Ayat
Terjemahan Per Kata
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
لَا
jangan
تَتَّخِذُواْ
kamu mengambil
ٱلۡيَهُودَ
orang-orang Yahudi
وَٱلنَّصَٰرَىٰٓ
dan orang-orang Nasrani
أَوۡلِيَآءَۘ
pemimpin
بَعۡضُهُمۡ
sebagian mereka
أَوۡلِيَآءُ
pemimpin
بَعۡضٖۚ
sebagian yang lain
وَمَن
dan barang siapa
يَتَوَلَّهُم
mengangkat mereka
مِّنكُمۡ
diantara kamu
فَإِنَّهُۥ
maka sesungguhnya ia
مِنۡهُمۡۗ
dari (golongan) mereka
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
لَا
tidak
يَهۡدِي
memberi petunjuk
ٱلۡقَوۡمَ
kaum/golongan
ٱلظَّـٰلِمِينَ
orang-orang yang dzalim
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
لَا
jangan
تَتَّخِذُواْ
kamu mengambil
ٱلۡيَهُودَ
orang-orang Yahudi
وَٱلنَّصَٰرَىٰٓ
dan orang-orang Nasrani
أَوۡلِيَآءَۘ
pemimpin
بَعۡضُهُمۡ
sebagian mereka
أَوۡلِيَآءُ
pemimpin
بَعۡضٖۚ
sebagian yang lain
وَمَن
dan barang siapa
يَتَوَلَّهُم
mengangkat mereka
مِّنكُمۡ
diantara kamu
فَإِنَّهُۥ
maka sesungguhnya ia
مِنۡهُمۡۗ
dari (golongan) mereka
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
لَا
tidak
يَهۡدِي
memberi petunjuk
ٱلۡقَوۡمَ
kaum/golongan
ٱلظَّـٰلِمِينَ
orang-orang yang dzalim
Terjemahan
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia(-mu). Sebagian mereka menjadi teman setia bagi sebagian yang lain. Siapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.
Tafsir
(Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin) menjadi ikutanmu dan kamu cintai. (Sebagian mereka menjadi pemimpin bagi sebagian lainnya) karena kesatuan mereka dalam kekafiran. (Siapa di antara kamu mengambil mereka sebagai pemimpin, maka dia termasuk di antara mereka) artinya termasuk golongan mereka. (Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang aniaya) karena mengambil orang-orang kafir sebagai pemimpin mereka.
Tafsir Surat Al-Ma'idah: 51-53
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (kalian); sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kalian mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani) seraya berkata, "Kami takut akan mendapat bencana.” Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya sehingga mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.
Dan orang-orang yang beriman akan mengatakan, "Inikah orang-orang yang bersumpah sungguh-sungguh dengan nama Allah bahwa mereka benar-benar beserta kamu?” Semua amal mereka menjadi sia-sia sehingga mereka menjadi orang-orang yang merugi.
Ayat 51
Allah ﷻ melarang hamba-hamba-Nya yang mukmin mengangkat orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani sebagai wali mereka, karena mereka adalah musuh-musuh Islam dan para penganutnya; semoga Allah melaknat mereka. Kemudian Allah memberitahukan bahwa sebagian dari mereka adalah wali bagi sebagian yang lain. Selanjutnya Allah mengancam orang mukmin yang melakukan hal itu melalui firman-Nya:
“Barang siapa di antara kalian mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (Al-Maidah: 51), hingga akhir ayat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Kasir ibnu Syihab, telah menceritakan kepada kami Muhammad (Yakni Ibnu Sa'id ibnu Sabiq), telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Abu Qais, dari Sammak ibnu Harb, dari Iyad, bahwa Umar pernah memerintahkan Abu Musa Al Asyari untuk melaporkan kepadanya tentang semua yang diambil dan yang diberikannya (yakni pemasukan dan pengeluarannya) dalam suatu catatan lengkap. Dan tersebutlah bahwa yang menjadi sekretaris Abu Musa saat itu adalah seorang Nasrani. Kemudian hal tersebut dilaporkan kepada Khalifah Umar. Maka Khalifah Umar merasa heran akan hal tersebut, lalu ia berkata, "Sesungguhnya orang ini benar-benar pandai, apakah kamu dapat membacakan untuk kami sebuah surat di dalam masjid yang datang dari negeri Syam?" Abu Musa Al-Asy'ari menjawab, "Dia tidak dapat melakukannya." Khalifah Umar bertanya, "Apakah dia sedang mempunyai jinabah (hadats besar)?" Abu Musa Al-Asy'ari berkata, "Tidak, tetapi dia adalah seorang Nasrani." Maka Khalifah Umar membentakku dan memukul pahaku, lalu berkata, "Pecat dia!" Selanjutnya Khalifah Umar membacakan firman Allah ﷻ: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (kalian).” (Al-Maidah: 51), hingga akhir ayat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Umar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aun, dari Muhammad ibnu Sirin yang mengatakan bahwa Abdullah ibnu Atabah pernah berkata, "Hendaklah seseorang di antara kalian memelihara dirinya, jangan sampai menjadi seorang Yahudi atau seorang Nasrani, sedangkan dia tidak menyadarinya." Menurut Muhammad ibnu Sirin, yang dimaksud olehnya menurut dugaan kami adalah firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (kalian).” (Al-Maidah 51), hingga akhir ayat.
Dan telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudail, dari ‘Ashim, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa ia pernah ditanya mengenai sembelihan orang-orang Nasrani Arab. Maka ia menjawab, "Boleh dimakan." Allah ﷻ hanya berfirman: “Barang siapa di antara kalian mengambil mereka menjadi wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (Al-Maidah: 51) Hal yang serupa telah diriwayatkan dari Abuz Zanad.
Ayat 52
Firman Allah ﷻ: “Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya.” (Al-Maidah: 52)
Yaitu keraguan, kebimbangan, dan kemunafikan.
“Bersegera mendekati mereka.” (Al-Maidah: 52)
Maksudnya, mereka bersegera berteman akrab dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani secara lahir batin.
“Seraya berkata, ‘Kami takut akan mendapat bencana’." (Al-Maidah: 52)
Yakni mereka melakukan demikian dengan alasan bahwa mereka takut akan terjadi suatu perubahan, yaitu orang-orang kafir beroleh kemenangan atas kaum muslim. Jika hal ini terjadi, berarti mereka akan memperoleh perlindungan dari orang-orang Yahudi dan Nasrani, mengingat orang-orang Yahudi dan Nasrani mempunyai pengaruh tersendiri di kalangan orang-orang kafir, sehingga sikap berteman akrab dengan mereka dapat memberikan manfaat ini. Maka Allah ﷻ berfirman menjawab mereka:
“Mudah-mudahan Allah akan memberikan kemenangan (kepada Rasul-Nya).” (Al-Maidah: 52)
Menurut As-Suddi, yang dimaksud dengan al-Fathu dalam ayat ini ialah kemenangan atas kota Mekah. Sedangkan yang lainnya mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah kekuasaan peradilan dan keputusan.
“Atau suatu keputusan dari-Nya.” (Al-Maidah: 52)
Menurut As-Suddi, makna yang dimaksud ialah memungut jizyah atas orang-orang Yahudi dan Nasrani.
“Sehingga mereka menjadi.” (Al-Maidah: 52)
Yakni orang-orang yang menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali mereka dari kalangan kaum munafik.
“Menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.” (Al-Maidah: 52)
Yaitu menyesali perbuatan mereka yang berpihak kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani itu. Dengan kata lain, mereka menyesali perbuatan yang mereka lakukan karena usahanya itu tidak dapat memberikan hasil apa pun, tidak pula dapat menolak hal yang mereka hindari, bahkan berpihak kepada mereka merupakan penyebab utama dari kerusakan itu sendiri. Kini mereka keadaannya telah dipermalukan dan Allah telah menampakkan perkara mereka di dunia ini kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, padahal sebelumnya mereka tersembunyi, keadaan dan prinsip mereka masih belum diketahui. Tetapi setelah semua penyebab yang mempermalukan mereka telah lengkap, maka tampak jelaslah perkara mereka di mata hamba-hamba Allah yang mukmin. Orang-orang mukmin merasa heran dengan sikap mereka (kaum munafik itu), bagaimana mereka dapat menampakkan diri bahwa mereka seakan-akan termasuk orang-orang mukmin, dan bahkan mereka berani bersumpah untuk itu, tetapi dalam waktu yang sama mereka berpihak kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani? Dengan demikian, tampak jelaslah kedustaan dan kebohongan mereka. Untuk itulah Allah menyebutkan dalam firman-Nya:
Ayat 53
“Dan orang-orang yang beriman akan mengatakan, ‘Inikah orang-orang yang bersumpah sungguh-sungguh dengan nama Allah bahwa mereka benar-benar beserta kalian?’ Semua amal mereka menjadi sia-sia sehingga mereka menjadi orang-orang yang merugi.” (Al-Maidah: 53)
Para ahli qiraat berbeda pendapat sehubungan dengan huruf wawu dari ayat ini. Jumhur ulama menetapkan huruf wawu dalam firman-Nya: “Dan orang-orang yang beriman akan mengatakan.” (Al-Maidah: 53) Sebagian dari mereka ada yang membaca rafa' dan mengatakan sebagai ibtida (permulaan kalimat). Sebagian dari mereka ada yang me-nasab-kannya karena di-'ataf-kan kepada firman-Nya: "Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya.” (Al-Maidah: 53) Dengan demikian, berarti bentuk lengkapnya ialah an-yaqula (dan mudah-mudahan orang-orang yang beriman mengatakan).
Tetapi ulama Madinah membacanya dengan bacaan berikut: “Orang-orang yang beriman akan mengatakan.” (Al-Maidah: 53) Yakni tanpa memakai huruf wawu. Demikian pula yang tertera di dalam mushaf mereka, menurut Ibnu Jarir.
Ibnu Juraij mengatakan dari Mujahid sehubungan dengan firman Allah ﷻ: “Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan kepada (RasulNya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya.” (Al-Maidah: 52) Sebagai konsekuensinya disebutkan dalam firman-Nya: “Orang-orang yang beriman akan mengatakan, ‘Inikah orang-orang yang bersumpah sungguh-sungguh dengan nama Allah bahwa mereka benar-benar beserta kalian?’ Semua amal mereka menjadi sia-sia sehingga mereka menjadi orang-orang yang merugi.” (Al-Maidah: 53). Yakni tanpa memakai wawu.
Demikianlah menurut salinan yang ada di tangan kami. Tetapi barangkali ada kalimat yang digugurkan padanya, karena menurut ungkapan Tafsir Ruhul Ma'ani disebutkan bahwa Ibnu Kasir, Nafi', dan Ibnu Amir membaca yaaulu tanpa memakai wawu dengan interpretasi sebagai istinaf bayani. Seakan-akan dikatakan bahwa "lalu apakah yang dikatakan oleh orang-orang mukmin saat itu?” Para ulama tafsir berbeda pendapat mengenai penyebab yang melatarbelakangi turunnya ayat-ayat yang mulia ini. As-Suddi menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan dua orang lelaki. Salah seorang dari keduanya berkata kepada yang lain sesudah Perang Uhud, "Adapun saya, sesungguhnya saya akan pergi kepada si Yahudi itu, lalu saya berlindung padanya dan ikut masuk agama Yahudi bersamanya, barangkali ia berguna bagiku jika terjadi suatu perkara atau suatu hal." Sedangkan yang lain menyatakan, "Adapun saya, sesungguhnya saya akan pergi kepada si Fulan yang beragama Nasrani di negeri Syam, lalu saya berlindung padanya dan ikut masuk Nasrani bersamanya." Maka Allah ﷻ berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (kalian).” (Al-Maidah: 51) sampai beberapa ayat berikutnya. Ikrimah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Lubabah ibnu Abdul Munzir ketika Rasulullah ﷺ mengutusnya kepada Bani Quraizah, lalu mereka bertanya kepadanya, "Apakah yang akan dilakukan olehnya terhadap kami?" Maka Abu Lubabah mengisyaratkan dengan tangannya ke arah tenggorokannya, yang maksudnya bahwa Nabi ﷺ akan menyembelih mereka. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Menurut pendapat yang lain ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul, seperti apa yang telah disebutkan oleh Ibnu Jarir: Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar ayahnya menceritakan hadits berikut dari Atiyyah ibnu Sa'd, bahwa Ubadah ibnus Samit dari Banil Haris ibnul Khazraj datang kepada Rasulullah ﷺ, lalu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya mempunyai teman-teman setia dari kalangan orang-orang Yahudi yang jumlah mereka cukup banyak. Dan sesungguhnya saya sekarang menyatakan berlepas diri kepada Allah dan Rasul-Nya dari mengambil orang-orang Yahudi sebagai teman setia saya, dan sekarang saya berpihak kepada Allah dan Rasul-Nya." Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul berkata, "Sesungguhnya aku adalah seseorang yang takut akan mendapat bencana. Karenanya aku tidak mau berlepas diri dari mereka yang telah menjadi teman-teman setiaku." Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepada Abdullah ibnu Ubay, "Wahai Abul Hubab, apa yang engkau pikirkan, yaitu tidak mau melepaskan diri dari berteman setia dengan orang-orang Yahudi, tidak seperti apa yang dilakukan oleh Ubadah ibnus Samit. Maka hal itu hanyalah untukmu, bukan untuk Ubadah." Abdullah ibnu Ubay berkata, "Saya terima." Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (kalian).” (Al-Maidah: 51), hingga dua ayat berikutnya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hannad, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Abdur Rahman, dari Az-Zuhri yang menceritakan bahwa ketika kaum musyrik mengalami kekalahan dalam Perang Badar, kaum muslim berkata kepada teman-teman mereka yang dari kalangan orang-orang Yahudi, "Masuk Islamlah kalian sebelum Allah menimpakan kepada kalian suatu bencana seperti yang terjadi dalam Perang Badar." Malik ibnus Saif berkata, "Kalian telah teperdaya dengan kemenangan kalian atas segolongan orang-orang Quraisy yang tidak mempunyai pengalaman dalam peperangan. Jika kami bertekad menghimpun kekuatan untuk menyerang kalian, maka kalian tidak akan berdaya untuk memerangi kami." Maka Ubadah ibnus Samit berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya teman-teman sejawatku dari kalangan orang-orang Yahudi adalah orang-orang yang berjiwa keras, banyak memiliki senjata, dan kekuatan mereka cukup tangguh. Sesungguhnya aku sekarang berlepas diri kepada Allah dan Rasul-Nya dari berteman dengan orang-orang Yahudi. Sekarang bagiku tidak ada pemimpin lagi kecuali Allah dan Rasul-Nya." Tetapi Abdullah ibnu Ubay berkata, "Tetapi aku tidak mau berlepas diri dari berteman sejawat dengan orang-orang Yahudi. Sesungguhnya aku adalah orang yang bergantung kepada mereka." Maka Rasulullah ﷺ bersabda, "Wahai Abul Hubab, bagaimanakah jika apa yang kamu sayangkan, yaitu berteman sejawat dengan orang-orang Yahudi terhadap Ubadah ibnus Samit, hal itu hanyalah untukmu, bukan untuk dia?" Abdullah ibnu Ubay menjawab, "Kalau begitu, aku bersedia menerimanya." Maka Allah menurunkan firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (kalian).” (Al-Maidah: 51) sampai dengan firman-Nya: “Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia.” (Al-Maidah: 67)
