Ayat
Terjemahan Per Kata
يَسۡـَٔلُونَكَ
mereka akan bertanya kepadamu
مَاذَآ
apa-apa yang
أُحِلَّ
dihalalkan
لَهُمۡۖ
bagi mereka
قُلۡ
katakanlah
أُحِلَّ
dihalalkan
لَكُمُ
bagi kalian
ٱلطَّيِّبَٰتُ
yang baik-baik
وَمَا
dan apa
عَلَّمۡتُم
kamu ajari
مِّنَ
dari
ٱلۡجَوَارِحِ
binatang buas
مُكَلِّبِينَ
dengan melatih untuk berburu
تُعَلِّمُونَهُنَّ
kamu mengajarnya
مِمَّا
dari apa/menurut apa
عَلَّمَكُمُ
mengajarkan kepadamu
ٱللَّهُۖ
Allah
فَكُلُواْ
maka makanlah
مِمَّآ
dari apa
أَمۡسَكۡنَ
ia tangkap
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
وَٱذۡكُرُواْ
dan sebutlah
ٱسۡمَ
nama
ٱللَّهِ
Allah
عَلَيۡهِۖ
atasnya
وَٱتَّقُواْ
dan bertakwalah
ٱللَّهَۚ
Allah
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
سَرِيعُ
sangat cepat
ٱلۡحِسَابِ
perhitungan
يَسۡـَٔلُونَكَ
mereka akan bertanya kepadamu
مَاذَآ
apa-apa yang
أُحِلَّ
dihalalkan
لَهُمۡۖ
bagi mereka
قُلۡ
katakanlah
أُحِلَّ
dihalalkan
لَكُمُ
bagi kalian
ٱلطَّيِّبَٰتُ
yang baik-baik
وَمَا
dan apa
عَلَّمۡتُم
kamu ajari
مِّنَ
dari
ٱلۡجَوَارِحِ
binatang buas
مُكَلِّبِينَ
dengan melatih untuk berburu
تُعَلِّمُونَهُنَّ
kamu mengajarnya
مِمَّا
dari apa/menurut apa
عَلَّمَكُمُ
mengajarkan kepadamu
ٱللَّهُۖ
Allah
فَكُلُواْ
maka makanlah
مِمَّآ
dari apa
أَمۡسَكۡنَ
ia tangkap
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
وَٱذۡكُرُواْ
dan sebutlah
ٱسۡمَ
nama
ٱللَّهِ
Allah
عَلَيۡهِۖ
atasnya
وَٱتَّقُواْ
dan bertakwalah
ٱللَّهَۚ
Allah
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
سَرِيعُ
sangat cepat
ٱلۡحِسَابِ
perhitungan
Terjemahan
Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad), “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah, “Yang dihalalkan bagimu adalah (makanan-makanan) yang baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang pemburu yang telah kamu latih untuk berburu, yang kamu latih menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka, makanlah apa yang ditangkapnya untukmu dan sebutlah nama Allah (waktu melepasnya). Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat cepat perhitungan-Nya.”
Tafsir
(Mereka menanyakan kepadamu) hai Muhammad (Apakah yang dihalalkan bagi mereka) di antara makanan. (Katakanlah, "Dihalalkan bagimu yang baik-baik) yang enak-enak atau yang halal (dan) hasil buruan (dari binatang-binatang buas yang telah kamu ajar) seperti anjing, serigala dan burung (dengan melatihnya berburu) hal dari kallabtal kalba pakai tasydid pada lam; artinya biasa kamu lepas berburu (kamu ajar mereka itu) hal dari dhamir mukallibiina; artinya kamu latih mereka itu (menurut apa yang diajarkan Allah kepadamu) tentang cara berburu (maka makanlah apa-apa yang ditangkapnya untukmu) mereka membunuh buruan tanpa memakannya. Berbeda halnya dengan yang tidak terlatih, maka tangkapannya itu tidak halal. Sebagai ciri-cirinya bila dilepas ia berangkat dan bila dicegah ia berhenti serta ditahannya buruan itu dan tidak dimakannya. Sekurang-kurangnya untuk mengetahui hal itu dibutuhkan pengamatan sebanyak tiga kali. Jika buruan itu dimakannya, berarti tidak ditangkapnya untuk tuannya, maka tidak halal dimakan sebagaimana tercantum dalam kedua hadis sahih Bukhari dan Muslim. Dalam hadis itu juga disebutkan bahwa hasil panahan jika dilepas dengan menyebut nama Allah, maka sama dengan hasil buruan dari binatang pemburu yang telah dilatih. (Dan sebutlah nama Allah atasnya) ketika melepasnya (serta bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya.").
Tafsir Surat Al-Ma'idah: 4
Mereka bertanya kepadamu, "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?" Katakanlah, "Dihalalkan bagi kalian (makanan) yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kalian latih untuk berburu, kalian mengajarinya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepada kalian. Maka makanlah apa yang ditangkapnya untuk kalian, dan sebutlah nama Allah (ketika melepas binatang buas itu). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisabNya."
Setelah Allah menyebutkan hal-hal yang diharamkan-Nya pada ayat sebelumnya, yaitu berupa segala sesuatu yang buruk lagi membahayakan tubuh atau agama, atau kedua-duanya (tubuh dan agama) orang yang bersangkutan, dan Allah mengecualikan apa-apa yang dikecualikan-Nya bila keadaan darurat. Seperti yang disebut di dalam firman-Nya: “Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kalian apa yang diharamkan-Nya atas kalian, kecuali apa yang terpaksa kalian memakannya.” (Al-An'am: 119)
“Maka sesudah itu Allah ﷻ berfirman: “Mereka bertanya kepadamu, ‘Apakah yang dihalalkan bagi mereka’?" Katakanlah, "Dihalalkan bagi kalian yang baik-baik." (Al-Maidah: 4) Perihalnya sama dengan apa yang disebut di dalam surat Al-A'raf dalam kaitan menyebutkan sifat Nabi Muhammad ﷺ, bahwa Allah menghalalkan bagi mereka yang baik-baik dan mengharamkan atas mereka yang buruk-buruk.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Dzar'ah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdullah ibnu Abu Bukair, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepadaku Ala ibnu Dinar, dari Sa'id ibnu Jubair, bahwa Addi ibnu Hatim dan Zaid ibnu Muhalhal yang keduanya berasal dari Tai bertanya kepada Rasulullah ﷺ: "Wahai Rasulullah, Allah telah mengharamkan bangkai, apakah yang dihalalkan bagi kami darinya?" Maka turunlah firman-Nya: “Mereka menanyakan kepadamu, ‘Apakah yang dihalalkan bagi mereka’?" Katakanlah, "Dihalalkan bagi kalian yang baik-baik." (Al-Maidah: 4) Menurut Sa'id, makna yang dimaksud ialah sembelihan yang halal lagi baik untuk mereka.
Menurut Muqatil, yang dimaksud dengan tayyibat ialah segala sesuatu yang dihalalkan untuk mereka memperolehnya, berupa berbagai macam rezeki. Az-Zuhri pernah ditanya mengenai meminum air seni untuk berobat, maka ia menjawab, "Air seni bukan termasuk tayyibat." Demikianlah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Ibnu Wahb mengatakan bahwa Imam Malik pernah ditanya mengenai menjual burung pemangsa, ia menjawab bahwa burung itu bukan termasuk burung yang halal.
Firman Allah ﷻ: “dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kalian ajar dengan melatihnya untuk berburu." (Al-Maidah: 4) Yaitu dihalalkan bagi kalian hewan-hewan sembelihan yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, rezeki-rezeki yang baik, dihalalkan pula bagi kalian hewan yang kalian tangkap melalui binatang pemburu, seperti anjing pemburu, macan tutul pemburu, burung falcon (elang), dan lain-lainnya yang serupa. Sebagaimana yang dikatakan oleh mazhab jumhur ulama dari kalangan sahabat, tabi'in, dan para imam.
Di antara mereka yang mengatakan demikian ialah Ali ibnu Abu Talhah yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kalian ajar dengan melatihnya untuk berburu.” (Al-Maidah: 4) Hewan-hewan tersebut adalah anjing-anjing pemburu yang telah dilatih, dan burung elang serta burung pemangsa lainnya yang telah dilatih untuk berburu. Kesimpulannya ialah jawarih artinya hewan-hewan pemangsa, seperti anjing, macan tutul, burung elang, dan lain sebagainya yang serupa.
Demikianlah riwayat Ibnu Abu Hatim, kemudian ia mengatakan, telah diriwayatkan dari Khaisamah, Tawus, Mujahid, Mak-hul, dan Yahya ibnu Kasir hal yang serupa. Telah diriwayatkan dari Al-Hasan, bahwa ia pernah mengatakan, "Burung elang dan burung garuda termasuk jawarih (hewan pemangsa) dari jenis burung." Telah diriwayatkan hal yang serupa dari Ali ibnul Husain. Telah diriwayatkan dari Mujahid, bahwa ia memakruhkan berburu dengan memakai segala jenis burung pemangsa, lalu ia membacakan firman-Nya: “dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kalian ajar dengan melatihnya untuk berburu.” (Al-Maidah: 4) Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair hal yang serupa.
Ibnu Jarir menukilnya dari Adh-Dhahhak dan As-Suddi. Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hannad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Zaidah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang mengatakan bahwa hewan yang diburu oleh burung pemangsa dan lain-lainnya termasuk ke dalam jenis burung pemburu, maka apa yang kamu dapatkan adalah untukmu dan apa yang tidak sempat kamu dapatkan janganlah kamu memakannya.
Menurut kami, apa yang diriwayatkan dari jumhur ulama yaitu bahwa berburu dengan burung pemangsa sama dengan memakai anjing pemburu, karena burung pemburu menangkap mangsanya dengan cakarnya, sama halnya dengan anjing sehingga tidak ada bedanya. Pendapat inilah yang dikatakan oleh mazhab Imam yang empat dan lain-lainnya.
Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir yang menguatkannya dengan hadits yang diriwayatkan dari Hannad, telah menceritakan kepada kami Isa ibnu Yunus, dari Mujalid, dari Asy-Sya'bi, dari Addi ibnu Hatim yang menceritakan hadits berikut: Aku pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang tangkapan burung elang, maka beliau ﷺ menjawab, "Apa yang ditangkap untukmu, makanlah."
Imam Ahmad mengecualikan berburu dengan memakai anjing hitam, karena menurut Imam Ahmad anjing hitam termasuk hewan yang wajib dibunuh dan tidak boleh dipelihara. Di dalam kitab Shahih Muslim disebutkan sebuah hadits melalui sahabat Abu Bakar, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: "Keledai, wanita, dan anjing hitam dapat memutuskan shalat." Lalu aku (Abu Bakar) bertanya, "Apakah bedanya antara anjing merah dan anjing hitam?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Anjing hitam adalah setan." Di dalam hadits lain disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah memerintahkan membunuh anjing, kemudian beliau ﷺ bersabda: “Apakah gerangan yang menimpa mereka dan anjing-anjing itu, bunuhlah oleh kalian setiap anjing yang hitam pekat dari anjing-anjing itu.” Hewan-hewan yang biasa dipakai berburu itu dinamakan jawarih, berasal dari kata al-jurh yang artinya al-kasbu (penghasilan), seperti yang dikatakan oleh orang-orang Arab “Fulanun jaraha ahlahu khairan," yang artinya: “si Fulan menghasilkan kebaikan bagi keluarganya.” Mereka mengatakan, "Fulanun la jariha lah,” yang artinya: “si Fulan tidak mempunyai penghasilan (mata pencaharian).”
