Ayat
Terjemahan Per Kata
وَمَن
dan barang siapa
يَتَوَلَّ
menjadikan pemimpin
ٱللَّهَ
Allah
وَرَسُولَهُۥ
dan RasulNya
وَٱلَّذِينَ
dan orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
فَإِنَّ
maka sesungguhnya
حِزۡبَ
golongan/pengikut
ٱللَّهِ
Allah
هُمُ
mereka
ٱلۡغَٰلِبُونَ
orang-orang yang menang
وَمَن
dan barang siapa
يَتَوَلَّ
menjadikan pemimpin
ٱللَّهَ
Allah
وَرَسُولَهُۥ
dan RasulNya
وَٱلَّذِينَ
dan orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
فَإِنَّ
maka sesungguhnya
حِزۡبَ
golongan/pengikut
ٱللَّهِ
Allah
هُمُ
mereka
ٱلۡغَٰلِبُونَ
orang-orang yang menang
Terjemahan
Siapa yang menjadikan Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman sebagai penolongnya, sesungguhnya para pengikut Allah itulah yang akan menjadi pemenang.
Tafsir
(Siapa yang mengambil Allah dan rasul-Nya serta orang-orang yang beriman sebagai penolongnya) lalu mereka dibela dan ditolongnya pula (maka sesungguhnya golongan agama Allah itulah yang akan menang) yang terjamin dengan pertolongan Allah ﷻ sedangkan pembelaan seseorang kepada agama Allah itu menjadi bukti bahwa ia dari golongan dan pengikut agama itu.
Tafsir Surat Al-Ma'idah: 54-56
Wahai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kalian yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap tegas terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Sesungguhnya penolong kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).
Dan barang siapa yang mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.
Ayat 54
Allah ﷻ berfirman menceritakan tentang kekuasaan-Nya Yang Maha Besar, bahwa barang siapa yang memalingkan diri tidak mau menolong agama Allah dan menegakkan syariat-Nya, sesungguhnya Allah akan menggantikannya dengan kaum yang lebih baik daripadanya, lebih keras pertahanannya serta lebih lurus jalannya.
Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain, yaitu firman-firman-Nya berikut ini:
“Dan jika kalian berpaling, niscaya Dia akan mengganti (kalian) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kalian (ini).” (Muhammad: 38)
“Jika Allah menghendaki, niscaya Dia musnahkan kalian, wahai manusia; dan Dia datangkan umat yang lain (sebagai pengganti kalian).” (An-Nisa: 133)
“Jika Dia menghendaki, niscaya Dia membinasakan kalian dan mengganti (kalian) dengan makhluk yang baru, dan yang demikian itu sekali-kali tidak sulit bagi Allah.” (Ibrahim: 19-20)
“Wahai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kalian yang murtad dari agamanya.” (Al-Maidah: 54)
Yakni meninggalkan kebenaran dan kembali kepada kebatilan.
Muhammad ibnu Ka'b mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan para pemimpin orang-orang Quraisy. Menurut Al-Hasan Al-Basri, ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang murtad yang baru kelihatan kemurtadannya di masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar.
“Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.” (Al-Maidah: 54)
Al-Hasan Al-Basri menyebutkan bahwa demi Allah, yang dimaksud adalah Abu Bakar dan sahabat-sahabatnya. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Abu Bakar ibnu Abu Syaibah mengatakan, ia pernah mendengar Abu Bakar ibnu Ayyasy berkata sehubungan dengan firman-Nya: “Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.” (Al-Maidah: 54); Mereka adalah penduduk Qadisiyah.
Sedangkan menurut Al-Laits ibnu Abu Sulaim, dari Mujahid, mereka adalah suatu kaum dari negeri Saba.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Ajlah, dari Muhammad ibnu Amr, dari Salim, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.” (Al-Maidah: 54) Yang dimaksud adalah segolongan orang-orang dari penduduk negeri Yaman, Kindah, dan As-Sukun.
Telah menceritakan pula kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Musaffa, telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah (yakni Ibnu Hafs), dari Abu Ziyad Al-Hilfani, dari Muhammad ibnul Munkadir, dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah ditanya mengenai makna firman-Nya: “Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.” (Al-Maidah: 54) Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Mereka adalah suatu kaum dari kalangan penduduk negeri Yaman, lalu dari Kindah, dari As-Sukun, dan dari Tajib.” Hadits ini berpredikat gharib (asing) sekali.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Abdus Samad (yakni Ibnu Abdul Waris), telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Sammak; ia pernah mendengar Iyad menceritakan suatu hadits dari Abu Musa Al-Asy'ari yang mengatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan, yaitu firman Allah ﷻ: “Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya.” (Al-Maidah: 54) Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Mereka adalah dari kaum orang ini” (seraya mengisyaratkan kepada Abu Musa Al-Asy'ari, yakni dari penduduk Yaman, pent.).
Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui hadits Syu'bah dengan lafal yang serupa.
Firman Allah ﷻ: “Yang bersikap lemah lembut terhadap orang-orang mukmin, yang bersikap tegas terhadap orang-orang kafir.” (Al-Maidah: 54)
Demikianlah sifat orang mukmin yang sempurna, yaitu selalu bersikap rendah hati terhadap saudara dan teman sejawatnya, dan bersikap tegas terhadap musuh dan seterunya, seperti yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam ayat yang lain, yaitu: “Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah tegas terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (Al-Fath: 29) Di dalam gambaran tentang sifat Rasulullah ﷺ disebutkan bahwa beliau ﷺ adalah orang yang banyak senyum lagi banyak berperang. Dengan kata lain, beliau selalu bersikap kasih sayang dan lemah lembut kepada kekasih-kekasihnya dan sangat tegras terhadap musuh-musuhnya.
