Ayat
Terjemahan Per Kata
إِلَّا
kecuali
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
تَابُواْ
(mereka) bertaubat
مِن
dari
قَبۡلِ
sebelum
أَن
bahwa
تَقۡدِرُواْ
kamu menguasai
عَلَيۡهِمۡۖ
atas mereka
فَٱعۡلَمُوٓاْ
maka ketahuilah
أَنَّ
bahwasanya
ٱللَّهَ
Allah
غَفُورٞ
Maha Pengampun
رَّحِيمٞ
Maha Penyayang
إِلَّا
kecuali
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
تَابُواْ
(mereka) bertaubat
مِن
dari
قَبۡلِ
sebelum
أَن
bahwa
تَقۡدِرُواْ
kamu menguasai
عَلَيۡهِمۡۖ
atas mereka
فَٱعۡلَمُوٓاْ
maka ketahuilah
أَنَّ
bahwasanya
ٱللَّهَ
Allah
غَفُورٞ
Maha Pengampun
رَّحِيمٞ
Maha Penyayang
Terjemahan
kecuali orang-orang yang bertobat sebelum kamu dapat menangkapnya. Maka, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Tafsir
(Kecuali orang-orang yang tobat) di antara orang-orang yang menyalakan api dan peperangan perampokan tadi (sebelum kamu dapat menguasai mereka, maka ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun) terhadap mereka atas perbuatan mereka itu (lagi Maha Penyayang) kepada mereka. Dalam ayat ini tidak disebutkan "janganlah mereka kamu jatuhi hukuman" untuk menunjukkan bahwa dengan bertobat itu yang gugur hanyalah hak Allah dan tidak hak manusia. Demikian yang dapat ditangkap dengan jelas dan saya lihat tidak seorang pun yang menentangnya, wallahu a`lam. Maka jika seseorang membunuh dan merampas harta, maka ia dihukum bunuh dan dipotong tetapi tidak disalib. Ini merupakan yang terkuat di antara kedua pendapat Syafii. Mengenai bertobat setelah ia dapat ditangkap, maka tak ada pengaruh dan manfaat apa-apa. Ini juga merupakan yang terkuat di antara kedua pendapat Imam Syafii.
Tafsir Surat Al-Ma'idah: 32-34
Oleh karena itu, Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara bersilang atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh azab yang besar,
Kecuali orang-orang yang bertobat (di antara mereka) sebelum kalian dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat 32
Allah ﷻ berfirman, "Karena anak Adam pernah membunuh saudaranya secara zalim dan permusuhan (maka) Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil." (Al-Maidah: 32)
Yakni Kami syariatkan kepada mereka dan Kami berlakukan terhadap mereka bahwa “barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (Al-Maidah: 32) Yakni barang siapa yang membunuh seorang manusia tanpa sebab seperti qisas atau membuat kerusakan di muka bumi, dan ia menghalalkan membunuh jiwa tanpa sebab dan tanpa dosa maka seakan-akan ia membunuh manusia seluruhnya, karena menurut Allah tidak ada bedanya antara satu jiwa dengan jiwa yang lainnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, yakni mengharamkan membunuhnya dan meyakini keharaman tersebut, berarti selamatlah seluruh manusia darinya berdasarkan pertimbangan ini. Untuk itulah Allah ﷻ berfirman: “Maka seolah-olah dia memelihara kehidupan manusia semuanya.” (Al-Maidah: 32)
Al-A'masy dan lain-lainnya telah meriwayatkan dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah yang telah menceritakan bahwa pada hari Khalifah Usman dikepung, Abu Hurairah masuk menemuinya, lalu berkata, "Aku datang untuk menolongmu, dan sesungguhnya situasi sekarang ini benar-benar sangat serius, wahai Amirul Muminin." Maka Usman ibnu Affan berkata, "Wahai Abu Hurairah, apakah kamu senang bila kamu membunuh seluruh manusia, sedangkan aku termasuk dari mereka?" Abu Hurairah menjawab, "Tidak." Usman berkata, "Karena sesungguhnya bila kamu membunuh seseorang lelaki, maka seolah-olah kamu telah membunuh manusia seluruhnya. Maka pergilah kamu dengan seizinku seraya membawa pahala, bukan dosa." Abu Hurairah melanjutkan kisahnya. Lalu aku pergi dan tidak ikut berperang."
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa hal itu sama dengan makna firman-Nya yang mengatakan: “Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (Al-Maidah: 32) Memelihara kehidupan artinya "tidak membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah membunuhnya." Demikianlah pengertian orang yang memelihara kehidupan manusia seluruhnya.
Dengan kata lain, barang siapa yang mengharamkan membunuh jiwa, kecuali dengan alasan yang benar, berarti kelestarian hidup manusia terpelihara darinya; demikianlah seterusnya.
Mujahid mengatakan bahwa barang siapa yang memelihara kehidupan jiwa seseorang, yakni menahan diri tidak membunuhnya.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Maka seolah-olah dia telah membunuh manusia seluruhnya.” (Al-Maidah: 32) Ibnu Abbas mengatakan bahwa barang siapa yang membunuh jiwa seseorang yang diharamkan oleh Allah membunuhnya, maka perumpamaannya sama dengan membunuh seluruh manusia.
Said ibnu Jubair telah mengatakan, "Barang siapa yang menghalalkan darah seorang muslim, maka seakan-akan dia menghalalkan darah manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang mengharamkan darah seorang muslim, maka seolah-olah dia mengharamkan darah manusia seluruhnya." Ini merupakan suatu pendapat, tetapi pendapat inilah yang terkuat.
Ikrimah dan Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa barang siapa yang membunuh seorang nabi atau seorang imam yang adil, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang mendukung sepenuhnya seorang nabi atau seorang imam yang adil, maka seakan-akan dia memelihara kehidupan manusia seluruhnya. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Mujahid menurut riwayat lain yang bersumberkan darinya mengatakan, "Barang siapa yang membunuh seorang manusia bukan karena telah membunuh seseorang, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Demikian itu karena barang siapa yang membunuh seseorang, maka baginya neraka, dan perihalnya sama seandainya dia membunuh manusia seluruhnya."
Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Al-A'raj, dari Mujahid sehubungan dengan firman-Nya: “Maka seolah-olah dia telah membunuh manusia seluruhnya.” (Al-Maidah: 32) Bahwa barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka Allah menyediakan neraka Jahanam sebagai balasannya, dan Allah murka terhadapnya serta melaknatinya dan menyiapkan baginya azab yang besar.
Dikatakan bahwa seandainya dia membunuh manusia seluruhnya, maka azabnya tidak melebihi dari azab tersebut (karena sudah maksimal).
Ibnu Juraij telah meriwayatkan bahwa Mujahid pernah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (Al-Maidah: 32) Bahwa barang siapa yang tidak pernah membunuh seseorang pun, berarti manusia selamat darinya.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam telah mengatakan, "Barang siapa yang membunuh seorang manusia, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya, yakni diwajibkan atas dirinya menjalani hukum qisas (pembalasan), tidak ada bedanya antara yang dibunuh adalah seorang manusia ataupun sejumlah orang. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan, yakni pihak wali darah memaafkan si pembunuh, maka seakan-akan dia memelihara kehidupan manusia seluruhnya."
Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh ayahnya (yakni Juraij) menurut Mujahid mengatakan dalam suatu riwayat, "Barang siapa yang memelihara kehidupan, yakni menyelamatkan (orang lain) dari tenggelam atau kebakaran atau kebinasaan."
Al-Hasan dan Qatadah telah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Barang siapa yang membunuh seorang manusia bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.” (Al-Maidah: 32) Di dalam makna ayat ini terkandung pengertian bahwa melakukan tindak pidana pembunuhan merupakan dosa yang sangat besar. Lalu Qatadah mengatakan, "Demi Allah, dosanya amat besar; demi Allah, pembalasannya sangat besar."
Ibnul Mubarak telah meriwayatkan dari Salam ibnu Miskin, dari Sulaiman ibnu Ali Ar-Rab'i yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Al-Hasan, "Ayat ini bagi kita, wahai Abu Sa'id, sama dengan apa yang diberlakukan atas kaum Bani Israil." Al-Hasan menjawab, "Memang benar, demi Tuhan yang tiada Tuhan selain Dia, sama seperti yang diberlakukan atas kaum Bani Israil, dan tiadalah Allah menjadikan darah kaum Bani Israil lebih mulia daripada darah kita.”
Al-Hasan Al-Basri telah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.” (Al-Maidah: 32) Yaitu dalam hal dosanya.
Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya.” (Al-Maidah: 32) Yakni dalam hal pahalanya.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepada kami Huyay ibnu Abdullah, dari Abu Abdur Rahman Al-Habli, dari Abdullah ibnu Amr yang mengatakan bahwa Hamzah ibnu Abdul Muttalib datang kepada Rasulullah ﷺ, lalu bertanya: “Wahai Rasulullah, berikanlah kepadaku sesuatu pegangan untuk kehidupanku.”
Rasulullah ﷺ menjawab, "Wahai Hamzah, jiwa seseorang yang kamu pelihara kehidupannya lebih kamu sukai ataukah jiwa seseorang yang kamu matikan?" Hamzah menjawab, "Tentu saja jiwa yang aku pelihara kehidupannya.” Rasulullah ﷺ bersabda, "Peliharalah dirimu.”
Firman Allah ﷻ: “Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan membawa keterangan-keterangan yang jelas.” (Al-Maidah: 32)
Yakni membawa hujah-hujah, bukti-bukti, dan keterangan-keterangan yang jelas lagi gamblang.
“Kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.” (Al-Maidah: 32) Ini suatu kecaman terhadap mereka dan sebagai hinaan kepada mereka (kaum Bani Israil) karena mereka melakukan pelbagai hal yang diharamkan, sesudah mereka mengetahui keharamannya.
Seperti yang telah dilakukan oleh Bani Quraizah dan Bani Nadir serta orang-orang Yahudi lainnya, seperti Bani Qainuqa' yang ada di sekitar Madinah. Dahulu di masa Jahiliah apabila terjadi peperangan, mereka ada yang berpihak kepada kabilah Aus, ada pula yang berpihak kepada kabilah Khazraj. Kemudian apabila perang berhenti, mereka menebus para tawanan perang dan membayar diat orang-orang yang telah mereka bunuh.