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, kabilah Yahudi yang mula-mula berani melanggar perjanjian antara mereka dan Rasulullah ﷺ adalah Bani Qainuqa. Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadanya ‘Ashim ibnu Umar ibnu Qatadah yang mengatakan bahwa lalu Rasulullah ﷺ mengepung mereka hingga mereka menyerah dan mau tunduk di bawah hukumnya. Lalu bangkitlah Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul kepada Rasulullah, setelah Allah memberikan kemenangan kepadanya atas mereka. Kemudian Abdullah Ibnu Ubay ibnu Salul berkata, "Wahai Muhammad, perlakukanlah teman-teman sejawatku itu dengan baik, karena mereka adalah teman-teman sepakta orang-orang Khazraj." Rasulullah ﷺ tidak melayaninya, dan Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul berkata lagi, "Wahai Muhammad, perlakukanlah teman-teman sejawatku ini dengan baik.” Tetapi Rasulullah ﷺ tidak mempedulikannya. Kemudian Abdullah ibnu Ubay memasukkan tangannya ke dalam kantong baju jubah Nabi ﷺ, dan Nabi ﷺ bersabda kepadanya, “Lepaskanlah aku!" Bahkan Rasulullah ﷺ marah sehingga kelihatan roman muka beliau memerah, kemudian bersabda lagi, "Celakalah kamu, lepaskan aku.” Abdullah ibnu Ubay berkata, "Tidak, demi Allah, sebelum engkau bersedia akan memperlakukan teman-teman sejawatku dengan perlakuan yang baik. Mereka terdiri atas empat ratus orang yang tidak memakai baju besi dan tiga ratus orang memakai baju besi, dahulu mereka membelaku dari ancaman orang-orang yang berkulit merah dan berkulit hitam yang selalu mengancamku, sesungguhnya aku adalah orang yang takut akan tertimpa bencana." Maka Rasulullah ﷺ bersabda, "Mereka kuserahkan kepadamu."
Muhammad ibnu Ishaq berkata, telah menceritakan kepadaku Abu Ishaq ibnu Yasar, dari Ubadah ibnul Walid ibnu Ubadah ibnus Samit yang mengatakan bahwa ketika Bani Qainuqa' memerangi Rasulullah ﷺ, Abdullah ibnu Ubay berpihak dan membela mereka, sedangkan Ubadah ibnus Samit berpihak kepada Rasulullah ﷺ. Dia adalah salah seorang dari kalangan Bani Auf ibnul Khazraj yang juga merupakan teman sepakta Bani Qainuqa', sama dengan Abdullah ibnu Ubay. Ubadah ibnus Samit menyerahkan perkara mereka kepada Rasulullah ﷺ dan berlepas diri kepada Allah dan Rasul-Nya dari berteman dengan mereka. Lalu ia mengatakan, "Wahai Rasulullah, saya berlepas diri kepada Allah dan Rasul-Nya dari berteman dengan mereka; dan sekarang saya berpihak kepada Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin; saya pun menyatakan lepas dari perjanjian saya dengan orang-orang kafir dan tidak mau lagi berteman dengan mereka." Berkenaan dengan dia dan Abdullah ibnu Ubay ayat-ayat ini diturunkan, yaitu firman Allah ﷻ yang ada di dalam surat Al-Maidah: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali (kalian); sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain.” (Al-Maidah: 51) sampai dengan firman-Nya: “Dan barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang.” (Al-Maidah: 56)
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qutaibah ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Zakaria ibnu Abu Zaidah, dari Muhammad ibnu Ishaq, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Usamah ibnu Zaid yang menceritakan bahwa ia pernah bersama dengan Rasulullah ﷺ menjenguk Abdullah ibnu Ubay yang sedang sakit. Maka Nabi ﷺ bersabda kepadanya: “Aku pernah melarangmu jangan berteman dengan orang-orang Yahudi.” Tetapi Abdullah ibnu Ubay menjawab, "As'ad ibnu Zararah pernah membenci mereka, dan ternyata dia mati." Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abu Dawud melalui hadits Muhammad ibnu Ishaq.
Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah kamu semua, janganlah sekali-kali kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setiamu karena akibat negatifnya lebih banyak ketimbang positifnya. Selain itu, mereka satu sama lain saling melindungi karena adanya persamaan kepentingan di antara mereka. Oleh karena itu, barang siapa di antara kamu yang tetap saja memilih dan menjadikan mereka sebagai teman setia dengan mengabaikan umat Islam, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka yang sering kali mengabaikan ajaran-ajaran Allah. Sungguh, karena keingkaran mereka, Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang ingkar dan zalim karena selalu mengabaikan tuntunan-NyaOrang-orang munafik, yaitu yang antara perkataan dan hatinya berbeda, sesungguhnya mereka akan selalu merasa tidak senang pada umat Islam. Bila diperhatikan, maka kamu akan melihat orang-orang yang hatinya berpenyakit itu akan segera mendekati mereka, yaitu kaum Yahudi dan Nasrani, karena mereka menganggapnya sebagai kelompok yang kuat, sehingga bila hubungannya tidak baik, ada kekhawatiran mereka akan terancam seraya berkata, Kami takut akan mendapat bencana. Sesungguhnya sikap mereka menunjukkan ketidakpercayaan pada umat Islam. Karena itu, mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan kepada Rasul-Nya dan kaum muslim, atau Dia berkenan untuk menetapkan suatu keputusan dari sisi-Nya yang membuktikan kekuasaan dan rahmat-Nya kepada kaum muslim, sehingga mereka betul-betul menjadi menyesal terhadap apa yang selama ini mereka rahasiakan dalam diri mereka.
Ayat ini melarang orang-orang yang beriman agar jangan menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman akrab yang akan memberikan pertolongan dan perlindungan, apalagi untuk dipercayai sebagai pemimpin. Selain dari ayat ini masih banyak ayat yang lain dalam Al-Qur'an yang menyatakan larangan seperti ini terhadap orang-orang Yahudi dan Nasrani. Diulangnya berkali-kali larangan ini dalam beberapa ayat dalam Al-Qur'an, menunjukkan bahwa persoalannya sangat penting dan bila dilanggar akan mendatangkan bahaya yang besar.
