Ayat
Terjemahan Per Kata
يَسۡـَٔلُونَ
mereka bertanya
أَيَّانَ
kapankah
يَوۡمُ
hari
ٱلدِّينِ
pembalasan
يَسۡـَٔلُونَ
mereka bertanya
أَيَّانَ
kapankah
يَوۡمُ
hari
ٱلدِّينِ
pembalasan
Terjemahan
Mereka bertanya, “Kapankah hari Pembalasan itu?”
Tafsir
(Mereka bertanya) kepada nabi dengan nada memperolok-olokkan, ("Bilakah hari pembalasan?") kapan datangnya hari pembalasan itu. Jawaban yang patut buat mereka ialah, "Memang Kiamat pasti datang,.
Tafsir Surat Adz-Dzariyat: 1-14
Demi (angin) yang menerbangkan debu dengan sekuat-kuatnya dan awan yang mengandung hujan, dan kapal-kapal yang berlayar dengan mudah, dan (malaikat-malaikat) yang membagi-bagi urusan, sesungguhnya apa yang dijanjikan Kepaadamu pasti benar dan sesungguhnya (hari) pembalasan pasti terjadi. Demi Langit yang mempunyai jalan-jalan, sesungguhnya kamu benar-benar dalam keadaan berbeda-beda pendapat dipalingkan darinya (Rasul dan Al-Qur'an) orang yang dipalingkan. Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta, (yaitu) orang-orang yang terbenam dalam kebodohan lagi lalai, mereka bertanya, "Bilakah hari pembalasan itu? (Hari pembalasan itu ialah) pada hari ketika mereka diazab di atas api neraka. (Dikatakan kepada mereka).Rasakanlah azabmu itu.
Inilah azab yang dahulu kamu minta supaya disegerakan. Syu'bah ibnul Hajjaj telah meriwayatkan dari Sammak, dari Khalid ibnu Ur'urah bahwa ia pernah mendengar Ali Syu'bah juga telah meriwayatkan pula dari Al-Qasim ibnu Abu Buzzah, dari Abut Tufail bahwa ia pernah mendengar Ali dan telah diriwayatkan pula melalui berbagai alur dari Amirul Muminin Ali ibnu Abu Thalib Disebutkan bahwa ia menaiki mimbar di Kufah lalu berkata, "Tidaklah kalian bertanya kepadaku tentang suatu ayat di dalam Kitabullah dan tidak pula dari sunnah Rasulullah melainkan aku ceritakan kepada kalian tentangnya." Maka berdirilah Ibnul Kawa, lalu bertanya, "Wahai Amirul Muminin, apakah makna firman Allah subhanahu wa ta’ala: 'Demi (angin) yang menerbangkan debu dengan sekuat-kuatnya' (Adz-Dzariyat: 1)?" Maka Ali menjawab, "Makna yang dimaksud adalah angin." Ibnul Kawa menanyakan tentang makna firman selanjutnya: dan awan yang mengandung hujan. (Adz-Dzariyat: 2) Ali menjawab, bahwa yang dimaksud adalah awan. Lalu Ibnul Kawa bertanya lagi tentang makna firman-Nya: dan kapal-kapal yang berlayar dengan mudah. (Adz-Dzariyat: 3) Ali menjawab, bahwa yang dimaksud adalah kapal-kapal.
Ibnul Kawa bertanya lagi mengenai firman-Nya: (malaikat-malaikat) yang membagi-bagi urusan (Az-Zariyaf 4) Maka Ali mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah malaikat-malaikat yang ditugaskan untuk itu. Hal yang semisal telah diriwayatkan dalam sebuah hadits yang marfu'. Untuk itu Al-Hafidzh Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Hani', telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Salam Al-Attar, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Sabrah, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Sa'id ibnul Musayyab yang mengatakan bahwa Sabig At-Tamimi datang kepada Umar ibnul Khattab , lalu bertanya, "Wahai Amirul Muminin, ceritakanlah kepadaku tentang makna az-zariyati zarwa." Maka Umar menjawab, "Itu adalah angin yang bertiup kencang.