Allah ﷻ mengecam perbuatan mereka itu dalam surat Al-Baqarah: “Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji dari kalian (yaitu): kalian tidak akan menumpahkan darah kalian (membunuh orang), dan kalian tidak akan mengusir diri (saudara kalian sebangsa) dari kampung halaman kalian, kemudian kalian berikrar (akan memenuhinya), sedangkan kalian mempersaksikannya. Kemudian kalian (Bani Israil) membunuh diri (saudara sebangsa) dan mengusir segolongan dari kalian dari kampung halamannya, kalian bantu-membantu terhadap mereka dalam berbuat dosa dan permusuhan; tetapi jika mereka datang kepada kalian sebagai tawanan, kalian tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagi kalian. Apakah kalian beriman kepada sebagian Al-Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian dari kalian, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada azab yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kalian perbuat.” (Al-Baqarah: 84-85)
Ayat 33
Firman Allah ﷻ: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara bersilang atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya).” (Al-Maidah: 33), hingga akhir ayat. Al-muharabah artinya "berlawanan dan bertentangan.” Makna kalimat ini dapat ditunjukkan kepada pengertian "kafir, membegal di jalan dan meneror keamanan di jalan.” Demikian pula membuat kerusakan di muka bumi mempunyai pengertian yang banyak mencakup berbagai aneka kejahatan. Sehingga banyak dari kalangan ulama Salaf yang antara lain ialah Sa'id ibnul Musayyab mengatakan bahwa sesungguhnya menggenggam (menguasai) dirham dan dinar termasuk perbuatan menimbulkan kerusakan di muka bumi.
Allah ﷻ berfirman: “Dan apabila ia berpaling (dari mukamu), ia berjalan di bumi untuk membuat kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang-binatang ternak, dan Allah tidak menyukai pengrusakan.” (Al-Baqarah: 205) Kemudian sebagian dari mereka (ulama Salaf) ada yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang musyrik.
Sama halnya dengan apa yang telah dikatakan oleh Ibnu Jarir, bahwa telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Wadih, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Waqid, dari Yazid, dari Ikrimah dan Al-Hasan Al-Basri, keduanya telah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya. (Al-Maidah: 33) sampai dengan firman-Nya: “Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Maidah: 34); diturunkan berkenaan dengan orang-orang musyrik.
Barang siapa dari mereka yang bertobat sebelum kalian sempat menangkapnya, maka tiada jalan bagi kalian untuk menghukumnya. Tetapi ayat ini sama sekali tidak mengecualikan seorang muslim pun dari hukuman had jika ia melakukan pembunuhan atau mengadakan kerusakan di muka bumi, atau memerangi Allah dan Rasul-Nya, kemudian bergabung dengan orang-orang kafir sebelum kalian sempat menangkapnya. Hal tersebut tidak melindunginya dari hukuman had apabila dia memang melakukannya.
Imam Abu Dawud dan Imam An-Nasai meriwayatkan melalui jalur Ikrimah, dari Ibnu Abbas, yaitu mengenai firman-Nya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi.” (Al-Maidah: 33); Ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang musyrik. Dan siapa pun dari mereka yang telah bertobat sebelum kalian sempat menangkapnya, hal tersebut tidak dapat melindunginya dari hukuman had atas perbuatan yang telah dilakukannya.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi.” (Al-Maidah: 33), hingga akhir ayat. Dikatakan bahwa ada segolongan kaum dari kalangan Ahli Kitab yang antara mereka dan Nabi ﷺ terdapat perjanjian perdamaian, lalu mereka melanggar perjanjian itu dan membuat kerusakan di muka bumi. Maka Allah menyuruh Rasul-Nya memilih antara membunuh mereka atau memotong tangan dan kaki mereka secara bersilang jika suka. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Syu'bah telah meriwayatkan dari Mansur, dari Hilal ibnu Yusaf, dari Mus'ab ibnu Sa'd, dari ayahnya yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan golongan Haruriyah, yaitu firman-Nya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi.” (Al-Maidah: 33) Demikianlah riwayat menurut Ibnu Mardawaih.
Tetapi pendapat yang benar ialah yang mengatakan bahwa ayat ini mengandung makna umum mencakup orang-orang musyrik dan lain-lainnya yang melakukan perbuatan-perbuatan tersebut.
Seperti yang telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim melalui hadits Abu Qilabah yang bernama asli Abdullah ibnu Zaid Al-Jurmi Al-Basri, dari Anas ibnu Malik, bahwa ada segolongan kaum dari Bani Ukal yang jumlahnya delapan orang; mereka datang kepada Rasulullah ﷺ, lalu berbaiat (berjanji setia) kepadanya untuk membela Islam, lalu mereka membuat kemah di Madinah. Setelah itu mereka terkena suatu penyakit, lalu mengadu kepada Rasulullah ﷺ sakit yang mereka alami itu. Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda: “Maukah kalian keluar bersama penggembala kami berikut unta ternaknya lalu kalian berobat dengan meminum air seni dan air susu ternak itu.” Mereka menjawab, "Tentu saja kami mau." Lalu mereka keluar (berangkat menuju tempat penggembalaan ternak), kemudian meminum air seni serta air susu ternak itu. Tetapi setelah mereka sehat, penggembala itu mereka bunuh, sedangkan ternak untanya dilepas bebaskan. Ketika berita itu sampai kepada Rasulullah ﷺ, beliau mengirimkan sejumlah orang untuk mengejar mereka. Akhirnya mereka tertangkap, lalu dihadapkan kepada Nabi ﷺ. Maka Nabi ﷺ memerintahkan agar tangan dan kaki mereka dipotong, matanya ditusuk, kemudian dijemur di panas matahari hingga mati. Demikianlah menurut lafal Imam Muslim.
Menurut suatu lafal oleh keduanya (Bukhari dan Muslim) disebutkan dari Ukal atau Arinah, dan menurut lafal yang lain disebutkan bahwa mereka dilemparkan di padang pasir, lalu mereka meminta minum, tetapi tidak diberi minum (hingga mati).
Menurut suatu lafal oleh Imam Muslim, Nabi ﷺ tidak mengobati mereka lagi (melainkan pendarahannya dibiarkan hingga mati).
Sedangkan menurut apa yang ada pada Imam Bukhari disebutkan bahwa Abu Qilabah mengatakan, "Mereka adalah orang-orang yang telah mencuri, membunuh, dan kafir sesudah imannya serta memerangi Allah dan Rasul-Nya."
Imam Muslim meriwayatkannya pula melalui jalur Hasyim, dari Abdul Aziz ibnu Suhaib dan Humaid, dari Anas, lalu ia mengetengahkan hadits yang serupa. Dalam lafal riwayat ini disebutkan bahwa mereka terlebih dahulu murtad. Keduanya (Bukhari dan Muslim) telah mengetengahkannya melalui riwayat Qatadah, dari Anas dengan lafal yang serupa. Sa'id telah meriwayatkan dari Qatadah, bahwa mereka dari Ukal dan Arinah.
Imam Muslim telah meriwayatkan melalui jalur Sulaiman At-Taimi, dari Anas yang telah menceritakan bahwa sesungguhnya Nabi ﷺ mencongkel mata mereka, karena mereka telah mencongkel mata si penggembala itu.
Imam Muslim telah meriwayatkan pula melalui hadits Mu'awiyah ibnu Qurrah, dari Anas yang telah menceritakan bahwa datang kepada Rasulullah ﷺ segolongan orang dari Bani Arinah, lalu mereka masuk Islam dan menyatakan baiatnya kepada Nabi ﷺ, sedangkan saat itu di Madinah sedang mewabah sejenis penyakit yang dinamai Al-Mum, yaitu sama dengan penyakit Birsam.
Kemudian Imam Muslim mengetengahkan kisah mereka dan di dalamnya ditambahkan bahwa ternak unta itu digembalakan oleh seorang pemuda dari kalangan Anshar yang berusia hampir dua puluh tahun, lalu Nabi ﷺ melepaskan mereka, kemudian Nabi ﷺ mengirimkan pula seorang mata-mata untuk mengawasi gerak-gerik mereka. Semua yang telah disebutkan di atas menurut lafal Imam Muslim.
Hammad ibnu Salamah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qatadah dan Sabit Al-Bannani serta Humaid At-Tawil, dari Anas ibnu Malik, bahwa sejumlah orang dari kabilah Arinah datang ke Madinah, lalu mereka terserang penyakit yang sedang melanda Madinah. Maka Rasulullah ﷺ mengirimkan mereka ke tempat penggembalaan ternak unta hasil zakat, dan beliau ﷺ memerintahkan kepada mereka untuk meminum air seni dan air susu ternak unta itu (sebagai obatnya). Lalu mereka melakukannya dan ternyata mereka sehat kembali, tetapi sesudah itu mereka murtad dari Islam dan membunuh si penggembala itu, lalu menggiring ternak untanya. Maka Rasulullah ﷺ mengirimkan suatu pasukan untuk mengejar mereka. Akhirnya mereka tertangkap dan dihadapkan kepada Rasulullah ﷺ,lalu tangan dan kaki mereka dipotong secara bersilang dan mata mereka dicongkel (dibutakan), setelah itu tubuh mereka dijemur di padang pasir. Anas mengatakan, "Sesungguhnya aku melihat seseorang dari mereka menjilat-jilat tanah dengan mulutnya karena kehausan, hingga akhirnya mereka semua mati.” Dan turunlah firman-Nya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya.” (Al-Maidah: 33), hingga akhir ayat. Imam Abu Dawud, Imam At-Tirmidzi, dan Imam An-Nasai serta Ibnu Mardawaih telah meriwayatkannya pula, dan inilah lafaznya.
Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih.
Ibnu Mardawaih telah meriwayatkannya melalui berbagai jalur yang cukup banyak dari Anas Ibnu Malik, antara lain melalui dua jalur dari Salam ibnus Sahba, dari Sabit, dari Anas ibnu Malik. Salam mengatakan bahwa ia tidak pernah menyesal karena hadits yang pernah ditanyakan oleh Al-Hajjaj. Al-Hajjaj berkata kepadanya, “Ceritakanlah kepadaku tentang hukuman yang paling keras yang pernah dilakukan oleh Rasulullah ﷺ."
Lalu ia menjawab,"Pernah datang kepada Rasulullah ﷺ suatu kaum dari kabilah Arinah yang tinggal di Bahrain. Lalu mereka mengadu kepada Rasulullah ﷺ tentang penyakit yang dirasakan oleh perut mereka. Saat itu warna tubuh mereka telah menguning dan perut mereka kembung. Maka Rasulullah ﷺ memerintahkan mereka agar datang ke tempat penggembalaan ternak unta sedekah (zakat) untuk meminum air seni dan air susunya. Setelah kesehatan mereka pulih dan perut mereka telah kempes seperti sediakala, tiba-tiba mereka menyerang si penggembala dan membunuhnya serta membawa lari ternak untanya.
