Ayat
Terjemahan Per Kata
مَّا
tidak
عَلَى
atas
ٱلرَّسُولِ
Rasul
إِلَّا
kecuali
ٱلۡبَلَٰغُۗ
penyampaian
وَٱللَّهُ
dan Allah
يَعۡلَمُ
mengetahui
مَا
apa
تُبۡدُونَ
kamu lahirkan
وَمَا
dan apa
تَكۡتُمُونَ
kamu sembunyikan
مَّا
tidak
عَلَى
atas
ٱلرَّسُولِ
Rasul
إِلَّا
kecuali
ٱلۡبَلَٰغُۗ
penyampaian
وَٱللَّهُ
dan Allah
يَعۡلَمُ
mengetahui
مَا
apa
تُبۡدُونَ
kamu lahirkan
وَمَا
dan apa
تَكۡتُمُونَ
kamu sembunyikan
Terjemahan
Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan (ajaran Allah). Allah mengetahui apa pun yang kamu tampakkan dan apa pun yang kamu sembunyikan.
Tafsir
(Kewajiban rasul tidak lain hanyalah menyampaikan) kepadamu (dan Allah mengetahui apa yang kamu tampakkan) amal perbuatan yang kamu lahirkan (dan apa yang kamu sembunyikan) amal perbuatan yang kamu sembunyikan karena itu Allah membalas kamu.
Tafsir Surat Al-Ma'idah: 96-99
Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagi kalian, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atas kalian (menangkap) binatang buruan darat, selama kalian dalam ihram. Dan bertakwalah kepada Allah Yang kepada-Nyalah kalian akan dikumpulkan.
Allah telah menjadikan Kabah rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia, dan (demikian pula) bulan Haram, hadya, qalaid, (Allah menjadikan yang) demikian itu agar kalian tahu, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan, dan Allah mengetahui apa yang kalian lahirkan dan apa yang kalian sembunyikan.
Ayat 96
Ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas dalam suatu riwayat yang bersumber darinya, juga dari Sa'id Ibnul Musayyab serta Sa'id ibnu Jubair dan lain-lainnya sehubungan dengan makna firman: “Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut.” (Al-Maidah: 96) Yang dimaksud ialah hewan laut yang ditangkap dalam keadaan segar.
“Dan makanan (yang berasal) dari laut.” (Al-Maidah: 96)
Yakni makanan yang bersumber dari laut untuk dijadikan bekal dalam keadaan diasinkan dan telah kering.
Ibnu Abbas dalam riwayat terkenal yang bersumber darinya mengatakan, yang dimaksud dengan saiduhu ialah hewan laut yang ditangkap dalam keadaan hidup-hidup. Sedangkan yang dimaksud dengan taamuhu ialah hewan laut yang dicampakkan ke darat oleh laut dalam keadaan telah mati.
Hal yang sama telah diriwayatkan dari Abu Bakar As-Siddiq, Zaid ibnu Sabit, Abdullah ibnu Amr dan Abu Ayyub Al-Ansari radiyallahu 'anhum, dan Ikrimah, Abu Salamah ibnu Abdur Rahman, Ibrahim An-Nakha'i serta Al-Hasan Al-Basri.
Sufyan ibnu Uyaynah telah meriwayatkan dari Amr ibnu Dinar, dari Ikrimah, dari Abu Bakar As-Siddiq yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan taamuhu ialah semua yang ada di dalam laut. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Mugirah, dari Sammak yang mengatakan bahwa ia mendapat berita dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Khalifah Abu Bakar berkhotbah kepada orang banyak, antara lain ia membacakan firman-Nya: “Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat untuk kalian.” (Al-Maidah: 96) Bahwa yang dimaksud dengan ta'amuhu ialah hewan laut yang dicampakkan oleh laut ke darat.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, dari Sulaiman At-Taimi, dari Abu Mijlaz, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut.” (Al-Maidah: 96) Ibnu Abbas mengatakan, yang dimaksud dengan ta'amuhu ialah sesuatu dari laut yang tercampakkan ke darat.
Ikrimah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa taamuhu artinya sesuatu dari laut yang dicampakkan ke darat dalam keadaan telah mati. Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Sa'id ibnul Musayyab mengatakan, ta'amuhu ialah hewan laut yang dicampakkan ke darat dalam keadaan hidup, atau yang terdampar dalam keadaan telah mati. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Nafi', bahwa Abdur Rahman ibnu Abu Hurairah bertanya kepada Ibnu Umar, "Sesungguhnya laut sering mencampakkan banyak ikan dalam keadaan telah mati, bolehkah kami memakannya?" Ibnu Umar menjawab, "Jangan kalian makan." Ketika Ibnu Umar kembali kepada keluarganya dan mengambil mushaf, lalu membaca surat Al-Maidah hingga sampai pada firman Allah ﷻ: “Dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagi kalian, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan.” (Al-Maidah: 96) Maka Ibnu Umar berkata, "Pergilah kamu, dan katakan padanya bahwa ia boleh memakannya, karena sesungguhnya apa yang ditanyakannya itu termasuk makanan yang berasal dari laut."
Hal yang sama dipilih oleh Ibnu Jarir, bahwa yang dimaksud dengan ta'amuhu ialah hewan laut yang mati di dalam laut.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa hal tersebut telah diriwayatkan oleh hadits, sebagian dari mereka ada yang meriwayatkannya secara mauquf.
Telah menceritakan kepada kami Hannad ibnus Sirri yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdah ibnu Sulaiman, dari Muhammad ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Abu Salamah, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ membaca firman-Nya: “Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagi kalian.” (Al-Maidah: 96) Lalu Nabi ﷺ bersabda: “Makanan dari laut ialah sesuatu yang dicampakkan oleh laut dalam keadaan mati.” Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa sebagian dari mereka ada yang me-mauquf-kan hadits ini hanya sampai pada Abu Hurairah.
Telah menceritakan kepada kami Hannad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Zaidah, dari Muhammad ibnu Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah sehubungan dengan firman-Nya: “Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut.” (Al-Maidah: 96) Abu Hurairah mengatakan bahwa ta'amuhu ialah binatang laut yang dicampakkan ke darat dalam keadaan telah mati.
Firman Allah ﷻ: “Sebagai makanan yang lezat bagi kalian dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan.” (Al-Maidah: 96) Yakni sebagai sesuatu yang bermanfaat dan makanan buat kalian, wahai orang-orang yang diajak bicara.
Firman Allah ﷻ: “Dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan.” (Al-Maidah: 96)
Mereka adalah orang-orang yang sedang dalam perjalanannya. Lafal sayyarah adalah bentuk jamak dari lafal siyarun.
Ikrimah mengatakan bahwa yang dimaksud ialah orang yang berada di pinggir laut dan dalam perjalanannya.
