Ayat
Terjemahan Per Kata
إِنَّآ
sesungguhnya
أَنزَلۡنَا
Kami telah turunkan
ٱلتَّوۡرَىٰةَ
Taurat
فِيهَا
di dalamnya
هُدٗى
petunjuk
وَنُورٞۚ
dan cahaya
يَحۡكُمُ
memutuskan perkara
بِهَا
dengannya
ٱلنَّبِيُّونَ
Nabi-Nabi
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
أَسۡلَمُواْ
(mereka) menyerahkan diri
لِلَّذِينَ
terhadap orang-orang
هَادُواْ
Yahudi
وَٱلرَّبَّـٰنِيُّونَ
dan orang-orang alim mereka
وَٱلۡأَحۡبَارُ
dan para pendeta
بِمَا
dengan sebab
ٱسۡتُحۡفِظُواْ
mereka diperintah memelihara
مِن
dari
كِتَٰبِ
Kitab
ٱللَّهِ
Allah
وَكَانُواْ
dan mereka menjadi
عَلَيۡهِ
atasnya
شُهَدَآءَۚ
saksi-saksi
فَلَا
maka jangan
تَخۡشَوُاْ
kamu takut
ٱلنَّاسَ
manusia
وَٱخۡشَوۡنِ
dan takutlah kepadaKu
وَلَا
dan jangan
تَشۡتَرُواْ
kamu jual/menukar
بِـَٔايَٰتِي
dengan ayat-ayatKu
ثَمَنٗا
harga
قَلِيلٗاۚ
sedikit
وَمَن
dan barang siapa
لَّمۡ
tidak
يَحۡكُم
memutuskan perkara
بِمَآ
dengan apa
أَنزَلَ
menurunkan
ٱللَّهُ
Allah
فَأُوْلَٰٓئِكَ
maka mereka itu
هُمُ
mereka
ٱلۡكَٰفِرُونَ
orang-orang kafir
إِنَّآ
sesungguhnya
أَنزَلۡنَا
Kami telah turunkan
ٱلتَّوۡرَىٰةَ
Taurat
فِيهَا
di dalamnya
هُدٗى
petunjuk
وَنُورٞۚ
dan cahaya
يَحۡكُمُ
memutuskan perkara
بِهَا
dengannya
ٱلنَّبِيُّونَ
Nabi-Nabi
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
أَسۡلَمُواْ
(mereka) menyerahkan diri
لِلَّذِينَ
terhadap orang-orang
هَادُواْ
Yahudi
وَٱلرَّبَّـٰنِيُّونَ
dan orang-orang alim mereka
وَٱلۡأَحۡبَارُ
dan para pendeta
بِمَا
dengan sebab
ٱسۡتُحۡفِظُواْ
mereka diperintah memelihara
مِن
dari
كِتَٰبِ
Kitab
ٱللَّهِ
Allah
وَكَانُواْ
dan mereka menjadi
عَلَيۡهِ
atasnya
شُهَدَآءَۚ
saksi-saksi
فَلَا
maka jangan
تَخۡشَوُاْ
kamu takut
ٱلنَّاسَ
manusia
وَٱخۡشَوۡنِ
dan takutlah kepadaKu
وَلَا
dan jangan
تَشۡتَرُواْ
kamu jual/menukar
بِـَٔايَٰتِي
dengan ayat-ayatKu
ثَمَنٗا
harga
قَلِيلٗاۚ
sedikit
وَمَن
dan barang siapa
لَّمۡ
tidak
يَحۡكُم
memutuskan perkara
بِمَآ
dengan apa
أَنزَلَ
menurunkan
ٱللَّهُ
Allah
فَأُوْلَٰٓئِكَ
maka mereka itu
هُمُ
mereka
ٱلۡكَٰفِرُونَ
orang-orang kafir
Terjemahan
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Taurat. Di dalamnya ada petunjuk dan cahaya. Dengannya para nabi, yang berserah diri (kepada Allah), memberi putusan atas perkara orang Yahudi. Demikian pula para rabi dan ulama-ulama mereka (juga memberi putusan) sebab mereka diperintahkan (oleh Allah untuk) menjaga kitab Allah dan mereka merupakan saksi-saksi terhadapnya. Oleh karena itu, janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang murah. Siapa yang tidak memutuskan (suatu urusan) menurut ketentuan yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.
Tafsir
(Sesungguhnya Kami telah menurunkan Taurat berisi petunjuk) dari kesesatan (dan cahaya) untuk menjelaskan hukum-hukum (yang diambil untuk memutuskan hukum oleh nabi-nabi) dari Bani Israel (yang tunduk) menyerahkan diri kepada Allah (bagi orang-orang Yahudi dan oleh orang-orang alim dan para pendeta) yakni ahli-ahli hukum dari kalangan mereka (dengan apa) disebabkan karena (mereka diminta untuk menyimpan) artinya diberi amanat untuk menjaga oleh Allah (Kitabullah) jangan sampai diubah-ubah (dan mereka menjadi saksi terhadapnya) bahwa ia benar adanya. (Maka janganlah kamu takut akan manusia) hai orang-orang Yahudi dalam menyingkapkan sifat-sifat dan ciri-ciri Muhammad ﷺ yang kamu ketahui, tentang ayat rajam dan sebagainya (hanya takutlah kepada-Ku) dalam menyembunyikannya (dan janganlah kamu beli, maksudnya, jangan kamu tukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit) berupa harta benda dunia yang kamu dapatkan sebagai imbalan menyembunyikannya. (Siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka merekalah orang-orang yang kafir) terhadap-Nya.
Tafsir Surat Al-Ma'idah: 41-44
Wahai Rasul, janganlah kamu disedihkan oleh karena orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya dari kalangan orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka, "Kami telah beriman,” padahal hati mereka belum beriman; dan (juga) di antara orang-orang Yahudi, mereka amat suka mendengar (berita-berita) bohong dan amat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu; mereka mengubah perkataan-perkataan (Taurat) dari makna yang sebenarnya. Mereka mengatakan, "Jika diberikan ini (yang sudah diubah-ubah oleh mereka) kepada kamu, maka terimalah; dan jika kamu diberi yang bukan ini, maka hati-hatilah." Barang siapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatu pun (yang datang) dari Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak mau menyucikan hati mereka. Mereka beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat, mereka beroleh azab yang besar.
Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka, maka mereka tidak akan bisa memberikan mudarat kepadamu sedikit pun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.
Dan bagaimana bisa mereka mengangkatmu menjadi hakim mereka, padahal mereka mempunyai Taurat yang di dalamnya ada hukum Allah, kemudian mereka berpaling sesudah itu (dari putusanmu)? Dan mereka sungguh-sungguh bukan orang beriman.
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya ada petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang berserah diri kepada Allah. Demikian pula orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu, janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga murah. Barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.
Ayat 41
Ayat-ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang bersegera kepada kekafiran, keluar dari jalur taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta lebih mendahulukan kepentingan pendapat dan hawa nafsu serta kecenderungan mereka atas syariat-syariat Allah ﷻ “dari kalangan orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka, ‘Kami telah beriman,’ padahal hati mereka belum beriman.” (Al-Maidah: 41) Yakni mereka menampakkan iman melalui lisannya, sedangkan hati mereka rusak dan kosong dari iman; mereka adalah orang-orang munafik.
“Dan (juga) dari kalangan orang-orang Yahudi.” (Al-Maidah: 41) Mereka adalah musuh agama Islam dan para pemeluknya, mereka semuanya mempunyai kegemaran “amat suka mendengar (berita-berita) bohong.” (Al-Maidah: 41)
Yakni mereka percaya kepada berita bohong dan langsung terpengaruh olehnya.
“Dan amat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu.” (Al-Maidah: 41)
Mereka mudah terpengaruh oleh kaum lain yang belum pernah datang ke majelismu, Muhammad. Menurut pendapat lain, makna yang dimaksud ialah "mereka senang mendengarkan perkataanmu, lalu menyampaikannya kepada kaum lain yang tidak hadir di majelismu dari kalangan musuh-musuhmu.”
“Mereka mengubah perkataan-perkataan (Taurat) dari tempat-tempatnya.” (Al-Maidah: 41)
Yakni mereka menakwilkannya bukan dengan takwil yang sebenarnya dan mengubahnya sesudah mereka memahaminya, sedangkan mereka mengetahui.
Mereka mengatakan, "Jika diberikan ini (yang sudah diubah-ubah oleh mereka) kepada kamu, maka terimalah dan jika kamu diberi yang bukan ini, maka hati-hatilah.” (Al-Maidah: 41)
Menurut suatu pendapat, ayat ini diturunkan berkenaan dengan suatu kaum dari kalangan orang-orang Yahudi yang telah melakukan suatu pembunuhan terhadap seseorang (dari mereka). Dan mereka mengatakan, "Marilah kita meminta keputusan kepada Muhammad. Jika dia memutuskan pembayaran diat, maka terimalah hukum itu. Dan jika dia memutuskan hukum qisas, maka janganlah kalian dengar (turuti) keputusannya itu."
Tetapi yang benar adalah yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan dua orang Yahudi yang berbuat zina, sedangkan mereka telah mengubah Kitabullah yang ada di tangan mereka, antara lain ialah perintah menghukum rajam orang yang berzina muhsan (perbuatan zina yang dilakukan oleh seseorang yang sudah menikah) di antara mereka.
Mereka telah mengubahnya dan membuat peristilahan tersendiri di antara sesama mereka, yaitu menjadi hukuman dera seratus kali, mencoreng mukanya (dengan arang), dan dinaikkan ke atas keledai secara terbalik (lalu dibawa ke sekeliling kota). Ketika peristiwa itu terjadi sesudah hijrah, mereka (orang-orang Yahudi) berkata di antara sesama mereka, "Marilah kita meminta keputusan hukum kepadanya (Nabi ﷺ). Jika dia memutuskan hukuman dera dan mencoreng muka pelakunya, terimalah keputusannya; dan jadikanlah hal itu sebagai hujah (alasan) kalian terhadap Allah, bahwa ada seorang nabi Allah yang telah memutuskan demikian di antara kalian. Dan apabila dia memutuskan hukuman rajam, maka janganlah kalian mengikuti keputusannya."
Hal tersebut disebutkan oleh banyak hadits, antara lain diriwayatkan oleh Malik, dari Nafi', dari Abdullah ibnu Umar , bahwa orang-orang yahudi datang kepada Rasulullah ﷺ, lalu mereka melaporkan bahwa ada seorang lelaki dari kalangan mereka berbuat zina dengan seorang wanita. Maka Rasulullah ﷺ bertanya kepada mereka: “Apakah yang kalian jumpai di dalam kitab Taurat mengenai hukum rajam?” Mereka menjawab, "Kami permalukan mereka, dan mereka dihukum dera." Abdullah ibnu Salam berkata, "Kalian dusta, sesungguhnya di dalam kitab Taurat terdapat hukum rajam." Lalu mereka mendatangkan sebuah kitab Taurat dan membukanya, lalu seseorang di antara mereka meletakkan tangannya pada ayat rajam, dan ia hanya membaca hal yang sebelum dan yang sesudahnya.