Maka Rasulullah ﷺ mengirimkan sejumlah pasukan untuk mengejar mereka, lalu tangan dan kaki mereka dipotong serta mata mereka dibutakan, kemudian dilemparkan di tengah padang pasir hingga mati." Dikatakan bahwa Al-Hajjaj, apabila naik ke atas mimbarnya acapkali mengatakan, "Sesungguhnya Rasulullah ﷺ pernah memotong tangan dan kaki suatu kaum, kemudian melemparkan tubuh mereka ke padang pasir hingga mati, karena mereka merampok sejumlah ternak unta." Dan tersebutlah bahwa Al-Hajjaj sering berdalilkan hadits ini terhadap orang-orang.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Sahl, telah menceritakan kepada kami Al-Walid yakni Ibnu Muslim, telah menceritakan kepadaku Sa'id, dari Qatadah, dari Anas yang telah menceritakan bahwa mereka berjumlah empat orang dari kabilah Arinah dan tiga orang dari kabilah Ukal. Ketika mereka telah ditangkap dan dihadapkan ke pengadilan Rasulullah ﷺ, maka tangan dan kaki mereka dipotong serta mata mereka dibutakan (dicongkel) tanpa diobati lagi. Lalu mereka dibiarkan memakan batu-batu kerikil di padang pasir. Sehubungan dengan peristiwa ini turunlah firman-Nya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya.” (Al-Maidah: 33), hingga akhir ayat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Harb Al-Mausuli, telah menceritakan kepada kami Abu Mas'ud yakni Abdur Rahman ibnul Hasan Az-Zajjaj, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id yakni Al-Baqqal dari Anas ibnu Malik yang telah mengatakan bahwa ada segolongan orang dari kabilah Arinah datang kepada Rasulullah ﷺ dalam keadaan kepayahan, warna tubuh mereka telah menguning, dan perut mereka kembung.
Maka Rasulullah ﷺ memerintahkan kepada mereka agar tinggal di tempat ternak unta digembalakan untuk meminum air seni dan air susunya. Lalu mereka melakukannya hingga warna tubuh mereka kembali seperti sediakala, perut mereka kempes, dan tubuh mereka segar dan gemuk kembali. Tetapi mereka membunuh penggembala ternak unta itu dan menggiring ternak untanya.
Maka Nabi ﷺ mengirimkan sejumlah pasukan untuk mengejar mereka. Akhirnya mereka tertangkap, lalu dihadapkan kepada Rasulullah ﷺ; sebagian dari mereka dihukum mati, sebagian dicongkel matanya, sedangkan sebagian yang lain dipotong tangan dan kakinya. Kemudian turunlah ayat berikut: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya.” (Al-Maidah: 33), hingga akhir ayat.
Abu Ja'far ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Ali ibnu Sahl, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, dari Yazid ibnu Abu Habib, bahwa Abdul Malik ibnu Marwan pernah berkirim surat kepada Anas untuk menanyakan tentang makna ayat ini. Maka Anas membalas suratnya yang isinya memberitakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan segolongan orang dari kabilah Arinah dan Bajilah. Anas mengatakan bahwa mereka murtad dari Islam dan membunuh si penggembala serta menggiring untanya, membegal di jalanan, dan memperkosa wanita.
Abu Ja'far mengatakan bahwa telah menceritakan kepadaku Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Amr ibnul Haris, dari Said ibnu Abu Hilal, dari Abuz Zanad, dari Abdullah ibnu Ubaidillah, dari Abdullah ibnu Umar atau Amr -Yunus ragu- dari Rasulullah ﷺ mengenai kisah orang-orang Arinah ini dan ayat muharabah diturunkan berkenaan dengan mereka. Abu Dawud dan Imam An-An-Nasai meriwayatkannya melalui jalur Abuz Zanad yang di dalam sanadnya disebutkan dari Ibnu Umar tanpa ragu.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Khalaf, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Hammad, dari Amr ibnu Hasyim, dari Musa ibnu Ubaidah, dari Muhammad ibnu Ibrahim, dari Jarir. Disebutkan bahwa telah datang kepada Rasulullah ﷺ suatu kaum dari kabilah Arinah tanpa memakai alas kaki lagi dalam keadaan sakit.
Maka Rasulullah ﷺ memerintahkan mereka agar berobat. Setelah mereka sehat kembali dan kuat seperti semula, mereka membunuh penggembala unta, lalu kabur dengan membawa ternak untanya dengan tujuan tempat tinggal kaumnya. Jarir melanjutkan kisahnya. Maka Rasulullah ﷺ mengutusku bersama sejumlah orang dari kaum muslim, hingga kami dapat mengejar mereka, sesudah mereka hampir tiba di tempat tinggal kaumnya. Kemudian kami hadapkan mereka kepada Rasulullah ﷺ, lalu tangan dan kaki mereka dipotong secara bersilang, serta mata mereka dicongkel. Mereka minta air karena kehausan, tetapi Rasulullah ﷺ menjawabnya dengan kalimat, 'Api, hingga mereka mati." Jarir melanjutkan kisahnya, "Setelah itu Allah tidak senang akan hukuman mencongkel mata, lalu Dia menurunkan firman-Nya: ‘Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya’.” (Al-Maidah: 33), hingga akhir ayat.
Hadits ini gharib (asing), di dalam sanadnya terdapat Ar-Rabzi yang dha’if. Tetapi di dalam matan hadisnya terkandung keterangan yang lebih, yaitu disebutkannya nama pemimpin dari sariyyah (pasukan) kaum muslim yang mengejar para pemberontak itu, yaitu Jarir ibnu Abdullah Al-Bajali. Dalam hadits yang lalu dari kitab Shahih Muslim telah disebutkan bahwa sariyyah ini berjumlah dua puluh orang pasukan berkuda, semuanya dari kalangan Anshar. Adapun mengenai kalimat yang mengatakan bahwa Allah tidak menyukai hukuman mencongkel mata, lalu Allah menurunkan ayat ini, sesungguhnya predikat kalimat ini munkar (tidak dapat diterima), karena dalam hadits yang lalu dari Shahih Muslim telah disebutkan bahwa orang-orang Arinah itu telah mencongkel mata si penggembala, maka apa yang diberlakukan terhadap mereka merupakan hukum qisas.
Abdur Razzaq telah meriwayatkan dari Ibrahim ibnu Muhammad Al-Aslami, dari Saleh maula At-Tauamah, dari Abu Hurairah yang telah menceritakan bahwa pernah datang sejumlah lelaki dari Bani Fazzarah yang kelihatan kurus sekali, maka Nabi ﷺ memerintahkan mereka untuk tinggal di tempat penggembalaan ternak untanya. Lalu mereka meminum air susu dan air seninya hingga sehat, kemudian mereka pun pergi ke tempat penggembalaannya, setelah itu mereka mencuri ternak unta tersebut. Lalu mereka dikejar dan dihadapkan kepada Nabi ﷺ, maka Nabi ﷺ memotong tangan dan kaki mereka, sedangkan mata mereka dicongkel.
Abu Hurairah melanjutkan kisahnya, bahwa berkenaan dengan merekalah ayat ini diturunkan, yakni firman-Nya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya.” (Al-Maidah: 33) Nabi ﷺ membiarkan hukuman mencongkel mata sesudah itu.
Telah diriwayatkan melalui jalur lain, dari Abu Hurairah juga. Untuk itu, Abu Bakar ibnu Mardawaih mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Ishaq At-Tusturi, telah menceritakan kepada kami Abul Qasim Muhammad ibnul Walid, dari Amr ibnu Muhammad Al-Madini, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Talhah, dari Musa ibnu Muhammad ibnu Ibrahim At-Taimi, dari ayahnya, dari Abu Salamah ibnu Abdur Rahman, dari Salamah ibnul Akwa' yang telah menceritakan bahwa Nabi ﷺ mempunyai seorang budak laki-laki yang dikenal dengan nama Yasar.
Nabi ﷺ melihatnya mengerjakan shalat dengan baik, maka Nabi ﷺ memerdekakannya, kemudian mengirimkannya untuk menggembalakan ternak unta milik Nabi ﷺ di Harrah. Sejak saat itu Yasar tinggal di Harrah. Kemudian ada suatu kaum dari Arinah yang menampakkan diri masuk Islam dan mereka datang dalam keadaan sakit lagi lemah, sedangkan perut mereka kembung. Maka Nabi ﷺ mengirim mereka kepada Yasar, lalu mereka minum air susu ternak unta itu hingga perut mereka sembuh. Tetapi sesudah itu mereka menyerang Yasar dan menyembelihnya serta menusuk kedua matanya dengan duri, lalu ternak untanya mereka bawa kabur. Lalu Nabi ﷺ mengirimkan sejumlah pasukan berkuda untuk mengejar mereka di bawah pimpinan Kurz ibnu Jabir Al-Fihri. Akhirnya mereka dapat mengejarnya, lalu ditangkap dan dihadapkan kepada Nabi ﷺ. Maka Nabi ﷺ memotong tangan dan kaki mereka serta menusuk mata mereka.
Hadits ini berpredikat gharib jiddan (sangat asing). Kisah mengenai orang-orang Arinah ini telah diriwayatkan melalui hadits sahabat Nabi ﷺ, antara lain Jabir, Aisyah, dan lain-lainnya. Al-Hafizh Al-Jalil Abu Bakar ibnu Mardawaih telah menyusun jalur-jalur hadits ini melalui berbagai periwayatan yang cukup banyak.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ali ibnul Hasan ibnu Syaqiq yang mengatakan bahwa ayahnya pernah berkata, "Aku pernah mendengar Abu Hamzah bercerita, dari Abdul Karim yang ditanya mengenai masalah air seni unta. Maka Abdul Karim menjawab, 'Telah menceritakan kepadaku Sa'id ibnu Jubair mengenai kisah muharibin (para pemberontak).' Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ kedatangan sejumlah orang, lalu mereka berkata, 'Kami berbaiat kepadamu untuk masuk Islam.' Maka mereka menyatakan baiatnya kepada Nabi ﷺ, padahal mereka dusta, dan bukan Islam yang mereka kehendaki.
Kemudian mereka berkata, 'Sesungguhnya kami terserang penyakit di Madinah ini.' Maka Nabi ﷺ bersabda: ‘Ternak unta ini datang dan pergi kepada kalian, maka minumlah dari air seni dan air susunya.’ Ketika mereka dalam keadaan demikian, tiba-tiba datanglah seseorang meminta tolong kepada Rasulullah ﷺ lalu berkata, 'Mereka telah membunuh penggembala ternak unta dan membawa kabur ternak untanya.' Lalu Nabi ﷺ mengeluarkan perintahnya dan menyerukan kepada para sahabatnya: ‘Wahai pasukan berkuda Allah, berangkatlah!’ Maka mereka menaiki kudanya masing-masing tanpa menunggu-nunggu yang lainnya, sedangkan Rasulullah ﷺ sendiri mengendarai kudanya di belakang mereka. Pasukan kaum muslim terus mencari dan mengejar mereka hingga mereka memasuki daerah yang aman bagi mereka.
Lalu para sahabat Rasulullah ﷺ kembali (ke Madinah) dengan membawa tawanan sebagian dari mereka. Mereka menghadapkan para tawanan itu kepada Rasulullah ﷺ, lalu turunlah firman-Nya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya.” (Al-Maidah- 33) hingga akhir ayat. Dan tersebutlah bahwa hukuman pembuangan yang dialami oleh mereka ialah di tempat yang aman bagi mereka, tetapi jauh dari negeri tempat tinggalnya dan jauh dari negeri tempat tinggal kaum muslim. Nabi ﷺ menghukum mati sebagian dari mereka, lalu disalib, dipotong (tangan dan kakinya), dan ditusuk matanya."