Larangan ini berlaku atas diri pribadi. Orang mukmin dilarang menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman yang akrab, tempat menumpahkan rahasia dan kepercayaan seperti halnya dengan sesama mukmin. Begitu juga, berlaku terhadap jamaah dan masyarakat mukmin, bahwa mereka dilarang untuk menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pembela, pelindung dan penolong, lebih-lebih dalam urusan yang berhubungan dengan agama. Kalau hanya untuk berteman biasa dalam pergaulan, apalagi dalam urusan-urusan keduniaan, Allah tidak melarangnya, asal saja berhati-hati dalam pergaulan, sebab bagi mereka sifat melanggar janji dan berbohong untuk mencari keuntungan duniawi adalah biasa saja. Hal yang seperti ini sudah diperlihatkan oleh Rasulullah ketika beliau berada di Medinah. Beliau mengadakan hubungan kerja sama dengan orang Yahudi dan Nasrani dan kadang-kadang mengadakan perjanjian pertahanan dengan mereka, bila hal itu dipandang ada maslahatnya bagi orang-orang yang beriman.
Orang Yahudi dan Nasrani itu rasa golongan dan kesukuan mereka sangat tebal. Karena itu walau bagaimanapun baiknya hubungan mereka dengan orang mukmin, sehingga suka mengadakan perjanjian untuk kerja sama dengan mereka tapi kalau akan merugikan golongan dan bangsanya, mereka tidak akan segan-segan berbalik ke belakang, mengkhianati janji dan memusuhi orang mukmin. Sesama mereka senantiasa tolong menolong, bersatu dalam menghadapi orang mukmin. Lahirnya baik, tapi batinnya selalu mencari kesempatan untuk menghancurkan orang-orang mukmin.
Akhir ayat ini menegaskan, bahwa barang siapa di antara orang-orang mukmin yang menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman akrabnya, maka orang itu termasuk golongan mereka, tanpa sadar, lambat laun orang itu akan terpengaruh, bukan akan membantu Islam, tetapi akan menjadi musuh Islam. Kalau dia telah menjadi musuh Islam, berarti dia telah menganiaya dirinya sendiri. Ketahuilah, bahwa Allah tidak akan memberi petunjuk orang-orang yang aniaya, kepada jalan yang benar untuk mencapai hidup bahagia di dunia dan akhirat.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Untuk memperteguh disiplin, menyisihkan mana kawan mana lawan, maka kepada orang yang beriman diperingatkan,
Ayat 51
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengambil orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin."
Di sini jelas dalam kata seruan pertama, bahwa bagi orang yang beriman sudah ada satu konsekuensi sendiri karena imannya. Kalau dia mengaku beriman pemimpin atau menyerahkan pimpinannya kepada Yahudi atau Nasrani. Atau menyerahkan kepada mereka rahasia yang tidak patut mereka ketahui, sebab dengan demikian bukanlah penyelesaian yang akan didapat, melainkan bertambah kusut.
Maka hal yang penting menjadi perhatian kita di sini ialah bahwa disebutkan nama golongan mereka, yaitu Yahudi dan Nasrani. Tidak disebutkan nama kehormatan lain yang kita pakai untuk mereka, yaitu Ahlul Kitab.
Ahli-ahli tafsir yang mendalami balaaghah kata Al-Qur'an mengatakan bahwa di sini memang tidak pantas disebut, “Janganlah kamu ambil Ahlul Kitab jadi pemimpin," sebab di dalam kitab-kitab yang mereka terima itu pada pokoknya tidak ada ajaran yang memusuhi tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ. Dan kalau diri dilepaskan dari ta'ashub (fanatik) golongan, kitab-kitab yang terdahulu itu tidaklah berlawanan dengan Al-Qur'an. Tetapi setelah mereka itu menonjolkan golongan, dengan menamai diri Yahudi dan Nasrani, maka Islam (Penyerahan diri kepada Allah Yang Maha Esa) sudah ditinggalkan, dan dipertahankan golongan, dan pendirian yang mereka pilih telah salah.
Kemudian terus Allah melanjutkan firman-Nya, “Sebagian mereka adalah pemimpin-pemimpin dari yang sebagian." Maksud ayat ini dalam dan jauh. Artinya jika pun orang Yahudi dan Nasrani itu yang kamu hubungi atau kamu angkat menjadi pemimpinmu, meskipun beberapa orang saja, ingatlah kamu bahwa sebagian yang berdekat dengan kamu itu akan menghubungi kawannya yang lain, yang tidak kelihatan menonjol ke muka. Sehingga yang mereka kerjakan di atas itu pada hakikatnya ialah tidak turut dengan kamu.
Kadang-kadang lebih dahsyat lagi dari itu. Dalam kepercayaan sangatlah bertentangan di antara Yahudi dengan Nasrani; Yahudi menuduh Maryam berzina dan Isa al-Masih anak Tuhan, dan juga Allah sendiri yang menjelma jadi insan. Sejak masa Isa al-Masih hidup, orang Yahudi memusuhi Nasrani, dan kalau Nasrani telah kuat kedudukannya, mereka pun membalaskan permusuhan itu pula dengan kejam sebagaimana selalu tersebut dalam riwayat lama dan riwayat zaman baru. Tetapi apabila mereka hendak menghadapi Islam, yang keduanya sangat membencinya, maka yang setengah mereka akan memimpin setengah yang lain. Artinya di dalam menghadapi Islam, mereka tidak keberatan bekerja sama.
Sebagaimana pernah terjadi di Bandung pada masa Republik Indonesia telah memilih Anggota Badan Konstituante. Wakil-wakil partai-partai Islam ingin agar di daiam Undang-Undang Dasar yang akan dibentuk itu dicantumkan tujuh kalimat, yaitu, “Dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluknya." Maka seluruh partai yang membenci cita-cita Islam itu sokong-menyokong, piinpin-memimpin, beri-memberi, menentang cita-cita itu, walaupun di antara satu sama lain berbeda ideologi dan berbeda kepentingan. Dalam menghadapi Islam mereka bersatu. Bersatu Katolik, Protestan, partai-partai nasional, partai sosialis, dan partai komunis.
Dalam gelanggang internasional pun begitu pula. Pada tahun 1964 Paus Paulus VI, sebagai Kepala Tertinggi dari gereja Katolik mengeluarkan ampunan umum bagi agama Yahudi. Mereka dibebaskan dari dosa yang selama ini dituduhkan kepada mereka, yaitu karena usaha merekalah Nabi Isa al-Masih ditangkap oleh Penguasa Romawi dan diserahkan kepada orang Yahudi, lalu disalib, (menurut kepercayaan mereka)
Sekarang setelah 20 abad Yahudi dikutuk, Yahudi dihina di mana-mana dalam dunia Kristen, tiba-tiba Paus memberi mereka ampun.
Ampun apakah ini, sehingga pegangan kepercayaan 2.000 tahun dapat diubah demikian saja?