Firman Allah ﷻ: “Yang berjihad di jalan Allah, dan tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.” (Al-Maidah: 54)
Yakni mereka tidak pernah mundur setapak pun dari prinsipnya, yaitu taat kepada Allah, menegakkan batasan-batasan-Nya, memerangi musuh-musuh-Nya, dan melakukan amar ma'ruf serta nahi munkar. Mereka sama sekali tidak pernah surut dari hal tersebut, tiada seorangpun yang dapat menghalang-halangi mereka, dan tidak pernah takut terhadap celaan orang-orang yang mencela dan mengkritiknya.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Salam Abul Munzir, dari Muhammad ibnu Wasi', dari Abdullah ibnus Samit, dari Abu Dzar yang menceritakan: “Kekasihku (yakni Nabi ﷺ) telah memerintahkan kepadaku melakukan tujuh perkara, yaitu: Beliau memerintahkan kepadaku agar menyayangi orang-orang miskin dan dekat dengan mereka. Beliau memerintahkan kepadaku agar memandang kepada orang yang di bawahku dan jangan memandang kepada orang yang di atasku.
Beliau memerintahkan kepadaku agar menghubungkan silaturahmi, sekalipun hatiku tidak suka. Beliau memerintahkan kepadaku agar jangan meminta sesuatu pun kepada orang lain. Beliau memerintahkan kepadaku agar mengucapkan hal yang benar, sekalipun itu pahit. Beliau memerintahkan kepadaku agar jangan takut kepada celaan orang yang mencela dalam membela (agama) Allah. Dan beliau memerintahkan kepadaku agar memperbanyak ucapan, ‘La haula wala quwwata illa billah’ (Tidak ada daya untuk menghindar dari maksiat dan tidak ada kekuatan untuk mengerjakan ibadah kecuali berkat pertolongan Allah), karena sesungguhnya kalimah ini merupakan suatu perbendaharaan yang tersimpan di bawah 'Arasy."
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abul Mughirah, telah menceritakan kepada kami Safwan, dari Abul Musanna, bahwa Abu Dzar pernah menceritakan, "Rasulullah ﷺ membaiat diriku atas lima perkara dan mengikat diriku dengan tujuh perkara. Dan aku bersaksi kepada Allah bahwa aku tidak akan takut terhadap celaan orang yang mencela demi membela (agama) Allah." Abu Dzar melanjutkan kisahnya, "Lalu Rasulullah ﷺ memanggilku dan bersabda, 'Maukah engkau berbaiat, agar nanti kamu bisa masuk surga?' Aku menjawab, 'Ya.' Lalu aku mengulurkan tanganku, maka Nabi ﷺ bersabda seraya mensyaratkan kepadaku, 'Janganlah kamu meminta kepada orang lain barang sesuatu pun.' Aku menjawab, 'Ya.' Nabi ﷺ bersabda: ‘Dan jangan pula kamu meminta tolong kepada orang lain untuk memungut cambukmu, sekalipun cambukmu terjatuh dari tanganmu.’ Yakni beliau ﷺ memerintahkan kepadaku agar memungut sendiri cambukku, jangan minta pertolongan kepada orang lain untuk mengambilkannya."
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Hasan, telah menceritakan kepada kami Ja'far, dari Al-Ma'la Al-Firdausi, dari Al-Hasan, dari Abu Sa'id Al-Khudri yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Ingatlah, jangan sekali-kali seseorang di antara kalian merasa takut terhadap orang lain untuk mengatakan kebenaran, jika dia melihat atau menyaksikannya. Karena sesungguhnya tidak dapat memendekkan ajal dan tidak pula menjauhkan rezeki bila seseorang mengatakan kebenaran atau menceritakan hal yang berat untuk diutarakan.” Hadits diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid (menyendiri).
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Zubaid, dari Amr ibnu Murrah, dari Abul Buhturi, dari Abu Sa'id Al-Khudri yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Jangan sekali-kali seseorang di antara kalian merendahkan dirinya bila ia melihat suatu perkara menyangkut (agama) Allah yang harus ia utarakan, lalu ia tidak mau mengatakannya. Maka akan dikatakan kepadanya pada hari kiamat, ‘Apakah yang mencegah dirimu untuk mengatakan anu dan anu?’ Lalu ia menjawab, ‘Karena takut kepada manusia.’ Maka dijawab, ‘Sebenarnya yang harus kamu takuti hanyalah Aku’."
Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadits Al-A'masy, dari Amr ibnu Murrah, dengan lafal yang sama.
Imam Ahmad dan Imam Ibnu Majah meriwayatkan melalui hadits Abdullah ibnu Abdur Rahman Abu Tuwalah, dari Nahar ibnu Abdul lah Al-Abdi Al-Madani, dari Abu Sa'id Al-Khudri, dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Sesungguhnya Allah benar-benar akan menanyai hamba-Nya di hari kiamat, hingga Dia sampai menanyainya dengan pertanyaan, ‘Wahai hamba-Ku, bukankah engkau pernah melihat kemungkaran, lalu mengapa engkau tidak mencegahnya?’ Maka apabila Allah telah mengajarkan kepada seseorang hamba hujah (alasan) yang dikatakannya, maka si hamba berkata, ‘Ya Tuhanku, saya percaya kepada-Mu, tetapi saya takut kepada manusia’."
Telah disebutkan pula di dalam sebuah hadits shahih: Tidak layak bagi seorang mukmin menghinakan dirinya sendiri. Ketika mereka (para sahabat) bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan menghinakan dirinya sendiri?" Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Menanggung bencana (akibat) yang tidak kuat ditanggungnya.”
“Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.” (Al-Maidah: 54)
Yakni orang-orang yang menyandang sifat-sifat tersebut, tiada lain berkat karunia dan taufik Allah kepada mereka.
“Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Al-Maidah: 54)
Yaitu Dia Maha Luas karunia-Nya kepada orang yang berhak menerima karunia itu, dan Maha Mengetahui tentang siapa yang tidak berhak mendapat karunia-Nya.
Ayat 55
Firman Allah ﷻ: “Sesungguhnya penolong kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman.” (Al-Maidah: 55)
Yakni orang-orang Yahudi itu bukanlah penolong kalian. Penolong kalian tiada lain adalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin.
Firman Allah ﷻ: “Yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat.” (Al-Maidah: 55)
Yakni orang-orang mukmin yang mempunyai sifat-sifat ini, yaitu mendirikan shalat yang merupakan rukun Islam yang paling utama, karena shalat dilakukan hanya untuk Dia semata dan tiada sekutu bagi-Nya; dan menunaikan zakat yang merupakan hak menyangkut makhluk serta pertolongan terhadap orang-orang yang memerlukan pertolongan dari kalangan orang-orang lemah dan orang-orang miskin.