Orang lain selain Ikrimah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan saidul bahri ialah hewan laut yang masih segar bagi orang yang menangkapnya langsung dari laut.
Sedangkan yang dimaksud dengan ta'amuhu ialah hewan laut yang telah mati atau yang ditangkap dari laut, kemudian diasinkan yang adakalanya dijadikan sebagai bekal oleh orang-orang yang dalam perjalanan dan orang-orang yang bertempat tinggal jauh dari pantai.
Hal yang serupa telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Mujahid, As-Suddi, dan lain-lainnya. Jumhur ulama menyimpulkan dalil yang menghalalkan bangkai hewan laut dari ayat ini dan dari hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik ibnu Anas, dari Ibnu Wahb; dan Ibnu Kaisan dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ mengirimkan sejumlah orang dalam suatu pasukan dengan misi khusus ke arah pantai. Dan Nabi ﷺ mengangkat Abu Ubaidah ibnul Jarrah sebagai pemimpin mereka. Jumlah mereka kurang lebih tiga ratus orang, dan perawi sendiri (yakni Jabir ibnu Abdullah) termasuk salah seorang dari mereka. Kami berangkat, dan ketika kami sampai di tengah jalan, semua perbekalan yang kami bawa habis. Maka Abu Ubaidah ibnul Jarrah memerintahkan agar semua perbekalan yang tersisa dari pasukan itu dikumpulkan menjadi satu. Jabir ibnu Abdullah berkata, "Saat itu perbekalanku adalah buah kurma. Sejak itu Abu Ubaidah membagi-bagikan makanan sedikit demi sedikit, sehingga semua perbekalan habis. Yang kami peroleh dari perbekalan itu hanyalah sebiji kurma. Kami benar-benar merasa kepayahan setelah perbekalan kami habis. Tidak lama kemudian sampailah kami di tepi pantai, dan tiba-tiba kami mendapati seekor ikan paus yang besarnya sama dengan sebuah gundukan tanah yang besar. Maka pasukan itu makan daging ikan paus tersebut selama delapan belas hari. Kemudian Abu Ubaidah memerintahkan agar dua buah tulang iga ikan itu ditegakkan, lalu ia memerintahkan agar seekor unta dilalukan di bawahnya; ternyata unta itu tidak menyentuh kedua tulang iga yang diberdirikan itu (saking besarnya ikan itu)."
Hadits ini diketengahkan di dalam kitab Shahihain, dan mempunyai banyak jalur bersumber dari Jabir ibnu Abdullah.
Di dalam kitab Shahih Muslim, melalui riwayat Abuz Zubair, dari Jabir disebutkan, "Tiba-tiba di pinggir laut terdapat hewan yang besarnya seperti gundukan tanah yang sangat besar. Lalu kami mendatanginya, ternyata hewan tersebut adalah seekor ikan yang dikenal dengan nama ikan paus 'anbar." Abu Ubaidah mengatakan bahwa hewan ini telah mati. Tetapi akhirnya Abu Ubaidah berkata, "Tidak, kami adalah utusan Rasulullah ﷺ, sedangkan kalian dalam keadaan darurat. Maka makanlah hewan ini oleh kalian." Jabir melanjutkan kisahnya, "Kami mengkonsumsi ikan tersebut selama satu bulan, sedangkan jumlah kami seluruhnya ada tiga ratus orang, hingga kami semua jadi gemuk karenanya. Kami mencedok minyak ikan dari kedua mata ikan itu dengan memakai ember besar, dan dari bagian mata itu kami dapat memotong daging sebesar kepala banteng." Jabir mengatakan bahwa Abu Ubaidah mengambil tiga belas orang lelaki, lalu mendudukkan mereka pada liang kedua mata ikan itu, dan ternyata mereka semuanya muat di dalamnya.’Lalu Abu Ubaidah mengambil salah satu dari tulang iga ikan itu dan menegakkannya, kemudian memerintahkan agar melalukan seekor unta yang paling besar yang ada pada kami di bawahnya, dan ternyata unta itu dapat melaluinya dari bawahnya. Kami sempat mengambil bekal daging ikan itu dalam jumlah yang ber-wasaq-wasaq (cukup banyak). Selanjutnya Jabir berkata, "Ketika kami tiba di Madinah, kami menghadap kepada Rasulullah ﷺ dan menceritakan kepadanya hal tersebut, maka beliau ﷺ bersabda: ‘Ikan itu adalah rezeki yang dikeluarkan oleh Allah bagi kalian, apakah masih ada pada kalian sesuatu dari dagingnya untuk makan kami'? Jabir melanjutkan kisahnya, "Lalu kami kirimkan kepada Rasulullah ﷺ sebagian darinya, dan beliau ﷺ memakannya."
Menurut sebagian riwayat Imam Muslim, mereka menemukan ikan paus ini bersama Nabi ﷺ. Sedangkan menurut sebagian dari mereka, peristiwa tersebut terjadi di waktu yang lain. Dan menurut yang lainnya, peristiwanya memang satu, tetapi pada mulanya mereka bersama Nabi ﷺ. Kemudian Nabi ﷺ mengirimkan mereka dalam suatu pasukan khusus di bawah pimpinan Abu Ubaidah ibnul Jarrah, lalu mereka menemukan ikan besar itu, sedangkan mereka berada dalam pasukan khusus di bawah pimpinan Abu Ubaidah.
Malik telah meriwayatkan dari Safwan ibnu Salim, dari Sa'id ibnu Salamah, dari kalangan keluarga Ibnul Azraq, bahwa Al-Mugirah ibnu Abu Burdah dari kalangan Bani Abdud Dar pernah menceritakan kepadanya bahwa ia telah mendengar Abu Hurairah mengatakan bahwa seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah ﷺ, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami biasa memakai jalan laut, dan kami hanya membawa persediaan air tawar yang sedikit. Jika kami pakai untuk wudu, niscaya kami nanti akan kehausan. Maka bolehkah kami berwudu dengan memakai air laut?" Maka Rasulullah ﷺ menjawab: “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.”
Hadits ini telah diriwayatkan oleh kedua orang imam yaitu Imam Syafii dan Imam Ahmad ibnu Hambal serta empat orang pemilik kitab Sunan, dan dinilai shahih oleh Imam Bukhari, Imam At-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban serta lain-lainnya. Dan telah diriwayatkan hal yang serupa dari sejumlah sahabat Nabi ﷺ, dari Nabi ﷺ.
