Ayat
Terjemahan Per Kata
وَعَدَ
telah menjanjikan
ٱللَّهُ
Allah
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
وَعَمِلُواْ
dan mereka beramal
ٱلصَّـٰلِحَٰتِ
kebajikan/saleh
لَهُم
bagi mereka
مَّغۡفِرَةٞ
ampunan
وَأَجۡرٌ
dan pahala
عَظِيمٞ
besar
وَعَدَ
telah menjanjikan
ٱللَّهُ
Allah
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
وَعَمِلُواْ
dan mereka beramal
ٱلصَّـٰلِحَٰتِ
kebajikan/saleh
لَهُم
bagi mereka
مَّغۡفِرَةٞ
ampunan
وَأَجۡرٌ
dan pahala
عَظِيمٞ
besar
Terjemahan
Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal saleh (bahwa) bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.
Tafsir
(Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan yang beramal saleh) suatu janji yang baik (bahwa untuk mereka keampunan dan pahala yang besar) yakni surga.
Tafsir Surat Al-Ma'idah: 7-11
Dan ingatlah karunia Allah kepada kalian dan perjanjian-Nya yang telah diikatkan-Nya dengan kalian, ketika kalian mengatakan, "Kami dengar dan kami taat." Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui isi hati (kalian).
Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian jadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.
Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan yang beramal saleh, (bahwa) untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.
Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu adalah penghuni neraka.
Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah kalian akan nikmat Allah (yang diberikan-Nya) kepada kalian, di waktu suatu kaum bermaksud hendak memanjangkan tangannya kepada kalian (untuk berbuat jahat), maka Allah menahan tangan mereka (untuk berbuat jahat) dari kalian. Dan bertakwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu harus bertawakal.
Ayat 7
Allah ﷻ berfirman mengingatkan hamba-hamba-Nya yang mukmin akan semua nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada mereka dalam syariat yang telah ditetapkan-Nya untuk mereka, yaitu berupa agama Islam yang agung ini; dan Dia mengutus kepada mereka rasul yang mulia, serta apa yang telah diambil-Nya dari mereka berupa perjanjian dan kesediaan untuk berbaiat kepada rasul, bersedia mengikutinya, menolong dan mendukungnya, menegakkan agamanya dan menerimanya, serta menyampaikannya (kepada orang lain) dari dia.
Untuk itu Allah ﷻ berfirman: “Dan ingatlah karunia Allah kepada kalian dan perjanjian-Nya yang telah diikatkan-Nya dengan kalian, ketika kalian mengatakan, ‘Kami dengar dan kami taat’." (Al-Maidah: 7)
Baiat inilah yang dimaksud ketika mereka mengucapkannya kepada Rasulullah ﷺ saat mereka masuk Islam. Saat itu mereka mengatakan, "Kami berjanji setia kepada Rasulullah ﷺ untuk mendengar dan menaatinya dalam keadaan kami sedang bersemangat dan dalam keadaan kami sedang tidak bersemangat. Kami mengesampingkan kepentingan pribadi kami dan tidak akan menentang perintah yang dikeluarkan oleh ahlinya."
Dan Allah ﷻ telah berfirman: “Dan mengapa kalian tidak beriman kepada Allah, padahal Rasul menyeru kalian supaya beriman kepada Tuhan kalian. Dan sesungguhnya Dia telah mengambil perjanjian kalian jika kalian adalah orang-orang yang beriman.” (Al-Hadid: 8)
Menurut suatu pendapat, hal ini merupakan peringatan yang ditujukan kepada orang-orang Yahudi, karena Allah telah mengambil janji dari mereka bahwa mereka bersedia akan mengikuti Nabi Muhammad ﷺ dan taat kepada syariatnya. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas.
Menurut pendapat yang lain, hal ini merupakan peringatan terhadap anak Adam karena Allah telah mengambil janji dari mereka ketika mereka dikeluarkan oleh Allah dari tulang sulbinya dan mengambil kesaksian dari diri mereka melalui firman-Nya: "Bukankah Aku ini Tuhan kalian?" Mereka menjawab, "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Al-A'raf: 172) Demikianlah menurut pendapat Mujahid dan Muqatil ibnu Hayyan, tetapi pendapat yang pertama lebih jelas, yaitu pendapat yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan As-Suddi, kemudian dipilih oleh Ibnu Jarir.