Adapun mengenai firman-Nya yang mengatakan: “Seraya mereka tunduk (kepada Allah).” (Al-Maidah: 55)
Maka sebagian ulama ada yang menduga bahwa kalimat ini berkedudukan sebagai hal atau keterangan keadaan dari firman-Nya: “Dan menunaikan zakat.” (Al-Maidah: 55) Yaitu dalam keadaan rukuk, mereka menunaikan zakat (sedekahnya). Seandainya memang demikian, berarti menunaikan zakat di saat sedang rukuk merupakan hal yang lebih utama daripada keadaan lainnya, karena dalam ayat ini disebutkan sebagai tindakan yang terpuji, padahal keadaannya tidaklah demikian, menurut salah seorang ulama dari kalangan ulama fatwa yang telah kami kenal.
Sehingga ada sebagian dari mereka yang menyebutkan sebuah atsar sehubungan dengan ayat ini, dari Ali ibnu Abu Thalib, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan dia. Demikian itu karena pada suatu hari di depannya lewat seorang peminta-minta, sedangkan dia dalam keadaan rukuk dalam salatnya, lalu dia memberikan cincinnya kepada peminta-minta itu.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi ibnu Sulaiman Al-Muradi, telah menceritakan kepada kami Ayyub ibnu Suwaid, dari Atabah ibnu Abu Hakim sehubungan dengan firman-Nya: “Sesungguhnya penolong kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman.” (Al-Maidah: 55) Bahwa mereka adalah orang-orang mukmin dan Ali ibnu Abu Thalib.
Telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Dakin Abu Na'im Al-Ahwal, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Qais Al-Hadrami, dari Salamah ibnu Kahil yang menceritakan bahwa sahabat Ali ibnu Abu Thalib pernah menyedekahkan cincinnya, sedangkan dia dalam rukuk dalam salatnya, maka turunlah firman-Nya: “Sesungguhnya penolong kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya rukuk.” (Al-Maidah: 55)
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Haris, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz, telah menceritakan kepada kami Galib ibnu Abdullah, bahwa ia pernah mendengar Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Sesungguhnya penolong kalian hanyalah Allah Rasul-Nya.” (Al-Maidah: 55) Ayat ini diturunkan berkenaan dengan Ali ibnu Abu Thalib yang mengeluarkan sedekah ketika sedang rukuk dalam salatnya.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab ibnu Mujahid, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Sesungguhnya penolong kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya.” (Al-Maidah: 55) hingga akhir ayat; Ayat ini diturunkan berkenaan dengan sahabat Ali ibnu Abu Thalib.
Akan tetapi, hadits Abdul Wahhab ibnu Mujahid tidak dapat dijadikan sebagai hujah (alasan) karena predikatnya dha’if.
Ibnu Mardawaih telah meriwayatkan melalui jalur Sufyan Ats-Tsauri, dari Abu Sinan, dari Adh-Dhahhak, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ketika Ali ibnu Abu Thalib sedang berdiri dalam salatnya, lewatlah di hadapannya seorang peminta-minta saat ia dalam rukuknya. Maka ia memberikan cincinnya kepada peminta-minta itu, lalu turunlah firman-Nya: “Sesungguhnya penolong kalian hanyalah Allah Rasul-Nya.” (Al-Maidah: 55), hingga akhir ayat. Tetapi Adh-Dhahhak tidak pernah bertemu dengan Ibnu Abbas.
Ayat 56
Ibnu Mardawaih telah meriwayatkan pula melalui jalur Muhammad ibnus Saib Al-Kalbi (dia orangnya matruk, perawi yang diduga berdusta), dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ keluar dari rumah menuju masjid di saat orang-orang sedang shalat, ada yang sedang rukuk, ada yang sedang sujud, ada yang sedang berdiri, ada pula yang sedang duduk. Tiba-tiba ada seorang miskin meminta-minta. Maka Rasulullah ﷺ masuk ke dalam masjid dan bertanya (kepada orang miskin itu), "Apakah ada seseorang yang memberimu sesuatu?" Ia menjawab, "Ya, ada." Nabi ﷺ bertanya, "Siapakah dia?" Ia menjawab, "Itu, lelaki yang sedang berdiri." Nabi ﷺ bertanya, "Dalam keadaan apakah dia ketika memberimu?" Ia menjawab, "Ketika dia sedang rukuk." Nabi ﷺ bersabda, "Orang itu adalah Ali ibnu Abu Thalib." Maka Rasulullah ﷺ saat itu bertakbir seraya membaca firman-Nya: “Dan barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (Al-Maidah: 56) Sanad hadits ini kurang menggembirakan.
Kemudian Ibnu Mardawaih meriwayatkannya melalui hadits Ali ibnu Abu Thalib sendiri dan Ammar ibnu Yasir serta Abu Rafi', tetapi tiada sesuatu pun darinya yang shahih sama sekali, mengingat sanad-sanadnya lemah lagi para perawinya tidak dikenal. Kemudian Ibnu Mardawaih meriwayatkan berikut sanadnya, dari Maimun ibnu Mahran, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Sesungguhnya penolong kalian hanyalah Allah dan Rasul-Nya.” (Al-Maidah: 55) Bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang mukmin, terutama sekali Ali ibnu Abu Thalib.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hannad, telah menceritakan kepada kami Abdah, dari Abdul Malik, dari Abu Ja'far sehubungan dengan makna firman-Nya: “Sesungguhnya penolong kalian hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya rukuk.” (Al-Maidah: 55) Maka kami tanyakan kepadanya (Abu Ja'far) "Siapakah yang dimaksud dengan orang-orang yang beriman itu?" Abu Ja'far menjawab, "Ya, orang-orang yang beriman." Kami katakan," Telah sampai kepada kami bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Ali ibnu Abu Thalib." Abu Ja'far berkata, "Ali termasuk orang-orang yang beriman."
Asbat telah meriwayatkan dari As-Suddi bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan semua orang mukmin, tetapi Ali ibnu Abu Thalib ketika sedang shalat lewat didepannya seseorang yang meminta-minta di saat ia rukuk dalam salatnya di dalam masjid, lalu ia memberikan cincinnya kepada orang yang meminta-minta itu.