Seandainya aku tidak mendengar Rasulullah ﷺ mengatakannya, tentulah aku tidak akan mengatakannya." Sabig bertanya, "Maka ceritakanlah kepadaku makna al-mugassimati amra." Umar menjawab, "Yang dimaksud adalah malaikat-malaikat. Seandainya aku tidak mendengar Rasulullah ﷺ mengatakannya, tentulah aku tidak akan mengatakannya." Sabig At-Tamimi kembali bertanya, "Ceritakanlah kepadaku tentang makna al-jariyati yusra." Maka Umar menjawab, "Makna yang dimaksud ialah kapal-kapal. Seandainya aku tidak pernah mendengar Rasulullah ﷺ mengatakannya, tentulah aku tidak berani mengatakannya." Kemudian Khalifah Umar memerintahkan agar Sabig dihukum dera. Maka ia didera sebanyak seratus kali, lalu disekap di dalam sebuah rumah. Setelah sembuh dari luka deranya, ia dipanggil lagi dan dihukum dera lagi, lalu dinaikkan ke atas unta, dan Umar berkirim surat kepada Abu Musa Al-Asy'ari yang isinya mengatakan, "Laranglah orang-orang duduk bersamanya dalam suatu majelis." Sanksi itu terus-menerus diberlakukan atas dirinya. Akhirnya Sabig datang kepada Abu Musa , lalu bersumpah dengan sumpah berat bahwa dia tidak merasa sakit hati atas apa yang telah dialaminya itu. Maka Abu Musa berkirim surat kepada Umar memberitakan hal tersebut. Umar membalas suratnya itu dengan mengatakan, "Menurut hemat saya, tiadalah dia sekarang melainkan benar dalam pengakuannya. Maka biarkanlah dia bergaul dengan orang-orang dalam majelis mereka." Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan bahwa Abu Bakar ibnu Abu Sabrah orangnya dha’if, dan Sa'id ibnu Salam bukan termasuk ahli hadits.
Menurut hemat saya, hadits ini dinilai dha’if dari segi ke-marfu '-annya, dan yang paling mendekati kepada kebenaran hadits ini mauquf hanya sampai pada Umar Karena sesungguhnya kisah Sabig ibnu Asal ini cukup terkenal, dan sesungguhnya Khalifah Umar memerintahkan agar Sabig didera karena Sabig dalam pertanyaannya itu kelihatan seperti orang yang mengingkarinya; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Al-Hafidzh Ibnu Asakir telah mengetengahkan kisah ini di dalam biografi Sabig secara panjang lebar. Hal yang sama ditafsirkan oleh Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, Qatadah, As-Suddi, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim tidak mengetengahkan riwayat lain kecuali hanya ini. Menurut pendapat lain, yang dimaksud dengan az-zariyat ialah angin yang kencang seperti pendapat yang pertama, karena yang dimaksud dengan hamilat ialah awan yang juga sama dengan pendapat yang pertama, karena awan mengandung air. Seperti yang dikatakan oleh Zaid ibnu Amr ibnu Nufail, seorang penyair, dalam salah satu bait syairnya:
Dan aku berserah diri kepada Tuhan yang berserah diri kepada-Nya awan yang membawa air yang tawar. Adapun jariyat, maka pendapat yang terkenal dari jumhur ulama menyebutkan seperti pendapat di atas, yaitu kapal-kapal yang berlayar dengan mudah di atas permukaan air. Menurut sebagian dari mereka, yang dimaksud adalah bintang-bintang yang beredar pada garis edarnya masing-masing. Demikian itu agar ungkapan ini dimaksudkan bertingkat-tingkat dimulai dari yang paling bawah, kemudian berakhir di yang paling atas.
Dengan kata lain, angin di atasnya terdapat awan, dan bintang-bintang di atas kesemuanya itu, dan yang lebih atas lagi ialah para malaikat yang ditugaskan untuk membagi-bagi urusan; mereka turun dengan membawa perintah-perintah Allah, baik yang berupa syariat ataupun yang berupa urusan alam. Ungkapan ini merupakan qasam atau sumpah dari Allah subhanahu wa ta’ala yang menunjukkan akan kepastian terjadinya hari kembali (hari kiamat). Karena itulah maka disebutkan dalam firman berikutnya: sesungguhnya apa yang dijanjikan kepadamu pasti benar. (Adz-Dzariyat: 5) Yakni berita yang benar dan pasti terjadi.