Tidak lain, adalah Ampunan Politik. Tenaga Yahudi yang kaya raya dengan uang harus bersatu padu dengan Kristen di dalam menghadapi bahaya Islam. Kemudian, 1967, negeri-negeri Arab diserang Yahudi dalam masa empat hari dan Jerusalem (Baitul Maqdis) dirampas dari tangan kaum Muslimin, padahal telah 14 Abad mereka punyai. Dan tiba-tiba datanglah gagasan dari gereja Katolik agar kekuasaan atas Tanah Suci kaum Muslimin, wilayah turun-temurun selama 1.300 tahun lebih dari bangsa Arab supaya diserahkan kepada satu Badan Internasional. Tegasnya, kepada PBB sedang yang berkuasa penuh dalam PBB itu adalah negara-negara Kristen. (Perancis Katolik, Amerika Protestan, Inggris Anglicant), dan Rusia (Komunis)
Mungkin di zaman Rasulullah sendiri yang demikian belum tampak, sebab di kota Madinah hanya masyarakat Yahudi yang terbesar di antara kedua agama itu, dan masyarakat Nasrani ada di Syam (Utara) dan Najran-Yaman (Selatan) Tetapi keajaiban Al-Qur'an kita rasakan kian terang setelah kita perhatikan jalan sejarah. Yaitu dalam perkembangan selanjutnya, kedua agama yang sangat bermusuhan itu dapat bersatu-padu di dalam menghadapi dan memusuhi Islam. Sampai berdiri negara Israel di tanah orang Islam, dengan bantuan bangsa-bangsa pemeluk Kristen lebih dekat kepada Islam, sebab Islam membantah keras kepercayaan Yahudi bahwa Nabi Isa anak di luar nikah, dan memang lahir dengan Maha Kekuasaan Allah dari seorang anak dara yang suci. Sedangkan Islam membantah keras kalau Nabi Isa itu dikatakan Tuhan. Islam mereka musuhi karena tidak mengakui Isa itu Allah, dan Yahudi mereka rangkul jadi teman, meskipun mereka mengatakan Isa anak zina!
Sambungan ayat, “Dan barangsiapa yang menjadikan mereka itu pemimpin di antara kamu, maka sesungguhnya dia itu telah termasuk golongan dari mereka."
Suku ayat ini amat penting diperhatikan. Yaitu barangsiapa yang mengambil Yahudi atau Nasrani menjadi pemimpinnya, tandanya dia telah termasuk golongan mereka, artinya telah bersimpati kepada mereka. Tidak mungkin seseorang yang mengemukakan orang lain jadi pemimpinnya kalau dia tidak menyukai orang itu. Meskipun dalam kesukaannya kepada orang yang berlain agama itu, dia belum resmi pindah ke dalam agama orang yang disukainya itu. Menurut riwayat dari Abd Humaid, bahwa sahabat Rasulullah ﷺ yang terkenal Hudzaifah bin al-Yaman pernah berkata.
“Hati-hati tiap-tiap seorang daripada kamu, bahwa dia telah menjadi Yahudi atau Nasrani, sedang dia tidak merasa."
Lalu dibacanya ayat yang sedang kita tafsirkan ini, yaitu kalau orang telah menjadikan mereka itu jadi pemimpin, maka dia telah termasuk golongan orang yang diangkatnya jadi pemimpin itu.
Perhatikanlah bagaimana bangsa-bangsa penjajah Kristen yang telah menaklukkan negeri-negeri Islam, yang mula-mula mereka kerjakan dengan sungguh-sungguh ialah mengajarkan bahasa mereka, supaya rakyat Islam yang terjajah itu berpikir dalam bahasa bangsa yang menjajah, lalu mereka lemah dalam bahasa sendiri dan terpengaruh dengan peradabah dan kebudayaan bangsa
Kristen yang menjajahnya itu. Kian lama kian hilanglah kepribadian umat yang terjajah tadi, hilang pokok asalnya berpikir dan hilang perkembangan bahasanya sendiri. Lalu yang dipandangnya tinggi ialah bangsa yang menjajahnya itu. Hal ini telah kita alami di zaman penjajahan Belanda di Indonesia dan penjajahan Perancis di Afrika Utara, dan penjajahan Inggris di Tanah Melayu dan India. Maka orang yang pangkalannya berpikir masih dalam Islam, merasa rumitlah menghadapi orang-orang yang mengaku Islam ini, sebab dia telah berpikir dari luar Islam. Bertahun-tahun lamanya kita yang memperjuangkan Islam musti memberikan kepada mereka keterangan agama sepuluh kali lebih sulit daripada memberi keterangan kepada seorang Amerika atau Eropa yang ingin memeluk Islam. Sebab rasa cemooh kepada agama, sinis, acuh tak acuh telah memenuhi sikapnya; mereka itu menamai dirinya Kaum Intelek yang meminta keterangan agama yang masuk akal. Padahal akalnya itu telah dicekok oleh didikan asing, sehingga kebenaran tidak bisa masuk lagi. Kadang-kadang terhadap orang seperti ini, seorang Muslim yang taat harus bersikap seperti “menatang minyak penuh", sebab batinnya pantang tersinggung. Bukan akal mereka yang benar cerdas atau rasionalis melainkan jiwa mereka yang telah berubah, sehingga segala yang bagus adalah pada bangsa yang menjajah mereka, dan segala yang buruk adalah pada pemeluk agamanya sendiri.
Orang semacam inilah yang disebutkan oleh Ibnu Khaldun di dalam Muqaddimah tarikhnya, (Pasal ke II, Kitab Pertama, no. 23) Kata beliau,
“Orang yang kalah selalu meniru orang yang menang, baik dalam lambangnya, atau dalam cara berpakaian, atau kebiasaannya, dan sekalian gerak-gerik, dan adat-istiadatnya. Sebabnya ialah karena jiwa itu selalu percaya bahwa kesempurnaan hanya ada pada orang yang telah mengalahkannya itu, lalu dia menjadi penurut peniru. Baik oleh karena teiah sangat tertanam rasa pemujaan, atau karena kesalahan berpikir, bahwa keputusan bukanlah karena kekalahan yang wajar, melainkan karena tekanan rasa rendah diri dan yang menang selalu benar!"
Barangsiapa yang mengangkat pemeluk agama lain itu jadi pemimpin tidaklah berarti bahwa mereka mengalih agama.
Agama Islam kadang-kadang masih mereka kerjakan, tetapi hakikat Islam telah hilang dari jiwa mereka. Saking tertariknya dan tergadainya jiwa mereka kepada bangsa yang memimpinnya tidaklah mereka keberatan lagi menjual agama dan bangsanya dengan harga murah. Ketika Belanda sudah sangat kepayahan menghadapi perlawanan rakyat Aceh mempertahankan kemerdekaan mereka, sehingga nyaris gagal, maka yang menunjukkan cara bagaimana memusnahkan dan mematahkan perlawanan itu ialah seorang jaksa beragama Islam yang didatangkan dari daerah luar Aceh: Dia memberikan advis supaya Belanda mendirikan tentara Marsose yang selain dari memakai bedil dan kelewang, hendaklah memakai rencong juga, sebagaimana orang Aceh itu pula, buat memusnahkan pahlawan Muslimin Aceh yang masih bertahan secara gerilya. Kononnya beliau dalam kehidupan pribadi adalah seorang Islam yang taat shalat dan puasa. Dan dia mendapat bintang Willemsorde dari Belanda karena jasanya menunjukkan rahasia-rahasia umatnya seagama itu.
Orang seperti ini banyak terdapat dalam sejarah. Negerinya hancur, agamanya terdesak dan buat itu dia diberi balas jasa, yaitu bintang! Maka tepatlah apa yang dikatakan oleh sahabat Rasulullah ﷺ tadi, yaitu mereka telah jadi Yahudi, dan di sini telah jadi Nasrani, padahal mereka tidak sadar.
“Sesungguhnya Allah tidaklah akan memberi petunjuk kepada kaum yang zalim."