Firman Allah ﷻ: “Dan bertakwalah kepada Allah.” (Al-Maidah: 7)
Hal ini mengukuhkan dan memacu untuk tetap berpegang kepada takwa dalam semua keadaan.
Selanjutnya Allah memberitahukan kepada mereka bahwa Dia Maha Mengetahui semua yang tersimpan di dalam hati mereka berupa rahasia dan bisikan-bisikan hati. Untuk itu Allah ﷻ berfirman: “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui isi (hati kalian).” (Al-Maidah: 8)
Ayat 8
Firman Allah ﷻ: “Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian jadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah.” (Al-Maidah: 8)
Yakni jadilah kalian orang-orang yang menegakkan kebenaran karena Allah, bukan karena manusia atau karena harga diri.
“Menjadi saksi dengan adil.” (Al-Maidah: 8)
Maksudnya menegakkan keadilan, bukan kezaliman.
Telah disebutkan di dalam kitab Shahihain dari An-Nu'man ibnu Basyir yang menceritakan bahwa ayahnya telah menghadiahkan kepadanya suatu pemberian yang berharga. Ibunya bernama Amrah binti Rawwahah berkata, "Aku tidak rela sebelum kamu mempersaksikan pemberian ini kepada Rasulullah ﷺ." Ayahnya datang menghadap Rasulullah ﷺ untuk meminta kesaksian atas pemberian tersebut. Maka Rasulullah ﷺ bertanya: "Apakah semua anakmu diberi hadiah yang serupa?" Ayahku menjawab, "Tidak." Lalu Rasulullah ﷺ bersabda, "Bertakwalah kamu kepada Allah, dan berlaku adillah kepada anak-anakmu." Dan Rasulullah ﷺ bersabda pula, "Sesungguhnya aku tidak mau bersaksi atas kezaliman." An-Nu'man ibnu Basyir melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ayahnya pulang dan mencabut kembali pemberian tersebut darinya.
Firman Allah ﷻ: “Dan jangan sekali-kali kebencian kalian terhadap suatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil.” (Al-Maidah: 8)
Artinya, jangan sekali-kali kalian biarkan perasaan benci terhadap sesuatu kaum mendorong kalian untuk tidak berlaku adil kepada mereka, tetapi amalkanlah keadilan terhadap setiap orang, baik terhadap teman ataupun musuh. Karena itulah disebutkan dalam firman selanjutnya:
“Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (Al-Maidah: 8)
Yakni sikap adilmu lebih dekat kepada takwa daripada kamu meninggalkannya. Fi'il yang ada dalam ayat ini menunjukkan keberadaan masdar yang dijadikan rujukan oleh damir-nya; perihalnya sama dengan hal-hal yang serupa lainnya dalam Al-Qur'an dan lain-lainnya. Sama halnya dengan pengertian yang ada di dalam firman-Nya: “Dan jika dikatakan kepada kalian, ‘Kembali (saja)lah’ maka hendaklah kalian kembali. Itu lebih bersih bagi kalian.” (An-Nur: 28)
Adapun firman Allah ﷻ: “Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (Al-Maidah: 8) Ungkapan ini termasuk ke dalam pemakaian af'alut tafdil di tempat yang tidak terdapat pembandingnya sama sekali. Perihalnya sama dengan apa yang terdapat di dalam firman Allah ﷻ yang lain, yaitu: “Penghuni surga pada hari itu paling baik tempat tinggalnya dan paling indah tempat istirahatnya.” (Al-Furqan: 24) Yakni seperti pengertian yang terkandung dalam perkataan seorang wanita dari kalangan sahabat Nabi ﷺ kepada Umar , "Kamu lebih kasar dan lebih keras, jauh (bedanya) dengan Rasulullah ﷺ."
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (Al-Maidah: 8) Maksudnya, Dia kelak akan membalas kalian atas apa yang telah Dia ketahui dari amal perbuatan yang kalian kerjakan. Jika amal itu baik, maka balasannya baik; dan jika amal itu buruk, maka balasannya akan buruk pula. Untuk itu selaras dengan pengertian ini disebutkan dalam firman selanjutnya:
Ayat 9
“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan yang beramal saleh, (bahwa) untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Maidah: 9)
Yakni ampunan bagi dosa-dosa mereka dan pahala yang besar, yaitu surga yang merupakan rahmat Allah kepada hamba-hamba-Nya. Surga tidak dapat diperoleh karena amal perbuatan mereka, melainkan hanya semata-mata sebagai rahmat dan kemurahan dari-Nya; sekalipun penyebab sampainya rahmat tersebut kepada mereka adalah karena amal perbuatan mereka, sebab Allah ﷻ sendirilah yang menjadikan penyebab-penyebab untuk memperoleh rahmat, kemurahan, ampunan, dan rida-Nya. Segala sesuatunya dari Allah dan milik Allah, segala puji dan anugerah adalah milik Allah.
