Ayat
Terjemahan Per Kata
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلرَّسُولُ
Rasul
بَلِّغۡ
sampaikanlah
مَآ
apa
أُنزِلَ
diturunkan
إِلَيۡكَ
kepadamu
مِن
dari
رَّبِّكَۖ
Tuhanmu
وَإِن
dan jika
لَّمۡ
tidak
تَفۡعَلۡ
kamu kerjakan
فَمَا
maka tidak
بَلَّغۡتَ
kamu menyampaikan
رِسَالَتَهُۥۚ
risalahNya
وَٱللَّهُ
dan Allah
يَعۡصِمُكَ
Dia memelihara kamu
مِنَ
dari
ٱلنَّاسِۗ
manusia
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
لَا
tidak
يَهۡدِي
Dia memberi petunjuk
ٱلۡقَوۡمَ
kaum
ٱلۡكَٰفِرِينَ
orang-orang kafir
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلرَّسُولُ
Rasul
بَلِّغۡ
sampaikanlah
مَآ
apa
أُنزِلَ
diturunkan
إِلَيۡكَ
kepadamu
مِن
dari
رَّبِّكَۖ
Tuhanmu
وَإِن
dan jika
لَّمۡ
tidak
تَفۡعَلۡ
kamu kerjakan
فَمَا
maka tidak
بَلَّغۡتَ
kamu menyampaikan
رِسَالَتَهُۥۚ
risalahNya
وَٱللَّهُ
dan Allah
يَعۡصِمُكَ
Dia memelihara kamu
مِنَ
dari
ٱلنَّاسِۗ
manusia
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
لَا
tidak
يَهۡدِي
Dia memberi petunjuk
ٱلۡقَوۡمَ
kaum
ٱلۡكَٰفِرِينَ
orang-orang kafir
Terjemahan
Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu. Jika engkau tidak melakukan (apa yang diperintahkan itu), berarti engkau tidak menyampaikan risalah-Nya. Allah menjaga engkau dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang kafir.
Tafsir
(Hai rasul, sampaikanlah) semua (yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu) dan janganlah kamu sembunyikan sesuatu pun daripadanya karena takut akan mendapatkan hal-hal yang tidak diinginkan (dan jika tidak kamu lakukan) tidak kamu sampaikan semua yang diturunkan padamu itu (berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya) risalah dengan tunggal atau jamak karena menyembunyikan sebagian berarti menyembunyikan semuanya. (Dan Allah memelihara kamu dari manusia) agar tidak sampai membunuhmu. Pada mulanya Rasulullah ﷺ itu dikawal sampai turun ayat ini, lalu sabdanya, "Pergilah karena sesungguhnya Allah memeliharaku!" Riwayat Hakim. (Sesungguhnya Allah tidak memberikan bimbingan kepada kaum yang kafir.).
Tafsir Surat Al-Ma'idah: 67
Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu) berarti kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
Allah ﷻ berfirman seraya berkhitab kepada hamba dan Rasul-Nya yaitu Nabi Muhammad ﷺ dengan menyebut kedudukannya sebagai seorang rasul. Allah memerintahkan kepadanya untuk menyampaikan semua yang diutuskan (disampaikan) oleh Allah melaluinya, dan Rasulullah ﷺ telah menjalankan perintah tersebut serta menunaikannya dengan sempurna.
Imam Bukhari mengatakan sehubungan dengan tafsir ayat ini, bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yusuf, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Ismail, dari Asy-Sya'bi, dari Masruq, dari Siti Aisyah yang mengatakan, "Barang siapa yang mengatakan bahwa Muhammad menyembunyikan sesuatu dari apa yang diturunkan oleh Allah kepadanya, sesungguhnya dia telah berdusta," seraya membacakan firman-Nya: “Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.” (Al-Maidah: 67) hingga akhir ayat. Demikianlah bunyi riwayat ini secara ringkas dalam kitab ini.
Imam Bukhari dan Imam Muslim telah mengetengahkannya di berbagai tempat dalam kitab Shahih masing-masing secara panjang lebar. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitabul Iman. Imam At-Tirmidzi dan Imam An-Nasai di dalam kitab tafsir dari kitab Sunannya telah meriwayatkannya melalui berbagai jalur, dari Amir Asy-Sya'bi, dari Masruq ibnul Ajda', dari Siti Aisyah.
Di dalam kitab Shahihain, dari Siti Aisyah disebutkan bahwa ia pernah mengatakan, "Seandainya Muhammad ﷺ menyembunyikan sesuatu dari Al-Qur'an, niscaya dia akan menyembunyikan ayat ini," yaitu firman-Nya: “Sedangkan kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, padahal Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti.” (Al Ahzab 37)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Mansur Ar-Ramadi, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Abbad, dari Harun ibnu Antrah, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ketika ia berada di hadapan Ibnu Abbas, tiba-tiba datanglah seorang lelaki. Kemudian lelaki itu berkata, "Sesungguhnya banyak orang yang berdatangan kepada kami. Mereka menceritakan kepada kami bahwa pada kalian terdapat sesuatu yang belum pernah Rasulullah ﷺ jelaskan kepada orang lain." Maka Ibnu Abbas menjawab, "Bukankah kamu ketahui bahwa Allah ﷻ telah berfirman: ‘Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.’ (Al-Maidah: 67) Demi Allah, Rasulullah ﷺ tidak mewariskan kepada kami (ahlul bait) sesuatu hal yang disembunyikan." Sanad atsar ini berpredikat jayyid (baik).
Hal yang sama disebutkan di dalam kitab Shahih Bukhari melalui riwayat Abu Juhaifah, yaitu Wahb ibnu Abdullah Asai, yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Khalifah Ali ibnu Abu Thalib, "Apakah di kalangan kalian (ahlul bait) terdapat sesuatu dari wahyu yang tidak terdapat di dalam Al-Qur'an?" Maka Khalifah Ali menjawab, "Tidak, demi Tuhan yang menumbuhkan biji-bijian dan yang menciptakan manusia, kecuali hanya pemahaman yang diberikan oleh Allah kepada seseorang mengenai Al-Qur'an dan apa yang terdapat di dalam lembaran ini." Aku bertanya, "Apakah yang terdapat di dalam lembaran ini?" Khalifah Ali ibnu Abu Thalib menjawab, "Masalah aql (diat), membebaskan tawanan, dan seorang muslim tidak boleh dihukum mati karena membunuh seorang kafir."
Imam Bukhari mengatakan bahwa Az-Zuhri pernah berkata, "Risalah adalah dari Allah, dan Rasul berkewajiban menyampaikannya, sedangkan kita diwajibkan menerimanya. Umatnya telah menyaksikan bahwa beliau ﷺ telah menyampaikan risalah dan menunaikan amanat Tuhannya, serta menyampaikan kepada mereka dalam perayaan yang paling besar melalui khotbahnya, yaitu pada haji wada'. Saat itu di tempat tersebut terdapat kurang lebih empat puluh ribu orang dari kalangan sahabat-sahabatnya."
Di dalam kitab Shahih Muslim disebutkan dari Jabir ibnu Abdullah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda dalam khotbah haji wada'nya: “Wahai manusia, sesungguhnya kalian akan ditanyai mengenai diriku, maka apakah yang akan kalian katakan?” Mereka menjawab, “Kami bersaksi bahwa engkau telah menunaikan risalah dan menyampaikan amanat serta menasihati umat." Maka Rasulullah ﷺ mengangkat jari telunjuknya ke langit, lalu menunjukkannya kepada mereka seraya bersabda: “Ya Allah apakah aku telah menyampaikan?”
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Namir, telah menceritakan kepada kami Fudail (yakni ibnu Gazwan), dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang telah menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda dalam haji wada', "Wahai manusia hari apakah sekarang?" Mereka menjawab, "Hari yang suci." Rasulullah ﷺ bersabda, "Negeri apakah ini?" Mereka menjawab, "Negeri (kota) yang suci." Rasulullah ﷺ bertanya, "Bulan apakah sekarang?" Mereka menjawab, "Bulan suci." Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Maka sesungguhnya harta kalian, darah kalian, dan kehormatan kalian diharamkan atas kalian sebagaimana haramnya hari kalian sekarang ini di negeri kalian ini dan dalam bulan kalian ini.” Rasulullah ﷺ mengulangi ucapan ini berkali-kali, lalu mengangkat telunjuknya ke (arah) langit dan bersabda: “Ya Allah, apakah aku telah menyampaikan?” Ucapan ini diulangnya berkali-kali. Ibnu Abbas mengatakan, "Demi Allah, hal ini merupakan wasiat yang beliau tunjukkan kepada Tuhannya, yakni beliau ﷺ menitipkan umatnya kepada Allah ﷻ." Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda: “Ingatlah, hendaklah orang yang hadir menyampaikannya kepada orang yang tidak hadir. Janganlah kalian kembali menjadi kafir sesudahku, sebagian dari kalian memukul leher sebagian yang lainnya.”
Imam Bukhari telah meriwayatkan dari Ali ibnul Madini, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Fudail ibnu Gazwan dengan sanad yang sama dan lafal yang serupa.