Ali ibnu AbuTalhah Al-Walibi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa barang siapa yang masuk Islam, berarti dia telah berpihak kepada Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman; yakni menjadikan mereka sebagai walinya. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Dalam hadits-hadits yang telah kami kemukakan disebutkan bahwa seluruh ayat ini diturunkan berkenaan dengan Ubadah ibnus Samit ketika menyatakan berlepas diri dari perjanjian paktanya dengan orang-orang Yahudi, lalu ia rela berpihak kepada Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin. Karena itulah sesudah kesemuanya disebutkan oleh firman Allah ﷻ:
“Dan barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (Al-Maidah: 56)
Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan oleh firman Allah ﷻ lainnya, yaitu: “Allah telah menetapkan, ‘Aku dan Rasul-Rasul-Ku pasti menang.’ Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa. Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari-Nya. Dan mereka dimasukkan-Nya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (Al-Mujadilah: 21)
Maka setiap orang yang rela dengan kekuasaan Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, dia beruntung di dunia dan akhirat serta beroleh pertolongan di dunia dan akhirat.
Karena itulah dalam surat ini disebutkan oleh firman-Nya: “Dan barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (Al-Maidah: 56)
Tuntunan Al-Qur'an tentang penolong dan pemimpin mesti dipahami dan diikuti, karena itu barang siapa yang menjadikan Allah, RasulNya, dan orang-orang yang beriman sebagai penolongnya dalam menyelesaikan segala urusannya, maka sungguh mereka akan mendapatkan bukti bahwa pengikut agama Allah itulah yang akan menangq Pada ayat-ayat yang lalu Allah melarang orang beriman untuk menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman akrab, penolong, atau pelindung, sedang pada ayat-ayat berikut dijelaskan tentang sebab-sebabnya. Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah sekali-kali kamu menjadikan pemimpinmu dari orang-orang yang membuat syariat atau ajaran agamamu jadi bahan ejekan dan permainan, sebab hal ini hanya akan menyebabkan terjadinya pelecehan terhadap tuntunan Ilahi. Mereka yang termasuk kelompok demikian adalah sebagian di antara orangorang yang telah diberi kitab sebelummu, yaitu orang Yahudi dan Nasrani, dan orang-orang kafir yang di antaranya adalah orang musyrik. Karena itu, tetaplah teguh dalam Islam dan bertakwalah hanya kepada Allah jika kamu semua memang benar-benar merupakan orang-orang beriman.
Ayat ini merupakan jaminan Allah kepada orang mukmin yang telah menjadikan Allah, Rasul-Nya dan orang mukmin menjadi pemimpin dan penolongnya. Allah menjamin dan menjanjikan kemenangan bagi mereka. Mereka dinamakan "hizbullah", penganut agama Allah yang setia. Pertolongan Allah akan turun kepada mereka, sehingga mereka akan mendapat kemenangan yang paling gemilang.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 54
“Wahai orang-orang yang beriman! Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, maka akan didatangkan oteh Allah suatu kaum yang dicintai-Nya, dan mereka pun mendntai-Nya."
Datang peringatan Allah kepada orang-orang yang beriman, orang-orang yang telah menyatakan percaya kepada Allah dan Rasul, bahwa kalau kelak terjadi ada yang murtad di kalangan kamu, yaitu di kalangan orang-orang yang telah mengaku beriman, (murtad artinya meninggalkan Islam dan kembali ke dalam kufur, membalik langkah) Maka kalau hal ini kelak kejadian, tidaklah akan terhenti perkembangan Islam. Ada yang murtad, tetapi akan ada lagi masuk ganti yang baru, yang lebih bersih Islamnya daripada yang murtad itu. Mereka masuk Islam karena cinta kepada Allah dan Allah pun menghargai dan membalas cinta mereka, tiada bertepuk sebelah tangan. Di dalam ayat ini dipujikan kelebihan dari orang yang akan masuk itu:
“Mereka dicintai Allah, sebab mereka mencintai Allah." Iman mereka mencapai puncak tinggi. Mereka tertarik kepada Islam karena cinta kepada Allah, bukan semata-mata karena ingin akan masuk surga dan takut akan masuk neraka. Sebab itu bagi mereka tidak ada yang berat, melainkan semuanya ringan, sebab yang memerintahkan ialah kekasih mereka: Allah!
“Dan merendah diri kepada orang-orang yang beriman."Tersebab dari cinta mereka kepada Allah, maka terhadap orang-orang yang sama-sama beriman kepada Allah, mereka merendah diri, tawadhu, bukan menyombong, bahkan merasa bahwa tiap-tiap orang yang beriman itu adalah saudara mereka sendiri,
“Gagah perkasa menghadapi orang-orang yang kafir." Lantaran cinta mereka kepada Allah jua, mereka pun tidak gentar menghadapi orang yang tidak mau percaya kepada Allah, atau berusaha memerangi Allah dan Rasul. Sebab itu mereka pun bersedia mengorbankan harta benda dan jiwa buat mempertahankan Agama Allah.
“Yang mereka berjihad pada jalan Allah." Oleh karena cinta mereka yang telah mendalam kepada Allah, maka mereka pun selalu berjihad, berjuang, bekerja keras bagi menegakkan jalan Allah, dalam segala cabang pekerjaan. Tidak mereka me-ngiri-menganan lagi. Sebab mereka tahu bahwa usia manusia adalah terlalu pendek, tempo terlalu sedikit. Apalah artinya hidup ini kalau tidak bekerja keras. Bekerja merapatkan hubungan cinta dengan Allah, bekerja merapatkan hubungan kasih sayang dengan sesama manusia yang beriman, dan bekerja pula mempertahankan Islam daripada serangan musuh-musuhnya. Mereka beribadah dengan tekun, bekerja pula mencari mata penghidupan, bersawah ladang, beternak, dan berniaga, dan juga berperang.
“Dan tidak mereka takut akan celaan orang yang mencela." Tidak mereka pedulikan celaan dan Cercaan, hamun dan maki. Mereka jalan terus! Inilah mutu iman dan Islam yang telah tinggi.
“Yang demikianlah kurnia Allah, yang Dia berikan kepada barangsiapa yang Dia kehendaki." Maka meskipun misalnya ada orang yang pada mulanya telah mengaku beriman, lalu kemudian belot dan murtad, namun gantinya yang lebih tinggi mutunya akan tetap ada; Islam dengan hati cinta yang terbuka.