dan sesungguhnya (hari) pembalasan itu pasti terjadi. (Adz-Dzariyat: 6) Yang dimaksud dengan ad-din ialah hari pembalasan, bahwa hari tersebut benar-benar akan terjadi dan pasti terjadinya. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Demi langit yang mempunyai jalan-jalan. (Adz-Dzariyat: 7) Ibnu Abbas mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah langit yang mempunyai keindahan, kemegahan, dan kerapian. Hal yang sama telah dikatakan oleh Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Abu Malik, Abu Saleh, As-Suddi, Qatadah, Atiyyah Al-Aufi, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan lain-lainnya. Adh-Dhahhak dan Al-Minhal ibnu Amr serta selain keduanya mengatakan bahwa perihalnya sama dengan bergelombang atau beriaknya air, pasir, dan tanam-tanaman manakala diterpa oleh angin; maka sebagian darinya membentuk alur dengan sebagian yang lain alur demi alur, dan inilah yang dimaksud dengan al-hubuk.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aliyyah, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Abu Qilabah, dari seorang lelaki sahabat Nabi ﷺ, dari Rasulullah ﷺ yang telah bersabda: Sesungguhnya di belakang kalian akan ada seorang pendusta lagi penyesat, dan sesungguhnya (rambut) kepalanya dari belakang (kelihatan) berombak-ombak. Yakni keriting. Abu Saleh mengatakan, artinya yang mempunyai ikatan yang erat. Dan menurut Khasif, zatul hubuk artinya yang mempunyai kerapian. Al-Hasan ibnu Abul Hasan Al-Basri mengatakan bahwa yang dimaksud dengan zatul hubuk adalah yang mempunyai ikatan dengan bintang-bintang.
Qatadah telah meriwayatkan dari Salim ibnu Abul Ja'd, dari Ma'dan ibnu Abu Talhah, dari Amr Al-Bakkali, dari Abdullah ibnu Amr sehubungan dengan makna firman-Nya: Demi langit yang mempunyai jalan-jalan. (Adz-Dzariyat: 7) Yakni langit yang ketujuh, seakan-akan hanya Allah Yang Maha Mengetahui yang dimaksudkan adalah langit yang padanya terdapat bintang-bintang yang tetap (tidak bergerak), yang menurut kebanyakan ulama ahli falak berada di cakrawala yang kedelapan di atas cakrawala yang ketujuh; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Semua pendapat yang disebutkan di atas merujuk kepada satu hal, yaitu menggambarkan tentang keindahan dan kemegahannya, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas bahwa termasuk keindahan langit ialah ketinggiannya, pemandangannya yang transparan, kokoh bangunannya, luas cakrawalanya, lagi kelihatan cantik dalam kemegahannya dihiasi dengan bintang-bintang yang tetap dan yang beredar, serta dihiasi dengan matahari, rembulan, dan bintang-bintang yang bercahaya gemerlapan.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: sesungguhnya kamu benar-benar dalam keadaan berbeda-beda pendapat. (Adz-Dzariyat: 8) Yaitu sesungguhnya kalian wahai orang-orang musyrik yang mendustakan rasul-rasul- benar-benar dalam keadaan berselisih, kacau, tidak rukun, dan tidak bersatu. Menurut Qatadah, makna ayat ini ialah bahwa sesungguhnya kalian benar-benar berada dalam kekacauan pendapat antara membenarkan dan mendustakan Al-Qur'an. dipalingkan darinya (Rasul dan Al-Qur'an) orang yang dipalingkan. (Adz-Dzariyat: 9) Yakni sesungguhnya yang termakan hanyalah orang yang memang dirinya ditakdirkan sesat.