Firman Allah ﷻ: “Jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu) berarti kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” (Al-Maidah: 67)
Yakni jika engkau tidak menyampaikannya kepada manusia apa yang telah Aku perintahkan untuk menyampaikannya, berarti engkau tidak menyampaikan risalah yang dipercayakan Allah kepadamu. Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa telah diketahui konsekuensi hal tersebut seandainya terjadi.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu) berarti kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” (Al-Maidah: 67) Yaitu jika engkau sembunyikan barang suatu ayat yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, berarti engkau tidak menyampaikan risalah-Nya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Qubaihah ibnu Uqbah, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari seorang laki-laki, dari Mujahid yang mengatakan bahwa ketika diturunkan firman-Nya: “Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.” (Al-Maidah: 67) Nabi Muhammad berkata, "Ya Tuhanku, apakah yang harus aku perbuat, sedangkan aku sendirian, tentu mereka akan mengeroyokku." Maka turunlah firman-Nya: “Jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu) berarti kamu tidak menyampaikan amanat-Nya.” (Al-Maidah: 67)
Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui jalur Sufyan Ats-Tsauri dengan sanad yang sama.
Firman Allah ﷻ: “Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.” (Al-Maidah: 67)
Yakni sampaikanlah olehmu risalah-Ku, dan Aku akan memeliharamu, menolongmu, dan mendukungmu serta memenangkanmu atas mereka. Karena itu kalian jangan takut dan jangan pula bersedih hati, karena tiada seorang pun dari mereka dapat menyentuhmu dengan keburukan yang menyakitkanmu.
Sebelum ayat ini diturunkan, Nabi ﷺ selalu dikawal. Seperti yang disebutkan oleh Imam Ahmad, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Yahya yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnu Amir ibnu Rabi'ah menceritakan, "Siti Aisyah pernah bercerita bahwa di suatu malam Rasulullah ﷺ begadang, sedangkan Siti Aisyah berada di sisinya. Siti Aisyah bertanya, 'Apakah gerangan yang membuatmu gelisah, wahai Rasulullah ﷺ?' Maka Rasulullah bersabda: ‘Mudah-mudahan ada seorang lelaki saleh dari sahabatku yang mau menjagaku malam ini'." Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, "Ketika kami berdua dalam keadaan demikian, tiba-tiba aku (Siti Aisyah) mendengar suara senjata, maka Rasulullah ﷺ bertanya, 'Siapakah orang ini?' Seseorang menjawab, 'Saya Sa'd ibdu Malik.' Rasulullah ﷺ bertanya, 'Apa yang sedang kamu lakukan?' Sa'd menjawab, 'Aku datang untuk menjagamu, wahai Rasulullah'." Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, "Tidak lama kemudian aku mendengar suara tidur Rasulullah ﷺ.”
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya melalui jalur Yahya ibnu Sa'id Al-Ansari dengan lafal yang sama.
Menurut suatu lafal, Rasulullah ﷺ begadang di suatu malam, yaitu setibanya di Madinah sesudah hijrahnya dan sesudah mencampuri Siti Aisyah. Hal ini terjadi pada tahun dua Hijriah. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Marzuq Al-Basri yang tinggal di Mesir, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Al-Haris ibnu Ubaid (yakni Abu Qudamah), dari Al- Jariri, dari Abdullah ibnu Syaqiq, dari Siti Aisyah yang menceritakan bahwa Nabi ﷺ selalu dikawal dan dijaga sebelum ayat ini diturunkan, yaitu firman-Nya: “Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.” (Al-Maidah: 67) Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, "Setelah itu Rasulullah ﷺ mengeluarkan kepala dari kemahnya dan bersabda: ‘Wahai manusia, bubarlah kalian, sesungguhnya Allah ﷻ telah menjaga diri kami’."
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi melalui Abdu ibnu Humaid dan Nasr ibnu Ali Al-Jahdami, keduanya dari Muslim ibnu Ibrahim dengan sanad yang sama.
Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini gharib. Juga telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui jalur Muslim ibnu Ibrahim dengan sanad yang sama, kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih, tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak mengetengahkannya. Telah diriwayatkan pula oleh Sa'id ibnu Mansur, dari Al-Haris ibnu Ubaid Abu Qudamah Al-Ayadi, dari Al-Jariri, dari Abdullah ibnu Syaqiq, dari Siti Aisyah dengan lafal yang sama.
Imam At-Tirmidzi mengatakan, sebagian dari mereka ada yang meriwayatkan hadits ini dari Al-Jariri, dari Ibnu Syaqiq yang menceritakan bahwa pada mulanya Nabi ﷺ selalu dikawal sebelum ayat ini diturunkan. Tetapi di dalam riwayat ini tidak disebutkan nama Siti Aisyah. Menurut hemat kami, demikian pula yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari jalur Ismail ibnu Ulayyah; dan Ibnu Mardawaih melalui jalur Wuhaib, keduanya dari Al-Jariri, dari Abdullah ibnu Syaqiq secara mursal. Hadits ini telah diriwayatkan secara mursal melalui Sa'id ibnu Jubair dan Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi. Keduanya diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan ibnu Mardawaih.
Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman Ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Rasyidin Al-Masri, telah menceritakan kepada kami Khalid ibnu Abdus Salam As-Sadfi, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnul Mukhtai, dari Abdullah ibnu Mauhib, dari Ismah ibnu Malik Al-Katmi yang menceritakan bahwa kami selalu mengawal Rasulullah ﷺ di malam hari hingga turun firman-Nya: “Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.” (Al-Maidah: 67) Setelah ayat ini diturunkan, pengawalan pun dibubarkan.
Telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Muhammad ibnu Ahmad Abu Nasr Al-Katib Al-Bagdadi, telah menceritakan kepada kami Kardus ibnu Muhammad Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami Ya'la ibnu Abdur Rahman, dari Fudail ibnu Marzuq, dari Atiyyah, dari Abu Sa'id Al-khudri yang menceritakan bahwa Al- Abbas paman Rasulullah ﷺ termasuk salah seorang yang ikut mengawal Nabi ﷺ. Setelah ayat ini diturunkan, yaitu firman-Nya: “Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.” (Al-Maidah: 67) maka Rasulullah ﷺ meninggalkan penjagaan, yakni tidak mau dikawal lagi.
Telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abu Hamid Al-Madini, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Muhammad ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Mufaddal ibnu Ibrahim Al-Asy'ari, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Mu'awiyah ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami ayahku, bahwa ia pernah mendengar Abuz Zubair Al-Makki menceritakan hadits berikut dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa dahulu apabila Rasulullah ﷺ keluar, maka Abu Thalib mengirimkan seseorang untuk menjaganya, hingga turun firman-Nya: “Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.” (Al-Maidah: 67) Setelah ayat ini diturunkan dan Abu Thalib mengutus seseorang untuk menjaga Rasulullah ﷺ, maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Wahai paman, sesungguhnya Allah telah menjaga diriku (dari gangguan manusia), maka sekarang aku tidak memerlukan lagi penjaga (pengawal pribadi) yang engkau kirimkan.”
Hadits ini gharib, dan di dalamnya terdapat hal yang tidak dapat diterima, mengingat ayat ini adalah Madaniyah, sedangkan pengertian hadits menunjukkan kejadiannya berlangsung dalam periode Makkiyah.
Sulaiman ibnu Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abdul Majid Al-Hammani, dari An-Nadr, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa dahulu Rasulullah ﷺ selalu dikawal. Abu Taliblah yang selalu mengirimkan beberapa orang lelaki dari kalangan Bani Hasyim untuk mengawal dan menjaga Nabi ﷺ setiap harinya hingga turun kepada Nabi ﷺ firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu) berarti kamu tidak menyampaikan amanatnya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.” (Al-Maidah: 67). Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, "Lalu paman Nabi ﷺ bermaksud mengirimkan orang-orang untuk mengawal Nabi ﷺ. Maka Nabi ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah telah memelihara diriku dari (gangguan) jin dan manusia.”
Imam Ath-Thabarani meriwayatkannya dari Ya'qub ibnu Gailan Al-Ammani, dari Abu Kuraib dengan sanad yang sama. Hadits ini pun berpredikat gharib, karena pendapat yang benar adalah yang mengatakan bahwa ayat ini adalah Madaniyah, bahkan ayat ini termasuk salah satu dari ayat-ayat yang paling akhir diturunkan oleh Allah ﷻ. Termasuk pemeliharaan Allah ﷻ kepada Rasul-Nya ialah Allah menjaga Rasulullah ﷺ dari perlakuan jahat penduduk Mekah, para pemimpinnya, orang-orangnya yang dengki dan yang menentang beliau, serta para hartawannya yang selalu memusuhi dan membenci beliau, selalu memeranginya siang dan malam. Allah memelihara diri Nabi ﷺ dari ulah jahat mereka dengan berbagai sarana yang diciptakan oleh-Nya melalui kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya yang besar. Pada permulaan masa risalah Nabi ﷺ, Allah memelihara beliau melalui pamannya, yaitu Abu Thalib; mengingat Abu Thalib adalah seorang pemimpin yang besar lagi ditaati di kalangan orang-orang Quraisy.
Allah menciptakan rasa cinta secara naluri kepada Rasulullah ﷺ di dalam kalbu Abu Thalib, tetapi bukan cinta secara syar'i. Seandainya Abu Thalib adalah orang yang telah masuk Islam, niscaya orang-orang kafir dan para pembesar Mekah berani mengganggu Nabi ﷺ. Akan tetapi, karena antara Abu Thalib dan mereka terjalin kekufuran yang sama, maka mereka menghormati dan segan kepadanya. Setelah paman Nabi ﷺ yaitu Abu Thalib meninggal dunia, orang-orang musyrik baru dapat menimpakan sedikit gangguan yang menyakitkan terhadap diri Nabi ﷺ.