Sa'id ibnu Jubair mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ tidak pernah melakukan hukuman cincang, baik sebelum ataupun sesudahnya, melainkan hanya kali itu saja. Nabi ﷺ melarang muslah (menghukum cincang) melalui sabdanya, "Janganlah kalian melakukan hukuman cincang." Said ibnu Jubair mengatakan bahwa Anas mengucapkan kalimat tersebut, hanya saja dia mengatakan bahwa Nabi ﷺ membakar mereka sesudah mereka mati. Ibnu Jarir mengatakan, sebagian di antara mereka ada yang mengatakan bahwa para pemberontak itu dari Bani Salim, dan sebagiannya dari Arinah serta sejumlah orang dari Bajilah.
Para imam berselisih pendapat mengenai hukum orang-orang Arinah itu, apakah mansukh atau muhkam. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa hukum itu telah di-mansukh oleh ayat ini, dan mereka menduga bahwa di dalam ayat ini terkandung teguran terhadap Nabi ﷺ, sama halnya dengan teguran yang terkandung di dalam firman-Nya: “Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang)?” (At-Taubah: 43) Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa hukum ini di-mansukh oleh larangan Nabi ﷺ yang menyatakan tidak boleh me-muslah (menghukum cincang); tetapi pendapat ini masih perlu dipertimbangkan lagi, kemudian orang yang mengatakannya dituntut untuk menjelaskan keterbelakangan nasikh (pengganti) yang didakwakannya itu dari mansukh-nya (yang diganti).
Sebagian dari mereka ada yang mengatakan bahwa hukum ini terjadi sebelum diturunkan hukum-hukum mengenai had. Muhammad Ibnu Sirin mengatakan bahwa pendapat ini perlu dipertimbangkan lagi, mengingat kisah kejadiannya belakangan. Di dalam riwayat Jarir ibnu Abdullah mengenai kisah mereka disebutkan hal yang menunjukkan keterbelakangannya, karena Jarir ibnu Abdullah masuk Islam sesudah surat Al-Maidah diturunkan. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa Nabi ﷺ tidak membutakan mata mereka, melainkan hanya berniat akan melakukan hal tersebut, tetapi keburu diturunkan ayat Al-Qur'an yang menjelaskan hukum para pemberontak. Pendapat ini pun masih perlu dipertimbangkan lagi, karena dalam hadits yang telah muttafaq di atas disebutkan bahwa Nabi ﷺ membutakan mata mereka.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Sahl, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim yang telah menceritakan bahwa ia pernah membicarakan dengan Al-Al-Laits ibnu Sa'd mengenai hukuman membutakan mata yang dilakukan oleh Nabi ﷺ terhadap mereka dan membiarkan mereka tanpa mengobatinya hingga mati semua. Maka Al-Laits ibnu Sa'd mengatakan, "Aku pernah mendengar Muhammad ibnu Ajlan mengatakan bahwa ayat ini diturunkan kepada Rasulullah ﷺ sebagai teguran terhadapnya dalam peristiwa itu, dan mengajarkan kepadanya cara menjatuhkan hukum terhadap orang-orang yang serupa dengan mereka, yaitu dihukum mati, dipotong anggota tubuhnya, dan diasingkan. Setelah peristiwa itu Nabi ﷺ tidak melakukan hukuman membutakan mata lagi terhadap yang lainnya."
Al-Walid ibnu Muslim mengatakan, "Lalu pendapat ini dikemukakan kepada Abu Amr, yakni Al-Auza'i. Maka Al-Auza'i menyanggah pendapat yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan sebagai teguran kepada Nabi ﷺ dan ia mengatakan bahwa bahkan sanksi itu ditetapkan sebagai hukuman terhadap orang-orang tersebut secara khusus, kemudian diturunkan ayat ini yang menjelaskan hukuman terhadap orang-orang selain mereka yang melakukan pemberontakan sesudahnya, dan hukuman membutakan mata dihapuskan."
Jumhur ulama telah menyimpulkan dari keumuman makna ayat ini, bahwa hukum muharabah yang dilakukan di kota-kota besar dan di jalan-jalan penghubung sama saja, karena berdasarkan firman-Nya: “Dan membuat kerusakan di muka bumi.” (Al Maidah 33) Demikianlah menurut mazhab Imam Malik, Al-Auza'i, Al-Al-Laits ibnu Sa'd, Asy-Syafii dan Ahmad ibnu Hambal. Sehingga Imam Malik mengatakan sehubungan dengan seseorang yang diculik, lalu ditipu dimasukkan ke dalam sebuah rumah, kemudian dibunuh dan semua barangnya dirampok bahwa hal ini dimasukkan ke dalam kategori muharabah. Maka darahnya diberikan kepada sultan, bukan kepada wali si terbunuh. Untuk itu, tidak dianggap pemaafan dari pihak wali si terbunuh dalam menggugurkan hukuman mati terhadap pelakunya.
Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya mengatakan bahwa muharabah hanya dilakukan di jalan-jalan yang sepi. Jika dilakukan di dalam kota, maka bukan muharabah, karena si terzalimi dapat meminta tolong kepada orang lain. Lain halnya jika dilakukan di tengah jalan, jauh dari orang-orang yang dimintai tolong dan dari orang yang mau membantunya.
Firman Allah ﷻ: “Hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara bersilang atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya).” (Al-Maidah: 33)
Ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini mengenai hukuman mengangkat senjata terhadap golongan Islam dan melakukan teror di tengah jalan, kemudian dapat ditangkap dan dihadapkan ke pengadilan, maka imam kaum muslim boleh memilih salah satu di antara hukuman-hukuman berikut, yaitu jika ia suka boleh menghukum mati, menghukum salib, boleh pula menghukum potong tangan dan kaki secara bersilang.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Sa'id ibnul Musayyab, Mujahid, ‘Atha’, Al-Hasan Al-Basri, Ibrahim An-Nakha'i, dan Ad-Dhahhak. Semuanya itu diriwayatkan oleh Abu Ja'far ibnu Jarir. Hal yang serupa telah diriwayatkan dari Malik ibnu Anas. Sandaran pendapat ini berdasarkan analisis nahwu yang menyatakan bahwa lahiriah au menunjukkan makna takhyir, sama halnya dengan hal-hal lainnya yang serupa di dalam Al-Qur'an, seperti dalam masalah denda berburu, yaitu firman-Nya: “Maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kalian sebagai hadya yang dibawa sampai ke Ka'bah, atau (dendanya) membayar kifarat dengan memberi makan orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu.” (Al-Maidah: 95) Juga seperti dalam firman Allah ﷻ mengenai kifarat fidyah, yaitu: “Jika ada di antara kalian yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban.” (Al-Baqarah: 196) Dan seperti dalam firman-Nya mengenai kifarat sumpah, yaitu: “Memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kalian berikan kepada keluarga kalian, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak.” (Al-Maidah: 89) Semuanya ini menunjukkan makna takhyir (pilihan), maka demikian pula makna di dalam ayat ini.
Jumhur ulama mengatakan bahwa ayat ini (Al-Maidah: 33) penerapan hukumnya melihat keadaan-keadaan yang terjadi, seperti yang dikatakan oleh Abu Abdullah Asy-Syafii, bahwa telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Abu Yahya, dari Saleh Maula At-Tauamah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan dengan masalah pembegal di jalan apabila membunuh, merampok harta, maka hukumannya adalah dibunuh dan disalib.
Apabila mereka membunuh tanpa merampok harta, maka hukumannya ialah dibunuh tanpa disalib. Apabila mereka hanya merampok harta tanpa membunuh, maka mereka tidak dihukum mati, melainkan hanya dipotong tangan dan kakinya secara bersilang. Apabila mereka hanya membuat orang-orang takut melewati jalan tanpa merampok, maka hukumannya hanya diasingkan dari negeri tempat tinggalnya.
Ibnu Abu Syaibah telah meriwayatkan dari Abdur Rahim ibnu Sulaiman, dari Hajjaj, dari Atiyyah, dari Ibnu Abbas hal yang serupa. Dan juga telah diriwayatkan hal yang serupa dari Abu Mijlaz, Sa'id ibnu Jubair, Ibrahim An-Nakhai, Al-Hasan, Qatadah, As-Suddi, dan ‘Atha’ Al-Khurrasani. Hal yang sama telah dikatakan pula oleh bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf dan para imam.
Mereka berselisih pendapat, apakah hukuman salib dilakukan dalam keadaan si terpidana masih hidup, lalu dibiarkan hingga mati tanpa diberi makan dan minum, atau dibunuh dengan tombak dan senjata lainnya; ataukah dibunuh terlebih dahulu, kemudian disalib, sebagai pelajaran dan peringatan buat yang lainnya dari kalangan orang-orang yang gemar membuat kerusakan di muka bumi (pemberontak).
Apakah masa penyalibannya tiga hari, lalu diturunkan; ataukah dibiarkan sampai nanahnya keluar mengalir dari tubuhnya. Sehubungan dengan masalah ini semuanya masih terdapat perbedaan pendapat, hal ini akan diterangkan pada bagian tersendiri. Hanya kepada Allah sajalah kami percaya dan hanya kepada-Nyalah kami bertawakal. Perincian hukuman ini diperkuat dengan adanya sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir di dalam kitab Tafsir-nya, jika sanadnya shahih.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Ali Ibnu Sahl, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, dari Ibnu Lahiah dari Yazid ibnu Abu Habib, bahwa Abdul Malik ibnu Marwan berkirim surat kepada Anas ibnu Malik menanyakan kepadanya tentang makna ayat ini (Al-Maidah 33). Maka Anas ibnu Malik menjawab suratnya yang di dalamnya disebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan segolongan orang dari Bani Arinah, mereka dari Bajilah.
Anas r.a melanjutkan kisahnya, "Lalu mereka murtad dari Islam dan membunuh penggembala ternak unta serta menggiring untanya, kemudian mengadakan teror di tengah jalan dengan membegal (merampok) dan memperkosa." Anas ibnu Malik melanjutkan kisahnya, "Lalu Rasulullah ﷺ bertanya kepada Malaikat Jibril a.s. mengenai hukum orang yang memberontak. Maka Malaikat Jibril menjawab, 'Barang siapa yang mencuri (merampok) harta dan meneror di jalanan, maka potonglah tangannya karena mencuri, dan potonglah kakinya karena perbuatan terornya. Barang siapa yang membunuh, maka bunuh pulalah dia; dan barang siapa yang membunuh dan melakukan teror serta memperkosa, maka saliblah dia'."
Adapun mengenai firman-Nya yang mengatakan: “Atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya).” (Al-Maidah: 33) Sebagian dari mereka mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah "pelakunya dikejar hingga tertangkap, lalu dijatuhi hukuman had, atau ia lari dari negeri Islam.”
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir, dari Ibnu Abbas, Anas ibnu Malik, Sa'id ibnu Jubair, Adh-Dhahhak, Ar-Rabi' ibnu Anas, Az-Zuhri, Al-Al-Laits ibnu Sa'd, dan Malik ibnu Anas.