Mengingat yang dikatakan adalah hal yang batil, dan yang termakan olehnya hanyalah orang yang memang ditakdirkan sesat lagi tidak punya pengertian. Seperti yang disebutkan dalam firman-Nya: Maka sesungguhnya kamu dan apa-apa yang kamu sembah itu, sekali-kali tidak dapat menyesatkan (seseorang) terhadap Allah, kecuali orang-orang yang akan masuk neraka yang menyala-nyala. (Ash-Shaffat: 161-163) Ibnu Abbas dan As-Suddi mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dipalingkan darinya (Rasul dan Al-Qur'an) orang yang dipalingkan. (Adz-Dzariyat: 9) Yakni disesatkan darinya orang yang disesatkan. Mujahid mengatakan: dipalingkan darinya (Rasul dan Al-Qur'an) orang yang dipalingkan. (Adz-Dzariyat: 9) Yakni dijauhkan darinya orang yang dijauhkan. Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa dipalingkan dari Al-Qur'an orang yang mendustakannya.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta. (Al-Zariyat: 10) Mujahid mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kharras ialah orang yang pendusta. Ungkapan ini merupakan tamsil, sama dengan apa yang terdapat di dalam surat Abasa, yaitu: Binasalah manusia; alangkah amat sangat kekafirannya? ('Abasa: 17) Al-kharrasun adalah orang-orang yang mengatakan bahwa kami tidak akan dibangkitkan, mereka tidak mempercayai adanya hari berbangkit. Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta. (Adz-Dzariyat: 10) Artinya, terkutuklah orang-orang yang ragu-ragu.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Mu'az dalam khotbahnya, bahwa binasalah orang-orang yang ragu-ragu. Qatadah mengatakan bahwa kharrasun artinya orang-orang yang lalai dan berprasangka buruk. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: (yaitu) orang-orang yang terbenam dalam kebodohan lagi lalai. (Adz-Dzariyat: 11) Ibnu Abbas dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah orang-orang yang tenggelam dalam kekafiran, keraguan, kelalaian, dan kealpaannya. mereka bertanya, "Bilakah hari pembalasan itu? (Adz-Dzariyat: 12) Sesungguhnya mereka menanyakan hal ini hanyalah semata-mata karena ketidakpercayaan mereka dengan adanya hari pembalasan itu. Mereka mendustakannya, mengingkarinya, meragukannya, dan menganggapnya mustahil. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: (Hari pembalasan itu ialah) pada hari ketika mereka diazab di atas api neraka. (Adz-Dzariyat: 13) Ibnu Abbas, Mujahid, dan Al-Hasan serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa makna yuftanuna ialah mereka diazab, sebagaimana emas dibakar dalam api (kemasan).
Jamaah lainnya seperti Mujahid, Ikrimah, Ibrahim An-Nakha'i, Zaid ibnu Aslam, dan Sufyan Ats-Tsauri mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah mereka dibakar. (Dikatakan kepada mereka), "Rasakanlah azabmu itu. (Adz-Dzariyat: 14) Mujahid mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah rasakanlah siksaan yang membakar kalian ini. Sedangkan selain Mujahid mengatakan rasakanlah azab ini. Inilah azab yang dahulu kamu minta supaya disegerakan. (Adz-Dzariyat: 14) Dikatakan hal ini kepada mereka sebagai kecaman, cemoohan, dan penghinaan terhadap mereka. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui."
Para pembohong yang lalai sehingga mereka dikutuk itu memperolok-olokkan dakwah Rasulullah dan cenderung mengingkarinya. Oleh karena itu mereka bertanya yang tujuannya adalah untuk mengejek dan bukan karena tidak tahu. Mereka berkata, 'Kapankah datangnya hari pembalasan yang selalu engkau ungkapkan itu''13. Dalam rangka merespon olok-olok mereka, maka Allah berkata kepada Nabi Muhammad untuk menjawab bahwa hari pembalasan itu akan terjadi pada hari ketika mereka diazab di dalam api neraka sebagai hukuman dari keingkaran mereka terhadap ajaran-Nya.
Ayat ini mengungkapkan ketika orang musyrik itu mencemoohkan bertanya kepada Nabi saw, "Kapankah datangnya hari pembalasan itu?".
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 12
“Mereka akan bertanya, ‘Bilakah hari pembalasan itu?'"
Ada dua macam cara orang bertanya, Ada orang yang beitanya bukan hendak benar-benar bertanya, melainkan hendak menunjukkan bahwa dia kurang yakin akan berita itu. Tetapi, ada pula orang yang bertanya karena benar-benar ingin tahu, dan kalau telah tahu hendak mengamalkan dengan baik, hendak menuruti jalan yang benar.
Dalam tafsir surah adz-Dzaariyaat ini, ada disebutkan ketika menafsirkan ayat 1 sampai ayat 4 bahwa di zaman Sayyidina Umar bin Khaththab menjadi khalifah, ada seorang bernama Shubaigh bin Asal, suka sekali menanyakan hal-hal yang rumit, yang sukar, bukan karena hendak memperdalam ilmu hendak diamalkan dan peneguh iman, hanya karena hendak iseng saja, atau hendak menunjukkan kepada orang banyak yang mendengar bahwa dia pintar. Lalu dia datang kepada Sayyidina Umar menanyakan apakah artinya ayat pertama dari surah adz-Dzaariyaat itu. Entah karena sikapnya yang menyombong ketika bertanya, Sayyidina Umar marah kepadanya sehingga beliau menyuruh mengalihkan kedua belah tangannya ke belakang lalu mencambuknya dengan cemeti, dan Sayyidina Umar berkata kepada orang banyak, “Si Shubaigh ini bertanya bukan karena hendak menambah ilmu, melainkan karena ingin bertengkar" Sejak mendapat perlakuan yang demikian, jatuhlah martabat Shubaigh di hadapan orang banyak dan tidak disegani orang lagi.