Tetapi tidak lama kemudian Allah membentuk kaum Anshar yang menolongnya; mereka berbaiat kepadanya untuk Islam serta meminta kepada beliau agar pindah ke negeri mereka, yaitu Madinah. Setelah Nabi ﷺ tiba di Madinah, maka orang-orang Anshar membela Nabi ﷺ dari gangguan dan serangan segala bangsa. Setiap kali seseorang dari kaum musyrik dan kaum Ahli Kitab melancarkan tipu muslihat jahat terhadap diri beliau ﷺ, maka Allah menangkal tipu daya mereka dan mengembalikan tipu muslihat itu kepada perencananya sendiri.
Orang Yahudi pernah melancarkan tipu muslihat terhadap diri Nabi ﷺ melalui sihirnya, tetapi Allah memelihara diri Nabi ﷺ dari kejahatan sihir mereka, dan diturunkan-Nya kepada Nabi ﷺ dua surat mu'awwizah sebagai obat untuk menangkal penyakit itu. Dan ketika seorang Yahudi meracuni masakan kaki (kikil) kambing yang mereka kirimkan kepadanya di Khaibar, Allah memberitahukan hal itu kepada Nabi ﷺ dan memelihara diri Nabi ﷺ dari racun tersebut. Hal-hal seperti itu banyak sekali terjadi, kisahnya panjang bila dituturkan; antara lain ialah apa yang disebutkan oleh ulama tafsir dalam pembahasan ayat ini.
Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Haris, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz, telah menceritakan kepada kami Abu Ma'syar, dari Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi dan lain-lainnya yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ apabila turun di suatu tempat, maka para sahabatnya memilihkan buatnya sebuah pohon yang rindang, lalu beliau ﷺ merebahkan diri beristirahat di bawahnya. Dan ketika beliau ﷺ dalam keadaan demikian, datanglah seorang lelaki Arab Badui, lalu mencabut pedangnya, kemudian berkata "Siapakah yang melindungi dirimu dariku?" Nabi ﷺ menjawab, "Allah ﷻ." Maka tangan orang Badui itu gemetar sehingga pedangnya terjatuh dari tangannya, lalu kepala orang Badui itu dipukulkan ke pohon hingga pecah dan otaknya berhamburan. Kemudian Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.” (Al-Maidah: 67)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Ahmad ibnu Muhammad ibnu Yahya ibnu Sa'id Al-Qattan, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnul Hubab, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ubaidah, telah menceritakan kepadaku Zaid ibnu Aslam, dari Jabir ibnu Abdullah Al-Ansari yang menceritakan bahwa ketika Rasulullah ﷺ berperang melawan Bani Anmar, beliau turun istirahat di Zatur Riqa, yaitu di daerah Nakhl yang tinggi. Ketika beliau sedang duduk di pinggir sebuah sumur seraya menjulurkan kedua kakinya (ke dalam sumur itu), berkatalah Al-Haris dari kalangan Bani Najjar, “Aku benar-benar akan membunuh Muhammad.” Maka teman-temannya berkata kepadanya, "Bagaimanakah cara kamu membunuh dia?" Al-Haris berkata, "Aku akan katakan kepadanya, 'Berikanlah pedangmu kepadaku.’ Apabila dia telah memberikan pedangnya kepadaku, maka aku akan membunuhnya dengan pedang itu.” Al-Haris datang kepada Nabi ﷺ dan berkata, "Wahai Muhammad, berikanlah pedangmu kepadaku, aku akan melihat-lihatnya dengan menghunusnya." Maka Nabi ﷺ memberikan pedangnya kepada Al-Haris. Tetapi setelah Al-Haris menerimanya dan menghunusnya, tiba-tiba tangan Al-Haris gemetar hingga pedang itu terjatuh dari tangannya. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Allah menghalang-halangi antara kamu dan apa yang kamu inginkan.” Lalu Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu) berarti kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.” (Al-Maidah: 67)
Bila ditinjau dari segi konteksnya, hadits ini berpredikat gharib. Kisah Gauras ibnul Haris ini terkenal di dalam kitab Shahih.
Abu Bakar ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Amr ibnu Ahmad ibnu Muhammad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Muhammad ibnu Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah yang menceritakan: Bila kami menemani Rasulullah ﷺ dalam suatu perjalanan, kami mencarikan sebuah pohon yang paling besar dan paling rindang untuknya, lalu beliau turun istirahat di bawahnya.
Pada suatu hari beliau ﷺ turun di bawah sebuah pohon, kemudian beliau gantungkan pedangnya pada pohon tersebut. Lalu datanglah seorang lelaki dan mengambil pedang itu, kemudian lelaki itu berkata, "Wahai Muhammad, siapakah yang akan melindungimu dariku?" Nabi ﷺ bersabda: “Allah-lah yang akan melindungiku darimu. Sekarang letakkanlah pedang itu.” Maka seketika itu juga dia langsung meletakkan pedangnya. Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.” (Al-Maidah: 67)
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abu Hatim ibnu Hibban di dalam kitab Shahih-nya, dari Abdullah ibnu Muhammad, dari Ishaq Ibnu Ibrahim, dari Al-Muammal ibnu Ismail, dari Hammad ibnu Salamah dengan sanad yang sama.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah; ia pernah mendengar Aba Israil yakni Al-Jusyami mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ja'dah yakni Ibnu Khalid ibnus Summah Al-Jusyami menceritakan hadits berikut, bahwa ia pernah mendengar sebuah kisah mengenai Nabi ﷺ. Ketika beliau ﷺ melihat seorang lelaki yang gemuk, Nabi ﷺ menunjuk ke arah perutnya dan bersabda: “Seandainya ini bukan di bagian ini, niscaya lebih baik darimu.” Pernah pula didatangkan kepada Nabi ﷺ seorang lelaki lain, lalu dikatakan kepada Nabi ﷺ bahwa orang ini bermaksud membunuhnya. Maka Nabi ﷺ bersabda: “Jangan takut, seandainya kamu bermaksud melakukan niatmu itu, Allah tidak akan membiarkanmu dapat menguasai diriku.”
Firman Allah ﷻ: “Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 67)
Yakni sampaikanlah (risalah ini) olehmu, dan Allah-lah yang akan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Dia akan menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya. Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam ayat lainnya, yaitu firman Allah ﷻ:
“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufik) siapa yang dikehendaki-Nya.” (Al-Baqarah: 272)
“Karena sesungguhnya tugasmu hanya menyampaikan saja, sedangkan Kamilah yang menghisab amalan mereka.” (Ar-Ra'd: 40)
Sesudah menjelaskan tentang keingkaran Ahli Kitab, maka pada ayat ini Allah menerangkan tugas Rasulullah, yang di antaranya adalah untuk menyampaikan ajaran Islam kepada mereka. Demikian informasi dari sabab nuzul yang diriwayatkan Ibnu Mardawaih. Wahai Rasul! Sampaikanlah kepada orang-orang Ahli Kitab apa yang diturunkan kepadamu, yaitu ajaran-ajaran Islam melalui wahyu dari Tuhanmu. Itulah tugas atau kewajibanmu. Jika tidak engkau lakukan apa yang diperintahkan itu, berarti engkau tidak menyampaikan amanat-Nya. Dan ketahuilah bahwa Allah akan selalu memelihara engkau dari gangguan atau maksud buruk manusia. Tugasmu hanya menyampaikan ajaran Islam dan bukan menjadikan mereka beriman, karena sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir, sehingga kekafiran mereka bukan menjadi tanggung jawabmuSelanjutnya untuk meyakinkan mereka, katakanlah dengan tegas wahai Muhammad, Hai Ahli Kitab, kamu semua tidak dipandang telah beragama dengan benar dan baik sedikit pun hingga kamu telah sanggup menegakkan ajaran-ajaran yang terdapat dalam Taurat, Injil, dan AlQur'an yang diturunkan Tuhanmu kepadamu. Ketahuilah bahwa sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu, Muhammad, dari Tuhanmu hanya akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka yang disebabkan kedengkian mereka kepadamu. Bila itu yang kamu rasakan dari mereka, maka janganlah engkau berputus asa terhadap orang-orang kafir itu, karena tugasmu hanya untuk menyampaikan ajaran Islam saja.
Ayat ini memerintahkan kepada Nabi Muhammad supaya menyampaikan apa yang telah diturunkan kepadanya tanpa menghiraukan besarnya tantangan di kalangan Ahli Kitab, orang musyrik dan orang-orang fasik.
Ayat ini menganjurkan kepada Nabi Muhammad agar tidak perlu takut menghadapi gangguan dari mereka dalam membentangkan rahasia dan keburukan tingkah laku mereka itu karena Allah menjamin akan memelihara Nabi Muhammad dari gangguan, baik masa sebelum hijrah oleh kafir Quraisy maupun sesudah hijrah oleh orang Yahudi. Apa yang telah diturunkan oleh Allah kepada Muhammad adalah amanat yang wajib disampaikan seluruhnya kepada manusia. Menyampaikan sebagian saja dari amanat-Nya dianggap sama dengan tidak menyampaikan sama sekali. Demikianlah kerasnya peringatan Allah kepada Muhammad. Hal tersebut menunjukkan bahwa tugas menyampaikan amanat adalah kewajiban Rasul. Tugas penyampaian tersebut tidak boleh ditunda meskipun penundaan itu dilakukan untuk menunggu kesanggupan manusia untuk menerimanya, karena masa penundaan itu dapat dianggap sebagai suatu tindakan penyembunyian terhadap amanat Allah.