Sedangkan yang lainnya mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah "pelakunya dibuang dari negeri tempat tinggalnya ke negeri lain, atau hubungan muamalah dengannya diputuskan sama sekali oleh sultan atau wakilnya, tidak boleh ada seorang pun yang bermuamalah dengannya."
Menurut Asy-Sya'bi, makna yang dimaksud ialah "dipecat dari semua pekerjaannya", seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hubairah.
‘Atha’ Al-Khurrasani mengatakan, pelakunya dipenjara dari satu penjara ke penjara yang lainnya selama beberapa tahun, tetapi tidak dikeluarkan dari negeri Islam. Hal yang sama telah dikatakan oleh Said ibnu Jubair, Abusy Sya'sa, Al-Hasan, Az-Zuhri, Adh-Dhahhak, dan Muqatil ibnu Hayyan. Disebutkan bahwa pelakunya diasingkan, tetapi tidak dikeluarkan dari negeri Islam. Ulama lainnya mengatakan, yang dimaksud dengan pengasingan atau an-nafyu ialah dipenjara. Demikianlah menurut pendapat Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya.
Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksud istilah an-nafyu dalam ayat ini ialah diasingkan dari suatu negeri ke negeri lain dan dipenjara di dalamnya.
Firman Allah ﷻ: “Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh azab yang besar.” (Al-Maidah: 33)
Yakni apa yang telah Kusebutkan mengenai dibunuhnya mereka dan disalibnya mereka serta tangan dan kaki mereka dipotong secara bersilang, serta dibuangnya mereka dari negeri tempat tinggalnya; hal tersebut merupakan kehinaan bagi mereka di mata manusia dalam kehidupan dunia ini, di samping azab besar yang telah disediakan oleh Allah buat mereka di hari kiamat nanti.
Pengertian ini memperkuat pendapat orang yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang musyrik. Mengenai baiat yang ditetapkan kepada pemeluk Islam, disebutkan di dalam kitab Shahih Muslim melalui Ubadah ibnus Samit yang telah menceritakan, "Rasulullah ﷺ telah mengambil janji dari kami sebagaimana beliau telah mengambil janji dari kaum wanita, yaitu kami tidak boleh mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun, tidak boleh mencuri, tidak boleh berzina, tidak boleh membunuh anak-anak kita, dan tidak boleh membenci (memusuhi) sebagian yang lain. Maka barang siapa yang menunaikannya di antara kalian, pahalanya ada pada Allah. Dan barang siapa yang melakukan sesuatu dari larangan tersebut, lalu ia dihukum, maka hukuman itu merupakan kifarat bagi (dosa)nya. Barang siapa yang ditutupi oleh Allah, maka perkaranya terserah kepada Allah; jika Dia menghendaki mengazabnya, pasti Dia mengazabnya; dan jika Dia menghendaki memaafkannya, niscaya Dia memaafkannya"
Dari Ali disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang melakukan suatu perbuatan dosa di dunia, lalu ia dihukum karenanya, maka Allah Maha Adil untuk menduakalikan hukuman-Nya terhadap hamba-Nya. Dan barang siapa yang melakukan suatu perbuatan dosa di dunia, lalu Allah menutupinya dan memaafkannya, maka Allah Maha Pemurah untuk menggugatnya dalam sesuatu dosa yang telah dimaafkan-Nya.”
Hadits diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam At-Tirmidzi, dan Imam Ibnu Majah, dan Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib. Al-Hafidzh Ad-Daruqutni pernah ditanya mengenai hadits ini, maka ia mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan secara marfu' dan mauquf. Selanjutnya ia mengatakan bahwa yang marfu' adalah shahih.
Ibnu Jarir telah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia.” (Al-Maidah: 33); Yakni keburukan, keaiban, pembalasan, kehinaan, dan hukuman yang disegerakan di dunia sebelum azab di akhirat.
“Dan di akhirat mereka mendapat azab yang besar.” (Al-Maidah:33); Yakni apabila mereka tidak bertobat dari perbuatannya itu hingga mati, maka di akhirat selain dari pembalasan yang Kutimpakan atasnya di dunia dan azab yang Kutimpakan padanya di dunia, mereka mendapat azab yang besar, yakni dimasukkan ke dalam neraka Jahanam.
Ayat 34
Firman Allah ﷻ: “Kecuali orang-orang yang bertobat (di antara mereka) sebelum kalian dapat menguasai (menangkap) mereka; maka ketahuilah bahwasanya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Maidah: 34)
Jika pengertian ayat ini ditujukan kepada orang-orang musyrik, maka sudah jelas. Jika ditujukan terhadap orang-orang muslim yang memberontak, maka bila mereka bertobat sebelum sempat ditangkap, maka gugurlah dari mereka kepastian hukuman mati, hukuman disalib, dan hukuman pemotongan kaki.
Tetapi apakah hukuman potong tangan ikut gugur pula? Ada dua pendapat di kalangan para ulama mengenainya. Makna lahiriah ayat memberikan pengertian gugurnya semua hukuman. Pendapat inilah yang diberlakukan oleh para sahabat.
Seperti apa yang dikatakan oleh Ibnu Abu Hatim bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, dari Mujalid, dari Asy-Sya'bi yang telah mengatakan, "Dahulu Harisah ibnu Badr At-Tamimi dari kalangan penduduk Basrah melakukan kerusakan di bumi dan memberontak. Lalu ia meminta perlindungan keamanan kepada beberapa orang Quraisy, antara lain ialah Al-Hasan ibnu Ali, Ibnu Abbas, dan Abdullah ibnu Ja'far.
Kemudian mereka berbicara kepada Khalifah Ali mengenainya, dan ternyata Khalifah Ali tidak mau memberikan jaminan keamanan kepadanya. Lalu ia datang kepada Sa'id ibnu Qais Al-Hamdani, maka Sa'id meninggalkannya di rumah. Kemudian ia sendiri datang menghadap Khalifah Ali dan berkata kepadanya, 'Wahai Amirul Muminin, bagaimanakah pendapatmu mengenai orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya serta menimbulkan kerusakan di muka bumi?' Ali membacakan Al-Qur'an sampai kepada firman-Nya: “Kecuali orang-orang yang tobat (di antara mereka) sebelum kalian dapat menguasai (menangkap) mereka.” (Al-Maidah: 34) Maka Khalifah Ali memberikan jaminan keamanan kepadanya." Sa'id ibnu Qais mengatakan bahwa sesungguhnya dia adalah Harisah ibnu Badr.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui berbagai jalur dari Mujalid dan Asy-Sya'bi dengan lafal yang sama, dan ditambahkan bahwa Harisah ibnu Badr mengucapkan sebuah syair yang artinya: “Mengapa ia tidak sampai kepada Hamdan, mengapa tidak menjumpainya, sekalipun jauh tiada seorang musuh pun yang mencelanya selamat darinya. Demi umur ayahnya, sesungguhnya Hamdan bertakwa kepada Tuhan dan khatibnya memutuskan dengan Al-Kitab.”
Ibnu Jarir telah meriwayatkan melalui jalur Sufyan Ats-Tsauri, dari As-Suddi, dan dari jalur Asy-'as, keduanya dari Amir Asy-Sya'bi yang telah menceritakan bahwa seorang lelaki dari Murad datang kepada Abu Musa yang saat itu berada di Kufah dalam masa pemerintahan Khalifah Usman sesudah shalat fardu. Lalu lelaki itu berkata, "Wahai Abu Musa, ini adalah kedudukan orang yang meminta perlindungan kepadamu, aku adalah Fulan bin Fulan Al-Muradi, dan sesungguhnya dahulu aku memerangi Allah dan Rasul-Nya serta berjalan di muka bumi dengan menimbulkan kerusakan. Dan sesungguhnya aku telah bertobat sebelum kalian sempat menangkapku." Maka Abu Musa menjawab, "Sesungguhnya orang ini adalah Fulan bin Fulan, dan sesungguhnya dahulu ia memerangi Allah dan Rasul-Nya serta berjalan di muka bumi dengan menimbulkan kerusakan. Dan sesungguhnya dia sekarang telah bertobat sebelum kita sempat menangkapnya. Karena itu, barang siapa yang berjumpa dengannya, janganlah ia menghalang-halanginya kecuali dengan baik. Jika dia benar-benar bertobat, maka jalan yang dia tempuh adalah benar; dan jika dia dusta, niscaya dosa-dosanya akan menjerat dirinya sendiri." Kemudian lelaki itu bermukim selama masa yang dikehendaki oleh Allah, tetapi setelah itu ia memberontak, maka Allah menjeratnya karena dosa-dosanya, akhirnya ia terbunuh.
Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ali, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim yang telah mengatakan bahwa Al-Al-Laits mengatakan, "Demikian pula telah menceritakan kepadaku Musa ibnu Ishaq Al-Madani yang menjadi amir di kalangan kami, bahwa Ali Al-Asadi melakukan pemberontakan dan membegal (merampok) di jalanan serta membunuh dan merampok harta, lalu ia dicari oleh para imam dan kalangan awam. Tetapi ia bertahan dan mereka tidak mampu menangkapnya hingga dia datang sendiri seraya bertobat."
Itu terjadi ketika ia mendengar seorang lelaki membaca ayat berikut, yaitu firman-Nya: “Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.” (Az-Zumar: 53) Lalu ia berhenti untuk mendengarkannya secara baik-baik, dan berkata, "Wahai hamba Allah, ulangilah bacaannya." Maka lelaki yang membaca Al-Qur'an itu mengulangi lagi bacaannya untuk dia.
Setelah itu Al-Asadi menyarungkan pedangnya, dan datang ke Madinah dalam keadaan telah bertobat di waktu sahur. Lalu ia mandi terlebih dahulu dan datang ke masjid Rasul untuk melakukan shalat Subuh. Setelah shalat ia duduk di dekat Abu Hurairah yang dikelilingi oleh murid-muridnya. Setelah pagi agak cerah, orang-orang mengenalnya, lalu mereka bangkit hendak menangkapnya, tetapi ia berkata, “Tiada jalan bagi kalian untuk menghukumku, karena aku datang dalam keadaan telah bertobat sebelum kalian sempat menangkapku." Maka Abu Hurairah berkata, "Dia benar."
Lalu Abu Hurairah menarik tangannya hingga sampai di tempat Marwan ibnul Hakam yang saat itu adalah Amir kota Madinah di masa pemerintahan Mu'awiyah. Kemudian Abu Hurairah berkata, "Orang ini datang dalam keadaan telah bertobat, tiada jalan bagi kalian untuk menghukumnya, dan tidak boleh dibunuh (dihukum mati)." Berkat penjelasan dari Abu Hurairah itu, ia dibebaskan.
Musa ibnu Ishaq Al-Madani melanjutkan kisahnya, bahwa Ali Al-Asadi berangkat ke medan jihad di jalan Allah di laut setelah bertobat, lalu ia bertemu dengan pasukan Romawi, maka ia mendekatkan kapalnya ke salah satu kapal milik mereka. Kemudian ia maju sendirian ke dalam kapal pasukan Romawi, ia mengamuk mengobrak-abriknya hingga mereka menghindar darinya ke sisi yang lain. Akibatnya kapal menjadi miring sehingga tenggelam dan mati semuanya bersama dengan dia."