Hukuman yang diberikan kepadanya tidak hanya hingga itu saja. Dia dilarang tinggal di Madinah, lalu dibuang ke Bashrah dan diberi ingat kepada orang banyak supaya jangan duduk bersama dengan dia sehingga kalau dia datang, orang pun pergi.
Hal ini disebutkan di dalam Tafsir al-Qurthubi.
Maka mereka yang bertanya sebagaimana tersebut dalam ayat 12 ini, “Bilakah Hari Pembalasan itu?" adalah pertanyaan karena keinsafan dan bukan lagi karena semata hendak membantah. Sebab caranya menjawab kelaknya pun ditunjukkan pula oleh Allah,
Ayat 13
“Ialah hari yang mereka itu dengan api neraka akan disiksa."
Tentang akan disiksa itu, dalam tafsir dijelaskan ialah akan dibakar. Dan sambungan selanjutnya,
Ayat 14
“Rasakan sendirilah olehmu adzabmu itu."
Adzabmu itu, yaitu pembakaran api yang bernyala itu.
“Yang kamu telah mendesak-desak."
Kesalahanmu selama ini, yang menunjukkan bahwa kamu tidak percaya bahwa hal itu tidak akan terjadi. Kamu mendesak-desak, minta dengan segera adzab itu didatangkan, kalau adzab itu memang ada.
Sebaliknya ialah orang yang beriman. Orang yang percaya bahwa segala perbuatan di dunia ini akan ada balasannya kelak di akhirat, yang baik mendapat balasan baik dan yang jahat akan mendapat balasan buruk,
Ayat 15
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa adalah di dalam surga dan mata air."
Ayat ini adalah imbalan daripada ayat menyatakan siksaan yang akan diterima oleh orang yang tidak beriman, tidak mau percaya akan ancaman Allah di akhirat itu kelak kemudian hari. Orang yang beriman dan beramal saleh, tidak usah dia berkhawatir atas ancaman itu karena baginya telah disediakan surga Jannatun Na'im, taman indah yang penuh dengan nikmat dan selalu air yang jernih dan sejuk mengalir di sana, sebagai lambang dari kesuburan dan kemakmuran, yang di mana raja jadi syarat mutlak dari kesegaran hidup.
Ayat 16
"Mengambil apa yang dibelikan Allah meneka kepada mereka. Sesungguhnya sebelumnya mereka itu adalah orang-orang yang berbuat baik."
Tegasnya bahwa mereka itu tidaklah akan bertemu dengan apa yang ditakutkan dan dicemaskan itu, yaitu pembakaran api neraka. Sebab, setelah hari berhisab kelak, perhitungan mereka telah selesai. Sebab sebelumnya, yaitu di waktu masih hidup di dalam dunia mereka telah percaya akan janji Allah, mereka telah beriman. Dan iman itu telah mereka buktikan dengan amalan yang saleh, sedang segala amalan yang saleh itu, walaupun sebesar zarrah, pasti kelihatan dan pasti dalam pertimbangan Allah. Betapalah halnya jika amalan yang saleh yang lebih banyak daripada amalan yang buruk sehingga timbangan neraka menjadi berat kepada yang baik, niscaya bahagialah yang akan ditemuinya kelak di akhirat.
Ayat 17
“Dan, adalah mereka itu sedikit sekali daripada malam meneka tidur."
Artinya malam-malam hari yang mereka lalui lebih banyak mereka gunakan buat beribadah kepada Allah, buat bershalat dan ber-dzikir. Bukanlah mereka hanya semata-mata beriman, semata-mata percaya bahwa Allah itu ada. Bahkan, sesudah sungguh percaya bahwa Allah Ta'aala ada, mereka tunjukkan pengabdiannya kepada Allah dengan beribadah. Sebab itu, bukanlah iman semata-mata dengan mulut, membincangkan Allah Ada di mana berkumpul, di mana musyawarah, padahal tidak menghayati kepercayaan akan adanya Allah itu dengan ibadah. Sebab, Allah yang diimani itu adalah hidup, yaitu Hidup Yang Mutlak. Hidup yang kasih dan sayang, hidup yang melindungi. Tidaklah layak kalau Dia semata-mata hanya dipercayai akan adanya, padahal tidak mem-perhambakan din kepada-Nya. Ibadah kepada Allah itu sangat berkesan melemahlembut-kan jiwa, menyuburkan kasih sayang di dalam hati sanubari. Sehingga, diri kita itu kian lama kian tinggi martabatnya karena keyakinan akan adanya Allah tidak cukup hanya sekadar diketahui bahwa hendak didekatkan diri dengan Dia. Maka, bangun tengah malam dan sedikit tidur, lebih banyak bangun dan tafakur dan tahajud mengingat Allah, menyebabkan hati lapang menghadapi hidup.