Ayat 10
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu adalah penghuni neraka.” (Al-Maidah: 10) Hal ini merupakan sikap adil dari Allah ﷻ dan hikmah serta keputusan-Nya yang tiada kezaliman padanya, bahkan Dia Pemberi keputusan Yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana serta Maha Kuasa.
Ayat 11
Firman Allah ﷻ: “Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah kalian akan nikmat Allah (yang diberikan-Nya) kepada kalian, di waktu suatu kaum bermaksud memanjangkan tangannya kepada kalian (untuk berbuat jahat), maka Allah menahan tangan mereka dari kalian.” (Al-Maidah: 11)
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri yang menceritakannya dari Abu Salamah, dari Jabir, bahwa Nabi ﷺ turun istirahat di suatu tempat peristirahatan, dan orang-orang (para sahabat) memencar untuk bernaung di bawah pepohonan, lalu Nabi ﷺ menggantungkan senjata (pedang)nya di sebuah pohon. Lalu datanglah seorang Arab Badui ke tempat pedang Rasulullah ﷺ, kemudian ia mengambil pedang itu dan menghunusnya. Sesudah itu ia datang kepada Nabi ﷺ, mengancamnya seraya berkata, "Siapakah yang akan melindungi dirimu dariku?" Nabi ﷺ menjawab, "Allah ﷻ." Orang Arab Badui itu mengucapkan kata-kata berikut, "Siapakah yang melindungimu dariku?" (diucapkannya sebanyak dua atau tiga kali). Sedangkan Nabi ﷺ menjawabnya dengan kalimat, "Allah." Maka tangan orang Arab Badui itu lumpuh dan pedang terjatuh dari tangannya. Kemudian Nabi ﷺ memanggil para sahabatnya dan menceritakan kepada mereka tentang orang Arab Badui yang duduk di sebelahnya, tetapi Nabi ﷺ tidak menghukumnya.
Ma'mar mengatakan bahwa Qatadah menceritakan hal yang serupa, dan ia menyebutkan bahwa ada suatu kaum dari kalangan orang-orang Arab Badui yang bermaksud membunuh Rasulullah ﷺ, lalu mereka mengutus orang Arab Badui itu (salah seorang dari mereka yang pemberani).
Ia menakwilkan dengan pengertian tersebut akan firman-Nya: “Ingatlah kalian akan nikmat Allah (yang diberikan-Nya) kepada kalian, di waktu suatu kaum bermaksud hendak memanjangkan tangannya kepada kalian (untuk berbuat jahat).” (Al-Maidah: 11) hingga akhir ayat.
Kisah orang Arab Badui yang bernama Gauras ibnul Haris ini disebutkan di dalam kitab shahih. Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman Allah ﷻ: “Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah kalian akan nikmat Allah (yang diberikan-Nya) kepada kalian, di waktu suatu kaum bermaksud hendak memanjangkan tangannya kepada kalian (untuk berbuat jahat), maka Allah menahan tangan mereka dari kalian.” (Al-Maidah: 11) Demikian itu karena ada suatu kaum dari kalangan orang-orang Yahudi membuat suatu jamuan makan untuk Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya dengan maksud hendak membunuh mereka semua.