Ancaman terhadap penyembunyian sebagian amanat Allah sama kerasnya dengan ancaman terhadap sikap sesesorang yang beriman kepada sebagian rasul saja dan beriman kepada sebagian ayat Al-Qur'an saja. Meskipun seorang rasul bersifat maksum yakni terpelihara dari sifat tidak menyampaikan, namun ayat ini menegaskan bahwa tugas menyampaikan amanat adalah kewajiban yang tidak dapat ditawar-tawar atau ditunda-tunda meskipun menyangkut pribadi Rasul sendiri seperti halnya yang kemudian terjadi antara Zainab binti Jahsy dengan Nabi Muhammad sebagaimana yang diuraikan dalam al-Ahzab/33: 37 :
"Dan (ingatlah) ketika engkau (Muhammad) berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau (juga) telah memberi nikmat kepadanya, "pertahankanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang engkau menyembunyikan di dalam hatimu apa yang akan dinyatakan oleh Allah, dan engkau takut kepada manusia padahal Allah lebih berhak engkau takuti. (al-Ahzab/33:37).
Dalam hubungan ini Aisyah dan Anas berkata, "Kalaulah kiranya Nabi Muhammad akan menyembunyikan sesuatu dalam Al-Qur'an, tentu ayat inilah yang disembunyikannya." Dari keterangan 'Aisyah dan Anas ini jelaslah peristiwa yang kemudian terjadi antara Zainab binti Jahsy dengan Zaid ialah perceraian yang berkelanjutan dengan berlakunya kehendak Allah yaitu menikahkan Zainab dengan Nabi Muhammad. Hal tersebut tidak dikemukakan oleh Nabi Muhammad kepada Zaid ketika ia mengadukan peristiwanya kepada Nabi Muhammad pada hal beliau sudah mengetahuinya dengan perantaraan wahyu. Nabi Muhammad saw, menyembunyikan hal-hal yang diketahuinya sesuai dengan kesopanan disamping menghindarkan tuduhan-tuduhan yang dilancarkan oleh golongan orang-orang munafik. Meskipun demikian Nabi Muhammad masih juga menerima kritik Allah seperti diketahui pada ayat dalam surah al-Ahzab tersebut.
Tegasnya, ayat 67 ini mengancam orang-orang yang menyembunyikan amanat Allah sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
"Sungguh, orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, setelah Kami jelaskan kepada manusia dalam Kitab (Al-Qur'an), mereka itulah yang dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh mereka yang melaknat." (al-Baqarah/2:159).
Sejalan dengan ancaman Al-Qur'an ini, Nabi Muhammad bersabda mengingatkan orang-orang yang menyembunyikan ilmu pengetahuan:
Barang siapa ditanya tentang sesuatu ilmu pengetahuan lalu disembunyikannya maka ia akan dikekang pada hari Kiamat dengan kekangan dari api neraka. (Riwayat Abu Daud, at-Tirmidzi dari Abu Hurairah).
Selanjutnya akhir ayat ini menegaskan bahwa Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang kafir yang mengganggu Nabi Muhammad dan pekerjaan mereka itu pastilah sia-sia karena Allah tetap melindungi Nabi-Nya dan tetap akan meninggikan kalimat-Nya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
TUGAS RASUL
Ayat 67 yang akan kita tafsirkan ini iaiah menjelaskan tugas yang dipikulkan Allah kepada Rasulnya, Nabi Muhammad ﷺ. Dan di samping diberi tugas, Allah pun memberikan jaminan-Nya pula atas keselamatan diri beliau selama melakukan tugas. Sebab itu maka ayat ini dimulai dengan ucapan,
Ayat 67
“Wahai Rasul"
Sebagaimana kita ketahui, Allah tidak pernah memanggil Nabi kita dengan menyebut namanya, melainkan menyebut tugas atau jabatannya. Dan panggilan “Wahai Rasul" akan mengingatkan beliau tugas yang dipikulkan ke atas pundaknya, “Sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepada engkau dari Tuhan engkau." Ini adalah perintah tegas dari Allah bahwasanya segala wahyu yang telah diturunkan Allah kepadanya, hendaklah beliau sampaikan langsung kepada umat, tidak boleh ada yang disembunyikan, sebab samalah artinya dengan tidak menyampaikan sama sekali.
Sama juga dengan kita, umat Muhammad sendiri, kalau kita mengaku percaya kepada Allah dan Rasul, hendaklah kita percaya dalam keseluruhan, bukan percaya setengah-setengah, atau percaya mana yang enaknya saja. Maka tiadalah dapat diragukan lagi, bahwasanya perintah itu telah dijalankan oleh Rasul dengan selengkapnya, tidak ada yang dikuranginya dan tidak ada yang disembunyikannya, manisnya ataupun pahitnya. Beliau telah melakukan tugas dengan sebaik-baiknya. Beliau telah tegak dengan teguhnya ketika gelombang kesukaran datang lantaran melakukan tugas itu. Beliau telah sabar menderita di waktu ditimpa berbagai kesulitan, sampai dibenci, diperangi, diusir, dan mau dibunuh berkali-kali.
Ketika masih di Mekah 13 tahun, tidak berhenti-henti siang-malam beliau melakukan tugas itu, walaupun demikian dahsyat tantangan dan fitnah dari kaum Quraisy. Beliau tidak berpindah dari Mekah sebelum ada perintah pindah dan hijrahnya ke Madinah, bukanlah karena lari dari tugas, melainkan karena hendak menyusun kekuatan bagi menegakkan dakwah yang beliau bawa. Seluruh tenaga telah beliau tumpahkan, sejak dari masa sembunyi-sembunyi mengadakan dakwah di rumah Arqam bin Abil Arqam, sampai pindah dan sampai pelita agama bernyala dan musuh tunduk takluk dan masuk ke dalam Islam berduyun-duyun.
Setelah beliau hampir selesai menjalankan tugas itu, setelah datang ilham kepada beliau bahwa sudah dekat masanya beliau meninggalkan umat ini, maka beliau pun pergilah mengerjakan haji, yaitu yang dikenal dengan Haji Wada'. Haji selamat tinggal, di waktu itulah beliau menerima pengakuan umatnya bahwa memang risalah yang ditugaskan kepada dirinya itu telah dipenuhinya.
Berkata Ibnu Katsir dalam tafsirnya, “Umatnya telah memberikan kesaksian bahwa risalah itu telah beliau sampaikan, dan amanah itu telah beliau tunaikan. Beliau telah bertanya kepada mereka itu di dalam suatu pertemuan yang besar, dalam khutbahnya seketika Haji Wada'. Sahabat-sahabatnya yang hadir di waktu itu lebih kurang berjumlah 40.000 orang. Sebagaimana terdapat sebuah hadits yang shahih, dirawikan oleh Muslim, dari Jabir bin Abdullah. Bahwasanya Rasulullah ﷺ di dalam khutbahnya pada hari itu telah berkata, “Wahai sekalian manusia! Kamu semuanya ini bertanggung jawab. Apakah pendapatmu?" Mereka menjawab, “Kami naik saksi bahwasanya engkau telah melakukan nasihat!" Mendengar jawaban itu, Rasulullah mengangkat kepalanya menadahkan tangannya ke langit lalu dikembangkannya menghadapi mereka semua, lalu dia berkata, “Ya Allah! Bukankah telah aku sampaikan?'1
Menurut riwayat Bukhari dan Muslim, ketika Masruq (Tabi'in) bertanya kepada Aisyah, adakah ayat yang tidak disampaikan oleh Nabi, Aisyah menjawab, “Barangsiapa yang mengatakan kepada engkau bahwa Muhammad pernah menyembunyikan apa yang diturunkan Allah kepadanya, berdustalah orang itu."
Dan pada hadits yang lain, riwayat Bukhari dan Muslim juga, Aisyah berkata, “Kalau Muhammad hendak menyembunyikan sesuatu dari Al-Qur'an, niscaya akan disembunyikannya ayat yang mengenai dirinya sendiri yang berisi tempelak. Dan engkau sembunyikan di dalam diri engkau barang yang Allah menyatakannya, dan engkau takut kepada manusia, padahal Allah-lah yang lebih berhak engkau takuti." (Yang tersebut dalam surah al-Ahzaab)
Berkata pula Bukhari, berkata az-Zuhri, “Dari Allah datang risalah, atau Rasul kewajiban menyampaikan, atas kita kewajiban taat."
“Dan Allah melindungi engkau daripada manusia." Inilah jaminan Allah atas Rasul-Nya. Bahwa segala maksud jahat manusia atas dirinya, tidaklah akan berhasil, karena Allah Ta'aala selalu melindungi. Sebab itu janganlah dia khawatir di dalam melakukan dakwah. Di dalam ayat ini Allah mengatakan “Ya'shimuka," yang kita artikan memperlindungi memakai Fi'il Mudhari', yang mengandung masa sekarang (haal) dan akan datang (istiqbaf) Artinya selalu beliau diperlindungi Allah.
Sebagaimana ditulis Imam al-Mawardi dalam kitabnya, Arlamun Nubuwwah bahwa sejak mula menjadi Rasul, Allah telah memberinya perlindungan dengan berbagai jalan. Mula sekali, yang dipakai Allah buat me-lindungi Nabi Muhammad dari bahaya, ialah paman beliau, Abi Thalib. Dia disegani oleh orang Quraisy, sebab dia adalah pemimpin mereka yang disegani dan dipatuhi. Diciptakan Allah rasa cinta dalam hati Abi Thalib kepada Muhammad, meskipun dia tidak memeluk Islam. Di sini terkandung satu hikmat tinggi dari kehendak Allah. Karena kalau Abi Thalib masuk Islam, tentulah mereka tidak segan lagi kepadanya. Tetapi sebab mereka masih bersatu agama, Quraisy segan mengganggu Muhammad karena menghargai Abi Thalib dan segan pula akan wibawanya.