Ayat 18
“Dan, di waktu sahan mereka itu pun memohonkan ampun."
Waktu sahur ialah waktu yang biasa dinamai dalam bahasa Melayu dengan “parak siang", dua pertiga daripada malam. Sepertiga ialah sekira-kira sampai pukul sembilan. Seperdua sekitar pukul dua belas, dan dua pertiga sejak pukul tiga malam. Di waktu demikian malam adalah lebih sepi, yang kedengaran hanya bunyi jangkrik. Itulah yang dikatakan Nabi,
“Dan shalatlah. di waktu malam sedang manusia lain nyenyak tidur.'' (HR Imam Ahmad)
Dalam kesepian malam yang demikian lebih berdekat rasanya di antara langit dengan bumi, lebih terdengarlah rapat keluhan orang yang mengakui dosanya lalu memohonkan ampun. Kita bangun di waktu itu benar-benar dengan sukarela sendiri, bukan karena diwajibkan oleh Allah yang menyebabkan kita takut dihukum dengan dosa. Lantaran itu maka orang-orang yang telah bangun malam mengerjakan shalat itu sehingga telah lebih banyak bangunnya daripada tidurnya, telah terlatihlah jiwanya lebih mendekati Allah dan kuatlah Hablun Minallah, atau talinya dengan Allah,
Ayat 19
“Dan pada harta benda mereka ada hak untuk orang-orang yang meminta dan yang tidak dapat bagian"
Agama menentukan harta benda yang wajib diberikan kepada yang berhak menerima. Itulah yang bernama zakat. Harta benda yang dikeluarkan zakatnya itu ialah apabila telah cukup syaratnya buat dikeluarkan. Misalnya, telah sampai tahunnya dan cukup nishabnya pada barang perniagaan, atau datang masa menuai dan mendapat basil dan sampai pula nishabnya, ataupun binatang ternak dari sapi, kerbau, kambing dan unta yang sampai pula nishabnya. Semuanya diberikan kepada orang yang meminta. Sebab, ada orang yang berani memintanya karena memandang bahwa dia berhak menerima zakat itu. Tetapi, ada pula orang yang tidak mau meminta sehingga yang hendak mengeluarkan zakat itu tidak tahu bahwa dia mustahaq atau hendak me-nerimanya,
“Menyangka orang-orang yang tidak tahu bahwa dia kaya raya karena sangat pandainya menjaga ‘iffahnya." (al-Baqarah: 273)
Dia tidak mau meminta. Dia menjaga harga dirinya, walaupun dia miskin. Orang
seperti ini harus diperhatikan sangat oleh orang yang telah wajib mengeluarkan zakat itu. Bahkan, merekalah yang sangat lebih berhak menerima karena sifat ‘Iffah, yang berarti kesanggupan menahan sengsara karena menjaga harga diri.
Maka, orang-orang yang seperti ini, kuat beribadah sehingga bangunnya tengah malam lebih banyak daripada tidurnya, dua pertiga malam dia duduk memohonkan ampun dan karunia Allah, dan terbuka hatinya mengeluarkan zakatnya. Kalaupun berzakat tidak bisa, dia pun masih sedia mengeluarkan sedekah tathawwu. Orang-orang seperti ini akan mendapat catatan yang baik di sisi Allah. Karena tidak usah khawatir akan ditimpa siksaan dan adzab pada hari pembalasan di akhirat kelak itu, asal semua usahanya itu dikerjakannya dengan ikhlas.
Oleh karena itu, bagaimanapun ancaman adzab Allah kepada yang melanggar dan durhaka, namun bagi orang yang beriman dan beramal saleh, yang tidak lepas dirinya daripada ibadah kepada Allah, tidak usahlah mereka bimbang dan cemas daripada adzab siksaan itu. Mereka tidak usah takut dan tidak usah duka cita. Karena amalannya yang baik itulah yang akan melepaskannya daripada malapetaka pada hari akhirat itu.
***