Maka Allah menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya yang memberitahukan perihal rencana kaum Yahudi itu. Maka Nabi ﷺ tidak datang ke jamuan makan itu dan hanya memerintahkan kepada para sahabat untuk mendatanginya. Maka mereka datang ke jamuan makan tersebut. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Abu Malik mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Ka'b ibnul Asyraf (pemimpin Yahudi) dan teman-temannya ketika mereka bermaksud melakukan pengkhianatan terhadap Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabatnya; hal ini mereka rencanakan di rumah Ka'b ibnul Asyraf. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar, Mujahid, dan Ikrimah serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang Bani Nadir ketika mereka bermaksud menimpakan batu penggilingan gandum ke tubuh Rasulullah ﷺ ketika Rasulullah ﷺ datang kepada mereka meminta bantuan berkenaan dengan diat orang-orang Amiriyin. Mereka menyerahkan tugas ini kepada Amr ibnu Jahsy ibnu Ka'b untuk melakukannya, dan mereka memerintahkan kepadanya apabila Nabi ﷺ telah duduk di bawah tembok dan mereka berkumpul menemuinya, hendaknya Amr menjatuhkan batu penggilingan gandum itu dari atas tembok tersebut. Maka Allah memperlihatkan kepada Nabi ﷺ makar jahat mereka itu. Akhirnya Nabi ﷺ kembali lagi ke Madinah, diikuti oleh para sahabatnya. Berkenaan dengan peristiwa tersebut turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya:
“Dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu bertawakal.” (Al-Maidah: 11)
Yaitu barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan menutupi semua kesusahannya dan memeliharanya dari kejahatan manusia serta melindunginya. Kemudian Rasulullah ﷺ memerintahkan agar para sahabat berangkat memerangi mereka. Akhirnya pasukan kaum muslim mengepung mereka dan mengalahkan serta mengusir mereka.
Pada ayat ini Allah menjanjikan pahala bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dengan ucapan yang sesuai dengan isi hati mereka dan membuktikannya dengan beramal saleh bahwa mereka akan mendapat ampunan atas dosa-dosa mereka dan pahala yang besar berupa surga. Setelah itu, Allah menyatakan pembalasan yang akan ditimpakan kepada orang-orang kafir. Adapun orang-orang yang kafir yang menolak ajakan Rasul dan mendustakan ayat-ayat Kami yang disampaikan melalui rasul-rasul Kami, mereka itulah yang akan menjadi penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Ayat ini memerintahkan kepada orang mukmin agar melaksanakan amal dan pekerjaan mereka dengan cermat, jujur dan ikhlas karena Allah, baik pekerjaan yang bertalian dengan urusan agama maupun pekerjaan yang bertalian dengan urusan kehidupan duniawi. Karena hanya dengan demikianlah mereka bisa sukses dan memperoleh hasil atau balasan yang mereka harapkan. Dalam persaksian, mereka harus adil menerangkan apa yang sebenarnya, tanpa memandang siapa orangnya, sekalipun akan menguntungkan lawan dan merugikan sahabat dan kerabat. Ayat ini senafas dan seirama dengan Surah an-Nisa/4:135 yaitu sama-sama menerangkan tentang seseorang yang berlaku adil dan jujur dalam persaksian. Perbedaannya ialah dalam ayat tersebut diterangkan kewajiban berlaku adil dan jujur dalam persaksian walaupun kesaksian itu akan merugikan diri sendiri, ibu, bapak dan kerabat, sedang dalam ayat ini diterangkan bahwa kebencian terhadap sesuatu kaum tidak boleh mendorong seseorang untuk memberikan persaksian yang tidak adil dan tidak jujur, walaupun terhadap lawan.
Selanjutnya secara luas dan menyeluruh, Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman supaya berlaku adil, karena keadilan dibutuhkan dalam segala hal, untuk mencapai dan memperoleh ketenteraman, kemakmuran dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh karena itu, berlaku adil adalah jalan yang terdekat untuk mencapai tujuan bertakwa kepada Allah.
Akhir ayat ini menyatakan janji Allah bahwa kepada orang yang beriman yang banyak beramal saleh akan diberikan ampunan dan pahala yang besar. Janji Allah pasti ditepati-Nya sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
"Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji." (Ali 'Imran/3:9).
Amal saleh ialah setiap pekerjaan yang baik, bermanfaat dan patut dikerjakan, baik pekerjaan ubudiyah seperti salat dan lain-lain, maupun pekerjaan seperti menolong fakir miskin, menyantuni anak yatim, dan perbuatan sosial lainnya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Bahagialah orang yang beriman!
Makanan mereka sudah diatur, sudah dijelaskan mana yang baik-baik, untuk boleh dimakan, dan mana yang keji-keji untuk jangan dimakan. Pergaulannya dengan lain agama yaitu Ahlul Kitab pun telah digariskan, yaitu supaya menunjukkan lapang dada atau toleransi. Sesudah itu telah dipimpin mereka berwudhu dan mandi junub atau penggantian dengan tayamum, untuk membersihkan jasmani dan ruhani. Sekarang diberi tuntunan lagi tentang sikap hidup di tengah masyarakat. Sekali lagi diseru,
Ayat 8
“Wahai orang-orang yang beriman! Hendaklah kamu menjadi manusia yang tulus karena Allah!"
