Kemudian disebutkan oleh firman-Nya: Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu. (Adz-Dzariyat: 22) Yakni hujan.
dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu. (Adz-Dzariyat: 22) Yaitu surga. Demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Mujahid serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang. Sufyan Ats-Tsauri mengatakan bahwa Wasil Al-Ahdab membaca ayat berikut, yaitu firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu. (Adz-Dzariyat: 22) Lalu Wasil Al-Ahdab berkata, "Mengapa kalau rezekiku berada di langit, lalu aku mencarinya di bumi?" Maka ia memasuki sebuah tanah kosong dan tinggal padanya selama tiga hari tanpa menjumpai suatu makanan pun. Dan pada hari yang ketiganya, tiba-tiba ia menjumpai sekeranjang buah kurma.
Tersebutlah pula bahwa dia mempunyai seorang saudara laki-laki yang lebih baik niatnya daripada dia, lalu saudaranya itu ikut masuk bersamanya di tanah kosong itu, sehingga keranjang kurmanya ada dua. Demikianlah kehidupan keduanya terus-menerus hingga keduanya dipisahkan oleh kematian. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Maka demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan. (Adz-Dzariyat: 23) Allah subhanahu wa ta’ala bersumpah dengan menyebut Zat-Nya sendiri Yang Mahamulia, bahwa apa yang Dia janjikan kepada mereka menyangkut perkara hari kiamat, hari berbangkit, dan hari pembalasan pasti akan terjadi dan merupakan perkara yang hak yang tidak diragukan lagi.
Karena itu, janganlah kalian ragu-ragu, sebagaimana kamu tidak ragu bahwa manusia itu dapat berbicara. Tersebutlah bahwa sahabat Mu'az ibnu Jabal apabila berbicara mengenai sesuatu, ia mengatakan kepada lawan bicaranya bahwa sesungguhnya apa yang diceritakannya itu benar, sebagaimana kebenaran keberadaanmu di sini. Musaddad telah meriwayatkan dari Ibnu Abu Addi, dari Auf, dari Al-Hasan Al-Basri yang mengatakan bahwa telah sampai kepadanya suatu berita yang menyatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Semoga Allah melaknat kaum-kaum yang Tuhan mereka bersumpah terhadap mereka, kemudian mereka masih juga tidak membenarkannya.
Ibnu Jarir meriwayatkan hadits ini dari Bandar, dari Ibnu Abu Addi, dari Auf, dari Al-Hasan, lalu disebutkan hal yang semisal secara mursal (hanya sampai pada tabi'in, yaitu Al-Hasan sendiri)."
17-18. Mereka, orang-orang yang bertakwa itu, sedikit sekali tidur pada waktu malam, sebagian waktunya dipergunakan untuk melakukan kebaikan dan ibadah kepada Tuhannya, dan pada akhir malam, setelah melaksanakan salat tahajud mereka melanjutkan dengan zikir dan memohon ampunan kepada Allah Yang Maha Pengampun kepada semua makhluk-Nya yang bertobat. 19. Orang-orang yang bertakwa itu selalu taat dalam melaksanakan ajaran Allah, dan mereka juga menyadari bahwa pada harta benda yang mereka miliki sesungguhnya ada hak yang mesti dikeluarkan, baik berupa zakat maupun sedekah, untuk orang miskin yang meminta bantuan dan orang miskin yang tidak mengulurkan tangan untuk meminta kepada orang lain.
Ayat ini menerangkan tentang sifat-sifat orang yang takwa, yaitu sedikit sekali tidur di waktu malam karena mengisi waktu dengan salat Tahajud. Mereka dalam melakukan ibadah tahajudnya merasa tenang dan penuh dengan kerinduan dan dalam munajatnya kepada Allah sengaja memilih waktu yang sunyi dari gangguan makhluk lain seperti dua orang pengantin baru dalam menumpahkan isi hati kepada kesayangannya, tentu memilih tempat dan waktu yang nyaman dan aman bebas dari gangguan siapa pun. Mereka ingat bahwa hidup berkumpul dengan keluarga dan yang lainnya tidak dapat berlangsung selama-lamanya. Bila telah tiba ajal, pasti berpisah, masuk ke dalam kubur, masing-masing sendirian saja. Oleh karena itu, sebelum tiba waktu perpisahan, mereka merasa sangat perlu mengadakan hubungan khidmat dan mahabbah dengan Tuhan Yang Mahakuasa, satu-satunya penguasa yang dapat memenuhi segala harapan. Di akhir-akhir malam (pada waktu sahur) mereka memohon ampun kepada Allah. Sengaja dipilihnya waktu sahur itu oleh karena kebanyakan orang sedang tidur nyenyak, keadaan sunyi dari segala kesibukan sehingga mudah menjalin hubungan dengan Tuhannya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 12
“Mereka akan bertanya, ‘Bilakah hari pembalasan itu?'"