Allah ﷻ telah berfirman: “Dan Dia mengetahui apa yang kalian kerjakan pada siang hari.” (Al-An'am: 60)
Yakni mengetahui apa yang kalian hasilkan berupa kebaikan dan keburukan. Mengenai penyebab turunnya ayat ini disebutkan oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Abu Hatim: Telah menceritakan kepada kami Hajjaj ibnu Hamzah, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnu Habbab, telah menceritakan kepadaku Musa ibnu Ubaidah, telah menceritakan kepadaku Aban ibnu Saleh, dari Al-Qa'qa' ibnu Hakim, dari Salma Ummu Rafi, dari Abu Rafi' maula Rasulullah ﷺ, bahwa Rasulullah ﷺ pernah memerintahkan untuk membunuh anjing-anjing (hitam), maka anjing-anjing itu dibunuh.
Lalu orang-orang datang kepadanya dan bertanya, "Wahai Rasulullah, mana sajakah yang dihalalkan dari jenis ini yang engkau perintahkan agar dibunuh?" Rasulullah ﷺ diam, dan Allah menurunkan firman-Nya: “Mereka bertanya kepadamu, ‘Apakah yang dihalalkan bagi mereka’?" Katakanlah, "Dihalalkan bagi kalian yang baik-baik, dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang pemburu yang telah kalian ajar dengan melatihnya untuk berburu" (Al-Maidah: 4), hingga akhir ayat. Maka Nabi ﷺ bersabda: “Apabila seseorang lelaki melepaskan anjing (pemburu)nya. lalu ia mengucapkan tasmiyah (bismillah) dan anjing itu menangkap buruan untuknya, maka hendaklah ia memakannya selagi anjing itu tidak memakannya.”
Masih dalam bab yang sama: Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abu Kuraib, dari Zaid ibnul Habbab berikut sanadnya, dari Abu Rafi' yang menceritakan bahwa Malaikat Jibril datang kepada Nabi ﷺ, lalu meminta izin untuk masuk. Ia diizinkan masuk tetapi ia tidak mau masuk, maka Nabi ﷺ bersabda, "Saya telah memberimu izin masuk, wahai utusan Allah." Malaikat Jibril menjawab, "Tetapi kami (para malaikat) tidak mau masuk ke dalam suatu rumah yang ada anjingnya." Abu Rafi’ mengatakan, "Lalu Nabi ﷺ memerintahkan kepadaku membunuh semua anjing yang ada di Madinah, hingga aku sampai pada seorang wanita yang memiliki seekor anjing. Saat itu anjingnya sedang menggonggong, maka wanita itu meninggalkan anjingnya karena tidak tega melihatnya dibunuh. Kemudian aku (Abu Rafi') datang kepada Rasulullah ﷺ dan kuceritakan hal itu kepadanya, tetapi beliau ﷺ tetap memerintahkan kepadaku untuk membunuhnya. Maka aku kembali lagi kepada wanita itu dan membunuh anjingnya." Kemudian mereka datang dan bertanya, "Wahai Rasulullah, apa sajakah yang dihalalkan bagi kami dari jenis hewan ini yang engkau perintahkan agar semuanya dibunuh?" Rasulullah ﷺ diam, dan Allah menurunkan firman-Nya: “Mereka menanyakan kepadamu, ‘Apakah yang dihalalkan bagi mereka’?" Katakanlah, "Dihalalkan bagi kalian yang baik-baik dan (binatang buruan yang ditangkap) oleh binatang pemangsa yang telah kalian ajar dengan melatihnya untuk berburu." (Al-Maidah: 4)
Imam Hakim meriwayatkannya di dalam kitab Mustadrak melalui jalur Muhammad ibnu Ishaq, dari Aban ibnu Saleh dengan lafal yang sama; dan Imam Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih, tetapi keduanya tidak mengetengahkannya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, dari Ibnu Juraij, dari Ikrimah, bahwa Rasulullah ﷺ mengutus Abu Rafi' untuk membunuh semua anjing hingga sampai di Awali (daerah Madinah yang tinggi). Maka datanglah ‘Ashim ibnu Addi, Sa'd ibnu Ktiais'amah dan Uwaim ibnu Sa'idah, lalu mereka bertanya, "Apakah yang dihalalkan bagi kami, wahai Rasulullah?" Maka turunlah ayat ini.
Imam Hakim meriwayatkannya melalui jalur Sammak, dari Ikrimah, dan hal yang sama dikatakan oleh Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi dalam penyebab turunnya ayat ini, yaitu berkenaan dengan pembunuhan terhadap anjing.
Firman Allah ﷻ: “untuk berburu.” (Al-Maidah: 4)
Lafal ayat ini dapat dikatakan sebagai hal dari damir yang terkandung di dalam firman-Nya: “yang telah kalian ajari.” (Al-Maidah: 4) Dengan demikian, berarti ia menjadi hal dari fa'il. Dapat pula diartikan sebagai hal dari maf'ul yaitu lafal al-jawarih, yakni binatang pemangsa yang telah kalian ajari saat kalian menggunakannya untuk menerkam hewan buruan kalian. Pengertian ini menunjukkan bahwa hewan pemburu tersebut membunuh mangsanya dengan taring dan cakar kukunya.
Dalam keadaan demikian, berarti dapat disimpulkan bahwa hewan pemburu bila membunuh binatang buruannya dengan menabraknya atau menindihinya dengan berat tubuhnya, hukumnya tidak halal, seperti yang dikatakan oleh salah satu pendapat dari Imam Syafii dan segolongan ulama. Karena itulah dalam ayat selanjutnya disebutkan:
“Kalian mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepada kalian.” (Al-Maidah: 4) Dengan kata lain, apabila dilepaskan oleh tuannya, ia langsung memburu mangsanya; dan apabila diperintahkan untuk mengintipnya sebelum menerkamnya, maka ia menuruti tuannya; apabila menangkap hewan buruannya, ia menahan dirinya untuk tuannya hingga tuannya datang kepadanya, dan ia tidak berani menangkapnya, lalu ia makan sendiri.
Karena itulah disebutkan oleh firman Allah ﷻ selanjutnya: “Maka makanlah apa yang ditangkapnya untuk kalian, dan sebutlah nama Allah (ketika melepas binatang buas itu).” (Al-Maidah: 4) Bilamana binatang pemburu telah diajari dan menangkap mangsanya untuk tuannya, sedangkan si tuan telah membaca asma Allah ketika melepasnya, maka hewan buruan itu halal, sekalipun telah dibunuhnya, menurut kesepakatan ulama. Di dalam sunnah terdapat keterangan yang menunjukkan pengertian yang sama dengan makna ayat ini, seperti yang disebut di dalam kitab Shahihain dari Addi ibnu Hatim yang menceritakan: .
Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku melepaskan anjing pemburu yang telah dilatih dan aku menyebut nama Allah." Rasulullah ﷺ menjawab, "Apabila kamu melepaskan anjing terlatihmu dan kamu sebut nama Allah, maka makanlah selagi anjingmu itu menangkap hewan buruan untukmu.” Aku bertanya, "Sekalipun hewan buruan itu telah dibunuhnya?" Rasulullah ﷺ bersabda, "Sekalipun telah dibunuhnya selagi tidak ditemani oleh anjing lain yang bukan dari anjing-anjingmu, karena sesungguhnya kamu hanya membaca tasmiyah untuk anjingmu, bukan membacanya untuk anjing lain." Aku bertanya kepadanya, "Sesungguhnya aku melempar hewan buruan dengan tombak dan mengenainya." Rasulullah ﷺ menjawab, "Jika kamu melemparnya dengan tombak dan tombak itu menembus tubuhnya, maka makanlah.Tetapi jika yang mengenainya ialah bagian sampingnya (tengahnya), sesungguhnya hewan buruan itu mati karena terpukul, jangan kamu makan."
Menurut lafal lain yang juga dari keduanya (Imam Bukhari dan Imam Muslim) disebutkan seperti berikut: “Jika kamu melepaskan anjing pemburumu, bacalah nama Allah; dan jika ia menangkap hewan buruannya untukmu, lalu kamu dapati ia masih hidup, maka sembelihlah hewan buruan itu. Jika kamu mendapatinya telah mati dan anjingmu tidak memakannya, makanlah, karena sesungguhnya terkaman anjingmu itu merupakan sembelihannya.”
Menurut riwayat lain yang ada pada Imam Bukhari dan Imam Muslim disebutkan seperti berikut: "Dan jika anjingmu itu memakannya, maka janganlah kamu makan, karena sesungguhnya aku merasa khawatir bila anjingmu itu menangkapnya untuk dirinya sendiri.”
Inilah yang dijadikan dalil oleh jumhur ulama, dan hal inilah yang dikatakan oleh mazhab Syafii menurut qaul yang shahih. Yaitu apabila anjing pemburu memakan sebagian dari hewan buruannya, maka hewan buruan itu haram secara mutlak. Dalam hal ini mereka tidak memberikan keterangan yang rinci, sama dengan makna yang ada dalam hadits. Tetapi diriwayatkan dari segolongan ulama Salaf bahwa mereka mengatakan tidak haram sama sekali. Atsar-atsar yang menyangkut masalah ini dibeberkan dibawah.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hannad dan Waki, dari Syu'bah, dari Qatadah, dari Sa'id ibnul Musayyab yang menceritakan bahwa Salman Al-Farisi pernah mengatakan, "Makanlah, sekalipun anjing pemburu itu memakan dua pertiga hewan buruannya," bilamana memang anjing itu memakan sebagian darinya.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Sa'id ibnu Abu Arubah dan Umar ibnu Amir dari Qatadah. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Muhammad ibnu Zaid, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Salman.
Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Mujahid ibnu Musa, dari Yazid, dari Humaid, dari Bakar ibnu Abdullah Al-Muzanni dan Al-Qasim, bahwa Salman pernah mengatakan, "Apabila anjing pemburu memakannya, kamu boleh memakannya, sekalipun ia memakan dua pertiganya."
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Makhramah ibnu Bukair, dari ayahnya, dari Humaid ibnu Malik ibnu Khaisam Ad-Du-ali, bahwa ia pernah bertanya kepada Sa'd ibnu Abu Waqqas tentang hewan buruan yang dimakan sebagiannya oleh anjing pemburu. Maka Sa'd ibnu Abu Waqqas menjawab, "Makanlah olehmu, sekalipun tiada yang tersisa darinya kecuali hanya sepotong daging.”
Syu'bah meriwayatkannya dari Abdu Rabbih ibnu Sa'id, dari Bukair ibnul Asyaj, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Sa'd ibnu Abu Waqqas yang mengatakan, "Makanlah (hewan buruan itu), sekalipun anjing pemburu telah memakan dua pertiganya."
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Daud, dari Amir ibnu Abu Hurairah yang mengatakan, "Apabila kamu melepas anjing pemburumu, lalu anjing pemburumu memakan sebagian dari hewan tangkapannya, maka kamu tetap boleh memakannya, sekalipun anjing pemburu telah memakan dua pertiganya dan yang tersisa adalah sepertiganya."