Di sini terdapat kalimat qawwamin dari kata qiyarrt, yang artinya tegak lurus, Marfu'ur ra'si, maufuru kamarah! kepala tegak, harga diri penuh! Berjiwa besar karena hati bertauhid. Tidak ada tempat merundukkan diri melainkan Allah. Sikap lemah lembut, tetapi teguh dalam memegang kebenaran. Kata orang sekarang, “Berpribadi". Bukan lemah lunglai direbah-rebahkan angin ke mana hendak dibawanya, lemah pendirian dan mudah ditawar. Bukan begitu orang Mukmin. Wajah yang sekurang-kurangnya lima kali sehari semalam menghadap Allah, yang tegak berdiri ketika memulai shalat, yang ruku' hanya kepada Allah dan sujud hanya kepada Allah, tidaklah mudah direbahkan oleh yang lain. Tidak termuram terhuyung-huyung karena ditimpa musibah, tidak pula melambung laksana balon ketika masih berisi angin ketika mendapat keuntungan, sehabis angin mengerucut turun.
“Menjadi saksi dengan adil." Kalau seorang Mukmin diminta kesaksiannya dalam suatu hal atau perkara, hendaklah dia memberikan kesaksian yang sebenarnya saja, yakni yang adil. Tidak membelok-belik karena pengaruh sayang atau benci, karena lawan atau kawan, karena yang dihadapi akan diberikan kesaksian tentangnya kaya, lalu segan karena kayanya. Atau miskin, lalu kasihan karena kemiskinannya. Katakan apa yang engkau tahu dalam hal itu, katakan yang sebenarnya, walaupun kesaksian itu akan menguntungkan orang yang tidak engkau senangi, atau merugikan orang yang engkau senangi.
“Dan janganlah menimbulkan benci padamu penghalangan dari satu kaum, bahwa kamu tidak akan adil." Misalnya orang yang akan engkau berikan kesaksianmu atasnya itu, dahulu pernah berbuat suatu penghalangan yang menyakitkan hatimu, maka, janganlah kebencianmu itu menyebabkan kamu memberikan kesaksian dusta untuk melepaskan sakit hatimu kepadanya sehingga kamu tidak berlaku adil lagi. Kebenaran yang ada di pihak dia, jangan dikhianati karena rasa bencimu. Karena kebenaran akan kekal dan rasa benci adalah perasaan bukan asli dalam jiwa, itu adalah hawa dan nafsu yang satu waktu akan mereda teduh. “Berlaku adillah! Itulah yang akan melebih dekatkan kamu kepada takwa."
Keadilan adalah pintu yang terdekat kepada takwa, sedang rasa benci adalah membawa jauh dari Allah. Apabila kamu telah dapat menegakkan keadilan, jiwamu sendiri akan merasai kemenangan yang tiada taranya, dan akan membawa martabatmu naik di sisi manusia dan di sisi Allah. Lawan adil adalah zalim; dan zalim adalah salah satu dari puncak maksiat kepada Allah. Maksiat akan menyebabkan jiwa sendiri menjadi merumuk dan merana. “Dan takwalah kepada Allah." Artinya, peliharalah hubungan yang baik dengan Allah, supaya diri lebih dekat kepada Allah.
“Sesungguhnya Allah amat Mengetahui apa jua pun yang kamu keyakan."
Jiwa manusia di bawah pengawasan Allah, adakah dia setia memegang keadilan atau tidak. Jika masyarakat Islam telah diberi Allah kurnia kekuasaan, mengatur pemerintahan, adakah dia adil atau tidak. Selalu dikisahkan dalam Al-Qur'an bahaya yang menimpa suatu umat karena zalimnya. Apabila yang berkuasa tidak adil maka yang dikuasai akan menderita dan patah hati, masa bodoh. Akhirnya hilanglah wibawa dan kemegahan umat itu, dan mudahlah masuk kekuatan musuh ke dalamnya, dan mudahlah dirampas kemerdekaannya. Itulah ancaman adzab siksaan dunia, dan akan datang lagi di akhirat. Nabi kita ﷺ menurut sebuah hadits yang dirawikan oleh ath-Thabrani dari Jabir pernah
“Kalau ahli dzimmah telah dianiaya, maka pemerintahan negeri itu adalah pemerintahan musuh." (HR ath-Thabrani)
Sebagai dimaklumi, ahli dzimmah ialah pemeluk agama lain di dalam pemerintahan Islam yang wajib dilindungi dan diperlakukan adil. Kalau keadilan kepada mereka tak ada lagi, samalah pemerintahan begitu dengan pemerintahan musuh.