Kemudian Abi Thalib meninggal. Dalam masa Abi Thalib telah meninggal, didatangkan Allah pula alat perlindungan yang baru, yaitu datangnya kaum Anshar dari Madinah yang bersedia harta benda dan jiwa raga mereka buat membela beliau, sehingga beliau pun bersedia Hijrah ke Madinah. Lantaran kesediaan mereka membela Rasul, dengan harta benda dan jiwaraga itulah maka mereka diberi gelar al-Anshar, (pembela-pembela)
Dalam pada itu jika kita perhatikan seluruh hidup beliau, baik seketika masih di Mekah, atau dalam perjalanan Hijrah ke Madinah, atau sebelum sampai di Madinah, berpuluh kali diadakan orang percobaan-percobaan membunuh beliau namun semuanya itu tidak berhasil.
Pamannya, Abu Lahab, sendiri pernah dihasut dan dibujuk oleh kaum Quraisy supaya membunuh Muhammad. Mereka berkata, “Hai Abu Utbah (salah satu gelar Abu Lahab, karena seorang di antara anaknya bernama Utbah), engkau adalah pemimpin kami. Engkau lebih utama di sisi kami daripada Muhammad. Sayang sekali Abi Thalib selalu membelanya dan menghalang-halangi kami buat menentukan sikap kepada Muhammad. Kalau engkau yang membunuh Muhammad itu, Abi Thalib dan Hamzah tidak akan berani buka mulut. Dengan demikian engkau terlepas dari tuntutan darahnya, dan kami semua akan membayar diyat dari engkau akan tetap di-pandang sebagai pemimpin dari kaummu."
Mendengar rayuan demikian, Abu Lahab lupa diri, lalu berkata, “Saya akan kerjakan sebagaimana yang kamu minta." Karena jawabnya yang demikian, semua bergembira ria dan semua memujinya. Dan namanya di sanjung-sanjung dalam upacara-upacara yang diadakan. Dikatakan bahwa dia seorang yang setia mempertahankan agama nenek moyang yang telah dirusak binasakan oleh anak saudaranya.
Pada suatu malam, turunlah Abu Lahab dari tempat dia mengintip, padahal Rasulullah ﷺ sedang shalat. Istrinya sendiri, Ummi Jamil memanjat dinding memerhatikan perbuatan suaminya, dan mendekati tempat Rasulullah berkhalwat. Didapatinya Rasulullah sedang sujud. Abu lahab datang; setelah dekat benar, dia bersorak keras-keras yang maksudnya supaya mendengar sorak itu Muhammad ﷺ akan timbul takut. Namun Rasulullah masih tetap shalat, masih tetap sujud, sejenak pun suara itu seakan-akan tidak didengarnya. Tetapi setelah Abu Lahab dan istrinya Ummi jamil hendak melangkahkan kaki ke muka, hendak menikam Nabi ﷺ, kaki mereka tidak dapat diangkat, sehingga terpakulah mereka di tempat itu sampai datang waktu Shubuh. Dan Rasulullah pun selesailah mengerjakan shalat malamnya. Dan melihat itu, berkatalah Abu Lahab, “Ya Muhammad, lepaskanlah kami!" Rasulullah menjawab, “Selama kalian keduanya masih ada maksud menganiayaku, selama itu pula kalian masih akan terpaku di tempat kalian berdiri itu." Maka dengan segera Abu Lahab menjawab, “Mulai sekarang maksud itu telah kami lepaskan!" Jawab Rasul, “Kalau begitu baiklah!" Lalu beliau berdoa kepada Allah, tidak beberapa lama kemudian mereka pun terlepas.
Ada pula seorang dari Thaif, namanya Kandah bin Asad. Dia terkenal kuat dan perkasa. Dia datang dari Thaif ke Mekah, menyatakan kepada kaum Quraisy bahwa bersedia membunuh Muhammad, asal dapat upah yang patut. Permintaannya itu dikabulkan oleh kaum Quraisy dan kepadanya disediakan upah besar. Maka diintipnyalah Rasulullah yang akan pergi shalat ke Masjidil Haram pagi-pagi di tengah jalan di antara Rul'ah si dengan si Uqaal. Hendak membawa semacam pelating atau ketapel (umban tali), yang kalau kena tepat pada kepala, kepala bisa pecah. Seketika kelihatan olehnya Rasulullah saw, dicobanyalah mengayunkan umban tali (mizraaq) yang di tangannya itu. Tetapi ajaib! Seketika dia memulai memutar-mutarkan umban tali yang berisi batu berat itu, sebelum terlepas keluar, dadanya sendirilah yang ditumbuknya, sehingga si Kandah terpelanting jatuh. Hampir dia mati karena umban talinya sudah jadi bumerang mengenai dirinya sendiri.
Akhirnya dengan kesakitan dia pun bangkit dan terus lari, meninggalkan tempat itu dan datang kembali ke tempat kaum Quraisy. Lalu mereka bertanya, “Apa kabar?" Kandah menjawab, “Cobalah lihat olehmu, tidakkah kamu menampak beberapa ekor unta besar mengejar di belakangku, sampai aku lari terbirit-birit kemari?" Orang-orang itu menjawab, “Kami tidak melihat apa-apa!"
“Celakalah kalian, aku melihatnya, seram sekali!" jawabnya.
Setelah itu tidak ditunggunya lama lagi, si Kandah pun lari dan lari terus, sampai kembali ke Thaif. Sampai di kampungnya dia diejek orang, dikatakan pengecut, besar mulut. Dia menjawab, “Saya tidak menyalahkan kamu! Sebab kamu belum mengalami yang aku alami!"
Hal-hal begini banyak bertemu selama Rasulullah saw, berada di Mekah.
Setelah beliau hijrah pun berturut-turut kita telah melihat bagaimana Allah melindungi dia dari marabahaya manusia. Orang telah ber-mufakat hendak membunuh dia pada malam dia hijrah itu. Seratus unta disediakan Quraisy bagi barangsiapa yang berhasil membunuhnya, sehingga rumahnya telah dikepung malam hari dan akan diserbu sedang dia tidur. Tetapi di saat yang amat penting di tengah malam, kira-kira di antara pukul 1 dan pukul 2, semua yang mengepung itu mengantuk dan tertidur. Di waktu itulah beliau keluar rumah dengan selamat, dan tempat dia tidur digantikan oleh Ali bin Abi Thalib. Ketika mereka terbangun pagi-pagi, mereka dapati yang tidur di tempat tidurnya bukan dia, melainkan Ali bin Abi Thalib. Karena bukan Ali yang dicari, maka Ali tidak dibunuh.
Beliau bersembunyi ke dalam gua di puncak Gunung Tsur. Setelah beliau dan Abu Bakar masuk ke dalam gua itu, seekor laba-laba membuat sarangnya di pintu gua, sehingga ketika para pengejar hendak memeriksa gua, mereka mengundurkan diri saja, karena mereka lihat jaring laba tidak putus, tandanya belum ada orang yang masuk ke dalamnya. Padahal kalau pengejar-pengejar itu menekurkan kepala saja sedikit, akan kelihatanlah orang yang bersembunyi di dalam. Sedang kaki orang-orang yang mencari itu kelihatan oleh beliau dan Abu Bakar dari tempat mereka bersembunyi.
Setelah tiga hari tiga malam sembunyi di dalam gua itu, dalam perjalanan ke Madinah, dia dikejar oleh Suraqah bin Malik, yang sangat mengharap dapat upah dari Quraisy kalau dapat membunuh beliau. Dia kejar Nabi dengan kudanya, tetapi setelah dekat kepada Nabi dan Abu Bakar yang berjalan lambat, tiap dia mencoba hendak mengangkat senjata, kaki kudanya terbenam masuk pasir. Setelah dialaminya itu sampai tiga kali, lalu dengan tenang dia mendekati Nabi dan meminta maaf, serta memohon supaya dia didoakan. Rasulullah saw, mengabulkan permohonannya, dia beliau doakan. Ketika dia akan pulang ke Mekah, ditawarkan makanan dan bekal beliau berdua di jalan. Tawarannya itu ditolak Nabi dengan baik dan beliau minta saja kepadanya supaya dia jangan turut campur pula dalam pekerjaan mengejar-ngejar beliau sebagai orang Quraisy itu. Suraqah berjanji bahwa dia tidak akan campur lagi dalam perbuatan itu.
Sampai di Madinah, orang Yahudi Bani Nadhir telah mencoba hendak menjatuhi beliau dengan lesung batu dari atas sutuh rumah, tetapi beliau selamat dari maksud jahat mereka itu. Dan setelah selesai beliau menaklukkan benteng Khaibar, seorang perempuan Yahudi telah memberikan kaki kambing beracun yang sudah dipanggang untuk beliau. Itu pun beliau selamat. Dalam Perang Uhud beliau sampai luka karena tempat beliau telah dikepung musuh. Beliau mendapat luka-luka dari serbuan itu, tetapi luka-luka itu tidak sampai memengaruhi keteguhan hati beliau memimpin umat, sampai beberapa tahun di belakang.