Ada dua macam cara orang bertanya, Ada orang yang beitanya bukan hendak benar-benar bertanya, melainkan hendak menunjukkan bahwa dia kurang yakin akan berita itu. Tetapi, ada pula orang yang bertanya karena benar-benar ingin tahu, dan kalau telah tahu hendak mengamalkan dengan baik, hendak menuruti jalan yang benar.
Dalam tafsir surah adz-Dzaariyaat ini, ada disebutkan ketika menafsirkan ayat 1 sampai ayat 4 bahwa di zaman Sayyidina Umar bin Khaththab menjadi khalifah, ada seorang bernama Shubaigh bin Asal, suka sekali menanyakan hal-hal yang rumit, yang sukar, bukan karena hendak memperdalam ilmu hendak diamalkan dan peneguh iman, hanya karena hendak iseng saja, atau hendak menunjukkan kepada orang banyak yang mendengar bahwa dia pintar. Lalu dia datang kepada Sayyidina Umar menanyakan apakah artinya ayat pertama dari surah adz-Dzaariyaat itu. Entah karena sikapnya yang menyombong ketika bertanya, Sayyidina Umar marah kepadanya sehingga beliau menyuruh mengalihkan kedua belah tangannya ke belakang lalu mencambuknya dengan cemeti, dan Sayyidina Umar berkata kepada orang banyak, “Si Shubaigh ini bertanya bukan karena hendak menambah ilmu, melainkan karena ingin bertengkar" Sejak mendapat perlakuan yang demikian, jatuhlah martabat Shubaigh di hadapan orang banyak dan tidak disegani orang lagi.
Hukuman yang diberikan kepadanya tidak hanya hingga itu saja. Dia dilarang tinggal di Madinah, lalu dibuang ke Bashrah dan diberi ingat kepada orang banyak supaya jangan duduk bersama dengan dia sehingga kalau dia datang, orang pun pergi.
Hal ini disebutkan di dalam Tafsir al-Qurthubi.
Maka mereka yang bertanya sebagaimana tersebut dalam ayat 12 ini, “Bilakah Hari Pembalasan itu?" adalah pertanyaan karena keinsafan dan bukan lagi karena semata hendak membantah. Sebab caranya menjawab kelaknya pun ditunjukkan pula oleh Allah,
Ayat 13
“Ialah hari yang mereka itu dengan api neraka akan disiksa."
Tentang akan disiksa itu, dalam tafsir dijelaskan ialah akan dibakar. Dan sambungan selanjutnya,
Ayat 14
“Rasakan sendirilah olehmu adzabmu itu."
Adzabmu itu, yaitu pembakaran api yang bernyala itu.
“Yang kamu telah mendesak-desak."
Kesalahanmu selama ini, yang menunjukkan bahwa kamu tidak percaya bahwa hal itu tidak akan terjadi. Kamu mendesak-desak, minta dengan segera adzab itu didatangkan, kalau adzab itu memang ada.
Sebaliknya ialah orang yang beriman. Orang yang percaya bahwa segala perbuatan di dunia ini akan ada balasannya kelak di akhirat, yang baik mendapat balasan baik dan yang jahat akan mendapat balasan buruk,
Ayat 15
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa adalah di dalam surga dan mata air."
Ayat ini adalah imbalan daripada ayat menyatakan siksaan yang akan diterima oleh orang yang tidak beriman, tidak mau percaya akan ancaman Allah di akhirat itu kelak kemudian hari. Orang yang beriman dan beramal saleh, tidak usah dia berkhawatir atas ancaman itu karena baginya telah disediakan surga Jannatun Na'im, taman indah yang penuh dengan nikmat dan selalu air yang jernih dan sejuk mengalir di sana, sebagai lambang dari kesuburan dan kemakmuran, yang di mana raja jadi syarat mutlak dari kesegaran hidup.
Ayat 16
"Mengambil apa yang dibelikan Allah meneka kepada mereka. Sesungguhnya sebelumnya mereka itu adalah orang-orang yang berbuat baik."
Tegasnya bahwa mereka itu tidaklah akan bertemu dengan apa yang ditakutkan dan dicemaskan itu, yaitu pembakaran api neraka. Sebab, setelah hari berhisab kelak, perhitungan mereka telah selesai. Sebab sebelumnya, yaitu di waktu masih hidup di dalam dunia mereka telah percaya akan janji Allah, mereka telah beriman. Dan iman itu telah mereka buktikan dengan amalan yang saleh, sedang segala amalan yang saleh itu, walaupun sebesar zarrah, pasti kelihatan dan pasti dalam pertimbangan Allah. Betapalah halnya jika amalan yang saleh yang lebih banyak daripada amalan yang buruk sehingga timbangan neraka menjadi berat kepada yang baik, niscaya bahagialah yang akan ditemuinya kelak di akhirat.
Ayat 17
“Dan, adalah mereka itu sedikit sekali daripada malam meneka tidur."