“Dan Allah adalah Mahaluas lagi Mahatahu."
Pandangan Allah meliputi langit dan bumi, meliputi juga akan zaman yang akan datang. Allah meliputi dengan luasnya, meliputi ruang dan waktu, yang kadang-kadang belum terlihat oleh Manusia. Dan Allah Mahatahu apa yang akan kejadian itu.
Tentang suku ayat “merendahkan diri kepada orang-orang yang beriman, gagah perkasa menghadapi orang-orang yang kafir" ini, penafsir az-Zamakhsyari, merekankan bahwa inilah perbedaan Mukmin sejati dan orang munafik. Sebab ayat ini ada hubungannya dengan ayat yang sebelumnya, sebab ada orang yang mengaku beriman juga, tetapi hatinya lebih condong meminta pimpinan kepada Yahudi dan Nasrani. Orang Mukmin sejati tidaklah demikian. Merekadapatbersikap lemah lembut, berlapang dada, rendah hati kepada sesama Islam, tetapi kalau terhadap kepada orangyang berbeda pendirian, mereka mempunyai disiplin yang teguh. Dalam zaman modern kita ini orang yang demikian disebut kuat mentalnya dan teguh akhlaknya. Kalau di antara awak sama awak, Muslim sama Muslim, keadaan bisa didamaikan. Tetapi kalau dengan orang kafir, meskipun ada toleransi, tetapi aqidah, pegangan, pendirian, tidak dapat tawar-menawar.
Lantaran pendiriannya yang teguh itu, lantaran sikapnya yang bertolak angsur sesama orang beriman dan keras dalam mempertahankan agama, maka mereka pun tidak merasa gentar dan takut kepada celaan orang yang mencela, cacian nahi munkar. Dia akan terus bergerak berjuang, laksana sebuah besi paku yang telah merah karena dipanaskan. Demikian az-Zamakhsyari.
“Layakhafuna laumata laa-imin"—adalah sebagai paku pula, untuk memperteguh pendirian seorang Mukmin dalam mempertahankan kebenaran agamanya. Dia berani menanggung segala akibat. Sebelum dia ber-gerak dan berjuang, dia sudah tahu bahwa akan ada halangan dari orang yang tidak suka. Sebab dia sudah tahu bahwa setiap aksi pasti ada reaksinya. Kalau tidak demikian apalah gunanya berjuang menegakkan agama dinamai jihad. Oleh sebab itu, seorang ahli dakwah yang tahan dan kebal, dan masih tetap meneruskan dakwahnya, walaupun apa rintangan yang dihadapi, jauh lebih tinggi martabatnya daripada orang yang lekas kecewa karena mendapat rintangan. Dan jelas lagi bahwa meskipun betapa besar celaan orang, namun kewajiban berdakwah tidaklah menjadi kurang lantaran itu.
Di sini kita salinkan dua buah hadits untuk menjadi pedoman bagi orang yang berjihad menegakkan kebenaran.
“Dari Abu Sa'id al-Khudri r.a., berkata dia, berkata Rasulullah ﷺ, ‘Ingatlah! Janganlah seseorang di antara kamu terhalang menyatakan kebenaran karena takut kepada manusia, kalau kebenaran itu telah dilihatnya dan disaksikannya. Karena tidaklah mendekatkan ajal dan tidak pula menjauhkan rezeki, kalau berani menyatakan kebenaran dan berani menyebut soal yang dianggap besar."‘ (HR Imam Ahmad)
Dirawikan oleh Imam Ahmad juga, dari Abu Sa'id al-Khudri juga,
Jangan seorang pun di antara kamu membuat dirinya rendah, bahwa dia melihat suatu hal yang karena Allah patut diperkatakan, lalu tidak dikatakannya. Kepadanya akan ditanyakan di hari Kiamat, ‘Apa yang menghalangimu menyatakan pendapat dalam hal itu dan ituV Lalu dia menjawab, ‘Karena takut kepada manusia!' Maka berkatalah Dia (Allah), ‘Akulah yang lebih berhak buat kamu takuti.' (HR Imam Ahmad)
Kemudian itu kita salinkan saja arti dari sebuah hadits yang dirawikan oleh Imam Ahmad juga, dari Nabi, Abu Dzar al-Ghifari. Berkata Abu Dzar, “Aku telah diperintahkan oleh khalilku (sahabatku tercinta) Nabi Muhammad ﷺ dengan tujuh wasiat yang harus aku pegang teguh. Pertama, aku diperintah supaya mencintai orang miskin dan mendekatkan din kepadanya. Kedua, aku diperintahkan memandang ke atas. Ketiga, dan aku diperintahkan menghubungkan siia-turrahmi (kasih sayang), walaupun dia telah membelakang. Keempat, aku dilarang keras menadahkan tangan meminta kepada orang lain. Kelima, dan aku diperintahkannya mengatakan kebenaran, meskipun pahit Keenam, dan aku diperintahkan supaya di dalam menegakkan kebenaran Allah, jangan takut celaan orang yang mencela. Ketujuh, dan aku diperintahkannya banyak-banyak mengucapkan, “Laa Haula wala Quwwata ilia Billah. Karena itu adalah satu perbendaharaan di bawah Arsy."
Dengan memahamkan sifat-sifat orang yang memeluk agama Islam dengan berbalas-balas cinta dengan Allah ini, yang tidak gentar dan takut akan halangan dan rintangan, tak usah takut akan ada yang murtad. Tak usah takut akan ancaman propagarda Kristen yang menaburkan uang berjuta-juta dollar, dan berusaha hendak merebut seluruh kekuasaan, supaya menghilangkan kekuatan agama kita. Orang yang dapat dibujuk menukar tauhid dengan musyrik hanyalah orang yang kosong dari iman. Kalau ada muballig Islam yang berani menghadapi segala risiko, dalam menegakkan agama, sanggup menderita dan telah meleburkan kepentingan dirinya untuk kepentingan umatnya, maka “gigitan" pihak lawan itu hanyalah gigitan nyamuk saja. Biar mereka coba! Tetapi kalau yang bertanggung jawab tidur lelap, habis ghirah agama, takut menderita, maka anak kandungnya pun akan dikristenkan orang!