Menurut riwayat Ibnu Jarir, bahwa dalam satu perjalanan berperang menghadapi musuh, beliau berteduh melepaskan lelah di waktu Zhuhur di bawah sebuah pohon kayu yang rindang, dan beliau pun tertidur. Sedang pengawal pengawal beliau terlengah, datang seorang Badwi pihak musuh menyelusup ke tempat beliau istirahat itu, lalu diambilnya pedang beliau yang tersangkut di dahan kayu itu, lalu dikaiskannya Rasulullah dengan kaki-nya, sehingga terbangun. Disentaknya pedang Nabi itu lalu diancamnya Rasulullah ﷺ dengan bertanya, “Siapa yang akan dapat menghalangiku sekarang jika engkau aku bunuh?" Dengan serta-merta Rasulullah menjawab, “Allah!" Mendengar jawaban itu, tiba-tiba gemetarlah tangan Badwi tersebut dan terlepas pedang dari tangannya.
Menurut satu riwayat, setelah pedang itu jatuh, lalu dipungut oleh Rasulullah, sebab pedangnya sendiri. Sekarang beliau pula yang mengacungkan pedangkepada Badwi itu seraya bertanya pula, “Siapa yang akan menghalangiku kalau aku bunuh engkau sekarang?" Dengan menyerahkan diri Badwi itu menjawab, “Tidak ada yang akan melindungiku!" Lalu orang itu dibebaskan oleh Rasulullah dan disuruh pergi. Satu riwayat pula mengatakan, bahwa lantaran kebesaran maaf Nabi kepadanya itu, dia pun masuk Islam.
Satu riwayat lagi, dari Ibnu Jarir, demi karena sangat takut agaknya, atau menyesal dia empaskan kepalanya kepada pohon kayu itu sampai pecah dan dia mati. Mungkin kejadian ini dua kali.
Dalam riwayat yang dibawakan oleh Ibnu Abi Hatim dari Jabir bin Abdillah, bahwa dalam Peperangan Dzatir beliau pernah berteduh berlepas lelah di sebuah kebun kurma. Sedang beliau duduk di dekat sebuah sumur sambil mengunjurkan kakinya, datanglah seorang musuh, bernama al-Warits dari Bani Najjar. Dia bertekad bulat hendak membunuh Nabi dengan pedang Nabi sendiri. Lalu kawan-kawannya bertanya, “Bagaimana caranya engkau hendak membunuhnyar Dia menjawab, “Akan aku pinjam pedangnya, setelah pedang itu ada pada tanganku, terus sekali aku tetak dia!" Setelah berkata demikian, dia pun datang mendekati Rasulullah, lalu dipinjamnya pedang beliau, katanya hendak menciumnya dan mematut-matut pedang itu. Pedang itu diserahkan Nabi kepadanya dengan tidak merasa syak wasangka sedikit pun. Tetapi sesampai dalam tangannya, tangan itu gemetar dan pedang itu terjatuh, sebelum sempat diangkatnya.
Lalu dengan tenang Rasulullah ﷺ berkata, “Rupanya Allah telah menghalangi maksud jahatmu!"
Sungguhpun demikian, jaminan perlindungan yang diberikan Allah kepada diri beliau, namun orang yang mencintai beliau masih tetap mengadakan pengawalan atas diri beliau. Sehingga menurut riwayat dari Ibnu Abi Hatim dan Abu Syekh yang mereka terima dari Mujahid, tatkala di Mekah pun pamannya Abi Thalib telah memerintahkan orang mengawai beliau. Bahkan dalam pertemuan Rasulullah dengan kaum Anshar dari Madinah yang 73 orang banyaknya, dua di antaranya perempuan yang mengawal beliau ketika itu ialah pamannya Abbas sendiri. Dan menurut riwayat dari Imam Ahmad, dari Aisyah, pernah seorang sahabatnya bernama Sa'ad bin Malik mengawal beliau semalam-malaman, sampai beliau tertidur dengan nyenyaknya.
Hadits-hadits dan riwayat ini menunjukkan bahwasanya meskipun Allah telah memberikan jaminan pengawalan dan perlin
dungan atas diri beliau, sehingga selamat dari marabahaya, namun mereka tidaklah lengah dari menjaga Nabi, sebab di samping perlindungan Allah, hendaklah ada pula ikhtiar manusia.
Penutup ayat,
“Sesungguhnya Allah tidaklah akan memberi petunjuk kepada kaum yang kafir."
Ujung ayat ini memberi peringatan kepada orang yang beriman, bahwasanya segala rencana orang kafir, yang tidak mau menerima kebenaran itu tidaklah akan berhasil. Allah tidak akan memberi mereka petunjuk, sebab sejak semula mereka telah menempuh jalan yang salah. Maka segala siasat mereka, baik menghalangi dan menghambat rencana Rasulullah, maupun usaha hendak mengganggu diri beliau sendiri tidaklah akan berhasil. Kebenaran ajaran Allah cepat ataupun lambat pasti akan jelas juga.
Dalam ayat ini kita menampak betapa beratnya tugas seorang Rasul, demikian juga tugas orang yang hendak menyambung usaha Rasul. Kebenaran mesti disampaikan, tidak boleh takut dan gentar. Tidak boleh diterangkan separuh dan disembunyikan separuh, walaupun akan membawa akibat kebencian manusia atas diri. Allah tetap menjamin keselamatan orang yang berjuang menegakkan kebenaran Allah. Kalau tidak celaka, kata Allah, tidaklah akan celaka. Kalau belum ajal berpantang mati.
Dengan ini pula kita mendapat kenyataan bahwasanya Rasul ﷺ tidaklah mempunyai dua kaji, yang disebut kaji nyata dan kaji tersembunyi, kaji lahir dan kaji batin. Ada yang disampaikan dan ada yang tidak. Ada yang dinyatakan kepada orang-orang banyak dan ada pula yang hanya bisik-bisikan kepada sahabat-sahabat tertentu, dan tidak diberitahukan kepada orang lain. Sebagaimana yang didakwakan oleh setengah ahli Thariqat, yang mengatakan bahwa thariqatnya itu diterima dari ahli syekh, dan syekh itu menerima dari syekhnya pula, sampai kepada seorang sahabat Nabi, misalnya Sayyidina Aii atau Salman al-Farisi, yang diterima mereka dengan rahasia dari Rasulullah ﷺ
Ada orang mengambil alasan dari hadits yang dirawikan oleh Abu Hurairah r.a., bahwa dia (Abu Hurairah) pernah mengatakan bahwa dia mendengar dari Rasulullah ﷺ beberapa perkataan, tetapi Abu Hurairah sendiri tidak berani membukanya kepada orang lain sebab mesti dirahasiakan. Setelah diselidiki hadits shahih, yang dirawikan oleh ahli-ahli hadits kenamaan dengan sanad yang baik. Tetapi maksudnya bukanlah bahwa Abu Hurairah ada menyimpan ilmu kebatinan yang diterima dengan bisik-bisik, tetapi Abu Hurairah menerima berita dari Rasulullah ﷺ bahwa sepeninggal beliau wafat kelak, akan timbal fitnah dan huru-hara besar. Mungkin nama-nama orang yang akan mengacau itu ada diterangkan Rasulullah kepada Abu Hurairah, tetapi Abu Hurairah takut menyebut nama itu sebab ketika itu orang-orangnya masih hidup. Bahkan Abu Hurairah pernah berdoa, “Biarlah kiranya nyawaku dicabut Allah, sebelum aku menyaksikan kanak-kanak menjadi penguasa negeri atau menjadi amir!"
Rupanya doanya dikabulkan Allah sehingga dia meninggal pada tahun 57 Hijriyah, naiklah Yazid bin Mu'awiyah menggantikan ayahnya Mu'awiyah bin Abu Sufyan menjadi Khalifah. Setelah zaman Yazid terjadilah kekacauan-kekacauan besar, penyerbuan ke Mekah, penyerbuan ke Madinah, sehingga beribu orang sahabat Rasulullah ﷺ yang mati terbunuh, dan pembunuhan kepada Husain bin Ali di Padang Karbala. Dengan ini teranglah untuk umatnya, cuma perhitungan beliau dalam perkembangan politik setelah beliau wafat kelak disampaikannya kepada Abu Hurairah, dan oleh Abu Hurairah sendiri beberapa hal dirahasiakannya karena takut jiwanya sendiri terancam. Dan dengan ini
pula maka teranglah apa yang dimaksudkan oleh sabda Rasulullah ﷺ bahwa beliau telah meninggalkan ajaran agama yang lengkap tidak ada yang tersembunyi.
“Malamnya serupa dengan siangnya.
Ayat 68
“Katakanlah, wahai Ahlul Kitab, tidaklah kamu atas sebuah juga, sehingga kamu menegakkan Taurat dan Injil, dan apa yang diturunkan kepada kamu dari Tuhan kamu."
Artinya, bahwa segala pengakuan dan pendakwaan yang kamu kemukakan, wahai Ahlul Kitab, tidaklah ada artinya sama sekali, sebelum kamu benar-benar berpegang kepada dasar semula, yaitu Taurat dan Injil itu sendiri, demikian pun kitab-kitab yang diturunkan kepada nabi-nabi yang lain yang telah terdahulu itu. Sebab pada pokoknya, isi kitab Taurat itu tidaklah bersalahan dengan pokok ajaran Al-Qur'an, sebab agama itu pada hakikatnya hanya satu. Sebab itu tegakkanlah Taurat dan Injil itu betul-betul jangan diselewengkan. Artinya menurut kemauan saja, hidupkanlah syari'atnya dan patuhilah hukumnya, dan hentikan apa yang dilarangnya. Karena menegakkan Taurat dan Injil, artinya menjunjung tinggi dengan kesadaran.