Imam Ahmad, Imam Abu Daud, Imam At-Tirmidzi, dan Imam Ibnu Majah telah meriwayatkan melalui berbagai jalur dari Hammad ibnu Salamah; telah menceritakan kepada kami Abul Mihzam (yaitu Yazid ibnu Sufyan), bahwa ia pernah mendengar Abu Hurairah menceritakan hadits berikut: Ketika kami (para sahabat) sedang bersama Rasulullah ﷺ dalam ibadah haji atau umrah, maka kami berpapasan dengan iring-iringan sejumlah besar belalang. Maka kami memukuli belalang-belalang itu dengan tongkat dan cambuk kami, hingga belalang-belalang itu mati berguguran dan jatuh ke tangan kami. Lalu kami berkata, "Apakah yang akan kita lakukan, sedangkan kita sedang melakukan ihram?" Maka kami bertanya kepada Rasulullah ﷺ, dan beliau ﷺ menjawab, "Tidak mengapa dengan (membunuh) binatang buruan laut." Tetapi Abul Mihzam orangnya dha’if (lemah).
Ibnu Majah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Abdullah Al-Jamal, telah menceritakan kepada kami Hasyim ibnul Qasim, telah menceritakan kepada kami Ziyad ibnu Abdullah, dari Allasah, dari Musa ibnu Muhammad ibnu Ibrahim, dari ayahnya, dari Jabir dan Anas ibnu Malik, bahwa Nabi ﷺ apabila mendoakan kebinasaan belalang mengucapkan seperti berikut: “Ya Allah, hancurkanlah yang besarnya, bunuhlah yang kecilnya, rusaklah telurnya, dan binasakanlah sampai ke akar-akarnya, dan cekallah mulutnya jauh dari penghidupan dan rezeki kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa (Maha Memperkenankan doa).” Lalu Khalid bertanya, "Wahai Rasulullah, mengapa engkau mendoakan kebinasaan sampai ke akar-akarnya bagi salah satu dari bala tentara Allah?" Nabi ﷺ menjawab: “Sesungguhnya belalang itu dikeluarkan oleh ikan paus dari hidungnya di laut.” Hasyim mengatakan, "Ziyad telah mengatakan bahwa telah menceritakan kepadanya seseorang yang pernah melihat ikan paus menyebarkannya." Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Majah secara munfarid.
Imam Syafii telah meriwayatkan dari Sa'id, dari Ibnu Juraij, dari ‘Atha’, dari Ibnu Abbas, bahwa ia mengingkari orang yang berburu belalang di tanah suci.
Ayat ini dijadikan hujah oleh sebagian ulama fiqih yang berpendapat bahwa semua hewan laut boleh dimakan dan tiada sesuatu pun darinya yang dikecualikan. Dalam atsar terdahulu yang bersumber dari Abu Bakar As-Siddiq dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ta'amuhu ialah semua hewan yang hidup di laut. Dan ada sebagian dari mereka yang mengecualikan katak, tetapi selainnya diperbolehkan, karena berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Abu Daud, dan Imam An-Nasai melalui riwayat Ibnu Abu Zib, dari Sa'id ibnu Khalid, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Abu Abdur Rahman ibnu Usman At-Taimi bahwa Rasulullah ﷺ melarang membunuh katak.
Menurut riwayat Imam An-Nasai, melalui Abdullah ibnu Amr, disebutkan: Rasulullah ﷺ telah melarang membunuh katak. Dan beliau ﷺ mengatakan bahwa suara katak adalah tasbih (nya). Ulama lainnya mengatakan bahwa hewan buruan laut yang dapat dimakan adalah ikan, sedangkan yang tidak boleh dimakan ialah katak (laut).
Mereka berselisih pendapat mengenai selain keduanya. Menurut suatu pendapat, selain dari itu boleh dimakan; dan menurut pendapat lain, tidak boleh dimakan. Pendapat yang lainnya lagi mengatakan bahwa hewan yang serupa dari hewan darat dapat dimakan, maka hewan yang serupa dari hewan laut dapat dimakan pula. Dan hewan yang serupa dari hewan laut tidak dapat dimakan, maka hewan yang serupa dari hewan darat tidak dapat dimakan, maka hewan yang serupa hewan laut tidak dapat dimakan pula.
Semua pendapat yang telah disebutkan di atas merupakan keanekaragaman pendapat yang ada di dalam mazhab Imam Syafii rahimahullah.
Imam Abu Hanifah rahimahullah mengatakan, hewan laut yang mati di laut tidak boleh dimakan, sebagaimana tidak boleh dimakan hewan (darat) yang mati di darat, karena berdasarkan keumuman makna yang terkandung di dalam firman-Nya: “Diharamkan bagi kalian (memakan) bangkai.” (Al-Maidah: 3)
Dan telah disebutkan di dalam sebuah hadits hal yang semakna dengan pengertian ayat ini. Untuk itu, Ibnu Murdawaih mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdul Baqi (yaitu Ibnu Qani'), telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Ishaq At-Tusturi dan Abdullah ibnu Musa ibnu Abu Usman; keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Yazid At-Tahhan, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Gayyas, dari Ibnu Abu Zi-b, dari Abuz Zubair, dari Jabir yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Hewan yang kalian buru dalam keadaan hidup, lalu mati (dibunuh oleh kalian), maka makanlah hewan itu; dan hewan yang dicampakkan oleh laut dalam keadaan mati terapung, janganlah kalian memakannya.”
Ibnu Murdawaih meriwayatkannya melalui jalur Ismail ibnu Umayyah dan Yahya ibnu Abu Anisah, dari Abuz Zubair, dari Jabir dengan lafal yang sama, tetapi hadisnya berpredikat munkar (ditolak).
Jumhur ulama dari kalangan murid-murid Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad berpegang kepada hadits ikan paus yang telah disebutkan sebelum ini, juga kepada hadits lainnya yang mengatakan: “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.”
Mereka juga berpegang kepada hadits yang telah diketengahkan sebelum ini.
Imam Abu Abdullah Asy-Syafii telah meriwayatkan dari Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya, dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Dihalalkan bagi kami dua jenis bangkai dan dua jenis darah. Dua jenis bangkai itu ialah ikan dan belalang, dan dua jenis darah itu ialah hati dan limpa.”
Imam Ahmad, Ibnu Majah, Ad-Daruqutni, dan Imam Baihaqi telah meriwayatkannya pula. Hadits ini mempunyai banyak syawahid (bukti-bukti) yang menguatkannya. Dan hadits ini telah diriwayatkan pula secara mauquf.
Firman Allah ﷻ: “Dan diharamkan atas kalian (menangkap) binatang buruan darat, selama kalian dalam ihram.” (Al-Maidah: 96)
Yakni selagi kalian masih dalam ihram diharamkan atas kalian melakukan perburuan terhadap binatang darat. Di dalam ayat ini terkandung dalil yang menunjukkan keharaman perbuatan tersebut. Untuk itu, apabila seseorang yang sedang ihram sengaja melakukan perburuan, berdosalah ia dan dikenakan denda. Atau jika ia melakukannya secara keliru, maka dia harus membayar dendanya, dan ia diharamkan memakan hasil buruannya; karena binatang buruannya itu bagi dia kedudukannya sama dengan bangkai, demikian pula bagi orang lain dari kalangan orang-orang yang sedang ihram, juga orang-orang yang bertahallul, menurut Imam Malik dan menurut salah satu dari dua pendapat Imam Syafii. Hal yang sama dikatakan oleh ‘Atha’, Al-Qasim, Salim, Abu Yusuf, dan Muhammad ibnul Hasan serta lain-lainnya.