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Al-Mu'tamir, bahwa ia pernah mendengar Abdullah; dan telah menceritakan kepada kami Hannad, telah menceritakan kepada kami Abdah, dari Ubaidillah ibnu Umar, dari Nafi', dari Abdullah ibnu Umar yang mengatakan, "Apabila kamu melepas anjing terlatihmu dan kamu sebutkan nama Allah (ketika melepaskannya), maka makanlah olehmu selagi anjing itu menangkap buruannya untukmu, baik ia memakannya ataupun tidak memakannya."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ubaidillah ibnu Umar dan ibnu Abu Zi-b serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang, dari Nafi. Atsar-atsar di atas terbukti bersumber dari Salman, Sa'd ibnu Abu Waqqas, Abu Hurairah, dan Ibnu Umar. Hal yang sama diriwayatkan dari Ali dan Ibnu Abbas. Tetapi menurut atsar yang dari ‘Atha’ dan Al-Hasan Al-Basri, masalah ini masih diperselisihkan. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Az-Zuhri, Rabi'ah, dan Imam Malik. Imam Syafii menurut qaul qadim-nya mengatakan masalah ini, tetapi dalam qaul jadid-nya hanya mengisyaratkannya saja.
Telah diriwayatkan melalui jalur Salman Al-Farisi secara marfu'; Ibnu Jarir mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Imran ibnu Bakkar Al-Kala'i, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Musa Al-Lahuni, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Dinar (yaitu At-Taji), dari Abu Iyas Mu'awiyah ibnu Qurrah, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Salman Al-Farisi, dari Rasulullah ﷺ yang telah bersabda: “Apabila seorang lelaki melepaskan anjingnya untuk menangkap hewan buruan, lalu dapat ditangkapnya dan dimakannya sebagiannya maka hendaklah dia memakan yang sisanya.” Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa dalam sanad hadits ini masih perlu ada yang dipertimbangkan lagi. Sa'id tidak dikenal pernah mendengar dari Salman Al-Farisi, tetapi orang-orang yang tsiqah meriwayatkannya dari kalam yang tidak marfu'. Apa yang dikatakan oleh Ibnu Jarir ini memang benar, tetapi diriwayatkan makna yang sama secara marfu' melalui jalur-jalur lainnya.
Imam Abu Dawud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Minhal Ad-Darir (yang tuna netra), telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Zurai', telah menceritakan kepada kami Habib Al-Muallim, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa seorang Badui yang dikenal dengan nama Abu Sa'labah pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai anjing yang terlatih untuk berburu, maka berilah aku fatwa mengenai hasil buruannya." Maka Nabi ﷺ menjawab melalui sabdanya: “Jika kamu mempunyai anjing yang terlatih, maka makanlah apa yang ditangkapnya untukmu.” Abu Sa'labah bertanya lagi, "Baik sempat disembelih, tidak sempat disembelih, dan sekalipun anjing itu memakan sebagiannya." Nabi ﷺ menjawab: “Ya, sekalipun anjing itu memakan sebagiannya.”
Abu Sa'labah bertanya lagi, "Wahai Rasulullah, berilah aku fatwa mengenai berburu dengan panahku." Rasulullah ﷺ menjawab: “Makanlah apa yang dihasilkan oleh anak panahmu.” Abu Sa'labah berkata, "Baik dalam keadaan sempat disembelih ataupun tidak sempat disembelih?" Nabi ﷺ bersabda: “Dan sekalipun hilang dari pencarianmu selagi masih belum membusuk atau kamu menemukan padanya bekas anak panah selain anak panahmu.”
Abu Sa'labah bertanya, "Berilah aku fatwa mengenai wadah milik orang-orang Majusi jika kami terpaksa memakainya." Nabi ﷺ bersabda: “Cucilah terlebih dahulu, lalu pakailah ia untuk makan.”
Demikianlah menurut riwayat yang diketengahkan oleh Imam Abu Dawud.
Imam An-Nasai mengetengahkannya, demikian pula Imam Abu Dawud melalui jalur Yunus ibnu Saif, dari Abu Idris Al-Khaulani, dari Abu Sa'labah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Apabila kamu melepaskan anjingmu dan kamu sebutkan nama Allah, maka makanlah tangkapannya, sekalipun anjingmu telah memakan sebagiannya, dan makan pulalah apa yang berhasil kamu tarik dengan tanganmu.” Sanad kedua hadits ini jayyid (baik).
Ats-Tsauri meriwayatkan dari Sammak ibnu Harb, dari Addi yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Apa yang ditangkap oleh anjing terlatihmu untuk kamu, maka makanlah.” Abu Salabah bertanya, "Sekalipun anjing itu memakannya?" Nabi ﷺ menjawab, “Ya."
Abdul Malik ibnu Habib meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Asad ibnu Musa, dari Ibnu Abu Zaidah, dari Asy-Sya'bi, dari Addi hal yang serupa.
Semua atsar yang telah disebutkan di atas menunjukkan bahwa dimaafkan memakan hasil buruan anjing pemburu, sekalipun anjing telah memakan sebagiannya. Atsar-atsar ini dijadikan dalil oleh orang-orang yang berpendapat tidak haram hasil buruan yang dimakan oleh anjing pemburunya atau hewan pemburu lainnya, seperti dalam keterangan di atas dari orang-orang yang kami ketengahkan pendapatnya.
Tetapi ulama lainnya bersikap pertengahan. Untuk itu mereka mengatakan, "Jika anjing pemburu memakan hewan tangkapannya sehabis menangkapnya, maka hal ini diharamkan," karena berdasarkan hadits Addi ibnu Hatim yang disebutkan di atas, juga karena Illat (penyebab) yang diisyaratkan oleh Nabi ﷺ melalui sabdanya: “Dan jika anjingmu memakannya, maka janganlah kamu makan, karena sesungguhnya aku merasa khawatir bila anjingmu itu menangkapnya untuk dirinya sendiri. Jika anjing tersebut menangkapnya, kemudian menunggu-nunggu tuannya dan tidak kunjung datang, hingga ia lama menunggu dan lapar, lalu ia makan sebagian tangkapannya karena lapar, maka dalam keadaan seperti ini tidak mempengaruhi kehalalannya, dan bukan termasuk yang diharamkan.
Mereka mendasari pendapatnya dengan hadits Abu Sa'labah Al-Khusyani. Pemisahan atau rincian ini dinilai cukup baik, menggabungkan makna di antara kedua hadits yang shahih tadi. Sehingga Al-Ustaz Abul Ma'ali Al-Juwaini dalam kitab Nihayah-nya mengatakan, "Seandainya saja masalah ini dirincikan secara mendetail seperti ini." Memang Allah telah mengabulkan apa yang dicita-citakannya.
Pendapat yang rinci ini ternyata dikatakan oleh sejumlah sahabat. Ulama lainnya sehubungan dengan masalah ini mempunyai pendapat yang keempat, yaitu memisahkan antara anjing pemburu yang memakan, hukumnya haram berdasarkan hadits Addi ibnu Hatim; dan antara burung pemangsa dan lain-lainnya yang sejenis yang makan, hukumnya tidak haram, karena burung tidak dapat diajari dan tidak akan mengerti kecuali hanya memakan hewan buruannya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Asbat ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Abu Ishaq Asy-Syaibani, dari Hammad, dari Ibrahim, dari Ibnu Abbas, bahwa ia mengatakan sehubungan dengan masalah burung pemburu yang dilepaskan untuk memburu buruannya; ternyata ia membunuhnya, maka hasil buruannya boleh dimakan. Sesungguhnya anjing itu jika kamu pukul, maka ia tidak mau memakannya, tetapi mengajari burung pemburu untuk kembali kepada pemiliknya (tuannya) bukan dengan cara memukulnya.
Karena itu, bila burung pemburu memakan sebagian dari tangkapannya dan telah mencabuti bulu hewan buruannya, maka hewan buruannya masih boleh dimakan. Demikianlah menurut pendapat Ibrahim An-Nakha'i, Asy-Sya'bi, dan Hammad ibnu Abu Sulaiman. Mereka mengatakan demikian berdalilkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, yaitu: Telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Al-Muharibi, telah menceritakan kepada kami Mujalid, dari Asy-Sya'bi, dari Addi ibnu Hatim yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ,"Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami adalah suatu kaum yang biasa berburu dengan memakai anjing dan elang pemburu, apakah yang dihalalkan untuk kami darinya?" Rasulullah ﷺ menjawab: “Dihalalkan bagi kalian buruan yang ditangkap oleh binatang pemangsa yang telah kalian ajar dengan melatihnya untuk berburu; kalian mengajarinya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepada kalian. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kalian, dan sebutlah nama Allah atas binatang pemangsa itu (waktu melepasnya).” Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda pula: “Dan anjing pemburu yang kamu lepaskan dengan menyebut nama Allah atas anjing itu (ketika melepasnya), maka makanlah olehmu hewan tangkapannya yang ditangkapnya untukmu.” Aku (Addi ibnu Hatim) bertanya, "Sekalipun hewan tangkapannya itu telah membunuhnya." Rasulullah ﷺ bersabda: “Sekalipun telah membunuhnya selagi ia tidak memakannya.” Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah jika anjing-anjing kami dicampur dengan anjing-anjing lainnya (dalam perburuan itu)?" Rasulullah ﷺ menjawab melalui sabdanya: “Jangan kamu makan (hasil tangkapannya) sebelum kamu mengetahui bahwa anjingmulah yang menangkapnya.” Aku bertanya, "Sesungguhnya kami adalah suatu kaum yang biasa berburu dengan memakai anak panah, maka apakah yang dihalalkan bagi kami?" Rasulullah ﷺ menjawab: “Selagi kamu membacakan nama Allah atasnya dan panahmu menembusnya, maka makanlah.”
Segi penyimpulan dalil yang dilakukan oleh mereka ialah bahwa dalam berburu disyaratkan memakai anjing pemburu; hendaknya anjing tidak memakan hasil tangkapannya, hal ini tidak disyaratkan dalam berburu memakai burung elang. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan di antara keduanya dalam masalah hukum.
Firman Allah ﷻ: “Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kalian, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). (Al-Maidah: 4) Membaca bismillah dilakukan sewaktu melepasnya, seperti apa yang dikatakan oleh Nabi ﷺ kepada Addi ibnu Hatim melalui sabdanya, yaitu: “Apabila kamu lepas anjing terlatihmu dan kamu sebut nama Allah, maka makanlan apa yang ditangkapnya untukmu.”
Di dalam hadits Abu Sa'labah yang diketengahkan di dalam kitab Shahihain disebutkan pula: “Apabila kamu melepas anjingmu, maka sebutlah nama Allah; dan apabila kamu melepas anak panahmu, sebutlah nama Allah.”