Maka Abdullah ibnu Salam berkata, "'Angkatlah tanganmu!" Lalu lelaki itu mengangkat tangannya, dan ternyata yang tertutup itu adalah ayat rajam. Lalu mereka berkata, "Benar, wahai Muhammad, di dalamnya terdapat ayat rajam." Maka Rasulullah ﷺ memerintahkan agar keduanya dijatuhi hukuman rajam, lalu keduanya dirajam. Abdullah ibnu Umar melanjutkan kisahnya, "Aku melihat lelaki pelaku zina itu membungkuk di atas tubuh wanitanya dengan maksud melindunginya dari lemparan batu rajam."
Hadits diketengahkan oleh Syaikhain, dan hadits di atas menurut lafal Imam Bukhari.
Menurut lafal yang lain, dari Imam Bukhari, disebutkan bahwa Nabi ﷺ bertanya kepada orang-orang Yahudi: “Apakah yang akan kalian lakukan terhadap keduanya?” Mereka menjawab, "Kami akan mencoreng muka mereka dengan arang dan mencaci makinya." Nabi ﷺ bersabda membacakan firman-Nya: “Maka bawalah Taurat itu, lalu bacalah ia jika memang kalian orang-orang yang benar.” (Ali Imran: 93) Lalu mereka mendatangkannya dan berkata kepada seorang lelaki di antara mereka yang mereka percayai, tetapi dia bermata juling, "Bacalah!" Lalu lelaki itu membacanya hingga sampai pada suatu bagian, lalu ia meletakkan tangannya pada bagian itu.
Maka Nabi ﷺ bersabda, "Angkatlah tanganmu!" Lalu lelaki itu mengangkat tangannya, dan ternyata tampak jelas adanya ayat hukum rajam. Kemudian lelaki itu berkata, "Wahai Muhammad, sesungguhnya di dalam kitab Taurat memang ada hukum rajam, tetapi kami menyembunyikannya di antara kami." Maka Nabi ﷺ memerintahkan agar keduanya dihukum rajam, lalu keduanya dirajam.
Menurut lafal yang ada pada Imam Muslim disebutkan bahwa dihadapkan kepada Rasulullah ﷺ seorang lelaki Yahudi dan seorang perempuan Yahudi yang telah berbuat zina. Tetapi Rasulullah ﷺ tidak menanggapinya sehingga datang orang-orang Yahudi, lalu beliau bertanya: “Hukum apakah yang kalian jumpai di dalam kitab Taurat sehubungan dengan orang yang berbuat zina?” Mereka menjawab, "Kami harus mencoreng muka kedua pelakunya dengan arang, lalu kami naikkan mereka ke atas kendaraan dengan tubuh yang terbalik, hingga muka kami saling berhadapan dengan muka mereka,kemudian diarak (ke sekeliling kota)." Nabi ﷺ membacakan firman-Nya: “Maka bawalah Taurat itu, lalu bacalah ia jika memang kalian orang-orang yang benar.” (Ali Imran: 93) Maka mereka mendatangkan kitab Taurat dan membacanya.
Ketika bacaannya sampai pada ayat rajam, pemuda yang membacakannya meletakkan tangannya pada ayat rajam, dan ia hanya membaca hal yang sebelum dan sesudahnya saja. Maka Abdullah ibnu Salam yang saat itu berada di samping Rasulullah ﷺ berkata (kepada Rasulullah ﷺ), “Perintahkanlah kepadanya agar mengangkat tangannya!" Pemuda itu mengangkat tangannya, dan ternyata di bawahnya terdapat ayat rajam. Maka Rasulullah ﷺ memerintahkan agar kedua pezina itu dihukum rajam, lalu keduanya dirajam. Abdullah ibnu Umar mengatakan bahwa dirinya termasuk orang yang ikut merajam keduanya, dan dia melihat pelaku laki-laki melindungi pelaku perempuan dari lemparan batu dengan tubuhnya.
Abu Dawud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sa'id Al-Hamdani, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Sa'd; Zaid ibnu Aslam telah menceritakan kepadanya, dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa segolongan orang-orang Yahudi datang, lalu mereka mengundang Rasulullah ﷺ ke suatu tempat yang teduh, tetapi Rasulullah ﷺ mendatangi mereka di rumah tempat mereka mengaji kitab Taurat. Lalu mereka bertanya, ''Wahai Abul Qasim, sesungguhnya seorang lelaki dari kalangan kami telah berbuat zina dengan seorang wanita, maka putuskanlah perkaranya." Ibnu Umar mengatakan bahwa mereka menyediakan sebuah bantal untuk Rasulullah ﷺ, dan Rasulullah ﷺ duduk di atasnya.
Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda, "Datangkanlah kepadaku kitab Taurat." Maka kitab Taurat didatangkan, dan Nabi ﷺ mencabut bantal yang didudukinya, lalu meletakkan kitab Taurat di atas bantal itu, kemudian bersabda, "Aku beriman kepadamu dan kepada Tuhan Yang telah menurunkanmu." Selanjutnya beliau ﷺ bersabda, "Datangkanlah kepadaku orang yang paling alim di antara kalian." Lalu didatangkan oleh mereka seorang pemuda. Kemudian disebutkan kisah hukum rajam seperti yang terdapat pada hadits Malik, dari Nafi'.
Az-Zuhri mengatakan bahwa ia pernah mendengar seorang lelaki dari kalangan Bani Muzayyanah yang dikenal selalu mempelajari ilmu dan menghafalnya; saat itu kami sedang berada di rumah Ibnul Musayyab. Lelaki itu menceritakan sebuah hadits dari Abu Hurairah, bahwa pernah ada seorang lelaki Yahudi berbuat zina dengan seorang wanita.
Maka sebagian dari mereka berkata kepada sebagian yang lain, "Berangkatlah kalian untuk meminta keputusan kepada Nabi ini. Karena sesungguhnya dia diutus membawa keringanan. Maka jika dia memberikan fatwa kepada kita selain hukum rajam, kita menerimanya; kita jadikan sebagai hujah (alasan) di hadapan Allah, dan kita akan katakan bahwa ini adalah fatwa keputusan dari salah seorang di antara nabi-nabi-Mu."
Lalu mereka datang menghadap Nabi ﷺ yang saat itu sedang duduk dengan para sahabatnya di masjid. Lalu mereka berkata, "Wahai Abul Qasim, bagaimanakah pendapatmu tentang seseorang lelaki dan seorang wanita yang berbuat zina dari kalangan kaum yang sama?" Nabi ﷺ tidak menjawab sepatah kata pun melainkan beliau langsung datang ke tempat Midras mereka, lalu beliau berdiri di pintunya dan bersabda: “Aku bertanya kepada kalian, demi Allah Yang telah menurunkan kitab Taurat kepada Musa, apakah yang kalian jumpai dalam kitab Taurat tentang orang yang berzina apabila ia telah muhsan (orang yang sudah baligh berakal, merdeka dan kawin secara sah)?” Mereka menjawab, "Wajahnya dicorengi dengan arang, kemudian diarak ke sekeliling kota dan didera." Istilah tajbiyah dalam hadits ini adalah kedua orang yang berzina dinaikkan ke atas seekor keledai dengan tengkuk yang saling berhadapan, lalu keduanya di arak ke sekeliling kota (yakni dipermalukan)
Dan terdiamlah seorang pemuda dari mereka. Ketika Rasulullah ﷺ melihatnya terdiam, maka beliau menanyainya dengan gencar. Akhirnya ia berkata, "Ya Allah, karena engkau meminta kepada kami dengan menyebut nama-Mu, maka kami jawab bahwa sesungguhnya kami menjumpai adanya hukum rajam dalam kitab Taurat." Nabi ﷺ bertanya (kepada pemuda itu), "Apakah perintah Allah yang mula-mula kalian selewengkan?" Pemuda itu menjawab, "Seorang kerabat salah seorang raja kami pernah berbuat zina, maka hukum rajam ditangguhkan darinya. Kemudian berbuat zina pula sesudahnya seorang dari kalangan rakyat, lalu si raja bermaksud menjatuhkan hukum rajam terhadapnya. Akan tetapi, kaumnya menghalang-halangi dan membelanya, dan mereka mengatakan bahwa teman mereka tidak boleh dirajam sebelum raja itu mendatangkan temannya dan merajamnya. Akhirnya mereka mereka-reka hukum ini di antara sesama mereka."
Maka Nabi ﷺ bersabda: “Maka sesungguhnya aku sekarang akan memutuskan hukum menurut apa yang ada di dalam kitab Taurat.” Kemudian keduanya diperintahkan untuk dihukum rajam, lalu keduanya dirajam.
Az-Zuhri mengatakan, telah sampai kepada kami bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan mereka, yaitu firman-Nya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya ada petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang berserah diri kepada Allah.” (Al-Maidah: 44) Nabi ﷺ termasuk salah seorang dari para nabi itu.
Imam Ahmad dan Imam Abu Dawud serta Ibnu Jarir telah meriwayatkannya, sedangkan hadits ini menurut lafal yang ada pada Imam Abu Dawud.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Abdullah ibnu Murrah, dari Al-Barra ibnu Azib yang menceritakan bahwa lewat di hadapan Nabi ﷺ seorang Yahudi yang dicorengi mukanya dan didera. Lalu Nabi ﷺ memanggil mereka (yang menggiringnya) dan bertanya, "Apakah memang demikian kalian jumpai dalam kitab kalian hukum had bagi orang yang berzina?" Mereka menjawab, "Ya." Maka Nabi ﷺ memanggil seorang lelaki dari ulama mereka, lalu bersabda kepadanya: “Aku mau bertanya kepadamu demi Tuhan Yang telah menurunkan Taurat kepada Musa. Apakah memang demikian kalian jumpai hukuman had zina di dalam kitab kalian?” Lelaki itu menjawab, "Tidak, demi Allah, sekiranya engkau tidak bertanya kepadaku dengan menyebut sebutan itu, niscaya aku tidak akan menjawabmu. Kami jumpai hukuman had zina di dalam kitab kami ialah hukum rajam. Tetapi perbuatan zina telah membudaya di kalangan orang-orang terhormat kami. Bila kami menangkap seseorang yang terhormat berbuat zina, kami membiarkannya; dan jika kami menangkap seorang yang lemah berbuat zina, maka kami tegakkan hukuman had terhadapnya. Akhirnya kami berkata kepada sesama kami, 'Marilah kita membuat suatu kesepakatan hukum yang berlaku atas orang yang terhormat dan orang yang lemah.' Maka pada akhirnya kami sepakat untuk menggantinya dengan hukum mencoreng muka dan mendera pelakunya." Nabi ﷺ bersabda: “Ya Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang mula-mula menghidupkan perintah-Mu di saat mereka mematikannya.”