Jika si muhrim yang memburunya memakannya atau memakan sebagian dari binatang buruannya, apakah dia harus membayar denda yang kedua? Ada dua pendapat mengenainya di kalangan para ulama. Pendapat pertama mengatakan harus membayar denda kedua. Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Ibnu Juraij, dari ‘Atha’ yang mengatakan, "Jika orang muhrim yang bersangkutan sempat menyembelihnya, lalu memakannya, maka dia dikenakan dua kifarat." Pendapat ini dipegang oleh segolongan ulama.
Pendapat kedua mengatakan, tidak ada denda atasnya karena memakan hasil buruannya. Pendapat ini dinaskan oleh Malik ibnu Anas. Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan bahwa pendapat inilah yang dipegang oleh semua mazhab ulama fiqih di kota-kota besar dan jumhur ulama. Kemudian Abu Umar menyamakannya dengan masalah "seandainya seseorang menginjak dan menginjak serta menginjak lagi sebelum ia dikenai hukuman had, maka sesungguhnya yang diwajibkan atasnya ialah dikenai sekali hukuman had.”
Imam Abu Hanifah mengatakan, si pemakan dikenai harga sejumlah yang dimakannya. Abu Tsaur mengatakan, "Apabila seorang yang sedang ihram membunuh binatang buruan, maka ia harus membayar dendanya, dan dihalalkan baginya memakan binatang buruannya itu; hanya saja aku memakruhkannya bagi orang yang membunuhnya, karena ada hadits Rasulullah ﷺ yang mengatakan: ‘Binatang buruan darat dihalalkan bagi kalian, sedangkan kalian dalam keadaan berihram, selagi kalian bukan yang memburunya atau bukan diburu untuk kalian’.”
Hadits ini akan dijelaskan kemudian. Kalimat yang mengatakan 'boleh memakannya bagi orang yang membunuhnya' merupakan hal yang gharib (aneh). Adapun bagi selain orang yang membunuhnya, masalahnya masih diperselisihkan, dan yang telah kami sebutkan ialah pendapat yang mengatakan tidak boleh. Sedangkan ulama lainnya mengatakan selain pembunuhnya diperbolehkan memakannya, baik ia sedang ihram ataupun telah bertahallul, karena berdasarkan hadits yang baru disebutkan tadi.
Adapun bila seseorang yang telah bertahallul membunuh binatang buruan, lalu ia menghadiahkannya kepada orang yang berihram, maka sebagian ulama ada yang mengatakan boleh secara mutlak tanpa ada rincian antara perburuan yang dilakukan secara sengaja untuknya atau tidak. Pendapat ini diriwayatkan oleh Abu Umar ibnu Abdul Bar, dari Umar ibnul Khattab, Abu Hurairah, Az-Zubair ibnul Awwam, Ka'b Al-Anbar, Mujahid dan ‘Atha’ dalam suatu riwayatnya, dan Sa'id ibnu Jubair. Hal yang sama telah dikatakan oleh ulama Kufah.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Bazi', telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnul Mufaddal, telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qatadah, bahwa Sa'id ibnul Musayyab pernah menceritakan dari Abu Hurairah bahwa Abu Hurairah pernah ditanya mengenai daging dari hasil buruan yang dilakukan oleh orang yang telah bertahallul, apakah orang yang sedang ihram boleh memakannya? Maka Abu Hurairah memberikan fatwa boleh memakannya.
Kemudian ia menemui Umar ibnul Khattab, lalu menceritakan kepadanya tentang apa yang baru dialaminya, maka Umar ibnul Khattab berkata kepadanya (Abu Hurairah), "Seandainya kamu memberi mereka fatwa selain dari itu, niscaya aku akan membuat kepalamu terasa sakit (karena dipukul)." Ulama lain mengatakan, orang yang sedang ihram sama sekali tidak boleh memakan hasil buruan. Pendapat ini melarangnya secara mutlak karena berdasarkan kepada keumuman makna yang terkandung di dalam ayat yang mulia ini.
Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Ma'mar, dari Tawus dan Abdul Karim, dari Ibnu Abu Asiah, dari Tawus, dari Ibnu Abbas, bahwa ia menilai makruh bila orang yang sedang ihram memakan hasil buruan. Dan Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat yang menerangkan tentangnya bersifat mubham (misteri), yakni firman Allah ﷻ: “Dan diharamkan atas kalian (menangkap) binatang buruan darat, selama kalian dalam ihram.” (Al-Maidah: 96)
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepadanya Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Ibnu Umar, bahwa dia memakruhkan orang muhrim (yang sedang ihram) bila memakan daging hasil buruan dalam keadaan bagaimanapun.
Ma'mar mengatakan, telah menceritakan kepadanya Ayyub, dari Nafi', dari Ibnu Umar hal yang serupa. Ibnu Abdul Bar mengatakan bahwa hal yang sama telah dikatakan oleh Tawus dan Jabir ibnu Zaid. Pendapat inilah yang dikatakan oleh As- Sauri dan Ishaq ibnu Rahawaih dalam suatu riwayatnya. Hal yang serupa telah diriwayatkan dari Ali ibnu Abu Thalib. Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui jalur Sa'id ibnu Abu Urubah dari Qatadah, dari Sa'id ibnul Musayyab, bahwa Ali ibnu Abu Thalib memakruhkan bagi orang muhrim (yang sedang ihram) memakan daging hasil buruan dalam keadaan bagaimanapun.
Imam Malik, Syafii, Ahmad ibnu Hambal, Ishaq ibnu Rahawaih dalam suatu riwayat, serta jumhur ulama berpendapat: Jika orang yang telah bertahallul bermaksud melakukan perburuan untuk orang yang berihram, maka orang yang berihram itu tidak boleh memakannya, karena berdasarkan hadits As-Sa'b ibnu Jusamah; ia pernah menghadiahkan seekor kuda zebra hasil buruannya di Abwa atau Wuddan kepada Nabi ﷺ. Maka Nabi ﷺ menolak pemberiannya itu. Tetapi setelah Nabi ﷺ melihat perubahan roman muka As-Sa'b ibnu Jusamah, beliau ﷺ bersabda: “Sesungguhnya kami tidak sekali-kali mengembalikannya kepadamu melainkan karena kami sedang ihram.”