Artinya malam-malam hari yang mereka lalui lebih banyak mereka gunakan buat beribadah kepada Allah, buat bershalat dan ber-dzikir. Bukanlah mereka hanya semata-mata beriman, semata-mata percaya bahwa Allah itu ada. Bahkan, sesudah sungguh percaya bahwa Allah Ta'aala ada, mereka tunjukkan pengabdiannya kepada Allah dengan beribadah. Sebab itu, bukanlah iman semata-mata dengan mulut, membincangkan Allah Ada di mana berkumpul, di mana musyawarah, padahal tidak menghayati kepercayaan akan adanya Allah itu dengan ibadah. Sebab, Allah yang diimani itu adalah hidup, yaitu Hidup Yang Mutlak. Hidup yang kasih dan sayang, hidup yang melindungi. Tidaklah layak kalau Dia semata-mata hanya dipercayai akan adanya, padahal tidak mem-perhambakan din kepada-Nya. Ibadah kepada Allah itu sangat berkesan melemahlembut-kan jiwa, menyuburkan kasih sayang di dalam hati sanubari. Sehingga, diri kita itu kian lama kian tinggi martabatnya karena keyakinan akan adanya Allah tidak cukup hanya sekadar diketahui bahwa hendak didekatkan diri dengan Dia. Maka, bangun tengah malam dan sedikit tidur, lebih banyak bangun dan tafakur dan tahajud mengingat Allah, menyebabkan hati lapang menghadapi hidup.
Ayat 18
“Dan, di waktu sahan mereka itu pun memohonkan ampun."
Waktu sahur ialah waktu yang biasa dinamai dalam bahasa Melayu dengan “parak siang", dua pertiga daripada malam. Sepertiga ialah sekira-kira sampai pukul sembilan. Seperdua sekitar pukul dua belas, dan dua pertiga sejak pukul tiga malam. Di waktu demikian malam adalah lebih sepi, yang kedengaran hanya bunyi jangkrik. Itulah yang dikatakan Nabi,
“Dan shalatlah. di waktu malam sedang manusia lain nyenyak tidur.'' (HR Imam Ahmad)
Dalam kesepian malam yang demikian lebih berdekat rasanya di antara langit dengan bumi, lebih terdengarlah rapat keluhan orang yang mengakui dosanya lalu memohonkan ampun. Kita bangun di waktu itu benar-benar dengan sukarela sendiri, bukan karena diwajibkan oleh Allah yang menyebabkan kita takut dihukum dengan dosa. Lantaran itu maka orang-orang yang telah bangun malam mengerjakan shalat itu sehingga telah lebih banyak bangunnya daripada tidurnya, telah terlatihlah jiwanya lebih mendekati Allah dan kuatlah Hablun Minallah, atau talinya dengan Allah,
Ayat 19
“Dan pada harta benda mereka ada hak untuk orang-orang yang meminta dan yang tidak dapat bagian"
Agama menentukan harta benda yang wajib diberikan kepada yang berhak menerima. Itulah yang bernama zakat. Harta benda yang dikeluarkan zakatnya itu ialah apabila telah cukup syaratnya buat dikeluarkan. Misalnya, telah sampai tahunnya dan cukup nishabnya pada barang perniagaan, atau datang masa menuai dan mendapat basil dan sampai pula nishabnya, ataupun binatang ternak dari sapi, kerbau, kambing dan unta yang sampai pula nishabnya. Semuanya diberikan kepada orang yang meminta. Sebab, ada orang yang berani memintanya karena memandang bahwa dia berhak menerima zakat itu. Tetapi, ada pula orang yang tidak mau meminta sehingga yang hendak mengeluarkan zakat itu tidak tahu bahwa dia mustahaq atau hendak me-nerimanya,
“Menyangka orang-orang yang tidak tahu bahwa dia kaya raya karena sangat pandainya menjaga ‘iffahnya." (al-Baqarah: 273)
Dia tidak mau meminta. Dia menjaga harga dirinya, walaupun dia miskin. Orang
seperti ini harus diperhatikan sangat oleh orang yang telah wajib mengeluarkan zakat itu. Bahkan, merekalah yang sangat lebih berhak menerima karena sifat ‘Iffah, yang berarti kesanggupan menahan sengsara karena menjaga harga diri.
Maka, orang-orang yang seperti ini, kuat beribadah sehingga bangunnya tengah malam lebih banyak daripada tidurnya, dua pertiga malam dia duduk memohonkan ampun dan karunia Allah, dan terbuka hatinya mengeluarkan zakatnya. Kalaupun berzakat tidak bisa, dia pun masih sedia mengeluarkan sedekah tathawwu. Orang-orang seperti ini akan mendapat catatan yang baik di sisi Allah. Karena tidak usah khawatir akan ditimpa siksaan dan adzab pada hari pembalasan di akhirat kelak itu, asal semua usahanya itu dikerjakannya dengan ikhlas.
Oleh karena itu, bagaimanapun ancaman adzab Allah kepada yang melanggar dan durhaka, namun bagi orang yang beriman dan beramal saleh, yang tidak lepas dirinya daripada ibadah kepada Allah, tidak usahlah mereka bimbang dan cemas daripada adzab siksaan itu. Mereka tidak usah takut dan tidak usah duka cita. Karena amalannya yang baik itulah yang akan melepaskannya daripada malapetaka pada hari akhirat itu.
***