Karena itulah sebagian dari para imam seperti Imam Ahmad menurut pendapat yang masyhur darinya mensyaratkan bacaan tasmiyah (bismillah) waktu melepas anjing pemburu dan anak panahnya, berdasarkan ayat dan hadits ini. Pendapat yang sama dikatakan oleh jumhur ulama menurut qaul yang masyhur dari mereka, yaitu makna yang dimaksud dari ayat ini ialah perintah membaca bismillah sewaktu melepasnya. Demikianlah menurut As-Suddi dan lain-lainnya.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya).” (Al-Maidah; 4); Bahwa apabila kamu melepas hewan pemangsamu, ucapkanlah bismillah. Tetapi jika kamu lupa membacanya, maka tidak ada dosa atas dirimu (tidak apa-apa). Sebagian ulama mengatakan bahwa makna yang dimaksud dari ayat ini ialah perintah membaca bismillah sewaktu hendak makan. Seperti yang disebutkan di dalam hadits Shahihain, bahwa Rasulullah ﷺ mengajari anak tirinya, yaitu Umar ibnu Abu Salamah. Untuk itu beliau ﷺ bersabda: “Sebutlah nama Allah, dan makanlah dengan tangan kananmu serta makanlah (makanan) yang dekat denganmu.” Di dalam kitab Shahih Bukhari disebutkan: Dari Siti Aisyah r.a bahwa mereka pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya ada suatu kaum yang baru masuk Islam datang kepada kami dengan membawa dua jenis daging, tanpa kami ketahui apakah mereka menyebut nama Allah (ketika menyembelihnya) atau tidak." Rasulullah ﷺ bersabda: “Sebutlah nama Allah oleh kalian sendiri, lalu makanlah.”
Hadits lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari Badil, dari Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair, dari Siti Aisyah, bahwa Rasulullah ﷺ makan bersama enam orang sahabatnya, lalu datanglah seorang Arab Badui yang langsung ikut makan sebanyak dua suap. Maka Nabi ﷺ bersabda: “Ingatlah, sesungguhnya andaikata dia membaca nama Allah, niscaya makanan ini cukup buat kalian. Maka apabila seseorang di antara kalian memakan makanan, hendaklah ia menyebut nama Allah. Jika ia lupa menyebut nama Allah pada permulaannya, hendaklah ia membaca, "Bismillahi awwalahu wa akhirahu" (Dengan menyebut asma Allah pada permulaan dan akhirnya).
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Majah, dari Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, dari Yazid ibnu Harun dengan lafal yang sama. Hadits ini munqathi’' (terputus) antara Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair dan Siti Aisyah, karena sesungguhnya dia belum pernah mendengar dari Siti Aisyah hadits ini. Sebagai buktinya ialah sebuah riwayat yang diketengahkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Hisyam (yakni Ibnu Abu Abdullah Ad-Dustuwai'), dari Badil, dari Abdullah ibnu Ubaid ibnu Umair, bahwa ada seorang wanita dari kalangan mereka yang dikenal dengan nama Ummu Kalsum, telah menceritakan kepadanya dari Siti Aisyah, bahwa Rasulullah ﷺ makan bersama enam orang sahabatnya.
Lalu datanglah seorang Arab Badui yang sedang lapar, maka orang Badui itu langsung ikut makan sebanyak dua suap. Nabi ﷺ bersabda: “Ingatlah, sesungguhnya andaikata dia menyebut nama Allah, niscaya (makanan ini) cukup bagi kalian. Karena itu, apabila seseorang di antara kalian makan, hendaklah terlebih dahulu menyebut nama Allah. Dan jika ia lupa menyebut-Nya pada permulaan makan, hendaklah ia mengucapkan, "Dengan menyebut nama Allah pada permulaan makan dan akhirnya."
Hadits diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad, Imam Abu Dawud, Imam At-Tirmidzi, dan Imam An-An-Nasai melalui berbagai jalur dari Hisyam Ad-Dustuwai' dengan lafal yang sama. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.
Hadits lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Dikatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Jabir ibnu Subh, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna ibnu Abdur Rahman Al-Khuza'i yang berguru kepada Wasit. Dia selalu mengucapkan bismillah pada permulaan makan, dan pada akhir suapannya dia mengucapkan “Bismillahi awwalahu wa akhirahu” (Dengan menyebut nama Allah pada permulaan makan dan kesudahannya). Maka aku (Jabir ibnu Subh) bertanya kepadanya, “Sesungguhnya kamu membaca bismillah pada permulaan makanmu, tetapi mengapa engkau sesudah makan mengucapkan kalimat ‘bismillahi awwalahu wa akhirahu’?" Al-Musanna ibnu Abdur Rahman menjawab, "Aku akan menceritakan kepadamu bahwa kakekku (yaitu Umayyah ibnu Makhsyi, salah seorang sahabat Nabi ﷺ) pernah kudengar menceritakan hadits berikut, bahwa ada seorang lelaki sedang makan, ketika itu Nabi ﷺ melihatnya, dan lelaki itu tidak membaca bismillah; hingga pada akhir suapannya dia baru mengucapkan, "Dengan nama Allah pada permulaan makan dan akhirnya.”
Maka Nabi ﷺ bersabda: 'Demi Allah, setan masih terus makan bersamanya hingga ia membaca tasmiyah (bismillah), maka tidak ada suatu makanan pun yang ada dalam perut setan melainkan setan memuntahkannya (karena bacaan bismillah itu)'."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam An-An-Nasai melalui hadits Jabir ibnu Subh Ar-Rasi Abu Bisyr Al-Basri. Ibnu Mu'in menilainya tsiqah, begitu pula Imam An-An-Nasai. Tetapi Abul Fat Al-Azdi mengatakan bahwa hadisnya tidak dapat dijadikan sebagai hujah.
Hadits lain. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Khaisamah, dari Abu Huzaifah yang menurut Abu Abdur Rahman Abdullah ibnu Imam Ahmad disebutkan bahwa Abu Huzaifah ini nama aslinya adalah Salamah ibnul Haisam ibnu Suhaib, salah seorang murid sahabat Ibnu Mas'ud.
Ia menceritakan hadits ini dari Huzaifah yang menceritakan, "Kami apabila menghadiri suatu jamuan bersama Nabi ﷺ, kami tidak berani menyentuh makanan terlebih dahulu sebelum Rasulullah ﷺ memulainya. Ketika kami sedang menghadiri suatu jamuan, tiba-tiba datanglah seorang budak wanita, seakan-akan ada yang mendorongnya, lalu budak wanita itu langsung meletakkan tangannya pada jamuan makanan yang ada. Maka Rasulullah ﷺ menahan tangan budak wanita itu. Lalu datang pula seorang Arab Badui, seakan-akan ada yang mendorongnya dan langsung hendak mengambil makanan. Maka Rasulullah ﷺ memegang tangan orang Badui itu, lalu bersabda: “Sesungguhnya setan menghalalkan makanan jika tidak disebutkan nama Allah atasnya, dan sesungguhnya setan datang dengan budak wanita ini untuk menghalalkannya, karena itu aku tahan tangannya. Dan setan datang pula dengan orang Arab Badui ini untuk menghalalkannya, karena itu aku tahan tangannya. Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sesungguhnya tangan setan itu kupegang dengan tanganku bersama tangan keduanya.”
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Abu Dawud, dan Imam An-An-Nasai melalui hadits Al-A'masy dengan lafal yang sama.
Hadits lain. Imam Muslim dan Ahlus Sunan selain Imam At-Tirmidzi meriwayatkan melalui jalur Ibnu Juraij, dari Abuz Zubair, dari Jabir ibnu Abdullah, dari Nabi ﷺ yang telah bersabda: Apabila seorang lelaki memasuki rumahnya, lalu ia menyebut nama Allah ketika memasukinya, juga ketika hendak makan, maka setan berkata, “Tiada tempat menginap dan tiada makan malam bagi kalian” (ditujukan kepada sesamanya). Tetapi jika seseorang memasuki rumahnya tanpa menyebut nama Allah ketika memasukinya, maka setan berkata (kepada sesamanya), "Kalian telah menjumpai tempat menginap." Dan apabila ia tidak menyebut nama Allah ketika hendak makan, maka setan berkata, "Kalian telah menjumpai tempat menginap dan makan malam." Demikianlah menurut lafal Imam Abu Dawud.
Hadits lain. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Abdu Rabbih, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, dari Wahsyi ibnu Harb, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa seorang lelaki bertanya kepada Nabi ﷺ, "Sesungguhnya kami makan, tetapi kami tidak pernah merasa kenyang." Nabi ﷺ bersabda: “Barangkali kalian makan terpisah-pisah (sendiri-sendiri), sekarang berjamaahlah dalam menyantap makanan kalian dan sebutlah nama Allah, niscaya kalian diberkati dalam makanan kalian.”
Imam Abu Dawud dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui jalur Al-Walid ibnu Muslim.
Setelah ayat yang lalu menjelaskan makanan-makanan yang diharamkan, ayat ini menerangkan makanan-makanan yang dihalalkan. Mereka bertanya kepadamu, wahai Nabi Muhammad, apakah yang dihalalkan bagi mereka. Katakanlah, Yang dihalalkan bagimu adalah makanan yang baik-baik, yang sesuai dengan selera kamu selama tidak ada tuntunan agama yang melarangnya, dan buruan yang ditangkap oleh binatang pemburu, seperti anjing, singa, harimau, burung yang telah kamu latih untuk berburu, binatang yang kamu latih menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah apa yang ditangkapnya untukmu, bukan untuk dimakan binatang pemburu itu, dan sebutlah nama Allah, sewaktu kamu melepas binatang pemburu itu. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya. Ayat ini masih berkaitan dengan ayat yang lalu memberikan jawaban atas pertanyaan orang yang beriman tentang apa saja yang dihalalkan bagi mereka. Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan, yakni binatang halal yang disembelih Ahli Kitab itu halal bagimu selagi tidak bercampur dengan barang-barang yang haram, dan makananmu halal pula bagi mereka, maka kamu tidak berdosa memberikannya kepada mereka. Dan dihalalkan bagimu menikahi perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuanperempuan yang beriman dan halal pula menikahi perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, yakni melangsungkan akad nikah secara sah, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Demikian Allah menetapkan hukum-hukum-Nya untuk dijadikan tuntunan bagi orang-orang yang beriman. Barang siapa kafir setelah beriman, maka sungguh, sia-sia amal mereka, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.
Ayat ini menerangkan dua macam makanan yang dihalalkan:
1. Makanan yang baik, yaitu semua jenis makanan yang menimbulkan selera untuk memakannya dan tidak ada nas yang mengharamkannya. Adapun yang sudah ada ketentuan haramnya, maka harus dipatuhi ketentuan itu, seperti sabda Rasulullah saw:
Dari Ibnu Abbas berkata, "Rasulullah ﷺ melarang memakan setiap binatang yang bertaring dari binatang buas dan setiap yang berkuku tajam dari unggas." (Riwayat Ahmad, Muslim, dan Ashabus-Sunan).
2. Binatang buruan yang ditangkap oleh binatang-binatang pemburu yang terlatih sehingga buruannya langsung dibawa kepada tuannya dan tidak akan dimakannya kecuali kalau diberi oleh tuannya. Apabila binatang pemburu itu memakan buruannya lebih dulu, sebelum diberikan oleh tuannya, maka buruannya itu haram dimakan seperti haramnya bangkai.
Selanjutnya ayat ini menerangkan bahwa hasil buruan binatang yang terlatih itu boleh dimakan apabila pada saat melepaskan binatang, si pemburu membaca basmalah. Hukum membaca basmalah itu wajib menurut sebagian ulama seperti Abu Hanifah, menurut Imam Syafii hukumnya sunah.