Hadits ini diketengahkan di dalam kitab Shahihain dan mempunyai lafal yang banyak. Jumhur ulama mengatakan, yang tersimpulkan dari hadits ini ialah "Nabi ﷺ menduga bahwa hewan buruan tersebut sengaja diburu hanya untuk Nabi ﷺ, maka Nabi ﷺ menolaknya. Adapun jika perburuan dilakukan bukan untuk orang muhrim yang bersangkutan, maka ia diperbolehkan memakannya. Karena berdasarkan hadits Abu Qatadah ketika ia berburu seekor kuda zebra, ia dalam keadaan tidak berihram, sedangkan teman-temannya dalam keadaan ihram.
Lalu mereka tidak berani memakannya dan menanyakannya lebih dahulu kepada Rasulullah ﷺ. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: . "Apakah ada seseorang dari kalian yang mengisyaratkan kepada binatang buruan ini atau ikut membantu membunuhnya?” Mereka menjawab, ''Tidak.” Nabi ﷺ bersabda, "Kalau demikian, makanlah oleh kalian." Dan Rasulullah ﷺ sendiri ikut makan sebagian darinya.
Kisah ini disebutkan pula dalam kitab Shahihain dengan lafal yang banyak.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Mansur dan Qutaibah ibnu Sa'id, keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Abdur Rahman, dari Amr ibnu Abu Amr, dari Al-Muttalib ibnu Abdullah ibnu Hantab, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda; dan menurut Qutaibah dalam hadisnya, perawi pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Binatang buruan darat dihalalkan bagi kalian.”
Menurut hadits Sa'id disebutkan bahwa sedangkan kalian dalam keadaan ihram selagi bukan kalian sendiri yang memburunya atau bukan diburu untuk kalian.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abu Daud, Imam At-Tirmidzi, dan Imam An-Nasai; semuanya dari Qutaibah. Imam At-Tirmidzi mengatakan, ia belum pernah mengenal bahwa Muttalib pernah mendengar dari Jabir. Imam Muhammad ibnu Idris Asy-Syafii telah meriwayatkannya melalui jalur Amr ibnu Abu Amr, dari maulanya (yaitu Al-Muttalib), dari Jabir. Imam Syafii mengatakan bahwa ini merupakan hadits yang paling baik dan paling tepat yang diriwayatkan dalam bab ini.
Imam Malik telah meriwayatkan dari Abdullah ibnu Abu Bakar, dari Abdullah ibnu Amir ibnu Rabi'ah yang menceritakan bahwa ia pernah melihat Usman ibnu Affan di Al-'Arj dalam keadaan ihram di hari yang panas (musim panas), sedangkan ia menutupi (menaungi) wajahnya dengan kain urjuwan. Kemudian disuguhkan kepadanya daging hewan hasil buruan, lalu ia berkata kepada teman-temannya, "Makanlah oleh kalian." Mereka berkata, "Mengapa engkau sendiri tidak ikut makan?" Khalifah Usman menjawab, "Sesungguhnya keadaanku tidaklah seperti kalian, sesungguhnya hewan buruan ini sengaja diburu hanya untukku.”
Allah menyatakan bahwa tidak ada kewajiban seorang Rasul menjadikan seseorang untuk beriman, selain menyampaikan kepadanya ajaran Allah dengan benar sehingga ia tidak dapat beralasan bahwa ajaran Allah tidak sampai kepadanya. Dan ketahui jugalah dengan penuh keinsafan bahwa Allah mengetahui apa yang kamu tampakkan dengan ucapan dan perbuatan dan apa yang kamu sembunyikan di dalam hatiKatakanlah, wahai Nabi Muhammad, Tidaklah sama yang buruk, kekufuran, kemusyrikan, kemunafikan, dan harta yang haram dengan yang baik, iman, tauhid, kejujuran, dan harta yang halal; meskipun banyaknya keburukan itu, kekayaan hasil korupsi dan harta yang diperoleh dengan cara yang haram secara lahiriah, menarik hatimu, karena tertarik kepada kenikmatan, kepuasan dan kemudahan, serta kebanggaan sebagai seorang yang kaya; maka bertakwalah kepada Allah dengan menjauhkan diri kamu dari kekufuran, kemusyrikan, dan kemunafikan, serta dari harta yang haram; wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat sehingga kamu berpikir jernih dan mendalam agar kamu beruntung dunia dan akhirat.
.
Setelah Allah menjelaskan bahwa semua balasan atas perbuatan-perbuatan yang jelek adalah di tangan-Nya, dan Dia mengetahui segala sesuatu yang diperbuat hamba-Nya, maka Allah menegaskan lagi tugas Rasul-Nya yaitu: menyampaikan risalah, yakni menyampaikan hukum-hukum, peraturan-peraturan dan petunjuk-petunjuk-Nya, serta wa'd (janji) dan wa'id (ancaman)-Nya. Apabila semua itu telah dilaksanakan oleh Rasul selesailah tugasnya, dan lepaslah ia dari tanggung jawabnya, untuk selanjutnya menjadi tugas dan tanggung jawab orang-orang beriman. Adapun pemberian pahala kepada orang-orang yang taat, dan menimpakan azab kepada orang-orang yang durhaka, adalah hak dan wewenang Allah semata.
Pada akhir ayat ini, kembali Allah menegaskan, bahwa Dia senantiasa mengetahui apa yang diperbuat manusia secara terang-terangan, maupun yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, termasuk gerak-gerik hati sanubari mereka. Ini merupakan peringatan keras dari Allah kepada orang-orang yang tidak menaati peraturan dan hukum-hukum-Nya. Oleh sebab itu, sepantasnyalah manusia bertakwa kepada-Nya, dan tidak menyalahi perintah-perintah-Nya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 98
“Ketahuilah olehmu bahwasanya Allah adalah sangat pedih siksa-Nya dan sesungguhnya Allah-pun sangat Pengampun lagi Penyayang."
Oleh sebab itu, jagalah kemanusiaanmu dan peliharalah kemurnian akal dan budimu. Engkau hanya satu makhluk kecil saja di antara alam raga yang besar ini. Alam penuh dengan peraturan Allah dengan sunnatullah. Kalau engkau langgar peraturan yang telah ditentukan Allah, engkau pasti jatuh. Adzab Allah pasti datang dan adzab itu sangat pedih tidak tertanggungkan. Engkau manusia! Engkau bukan batu yang bergolek-golek di pinggir jalan, tetapi engkau mempunyai tenaga untuk hidup, mempunyai diriamika. Engkau sendiri merasakan itu. Engkau hidup selalu di dalam perjuangan dan cita-cita yang mulia dan murni, hendak naik ke derajat yang paling tinggi; berjuang dengan hawa nafsu angkara murka, syahwat yang kadang-kadang tidak terken-dalikan. Kalau tuntunan Ilahi tidak engkau turuti, janganlah menyesal jika adzab yang pedih itu datang. Namun, di samping hukumnya yang harus dan adzab-Nya yang pedih, Allah pun pengampun dan penyayang. Yaitu kepada orang yang selalu berusaha memperbaiki diri, meninggikan mutu diri, membersihkan dan menyucikan batin, membuang perangai tercela, menggantinya dengan perangai yang terpuji, beriman dan beramal saleh. Meskipun tadiriya pernah bersalah atau merasa kesalahan-kesalahan tidak dapat dikikis habis dari diri karena rangsangan-rangsangan nafsu, asal engkau berjuang melawannya mengimbangi kesalahan yang sedikit dengan kebajikan yang banyak, Allah dapat memberimu ampun. Allah dapat menutupi cacat yang sedikit dengan kebajikan yang banyak. Sudah nyata bahwa tidak seorang pun manusia yang sunyi daripada khilaf dan alpa. Namun, dia diberi ampun dan disayangi juga oleh Allah, kalau ternyata dia selalu berusaha menegakkan kebajikan.