Maka apa yang dibayangkan tentang orang yang murtad pada ayat di atas tadi, me-manglah terjadi. Di zaman Nabi masih hidup telah mulai ada yang murtad. Di negeri Yaman timbul seorang yang bernama Aswad (si hitam) al-'Ansi, mengakui dirinya jadi nabi pula. Di Yamamah timbul pula seorang nabi palsu yang bernama Musailamah. Dan yang lebih lucu lagi, ada pula seorang perempuan tukang tenung bernama Sajjah binti Haris mendakwakan dirinya nabiyah pula. Banu Asad pun murtad, di bawah pimpinan Thulaihah bin Khuailid. Berontak pula Malik bin Nuairah dari Bani Yarbu'. Malik Nuairah ini tidak mau membayar zakat. Dan berontak murtad pula kabilah-kabilah Fazzarah di bawah pimpinan ‘Uyainah bin Hishn, berontak pula Ghathfan di bawah pimpinan Qurrah bin Salman al-Qaisyary, dan Bani Salim di bawah Fuja'ah bin Abdu Jalail, kabilah-kabilah ini menyatakan murtad setelah Rasulullah ﷺ wafat. Tetapi yang telah nyata-nyata murtad ketika beliau hidup, ialah Aswad dan Musailamah al-Kadzdzab (si pembohong) Tetapi Aswad telah dapat dibinasakan sementara Rasulullah masih hidup.
Yaitu seorang budak bangsa Dailami bernama Firuz datang sendiri ke tempat Aswad itu lalu membunuhnya. Sedang Amil Rasulullah ﷺ di Yaman ketika itu ialah Mu'adz bin (abai. Suatu mukjizat Rasulullah pula ialah bahwa seumpama tadi malam Aswad itu mati, paginya Rasulullahyangsedangsakitakanmeninggaldi bulan Rabiul sudah tahu dan memberitahukan kepada sahabat-sahabat bahwa Aswad telah mati terbunuh tadi malam. Seakan-akan buat Rasulullah sendiri disediakan istimewa dengan wahyu “telegram" menyampaikan berita cepat. Demikian juga telah dijadikan sebelum itu, ketika Abruiz Kisra Persia telah mati dibunuh orang. Paginya di waktu Shubuh Rasulullah ﷺ telah menyampaikan kepada para sahabat.
Setelah mati Aswad, yang besar pengaruhnya ialah Musailamah yang bergelar al-Kadzdzab (si pembohong) itu. Dia pernah berkirim surah kepada Rasulullah ﷺ dengan menyebut, “Dari Musailamah Rasulullah kepada Muhammad Rasulullah. Assaiamu-'alaikum! Mari kita bagi kekuasaan, separuh bumi untuk saya dan separuh bumi untuk Qu-raisy, tetapi Quraisy adalah pelanggar batas."
Surah itu dibawa oleh dua orang utusannya.
Lalu Nabi Muhammad ﷺ bertanya kepada kedua utusan itu, “Kamu berdua bagaimana pendapatmu tentang ini?" Mereka menjawab, “Kami juga percaya akan kenabiannya." Lalu berkatalah Rasulullah ﷺ, “Kalau boleh telah menjadi adat bahwa utusan tidak boleh dibunuh, telah aku potong leher kalian." Lalu beliau suruh bikin surah balasan kepada Musailamah itu, “Bismillahir-Rahmanir-Rahim! Dari Muhammad Rasulullah kepada si pem-bohong! Salam untuk orang yang sudi menuruti petunjuk. Amma Ba'du. Bumi ini adalah kepunyaan Allah, diwariskan-Nya kepada ba-rangsiapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-Nya. Adapun kemenangan terakhir adalah pada orang-orang yang bertakwa." Maka sejak masa itu lekatlah gelarnya “al-Kadzdzab". Si pembohong.
Yang lucu pula ialah Musailamah kawin dengan Sajjah binti Haris, nabi palsu perempuan itu. Yaitu setelah mereka bertanding “wahyu" dari beberapa kata cabul, si nabi palsu perempuan kalah, lalu sebagai tanda kalah, dia menyerahkan diri.
Di zaman Khalifah pertama Abu Bakar, seluruh pemberontakan kaum murtad ini beliau sapu bersih dalam masa kurang dari setahun. Ketika itulah mulai muncul carrier Khalid bin Walid. Dan yang membunuh Musailamah adalah budak Wahsyi, yang di zaman jahiliyyah pada Perang Uhud membunuh Hamzah bin Abi Thalib, sehingga suatu waktu Wahsyi itu pernah sambil terharu berkata, “Di zaman jahiliyyah aku membunuh yang sebaik-baik manusia dan di zaman Islam aku membunuh sejahat-jahat manusia."
Maka jasa terbesar pemerintahan Abu Bakar selama dua tahun ialah menyapu bersih segala pemberontakan kaum murtad ini hingga habis, dan kesatuan Daulah Tslamiyah yang didirikan Rasulullah tercapai kembali dengan penuhnya, dalam masa hanya 6 bulan. Setelah itu dapatlah kekuatan Islam digunakan kembali mengembangkan sayap ke negeri-negeri yang berada di sekelilingnya, lalu disambung di zaman Umar dan seterusnya.
Di zaman pemberontakan itu, demikian kata ahli-ahli tafsir, berduyunlah suatu kabilah besar dari negeri Yaman masuk Islam. Kabilah yang dicintai Allah dan mencintai Allah, dengan kelima sifat yang telah disebutkan hadits tadi. Kabilah yang baru masuk itu berduyun datang ke Madinah menyatakan taat setia, bernama kabilah Asy'ary, yaitu kabilah dari seorang sahabat Rasulullah yang terkenal pula namanya yaitu Abu Musa al-Asy'ari!
Kalau kita renungkan ayat ini dengan saksama, kepada tafsiran yang lebih luas, sehingga bukan saja dalam ada yang murtad, melainkan meliputi akan kerugian yang umum, kerap kalilah bertemu keajaiban sejarah ini dalam Islam. Beberapa kabilah Arab berontak dan murtad, namun Allah mendatangkan gantinya kabilah al-Asy'ari, ditambah dengan kabilah Kindah dan kabilah Sukun dan kabilah Tayib dari Yaman. Ketika kaum murtad itu diperangi banyak yang mati, tetapi ganti yang datang lebih banyak. Kerugian telah berganti dengan laba yang lebih besar.