Ketetapan hukuman ini berlaku bagi seluruh manusia, kecuali bagi orang-orang yang bertobat, menyesali perbuatannya, dan tidak lagi mengulanginya sebelum kamu dapat menguasai mereka; maka ketahuilah bahwa orang yang seperti ini layak diberi ampunan, karena sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun, Maha PenyayangSesudah dijelaskan tentang hukuman para pengacau keamanan dan pelanggar larangan Allah dan Rasul-Nya karena dengki dan ketidaktaatan mereka, maka ayat ini memerintahkan orang mukmin untuk bertakwa dan melakukan perbuatan baik. Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu sekalian kepada Allah dengan ibadah dan melaksanakan semua perintah-Nya, dan carilah wasilah, jalan yang paling tepat, untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah, yakni berjuanglah, di jalan-Nya dengan melakukan kebaikan dan membantu mereka yang memerlukan. Semua perintah ini dimaksudkan agar kamu menjadi lebih beruntung, baik ketika di dunia maupun kelak di akhirat.
Para pengganggu keamanan dan hukumannya telah dijelaskan pada ayat 33 di atas, jika mereka bertobat sebelum ditangkap oleh pihak penguasa, maka bagi mereka tidak berlaku lagi hukuman-hukuman yang tertera pada ayat 33, yang menurut istilah syariat disebut "hududullah", dan juga tidak dilakukan lagi terhadap mereka hukuman yang lain seperti hukuman had, hukum sariqah dan hukum jinayah (pidana). Keringanan yang diberikan kepada orang yang bertobat itu sesuai dengan sifat Allah Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 33
“Tidak ada lain balasan bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan mengusahakan kerusuhan di bumi."
Artinya bahwasanya orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya, tidak ada hukuman lain yang mesti diterimanya, hanyalah empat di antara hukuman sangat berat, yang akan dilakukan dengan keputusan imam (kepala negara) atau hakim yang ditunjuk. Memerangi Allah dan Rasul, artinya menentang kehendak Allah dan Rasul dengan sikap perbuatan sengaja. Asal arti perang ialah tindakan permusuhan. Apabila kita menghilangkan nyawa seseorang, dinamai membunuh.
Tetapi apabila kita menentang satu kumpulan orang dengan memakai senjata, dipakai juga kata qitaal atau berbunuhan. Tetapi kalau mengangkat senjata bukan karena berperang yang sah, misalnya menyamun bersama, me-rampok bersama, dinamai memerangi Allah dan Rasul. Sebab orang yang dirampasi atau dirampoki itu bukan musuh, melainkan orang-orang yang merasa hidup aman di bawah lindungan peraturan Allah dan Rasul. Maka sikap mengadakan perkumpulan atau gerombolan perampas, perampok dan penyamun itu terang mengganggu keamanan masyarakat. Sikap mereka ini bukan berperang dengan orang yang mereka rampok, sebab tidak ada sebab-sebab yang menyebabkan orang-orang yang aman itu boleh diperangi. Maksud merampok dan menyamun ini benar-benar hanya karena hendak merampas harta benda mereka, kalau perlu dengan membunuh orangnya, sebagaimana yang dilakukan oleh Badwi Bani Ukal dan Bani Urainah terhadap penggembala unta sedekah tadi.
Di pangkal ayat tadi disebut bahwa mereka telah melakukan dua pelanggaran besar, yang kedua bertali dengan yang pertama. Pertama, mereka telah memerangi Allah dan Rasul, sebab peraturan Allah telah terang-terang mereka langgar dengan kekerasan. Lalu dengan sebab yang demikian mereka telah melakukan tindakan kedua yang lebih jauh, yaitu mengusahakan kerusakan di bumi. Dengan yang pertama, memerangi Allah dan Rasul, artinya mereka telah terang-terang menentang syari'at Allah; Allah menghendaki keamanan; dia melakukan pengacauan.
Membuat kerusuhan atau kekacauan atau kerusuhan di bumi. Maka hilanglah keamanan dan ketertiban, tidak ada lagi jaminan keamanan jiwa, keamanan harta atau keamanan kehormatan diri perempuan. Menurut Abd bin Humaid dan Ibnu Jarir dari mujahid, Fasad yang berarti kerusakan atau kerusuhan itu ialah bersimaharajalelanya zina, pencurian, pembunuhan, perusakan sawah ladang memang sudah ada hukumannya sen-diri-sendiri. Tetapi pokok pangkal pertama, yaitu menyusun kekuatan untuk merusak keamanan bersama, patutlah beroleh hukum tersendiri yang disebutkan dalam ayat ini. Sebab kejahatan-kejahatan lain itu tidak tercegah lagi karena timbulnya kejahatan yang amat besar pertama tadi.
Ahli-ahli tafsir dan ahli-ahli fiqih memperbincangkan soal ini sampai mendalam. Yaitu siapa yang dimaksud dengan orang yang memerangi Allah dan Rasul itu.
Menurut riwayat Ibnu Jarir dan lain-lain, Imam Malik bin Anas berpendapat bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul, ialah yang memanggul senjata di dalam kota atau desa-desa, yang mereka gunakan buat membegal, menyamun, atau merampok bersama dengan kekerasan, sampai juga membakar rumah atau kampung. Beliau berkata, kalau orang-orang itu tertangkap, langsunglah imam (kepala negara) melakukan hukum kepadanya. Tebusan diyat dari keluarganya tidak diterima.
Di dalam kitab-kitab fiqih disebutkan tiga pokok penting yang menyebabkan orang tersebut memerangi Allah dan Rasul.
Pertama, mereka memanggul senjata. Kalau tidak bersenjata tidaklah termasuk. Tetapi Imam Syafi'i dan Abu Tsaur menjelaskan kalau mereka telah mempergunakan tongkat-tongkat atau batu-batu, sudah termasuk dalam memanggul senjata juga.
Kedua, kegiatan mereka dilakukan di Sahara. (Kalau di negeri kita ini ialah di tempat-tempat sepi di luar kota)
Ketiga, mereka datang dengan terang-terang dan merampas harta orang dengan paksa. Kalau datang sembunyi-sembunyi dan mengambil harta dengan mencuri, itu namanya bukan merampok dan penyamun, tetapi maling.
Tetapi Imam Syafi'i, Abu Tsaur, dan al-Laits berpendapat bahwa merampok di tengah kota atau di tempat sepi samas. Keduanya perampok.
Di dalam kitab-kitab fiqih belum banyak bertemu soal perampok di lautan, yang kita rebut lanun. Tentu kita dapat mengemukakan pendapat bahwa lanun pun termasuk dalam lingkungan orang yang memerangi Allah dan Rasul juga, sebab terang-terang mereka mengacaukan keamanan lalu lintas lautan, yang lebih hebat lagi daripada perampokan di darat.
Tetapi ahli-ahli fiqih pun menyatakan pendapat terus terang bahwa sikap memerangi Allah dan Rasul ini, dan hukum yang pasti dijatuhkan kepada mereka, cuma dapat dilakukan di dalam suatu Negara Islam (Darul Islam) Ada pun orang kafir dalam Darul Harb (negara perang) ada hukumannya sendiri dalam Babul Jihad, bukan di sini tempatnya. Ada pun dalam negara Islam, hukum melakukan perang terhadap Allah dan Rasul ini, adalah umum merata. Baik yang melakukan itu orang Islam sendiri, atau orang kafir dzimmi dan kafir harbi.
“Selain dari dibunuh mereka, atau disalibkan mereka, atau dipotong tangan-tangan mereka dan kaki-kaki mereka berselang-seling, atau dibuang dari bumi itu."
Artinya, tidak ada hukuman yang pantas dijatuhkan kepada mereka, selain dari salah satu yang empat itu.
Pertama: dibunuh.
Cobalah perhatikan di sini pemakaian bahasa.
Di sini terdapattiga kalimat,yaituyuqattalu, yushallabu, dan tuqaththa'a. Artinya, dibunuh mereka. Disalibkan mereka. Dipotong-potong tangan mereka. Dalam ilmu sharaf, ketiga kalimat ini asalnya tsulasi mujarrad. Artinya, kata-kata yang terdiri dari tiga suku kata dan tidak ada suku tambahan, yaitu fi'il mudhari': Yuqtalu,yushlabu, tuqtha'u.
Lalu dipindahkan kalimat tiga suku kata (tsulatsi mujarrad) kepada timbangan fa'ala
Thulatsi Mujarradnya Qatala, Yaqtulu, Qatlan Qattala, Yuqattilu, Taqtilan
Shalaba, Yashlubu, Shalban
Qatha'a, Yaqtha'u, Qath'an
Lalu dipindah menjadi:
Shallaba, Yushaliibu, Tashliiban Qaththa'a, Yuqaththi'u, Taqthan
Kalau dipakai tsulatsi mujarrad yang asal saja, artinya berbeda dengan kalau dipindah dari yuqtalu kepada yuqattalu. Sedang kalau dipakai arti bahasa Indonesia saja, kita tidak mempunyai bahasa lain, melainkan dengan arti yang sama saja, yaitu supaya dibunuh, supaya disalibkan, dan supaya dipotong tangan.
Padahal dengan memakai yuqattalu, yushallabu, dan tuqaththa'a, artinya sudah lain. Yaitu hendaklah bunuh sebenar bunuh. Bunuh sangat. Sehingga untuk menyatakan maksud itu tidak cukup dengan tulisan saja, mesti diikuti dengan sikap ketika mengucapkan hukuman itu, sambil mendelikkan mata, menggeretak gigi, merekan suara “bunuh dia!"
Salibkan tinggi. Potong tangan dan kakinya dengan sikap keras.
Tegasnya hendaklah ketika hukuman itu dilakukan ditunjukkan kebesaran hukum. Misalnya hukum pancung leher di muka orang banyak, atau hukum gantung atau dengan 12 peluru sambil membunyikan genderang menunjukkan kehebatan hukum. Di dalam kitab-kitab fiqih, ulama-ulama fiqih Islam selalu menganjurkan bahwa hukum bunuh hendaklah dengan sekali pancung dengan pedang sangat tajam.
Dan dengan pemakaian bahasa yuqattalu, yushallabu, dan tuqaththa'a itu, jelas pula bahwa diyat atau tebusan dari keluarganya kepada keluarga yang dibunuhnya tidak berlaku di sini. Sebab dengan perbuatan ini bukan saja dia merugikan keluarga orang yang dibunuh, sedang hukum qishash untuk itu sudah ada ketentuannya sendiri.
Tetapi dia telah memerangi Allah dan Rasul, membuat huru-hara, kerusuhan, kekacauan, sehingga mengganggu masyarakat seluruhnya. Sebab itu hukum atas dirinya adalah hak langsung dari imam (kepala negara) Sebab kepala negara adalah wakil Allah dan Rasul dalam menegakkan hukum dan pelindung dari ketenteraman orang banyak.