Selama kita hidup, apalagi jika kita telah mengakui bahwa kita orang yang beriman, hendaklah kita tanamkan benar-benar ayat ini dalam hati kita. Adzab Allah sangat pedih. Oleh sebab itu, berusahalah kita mengelakkan diri sedapat kita dari dorongan kesalahan. Dan Allah Pengampun dan Penyayang. Kemudian, berusahalah mengisi hidup kita dengan se-banyak-banyak kebajikan. Semoga di Padang Mahsyar esok, ketika ditimbang, yang baik jugalah hendaknya yang lebih berat daripada yang jahat.
Ayat 99
“Tidak ada kewajiban bagi Rasul, melainkan menyampaikan."
Ayat ini adalah penjelasan bahwasanya hak yang mutlak menentukan adzab atau ampunan hanya semata-mata pada Allah. Rasul sendiri tidak ada kekuasaan sedikit pun menentukan itu. Kewajiban Rasul hanya satu, yaitu menyampaikan petunjuk Allah kepada makhluk: yang ini disukai Allah dan yang itu dibenci-Nya. Yang ini disuruh Allah dan yang itu dilarang-Nya. Sedikit pun dia tidak boleh menyembunyikan itu sebagaimana yang telah tersebut juga pada ayat-ayat yang lalu. Oleh karena itu, batal dan tertolaklah persangkaan orang-orang musyrik dan tersesat yang mengharapkan semoga Rasul pun atau manusia pun dapat menolong mereka meringankan adzab atau menambah pahala mereka.
“Dan Allah adalah mengetahui apa yang kamu labilkan dan apa yang kamu sembunyikan."
Dengan lanjutan keterangan ini, jelaslah lagi inti tauhid. Tiap-tiap kita langsungbertang-gung jawab kepada Allah, langsung dengan tidak ada perantaraan. Beramal dan beribadah karena Allah dan kepada Allah saja. Mana yang tidak terang, kita cari keterangan dari Rasul. Jalan itu sudah terentang dan kita akan menempuh jalan itu; dan Rasul menunjukkan kepada kita, disuruh menyampaikan kepada kita, bagaimana menempuh jalan itu yang dikehendaki oleh Allah. Rasul sekali-kali tidak membuat jalan sendiri. Dengan segala tingkah laku kita, apa yang kita perlihatkan dengan nyata dan apa yang kita sembunyikan, semua diketahui oleh Allah.
Sampai kelak pun, ketika diadakan hisab (perhitungan) dan mizan (pertimbangan) di hadapan hadirat Ilahi di akhirat, tiap-tiap kita bertanggung jawab langsung di hadapan Allah. Kalau pun rasul-rasul didatangkan dalam majelis pengadilan tertinggi itu, beliau pun tiada juga dapat mengetahui lahir dan batin kita. Beliau hanya semata-mata dipanggil untuk jadi saksi, apakah telah disampaikannya apa yang dahulu mesti disampaikan kepada kita? Itulah sebabnya, ketika Abdullah bin Mas'ud disuruh Rasul ﷺ membaca Al-Qur'an, sebaik sampai bacaannya pada ayat 40 dari surah an-Nisaa', beliau menangis, sebab kasih mesranya kepada umatnya, sebagai yang telah kita lihat tafsirnya terlebih dahulu. Beliau menangis karena yang akan dapat menolong umat itu dari ancaman Allah hanyalah amal mereka sendiri.
Ayat 100
“Katakanlah, Tidaklah sama barang yang buruk dengan yang baik, walaupun engkau tercengang oleh banyaknya yang batuk"
Ayat ini memperteguh lagi keterangan sebelumnya. Kalau Allah menyiksa, sangatlah pedih siksa-Nya. Yang disiksa ialah orang yang memilih jalan yang buruk dan kelakuan yang buruk. Namun, Allah pun Pengampun dan Penyayang kepada orang yang berjuang mengalahkan diri dari yang buruk dan memilih yang baik. Akal yang terdidik oleh petunjuk agama dapat membedakan buruk dan baik. Akal dapat menilai mana yang mudharat dan mana yang manfaat. Mana yang haram dan mana yang halal. Mana yang adil dan mana yang zalim. Mana kebodohan dan mana ilmu pengetahuan. Mana yang merusak dan mana yang memperbaiki. Mana yang talih dan mana yang saleh.
Mana yang keras kepala dan mana yang patuh. Mana yang kafir dan mana yang Mukmin. Akal dapat membedakan itu semua, terutama kalau ia telah diasuh dengan petunjuk Ravi sedangkan Rasul telah menyampaikan kewajibannya. Yang buruk tetap buruk dan yang baik tetap baik."Walaupun engkau tercengang oleh banyaknya yang buruk." Kadang-kadang orang yang berjuang di atas jalan yang baik seret jalannya, sedangkan yang berjuang di atas jalan jahat lancar tampaknya. Kadang-kadang harta yang haram, riba, tipu, korupsi, uang suap, pengkhianatan mudah didapat Di sisi lain, orang yang mencari dengan cara halal, hanya sedikit saja masuknya. Namun, hati sanubari, akal yang murni tetap mengatakan bahwa yang baik tetaplah baik, walaupun sedikit. Kejahatan tetap jahat, walaupun banyak masuknya. Sebab, akal yang murni itu adalah melihat akibat yang di belakang bukan hanya semata-mata mempercermin yang kelihatan oleh mata sekarang saja. Kadang-kadang bertemu beribu-ribu manusia. Meskipun mereka beribu-ribu, atau bahkan berjuta-juta, mereka tidak ada artinya. Yang berarti hanyalah segolongan kecil manusia yang pikirannya lebih bermutu dan dapat memimpin orang yang berjuta-juta itu.