Kemudian Nabi ﷺ memerintahkan agar pelaku zina itu dihukum rajam, maka hukuman rajam dilaksanakan terhadap pezina itu. Dan Allah menurunkan firman-Nya: “Wahai Rasul, janganlah kamu disedihkan oleh ulah orang-orang yang bersegera kepada kekafiran.” (Al-Maidah: 41) sampai dengan firman-Nya: “Mereka mengatakan, ‘Jika diberikan ini (yang sudah diubah oleh mereka) kepadamu, maka terimalah’.” (Al-Maidah: 41) Yakni mereka berkata (kepada sesamanya), "Datanglah kalian kepada Muhammad. Jika dia memberikan fatwa tahmim dan dera, maka terimalah; dan jika dia memberikan fatwa hukum rajam, maka hati-hatilah!" sampai firman-Nya: “Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44) Menurut Al-Barra, ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang Yahudi sampai dengan firman-Nya: “Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (Al-Maidah: 45); Menurutnya ayat di atas diturunkan berkenaan dengan orang-orang Yahudi, sedangkan ayat berikut diturunkan berkenaan dengan semua orang kafir, yaitu firman-Nya: “Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Maidah: 47)
Imam Muslim mengetengahkan hadits ini secara munfarid (menyendiri) tanpa Imam Bukhari; dan Imam Abu Dawud, Imam An-An-Nasai serta Imam Ibnu Majah telah meriwayatkannya melalui banyak jalur dari Al-A'masy dengan lafal yang sama.
Imam Abu Bakar Abdullah ibnuz Zubair Al-Humaidi di dalam kitab Musnad-nya telah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, telah menceritakan kepada kami Mujalid ibnu Sa'id Al-Hamdani, dari Asy-Sya'bi, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa seorang lelaki dari kalangan penduduk Fadak berbuat zina. Lalu penduduk Fadak menulis surat kepada orang Yahudi di Madinah untuk meminta mereka agar menanyakan hukumnya kepada Muhammad.
Tetapi dengan pesan: "Jika dia (Nabi ﷺ) memerintahkan untuk menghukum dera, maka terimalah hukum itu; tetapi jika dia memerintahkan untuk menegakkan hukum rajam, maka janganlah diterima.” Kemudian mereka menanyakan hukum itu kepada Nabi ﷺ, Nabi ﷺ bersabda, "Kirimkanlah kepadaku dua orang lelaki yang paling alim dari kalangan kalian." Lalu mereka mendatangkan seorang lelaki bermata juling yang dikenal dengan nama Ibnu Suria dan seorang lelaki Yahudi lainnya. Nabi ﷺ berkata kepada mereka, "Kamu berdua adalah orang yang paling alim di antara orang-orang di belakangmu." Keduanya menjawab, "Memang kaum kami menjuluki kami demikian." Nabi ﷺ bertanya, "Bukankah kamu memiliki kitab Taurat yang di dalamnya terkandung hukum Allah?" Keduanya menjawab, "Memang benar." Nabi ﷺ bersabda: “Aku mau bertanya kepada kalian, demi Tuhan Yang telah membelah laut untuk Bani Israil, dan memberikan naungan awan kepada kalian, dan menyelamatkan kalian dari cengkeraman Fir'aun dan bala tentaranya, serta Dia telah menurunkan kepada Bani Israil manna dan salwa, apakah yang kalian jumpai di dalam kitab Taurat mengenai hukum rajam?” Salah seorang dari mereka berdua berkata kepada yang lainnya, ''Engkau sama sekali belum pernah diminta dengan sebutan seperti itu." Akhirnya keduanya mengatakan, "Kami menjumpai bahwa memandang secara berulang-ulang merupakan perbuatan zina, berpelukan merupakan perbuatan zina, dan mencium merupakan perbuatan zina. Maka apabila ada empat orang mempersaksikan bahwa mereka telah melihat pelakunya memulai dan mengulangi perbuatannya (yakni naik turun alias berzina), sebagaimana seseorang memasukkan tusuk tutup botol celak ke dalam botol celak, maka sesungguhnya hukum rajam merupakan suatu keharusan (atas dirinya)." Nabi ﷺ bersabda, "Itulah yang aku maksudkan." Lalu beliau memerintahkan agar pelakunya dihukum rajam, maka hukuman rajam dilaksanakan terhadap pezina itu. Dan turunlah firman-Nya:
Ayat 42
“Jika mereka datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka, maka mereka tidak akan bisa memberi mudarat kepadamu sedikit pun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.” (Al-Maidah: 42)
Imam Abu Dawud dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadits Mujalid dengan sanad yang sama dan lafal yang serupa.
Menurut lafal Imam Abu Dawud, dari Jabir, disebutkan bahwa orang Yahudi datang dengan membawa seorang lelaki dan seorang wanita dari kalangan mereka yang telah berbuat zina.
Maka Nabi ﷺ bersabda, "Datangkanlah oleh kalian kepadaku dua orang lelaki yang paling alim dari kalian." Maka mereka mendatangkan dua orang anak Suria, lalu Nabi ﷺ bertanya kepada keduanya, "Bagaimanakah kalian temukan perkara kedua orang ini dalam kitab Taurat?" Mereka menjawab, "Kami temukan bahwa apabila ada empat orang menyaksikan bahwa mereka benar-benar melihat zakarnya dimasukkan ke dalam farjinya seperti memasukkan batang celakan ke dalam botol celakan, maka keduanya harus dirajam." Nabi ﷺ bertanya, "Mengapa kalian tidak mau merajam keduanya?" Mereka berdua menjawab, "Kekuasaan kami telah lenyap, dan kami tidak suka pembunuhan." Maka Rasulullah ﷺ memanggil empat orang saksi. Keempat saksi itu datang, lalu menyatakan persaksiannya bahwa mereka benar-benar melihat zakarnya dimasukkan seperti memasukkan batang celakan ke dalam botol celakan. Lalu Rasulullah ﷺ memerintahkan agar kedua pezina dijatuhi hukuman rajam.
Kemudian Imam Abu Dawud juga meriwayatkannya dari Asy-Sya'bi dan Ibrahim An-Nakha'i secara mursal, tetapi di dalamnya tidak disebutkan bahwa Nabi ﷺ memanggil empat orang saksi lalu mereka menyatakan persaksiannya.
Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ memutuskan hukum sesuai dengan apa yang terkandung di dalam kitab Taurat. Tetapi hal ini bukan termasuk ke dalam bab menghormati mereka melalui apa yang diyakini benar oleh mereka, mengingat mereka telah diperintahkan untuk mengikuti syariat Nabi Muhammad tanpa dapat ditawar-tawar lagi melainkan hal ini merupakan wahyu yang khusus dari Allah ﷻ menyangkut hal tersebut, lalu beliau ﷺ menanyakannya kepada mereka. Tujuannya ialah untuk memaksa mereka agar mengakui apa yang ada di tangan mereka secara sebenarnya, yang selama ini mereka sembunyikan dan mereka ingkari serta tidak mereka jalankan dalam kurun waktu yang sangat lama.
Setelah mereka mengakuinya, padahal mereka menyadari bahwa penyelewengan, keingkaran, dan kedustaan mereka terhadap apa yang mereka yakini benar dari kitab yang ada di tangan mereka, lalu mereka memilih untuk meminta keputusan dari Rasulullah ﷺ hanyalah semata-mata timbul dari hawa nafsu dan perasaan senang atas keputusan yang sesuai dengan pendapat mereka, bukan karena meyakini kebenaran dari apa yang diputuskan oleh Nabi ﷺ. Karena itulah Allah ﷻ menyebutkan di dalam firman-Nya:
“Jika kamu diberi ini.” (Al-Maidah: 41)
Yaitu hukum mencoreng muka dan hukuman dera.
“Maka ambillah.” (Al-Maidah: 41)
Yakni terimalah keputusan itu.
“Dan jika kamu diberi yang bukan ini, maka hati-hatilah.” (Al-Maidah: 41)
Yakni janganlah kamu menerima dan mengikutinya.
Firman Allah ﷻ: “Barang siapa yang Allah menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatu pun (yang datang) dari Allah. Mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak mau menyucikan hati mereka. Mereka beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat mereka beroleh azab yang besar. Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong.” (Al-Maidah: 41-42) Yaitu kebatilan.
“Banyak memakan yang haram.” (Al-Maidah: 42)
Yakni suka memakan hal yang haram, yaitu suap, seperti apa yang dikatakan oleh Ibnu Mas'ud dan lain-lainnya yang tidak hanya seorang tentang takwil ayat ini.
Dengan kata lain, orang yang bersifat demikian mana mungkin hatinya dibersihkan oleh Allah, dan mana mungkin diperkenankan doanya.
Kemudian Allah ﷻ berfirman kepada Nabi-Nya: “Jika mereka datang kepadamu.” (Al-Maidah: 42)
Yaitu mereka datang kepadamu untuk meminta putusan hukum.
“Maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka, maka mereka tidak akan bisa memberi mudarat kepadamu sedikit pun.” (Al-Maidah: 42) Yakni jangan menjadi beban bagimu jika kamu tidak mau memutuskan perkara di antara sesama mereka, karena sesungguhnya dalam permintaan keputusan mereka kepadamu mereka hanya bertujuan semata-mata untuk mencapai kesesuaian pendapat dengan hawa nafsu mereka, dan bukan karena ingin mencari hakikat kebenaran.
Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Al-Hasan, Qatadah, As-Suddi, Zaid ibnu Aslam, ‘Atha’ Al-Khurrasani, dan Al-Hasan serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang mengatakan bahwa ayat di atas di-mansukh oleh firman-Nya: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah.” (Al-Maidah: 49)
Firman Allah ﷻ: “Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil.” (Al-Maidah: 42)
Yakni dengan benar dan adil, sekalipun mereka adalah orang-orang yang zalim lagi keluar dari jalur keadilan. “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.” (Al-Maidah: 42)
Kemudian Allah ﷻ mengingkari pendapat-pendapat mereka yang rusak dan tujuan mereka yang menyimpang karena mereka meninggalkan apa yang mereka yakini kebenarannya dari kitab yang ada di tangan mereka sendiri. Padahal menurut keyakinan mereka dianjurkan berpegang teguh kepada kitab mereka sendiri untuk selama-lamanya. Tetapi ternyata mereka menyimpang dari hukum yang ada kitab mereka dan menyeleweng ke hukum lainnya yang sejak semula dianggap batil menurut keyakinan mereka dan bukan merupakan pegangan mereka.