Sebagaimana telah kita terangkan dalam kata pendahuluan tafsir surah ini, di antara surah al-Maa'idah ini dan surah an-Nisaa' adalah lengkap melengkapi dan isi mengisi. Sebab itu di dalam merenungkan ayat 8 dari surah al-Maa'idah ini, seyogianyalah kita per-talikan merenungkannya dengan ayat 134 dari surah an-Nisaa' yang telah lalu. Dan kedua ayat ini jelas membayangkan—dalam rangka keduanya diturunkan di Madinah—bahwa masyarakat Islam mulai tegak, dan kekuasaan mulai terbentuk, sebab itu di samping keteguhan iman kepada Allah, wajiblah tegak adil dalam masyarakat, dan keadilan ialah jalan yang paling dekat menuju takwa. Setelah keadilan tegak, datanglah janji Allah.
Ayat 9
“Telah menjanjikan Allah kepada orang-orang yang beriman dan beramat yang saleh-saleh."
Pertama ialah imannya kepada Allah, kedua ialah amalnya, kegiatan hidupnya, buah dari usahanya untuk sesama manusia, yang berdasar atas keadilan itu.
“Untuk mereka ampunan dan ganjaran yang besar."
Orang beriman adalah orang yang suka bekerja, orang yang tidak pernah menghentikan tangan, dan tujuannya senantiasa baik, saleh. Amal yang saleh bukan semata-mata membilang tasbih. Setiap kegiatan hidup untuk diri dan masyarakat adalah amal. Tetapi karena pengalaman di dalam hidup yang hanya sekali ini, dan sesudah ini tidak ada lagi reserve (serap) hidup, sudah pasti akan terdapat yang salah. Maka janganlah takut berjumpa yang salah. Karena kesalahan adalah untuk menambah pengalaman. Asal iman teguh, jiwa teguh karena Allah, dan niat beramal tetap baik, maka kalau bertemu suatu kekhilafan, niscaya akan diberi ampun oleh Allah, bahkan akan diberi pahala juga. Jika benar ijtihad, dan benar pula hasilnya. Mendapat dua pahala, pahala ijtihad dan pahala kebenaran hasil, jika telah mulai ijtihad, lalu berakibat salah, mendapat juga satu pahala, yaitu pahala ijtihad dan tidak diberi dosa karena salah akibat, sebab bukan itu yang disengaja. Bekerja tidaklah salah, walaupun ada kekhilafan, kesalahan yang paling besar ialah tidak mau bekerja karena takut akan salah. Itulah sebab Allah menjanjikan bagi Mukmin yang beramal ampunan atas kekhilafan dan ganjaran atau pahala karena telah bekerja.
Ayat 10
“Dan orang-orang yang kufur, dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu akan menjadi sahabat neraka."
Ini adalah sebaliknya dari yang tersebut sebelumnya. Orang yang tidak beriman, yaitu kufur, tidak mau percaya kepada Allah dan Rasul. Oleh sebab iman tidak ada, amal pun tidak pula saleh, melainkan fasiqlah yang banyak, sebab dasar tidak ada. Lantaran iman tidak ada, ayat-ayat dan perintah Allah di-dustakannya, dia tidak mau percaya dan tidak
mau menjalankan. Di mana tempat yang layak buat orang ini? Menurut hukum keadilan Ilahi, tentu saja nerakalah tempatnya. Sengsara hidup di dunia, gersang dan kotor jiwa, neraka pula di akhirat. Mungkin pernah juga mereka beramal, mungkin ada juga yang baik, tetapi karena dasarnya tidak ada, yaitu percaya kepada Allah, maka hasil amal itu menjadi percuma. Dia tidak berurat dan berakar dari jiwa.
Ayat 11
“Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah olehmu nikmat Allah atas kamu, tatkala berniat jahat suatu kaum hendak mengulurkan tangan mereka kepada kamu, maka telah dihalangi-Nya tangan mereka itu daripada kamu."