Maka orang yang telah mengambil Yahudi atau Nasrani menjadi pemimpinnya itu nyatalah sudah zalim. Sudah aniaya. Sebagaimana kita maklum kata-kata zalim itu berasal dari zhulm, artinya gelap. Mereka telah memilih jalan hidup yang gelap, sehingga terang dicabut Allah dari dalam jiwa mereka. Mereka telah memilih musuh kepercayaan, meskipun bukan musuh pribadi. Padahal di dalam surah al-Baqarah ayat 120 telah di-peringatkan Allah bahwa Yahudi dan Nasrani tidak akan ridha, selama-lamanya tidaklah mereka ridha sebelum umat Islam menuruti jalan agama mereka. Mereka itu bisa senang pada lahir, kaya dalam benda, tetapi umat mereka jadi melarat karena kezaliman mereka. Lantaran itu selamanya tidak akan terjadi kedamaian. Sebab umat Islam yang memegang teguh tauhid, selama-lamanya akan menyimpan dendam dalam hati, sampai mereka mendapat kemerdekaan kembali. Dan orang yang jiwanya dipimpin oleh Yahudi dan Nasrani itu akan tetap menjadi kudis dan borok di hadapan mata mereka.
Di ayat ini ditegaskan bahwa yang dilarang ialah mengambil mereka jadi pemimpin. Tetapi pergaulan manusia di antara manusia, yang sadar akan diri tidaklah terlarang. Seumpama sekarang ini, negeri-negeri umat Islam telah merdeka. Kita akan berhubungan dalam soal-soal ekonomi, kita tidak akan mengisolasi diri. Bahkan di dalam surah al-Hujuraat ayat 13, dengan tegas Allah berfirman,
“Wahai manusia! Sesungguhnya telah Kami ciptakan kamu itu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan telah Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu kenal-mengenal Sesungguhnya kaum yang paling mulia di sisi Allah ialah yang paling takwa kepada-Nya. Sesungguhnya Allah itu adalah Mahatahu, dan Maha Mengerti." (al-Hujuraat: 13)
Demikian juga tidak ada larangan berbaik-baik dengan tetangga yang memeluk agama lain. Rasulullah ﷺ memberikan contoh pula dalam hal ini. Beliau pernah menggadaikan perisainya kepada tetangganya yang Yahudi buat pembeli gandum. Beliau pernah menyembelih kambing untuk makanan sendiri, lalu khadamnya disuruhnya segera menghantarkan sebagian daging kambing itu ke rumah tetangganya Yahudi itu. Kita orang Islam boleh kawin dengan perempuan Ahlul Kitab dengan tidak usah perempuan itu memeluk agama Islam, terlebih dahulu. Sebab pimpinan rumah tangga adalah di tangan suami, bukan di tangan istri. Tetapi ahli fiqih Islam sama pendapat bahwa laki-laki Islam yang hanya tinggal nama saja, tidak boleh kawin dengan perempuan pemeluk agama lain “karena pancing bisa dilarikan ikan". Sedang perempuan Islam dilarang kawin dengan laki-laki pemeluk agama lain, sebab pimpinan rumah tangga di tangan laki-laki. Hanya boleh kalau laki-laki itu memeluk Islam terlebih dahulu.
Di dalam pemerintahan Islam, penguasa Islam dibolehkan memberikan kepercayaan kepada pemeluk agama lain untuk memegang satu jabatan, sebab pimpinan tertinggi adalah di tangan Islam. Sebab itu tidaklah ada kekha-watiran. Tetapi kalau timbul khawatir tidaklah boleh.
Ada berbagai macam pendapat telah dike-mukakan tentang sebab turunnya ayat ini. Salah satu sebab turun yang diriwayatkan dalam hadits bahwa penduduk Arab Madinah, dari persukuan Khazraj dan Aus, sebelum mereka memeluk Islam dahulu, telah membuat perjanjian bantu-membantu dengan persukuan-persukuan Yahudi yang ada di Madinah. Yaitu Bani Nadhir, Bani Quraizhah, dan Bani Qainuqa'. Setelah agama Islam mereka peluk dan Nabi Muhammad ﷺ berpindah ke negeri Madinah, Rasulullah pun membuat perjanjian-perjanjian pula dengan suku-suku Yahudi itu akan hidup berdampingan secara damai. Kalau kota Madinah diserang orang dari luar, mereka akan turut bertahan. Dan keamanan mereka beragama dijamin oleh Rasulullah ﷺ. Maka tersebutlah bahwasanya kemudian suku-suku Yahudi itu mungkir akan janjinya, bahkan berkhianat.
Yang mula berkhianat ialah Yahudi Bani Nadhir. Seketika Rasulullah datang ke kampung mereka, mengumpulkan derma pembantu bayaran diyat karena Amr bin Umayyah membunuh dengan kekhilafan seketika kembali dari sumur Maa'uunah, beliau disambut dengan manis oleh mereka. Tetapi setelah Rasulullah duduk bersandar pada satu dinding rumah, mereka telah berbisik-bisik hendak menjatuhkan sebuah lesung batu dari sutuh rumah, rupanya Rasulullah mendapat ilham bahwa ada bahaya, sehingga beliau segera berdiri dan menghindarkan diri dari dinding itu. Dan beliau selamat.
Pengkhianatan itu segera diketahui. Maka setelah dikumpulkan dengan bukti-bukti yang lain, maka dikepunglah kampung Bani Nadhir itu dan mereka disuruh menyerah. Tetapi Abdullah bin Ubay, kepala orang-orang munafik menyuruh mereka bertahan dan bersedia hendak membantu, karena merasa terikat akan janji lama akan bantu-membantu. Tetapi setelah diadakan kepungan yang sungguh-sungguh, satu orang pun tidak ada pengikut Abdullah bin Ubay yang datang membantu, sehingga pengusiran berjalan terus.
Memang ada beberapa sahabat Rasulullah yang karena kekuatan iman dan rasa ksatria ditumbuhi rasa kesulitan karena janji-janji bantu-membantu yang dahulu telah diperbuat itu. Tetapi beberapa orang sahabat yang teguh hatinya langsung menyatakan sikap. Di antaranya ialah Sa'ad bin Mu'az, sesudah pengkhianatan Bani Quraizhah dalam peperangan al-Ahzaab (Perang Khandaq/Parit) Dialah yang menjatuhkan hukum bahwa Bani Quraizhah itu harus dihukum, semua laki-laki dibunuh dan anak istrinya dijadikan tawanan, dan harta benda dirampas. Padahal Bani Quraizhah yang khianat itu mengharap Sa'ad membela mereka, sebab dahulu ada janji bantu-membantu. Yahudi yang khianat terlebih dahulu, sebab itu mereka menanggungkan akibatnya.
Yang tegas pula ialah Ubadah bin Shamit. Seketika orang-orang seperti Abdullah bin Ubay secara munafik membela Yahudi, maka Ubadah bin Shamit datang menghadap Rasulullah dan menyatakan sikapnya yang tegas. Dan berkata di hadapan beliau, “Ya Rasul Allah! Ikatan janji kami dengan Yahudi akan bantu-membantu, tolong-menolong. Aku tahu mereka itu keras sikapnya, banyak senjata mereka, kukuh persatuan mereka. Tetapi sungguh pun demikian, hari ini aku akan menentukan sikap. Aku melepaskan diri dari ikatan itu, dan langsung berlindung kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada pimpinan bagiku melainkan pimpinan Allah dan Rasul"
Tetapi di dalam majelis itu juga Abdullah bin Ubay menyatakan bahwa dia tidak ada maksud hendak membatalkan janji itu. Kemudian ternyata bahwa dia tidak sanggup memegang janjinya dengan Yahudi itu dan tidak pula terang berpihak kepada Islam; sehingga dia dicaplah sebagai munafik.