Ayat 43
Allah ﷻ berfirman: “Dan bagaimana bisa mereka mengangkatmu menjadi hakim mereka, padahal mereka mempunyai Taurat yang di dalamnya (ada) hukum Allah, kemudian mereka berpaling sesudah itu (dari putusan-mu)? Dan mereka sungguh-sungguh bukan orang yang beriman.” (Al-Maidah: 43) Kemudian Allah memuji kitab Taurat yang Dia turunkan kepada hambaNya yang juga rasul-Nya, yaitu Musa ibnu Imran. Untuk itu Allah ﷻ berfirman:
Ayat 44
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang beserah diri kepada Allah. (Al-Maidah: 44)
Yakni para nabi itu tidak akan keluar dari jalur hukumnya dan tidak akan menggantinya serta tidak akan mengubah-ubahnya.
“Oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka.” (Al-Maidah: 44)
Yaitu demikian pula orang-orang alim dari kalangan ahli ibadah mereka dan para ulamanya.
“Disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah.” (Al-Maidah: 44)
Yakni melalui apa yang diamanatkan kepada mereka dari Kitabullah yang diperintahkan agar mereka mengajarkannya dan mengamalkannya.
“Dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu, janganlah kalian takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada-Ku.” (Al-Maidah: 44)
Yaitu janganlah kalian takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku saja.
“Dan janganlah kalian menukar ayat-ayat-Ku dengan harga murah. Barang siapa yang tidak memutuskan (hukum) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44)
Sehubungan dengan makna ayat ini ada dua pendapat yang akan diterangkan kemudian.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnul Abbas, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Abuz Zanad, dari ayahnya, dari Abdullah ibnu Abdullah ibnu Abbas yang telah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: Barang siapa yang tidak memutuskan (hukum) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44) “maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (Al-Maidah: 45) “maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Maidah: 47) Ibnu Abbas pernah mengatakan bahwa ayat-ayat ini diturunkan oleh Allah berkenaan dengan dua golongan dari kalangan orang-orang Yahudi.
Salah satu dari mereka berhasil mengalahkan yang lain di masa Jahiliah, tetapi pada akhirnya mereka sepakat dan berdamai dengan syarat "setiap orang rendah yang terbunuh oleh orang yang terhormat, maka diatnya adalah lima puluh wasaq; sedangkan setiap orang terhormat yang terbunuh oleh orang yang rendah, maka diatnya adalah seratus wasaq (kurma). Ketentuan tersebut berlaku di kalangan mereka hingga Nabi ﷺ tiba di Madinah.
Kemudian terjadilah suatu peristiwa ada seorang yang rendah dari kalangan mereka membunuh seorang yang terhormat. Maka pihak keluarga orang yang terhormat mengirimkan utusannya kepada orang yang rendah untuk menuntut diatnya sebanyak seratus wasaq. Pihak orang yang rendah berkata, "Apakah pantas terjadi pada dua kabilah yang satu agama, satu keturunan, dan satu negeri bila diat sebagian dari mereka dua kali lipat diat sebagian yang lain? Dan sesungguhnya kami mau memberi kalian karena kezaliman kalian terhadap kami dan peraturan diskriminasi yang kalian buat. Tetapi sekarang setelah Muhammad tiba di antara kita, maka kami tidak akan memberikan itu lagi kepada kalian." Hampir saja terjadi peperangan di antara kedua golongan itu. Kemudian mereka setuju untuk menjadikan Rasulullah ﷺ sebagai hakim yang melerai persengketaan di antara mereka. Lalu golongan yang terhormat berbincang-bincang (di antara sesamanya), "Demi Allah, Muhammad tidak akan memberi kalian dari mereka (golongan yang rendah) dua kali lipat dari apa yang biasa mereka berikan kepada kalian. Sesungguhnya mereka (golongan yang rendah) benar, bahwa mereka tidak memberi kita melainkan karena kezaliman dan kesewenang-wenangan kita sendiri terhadap mereka. Maka mata-matailah Muhammad melalui seseorang yang akan memberitakan kepada kalian tentang pendapatnya. Jika dia memberi kalian seperti apa yang kalian kehendaki, maka terimalah keputusan hukumnya. Jika dia tidak memberi kalian seperti apa yang kalian kehendaki, maka waspadalah kalian, dan janganlah kalian ambil keputusannya."
Maka mereka menyusupkan sejumlah orang dari kalangan orang-orang munafik kepada Rasulullah ﷺ untuk mencari berita tentang pendapat Rasulullah ﷺ. Ketika mereka datang kepada Rasulullah ﷺ, maka Allah memberitahukan kepada Rasul-Nya tentang urusan mereka dan apa yang dikehendaki oleh mereka. Lalu Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Wahai Rasul, janganlah kamu sedih karena orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya.”(Al-Maidah: 41) sampai dengan firman-Nya: “maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44) Berkenaan dengan merekalah Allah menurunkan wahyu ini, dan merekalah yang dimaksudkan oleh-Nya.
Imam Abu Dawud meriwayatkannya melalui hadits Abuz Zanad, dari ayahnya, dengan lafal yang serupa. Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hannad ibnus Sirri dan Abu Kuraib; keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Bukair, dari Muhammad ibnu Ishaq; telah menceritakan kepadaku Daud ibnul Husain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa ayat yang ada di dalam surat Al-Maidah dimulai dari firman-Nya: “Maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka.” (Al-Maidah: 42) sampai dengan firman-Nya: “orang-orang yang adil.” (Al-Maidah: 42) Sesungguhnya ayat tersebut diturunkan berkenaan dengan diat yang berlaku di kalangan Bani Nadir dan Bani Quraizah.
Karena orang-orang yang terbunuh dari kalangan Bani Nadir merupakan orang-orang terhormat, maka diat diberikan kepada mereka dengan penuh. Dan orang-orang Bani Quraizah (bila ada yang terbunuh), maka diat diberikan separonya kepada mereka. Kemudian mereka meminta keputusan hukum kepada Rasulullah ﷺ mengenai hal tersebut, lalu Allah menurunkan firman-Nya mengenai hal itu berkenaan dengan mereka. Kemudian Rasulullah ﷺ membawa mereka kepada keputusan yang adil dalam masalah itu, dan beliau menjadikan diat dalam masalah tersebut sama (antara orang yang terhormat dan rakyat jelata).
Imam Ahmad, Imam Abu Dawud, dan Imam An-An-Nasai meriwayatkannya melalui hadits Ibnu Ishaq dengan lafal yang serupa.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Musa, dari Ali ibnu Saleh, dari Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa dahulu terjadi permusuhan antara Bani Quraizah dan Bani Nadir; Bani Nadir lebih terhormat daripada Bani Quraizah. Tersebutlah bahwa apabila seorang Qurazi membunuh seorang Nadir, maka ia dikenakan hukum mati. Tetapi apabila orang Nadir membunuh orang Quraizah, maka sanksinya adalah membayar diat sebanyak seratus wasaq kurma.
Ketika Rasulullah ﷺ telah diutus, terjadilah suatu peristiwa seorang dari Bani Nadir membunuh seseorang dari Quraizah. Orang-orang Quraizah berkata, "Kalian harus membayar diat kepadanya." Orang-orang Nadir pun berkata, "Yang memutuskan antara kami dan kalian adalah Rasulullah." Maka turunlah firman-Nya: “Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil.” (Al-Maidah: 42)
Imam Abu Dawud, Imam An-An-Nasai, Imam Ibnu Hibban, dan Imam Hakim di dalam kitab Al-Mustadrak meriwayatkannya melalui hadits Ubaidillah ibnu Musa dengan lafal yang serupa.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Qatadah, Muqatil ibnu Hayyan, Ibnu Zaid, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang. Al-Aufi dan Ali ibnu Abu Talhah Al-Walibi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ayat-ayat ini diturunkan berkenaan dengan dua orang Yahudi yang berbuat zina, seperti yang telah diterangkan dalam hadits-hadits sebelumnya. Dapat pula dikatakan bahwa kedua penyebab inilah yang melatarbelakangi turunnya ayat dalam waktu yang sama, lalu ayat-ayat ini diturunkan berkenaan dengan semuanya.
Karena itulah sesudahnya disebutkan oleh firman-Nya: “Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwa jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata.” (Al-Maidah: 45), hingga akhir ayat. Ayat ini memperkuat pendapat yang mengatakan bahwa penyebab turunnya ayat-ayat ini berkenaan dengan masalah hukum qisas.
Firman Allah ﷻ: “Barang siapa yang tidak memutuskan (hukum) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44) Al-Barra ibnu Azib, Huzaifah ibnul Yaman, Ibnu Abbas Abu Mijlaz, Abu Raja Al-Utaridi, Ikrimah, Ubaidillah Ibnu Abdullah, Al-Hasan Al-Basri, dan lain-lainnya mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Ahli Kitab.
Al-Hasan Al-Basri menambahkan, ayat ini hukumnya wajib bagi kita (kaum muslim). Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Sufyan Ats-Tsauri, dari Mansur, dari Ibrahim yang mengatakan bahwa ayat-ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang Bani Israil, sekaligus merupakan ungkapan rida dari Allah kepada umat yang telah menjalankan ayat ini; menurut riwayat Ibnu Jarir.
Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepada kami Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik ibnu Abu Sulaiman, dari Salamah ibnu Kahil, dari Alqamari dan Masruq, bahwa keduanya pernah bertanya kepada sahabat Ibnu Mas'ud tentang masalah suap (risywah).
Ibnu Mas'ud mengatakan bahwa risywah termasuk perbuatan yang diharamkan. Salamah ibnu Kahil mengatakan, "Alqamah dan Masruq bertanya, 'Bagaimanakah dalam masalah hukum?'." Ibnu Mas'ud menjawab, "Itu merupakan suatu kekufuran." Kemudian sahabat Ibnu Mas'ud membacakan firman-Nya: “Barang siapa yang tidak memutuskan (hukum) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44)
As-Suddi mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Barang siapa yang tidak memutuskan (hukum) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44) Bahwa barang siapa yang memutuskan hukum bukan dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah, dan ia meninggalkannya dengan sengaja atau melampaui batas, sedangkan dia mengetahui, maka dia termasuk orang-orang kafir.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Barang siapa yang tidak memutuskan (hukum) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44) Bahwa barang siapa yang ingkar terhadap apa yang diturunkan oleh Allah, sesungguhnya dia telah kafir; dan barang siapa yang mengakuinya, tetapi tidak mau memutuskan hukum dengannya, maka dia adalah orang yang zalim lagi fasik.
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir. Kemudian Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa makna yang dimaksud oleh ayat tersebut adalah Ahli Kitab atau orang yang mengingkari hukum Allah yang diturunkan melalui Kitab-Nya.
Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Ats-Tsauri, dari Zakaria, dari Asy-Sya'bi sehubungan dengan makna firman-Nya: “Barang siapa yang tidak memutuskan (hukum) menurut apa yang diturunkan Allah.” (Al-Maidah: 44) Menurutnya makna ayat ini ditujukan kepada orang-orang muslim.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Abdus Samad, telah menceritakan kepada kami Syu'bah,dari Ibnu Abus Safar dari Asy-Sya'bi sehubungan dengan firman-Nya: “Barang siapa yang tidak memutuskan (hukum) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44) Menurutnya ayat ini berkenaan dengan orang-orang muslim. Dan firman-Nya yang mengatakan: “Barang siapa tidak memutuskan (hukum) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (Al-Maidah: 45) berkenaan dengan orang-orang Yahudi.
Sedangkan firman-Nya yang mengatakan: “Barang siapa tidak memutuskan (hukum) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (Al-Maidah: 47) Ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang Nasrani.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Hasyim dan Ats-Tsauri, dari Zakaria ibnu Abu Zaidah, dari Asy-Sya'bi.
Abdur Razzaq juga mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Ibnu Tawus, dari ayahnya yang menyatakan bahwa Ibnu Abbas pernah ditanya mengenai firman-Nya: “Barang siapa yang tidak memutuskan.” (Al-Maidah: 44) hingga akhir ayat. Ibnu Abbas menjawab, orang tersebut menyandang sifat kafir. Ibn Tawus mengatakan, yang dimaksud dengan kafir dalam ayat ini bukan seperti orang yang kafir kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab dan rasul-rasul-Nya. Ats-Tsauri telah meriwayatkan dari Ibnu Juraij, dari ‘Atha’ yang telah mengatakan bahwa makna yang dimaksud dengan kafir ialah masih di bawah kekafiran (bukan kafir sungguhan), dan zalim ialah masih di bawah kezaliman, serta fasik ialah masih di bawah kefasikan. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Waki' telah meriwayatkan dari Sa'id Al-Makki, dari Tawus sehubungan dengan makna firman-Nya: Barang siapa yang tidak memutuskan (hukum) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44) Yang dimaksud dengan "kafir" dalam ayat ini bukan kafir yang mengeluarkan orang yang bersangkutan dari Islam.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Yazid Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Hisyam ibnu Hujair, dari Tawus, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Barang siapa yang tidak memutuskan (hukum) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (Al-Maidah: 44) Makna yang dimaksud ialah bukan kufur seperti apa yang biasa kalian pahami (melainkan kufur kepada nikmat Allah).
Imam Hakim meriwayatkan di dalam kitab Mustadrak melalui hadits Sufyan ibnu Uyaynah, dan Imam Hakim mengatakan bahwa atsar ini shahih dengan syarat Syaikhain, tetapi keduanya tidak mengetengahnya.
Pada ayat yang lalu dijelaskan sikap orang Yahudi terhadap Taurat dan hukum yang terdapat di dalamnya. Pada ayat ini diterangkan bahwa Taurat diwahyukan sebagai petunjuk bagi Bani Israil, tetapi sebagian hukumnya mereka tinggalkan. Penjelasan ini diawali dengan suatu ungkapan untuk meyakinkan. Sungguh, Kami yang menurunkan Kitab Taurat kepada Nabi Musa; di dalamnya ada petunjuk untuk membimbing mereka ke jalan yang lurus dan cahaya yang akan menerangi jalan hidup mereka. Yang dengan Kitab itu para nabi yang berserah diri kepada Allah dari Bani Israil telah memberi putusan atas perkara yang terjadi di antara orang Yahudi, demikian juga yang diperbuat oleh para ulama dan pendeta-pendeta mereka, yang sedemikian ini sebab mereka memang diperintahkan untuk memelihara kitab-kitab Allah dengan melaksanakan hukum-hukumnya, dan mereka siap untuk menjadi saksi terhadapnya. Karena itu, wahai Muhammad, janganlah kamu takut kepada manusia, tetapi takutlah hanya kepada-Ku. Dan janganlah pula kamu jual ayatayat-Ku dengan harga murah dengan mengharap imbalan duniawi yang sedikit. Barang siapa tidak memutuskan hukum suatu perkara dengan apa yang diturunkan Allah, maka ketahuilah bahwa mereka itulah termasuk orang-orang kafir. Di antara hukum yang terdapat dalam Taurat adalah bahwa Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya, Taurat, hukuman yang sepadan, yaitu bahwa menghilangkan nyawa dibalas dengan nyawa, melukai mata dibalas dengan melukai mata, mencederai hidung dibalas dengan hidung, memotong telinga dibalas dengan telinga, merontokkan gigi dibalas dengan gigi, dan luka-luka pun ada qisas-nya, yakni ada balasannya yang sama. Namun demikian, barang siapa melepaskan hak untuk melakukan qisasnya, maka sikap itu akan menjadi penebus dosa baginya. Sebaliknya barang siapa tidak memutuskan perkara yang terjadi dengan saudaranya menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah akan termasuk orang-orang yang zalim.
Kitab Taurat yang diturunkan Allah kepada Nabi Musa, berisi bimbingan dan petunjuk bagi manusia kepada yang hak, sehingga mereka dapat keluar dan selamat dari kesesatan dan penyembahan berhala, dan juga merupakan cahaya yang menerangi hal-hal yang masih samar-samar ataupun yang masih gelap bagi mereka, sehingga mereka dapat melihat jalan yang benar, baik dalam urusan agama, maupun duniawi.
Kitab Taurat menjadi petunjuk bagi nabi-nabi yang telah menyerahkan diri kepada Allah dengan penuh keikhlasan, yaitu Nabi Musa dan nabi-nabi dari Bani Israil sesudahnya, sampai kepada Nabi Isa. Kitab ini telah digunakan untuk memutuskan perkara orang-orang Yahudi saja, karena memang Taurat itu diturunkan khusus untuk orang-orang Yahudi. Begitu juga tokoh-tokoh dan pendeta-pendeta mereka, telah menggunakan Taurat itu sebagai undang-undang di kala tidak ada nabi bersama mereka, karena mereka itu semua telah diperintahkan Allah supaya memelihara kitab Taurat, dan menjadi saksi serta bertanggung jawab atas pelaksanaannya. Jangan sampai mereka menyelewengkan hukum-hukum yang ada di dalamnya, dan menyembunyikan karena bertentangan dengan keinginan hawa nafsu mereka, atau karena takut kepada pembesarnya sehingga tidak berani menegakkan hukum terhadap mereka, seakan-akan mereka itu lebih takut kepada sesama manusia daripada kepada Allah. Lain halnya dengan Abdullah bin Salam yang hidup sampai masa al-Khulafa ar-Rasyidun. Dia seorang Yahudi yang benar-benar menegakkan hukum Allah, sehingga mengakibatkan orang lain benci dan tidak senang kepadanya. Dia menegakkan hukum rajam kepada siapa saja yang harus dihukum karena perbuatan zina, sekalipun kepada pemimpin atau pembesar mereka.
Jangan sampai mereka tidak menyebarkan dan tidak menjelaskan hukum-hukum itu karena keuntungan dunia atau keuntungan yang diterimanya dari orang-orang yang berkepentingan, misalnya uang sogok, atau pangkat yang dijanjikan kepadanya, karena semuanya ini tidak ada arti dan nilainya jika dibandingkan dengan pahala yang akan mereka peroleh di akhirat, Firman Allah:
"(Yaitu) di hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih." (asy-Syu'ara/26: 88 dan 89).
Barang siapa menghukum atau memutuskan suatu perkara tidak sesuai dengan hukum Allah, seperti halnya orang-orang Yahudi yang menyembunyikan hukum rajam terhadap orang berzina yang bersuami atau beristri dan menggantinya dengan hukuman dera dan menghitamkan mukanya, lalu diarak berkeliling supaya disaksikan oleh masyarakat, dan lain-lainnya, berarti mereka melakukan penyelewengan hukum. Ketahuilah bahwa mereka itu adalah orang-orang yang ingkar.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Meskipun orang Yahudi itu meminta Nabi ﷺ menjadi hakim dalam perkara mereka, karena sengaja hendak mengelakkan hukum Taurat yang mereka merasa berat menjalankannya, karena terlalu banyak makan harta haram, atau uang suap, namun Taurat itu sendiri pada asalnya adalah kitab yang benar-benar turun dari Allah, sama dengan Al-Qur'an.
Ayat 44
“Sesungguhnya telah Kami turunkan Taurat."
Penyaksian dari Allah sendiri bahwa Allah memang pernah menurunkan Taurat, dan berlaku Taurat itu beratus tahun lamanya, karena memang ada yang asli dari catatan Musa sendiri. Tetapi sayang terbakar atau hilang ketika Bani Israil dijajah oleh bangsa Babil dan dijadikan tawanan, sebagaimana dahulu telah kita terangkan. “Di dalamnya ada petunjuk dan cahaya." Petunjuk di dalam hidup yang diridhai oleh Allah dan mengandung cahaya Tauhid, menyembah Allah Yang Maha Esa, membangkitkan dan menimbulkan Bani Israil dari dalam lembah perbudakan Fir'aun dan dari mempersekutukan yang lain dengan Allah.
“Menghukum dengan dia nabi-nabi yang menyerah diri (kepada Allah) terhadap orang-orang Yahudi." Yaitu setelah Musa meninggal. Maka nabi-nabi yang datang di belakang beliau, sejak Yusyak sampai Dawud dan Sulaiman, Zakariya dan Yahya, sampai kepada Isa al-Masih, semuanya adalah menjalankan hukum Taurat yang dikhususkan kepada orang Yahudi itu. Bahkan Nabi Isa al-Masih sendiri pernah mengatakan bahwa beliau adalah diutus untuk menjemput anak domba Israil yang hilang.
Dan satu noktah (titik) pun Taurat tidak akan beliau ubah. Dan nabi-nabi itu semuanya adalah bersikap menyerah diri kepada Allah, ialah Islam. Sebab semua nabi-nabi dan Rasul itu adalah putra keturunan Ibrahim belaka, yang menegakkan penyerahan diri kepada Allah.
Apabila kita pelajari kitab-kitab Perjanjian Lama catatan dari nabi-nabi Bani Israil, sejak Musa dan Harun, Yusyak sampai kepada Yesyaya, Armiya, Dariel, Habakuk, Ezram, Nehemiya, Dawud dan Sulaiman sampai ke-pada Ayub, Yehezekiel, Hosea, Nabi Yoel, Nabi Yunus, Nabi Amos, Nabi Mikha, Nabi Nahun, Zagarya, Nabi Rajai sampai kepada Nabi Zakariya dan putranya Yahya, sampai kepada Nabi Maleakhi, Apabila kita selidiki kitab-kitab itu dengan saksama, tidaklah kita bertemu ajaran pokok mereka, selain daripada menyembah kepada Allah Yang Maha Esa dan berserah diri kepada-Nya.