Ahli-ahli fiqih Islam, terutama ulama salaf memperbincangkan bagaimana pelaksanaan hukum ini. Di antara satu dan lainnya diper-talikan dengan kalimat au yang berarti atau; atau dibunuh, atau disalibkan, atau dipotongi tangannya. Maka menentukan salah satu dari keempat hukum ini ialah imam; kepala negara. Bukan atas kehendaknya sendiri, sehingga bergantung kepada rasa kasih sayangnya, melainkan musyawarah dengan ahli-ahli. Yaitu setelah menimbang berat-ringan kesalahannya. Macam kesalahan pun berberat beringan. Membunuh, merampas, memper-kosa kehormatan, membakar rumah, membinasakan ternak, merusak padi di sawah, atau pohon di ladang, dan lain-lain. Tentu diperiksa satu per satu.
Ada yang satu saja salahnya yaitu membunuh. Tetapi tidak merampas barang, karena lekas ketahuan. Ada yang sesudah membunuh merampas harta benda, lalu membakar rumah. Ada yang sesudah membunuh suaminya, lalu memperkosa istrinya dan merampas barangnya. Dan ketika akan lari dibakarnya rumah, dan dia lalu di tengah sawah yang padinya sedang menguning dan merusak padi itu dan sebagainya, dan sebagainya. Maka musyawarahlah kepala negara dengan stafnya, atau secara perkembangan hukum mulai zaman Sayyidina Umar, diadakan qadhi (hakim) yang diberi kuasa dan dia musyawarah dengan ahli-ahlinya (yuri) menentukan hukum yang akan dijatuhkan kepada tertuduh.
Dengan adanya kalimat ntou, hakim mendapat kebebasan berijtihad menilik seberat-berat hukum (maksimum) atau seringan-ringannya (minimum) Al-Qur'an sendiri tidaklah masuk kepada perincian, karena Islam memberikan hak penuh bagi hakim buat berijtihad, mana hukum yang akan dijatuhkan.
Sekarang nyatalah keempat macam hukum yang di-a£a«-kan itu.
Pertama, hukum bunuh dengan secara hebat dan berwibawa. Berdasar kepada hadits Rasulullah saw, hendaklah kalau melakukan bunuh itu, dengan sebaik-baiknya. Yaitu dengan cepat atau jitu. Sebagaimana kita katakan tadi, sebaiknya hukum pancung dengan pedang sangat tajam, dan di muka orang banyak.
Kedua, hukum salib. Yaitu dibuat kayu palang, lalu dinaikkan dia ke kayu palang itu, dan dibiarkan di sana sampai mati. Atau dibunuh setelah beberapa waktu dia tergantung itu. Maksudnya ialah supaya terlebih dahulu di-saksikan oleh orang banyak.
Barangkali hukum kedua ini lebih berat daripada yang pertama, kalau dia dipalangkan, lalu dibiarkan di sana sampai mati.
Ketiga, dipotong tangannya dan kakinya berselang-seling. Artinya, kalau tangan kanannya yang dipotong, hendaklah kakinya dipotong yang sebelah kiri, dan sebaliknya. Orang ini boleh dibiarkan hidup dengan tangan kakinya hilang sebelah menyebelah, berpincang-pincang. Sebab itu dalam melakukan hukuman ketiga ini, ahli-ahli tentang tubuh manusia memberi nasihat supaya terlebih dahulu direndam dengan minyak panas, supaya darahnya jangan habis mengalir keluar sehingga dia mati karena darah habis mengalir.
Keempat, dibuang dari bumi. Ini adalah hukum yang seringan-ringannya di antara keempat hukum itu, karena kesusahannya lebih ringan dari antara gerombolan itu. Misalnya dia hanya turut membantu, yang dapat ditilik oleh hakim, diselidiki dengan saksama.
Dalam hukum macam keempat ini ulama-ulama fiqih pun mengeluarkan berbagai pendapat. Setengah mengatakan usir keluar dari negeri itu, tidak boleh tinggal di sana lagi. Kalau dia berdua bertiga, hendaklah pisah-pisahkan tempat negeri dia dibuang, supaya dia jangan bersekongkol kembali.
Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa maksud dibuang dari bumi ialah dipenjarakan. Masukkan dia ke penjara.
Karena cara pembuangan ini telah masuk dalam masalah ijtihadiyah juga, keduanya itu bisa dilakukan. Mungkin ada orang itu hanya terbawa-bawa. Belum terkenal sebagai si penjahat besar. Lalu dia diusir saja ke negeri lain, setelah hakim menilik bahwa orang ini bisa diperbaiki. Lalu di negeri yang baru itu diadakan tahanan kota.
Dan boleh juga dipakai pendapat imam Hanafi itu, yaitu dibuang sambil dipenjarakan, sebagaimana pernah berlaku, seorang pembunuh di Aceh, di buang ke Semarang, dan dipekerjakan di belakang tembok penjara, tidak boleh keluar.
Untuk jadi pegangan dapat kita ambil satu penafsiran lagi dari Ibnu Abbas, demikian bunyinya, ‘Apabila orang memerangi Allah dan Rasul, lalu merampas harta orang, tetapi tidak sampai membunuh; dipotong tangan kakinya berselang-seling. Kalau dia keluar, lalu membunuh, tetapi tidak merampas harta, hukumnya bunuh saja. Kalau dia keluar, dirampasnya harta, dan dibunuhnya orangnya; hukumnya dibunuh dan disalibkan. Dan kaiau dia keluar lalu menyamun di tengah jalan, tetapi belum sampai merampas harta benda, dan belum sampai ada yang dibunuhnya, hukumnya ialah dibuang."
Pendapat ini pun dituliskan oleh Imam Syafi'i di dalam kitabnya al-Umm dan Abdur-razak dan beberapa ulama yang lain.
“Yang demikian itu." Yaitu salah satu dari keempat macam hukum itu, dari yang sangat berat, sampai kepada yang berat, sampai kepada yang agak ringan tetapi berat juga (potong selang-seling) dan yang ringan sekali (buang atau penjara), “Adalah suatu penghinaan bagi mereka di dunia ini." Karena memang mereka berbuat sangat hina, yaitu memerangi Allah dan Rasul, maka seyogiyanya hukuman yang hina pulalah yang pantas mereka terima. Dan bila orang lain melihat bekas hukum yang hina itu, takutlah mereka akan berbuat begitu pula;
“Dan untuk mereka di akhirat adalah adzab yang besar."
Dengan demikian belumlah habis hukum yang diterimanya di dunia ini saja, di akhirat perkaranya akan dibuka kembali dan akan diterimanya adzab yang pedih. Ini membuktikan bahwa dosa orang-orang ini sangat besar. Di atas dunia ini mengacau masyarakat lalu dihukum yang setimpal dan di akhirat akan diterimanya hukum lagi, karena yang diperanginya ialah Allah dan Rasul. Tetapi yang masih hidup sesudah menjalani hukum potong selang-seling dan hukum buang, masih ada kesempatan buat tobat.
Ayat 34
“Kecuali orang-orang yang bertobat dari sebelum kamu dapat menangkap mereka. Maka ketahuilah bahwasanya Allah adalah Maha Pengampun, lagi Penyayang."
Dikecualikan orang yang insaf akan kesalahannya itu sebelum dia dapat ditangkap. Lalu dia tobat. Tiada dia mencampurkan diri lagi kepada gerombolan jahat itu. Betul-betul dia tobat Nashuha, Dia menarik diri dari mereka.
Tentu saja bukti tobat itu harus ditunjukkannya, yaitu dengan menyerahkan diri kepada yang berkuasa, mengakui kesalahannya dan mulai memperbaiki diri. Maka hukuman-hukuman berat itu bolehlah tidak dilakukan lagi terhadap dirinya, setelah hakim menilik benar tobatnya. Baik tobat sendiri-sendiri ataupun dengan semuanya menyerahkan diri. Kalau hakim melihat dan menimbang bahwa tobat mereka telah betul, hukum tidak dilakukan lagi terhadap mereka. Tetapi harta benda orang yang telah mereka rusakkan, masih wajib diganti. Dan menurut ijtihad ulama lain lagi, kalau hakim memandang demi kemaslahatan umum bahwa harta yang dirusakkan oleh mereka itu tidak bisa mereka menggantinya, maka diambilkanlah harta dari Baitul Maal untuk mengganti kerugian orang yang dirugikan.
Ulama-ulama pun memperbincangkan ke mana tujuan kedua ayat ini. Kata setengah mereka yang dimaksud ialah kaum musyrikin yang selama ini memerangi Allah dan Rasul, merampok dan membegal kafilah-kafilah kaum Muslimin yang lalu lintas. Kalau mereka telah tobat, lalu masuk Islam; bagaimanapun banyaknya kesalahan mereka selama ini, diberi ampun semuanya. Tetapi kata setengahnya lagi, yang dimaksud ialah golongan kaum Muslimin sendiri yang menentang kekuasaan umum karena mencari keuntungan diri sendiri.
Untuk melihat bagaimana Salaf kita yang shalih melaksanakan ayat ini, di sini kita salinkan beberapa riwayat orang yang tobat sebelum tertangkap ini.
Merawikan Ibu Abi Hatim dan asy-Sya'bi. Asy-Sya'bi berkata,
“Ada seorang bernama Haritsah bin Badar at-Tamimi (dari Bani Tamira) penduduk Bash-rah. Dia itu sudah terlalu banyak berbuat kerusakan di bumi dan telah memerangi Allah dan Rasul, merampok, menyamun, memperkosa. Lalu dihubunginya ialah Hasan bin Abi Thaiib dan Ibnu Abbas sendiri, dan Abdullah bin Ja'far bin Abi Thaiib. Dengan perantaraan mereka si Haritsah minta ampun kepada Sayyidina Ali (khalifah waktu itu), tetapi Sayyidina Ali belum mau memberi ampun. Lalu ia datang kepada Sa'id bin Qais al-Hamdari, meminta tolong supaya dimintakan ampunan Sayyidina Ali atas dirinya. Oleh Sa'id ditahannya Haritsah di rumahnya sementara, lalu dia pergi sendiri menghadap Sayyidina Ali. Dia berkata, “Ya Amirul Mukminin, bagaimana pendapat tuan tentang orang yang pernah memerangi Allah dan Rasul dan berbuat rusuh di bumi, lalu dibacanya sampai ayat ini—kecuali orang yang tobat sebelum kamu dapat menangkapnya." Mendengar ayat itu Sayyidina Ali segera men-jawab, “Tuliskan aman buat dia!" Lalu menyambut pula Sa'id bin Qais, “Orang itu adalah Haritsah bin Badar!"