Meskipun terdapat beberapa riwayat tentang sebab turun ayat, namun yang kita jadikan pedoman ialah isinya. Karena tersebut di dalam kaidah ushul fiqih.
“Yang dipandang adalah umum maksud perkataan, bukanlah sebab yang khusus."
Artinya, yang dipandang ialah maksud dan tujuan perkataan, bukanlah tentang sebab turunnya ayat. Apatah lagi larangan Allah ini berlaku selama dunia terkembang bagi kepentingan penjagaan Islam sendiri.
Bukankah telah pernah beratus-ratus tahun lamanya negeri-negeri Islam menjadi jajahan dari orangyang beragama Nasrani? Bagaimana hebatnya percobaan mereka sebagai pihak yang berkuasa hendak memaksakan agama mereka dan menghilangkan pengaruh Islam? Kita sendiri sebagai negeri bekas dijajah sudah pernah merasai itu. Mereka telah masuk dengan berbagai cara. Cobalah perhatikan dalam kota Jakarta sendiri, yang sekarang men-jadi ibu kota Republik Indonesia, adakah bertemu bekas bahwa di zaman penjajahan itu umat Islam boleh mendirikan masjid yang agak pantas di tempat yang agak patut? Masjid-masjid hanya terpencil di belakang-belakang lorong, di pinggir-pinggir kota, sedang di tempat yang penting dan megah, gerejalah yang berdiri. Sebab pimpinan adalah di tangan mereka.
Pendidikan dan pengajaran kanak-kanak pun termasuk pimpinan yang penting. Bagaimana jadinya anak-anak Islam, kalau pimpinan pendidikan mereka diberikan kepada guru Yahudi atau Nasrani? Sedang mereka, sebagai dikatakan dalam ayat tadi, adalah menjadi pemimpin antara satu dengan yang lain, artinya mempunyai organisasi yang kuat.
Teringatlah penulis, bahwa kira-kira tahun 1920, seorang Demang (pegawai Pemerintah penjajahan Belanda, tetapi beragama Islam) meminta nasihat soal perkara agama, yaitu nusyuz yang terjadi di antara suami istri Islam. Demang itu meminta keputusan perkara orang itu, meskipun secara advis, kepada Adviseur uoor Inlansche Zaken, yang dipimpin oleh seorang orientalis yang sangat ahli tentang soal-soal Islam, yaitu Dr. Hazeu. Lalu advis ahli itu pun datang, padahal advisnya itu diambil dari hukum fiqih yang sangat kaku. Waktu itulah ayah dan guruku Dr. Syekh Abdul Karim Amrullah yang mengajar agama Islam di Padang Panjang menyatakan bandingan atas hukum Dr. Hazeu itu dengan tegas, sehingga advis Dr. Hazeu itu tidak jadi terpakai. Padahal sebelum Dr. Hazeu, Adviseur Pemerintah Belanda tentang Islam, masih ulama; yaitu Sayyid Osman al-Alawi. Sebelum itu, pada tahun 1911 keluar fatwa Ayahku itu di dalam majalah al-Munir menjawab pertanyaan seseorang, apakah Tuanku Laras boleh dijadikan wali hakim, dengan tegas beliau jawab, Tidak! Sebab meskipun Tuanku Laras seorang kepada Bumiputra, bukanlah dia pimpinan agama, melainkan pegawai dari pemerintah Belanda.
Tentunya termasuk di sini mengambil karangan orientalis Barat yang katanya ahli dalam soal-soal Islam, untuk dijadikan mata pelajaran Islam pada sekolah-sekolah tinggi, seumpama karangan Young Bull yang terkenal tentang fiqih. Karangan-karangan Orientalis Barat tentang Islam hanya baik untuk dijadikan tinjauan belaka, tetapi amat berbahaya untuk dijadikan pegangan; kecuali kalau yang belajar itu hendak mengetahui bagaimana pandangan dan penghargaan ulama Islam sendiri.
Ayat 52
“Maka akan engkau lihat orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit, berlomba-lombalah mereka kepada mereka."
Inilah. kalimat yang sangat tepat. Bahwasanya yang mau menjadikan Yahudi dan Nasrani menjadi pimpinan, tidak lain daripada orang yang di dalam hatinya telah ada penyakit. Penyakit, terutama yang pertama ialah munafik. Yang kedua ialah agamanya itu hanya sekadar nama sebutan belaka, sebab kebetulan mereka keturunan orang Islam. Bagi mereka sama saja, apakah pimpinan itu Islam atau Yahudi atau Nasrani, asal ada jaminan hidup. Bahkan sampai kepada zaman kita telah merdeka sekarang ini, masih belum sembuh benar penyakit itu. Di kota-kota besar, bukan saja di tanah Jawa yang telah lama pengaruh Belanda, bahkan di Sumatera, bahkan di Sumatera Barat, sebagai di Padang, Bukittinggi, dan Payakumbuh, telah penuh sesak sekolahsekolah yang didirikan Kristen yang dimasuki oleh anak-anak orang Islam. Dan melihat sekolah mereka telah mulai laku, mulailah mereka mengatur bahwa anak-anak Islam yang masuk ke dalam sekolah mereka mesti pula turut mengerjakan sembahyang Kristen kalau terjadi upacara sembahyang.
Dengan ini dapatlah kita pahamkan bahwa pekerjaan menegakkan Islam mempunyai berbagai ragam segi yang wajib diisi semuanya dan meminta waktu dan kesabaran. Kalau kita lihat bahwa berjuangagar hukum Allah berlaku di dalam suatu negara, sebagaimana pada ayat sebelum ini sudah kita bentangkan, maka lebih hebat lagi untuk menginsafkan umat Islam agar jangan menyerahkan pimpinan kepada Yahudi dan Nashara. Padahal kita pun mengakui bahwa di dalam zaman sekarang ini, hanyalah ilmu pengetahuan yang tinggi-tinggi ada pada mereka, ilmu pengetahuan yang tinggi-tinggi adalah sebagai tersebut di dalam sebuah hadits yang shahih,
“Hikmat adalah barang mahal orang Mukmin yang hilang. Oleh sebab itu, pungutlah dia di mana pun bertemunya."
Kita memerlukan teknik Eropa, ilmu kedokteran Amerika, kepandaian ilmu alam Rusia, ilmu perang, dan lain-lain. Tetapi kita wajib selalu awas, jangan sampai pimpinan jiwa kita, keimanan kita akan tergadai lantaran itu. Sebab itu maka awasilah jiwa sendiri agar jangan ditimpa penyakit. Karena hanya jiwa yang sakit yang dapat kena pengaruh mereka, “Berkata mereka," yaitu jiwa-jiwa yang telah sakit itu, “Kami takut bahwa akan menimpa kepada kami kecelakaan." Persis beginilah jawaban dari orang yang berjiwa sakit, ketika ditanya mengapa mereka menyerahkan pimpinan kepada Yahudi dan Nasrani. Mereka menjawab, “Kalau kita tidak serahkan pimpinan kepada mereka niscaya kita celaka." Kalau pimpinan anak saya tidak diserahkan kepada mereka, tentu civil effect atau nasib penghidupan anak saya di belakang hari tidak terjamin, sebab sekolah-sekolah kepunyaan Kristen itu amat lengkap persediaannya dan amat rapi pelajarannya.
Kalau ditanya, “Bagaimana urusan agama anak itu kelak?" Maka si orang tua yang jiwa agamanya telah sakit itu memberikan jawaban yang amat lemah.