Bahkan Nabi Isa al-Masih (Yesus Kristus) yang didakwakan oleh Kristen sebagai Allah sejati dan manusia sejati, dan didakwakan juga anak Allah bila kita selidiki firman-firman yang keluar dari mulut beliau sendiri di dalam kitab -kitab yang dinamai Injil Matius, Markus, dan Lukas, tidaklah pernah beliau mendakwakan dirinya jadi Allah. Kalau dia pernah mengatakan dirinya anak Allah, maka kita pun telah paham bahwa arti Bapa di sini adalah kasih sayang dan perlindungan. Sebab itu bukan Isa al-Masih saja anak Allah. Banyak nabi-nabi lain disebut anak Allah, sebagai yang telah kita tuturkan ketika menafsirkan ayat 18 di atas, seketika menyatakan kesalahan Yahudi dan Nasrani yang mengakui diri mereka anak Allah.
Ajaran Isa yang keluar dari mulutnya sendiri adalah ajaran tauhid, ajaran menyerah diri kepada Allah Yang Maha Esa.
Ketika setan mencoba memperdayakan dan merayu Nabi Isa; lalu kata Yesus kepadanya, “Nyahlah engkau dari sini, hai Iblis. Karena telah tersurah. Hendaklah engkau menyembah Allah Tuhanmu, dan beribadah hanya kepada-Nya saja." (Matius 4:10)
Maka jawab Yesus serta kepadanya, “Adalah tersurah; Bahwa wajiblah engkau sujud menyembah Allah Tuhanmu, dan beribadah hanya kepada-Nya saja." (Lukas 4: 8)
Bahasa'yang mana pun kita pakai, namun di sini telah tampak bahwa Isa mengakui bahwa yang patut disembah hanya Allah! Bukan Yesus!
Jangankan dikatakan Tuhan, sedangkan dikatakan baik saja Nabi Isa keberatan, “Maka tiba-tiba datanglah seorang kepadanya, serta berkata, “Ya Guru, kebajikan apakah patut hamba perbuat, supaya beroleh hidup yang kekal?" Maka jawab Yesus kepadanya, “Apakah sebabnya engkau bertanya kepadaku darihal kebajikan?" Ada satu yang baik. Tetapi jika engkau mau masuk kepada hidup, turutlah hukum-hukum itu." (Matius 19:16; 18)
“Tatkala Yesus keluar di jalan, berlari-larilah seorang datang kepadanya serta berlutut, lalu bertanya kepadanya, “Ya Guru yang baik, apakah yang patut hamba perbuat, supaya hamba menjadi waris hidup yang kekal?" Maka jawab Yesus kepadanya, “Apakah sebabnya engkau katakan aku ini baik? Seorang pun tiada yang baik, hanya satu, yaitu Allah.'1 (Markus 10-17: 18) Demikian juga maksud dari Lukas 10-18; 20.
Itulah perkataan-perkataan Isa al-Masih sendiri yang dicatat oleh beberapa pengarang-pengarang Injil Matius, Markus, dan Lukas. Bacalah Injil yang keempat, yaitu Yahya (Yohannes) memasukkan pikirannya sendiri, lalu dikatakan wahyu. Dalam ayat pertama dari karangannya fasal kesatu, Yahya menulis, “Maka pada awal pertama adalah Kalam, dan Kalam itu bersama-sama dengan Allah, dan Kalam itulah juga Allah."
Catatan-catatan Yahya yang dikatakan Injil itu, bahkan adanya lagi surah kirimannya dan catatannya yang bernama wahyu, inilah sumber kepercayaan Kristen yang sebenarnya, adapun yang merentangkan jalan kepada kepercayaan ini, yang terutama sekali di samping Yahya, adalah Paulus. Paulusiah yang memasukkan segala kepercayaan yang tidak berasal dari ajaran al-Masih ini. Apabila kita baca dengan kritis ketiga Injil pertama, (Ma-tius, Markus, dan Lukas) lalu dibandingkan dengan apa yang ditulis oleh Yahya, kita akan
mendapati perbedaan yang seperti siang dan malam atau jalan sudah bersimpang jauh sekali, yang satu sudah ke Timur dan yang satu sudah ke Barat, Terutama lagi setelah datang keterangan-keterangan dari surah-surah kiriman Paulus.
Jelaslah, kalau diselidiki dengan saksama bahwa kepercayaan Trinitas adalah disusun kemudian. Kecintaan kepada diri beliau, kekaguman atas mukjizat yang dilahirkan Allah atas dirinya, menyebabkan dicarilah berbagai alasan dan dalil guna menetapkan bahwa Yesus Kristus ialah Allah.
Di samping itu adalah perkisaran-per-kisaran pemakaian bahasa setelah Injil diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, sedang Injil yang asli tidak ada lagi, untuk pembanding benar atau tidaknya terjemah. Setiap pergantian masa, kekuasaan pemakaian bahasa berubah pula, sehingga arti yang pertama sudah berbeda pahamnya, dengan arti yang kedua. Misalnya penafsiran dan pengertian kalimat Sayyidul Masih di dalam bahasa Arab. Pada mulanya Sayyid itu arti dalam bahasa Indonesia ialah Tuan.
Maka setelah diputuskan menjadi kepercayaan bahwa Nabi Isa itu adalah Tuhan, maka kalimat Sayyid diterjemahkan jadi Tuhan.
Kalimat Rabbi pun kadang-kadang berarti yang dipertuan. Dan Rabbi juga berarti tuan rumah, seorang yang menguasai rumah tangga, dan keluarga.
Maka kalau telah ditetapkan tuan yang empunya rumah itu jadi Tuhan, tentu Rabbi diartikan Tuhan pula. Lantaran itu, terpisahlah umat Kristen dari garis tauhid yang ditinggalkan Isa al-Masih, lalu menjadi Trinitas
kemasukkan daripada agama Mesir Kuno atau Hindu Kuno.
Namun kita orang Islam percaya dengan sungguh hati, bahwa Nabi kita Isa al-Masih alaihissalam adalah salah seorang Rasul Allah yang mengajarkan tauhid, mengajak umat manusia menyerahkan diri kepada Allah, yang berarti Islam.
“Dan juga pendeta-pendeta dan orang-orang alim, dengan apa yang telah diamanahi mereka dari Kitab Allah."
Kita artikan kalimat Rabbani, dengan pendeta-pendeta. Arti yang asal dari Rabbani ialah orang-orang yang telah mendalam rasa ketuhanannya, telah menyediakan diri untuk Allah semata-mata. Kalimat pendeta berasal dari kata Sanskriet; pandit, yaitu orang-orang yang telah mendalam rasa ketuhanannya pula, lalu diambil ke dalam bahasa kita. Orang Melayu di Semenanjung memakainya dalam sebutan Pandita, yang berarti orang yang amat ahli, sebab itu mereka memberikan gelar Pandita Bahasa Melayu kepada Za'ba Pengarang Melayu yang terkenal. Di Indonesia kita baca dengan sebutan pendeta, yang dipakai oleh kalangan Kristen untuk gelar pemimpin agama mereka. Padahal dalam bahasa Melayu lama di Indonesia, orang alim Islam pun digelari pandits. Di dalam kitab Syamsul Hidayah, karangan Ayah dan Guru penulis, Dr. Syekh Abdul Karim Amrullah, disebutkan ulama-utama Islam yang besar-besar itu Alim Pandita.
Ahbar, kita artikan orang alim. Maka pendeta-pendeta dan orang-orang alim Bani Israil pun meneruskan memegang amanah yang diamanahkan rasul-rasul, bilamana rasul-rasul dan nabi-nabi itu tidak ada lagi, supaya mereka pun meneruskan pimpinan terhadap Bani Israil menurut hukum Taurat, jangan diubah-ubah. “Dan adalah mereka itu menjadi saksi a tasnya." Yaitu bahwa orang tua-tua Bani Israil yang hidup di zaman Rasulullah ﷺ menjadi saksi atas kebenaran hal itu, tidak dapat
Apabila kegemaran tuan rumah menabuh kecapi. Maka kesukaan ahli rumah, semuanya ialah menari.
mereka memungkirinya, karena memang demikianlah halnya. “Maka janganlah kamu takuti manusia, tetapi takutilah Aku." Nasihat kepada orang-orang Yahudi itu supaya mereka jangan takut kepada ancaman manusia dari kaum mereka sendiri, lalu berusaha menyembunyikan kebenaran Taurat. Tetapi takutlah kepada Allah, yang telah menurunkan Taurat itu untuk petunjuk dan cahaya bagi kamu. “Dan janganlah kau jual ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit." Karena mengharapkan keuntungan harta benda, lalu kamu gelapkan kebenaran, kamu perjualbelikan hukum Allah, kamu sembunyikan hukum yang sebenarnya. Meskipun berjuta-juta uang yang kamu terima untuk itu, namun dia masih sedikit harganya jika dibandingkan dengan kebenaran yang kamu khianati.
“Dan barangsiapa yang tidak menghukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka adalah mereka itu orang-orang yang kafir."
Artinya, jika selama ini kamu mengaku memegang teguh setia kepada Taurat, hendaklah hukum yang tersebut di dalam Taurat itu kamu jalankan. Rasulullah ﷺ sendiri di waktu diminta oleh mereka menjadi hakim, telah mengajak mereka supaya kembali kepada hukum Taurat. Maka pendakwaan mereka teguh setia memegang Taurat, tetapi tidak mau menjalankan hukumnya, berarti mereka kafir juga, yaitu menolak dan tidak percaya juga.
Di dalam Taurat itu pun memang ada peraturan-peraturan hukum yang berlaku pada Bani Israil,
Ayat 45
“Dan telah Kami wajibkan atas mereka di dalamnya, bahwasanya jiwa (balas) dengan jiwa"
Yaitu kalau seseorang membunuh satu jiwa, hendaklah digantikan dengan jiwa si pembunuh itu pula, sebagaimana yang dibayangkan pada ayat 32 di atas. “Mata dengan mata, hidung dengan hidung, gigi dengan gigi, dan luka-luka ada qisasnya. Maka barangsiapa yang mendermakan hak balas itu, maka adalah itu penebus baginya." Maka tersebutlah di dalam Taurat itu bahwa siapa yang melenyapkan jiwa orang, harus diganti dengan jiwanya pula, melenyapkan mata orang, dilenyapkan pula matanya, demikian juga hidung dan gigi. Dan kalau ada perdamaian, sehingga keluarga si terbunuh atau yang kehilangan mata, hidung dan gigi itu mendermakan hak balas, artinya memberi maaf, maka kemaafan itu sudahlah sebagai kaffarat untuk menghapuskan kesalahannya;
“Dan barangsiapa yang tidak menghukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang aniaya."
Zalim dan aniayatah orang yang tidak menjelaskan hukum yang telah ditentukan Allah itu. Zalimlah orang yang mengaku dirinya berpedoman kepada Taurat, padahal hukum Taurat tidak dijalankan.