Meskipun banyak terdapat tahrif tambahan kata, perubahan yang disengaja atau tak disengaja, namun hukum yang pokok masih tetap utuh, dan menegakkan hukum itu, misalnya seruan kegagahan sebagai dalam Taurat atau cinta-kasih sebagai ajaran al-Masih, akan dapatlah mereka hidup dengan orang Islam, meskipun mereka tidak mau memeluk Islam. Tetapi kalau maksud Taurat atau Injil itu telah diselewengkan atau ketentuan yang telah berpengaruh dari pokok ajaran nabi-nabi itu sendiri, bukanlah agama yang tegak, melainkan hawa nafsu.
Ayat ini pun berisi anjuran supaya mereka menerima kembali, menyaring dan menyisihkan mana kata tambahan kemudian dan mana yang asli, lalu adakan kritik yang sehat, sebab hal ini pun telah dilakukan oleh sarjana-sarjana mereka sendiri, yang sudi melepaskan din daripada fanatik golongan dan ajaran turun-temurun, maka banyaklah mereka yang telah mengaku bahwasanya Taurat yang asli tidak ada lagi. Bahkan bagi orang Kristen sendiri, diakui bahwa keempat kitab Injil itu, adalah karangan dan susunan orang lain, sedang Injil al-Masih sendiri tidak ada bertemu.
Mereka tidak mau percaya kepada Al-Qur'an, mereka tetap kafir dan membantah. Tetapi mereka tidak pula dapat memungkiri, bahwa Taurat yang asli tidak ada lagi sekarang, dan orang Nasrani pun mengakui pula bahwa catatan Injil itu terlalu banyak, sehingga di antara yang satu dengan yang lain berbeda, lalu kemudian mereka putuskan saja bahwa empat Injil karangan Matius, Markus, Lukas, dan Yohannes sajalah yang disahkan. Padahal kalau diselidiki dengan saksama, cerita-cerita yang di antara satu sama lain tidak sama. Lantaran itu ayat ini menyerukan, kalau kamu wahai Ahlul Kitab tidak jua mau menerima kebenaran Al-Qur'an, cobalah tegakkan ajaran asli Taurat dan Injil. Sedang menegakkan Taurat dan Injil itu pun mereka tidak sanggup. Mereka telah terpaksa membuat suatu agama yang telah jauh dari pangkalan Taurat dan Injil yang asli.
Ayat ini sekali lagi menunjukkan betapa luasnya dan lapang dada (toleransi) Islam terhadap Ahlul Kitab. Kalau mereka tegakkan betul-betul ajaran asli Taurat dan Injil, niscaya mereka tidak akan membuat bohong, dan orang Kristen di zaman kejayaan Katolik tidaklah akan sampai membuat panitia Enquisisi memaksa orang menganut kepercayaan mereka, dan kalau tidak suka menganutnya orang itu akan dibunuh, disiksa, dihina, dicabut lidah, dikorek mata, digergaji badan, dan sebagainya. Dan kalau mereka tegakkan benar-benar hukum Taurat dan Injil, tidaklah akan terjadi serakah dan loba tamak orang Yahudi yang terkenal di seluruh dunia itu.
Demikian juga orang Kristen, tidaklah akan terjadi pemberontakan bangsa Eropa di zaman Renaisanse kepada kekuasaan gereja, kalau memang gereja menyebarkan cinta-kasih, bukan menyebarkan benci dan kekejaman. Ketahuilah bahwasanya kekejaman gereja di zaman tengah, yang di Eropa di waktu itu dinamai Zaman Gelap dan itulah di zaman modern kita ini ditiru diteladan oleh kaum komunis.
“Dan apa yang diturunkan Allah kepada engkau itu, bagi kebanyakan mereka hanyalah menambah kedurhakaan dan kekafiran jua."
Beginilah terjemahan yang kita ambil dari lanjutan ayat supaya dapat dipahamkan susun katanya menurut jalan bahasa Indonesia. Kalau diterjemahkan secara harfiyah begini bunyinya, “Dan sesungguhnya akan sangat menambahlah kebanyakan dari mereka apa yang diturunkan kepada engkau dari Allah engkau, kedurhakaan dan kekafiran."
Tegasnya, karena hawa nafsu mereka telah lebih memengaruhi cara mereka berpikir, apa pun kebenaran yang dibawa oleh AL-Qur'an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ tidaklah akan menambah mereka dekat melainkan menambah mereka durhaka, menentang dan menolak mentah-mentah. Mereka telah menutup hati terlebih dahulu sehingga satu kebenaran pun tidak akan masuk. Demikian juga sampai kepada zaman kita sekarang ini. Meskipun Muhammad ﷺ telah memberikan uluran tangan, agar mereka menegakkan Taurat dan Injil supaya dapat bekerjasama menegakkan kebenaran dalam dunia ini, namun seruan itu akan tetap mereka tentang, mereka durhakai dan mereka tolak. Sebab yang mereka nilai bukan lagi kebenaran, tetapi kedaulatan cara
pemuka agama yang tidak boleh dibantah. Dan sampai kepada zaman kita sekarang ini sikap menentang mereka masih tetap ada dan lebih ngeri. Dengan kekuasaan yang ada pada golongan mereka, selalu mereka berusaha hendak mengganjakkan umat Islam daripada agamanya, dengan mengadakan Zending dan Misi ke dalam dunia Islam.
Di penutup ayat Allah berfirman,
“Maka janganlah engkau berduka cita tenhadap kaum yang kafir itu."
Muhammad ﷺ telah mengulurkan tangan perdamaian, menyeru mereka, walaupun tidak akan masuk ke dalam agama Islam, supaya mereka tegakkan saja Taurat dan Injil sebenar-benarnya, namun tangan yang diulurkan itu mereka tampar. Rasa damai disambut dengan rasa permusuhan. Sebab itu, Allah Ta'aala memberi ingat kepada Rasul-Nya agar jangan berkecil hati dan berduka cita menyambut sikap yang demikian. Sebab tidak ada satu kekuatan pun yang akan dapat menghalangi perkembangan kebenaran Islam.
Ujung ayat ini dapatlah kita jadikan pegangan di dalam menegakkan toleransi Islam terhadap kaum Yahudi dan Nasrani di segala zaman. Sebagaimana terjadi di negeri kita Indonesia ini. Cukuplah toleransi yang kita berikan kepada mereka, namun selalu perasaan kita disinggung. Dan sebagaimana terjadi akhir-akhir ini, setelah Indonesia merdeka, setelah komunis dapat dihancurkan, mereka berlomba dengan bantuan uang yang tidak terbatas dari luar negeri, mendirikan gereja-gereja di negeri-negeri yang seluruh penduduknya beragama Islam. Mereka tidak mengenal timbang rasa, karena begitulah yang mereka warisi sejak dari zaman nenek moyangnya dahulu kala. Jangan berduka cita dan janganlah berkecil hati melihat sikap yang demikian, tetapi rapatkanlah barisan dan selalulah adakan dakwah kepada kalangan
Islam sendiri supaya mereka memeluk agamanya dengan kesadaran. Jangan Islam asal nama saja. Karena hanya orang-orang yang lemah imanlah yang dapat dipengaruhi oleh pihak Kristen dan Yahudi yang seluruh sikapnya kepada kita adalah permusuhan belaka.
Jangan berduka cita melihat itu dan jangan kehilangan akal. Islam mempunyai toleransi yang begitu besar, karena dia yakin akan kebenaran ajarannya.
TOLERANSI ISLAM
Setelah Allah memberi peringatan kepada Rasul-Nya agar jangan berduka cita melihatkan kesempitan paham pemeluk agama yang lain itu—yang kita umat Muhammad merasakannya sampai sekarang—datanglah lanjutan ayat yang luar biasa menunjukkan berlapang dada.
Ayat 69
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman."
Yang dimaksud dengan orang-orang beriman di sini ialah orang-orang yang telah menyatakan percaya kepada Allah, percaya pula bahwa Nabi Muhammad ﷺ adalah Rasul Allah, dan percaya pula bahwa Al-Qur'an ialah wahyu Ilahi kepada Muhammad untuk menjadi tuntunan bagi kita, “Dan orang-orang Yahudi," yaitu umat yang mengaku sebagai pengikut Nabi Musa dan mengakui Taurat sebagai kitab wahyunya, “Dan (begitu juga) orang-orang Shabi'un." Di dalam Al-Qur'an kita bertemu nama-nama Shabi'un ini sampai tiga kali, yaitu pada ayat 62 dari surah al-Baqarah dan ayat 17 dari surah al-Hajj.
Diambil kepada pokok pangkal katanya, yaitu Shabr, berarti bahwa Shabi'un ialah orang-orang yang keluar dari Nasrani, atau sebagai Muslim dia keluar dari agama Islam, lalu membuat agama sendiri. Inilah pula artinya ketika Rasulullah mencela agama nenek moyangnya kaum Quraisy, maka kaum Quraisy menuduh beliau Shabi' dari agama yang dipeluk oleh nenek moyangnya.
Di negeri Irak sampai sekarang ini masih terdapat satu golongan agama yang dipanggilkan orang Shabi'in. Mereka percaya kepada Allah Yang Maha Esa tetapi oleh karena terlalu memperturutkan pikiran sendiri, mereka ti-dak lagi memeluk agama yang telah ada, lalu memeluk atau membuat agama sendiri. Kaum Shabrin di Irak itu dalam beberapa hal mempercayai ajaran Kristen, tetapi mereka pun mempercayai kekuatan bintang-bintang (astronomi), bahwa perjalanan bintang-bintang ada pengaruhnya kepada manusia, sehingga kebanyakan mereka menjadi tukang tenung nasib orang.