Sir Thomas Arnold, penulis buku Preaching of Islam (Dakwah Damai dari Islam) pun pernah membanding kerugian dan kelabaan ini dalam buku tersebut. Simpulan kata beliau, “Ketika kerajaan Khalifah di Baghdad dihancurkan bangsa Moghul pada tahun 1286 hingga hancur-lebur, di waktu itu pula timbul suatu “Kebesaran Islam di pulau Sumatera." (Yang beliau maksud berdirinya Kerajaan Pasai Samudera di Aceh, Rajanya al-Malikush-Shalih, 1293)
Sebagaimana itu pula pernah ditulis oleh Allamah Muhammad Iqbal tentang bangsa Moghul, “Nenek moyang bangsa Mongol itu, dengan Jenghis Khan dan Houlako telah menghancurkan negeri-negeri Islam menjadi puing.
Tetapi anak cucu mereka telah terkena oleh Nur al-Islam, sehingga mereka menjadi pahlawan-pahlawan Islam. Anak cucu Jenghis Khan yang telah mendirikan kekaisaran Mongol yang besar di Hindustan itu, dengan Akbar, Jihankeer, Syah Jihan, dan Aurangzeeb."
Tentang kerugian dan keuntungan ini, teringat pula penulis tafsir ini akan perkataan mufti Palestina yang terkenal, Sayyid Haj Amin al-Husainy ketika penulis bersama teman penulis saudara Asad Bafagih sampai bertemu dengan beliau pada bulan Oktober 1950. Dengan penuh semangat di antara lain beliau berkata, “Kita telah rugi besar karena Palestina direbut Yahudi dan lebih dari satu juta orang Arab kehilangan tanah air. Tetapi Allah telah mengganti kerugian kita dengan laba yang lebih besar, dengan bangsa pemeluk Islam yang umumnya berjuta-juta mencapai kemerdekaannya, yaitu Indonesia dan Pakistan."
Kita berdoa kepada Allah, moga-moga kita Muslimin Indonesia dapatlah memenuhi kelima keutamaan yang disebutkan Allah di dalam ayat ini, dengan dasar mencintai Allah dan Allah pun membalas cinta kita, aamiin! Dan mencintai pula akan seluruh orang beriman di dunia ini. Janganlah bertemu hendaknya apa yang diperingatkan oleh Almarhum Kiai H. A. Dahlan dengan ucapannya yang terkenal, “Islam bisa hilang dari Indonesia, tetapi tidak akan hilang dari muka bumi"
Kemudian setelah Allah menerangkan bahaya mengambil pimpinan Yahudi dan Nasrani, maka Allah menunjukkan pimpinan yang sebenarnya,
Ayat 55
“Tidak ada pemimpin bagi kamu, kecuali Allah dan Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman."
Pemimpin pertama adalah Allah. Allah memimpin jiwa kita dari gelap kepada terang, dan petunjuk dan hidayah-Nya. Pemimpin kita yang kedua ialah Rasul.
Sebab dialah yang diutus Allah, mewakili Allah buat memimpin kita, dan menunjukkan suri teladan dengan sunnahnya, di dalam kita mendekati Allah. Pemimpin ketiga ialah orang-orang yang beriman, menurut bakat dan bawaannya dalam pimpinan. Lalu ditunjukkan Allah alamat yang terang dan tanda yang nyata dari orang yang beriman itu, yaitu, “Yang mendirikan shalat" Sebab kalau dia telah mengerjakan shalat, tandanya memang selalu dia berusaha menghubungkan jiwanya dengan Allah dan dapatlah dia dipercayai, “Dan mengeluarkan zakat."
Apabila dia mampu; tidak dia bakhil, sudi dia berkorban untuk kepentingan orang yang melarat dan miskin, tanda alamat bahwa ada hubungannya yang tetap kepada Allah dan kepada sesama ‘manusia,
“Dan mereka itu semuanya tunduk."
Meskipun tanda pertama sudah ada, yaitu shalat, dikuatkan lagi dengan tanda kedua, yaitu ruku', yang berarti tunduk, jadi shalatnya itu bukan shalat munafik, melainkan benar-benar timbul dari keinsafan jiwa dan imannya, dari khusyunya kepada Allah.
Sehingga nyatalah Mukmin sebagai pimpinan tingkat ketiga, akan membawa umat yang mereka pimpin itu kepada kedua pimpinan pertama dan utama yaitu Allah; dengan menjalani sunnah yang ditinggalkan oleh pimpinan kedua, yaitu Rasul. Begitulah baru Islam akan mencapai kejayaannya. Ini yang dijelaskan oleh ayat selanjutnya.
Ayat 56
“Dan barangsiapa yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi pemimpin."
Teranglah telah berdiri satu partai yang kukuh sendinya, kuat dasarnya, nyata-nyata cita-cita (ideologinya) Itulah partai Allah,
“Maka sesungguhnya … Allah, mereka itulah yang akan menang,"
Menanglah mereka, pasti menang. Menang dalam kejayaan dunia seluruhnya, bukan hanya meliputi satu daerah, tegaklah keadilan di seluruh alam. Dan inilah cita-cita! Alangkah gelapnya hidup yang tidak mempunyai cita-cita! Partai Allah itulah yang akan menang akhir kelaknya. Memang di dalam diri pribadi menghadapi perdayaan setan iblis, hawa nafsu. Menang di dalam menegakkan kebenaran dan menolak kekufuran; memang di dalam menuju dunia yang lebih baik, dan kemenangan terakhir ialah menang mendapatkan surga yang kekal di hari kemudian.