Asalnya kaum yang dalam hatinya ada penyakit ini, berkata demikian di zaman Rasul saw, ialah di saat-saat mereka masih menyangka bahwa Islam tidak akan menang, dan lawan-lawannya, terutama Yahudi masih kuat. Maka buat orang yang imannya teguh, Allah memberikan pengharapan, “Moga-moga Allah akan mendatangkan kemenangan atau suatu keadaan dari sisi-Nya." Melihat lawan masih kuat, orang-orang yang beriman janganlah lekas patah semangat dan lemah harapan. Asal keyakinan tetap teguh, kemenangan pasti datang dan keadaan akan berubah. Keadaan tidak akan tetap begitu-begitu saja. Dalam sejarah ternyatalah apa yang telah dibayangkan Allah sebagai pengharapan itu, sehingga orang-orang Yahudi jatuh pamor mereka satu demi satu dan hilang segenap kebesaran dan pengaruh mereka dari tanah Arab, dan Daulat Islam berdiri. “Maka jadilah mereka itu." Yaitu orang-orang yang telah telanjur menyerahkan pimpinan kepada Yahudi dan Nasrani itu.
“Atas apa yang mereka simpan-simpan dalam hati mereka, menjadi orang-orang yang menyesal."
Orang yang lantaran di dalam jiwa telah ada penyakit, oleh karena kelemanannya dan pendirian yang tiada tetap, di waktu melihat musuh masih kuat, tidak merasa yakin akan
kemenangan Islam; sebab itu mereka menyeberang ke pihak sana. Kemudian ternyatalah bahwa Islam itu lebih kuat dari apa yang mereka sangka bermula. Lantaran itu menyesallah mereka, hidup sudah serba salah dan langkah sudah telanjur.
Ayat 53
“Dan berkata orang-orang yang beriman."
Kepada sesamanya orang yang beriman pula; “Orang-orang inikah yang telah bersumpah dengan nama Allah dengan kesungguhan sumpah mereka, bahwa mereka adalah bersama kamu?"
Bertanya orang Mukmin kepada sesamanya Mukmin, inikah orangnya yang tempo hari telah bersumpah mati-matian, bahwa mereka sungguh-sungguh beriman pula, sudi sehidup semati mempertahankan iman dengan saudaranya Mukmin yang lain, tetapi sekarang karena kelemahan hati, mereka tidak tahan, lalu berpihak atau mengambil Yahudi atau Nasrani jadi pimpinan. Orang-orang seperti inilah, yang terdapat di segala zaman, menjadi orang yang terombang-ambing karena dalam jiwa ada penyakit. Dari sebab iman yang tidak tahan, lalu berpihak atau mengambil Yahudi atau Nasrani jadi pimpinan. Orang-orang seperti inilah, yang terdapat di segala zaman, menjadi orang yang tidak tahan uji. Ditinggalkannya barisan iman karena dia belum yakin akan kekuatannya. Malahan kadang-kadang mereka turut menghalangi perkembangan Islam. Orang beginilah yang mempermudah sumpah dahulu? Sungguh sikap mereka mendatangkan heran dalam hati orang yang beriman sehingga menjadi buah pertanyaan di antara sesama Mukmin.
“Telah gugurlah amal-amal mereka, maka jadilah mereka orang-orang yang merugi."
Amal yang mereka usahakan selama ini sudah gugur, sudah percuma, tidak ada artinya lagi.
Karena di saat yang penting mereka meninggalkan pimpinan Rasul dan mengambil pimpinan Yahudi dan Nasrani.
Peringatan ini dibayangkan di zaman Rasulullah, namun dia akan menjadi peringatan terus-menerus, selama Islam masih ada di dunia ini dan masih akan terus berjuang menegakkan iman dan tauhid. Kekalahan negeri-negeri Islam di zaman penjajahan dahulu, adalah karena bocornya pertahanan jiwa dari sebab orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit. Di dalam sejarah, banyaklah hal ini terdapat. Misalnya teringatlah kita akan sejarah seketika Kerajaan Gowa hendak dipaksakan oleh Belanda menerima takluk dan menyerahkan seluruh kekuasaan pada Belanda pada tahun 1906. Terlebih dahulu Raja Gowa memusyawarahkan dengan orang besar-besarnya bagaimana menghadapi ultimatum yang telah dikirim Belanda dari Makassar. Maka ada orang besar kerajaan yang dengan gagah perkasa meminta Raja bertahan biar apa yang akan terjadi. Dia mengatakan bahwa dia bersedia berperang. Karena kerasnya suara dari orang besar-besar itu, tenteramlah hati Raja dan bertekad akan tetap bertahan! Lalu Raja menunggu utusan Belanda datang. Setelah serdadu Belanda datang dengan senjata lengkap dan mengepung istana, sehingga Raja tidak dapat keluar lagi, lalu disodorkanlah kepada Baginda surah Penaklukan, dan penyerahan kedaulatan kepada Belanda, yang wajib Baginda tanda tangani. Kabarnya lamalah Raja tertegun akan menaruh tanda tangan. Sedang Baginda didesak itu, tiba-tiba dari sudut lain dari istana, kedengaranlah suara agak keras dari “Orang Besar" yang bertahan keras tadi, “Tekeng-mi Kara Eng!" (Tanda tangani sajalah Tuanku) Maka lemahlah seluruh persendian Raja mendengarkan ucapan demikian, dan dengan sedih Baginda tanda tanganilah surah tersebut, dan hapuslah kedaulatan Kerajaan Gowa.
Dan biasanya raja-raja yang berkeras, sehingga terpaksa menyerahkan kedaulatan di zaman itu, kalah juga pada akhirnya, sehingga terpaksa menyerahkan kedaulatan dan banyak yangdibuangdari negerinya. Maka orang-orang besar yang lemah imannya dan menyerahkan negerinya tadi, diberilah pangkat-pangkat kebesaran oleh Belanda. Bersamaan dengan jatuhnya kesultanan Aceh, yang kuasanya pernah sampai ke Labuhan Batu, Deli, dan Serdang. Belanda mengangkat bekas orang-orang besar Kerajaan Aceh itu menjadi Raja, berhak pula memakai gelar Sultan. Dan dalam negeri Aceh sendiri, dengan jatuhnya Sultan yang berdaulat, Belanda mengangkat bekas-bekas punggawa Sultan, bekas hulubalang-hulubalang dalam peperangan, bekas bintara-bintara istana, menjadi raja-raja merdeka, yang benar-benar masing-masingnya merdeka berhubungan langsung dengan Tuhan Gubernur di Kutaraja, dan merdeka pula dalam wilayahnya sendiri, tidak ada satu bangsa pun yang akan mengganggu, sebab keamanan negeri mereka telah dipelihara oleh Belanda, sehingga bebas merdekalah mereka menindas rakyat dalam daerah wilayahnya masing-masing. Sehingga di dalam daerah Pidie (Sigli) yang seluruh penduduknya tidak cukup 100.000 orang, terdapat lebih daripada 20 hulubalang.
Dan orang kaya Sri Maharaja Mangkubumi Lhou Seumawe dengan gelar begitu tinggi mempunyai rakyat tidak lebih dari 1.000 orang! Dan semua beliau senanglah dengan panggilan Ampun Cik, yang berarti Sri Paduka Yang Besar!
Demikian akibat mengambil Yahudi dan Nasrani jadi pemimpin.