Dalam Taurat yang beredar sekarang pun memang bertemu tertulis hukum-hukum itu, yang tersebut di dalam Kitab Keluaran Fasal 21, ayat 23-35.
20. Tetapi jikalau ada bahaya kematian sertanya, maka tak akan jangan jiwa akan ganti jiwa.
21. Mata akan ganti mata, gigi akan ganti gigi, tangan akan ganti tangan, kaki akan ganti kaki.
22. Ketunuan akan ganti ketunuan, luka akan ganti luka, bincutakan ganti bincut.
Di dalam kitab Imamat Orang Lewi Fasal 24 ayat 17 tersebut pula, “Maka barangsiapa yang telah memalu orang sampai ia mati, tak akan jangan ia pun akan mati dibunuh."
Ayat 46
“Dan telah Kami iringi atas jejak-jejak mereka dengan Isa anak Maryam."
Artinya, bahwasanya bila diutus kemudiannya Isa al-Masih, lain tidak adalah menuruti jejak rasul-rasul Bani Israil yang dahulu juga, dan hukum-hukum Taurat juga beliau pertahankan, “Sebagai menggenapi bagi yang terlebih dahulu daripadanya dari Taurat, dan telah Kami berikan kepadanya Injil."
Dalam hukum tidaklah al-Masih datang mengubah Taurat, melainkan menggenapkan atau menyempurnakan. Beliau sendiri pun pernah berkata, bahwa satu noktah pun isi Taurat itu tidak akan berubah. Maka beliau pun diberi wahyu kitab Injil. “Di dalamnya ada petunjuk dan cahaya dan sebagai menggenapi apa yang terdahulu daripadanya dari Taurat." Sebagaimana Taurat, Injil itu pun berisi petunjuk kepada jalan selamat, cahaya yang akan mengeluarkan manusia dari gelap gulita kebodohan dan khurafat, kepada kebersihan tauhid; digenapkan lagi dengan pelajaran ruhani yang lebih mendalam, budi pekerti yang lebih mendalam, cinta kasih yang mesra sesama manusia, yang bekas-bekas pelajaran itu masih boleh juga kita dapati dalam Khutbah Gunung beliau yang terkenal itu. Karena dibuktikan dalam sejarah Bani Israil bahwa mereka sudah demikian tenggelam dalam urusan kebendaan, mendakwakan setia memegang isi Taurat, padahal hanya mempertahankan kulitnya, tidak memerhatikan isinya,
“Dan petunjuk dan pengajamn bagi cnang-orang yang (mau) bertakwa"
Ditekankan pada ujung ayat, bahwasanya isi Injil yang penuh pengajaran dan petunjuk itu dapat menjadi pedoman hidup bagi orang yang bertakwa. Karena apabila orang telah bertakwa kepada Allah, akan diberi Allah-lah cahaya dalam jiwanya, sehingga dia mudah menerima pengajaran untuk seterusnya. Berbeda dengan orang Yahudi yang terdahulu tadi, yang hanya mempertahankan Taurat dengan mulut, tetapi menjauhi Taurat dalam tingkah dan perbuatan.
Ujung ayat ini telah membawa bukti dalam kehidupan orang Kristen di tanah Arab sendiri setelah Risalah Muhammad, Rasul penutup dari sekalian rasul; berduyun mereka memeluk Islam, sebab menurut pandangan mereka, kedatangan rasul-rasul sejak Musa sampai al-Masih sampai Muhammad adalah menjalankan suatu tugas belaka, yaitu men-tauhidkan Allah.
Ayat 47
“Maka hendaklah menghukum … Injil dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah padanya."
Sudah sama diketahui pendirian Islam tentang Ahlul Kitab. Meskipun pokok kepercayaan mereka menurut keyakinan Islam sudah jauh melampaui batas yang ditentukan Allah, sudah Ghuluw, yaitu berlebih-lebihan, namun mereka tidaklah dikerasi dan dipaksa masuk Islam. Tetapi kalau hendak tetap memegang Injil, peganglah Injil yang betul, hilangkanlah pengaruh lain dan tafsiran lain yang dimasukkan ke dalam Injil oleh keputusan pendeta. Melainkan jalankanlah hukumnya benar-benar.
“Dan barangsiapa yang tidak menghukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah, maka itulah orang-orang yang fasik."
Ayat ini dan yang sebelumnya memberikan kejelasan yang nyata sekali, bahwa di dalam kekuasaan Islam, orang-orang Dzimmi Yahudi dan Nasrani diperintahkan menjalankan hukum menurut kitab mereka. Padahal isi hukum Allah dalam semua kitab suci, baik Taurat maupun Injil, sampai kepada Al-Qur'an dasarnya ialah satu, yaitu hukum Allah. Di zaman hidupnya al-Masih, oleh karena kekuasaan adalah pada bangsa Romawi dan kaum Yahudi dalam jajahan belumlah boleh dapat menjalankan hukum Allah dari Taurat dengan tegas. Beliau hanya berkata, “Berikanlah hak Allah kepada Allah dan hak Kaisar kepada Kaisar."
Malahan ketika orang-orang Yahudi datang kepada beliau membawa seorang perempuan yang mereka tuduh berzina, supaya dijalankan kepadanya hukum Taurat, beliau bertanya bahwa adakah di antara mereka itu orang-orang yang tidak pernah berdosa? Siapa orang-orang yang tidak pernah berdosa itulah yang melontar perempuan itu dengan batu sampai mati. Maka berpandang-pandanganlah satu dengan yang lain, dan tidak ada seorang jua pun yang berani menjatuhkan hukum kepada perempuan itu, sebab merasa bahwa diri masing-masing tidak sunyi dari bersalah. Dengan sikap al-Masih yang demikian, bukan berarti bahwa beliau mengubah hukum Taurat, melainkan menyuruh mereka terlebih dahulu membersihkan jiwa sendiri sebelum menuduh-nuduh orang lain. Dan yang lebih beliau dari pihak penguasa Romawi. Sebab hak menghukum mesti dijalankan dalam ke-kuasaan pemerintahan Romawi. (Ketika menerangkan hukum rajam ini di dalam surah an-Nuur kelak, akan bertemu lagi keterangan ini)
Kemudian setelah 300 tahun beliau meninggalkan dunia, barulah Kristen diakui sebagai agama resmi oleh Kerajaan Romawi. Tetapi kekaisaran Romawi hanya menerima Kristen sebagai anutan kepercayaan yang telah banyak diadakan perubahan pula, terkhusus sebagai anutan kepercayaan Trimurti. Adapun dalam hal hukum, tidaklah Romawi mengambil dari Taurat, tetapi khusus dari pusaka fiqih Yunani, yang dilanjutkan oleh fiqih hukum Romawi. Kadang-kadang basil karya Cicero dan lain-lain, itulah undang-undang yang berkembang dan berlaku, sedang hukum dan undang-undang Allah tidaklah diberi peluang untuk dijadikan dasar hukum pidana dan perdata.
Maka dapatlah kita pahami, demi melihat ayat-ayat ini bahwa hanya Islam yang memberikan jaminan tegas kepada pemeluk Yahudi dan Nasrani, bahwa kalau mereka tidak mau masuk Islam, sebagaimana Alilul Kitab, biarlah mereka tetap memegang agama dan kitab mereka. Mereka adalah Dzimmi, yaitu dalam perlindungan pemerintahan dan kekuasaan Islam. Tetapi hendaklah mereka betul-betul menjalankan hukum yang asli dari kedua kitab itu. Taurat dan Injil. Ayat-ayat ini bukanlah mengatakan bahwa Yahudi dan Nasrani boleh menjalankan hukum mereka, tetapi mereka diwajibkan menjalankan hukum itu dalam pemerintahan Islam. Sebab itu pemerintahan Islam melakukan juga pengawasan, adakah kedua Ahlul Kitab itu menjalankan hukum agamanya atau tidak. Dan sebab itu pula kita lihat di dalam praktik cara menjalankan kehendak ayat ini ketika Sayyidina Umar bin Khaththab telah menaklukkan Palestina, beliau tetapkan jabatan uskup-uskup dan patrik-patrik Kristen dan Rabbi dan Ahbar Yahudi, lalu diperintahkan supaya mereka memimpin umat mereka, di bawah pengawasan Wali atau Khalifah. Dan ketika Sultan Muhammad al-Fatih Osmani menaklukkan Konstantinopel, yangkemudian dinamai Istanbul (1453), beliau tetapkan jabatan uskup yang beliau dapati telah ada dan beliau samakan kedudukannya dengan menteri-menteri yang lain yang beragama Islam, menjadi Menteri Kerajaan Osmani mengurus berlakunya hukum Injil dan Taurat dalam kalangan rakyat Osmani Kristen.
Itu pula sebabnya jika Libanon dan Syria masih terdapat orang Kristen Arab sampai sekarang, demikian pun Kristen Kopti di Mesir, hidup rukun damai menjalankan agama mereka di bawah naungan bendera Islam, yang menjamin mereka dengan ayat-ayat Al-Qur'an ini. Padahal satu gelintir pun kita tidak mendapati lagi orang Islam di Andalusia (Spanyol) yang pernah mencapai 14 juta jiwa, padahal kekuasaan dicabut dari mereka baru pada tahun 1492. Semuanya ini adalah: Fakta sejarah yang berbicara sendiri.
Satu masa gereja mendapat kesempatan memegang kekuasaan. Di akhir abad keempat Kerajaan Romawi terpecah dua, Romawi Timur dan Romawi Barat. Romawi Timur berpusat di Konstantinopel, Romawi Barat di-pindahkan ke Milano, pamor kaisar turun-temurun. Kesempatan baik bagi Paus menaiki singgasana kaisar yang telah kosong. Sejak bercampur kerajaan akhirat dengan dunia, lama-lama kalahlah keakhiratan dan pendeta mengejar mahkota. Cinta kasih lama-lama menjadi kehausan kuasa, kezaliman mulai berlaku atas kehendak gereja. Apatah lagi “kunci surga di tangan beliau'1. Dan mulailah terkenal “Surat Ampunan Dosa", yang bisa diperjual-belikan dan tawar-menawar.