Dalam satu riwayat, suatu hari suatu kaum dari pihak musuh telah mengutus orangnya yang berani untuk membunuh Rasulullah ﷺ ketika beliau terpencil. Ada pula riwayat Khaurats bin al-Harits dari Bani Muhraib, menurut riwayat al-Hakim dari hadits Jabir, bahwa si Khaurats pada suatu hari sedang Rasulullah terpencil seorang diri, telah datang dengan pedang terhunus, lalu dibangunkannya Rasulullah yang tengah tertidur dan sambil menyentak pedang itu dia bertanya,
“Siapa yang dapat menghalangiku jika engkau aku bunuh?"
Rasulullah menjawab, “Allah!" Mendengar sebutan nama Allah itu, gemetar tubuh orang itu dan terlepas pedang dari tangannya. Lalu pedang itu beliau ambil dan beliau pula sekarang yang bertanya, “Siapa yang dapat menghalangiku jika engkau aku bunuh?" Orang itu tidak dapat menjawab, siapa yang akan dapat menghalangi kalau dia yang dibunuh. Dia akhirnya hanya berkata, “jadilah yang sebaik-baik orang yang mengambil!" Artinya, “Beri maaflah aku!" Lalu Rasulullah bertanya kepadanya, “Apakah engkau suka naik saksi bahwa tidak ada tuhan melainkan Allah dan bahwa aku adalah Rasulullah?" Dia menjawab,
“Mulai sekarang aku berjanji tidak lagi akan memerangi engkau, dan tidak akan membantu tiap kaum yang memerangi engkau." Dia pun dilepaskan oleh Rasulullah. Sesampainya pada kaumnya, berkatalah dia pada mereka, “Sesungguhnya aku telah kembali dari manusia yang paling baik."
Dalam riwayat lain, pedang itu adalah pedang Nabi sendiri sedang tergantung dan Nabi tertidur, diambilnya pedang itu. Dan kata riwayat lain Suraqah bin Malik.
Ada lagi riwayat, bahwa ayat ini turun memperingatkan ketika Rasulullah nyaris mati dijatuhi batu besar yaitu lesung batu dari suatu rumah di kampung Bani Nadhir ketika beliau bersandar di dinding rumah mereka.
Maka riwayat yang mana pun, namun sudah terkenal dalam catatan riwayat bahwa telah berkali-kali, sejak lagi di Mekah beliau hendak dibunuh orang. Bahkan sebabnya maka disuruh hijrah, ialah karena telah putus mufakat Quraisy hendak membunuh beliau. Maka baik satu di antara kejadian itu, maupun semuanya itu, diperingatkanlah dalam ayat ini kembali, yakni di dalam Haji Wada', bahwa suatu kaum, yaitu pembenci-pembenci Islam telah pernah berniat jahat mengulurkan tangan hendak menganiaya kamu, yaitu membunuh Nabi kamu. Kalau sekiranya salah satu maksud jahat itu berhasil, niscaya tidaklah terjadi apa yang terjadi sekarang, yaitu kejadian Islam dan Muslimin di bawah pimpinan Rasul sampai berhasil. Sehingga sampai dekat melakukan Haji Wada'. Sebab waktu itu peringatan ini disuruh kenangkan oleh Allah. Mereka hendak membunuh Rasulullah, baik orang seorang atau bersama, semuanya adalah satu kaum belaka, yaitu tersebab kafir mereka. Tetapi semua maksud jahat itu digagalkan oleh Allah. Tangan mereka yang telah terulur hendak membunuh Rasul ditarik atau dihelakan oleh Allah. Kemudian sebagai penutup kenang-kenangan yang buruk itu Allah berfirman,
“Dan takwalah kepada Allah, dan kepadallah hendaklah bertawakal orang-orang yang bertawakal."
Peringatan di ujung ayat ini memberi peringatan kepada orang yang beriman, bahwasanya Rasulullah ﷺ telah terlepas dari segala macam bahaya itu ialah karena dia tetap berpegang kepada dua syarat perjuangan, pertama takwa dan kedua tawakal. Yaitu dua alat hati yang sekali-kali tidak boleh berpisah. Dengan takwa, hubungan dengan Allah tetap terpelihara dan Allah senantiasa dalam ingatan. Dijaga segala perintah-Nya dan dihentikan segala larangan-Nya, dan di samping itu selalu bertawakal, yaitu menyerahkan diri kepada-Nya, mempercayai bahwasanya apa yang ditentukan-Nya, itulah yang mesti jadi. Lantaran itu Allah pun melepaskannya dari bahaya, betapa pun besarnya. Misalnya ketika beliau nyaris ditimpa dengan lesung batu besar dari puncak sutuh rumah Yahudi Bani Nadhir itu. Beliau tadinya sedang enak-enak bersandar di dinding, berlepas lelah, karena beliau datang ke sana diiringkan oleh Abu Bakar r.a. hendak memungutkan uang derma, guna membayar diyat orang yang mati terbunuh oleh mujahid Islam dengan salah, sebab orang itu telah diperbuat pula perjanjian dengan Yahudi, terutama Bani Nadhir itu, ketika mula-mula Rasulullah ﷺ pindah ke Madinah, bahwa akan hidup bertetangga secara baik, akan bantu-membantu.