Kemudian akhir ayat ini menerangkan supaya tetap bertakwa, yaitu mematuhi semua perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, karena Allah sangat cepat menghitung semua amal hamba-Nya tanpa ada yang tertinggal dan tersembunyi bagi-Nya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
TENTANG YANG HALAL
Ayat 4
“Mereka bertanya kepada engkau, apakah yang dihalalkan bagi mereka."
Susunan ayat ini sejalan dengan “asosiasi" pikiran manusia. Yang di dalam bahasa Arab dinamai iltizam. Yaitu jika telah diterangkan mana yang haram dimakan, dengan sendirinya manusia ingin tahu mana yang halal. Itu sebabnya mereka bertanya, “Katakanlah: Telah dihalalkan bagi kamu yang baik-baik
Di sini terkandunglah ruh syari'at, yaitu semangat ajaran agama. Yang dihalalkan Allah adalah yang baik-baik. Ada pun yang diharamkan, teranglah bahwa dia itu tidak baik, atau rijsun: kotor, keji, tidak sesuai dengan rasa halus kemanusiaan. Di dalam ayat yang pertama tadi sudah mulai diterangkan setengah daripada makanan yang baik-baik itu, yaitu bahimatui yaitu binatang-binatang ternak; unta, sapi dan kerbau, kambing dan biri-biri atau domba. Sedang babi, selain babi hutan ada lagi babi ternak. Maka babi ternak ini sudah termasuk yang haram, sebab tadi sudah dijelaskan. Selain dari binatang ternak, maka binatang hutan yang tidak buas, boleh pula kamu buru dan kamu makan. Binatang buruan ialah: rusa, kijang, pelanduk, kambing hutan, dan seumpamanya.
“Dan apa yang kamu ajar dari binatang-binatang penangkap, padahal telah kamu biasakan mereka berburu, yang kamu ajar mereka daripada apa yang diajarkan Allah kepada kamu."
Yaitu.hasil perburuan yang kamu dapat dari memakai binatang-binatang yang telah khusus diajar buat berburu. Seumpama anjing perburu, serigala, elang, dan sebagainya yang diajar buat berburu binatang dan burung, sehingga binatang-binatang itu karena sudah terlatih berburu, pandailah mereka mengejar perburuan dan menangkapnya untuk diserahkan kepada tuannya.
“Maka makanlah apa yang mereka tangkap buat kamu, dan sebutlah nama Allah atasnya." Maka hasil perburuan, yaitu binatang buruan atau burung yang ditangkap oleh anjing pemburu atau'serigala atau elang itu, setelah
ditangkap lalu digunggungnya dan dibawanya kepada kamu, bolehlah buruan itu kamu makan. Sebab meskipun binatang itu telah ditangkap oleh anjing pemburu dan lainnya tadi, namun karena dia telah diajar untuk itu, nyatalah ditangkapnya bukan buat dirinya, melainkan buat tuan yang mengajarnya. Maka sebutlah, “Bismillah," ketika menerimanya, apatah lagi ketika mulai melepaskan binatang-binatang pemburu itu. Yaitu ketika binatang itu sampai ke dalam tanganmu tidak bernyawa lagi,
“Dan takwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah adalah amat cepat perkiraan-Nya. “
Diperingatkan agar takwa kepada Allah di ujung ayat; dan diperingatkan pula bahwa perkiraan Allah adalah cepat, supaya di dalam menerima hasil perburuan yang dibawa binatang itu ditilik benar-benar, apakah binatang itu benar-benar dibawanya untuk tuannya, atau pun telah mati karena dimakannya untuk dirinya sendiri. Karena kalau sudah mati untuk makanannya sendiri, samalah hukumnya dengan bangkai sebagai yang tersebut di dalam ayat 3 tadi, yang diharamkan nomor (9) yang mati dimakan binatang buas.
Sebab anjing dan serigala adalah termasuk binatang buas, yang makanannya pun menjadi dihukumkan bangkai juga. Tetapi kalau digunggungnya saja, belum sampai dimakannya, walaupun sudah mati sebelum sampai ke tanganmu, halal itu kamu makan, walaupun belum sampai kamu sembelih. Abu Tsalabah meminta fatwa Rasulullah ﷺ (menurut hadits yang dirawikan oleh an-Nasa'i) tentang hasil perburuan yang dibawakan anjing pemburu itu. Beliau bersabda.
“Jika ada pada engkau anjing pemburu, maka makanlah dari apa yang digunggungnya untuk engkau. “ (HR an-Nasa'i)
Abu Tsalabah bertanya, “Masih hidup atau sudah mati?" Beliau jawab, “Benar," Dan ditanyakan pula tentang buruan yang mati karena dipanahnya. Maka beliau pun menjawab,
“Makanlah apa yang telah dikembalikan kepada engkau oleh panah engkau. “
Masih hidup atau pun sudah mati. Abu Tsalabah pun bertanya, “Bagaimana kalau binatang itu hilang, tidak bertemu. Yaitu jatuh ke tempat jauh, dicari tidak bertemu. Rasulullah pun menjawab, “Meskipun hilang tidak bertemu, kemudian setelah dicari-cari baru ketemu. Itu pun boleh engkau makan asal belum berbau busuk, atau tidak bertemu di tubuh itu bekas panah yang lain."
Beginilah beberapa peraturan tentang perburuan.
Ayat 5
“Pada hani ini tetak dihalalkan untuk kamu yang baik-baik."
Di dalam ayat ini diulang sekali lagi, bahwa mulai hari ini sudahlah dihalalkan kepada kamu makanan yang baik-baik. Sebagaimana yang telah diterangkan pada ayat pertama, sebagian yang baik-baik itu sudah terang, yaitu binatang ternak. Makanan yang baik ialah yang tidak ditolak oleh perasaan halus sebagai manusia. Dimisalkan bangkai meskipun belum ada misalnya ayat yang mengharamkan, namun tabiat manusia yang sehat, tidaklah suka memakan bangkai. Demikian juga memakan atau menyusup darah. Apatah lagi kalau orang melihat bagaimana sukanya babi kepada segala yang kotor, dia akan jijik makan babi. Kemudian, selain dari macam-macam yang keji yang telah diharamkan pada ayat (3) di atas tadi, datang pulalah hadits menerangkan mana selain itu yang tidak baik dimakan. Di antaranya ialah hadits Ibnu Abbas yang dirawikan oleh Imam Ahmad dan Muslim dan Ashhabus Sunan, Sabda Rasulullah,
“Telah melarang Rasulullah sau:. memakan tiap-tiap binatang bumi yang bertaring, dan tiap-tiap yang mempunyai kuku pencengkeraman dari burung." (HR Imam Ahmad, Bukhari, dan Ashhabus Sunan)
Dan sebuah hadits lagi dari Abu Tsalabah,
“Tiap-tiap yang bertaring dari binatang buas, maka memakannya adalah haram." (HR Imam Ahmad, Bukhari, dan Ashhabus Sunan)
Tetapi madzhab Imam Malik berpendapat bahwasanya selain yang haramnya terdaftar dalam Al-Qur'an bukanlah menjadi haram, melainkan makruh saja. Dalam hal ini madzhab Malik agak luas, sehingga yang selain yang tersebut dalam Al-Qur'an bagi beliau hanya semata-mata makruh. Tetapi madzhab Syafi'i agak mempersempit. Bagi beliau, apa yang disebut dalam hadits Ibnu Abbas dan Abu Tsalabah itu sama haramnya dimakan dengan yang telah terdaftar di Al-Qur'an.
Maka kucing, anjing, serigala, singa, harimau, beruang, dan tikus, demikian juga burung elang dan segala burung yang makannya mencengkeram, yaitu makan daging, dalam madzhab Syafi'i haram dimakan, dalam madzhab Maliki semata makruh. Yaitu makruh pada hukum, berarti dibenci, yang bukan berarti bahwa ada orang dalam madzhab Maliki yang mengatakan makruh itu yang makan anjing atau makan kucing.
Keterangan dari madzhab-madzhab seumpama perbedaan pendapat di antara kedua madzhab yang besar ini, Maliki yang berpendapat bahwa larangan-larangan yang tersebut di hadits itu hanya membawa kepada hukum makruh, dan Madzhab Syafi'i membawa kepada hukum haram, hanyalah semata-mata untuk kita tinjau belaka. Sebab di dalam surah al-A'raaf ayat 157, kita bertemu ayat tentang tugas Nabi kita Muhammad ﷺ menjadi Rasul yang wajib kita imani, di antaranya ialah,
“Dia menghalalkan untuk mereka mana yang baik-baik dan mengharamkan untuk mereka mana yang buruk-buruk." (al-A'raaf: 157)
Maka kita sendiri pun dapat pulalah menimbang bahwa selain dari yang telah tersebut pada ayat ini atau ditambah pada hadits kita pun dapat membedakan mana makanan yang baik dan mana yang buruk-buruk. Apabila kecerdasan kita telah bertambah tinggi, bertambah haluslah perasaan kita. Misalnya memakan daging ular. Kalau menurut madzhab Maliki tadi tentu makruh saja, tetapi dalam diri kita sendiri ada rasa jijik, maka haramlah dia buat kita. Maka selain dari yang terdaftar dalam Al-Qur'an dan ditambahkan oleh hadits-hadits tadi, sangatlah bergantung kepada kehalusan perasaan kita.
MEMELIHARA ANJING
Apabila kita menyelidiki ayat yang tengah kita tafsirkan ini dengan saksama dan mendalam, kita mendapat kesimpulan bahwasanya beberapa binatang, termasuk anjing, boleh diajar dan dipergunakan buat berburu. Dan hasil perburuan yang ditangkap oleh binatang yang telah diajar itu disebut muka-llibiina artinya ialah mengajar dan mendidik beberapa binatang buat berburu. Kalimat mukallibiina diambil dari kalimat kilab, artinya anjing sebab yang terbanyak dipakai buat itu ialah anjing. Sebab itulah maka diambil dari pokok kata kilab, karena itu banyak terpakai.
Menurut satu riwayat dari Ibnu Abi Hatim, diterimanya dari Sa'id bin Jubair, diterimanya pula dari Adi bin Hatim dan Zaid bin Muhalhil, keduanya orang Thaif, sebab turun ayat ini ialah bahwa Adi bin Hatim dan Zaid bin
Muhalhil ini pernah datang kepada Rasulullah ﷺ menanyakan, “Ya Rasulullah! Kalau tadi engkau menerangkan makanan yang haram kami makan, sekarang kami mohon pula bertanya mana makanan yang halal." Lalu turunlah ayat ini, “Mereka bertanya kepada engkau manakah yang dihalalkan? Katakanlah, ‘Dihalalkan bagi kamu mana yang baik-baik.'“ Sampai terakhir ayat. Said menjelaskan, yaitu sembelihan yang halal, sebab tadi sudah diterangkan mana yang haram, kami sekarang ingin diterangkan pula mana yang halal.
Maka datanglah penjelasan bahwa yang halal ialah yang baik-baik dan di antara yang baik-baik itu ialah hasil perburuan yang didapat dengan perantaraan binatang-binatang, termasuk anjing, yang telah diajar buat berburu.
Jelas di sini bahwasanya memelihara anjing buat berburu tidaklah terlarang. Malahan salah satu makanan yang halal ialah hasil perburuan yang dibawa oleh anjing itu.