Menilik kepada pokok ambilan bahasa ini, maka penulis tafsir ini berpendapat bahwasanya gerakan-gerakan agama yang dicoba orang menyusun di zaman modern ini, seumpama Theosofi yang digerakkan oleh Annie Besart dan Madame Balavatsky di India berapa puluh tahun yang lalu, boleh juga dimasukkan dalam Shabi'in ini. Sebab maksud gerakan Theosofi ialah hendak mempersatukan atau mencari titik-titik pertemuan segaia agama yang ada, lalu Hikmat Ketuhanan. Mulanya mereka tidak bermaksud hendak membuat agama baru, melainkan hendak mempertemukan inti sari segala agama, memperdalam rasa keruhanian, tetapi akhirnya mereka tinggalkanlah segala agama yang pernah mereka peluk dan tekun dalam Theosofi.
Pada pendapat saya, meskipun di dalam tafsir-tafsir lama tidak bertemu pendapat seperti ini. Theosofi adalah semacam Shabi'in juga Sultan Jalaluddin Mohammad Akbar. Sultan Mongol Islam yang Agung di Hindustan yang terkenal itu pun mencoba pula mencari titik-titik pertemuan agama, lalu membangun agama baru, dinamai Diri llahy (agama Allah) Maka disuruhnyalah menyalin Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Persia, dan dipasangnya Api Suci Iran dalam Istana di Agra dan beliau suruh menghormati sapi dan meninggalkan memakan dagingnya dan beliau bertekun ibadah di dalam bulan puasa. Dan ini pun semacam Shabi'in.
“Dan Nashara,"yaitu pengikut-pengikut Isa al-Masih yang karena kelahiran beliau dengan ajaib dan karena mukjizat-mukjizat beliau yang luar biasa, setelah dia meninggalkan dunia, dia dianggap sebagai Allah, tegasnya yang Allah itu adalah dia. Dan dalam kitab mereka yang bernama Kisah Segala Rasul Fasal 11: 26 diakui bahwa sebutan mereka sebagai orang Kristen barulah terdengar setelah murid-muridnya menyebarkan ajaran Isa al-Masih, menurut tafsiran mereka di Anthiochia.
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhirat dan dia pan mengamalkan yang saleh," yaitu apabila pemeluk segala agama dan adanya hari Kiamat, yaitu hidup yang kedua kali, lalu imannya itu diikutinya dengan perbuatan-perbuatan yang baik, “Maka tidaklah ada ketakutan atas mereka." Artinya tidaklah mereka akan ditimpa oleh rasa takut dan cemas dari mendengarkan tentang berita-berita adzab siksaan yang kelak akan diterima di hari Kiamat oleh orang-orang yang ingkar, tidak percaya, dan kufur kepada perintah-perintah Allah,
“Dan tidaklah mereka akan berduka cita."
Artinya, tidaklah mereka akan ditimpa oleh rasa duka cita jika keuntungan yang ada pada hidup di dunia ini tidak dicapainya, tidaklah dia akan berduka cita kalau orang lain kaya raya dengan harta benda, sedang dia sendiri miskin dan papa, dan tidaklah dia akan berduka cita jika orang lain mencapai kemegahan, kedudukan atau pangkat, sedang dia sendiri tidak mendapat bagian dari itu. Sebab dia telah mendapat suka cita batin lantaran iman yang ada dalam dadanya.
Maka timbullah pertanyaan, “Mengapa yang mula disebutkan ialah orang-orang yang beriman? Kemudian disebutkan pula, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian?" Jawabnya ialah bahwa orang-orang yang beriman yang disebut sebagai orang pertama tadi ialah segala orang yang telah mengakui dirinya Islam. Sebab apabila seseorang telah mengucapkan dua kalimat syahadat, terhitunglah dia seorang Muslim. Dalam hal yang demikian masih sama sajalah martabatnya dengan Yahudi, Shabi'in, dan Nashara.
Penafsir Abus-Su'ud menulis dalam tafsirnya, yang dimaksud dengan orang-orang yang beriman tadi itu ialah semata-mata orang yang telah mengakui memeluk Islam, baik yang ikhlas maupun yang munafik sekalipun. Dan yang dimaksud dengan, “Barangsiapa yang beriman," kemudian itu, ialah iman yang semata-mata ikhlas, ataupun dengan memba-ruinya kembali dan menimbulkannya, sebagaimana keadaan orang-orang Islam yang masih munafik atau sekalian golongan. Dan faedah yang terkandung di dalam menyamaratakan bagi orang-orang yang ikhlas ialah untuk lebih menarik perhatian orang yang tetap dalam iman. Dengan menerangkan bahwa mengemudiankan dan menyebut sekali lagi sifat iman, tidak akan mengurangi martabat mereka sebagai contoh untuk orang-orang yang terdahulu dan dikenal itu, melainkan menambah teguhnya.
Ar-Razi menerangkan pula dalam tafsirnya, tadi Allah telah menyatakan bahwa Ahlul Kitab itu tidak punya pegangan sebuah jua pun, sebelum mereka menegakkan betul-betul Taurat dan Injil, artinya sebelum mereka memegang iman yang betul-betul. Sekarang Allah memperjelas lagi supaya hukum ini berlaku buat semua. Buat Yahudi, Nasrani, Shabi'in, dan orang-orang Islam yang mengaku beriman pun. Semua pengakuan itu tidak ada artinya, tidak ada faedahnya dan tidak akan membawa hasil apa-apa kalau tidak beriman kepada Allah dan hari Akhirat dan diikuti sebagai buktinya dengan amalan yang saleh. Karena manusia itu mempunyai dua kekuatan; yaitu kekuatan pandangan pikiran dan kekuatan amaliyah (kekuatan teori dan kekuataan praktik penulis) Timbullah kekuataan tinjauan pikiran tidak akan tercapai kalau tidak mau merenungkan kebenaran. Dan kekuatan amaliyah (praktik) tidak pula akan tercapai, kalau orang tidak bersunguh-sungguh bekerja.
Dan puncak yang mahaagung daripada ma'rifat pengenalan pikiran itu ialah mengenal ujud yang paling mulia, yaitu Allah ﷻ lebih sempurna ma'rifat kepada Allah itu kalau kita telah sampai kepada keyakinan bahwa Allah itu Mahakuasa menghidupkan, dan mematikan, dan membangkitkan kita kembali di hari Akhir. Sebab itu tidak syak lagi bahwa puncak iman ialah iman kepada Allah dan iman kepada adanya Hari Kemudian.
Adapun puncak amal perbuatan ada dua pula. Pertama selalu beramal yang memperbesar rasa perhambaan kepada yang disembah, yaitu Allah tadi.
Kedua berusaha memperbanyak perbuatan yang memberi manfaat kepada sesama makhluk. Kemudian itu Allah memberi kepastian bahwa barangsiapa menegakkan iman ini dan mengikutinya dengan amal, maka dia akan menghadapi hidup sekarang dan hidup yang akan datang dengan tidak ada rasa takut, cemas dan gentar, dan tidak ada rasa duka cita dan sedih hati.
Kata ar-Razi seterusnya, “Faedah menonjolkan kedua kata itu, yaitu takut dan duka cita, ialah karena ketakutan tumbuh karena mengenangkan zaman yang akan datang. Dan rasa duka cita timbul ialah karena mengenangkan zaman-zaman yang telah lampau."
Sekian kita kutipkan dari ar-Razi.
Lalu timbul pertanyaan, “Adakah agaknya orang yang terlepas dari kecemasan dan rasa takut memikirkan hari Kiamat? Padahal selain Nabi dan Rasul tidak ada yang maksum?"
Jawabnya ialah bahwa ayat ini menunjukkan jalan untuk kian lama kian menghindari rasa takut itu. Pertama dengan syarat, yaitu amal saleh. Dan seseorang tidak akan dapat menegakkan amal yang saleh, melainkan serentak berusaha pula menjauhi sekalian perbuatan maksiat. Kedua, kalau rasa takut masih ada juga, maka takut yang demikian tidak usah dicemaskan. Sebab dengan adanya rasa takut dalam diri seorang yang Mukmin, bertambah kuatlah dia beramal yang saleh dan bertambah berusahalah dia mendekati Allah.
Inilah salah satu ayat yang mengandung toleransi besar dalam Islam, Terdapatlah di sini bahwa Islam membuka dada yang lapang bagi sekalian orangyang ingin mendekati Allah dengan penuh iman dan amal saleh. Bahkan orang-orang yang telah mengaku beriman sendiri, orang-orang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat dan iman, haruslah turut membuktikan imannya itu dengan amal yang saleh. Maka sebelum iman dibuktikan, yaitu memperdalam kesadaran akan adanya Allah dan beramal yang membawa faedah bagi sesama manusia, masih sama sajalah kedudukan di antara pemeluk segala agama, yang agamanya itu baru sebagai mereka dan cap saja. Maka apabila iman kepada Allah dan amal jasa kepada sesama manusia dengan sendirinya tegaklah agama yang sejati, tidak ada lagi rasa kebencian dan dendam, dan terbukalah hati menerima wahyu yang dibawa oleh sekalian Nabi, sampai kepada Nabi Muhammad ﷺ.
Dalam suasana yang demikian, maka iman pengikutan, Yahudi keturunan, Shabi'in turut-turutan dan Kristen karena dogma, akan segera sirna, dan timbullah kesatuan dan persatuan seluruh manusia dalam satu agama, yaitu agama yang benar-benar menyerah diri kepada Allah, itulah Islam.