Itu sebab Rasulullah ﷺ datang ke kampung mereka. Tetapi setelah mereka lihat Rasulullah bersandar-sandar dengan enaknya itu, timbullah niat jahat hendak membunuh beliau dengan menimpakan lesung besar dari sutuh rumah (sutuh ialah atap rumah yang datar) Sebab mereka lihat tidak ada kesempatan yang sebagus itu lagi. Tiba-tiba tergerak saja hati Rasulullah berhindar cepat dari tempat itu sebelum pekerjaan jahat itu terlaksana. Siapa yang melindungi beliau, kalau bukan Allah, karena tawakal beliau kepada Allah? Demikian juga orang yang hen-dak membunuh beliau dengan pedang itu. Mengapa dia ambil pedang beliau, lalu beliau dibangunkan dan ditanyai, siapa yang menghalanginya kalau dia hendak membunuh beliau? Mengapa tidak terus saja dipancungnya sedang beliau tidur? Siapa yang menakdirkan demikian kalau bukan Allah. Karena beliau tawakal! Ketika beliau bersembunyi dua hari di dalam Gua Tsur. Mengapa pencari-pencari itu tidak menekurkan kepala sedikit saja, untuk melihat beliau dari lubang gua, padahal beliau dan Abu Bakar telah melihat kaki-kaki mereka? Sampai Abu Bakar sudah cemas? Siapa yang memalingkan mata mereka kalau bukan ketentuan Allah? Ini semuanya adalah lantaran tawakal. Kalau tidak mati kata Allah, tidak akan mati. Semua bahaya ini terlepas dari Rasulullah, dan Islam telah tegak. Oleh sebab itu, di ujung ayat Allah menegaskan bahwa tawakal itu bukanlah pakaian Nabi Muhammad ﷺ saja, tetapi hendaklah menjadi pegangan bagi tiap-tiap orang yang beriman. “Kepada Allah hendaklah bertawakal orang-orang yang bertawakal." Artinya, serahkanlah diri sebulat-bulatnya, meskipun ikhtiar sendiri pun tidak boleh berhenti. Maka Allah-lah yang lebih tahu apa yang baik buat kita. Apakah kita akan dibiarkan hidup, terlepas dari bahaya, untuk menyambung amal?
Ataukah akan dimatikan teraniaya sehingga mencapai syahid? Allah yang tahu, sebab itu kepada Allah kita bertawakal. Dan kita pun yakin, bahwa apa yang dipilihkan Allah buat kita, itulah yang baik.
Tawakal menghilangkan kebimbangan dan menimbulkan keberanian. Misalnya saja kita naik kendaraan untuk musafir ke mana-mana. Entah naik kapal; kapal mungkin tenggelam. Naik kereta api; kereta api mungkin terbalik di tengah jalan, karena kelalaian pengurusnya. Naik kapal udara; kapal udara karena kabut dan awan tebal, bisa saja tertumbuk pada gunung. Mobil pun bisa saja meluncur ke dalam lurah yang dalam. Dari semua bahaya itu kita bisa mati hancur, terbakar atau tenggelam dalam laut. Mati mudah saja, terutama di zaman modern ini. Banyak rencana kita akan tergendala kalau kita bimbang. Tetapi kalau sejak dari semula kita bertawakal, menyerah diri kepada Allah, kebimbangan itu akan dapat dipadamkan. Kita sudah percaya bahwa apa yang telah dituliskan Allah, tidaklah dapat dihapus dengan waswas kita.
Dan apa pun yang akan kejadian, kita tetap berserah diri kepada-Nya. Misalkan kita waswas kalau kita mati, anak-anak akan telantar. Itu pun kita tawakal kepada Allah, sebab Allah yang menjamin hidup kita. Allah juga yang menjamin kehidupan dan rezeki anak-anak kita.
Demikianlah seterusnya dalam lapangan kehidupan ini.