Menurut satu riwayat lagi yang disampaikan oleh Ibnu Hatim juga, tentang sebab turunnya ayat ini, ialah satu riwayat dari Abu Rafi, Maula Rasulullah ﷺ. Abu Rafi menceritakan bahwa dia pernah disuruhkan oleh Rasulullah ﷺ membunuhi segala anjing, lalu dibunuhinya. Maka datanglah banyak orang kepada Rasulullah ﷺ bertanya, “Apakah lagi yang halal bagi kami dari umat yang telah engkau suruh membunuhinya ini?" Rasulullah berdiam sejenak. Lalu turunlah ayat ini, “Mereka bertanya kepada engkau dari hal manakah yang dihalalkan?" Sampai terakhir ayat. Setelah itu berkatalah Rasulullah ﷺ,
“Apabila seseorang menghalaukan anjing, dengan membaca, ‘Bismillah,' lalu anjing itu menggonggong … itu kepadanya, maka boleh dia makan apa yang tidak dimakan oleh anjing itu."
Dari keterangan ayat ini jelas bahwa boleh memelihara anjingyangdiajar berburu bahkan boleh memakan buruan yang digunggung anjing itu kembali kepada tuannya sekadarkan ditinggalkan saja dari apa yang telah digigitnya, maka Imam Malik mengeluarkan pendirian yang tegas, bahwasanya ayat yang mengandung kata mukallibiim telah kuat daripada hadits yang menyuruh membasuh tujuh kali; sekali dengan tanah, terhadap bejana yang dijilat anjing. Beliau bertanya, “Kalau binatang buruan yang dibawa oleh anjing itu halal dimakan menurut Al-Qur'an, mengapa air ludahnya dibenci, sehingga jadi wajib membasuh bejana yang dijilatnya tujuh kali?"
Tetapi timbul satu masalah yang rumit tentang memelihara anjing itu. Menurut beberapa riwayat, di antaranya dari Ibnu jarir yang diterimanya dari khadam Rasulullah yang bernama Abu Rafi tadi, bahwa pada suatu hari Malaikat Jibril datang, dan dia terus meminta izin kepada Rasulullah hendak masuk ke rumah beliau. Lalu Rasulullah berkata, “Engkau telah aku izinkan masuk ke dalam rumahku, wahai utusan Allah!" Lalu Jibril menjawab, “Itu memang! Tetapi kami tidak mau masuk ke dalam sebuah rumah yang di dalamnya ada anjing"
Berkata Abu Rafi, “Setelah mendapat jawaban yang demikian dari Jibril, maka Rasulullah memerintahkan daku membunuhi sekalian anjing yang ada dalam kota Madinah, sehingga sampailah aku kepada seorang pe-rempuan yang memelihara anjing, yang selalu menyalak menjaga perempuan itu. Anjing itu tidak aku bunuh karena kasihan kepada perempuan itu, dan aku pun kembali kepada Rasulullah ﷺ lalu aku kabarkan bahwa tugas itu telah aku laksanakan, cuma tinggal seekor anjing kepunyaan seorang perempuan. Lalu Rasulullah menyuruh aku kembali ke tempat perempuan itu, lalu anjingnya aku bunuh juga.
Setelah anjing perempuan itu aku bunuh, aku pun kembali kepada Rasulullah ﷺ Maka datanglah banyak orang kepada Nabi, lalu bertanya, “Ya Rasulullah! Apakah lagi yang dihalalkan untuk kami, dari umat ini, kalau semuanya sudah habis?"
Mendengar pertanyaan itu Rasulullah ﷺ berdiam sejenak, kemudian turunlah ayat ini, “Mereka bertanya kepada engkau mana yang dihalalkan."
Dari segala beban yang didapat ini, baik dari ayat yang tengah kita tafsirkan, atau dari hadits-hadits tersebut tadi, nyatalah bahwa memelihara anjing adalah salah satu kebiasaan yang penting dari kehidupan orang di masa itu, yang digunakan untuk berburu. Tetapi satu masa Rasulullah memerintahkan untuk membunuhi sekalian anjing, terutama karena Jibril tidak mau masuk ke dalam rumah yang ada anjing.
Kemudian datanglah ayat yang kita tafsirkan ini, menyatakan hasil buruan yang digunggung anjing perburu, boleh dimakan.
Kemudian datanglah satu hadits yang di-rawikan oleh Muslim dan Imam Ahmad, yang diterimanya dari sahabat jabir,
“Berkaca (Jabir), ‘Rasululah ﷺ pernah memerintahkan kami membunuhi anjing, sehingga seorang perempuan datang dari desa membawa anjingnya, anjing itu pun kami bunuh juga. Kemudian Rasulullah telah melarang kami membunuhnya dan beliau bersabda, ‘Kamu bunuh saja anjing hitam yang ada dua titik (di atas kedua matanya), sebab itu adalah setan.'" (HR Muslim dan Imam Ahmad)
Dari keterangan hadits ini jelas sekali bahwa mulanya Nabi membunuh sekalian anjing, kemudian melarangnya, atau menyuruh menghentikan pembunuhan anjing, kecuali anjing hitam pekat yang ada tanda putih atau kuning, di atas matanya.
Dan bertemu pula satu hadits yang dirawi-kan oleh Abu Dawud dan ad-Darimi daripada Abdullah bin Mughaffal, dari Nabi ﷺ,
“Berkata Rasulullah ﷺ, ‘Kalau bukanlah anjing itu satu di antara umat, sesungguhnya aku perintahkan membunuhnya semua. Maka bunuh sajalah anjing hitam pekat!'" (HR Abu Dawud dan ad-Darimi)
Di sini kita mendapat kesimpulan bahwa perintah membunuh atau memusnahkan anjing secara besar-besaran itu hanya sekali kejadian, yaitu setelah Jibril tidak mau masuk rumah beliau, karena di dalam rumah beliau ada anjing.
Pada ijtihad, penyusun tafsir ini, dan moga-moga ijtihad ini jangan salah, besar kemungkinan bahwa pada waktu itu penyakit anjing gila sedang menular. Kedatangan Jibril yang tidak mau masuk rumah yang ada anjing memberi kita isyarat bahwa beliau diberi tahu dengan wahyu bahwa penyakit itu sedang menular. Itu sebabnya beliau suruh musnahkan anjing. Tetapi setelah bahaya itu tak ada lagi, beliau suruh hentikan pembunuhan anjing besar-besaran itu, hanya beliau suruh saja membunuh anjing hitam pekat yang bertanda putih atau kuning di atas matanya. Dan beliau katakan pula bahwa anjing adalah suatu umat Allah juga. Bahwasanya baik jenis binatang-binatang yang merangkak di atas bumi atau burung-burung yang terbang di udara, semuanya itu adalah umat-umat seperti kita juga, memang jelas diterangkan Allah dalam Al-Qur'an, surah al-An'aam ayat 38.
Ini jelas lagi oleh sebuah hadits yang di-rawikan oleh Bukhari dan Muslim, dari lbnu Umar;, beliau itu berkata,
“Rasulullah ﷺ telah memerintahkan membunuh anjing, kecuali anjing untuk berburu, anjing untuk gembala kambing, dan anjing untuk gembala yang lain." (HR Bukhari dan Muslim)
Kemudian datang pula hadits yang menjelaskan lagi,
“Dan tidaklah ada dari ahli suatu rumah yang mengikat anjing, melainkan akan berkuranglah amalnya tiap hari satu qirath. Kecuali anjing buat berburu atau anjing buat menjaga kebun atau anjing buat gembala kambing." (HR Tirmidzi dan an-Nasa'i)
Imamul Haramain mengeluarkan pendapat demikian, “Sejak itu tetaplah hukum syara' melarang membunuh sekalian anjing, sebab tidak ada mudharat, sampai pun kepada anjing yang hitam pekat pakai tanda putih di sebelah atas matanya itu."
Dan secara zaman modern sekarang ini, kita mengemukakan pula pendapat—moga-moga pendapat itu benar—bahwa satu-satu waktu akan berjangkit lagi penyakit anjing gila yang berbahaya itu. Penyakit anjing gila memang sangat berbahaya, boleh disamakan dengan setan. Mungkin di antara anjing-anjing yang banyak itu, anjing hitam yang bertanda putih itu sangat mudah dijangkiti penyakit anjing gila. Kalau keluar hasil penyelidikan ahli kesehatan dan permakluman pemerintah bahwa sedang berjangkit penyakit anjing gila, hendaklah kita patuhi petunjuk pemerintah. Kalau perlu dengan membunuh anjing yang kita pelihara sendiri.
Berkata pula lbnu Abdil Bar, “Di dalam segala hadits-hadits ini dapatlah kita mengambil kesimpulan bahwa kita boleh memelihara anjing buat berburu dan buat menjaga ternak. Demikian juga buat menjaga kebun, untuk menambah penjagaan, dan makruh memelihara anjing untuk keperluan lain. Kecuali yang termasuk dalam arti berburu dan lain-lain yang disebutkan itu, ialah memelihara anjing untuk mengambil suatu manfaat dan menolak satu mudharat. Yaitu dengan jalan qias kepada yang ditentukan Nabi itu. Lebih jelas makruhnya lagi kalau tidak ada keperluannya. Sebab kalau ada orang memelihara anjing, takutlah orang akan masuk ke rumah itu, dan malaikat pun tidak mau masuk ke rumah yang ada anjing." Demikian keterangan dari Ibnu Abdil Bar.
Al-Qasimi dalam tafsirnya mengatakan bahwa arti yang tersimpan di dalam hadits-hadits ini, yang berkenaan dengan ibadah, ialah karena kotor ludah anjing itu. Kalau dipelihara dalam rumah, maka tidaklah akan selalu terjaga jika ada bejana yang dijilatnya. Tentu saja kalau kebersihan bejana yang dijilat anjing itu dilengahkan, Allah akan mengurangi pahala amalan satu qirath tiap hari.
Seorang ulama besar, Amr bin Ubaid pernah diajak bertukar pikiran oleh khalifah Abu Ja'far al-Manshur tentang hadits-hadits bahwa malaikat tidak masuk ke dalam rumah yang ada anjing ini, gerangan apa sebabnya. Ulama itu tidak dapat menjawab. Lalu al-Manshur menyatakan pendapatnya, “Barangkali karena anjing itu suka menyalak tetamu dan menimbulkan takut orang yang datang untuk meminta atau menanyakan sesuatu."
Dari segala keterangan ini jelaslah,
1. Memelihara anjing untuk keperluan berburu, menjaga kebun, dan menjaga ternak dibolehkan. Malahan hasil perburuan yang dibawakan anjing pemburu boleh dimakan. Diterangkan oleh Al-Qur'an sendiri.
2. Membunuh anjing secara permusnahan hanya boleh kalau penyakit anjing gila sedang berjangkit.
3. Memusnahkan anjing-anjing dengan semena-mena, dilarang oleh Nabi. Sebab anjing itu sebangsa umat Allah juga. Lantaran itu memperburukan anjing jika masuk ke dalam kampung, kadang-kadang anjing kepunyaan orang lain, tidaklah sesuai dengan rasa agama yang mendalam.