Pada zaman Islam baru timbul di Mekah, yang menjadi orang Mukmin adalah golongan kecil yang terpaksa sembunyi-sembunyi melakukan ibadah dan keyakinannya, menimbulkan kebencian orang banyak. Adapun golongan terbesar waktu itu adalah penyembah berhala. Mereka adalah orang-orang kaya dan berpengaruh. Meskipun banyak, mereka tetap buruk karena menyembah berhala. Umat beriman, walaupun hanya sedikit menyembah Allah Yang Maha Esa, dan tetaplah itu yang benar.
Di sinilah kita mengkaji apa yang diriamai dalam istilah ‘Arabi di antara kammtyah dengan kaifiyah dan menurut istilah bahasa Barat di antara kuantitas dengan kualitas, di antara banyak bilangan dengan mutu. Berfirmanlah Allah di akhir ayat:
“Maka takwalah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang mempunyai pikiran, supaya kamu beroleh kejayaan."
Di sinilah orang yang'ulul-albab' yang memiliki inti pikiran disuruh bertakwa kepada Allah. Di sini, dipersambungkanlah pikiran cerdas dengan takwa kepada Allah. Karena dengan takwa kepada Allah pikiran tadi takkan terombang-ambing, tidak akan terpesona melihat banyaknya yang buruk, yang kerap kali seakan-akan menang. Dengan takwanya kepada Allah, dapatlah dia menahan diri dan tetap berpegang pada yang baik. Meskipun akal cerdas, kalau takwa tidak ada bisa dipergunakan untuk hal-hal yang buruk. Padahal apabila telah karam ke dalam gelombang keburukan, kesengsaraan j ualah yang akan dirasakan kelak. Padahal dengan memelihara takwa kepada Allah, diri dapat bertahan, yang akhirnya akan membawa pada kemenangan dan kejayaan. Seperti bunyi pepatah: “Bahagialah orang yang tertawa kemudian."
Al-Qur'an pernah juga mengemukakan contoh di dalam surah al-Qashash: ayat 76-82, tentang Qarun yang mendapat banyak harta dan kemegahan dan kedudukan, tetapi menempuh jalan buruk. Banyak orang yang terpesona, tetapi orang yang berilmu, berpikiran, dan bertakwa tidak terpengaruh oleh itu. Akhirnya Qarun jatuh hancur, ditelan bumi, hilang dari arena. Adapun orang yang telah terpesona tadi, dia lalu bersyukur kepada Allah karena tidak menuruti jalan Qarun.
Diriwayatkan orang dari Abu Hurairah r.a. bahwa dia pernah berkata, “Satu dirham yang halal lebih aku sukai daripada 100 ribu dirham, padahal haram. Maka bacalah kitab Allah, ‘Tidak sama barang buruk dan yang baik.'"
Di sinilah kita dapat merenungkan betapa luasnya pendidikan Islam ke dalam diri dan masyarakat Muslim. Selain dari tiap-tiap diri diwajibkan terutama mengerjakan shalat lima waktu, dapat lagi pendidikan penyempurnaan, yaitu hendaklah shalat itu dilakukan dengan berjamaah. Artinya pribadi sendiri diperkuat dengan ibadah dan lebih diperkuat lagi jika ditumbuhkan pergaulan yang baik sesama Muslim. Shalat berjamaah 27 kali lebih tinggi pahalanya dibandirigkan shalat sendiri. Jamaah itu menimbulkan pergaulan yang sehat. Pergaulan dari orang-orang yang sama-sama mencintai ibadah. Keteguhan pertalian jamaah dengan bimbingan iman, menyebabkan orang yang terikat di dalamnya tidak terpesona dengan yang buruk, walaupun betapa banyaknya. Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
“Agama itu adalah pergaulan."
Zaman sekarang ini, pergaulan atau lingkungan sangat menentukan kehalusan pribadi. Pergaulan umum yang banyak kita lihat ialah pergaulan mungkar, pergaulan keji. Jadi dengan segala macam ragamnya, telah menjadi permainan umum. Minuman keras alkohol memesona. Kaum perempuan membuka auratnya di muka umum; dadanya didedahkannya, betis dan pahanya dibukanya, perut dan pusarnya dipertontonkannya. Orang yang tidak mau memasuki pergaulan yang sudah penuh najis itu dituduh orang kolot.
Semuanya keji, semuanya buruk. Yang buruk lebih banyak tertonjol dari yang baik. Namun orang yang beriman, yang teguh pergaulannya dalam masyarakat Islam tidaklah akan terpesona oleh banyaknya yang buruk itu.
Yang haram tetap haram, walaupun yang haram itu telah melilit seluruh muka bumi. Yang baik tetap baik, walaupun orang yang mengamalkannya sudah kelihatan sedikit.
Oleh sebab itu, untuk memperteguh peni-laianyangbaiktetapbaik, walaupun sedikitdan yang buruk tetap buruk, walaupun besarnya sudah laksana gelombang di lautan, pupuklah rasa takwa dalam diri dan perteguhlah jamaah yang sepaham.
Ar-Razi dalam tafsirnya telah menguraikan ketika menafsirkan ayat ini, yang buruk dan yang baik adalah dua macam:Pertama, buruk-baik yang menubuh yang jelas kelihatan oleh mata dan tampak oleh semua orang. Kedua, buruk baik yang ruhaniah sifatnya. Buruk yang paling buruk yang bersifat ruhaniah ialah bodoh dan maksiat. Dan baik yang paling yang bersifat ruhaniah ialah mengenal (ma'rifat) Allah dan taat kepada-Nya karena tubuh kasar yang dibeliti najis tampak amat kotor oleh orang yang mempunyai tabiat sehat. Demikian pulalah arwah yang ditimpa penyakit bodoh dan maksiat dan tidak memedulikan ketaatan kepada Allah, arwah yang demikian pun kotor dipandang oleh arwah yang telah mencapai kesempurnaan dan kesucian. Adapun arwah yang arif dengan Allah, yang selalu setia, dan setia melaksanakan perintah-Nya maka arwah yang demikian akan bersinar gilang-gemilang dengan cahaya-cahaya ma'rifatullah. Arwah yang demikian senantiasa bahagia karena merasa dekat dengan ruh-ruh yang suci lagi qudus.
Sebagaimana yang buruk dan yang baik dalam alam jasmaniah tidak sama, demikian pula buruk dan baik dalam alam ruhaniah tidak juga sama. Bahkan perbedaan dalam alam ruhaniah lebih jelas lagi. Karena bahaya dari keburukan yang melengket pada jasmani hanya kecil saja dan manfaat kebaikan jasmani pun sesuatu yang terbatas. Namun, keburukan yang bersifat ruhaniah, mudharatnya lebih besar, lebih lama, dan berlarut-larut. Dan kebaikan yang ruhaniah mempunyai manfaat yang lebih besar dan lebih lama dan lebih abadi pula. Sebab, ia terletak rapat dengan Allah rabbul-alamin dan termasuk dalam barisan malaikat yang mukarrabin, berteman karib dengan nabi-nabi, orang-orang yang shidiq, syuhada, dan salihin. Inilah sebab utama mengapa agama mengajak kita berbuat taat dan mengancam kita jangan mendekati maksiat.