Maka diberi amanlah Haritsah bin Badar sebelum dia dapat ditangkap. Satu riwayat lagi dari Ibnu Jarir, dari Sufyan ats-Tsauri dari as-Suddi dan lain-lain dari asy-Sya'bi bahwa ada pula seorangdari Bani Murad datangmenghada Abu Musa al-Asy'ari yang jadi Gubernur Kuffah di zaman Utsman bin Affan. Sesudah selesai shalat fardhu, dia langsung menghadap Abu Musa, lalu berkata, “Aku memperlindungkan diriku kepada tuan, aku si anu, anak si anu dari suku Muradi. Selama ini aku telah memerangi Allah dan Rasul, merusak rusuh di muka bumi, sekarang aku tobat sebelum aku tertangkap." Mendengar itu, segera Abu Musa berdiri dan memberitahukan orang banyak, “Inilah si anu anak si anu, di masa lalu pernah memerangi Allah dan Rasul, dan membuat rusuh di bumi. Sekarang dia telah tobat sebelum sampai ditangkap. Maka barangsiapa bertemu dia, jangan ganggu dia lagi. Kalau dia benar, maka jalan baiklah yang ditujunya, tetapi kalau dia berdusta, maka dosanya akan mengejar dia dan membunuh dia!" Dia pun dibebaskan. Tetapi bertemu juga apa yang dikatakan Abu Musa, dia kembali jahat, dan dia mati terbunuh dalam melakukan kejahatannya itu"
Satu riwayat lagi, dari Ibnu Jarir juga, diterimanya dari Ali, dan Ali menerima dari al-Walid bin Muslim. Dia berkata, “Berkata al-Laits, demikian pun mengatakan pula kepadaku Musa bin Ishaq al-Madari, padahal dia adalah kepala kami, bahwa seorang bernama Ali dari Bani Asad dahulu memerangi Allah dan Rasul, menyamun di jalan, menumpahkan darah, merampas harta, sehingga dicari-cari oleh kepala-kepala negara dan orang banyak, tetapi dia sanggup bersembunyi dan tidak dapat ditangkap, tiba-tiba dia tobat. Sebab tobatnya ialah karena pada suatu hari dia mendengar seseorang membaca Al-Qur'an,
“Katakanlah (ya Rasul-Ku), wahai hamba-hamba-Ku yang selama ini telah menyia-nyiakan atas diri mereka sendiri, janganlah kamu putus asa daripada Rahmat Allah, sesungguhnya Allah itu akan memberi ampun dosa-dosa sekalian, karena sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, dan Maha Penyayang." (az-Zumar: 53)
Tertegun dia tegak mendengar ayat itu dibaca, lalu dia berkata, “Wahai Abdullah (hamba Allah) sudi apalah kiranya mengulangi membacanya sekali lagi." Lalu orang itu mengulangnya sekali lagi.
Menekur dia sejenak, lalu disarungkannya kembali pedangnya, kemudian itu datanglah dia ke Madinah di waktu sahur, hendak menyatakan tobatnya. Maka dia pun mandi, sehabis mandi dia pun masuk ke masjid Rasulullah ﷺ dan turut menjadi makmum shalat Shubuh. Sehabis shalat, dia duduk di dekat Abu Hurairah yang duduk di tempat agak terlindung di belakang bersama barisan teman-temannya. Setelah hari mulai siang, semua orang lekas mengenal mukanya dan mengerubungi dia hendak menangkap. Lalu dia berkata, “Tak ada lagi jalan bagi tuan-tuan hendak menangkapku. Sebab aku telah bertobat sebelum tuan-tuan dapat menangkapku."
Lalu berdiri Abu Hurairah dan berkata pula, “Dia benar!" Setelah itu tangannya dituntun oleh Abu Hurairah, tampil ke muka, ke hadapan Marwan bin Hakam yang menjadi Gubernur Madinah waktu itu, di zaman Mu'awiyah. Lalu berkatalah Abu Hurairah, “Ini dia Ali, telah datang menyatakan dirinya tobat sebelum sempat ditangkap!"
Mendengar itu Marwan bin Hakam mengakui tobatnya dan dia tidak diganggu orang lagi.
Maka tersebutlah dalam riwayat bahwa setelah dia tobat itu, dia pun turutlah pergi berperang, berjihad fii sabilillah di lautan dengan gagah beraninya. Maka bertemulah dengan angkatan laut bangsa Rum. Terjadilah pertempuran hebat. Lalu didorongkanlah oleh
si Ali itu kapalnya kepada kapal orang Rum itu, sehingga bertumbuk dengan hebatnya. Kapal orang Rum itu tenggelam. Setelah tenggelam yang satu, ditumbuknya pula kapal yang sebuah lagi, kapal musuh oleng dan tenggelam pula, tetapi kapalnya sendiri pun turut pula tenggelam, dan dia pun beroleh syahidnya di tengah lautan Rum itu."
BUGHAT
Berbeda duduk perkara di antara orang yang memerangi Allah dan Rasul ini dengan orang yang bughat. Di dalam surah al-Hujuraat ayat 9 diperintahkan Allah, bahwa jika terjadi perselisihan sampai berbunuh-bunuhan di antara dua golongan kaum Muslimin, hendaklah kamu mencoba mendamaikan. Kalau yang satu golongan bughat terhadap yang lain, hendaklah kamu perangi yang bughat itu, sampai dia kembali ke dalam garis jalan perintah Allah. Arti bughat ialah golongan yang tidak mau didamaikan.
Timbul pertanyaan, “Siapakah yang dituju Allah dengan kata-kata kamu, yang diperintahkan mendamaikan dua golongan yang berselisih itu? Tentu yang diperkamu, yang di khithab menyuruh mendamaikan itu ialah golongan yang ketiga. Golongan yang tidak masuk ke salah satu pihak yang berselisih. Dalam hal ini tentu saja pihak pemerintahlah yang berkuasa, atau golongan ketiga yang netral yang lebih kuat dari kedua golongan yang berkelahi itu.
Tiba-tiba timbullah suatu pertanyaan yang berbeda dengan yang dituju ayat, yang payah buat memasangkan kata bughat. Yaitu Mu'awiyah Gubernur Syam menentang Ali bin Abi Thalib yang telah diangkat umat menjadi Khalifah di Madinah. Mu'awiyah mengemukakan tuntutan agar diselesaikan terlebih dahulu soal kematian Utsman yang teraniaya. Kemudian itu kaum Khawarij memisahkan diri pula dari kekuasaan Ali dan melawan.
Akhirnya perjuangan Mu'awiyah beroleh kemajuan, terutama dalam perundingan di Daumatul-Jandal, karena suara utusan Ali, yaitu Abu Musa al-Assfari dapat dikalahkan oleh kecerdikan Amr bin Ash.
Teranglah bahwa ulama-ulama tidak dapat tergesa lagi memutuskan bahwa Mu'awiyah bughat. Melainkan keluarlah pendapat ulama bahwa pemerintah Mu'awiyah itu sudah menurut hukum. Sebab kekuasaannya telah menjadi kenyataan. Terutama setelah kemudian, pada tahun 40 Hijriyah, Hasan bin Ali menyerahkan seluruh kekuasaannya pula kepada Mu'awiyah.
BERONTAK TERHADAP KEKUASAAN YANG SAH
Kemudian menjadi perbincangan pula di dalam kalangan ulama-ulama fiqih tentang pemberontak melawan imam (kepala negara) yang zalim. Yaitu seperti yang dilakukan oleh Husain bin Ali terhadap kekuasaan Yazid bin Mu'awiyah.
Maka terdapatlah ijma (kesamaan pendapat) ulama bahwa kalau seorang imam kaum Muslimin murtad dari Islam, dan dia tidak mau menyerahkan kekuasaannya kembali ke dalam AhlulhaUi wal Aqdi, kaum Muslimin wajib memberontak terhadap kekuasaannya. Dan sama pula pendapat ulama-ulama bahwa imam yang menghalalkan barang yang haram, dengan menganjurkannya, misalnya menghalalkan dan meminum minuman keras, atau menghalalkan zina dan melanggar peraturan-peraturan syara", meskipun dia tidak menyatakan murtad dari Islam, boleh pula imam yang seperti itu diberontaki. Berdasar kepada ha-dits Ubadah bin Shamit yang shahih, yaitu salah satu rangkaian baiat kaum Anshar di Aqabah, dengan Nabi,
“Dan supaya jangan engkau tandingi suatu urusan dari aslinya. Kecuali kalau kamu lihat kekafiran yang sudah berterang-terang."
Imam Nawawi menjelaskan arti kafir berterang-terang ini, ialah kalau imam itu tidak segan-segan lagi memperlihatkan berbuat maksiat di muka mata umat yang diimaminya.
Maka maksud hadits Ubadah bin Shamit ini jelaslah bahwa kekuasaan seorang imam (kepala negara) yang benar dan sah keimanannya, misalnya karena ingin merebut kuasanya, tidaklah diizinkan oleh syara', kecuali kalau dia telah terang-terang menunjukkan perbuatan yang bersifat kufur.
Demikian juga amil-amilnya atau wali-walinya, atau menteri-menteri dan pembantu-pembantunya. Kalau dia zalim dan suka berbuat maksiat, wajiblah dia ditarik kembali ke dalam jalan yang benar, dan biarlah dia tetap jadi imam asal dia telah sadar. Mana pekerjaannya yang ma'ruf dan ditaati dan mana yang mungkar tidak dituruti. Kalau dia masih berkeras, hendaklah wakil-wakil umat bersikap keras pula, ma'zulkan dia dan ganti dengan yang lain, yang lebih menuruti jalan yang benar.
Oleh sebab itu, di dalam sejarah Islam, selalulah muncul ulama-ulama yang tulus ikhlas, merdeka jiwa dan tidak mau menjual imannya kepada kekuasaan imam-imam yang zalim, lalu dengan tegas ulama-ulama itu menegur pekerjaan imam yang salah, yang zalim, yang tidak menuruti garis yang ditentukan oleh syara' Tetapi sebagian besar dari ulama-ulama itu, kalau diajak orang berontak kepada imam yang beliau tentang itu, mereka tidak mau. Sebab yang beliau-beliau jaga ialah jangan sampai ada fitnah. Pengalaman Islam karena peperangan Ali dengan Mu'awiyah, telah meninggalkan kesan luka parah yang payah menyembuhkannya dari abad ke abad. Itu sebabnya ulama-ulama itu tidak mau tergesa berontak, sebelum berhitung masak-masak.
Tetapi kalau kezaliman sudah sampai di puncak yang kadang-kadang dengan senjata lisan fatwanya saja, bisa meruntuhkan kekuasaan raja yang besar. Kejatuhan Sultan Abdulhamid dari tahta Kerajaan Turki Osmani, sebagian besar adalah karena fatwa Syaikhul
Islam telah keluar menyatakan bahwa dia tidak berhak buat ditaati lagi.
Dengan ini bukan berarti bahwa umat telah taqlid saja kepada fatwa Syaikhul Islam dan ulama itu, melainkan kedudukan mereka di saat itu bukan saja lagi sebagai ulama, melainkan sebagai salah seorang yang telah mewakili umat, karena pribadinya yang telah memengaruhi dan mempesona orang banyak (massa) dari sebab sikapnya yang tegas menegakkan kebenaran.