4. Memelihara anjing untuk menjaga dan memelihara keamanan rumah dari bahaya maling, adalah boleh. Yaitu dengan mengqiaskan kepada anjing-anjing yang dibolehkan Rasulullah ﷺ memeliharanya tadi.
5. Memelihara anjing karena kemewahan saja adalah makruh. Dan tidak sesuai dengan jiwa Islam memasang tanda “Awas Anjing" di muka rumah supaya orang jangan mendekat.
6. Anjing-anjing yang dididik dan diajar oleh polisi untuk pencari orang jahat adalah termasuk hal yang dibenarkan oleh agama.
7. Anjing itu diburu-buru, dikejar, dilempari dengan penuh benci, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Islam yang awam, bukanlah hal yang sesuai dengan ruh syari'at islam.
Kemudian terusan ayat, “,Dan makanan orang-orang yang diberi Kitab itu halal bagi kamu, dan makanan kamu pun halal bagi mereka."
Ini pun suatu peraturan yang lebih luas lagi. Bahwasanya makanan orang Yahudi dan Nasrani halal kita memakannya. Tentu yang lebih ditekankan di sini ialah penyembelihan mereka. Halal orang Islam memakan daging sapi yang disembelih oleh Ahlul Kitab, halal memakan daging kornet dalam kaleng yang dibuat di negeri Kristen atau di negeri Yahudi. Halal kita menerima makanan yang dikirim oleh Nasrani atau Yahudi yang menjadi tetangga kita dan halal pula kita menghadiahkan makanan kepada mereka.
Terhadap ayat yang sejelas dan seterang ini masih juga ada orang yang ragu, sehingga mereka mempersempit keluasan yang diberikan agama. Ada yang berkata bahwa Ahlul Kitab sama juga dengan musyrik, sebab mereka memperserikatkan Allah dengan Isa al-Masih, mengatakan al-Masih anak Allah. Padahal soal ini telah diperbincangkan di dalam Al-Qur'an, bahkan diperbincangkan sebelum ini dalam surah an-Nisaa' dan akan dibicarakan lagi beberapa ayat sesudah ini di dalam surah ini sendiri. Soal orang Nasrani mempersekutukan al-Masih dengan Allah adalah masalah yang berdiri sendiri. Sekarang datang ayat ini menjelaskan soal makanan. Teranglah bahwa ayat ini menegaskan, meskipun mereka Nasrani atau Yahudi mempunyai kepercayaan lain terhadap Isa al-Masih, namun makanan mereka halal kamu makan.
Bagi kita yang hidup di zaman sekarang amat penting ayat ini menjadi pegangan. Hubungan antara bangsa bertambah lebih rapat daripada dahulu. Kita telah masuk ke dalam negeri-negeri Kristen dan masuk juga ke dalam restoran orang Yahudi. Maka selain dari bangkai, darah daging babi, atau yang disembelih buat berhala, bolehlah kita makan daging-daging halal yang mereka sembelih.
Yang kerap kali menimbulkan was-was adalah binatang itu mereka sembelih secara Islam atau tidak?
Lebih dahulu hendaklah kita ingat benar bagaimana cara menyembelih menurut peraturan Rasulullah ﷺ. Beliau bersabda dalam hadits yang shahih; riwayat Imam Ahmad dan Muslim, dan Ashhabus Sunan,
“Apabila kamu membunuh, hendaklah baik-baik membunuh itu. Dan apabila kamu menyembelih, hendaklah baik-baik menyembelih itu; hendaklah menajamkan seseorang kamu akan pisaunya, dan menyenangkan akan penyembelihannya." (HR Imam Ahmad, Bukhari, dan Ashhabus Sunan)
Hadits ini bukan saja memperingatkan supaya baik-baik menyembelih sembelihan dengan senjata pisau yang amat tajam, sehingga lekas hendaknya matinya, jangan sampai lama dia menderita. Bahkan juga terlebih dahulu diperingatkan jika melakukan pembunuhan, hendaklah baik-baik pula melakukannya. Yaitu jikalau hakim memutuskan hukum bunuh kepada seseorang, hendaklah dilakukan dengan sebaik-baiknya pula, sehingga orang yang menjalani hukuman itu jangan lama menderita. Ini telah dilakukan oleh negara-negara yang berkesopanan itu. Misalnya hukuman Giolletine di Perancis; sekali pancung pisau jatuh, leher putus dalam sedetik saja. Hukuman Kursi Listrik di Amerika, hukuman tembak dengan 12 peluru, dan di Saudi Arabia hukuman Pancung dengan pedang yang amat tajam, musti sekali pancung putus. Seperti yang telah dilaksanakan terhadap Pengeran Faisal bin Mussae bin Abdul Aziz di lapangan pusat kota Riyadh pada Juni 1975. Hukuman Gantung sebagaimana di Mesir. Sebab itu tercelalah menurut hadits ini menghukum mati dengan menyiksa lama; sebagaimana banyak hukuman dilakukan di abad-abad pertengahan. Orang dimasukkan ke dalam tong yang di dalamnya diberi paku, lalu tong itu diguling-gulingkan, atau dititiki air setitik demi setitik pada ubun-ubunnya, sehingga beberapa jam kemudian baru mati karena sangat dinginnya air itu. Selain dari itu, ada pula larangan keras dari Rasulullah ﷺ melakukan mengoyak-ngoyak mayat sebagai melepaskan sakit hati setelah dia mati! Ada yang diturih perutnya, dirobek dadanya, dikeluarkan hati jantungnya, dan sebagainya.
Jadi kalau melakukan penyembelihan, hendaklah dengan pisau sangat tajam, sehingga binatang yang disembelih itu jangan lama menderita, dan darahnya keluar dengan sempurna.
Penyembelihan yang dilakukan oleh orang-orang Kristen yang berada di serata-rata apa yang dikehendaki Nabi ﷺ itu. Sehingga supaya binatang yang akan disembelih itu jangan lama menderita sakit, dan jangan tahu waktu dia akan disembelih, biasanya mereka pingsankan dahulu. Setelah pingsan, baru disembelih. Ada yang mereka pukul kepalanya sampai pening, ada yang mereka lakukan terlebih dahulu ke kamar yang dipenuhi gas, sehingga keluar dari sana dia pun lemas. Waktu itu baru disembelih. Padahal bagi setengah kita belumlah penyembelihan mencapai kemajuan demikian. Kita umumnya memakai pisau yang tajam menurut kehendak Rasulullah ﷺ. Tetapi sebelum disembelih, macam-macamlah penderitaan binatang itu; dijerat keempat kakinya, dia menggeretang hendak melepaskan diri, lalu diterajangkan supaya dia jatuh. Kadang-kadang terlepas ikatannya, berkelahi dahulu dengan orang-orang yang akan menyembelih. Akhirnya dia yang kalah karena dikeroyok bersama-sama. Setelah dia rebah baru disembelih.
Apabila orang Nasrani Barat melihat orang kita menyembelih kerbau, merekalah yang menuduh bahwa agama kita kejam. Dan apabila kita melihat mereka memingsankan binatang itu terlebih dahulu sebelum disembelih, kita katakan pula penyembelihannya tidak sah. Padahal penyembelihan cara mereka itutah yang lebih mendekati kehendak Rasululah ﷺ, yaitu jangan dibiarkan lebih lama binatang itu menderita.
Prof. Dr. Syekh Abdurrahman Taj, mantan Rektor al-Azhar, waktu melanjutkan sekolahnya di Sarbone University, sebagai seorang anak al-Azhar yang sangat tebal pengaruh hukum fiqih terhadap dirinya, disengajanya benar-benar pergi melihat bagaimana cara orang Perancis menyembelih penyembelihan di rumah potong. Maka dilihatnya bahwa binatang itu dipingsankan terlebih dahulu. Ketika disembelih dia tidak menggeretang-geretang lagi, dan mati dengan senangnya. Jadi penyembelihan itu terus berlaku, bukan di pingsankan sampai mati, lalu bangkai itu yang diiris-iris. Setelah melihat itu, beranilah beliau terus-terusan memakan daging sembelihan Kristen itu selama dia di Paris.
Penulis tafsir ini, sebelum membaca keterangan Prof. Dr. Abdurrahman Taj itu, pergi pula ke Amerika pada tahun 1952. Sengaja pula penulis pergi ke pabrik penyembelihan binatang ternak oleh satu perusahaan daging terbesar di AnArbord. Di sana orang menyembelih binatang ternak sebanyak 14.000 ekor dalam satu hari. Yang kelak dikirimkan ke kota-kota sekeliling dan setengahnya dikalengkan. Penulis menyaksikan bagaimana cara menyembelih sapi. Berpuluh ekor sapi yang akan disembelih dimasukkan dahulu ke dalam satu lori lalu didorong melalui satu ruangan yang ada gas. Sebelum masuk sapi-sapi itu masih tegak, tetapi setelah keluar dari ruangan itu, mereka telah tertidur semuanya, tetapi tidak mati.
Satu demi satu dipotonglah leher sapi itu oleh tukang potong. Geretangnya tidak banyak lagi, darahnya memancur keluar, lalu digantung dan dikuliti.
Rupanya teknik memingsankan itu sudah lebih maju. Sebab di waktu dahulu kabarnya memang diketuk kepalanya terlebih dahulu dengan besi besar, sehingga kelengar dan jatuh, baru disembelih. Maka berpikirlah kita, mana yang lebih mencapai kehendak Rasulullah, jika dibandingkan dengan sapi itu terlebih dahulu diperhembat-hembatkan, dijerat keempat kakinya, dibujuk-bujuk dan kadang-kadang dia melawan, lalu disesak bersama-sama, setelah kaki keempatnya terjerat, lalu diterjangkan sehingga dia jatah. Dipegang pula bersama-sama sampai diam. Setelah dia diam baru disembelih, sampai sebelum matinya dia mengempas-empaskan diri kesakitan? Mana yang lebih mendekati kehendak Rasulullah?
Penulis melihat pula di ruangan lain orang menyembelih kambing. Kambing itu ditangkap seekor-seekor, lalu digantungkan kakinya ke atas, dengan berbaris. Satu demi satu kambing-kambing itu disembelih dengan pisau sangat tajam, sebagaimana kita menyembelih juga. Dengan tidak dipingsankan terlebih dahulu. Tangan tukang-tukang potong itu sudah seperti mesin saja, roda mesin berputar, kambing itu satu demi satu tiba di hadapannya, pisau tajamnya lekat ke leher kambing itu mati.
Perbedaan dengan penyembelihan kita tentu ada. Mereka tidak membaca Bismillah ketika menyembelih. Tetapi itulah yang dihalalkan kita memakannya oleh ayat ini. Tentu Yahudi dan Nasrani tidak membaca Bismillah!
Padahal dalam kalangan kita Islam sendiri tentang membaca Bismillah ketika menyembelih itu adalah termasuk masalah khilafiyah. Telah menulis Sayyid Rasyid Ridha di dalam tafsirnya al-Manar.
“Dan perselisihan ulama tentang hukum tasmiyah (membaca Bismillah) itu. Sebab nash yang sharih mewajibkannya tidak terdapat, yang akan dapat menyebabkan ijma ulama atasnya. Meriwayatkan Ibnu juraij dari Ibnu Abbas bahwa dia berkata tentang tafsir ayat ini, (ayat 4 surah al-Maa'idah) Tafsir beliau,
“Apabila telah engkau kirim binatang bu-ruanmu itu, maka bacalah Bismillah, dan jika engkau lupa tidaklah mengapa." Maka Ibnu Abbas berpendapat bahwa membaca Bismillah ketika melepaskan binatang pemburu itu adalah sunnah.