Sekian ar-Razi!
(101) Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu tanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepada kamu akan menyusahkan kamu. Tetapi, jika kamu bertanya dari hal (ayat-ayat) itu seketika diturunkan Al-Cjurian itu, niscaya akan diterang-kanlah kepada kamu. Allah telah memaafkan kamu karena Allah itu adalah Pengampun lagi Pemaaf.
(102) Sesungguhnya telah menanyakan akan hal itu suatu kaum sebelum kamu. Kemudian, jadilah mereka orang-orang yang kafir lantaran itu.
Tadi sudah diterangkan kewajiban Rasul ialah menyampaikan. Hukum halal dan haram, baik dan buruk, manfaat dan mudharat, semuanya sudah diterangkan oleh Rasul. Bahkan kisah-kisah umat yang terdahulu pun beliau sampaikan, sebagai wahyu dari Allah untuk kamu jadikan pengajaran dan perbandirigan. Dalam pada itu, pergunakanlah akalmu sendiri dengan dasar takwa untuk menyisihkan buruk dengan baik itu. Dapatlah kita pengertian yang langsung dari Al-Qur'an bahwa menerima agama hendaklah dengan akal dan yang merasai nikmat beragama ialah orang yang ‘ulul albab', berpikiran cerdas yang didasarkan pada takwa. Meskipun hadits-hadits yang menyatakan keutamaan akal yang banyak disalin oleh Imam Ghazali di dalam Al-Ihya' banyak hadits yang lemah (dhaif) menurut ilmu ha-dits. Namun ijtihad kita dalam menerima Al-Qur'an sudah memastikan bahwa terlepas hadits-hadits itu lemah, artinya telah menjadi kuat, sebab Al-Qur'an mengatakan demikian. Oleh sebab itu, terimalah segala apa yang telah disampaikan Nabi dengan akalmu dan tak usahlah kamu banyak bertanya dan mengorek-ngorek lagi. Sebab, kadang-kadang pertanyaan itu kalau mendapat jawaban, hanyalah akan mempersulit dirimu sendiri.
Ayat 101
“Wahai orang-orang beriman! Janganlah kamu tanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepada kamu akan menyusahkan kamu."
Banyak disalinkan oleh ahli-ahli tafsir tentang turunnya ayat-ayat ini. Di antaranya sebagai yang diriukilkan oleh al-Qushthallani di dalam syarahnya dari riwayat Muhammad bin Zayyad dari Abu Hurairah, bahwa pada suatu ketika Rasulullah ﷺ berkhutbah di atas mimbar menerangkan wajib mengerjakan haji. Kemudian ada seorang yang bertanya, “Apakah tiap-tiap tahun, ya, Rasulullah?" Nabi diam saja. Namun, dia masih saja mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali; yang mulanya didiamkan saja oleh Rasulullah ﷺ Akhirnya beliau tegaskan, “Kalau aku jawab dengan, ‘Memang' (tiap tahun) tentu menjadi kewajiban bagi kamu, sedangkan kamu tidak akan sanggup mengerjakannya."
Menurut satu riwayat pula dari Anas bin Malik, pernah pula mereka bertanya berbagai pertanyaan sehingga bosanlah beliau dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Dan menurut riwayat Bukhari dan Muslim dan hadits Abu Musa al-Asy'ari, “Tatkala telah banyak mereka bertanya itu, kelihatan wajah beliau marah, sampai beliau berkata, ‘Mau bertanya lagi?'" Malahan di dalam riwayat lain ada pula yang menanyakan kepada Rasulullah ﷺ siapa ayahnya sehingga tersinggung perasaan ibunya sendiri, sebab dia bertanya itu di hadapan orang banyak, seakan-akan pada zaman jahi-liyyah dia mengadakan hubungan yang tidak baik dengan seorang laki-laki.
Oleh sebab itu, datanglah larangan setegas ini. Meskipun Rasul wajib menyampaikan apa yang telah diperintahkan Allah untuk menyampaikan, janganlah terlalu banyak mengajukan pertanyaan, sebab pertanyaan tersebut kelak akan mempersusah dirimu sendiri, mempersempit kamu, padahal kamu dapat mempergunakan akal untuk memikirkannya. Sebagai orang yang bertanya apakah wajib mengerjakan haji tiap tahun itu, alangkah tepatnya jawab Rasulullah ﷺ, “Kalau aku katakan memang wajib tiap tahun, berat bagi kamu dan kamu tidak akan sanggup mengerjakannya!"
“Tetapi jika kamu bertanya perihal (ayat-ayat) ketika diturunkan Al-Qur'an itu, niscaya akan diterangkanlah kepada kamu." Artinya, kalau ada ayat turun dan kurang jelas oleh kamu maksudnya lalu kamu tanyakan di sekeliling ayat itu saja, supaya jelas, niscaya Rasul itu akan menjelaskannya kepada kamu dengan Sunnahnya, yaitu perkataannya atau perbuatannya atau takrirnya. Pertanyaan yang begitu tidaklah mengapa karena itu hanya semata-mata penjelasan bukan untuk mempersulit diri sendiri.
Larangan bertanya bertele-tele yang akan mempersukar keadaan sendiri itulah yang telah dikuatkan oleh beberapa hadits yang shahih. Satu di antaranya kita salinkan, yaitu sebuah dari hadits Arba'in (catatan Imam Nawawi) yang terkenal:
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban maka janganlah kamu sia-siakan. Dan Dia telah mengadakan beberapa batas-batas maka janganlah kamu lampaui akan dia. Dan Dia telah mengharamkan beberapa hal maka janganlah kamu langgar akan dia. Dan Dia telah diam dari beberapa hal, sebagai rahmat buat kamu, bukanlah karena Dia lupa. Maka, janganlah kamu cari-cari daripadanya." (Berkata Nawawi: Hadits hasan diravvikan oleh ad-Daruquthni dan lain-lain)
Selanjutnya berfirmanlah Allah,
“Allah telah memaafkan kamu daripadanya karena Allah ilu adalah Pengampun lagi Pemaaf."
Artinya, ketelanjuran kamu suka bertanya-tanya dan mengorek-ngorek Rasul pada zaman yang sudah-sudah itu telah diberi maaf oleh Allah sebab waktu itu kamu belum tahu bahayanya dari diri kamu. Namun, untuk selanjutnya janganlah berbuat begitu lagi.
“Selanjutnya telah menanyakan akan hal itu suatu kaum sebelum kamu. Kemudian itu jadilah mereka orang-orang yang kafir lantaran itu"
(ayat 102)