Ayat ini menjadi peringatan keraslah bagi kita kaum Muslimin yang mengaku dirinya pejuang yang menegakkan cita-cita Islam dalam tanah air kita Indonesia ini, atau di mana-mana saja pun dalam dunia Islam. Tadi di atas diterangkan bahwa orang yang beriman tidaklah akan mengambil Yahudi atau Nasrani jadi pemimpinnya. Di ayat yang sekarang ini dijelaskan lagi, bahwa yang memimpin umat Islam itu ialah Allah, sesudah itu Rasul, sebab Rasul menjalankan perintah Allah. Sesudah itu orang yang beriman, sebab orang Mukmin itu selalu berusaha menjalankan bimbingan Allah dan Rasul. Maka alangkah janggalnya ada orang-orang yang mengaku dirinya pemimpin Islam, wakil Islam di parlemen, dan sebagainya, padahal mereka tidak shalat? Sedang shalat adalah tiang agama? Bagaimana dipilih jadi pemimpin Islam, orang yang mengaku dirinya pemimpin Islam, padahal tidak pernah pergi ke Jum'at? Padahal hadits Nabi yang shahih telah memperingatkan bahwa sampai tiga kali berturut-turut tidak pergi ke Jum'at, hati seseorang akan dihitamkan, dibekukan oleh Allah. Bagaimana seseorang dikemukakan jadi pemimpin perjuangan Islam, padahal tali pimpinan di antara dia dan Allah dan Rasul telah putus?
Pahamkanlah ujung ayat ini baik-baik. Yaitu partai yang akan menang ialah yang menjadikan Allah, dan Rasul, dan orang-orang yang beriman jadi pemimpinnya.
Mafhum Mukhalafah, yaitu sebaliknya dari ayat ini, satu partai umat Islam yang bukan Allah dan Rasul pemimpinnya, dan bukan pemimpin yang Mukmin pemimpinnya, tidaklah akan menang, malahan akan kalah.
Hizbullah, atau partai Allah, mereka itulah yang pasti menang!
Hendaklah dipahamkan benar-benar apa maksud ayat ini. Sebab yang dimaksud ialah menang kebenaran dan menang keadilan. Bukan menang karena mendapat kedudukan yang empuk. Sebab dalam kenyataan, banyak sekali orang yang mengkhianati Allah dan Rasul dan mengkhianati amanah, mereka itu mendapat kemenangan. Tercapai kehendaknya, terpenuhi hawa nafsunya. Terutama dalam berjuang merebut kekuasaan, orang-orang yang menjual pendirian, itulah yang menang. Dan orang-orang yang jujur, berjuang karena Allah; mengenyampingkan kepentingan diri sendiri dan kepentingan golongan, berjuang menegakkan cita-cita, mendapat berbagai cobaan dan rintangan, sampai banyak pemimpin yang benar-benar menegakkan iman, hidupnya melarat, teraniaya, terbuang, dibunuh, dan dihinakan.
Kalau pandangan kita atas hidup hanya ditujukan kepada kebendaan, memang yang menang ialah pengambil muka dan oportunis, yang sudi menjual iman dan agama dengan harta yang sedikit. Tidak kenal malu dan tidak memerhatikan nilai-nilai budi. Tetapi kalau pandangan kita dipusatkan kepada pimpinan yang benar, dan salahnya yang salah, maka yang bertahan kepada pimpinan Allah dan Rasul dan orang-orang yang beriman itulah yang menang. Mereka tetap menang menghadapi segala perdayaan dan bujuk-cumbu dunia, walaupun untuk itu mereka menderita. Kita lihat sajalah sejarah imam-imam dan pemuka-pemuka Islam pada pendirian, yang tidak takut kepada celaan orang yang mencela, hinaan orang yang menghina. Mereka tidak duduk di atas tahta dan tidak bersemayam di dalam istana. Mereka kadang-kadang hanya duduk di dalam pondok yang reot, tetapi mereka berkuasa dan disegani. Kehidupan orang semacam itu dipandang sebagai kehidupan yang ideal. Semua orang yang berakal budi ingin hendak hidup sebagaimana demikian, tetapi mereka tidak sanggup melakukannya dan menurutinya. Itu saja pun sudah bukti dari kemenangan.
Teringatlah kita kepada ulama besar di Mesir, al-Izzu bin Abdissalam, yang berpegang teguh pada pimpinan Allah dan Rasul, dan dia sendiri pun seorang Mukmin yang besar. Hanya duduk mengajar di dalam masjid, tetapi Raja Mesir al-Malik azh-Zhahir Baibars berkata, “Hari inilah saya baru benar-benar menjadi raja di negeri ini!" Sampai al-Izzu bin Abdissalam digelari orang Sulthanul ulama, bukan Ulamaus Sulthan.
Oleh sebab itu, maka orang seorang atau golongan atau partai yang hendak memperjuangkan Islam, sekali-kali janganlah menukar jalan pikirannya dengan jalan pikiran yang bukan Islam. Pemimpinnya yang pertama ialah Allah, kedua Sunnah Rasulullah, dan ketiga ialah memilih pemimpin yang benar-benar beriman. Yaitu yang mendirikan sha-lat, sekurang-kurangnya yang lima waktu. Dan kalau dia mempunyai kemampuan, dia sendirilah yang lebih dahulu mengeluarkan harta zakat dan tathawu'-nya, sebelum dia mengerahkan pengikutnya berderma dan berkurban. Perhatikanlah kembali ujung ayat S5 di atas tadi. Sesudah diberikan syarat pertama, dan kedua bagi pemimpin, yaitu supaya dia mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat hendaklah dia ruku'.
Wahum raki'un. Ujung ayat ini memberi petunjuk supaya pemimpin itu saleh dan taat kepada Allah. Tidak cukup hanya semata shalat yang kita artikan sembahyang. Sebab shalat itu bisa juga diartikan berdoa. Bahkan di sini ditekankan, hendaklah dia ruku', hendaklah dia shalat menurut contoh Nabi Muhammad dengan lengkap syarat dan rukunnya, ruku' dan sujudnya. Sebab dengan mengerjakan ibadah shalat itu si pemimpin akan bertambah dekat dengan Allah, dan bertambah datang kepadanya ilham dari Allah, sehingga segala sepak terjang pimpinannya tidak lepas daripada tuntunan Allah dan Sunnah Rasul.
Demikianlah konsekuensinya kalau Islam yang hendak diperjuangkan. Kalau tidak demikian, nama Islam dipakai tetapi suruhan Allah tidak dikerjakan, maka yang menang hanyalah diri sendiri untuk kepentingan pribadi, dan Islam itu sendiri akan tetap ditindas oleh kezaliman manusia. Dan orang-orang yang mendabik dada mengatakan memperjuangkan Islam itu hanya akan diambil oleh golongan tidak beragama buat penambal-nambai yang robek, untuk mengelabui mata umat Islam awam yang taat dan setia dalam agamanya.