Dan diriwayatkan orang juga pendapat semacam itu dari Abu Hurairah dan telah terdahulu keterangan pendapat itu dari Thawus. Dan merawikan pula Bukhari dan an-Nasa'i dan Ibnu Majah dari hadits Aisyah bahwa suatu kaum bertanya kepada Rasulullah ﷺ, “Ya Rasulullah! Suatu kaum datang kepada kami membawakan kami daging, tetapi kami tidak tahu apakah disebut nama Allah atasnya atau tidak," Maka menjawab Rasulullah ﷺ,
“Kamu sendiri membaca Bismillah atasnya makanlah!" (HR Bukhari, an-Nasa'i, dan Ibnu Majah)
Berkata yang merawikan, mereka itu masih dekat kepada zaman kufur. Artinya baru masuk Islam.
Selanjutnya Sayyid Rasyid Ridha menerangkan, “Ahli-ahli fiqih di kota-kota besar telah menyatakan pula pendapat, di antaranya berkatalah Imam Syafi'i, “Bahwasanya membaca Bismillah atas penyembelihan adalah mustahab (sangat disukai atau sunnah) Bukan wajib dan bukan syarat. Dan berkata Abu Hanifah dan Malik dan Ahmad menurut riwayat yang masyhur daripadanya, “Membaca Bismillah itu wajib, tetapi gugur wajibnya kalau lupa." Dan pada riwayat yang lain dari Imam Ahmad, “Dia adalah mutlak wajib." (Tafsir al-Manar juz 6, halaman 176)
Maka mendapatlah saya penjelasan di dalam batin sendiri setelah apa yang dibaca di dalam tafsir itu dan dibanding pula kepada kitab-kitab lain bahwasanya penyembelihan orang Nasrani atau Yahudi itu memang di-halalkan Allah aku makan, dan aku pun tidak ragu lagi karena aku lihat mereka tidak membaca Bismillah, setelah tuntunan hadits pun telah ada, yaitu daging yang tidak kita ketahui apakah dibacakan Bismillah ketika dipotong atau tidak, makan sajalah dengan awak sendiri membacakan Bismillah ketika memakannya. Dan meskipun sebagai seorang anggota Muhammadiyah, saya tidak begitu terikat kepada satu madzhab, namun anutan madzhab Syafi'i dari kecil memengaruhi juga kepada jiwa. Dengan membaca keterangan Imam Syafi'i bahwa membaca Bismillah hanya mustahak, bukan wajib dan bukan syarat, bertambahlah kepuasan jiwaku. Sehingga tidaklah saya ragu lagi memakan daging sapi atau kambing atau kerbau di negeri-negeri orang Kristen itu.
Dan adalah nyata mereka menyembelih itu bukan buat berhala, tetapi semata-mata buat dimakan.
Hidangan dari Yahudi tidak meragukan sama sekali, sebab mereka pun tidak makan babi, tidak makan bangkai dan darah, dan penyembelihan untuk berhala.
Sedang orang Kristen, mereka pun tidak mau makan bangkai, makan dan minum darah dan mereka pun mengharamkan untuk berhala.
Sebab itu mereka menyembelih hanya semata-mata buat dimasak sebagaimana kita juga. Cuma babi bagi yang sebagian besar adalah halal. Kecuali beberapa sekte, sebagaimana Methodis dan Zevenadventist yang sama dengan Yahudi dan kita mengharamkan babi.
Maka kalau dalam jamuan orang Kristen, naik kapal udara yang tidak mengetahui corak-corak makanan kita, bolehlah kita katakan terus terang bahwa kita tidak memakan daging babi. Lancarnya hubungan internasional di zaman sekarang, telah menyebabkan manusia hormat-menghormati tentang pantang dan kebiasaan, apatah lagi berhubung dengan agama.
Ada pun lanjutan ayat bahwa makanan kita orang Islam pun halal mereka makan, dapatlah dipahami bahwa ini bukanlah taklif, atau perintah kepada mereka sendiri. Sebab dengan soal makanan, tentu mereka berpegang kepada syari'at mereka sendiri, bukan kepada syari'at kita. Maksud Allah memberi tahu bahwa makanan kita pun halal bagi mereka adalah jauh sekali; yaitu supaya di dalam pergaulan hidup seharbhari kita berlaku baik kepada mereka. Bukanlah tersebut di dalam hadits, sebagai di dalam surah an-Nisaa' telah kita tafsirkan juga, bahwa Rasulullah pada suatu hari menyembelih kambing, lalu me-nyuruhkan khadamnya mengantarkan dagingnya sebagai hadiah kepada orang Yahudi tetangganya? Apakah salahnya sebagai di negeri kita ini, dalam kota-kota besar kita bertetangga baik dengan penganut Nasrani lalu hadiah-menghadiahi makanan?
Apakah lagi di negeri-negeri sebagai Sipi-rok, Ambon, dan Minahasa dan lain-lain, terdapat pertetanggaan yang baik? Demikian juga di kota-kota besar yang lain. Bahkan ada lagi terdapat suatu kebiasaan yangganjil dalam kalangan orang Cina Kristen. Peranakkan di Makassar. Yaitu kalau akan menyembelih ayam atau ternak yang lain, orang-orang Kristen meminta tolong sembelihkan kepada orang Islam!
“Dan perempuan-perempuan merdeka daripada Mukminat dan perempuan-perempuan merdeka dari yang diberi Kitab sebelum kamu, apabila telah kamu berikan kepada mereka mahar mereka."
Sambungan ini bukan lagi soal makanan, melainkan soal perkawinan. Di sini diterangkan bahwa kamu orang Mukmin halal kawin dengan perempuan yang Mukminat dan halal pula kawin dengan perempuan Ahlul Kitab. Asal telah selesai dibayar maharnya. Dengan demikian teranglah bahwa seorang Mukmin, selain boleh mengawini perempuan sesama Islam, kalau ada jodoh dan nasib boleh pula mengawini perempuan Ahlul Kitab; Yahudi dan Nasrani. Artinya dengan tidak usah dia masuk Islam terlebih dahulu; sebab dalam hal agama tidak ada paksaan, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam surah al-Baqarah ayat 256 dahulu.
Dapatlah kita memahamkan sedalam-dalamnya betapa besar keluasan paham atau jiwa tasaamuh, atau toleransi yang terdapat dalam kedua kebolehan ini, yaitu boleh makan sembelihan mereka dan boleh mengawini pe-rempuan mereka. Ini adalah kebolehan yang diberikan kepada orang yang telah diseru pada permulaan pembukaan surah, di ayat 1 dan 2, yaitu, “Wahai orang-orang yang beriman!" Orang yang beriman niscaya telah ada sinar tauhid dalam dirinya; sekiranya dia ada seorang yang baik kalau bertetangga walaupun tetangganya lain agama, dan tidak ditakuti bahwa dia akan goyah dari agamanya karena berlain agama dengan istrinya. Dia akan tetap menjadi suami yang memimpin dalam rumah tangganya. Tentu dia akan memberikan contoh yang baik dalam kesalehan, ketaatan kepada Allah dan ibadah dan silaturrahmi. Sebagai suami tentu dia akan menjadi teladan yang baik bagi istrinya. Dan tentu dia pun akan berbaik-baik dengan seluruh ipar-besarnya yang berlain agama, ziarah-menziarahi, antar-mengantarkan makanan. Tetapi dapat pulalah kita mengambil paham dari ayat ini bahwa terhadap kepada laki-laki Islam yang lemah iman, keizinan ini tidak diberikan. Karena bagi yang lemah iman itu, “tukang pancing akan dilarikan ikan". Karena banyak kita lihat ketika negeri kita masih dijajah oleh Belanda yang berteguh dalam agama mereka, ada orang Islam tertarik nikah dengan perempuan Kristen, berakibat kucar-kacir agamanya, kacau balau kebangsaannya dan sengsara di akhir hidupnya. Hal ini sampai menjadi bahan roman yang indah dari salah seorang pahlawan kemerdekaan dan pujangga kita Abdul Muis, dengan bukunya Salah Asuhan.
Di dalam ayat ini bertemu perkataan Muh-shanat, yang kita artikan saja perempuan-perempuan merdeka, baik muhshanat Muk-minat orang Islam, atau muhshanat Ahlul Kitab. Dahulu telah pernah kita artikan kata muhshanat, yaitu perempuan yang terbenteng, artinya perempuan merdeka, perempuan baik-baik dan terhormat, bukan pezina dan budak-budak. Maka derajat mereka yang Mukminat dan Ahlul Kitab, sebagaimana istri laki-laki Islam yang beriman adalah disamakan oleh ayat ini. Ini dikuatkan benar-benar oleh sambungan ayat, “Dalam keadaan beraikah, bukan berzina dan bukan mengambil piaraan!' Dengan mulanya diberi ingat tentang membayar mahar terlebih dahulu dan ditekankan lagi dengan menyebut nikah, ditegaskanlah pendirian rumah tangga yang suci bersih, baik terhadap perempuan baik-baik sesama Islam atau perempuan baik-baik Ahlul Kitab. Itulah sebabnya maka dalam satu had its yang shahih Rasulullah mengatakan, hendaklah nikah itu diperlihatkan, diterangkan, sehingga
diketahui orang banyak, bahkan dianjurkan memukulkan duff, artinya genderang, tambur, atau dirayakan; asal jangan maksiat. Bukan berzina dan bukan memelihara perempuan di luar nikah, gendak atau gundik, atau nyai cara di Deli di zaman kemegahan kaum kapitalis tembakau dahulu.
“Dan barangsiapa yang menolak keimanan, maka sesungguhnya percumalah amalannya, dan adalah dia di akhirat dari golongan orang-orang yang rugi."
Ujung ayat ini umum bagi sekalian orang yang menolak hidup beriman dan memilih yang kufur. Dan boleh pula lebih dikhususkan kepada orang-orang Islam sendiri yang telah diberi izin bertoleransi yang demikian besar, boleh menikahi perempuan Ahlul Kitab. Yang mana, di antara mereka karena goyah iman, lalu lebih tertarik ke dalam agama istrinya, sehingga tinggal dan tanggallah imannya yang asal, dia sebagai tukang pancing yang dilarikan ikan, bukan dia yang menarik istrinya, melainkan dia yang terseret keluar dari Islam. Kalau sudah demikian, niscaya gugurlah dan percumalah segala amalannya yang selama ini, hiduplah dia menjadi orang kafir, dan kerugian besarlah yang akan dideritanya di akhirat.
Maka adalah orang yang langsung menjadi murtad, karena tarikan dan rayuan istri yang berlain agama, sehingga putuslah hubungannya dengan masyarakat Islam. Dan ada pula yang terkatung di tengah-tengah, tidak tentu lagi apa dia Islam apa dia Kristen, apa dia Yahudi. Sebab itu kebanyakan ulama menyatakan haram nikah orang laki-laki Islam yang imannya tidak kukuh, dengan perempuan Ahlul Kitab. Dan hendaklah dihalangi.