Terutama di zaman Perang Salib, demikian juga setelah gereja mendirikan Panitia Pembersihan (Inquisisi) setelah orang Islam diusir habis dari Spanyol. Sejarah mengakui, betapa hebat, ngeri, dan kejam hukum-hukum yang mereka jatuhkan. Sampai ada orang yang disula, dipotong lidah, dibakar hidup-hidup, dimasukkan ke dalam sebuah tong yang sekeliling tong itu penuh ditancapkan paku. Digantungkan tangannya ke atas atau kakinya ke atas. Semuanya itu hukuman yang dijatuhkan kepada orang-orang yang dituduh melanggar hukum gereja, yang dituduh murtad atau menyatakan paham lain, yang berlawanan dengan keputusan gereja. Ketika tentara Napoleon masuk Spanyol, dibong-karlah alat-alat penghukum yang kejam itu dari berpuluh buah gereja. Dan hukuman-hu-kuman kejam itu pun di bawa oleh Portugis ketika mereka menjajah Melaka. Semuanya itu bukan hukuman Injil yang penuh kasih cinta, tetapi kezaliman (tirani) gereja yang telah menyebabkan pemberontakan pikiran, baik dari segi agama sendiri dari kaum Protestan, maupun dari angkatan baru di luar agama yang meminta kebebasan pikiran, yang menimbulkan Revolusi Perancis. Sebab satu tujuan Revolusi Perancis, ialah menumbangkan kekuasaan gereja yang mengerikan itu.
Zaman kekuasaan mutlak gereja itu dinamai ahli sejarah Eropa: Zaman Gelap.
Tentang ketiga ayat ini banyaklah pula perbincangan ahli tafsir, apakah dia hanya terkhusus sebagai ancaman kepada Yahudi dan Nasrani, ataukah mengenai juga kita kaum Muslimin? Ada dibawakan orang tafsir yang mereka katakan diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa beliau berkata, “Kafir di sini bukanlah mencapai kafir, dan zalim bukanlah mencapai zalim, dan fasik bukanlah mencapai fasik. Dan ada riwayat Ibnu Abbas juga, katanya ayat-ayat ini hanya mengenai orang Yahudi, tidak mengenai Islam sedikit pun. Dan ada pula riwayat dibawakan dari as-Sya'bi, bahwa ayat pertama dan kedua mengenai Yahudi dan ayat ketiga mengenai Nasrani. Tetapi kita tertarik pula kepada keterangan Hudzaifah bin al-Yaman ketika orang bertanya kepada beliau tentang ayat ini. Seorang berkata bahwa ayat-ayat ini hanya mengenai Bani Israil. Mendengar itu berkatalah Hudzaifah, “Enak benar bagimu ada kawan Bani Israil, kalau segala yang manis hanya untukmu dan segala yang pahit untuk Bani Israil. Sungguh, demi Allah, kamu akan menempuh pula jalan mereka menurut jejak langkah mereka."
Dan satu riwayat lain dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir, “Sebaik-baik kaumlah rupanya kamu ini kalau segala yang manis hanya untuk kamu dan segala yang pahit buat Ahlul Kitab." Dan ditanyakan orang kepada Sa'id bin Jubair ke mana tujuan ketiga ayat. “Barangsiapa yang tidak menghukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah," itu apa benarkah tertuju kepada Bani Israil saja? Beliau menjawab, “Tidak! Bahkan dia diturunkan atas kita."
Riwayat yang diterima dari Maqaam, Maula Ibnu Abbas pun menyatakan demikian pula, bahwa ayat ini diturunkan kepada Ahlul Kitab dan kepada kita kaum Muslimin. Cuma tambahannya ialah bahwa kafir di sini bu-kanlah mencapai kafir syirik, dan zhulm di sini pun bukan mencapai zhulm syirik, dan fasik di sini pun bukan mencapai fasik syirik.
Kita pun dapatlah memahamkan bahwa ayat Al-Qur'an, diturunkan kepada Nabi kita Muhammad ﷺ meskipun tertuju kadang-kadang kepada Ahlul Kitab, bukanlah dia semata-mata suatu kisah yang akan kita baca saja, tetapi adalah dia untuk kita ambil banding. Sebagai Muslimin janganlah kita melalaikan menjalankan hukum Allah. Sebab di awal surah sendiri, yang mula-mula diberi peringatan kepada kita ialah supaya menyempurnakan segala ‘Uqud. Maka menjalankan hukum Allah adalah salah satu ‘Uqud yang terpenting di antara kita dengan Allah.
Selama kita hidup, selama iman masih mengalir di seluruh pipa darah kita, tidaklah sekali-kali boleh kita melepaskan cita-cita agar hukum Allah tegak di dalam alam ini, walaupun di negeri mana kita tinggal. Moga-moga tercapai sekadar apa yang dapat kita capai. Karena Allah tidaklah memikulkan kepada kita suatu beban yang melebihi dari tenaga kita. Kalau hukum Allah belum jalan, janganlah kita berputus asa. Dan kufur, zhulm, dan fasiklah kita kalau kita percaya bahwa ada hukum lain yang lebih baik daripada hukum Allah.
Dan jika kita yang berjuang menegakkan cita Islam ditanya orang, ‘Adakah kamu, hai umat Islam bercita-cita, berideologi, jika kamu memegang kekuasaan, akan menjalankan hukum syari'at Islam dalam negara yang kamu kuasai itu?"
Janganlah berbohong dan mengolok-olokkan jawaban. Katakan terus terang bahwa cita-cita kami memang itu. Memang hendaknya berjalan hukum Allah dalam negara yang kita kuasai itu. Apa artinya iman kita kalau cita-cita yang telah digariskan Allah dalam Al-Qur'an itu kita mungkiri?
Dan kalau ditanyakan orang pula, “Tidakkah dengan demikian kamu hendak memaksakan agar pemeluk agama lain yang golongan kecil (minoritas) dipaksa menuruti hukum Islam?"
Jawablah tegas, “Memang akan kami paksa mereka menuruti hukum Islam. Dan setengah dari hukum Islam terhadap golongan pemeluk agama yang minoritas itu ialah agar supaya mereka menjalankan hukum Taurat, ahli Injil diwajibkan menjalankan hukum Injil. Dan kita boleh membuat undang-undang menurut teknik pembikinannya, memakai fasal-fasal dan ayat-ayat suci, tapi dasarnya wajiblah hukum Allah dari kitab-kitab suci, bukan hukum buatan manusia atau diktator manusia."
Katakan itu terus terang, dan jangan takut.
Dan insaflah bahwasanya rasa takut orang menerima hukum Islam ialah karena propagarda terus-menerus dari kaum penjajah, selama berpuluh beratus tahun, sehingga orang-orang yang mengaku beragama Islam sendiri pun kemasukan rasa takut itu karena dipompakan oleh penjajahan.
Lihatlah bagaimana celakanya perjikema-nusian di zaman sewenang-wenang hukum buatan manusia, seumpama di Jerman di zaman Nazi, di Italia di zaman Fascis, dan di seluruh negara yang dipengaruhi oleh Komunis.
Apabila kita membicarakan hukum Allah, hendaklah kita menilik terlebih dahulu kepada filsafat hukumnya dan dari mana sumber hukum. Dalam Islam sudah nyata bahwa sumber hukum ialah Allah dan Rasul, atau Al-Qur'an dan Sunnah. Sebab itu dalam Islam manusia bukanlah pencipta hukum melainkan pelaksana hukum Allah. Tetapi manusia tadi diberi kebebasan pula berijtihad, bagaimana supaya hukum Allah itu berjalan. Pokok hukum Allah dan Rasul itu disimpulkan dalam bunyi ayat, “Menghalalkan bagi kamu akan yang baik-baik dan mengharamkan atas kamu barang yang buruk." Dan mengambil manfaat dan menolak mudharat. Adapun pelaksanaan hukum yang tersebut dalam Al-Qur'an tidaklah banyak; yang terkenal hanya beberapa buah saja, yaitu hukuman atas gerombolan pengacau, hukuman atas pencuri, dan hukuman atas berzina. Dan beberapa hukum lainnya terdapat dalam Sunnah.
Lalu ahli-ahli fiqih Islam yang besar-besar telah membagi pula bentuk negara kepada tiga macam, yaitu Darul Islam (negara Islam), Darul Harb (negeri tengah berperang dengan orang Islam) dan Darul Kuffar (negara orang Kafir) Maka sepakatlah ahli-ahli fiqih bahwa dalam negara Islam 100%, niscaya hendaklah 100% pula hukum Islam berlaku. Tetapi meskipun bebas memakai ijtihadnya, sehingga ada juga hukum yang dinamai ta'zir, yaitu hukum sebagai pendidik, dan pengajar si bersalah. Perkembangan bernegara sebagaimana di zaman sekarang ini pun akan memperlengkap pandangan kita tentang istilah-istilah nama negara yang disebutkan ahli-ahli fiqih tadi. Di negara-negara modern ada undang-undang dasar yang menjamin kemerdekaan pemeluk agama yang kecil bilangannya dalam negeri itu, seumpama golongan kecil orang Islam di Burma, Philipina, Muangthai, dan lain-lain. Hukum di negeri-negeri itu teranglah hukum nasional yang tidak berdasar agama, melainkan hukum umum. Niscaya orang Islam di negeri itu, kalau dapat, hendaklah memperjuangkan agar syari'at Islam dan hukumnya berlaku di kalangan penduduk Islam itu sendiri, dalam rangka kesatuan negara.
Kalau kita tilik pula keadaan bertumbuhnya Republik Indonesia. Secara hukum kita dapat mengatakan bahwa selain dari negara ini suatu negara kesatuan, dia pun adalah negara yang didirikan atas persetujuan golongan-golongan yang terbesar di dalam negeri ini pada bulan Juli 1945, yang dikenal dengan nama Jakarta Charter, yaitu golongan Islam, Nasionalis, dan Kristen. Pemuka yang mengikat perjanjian itu mempunyai cukup syarat-syarat buat disebut Ahlul Halli wal ‘Aqdi. Isi perjanjian ialah akan mendirikan sebuah negara yang semua golongan terjamin menganut kepercayaannya; malahan pernah ditegaskan bahwa bagi pemeluk Islam supaya menjalankan syari'at agamanya.
Maka negara kita telah dibentukatas dasar janji bersama, atau ‘Uqud; yang telah diperintahkan kepada orang-orang yang beriman supaya menyempurnakannya.
Menurut pangkal surah al-Maa'idah ini, perjanjian ini wajiblah dipelihara dan disempurnakan, karena dia bukanlah menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Bahkan pada adatnya, kalau tidaklah ada Charter ini, tidaklah akan tercapai kemerdekaan yang telah ada ini.
Maka dalam negara yang telah ada ini, wajib jugalah sarjana-sarjana dan ahli-ahli pikir Islam berjuang sekadar tenagarya, agar hukum Allah itu berjalan, dengan teratur dan diterima oleh masyarakat umum, melalui kemungkinan-kemungkinan yang ada. Karena kita pun tahu bahwasanya untuk mencapai suatu cita-cita yang sah dan luhur, wajib juga kita mempertimbangkan ruang dan waktu. Dan tidaklah kita diberi beban oleh Allah melebihi daripada tenaga dan kemampuan yang ada pada kita. Sebab pekerjaan membentuk undang-undang dari sebuah negara yang telah didirikan dengan kesepakatan segala golongan itu, padahal negara itu dahulunya bekas jajahan, bukanlah semudah apa yang dikhayatkan oleh pikiran.