Ayat
Terjemahan Per Kata
إِن
jika
تُعَذِّبۡهُمۡ
Engkau menyiksa mereka
فَإِنَّهُمۡ
maka sesungguhnya mereka
عِبَادُكَۖ
hamba-hamba Engkau
وَإِن
dan jika
تَغۡفِرۡ
Engkau mengampuni
لَهُمۡ
kepada mereka
فَإِنَّكَ
maka sesungguhnya Engkau
أَنتَ
Engkau
ٱلۡعَزِيزُ
Maha Perkasa
ٱلۡحَكِيمُ
Maha Bijaksana
إِن
jika
تُعَذِّبۡهُمۡ
Engkau menyiksa mereka
فَإِنَّهُمۡ
maka sesungguhnya mereka
عِبَادُكَۖ
hamba-hamba Engkau
وَإِن
dan jika
تَغۡفِرۡ
Engkau mengampuni
لَهُمۡ
kepada mereka
فَإِنَّكَ
maka sesungguhnya Engkau
أَنتَ
Engkau
ٱلۡعَزِيزُ
Maha Perkasa
ٱلۡحَكِيمُ
Maha Bijaksana
Terjemahan
Jika Engkau menyiksa mereka, sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu. Jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”
Tafsir
(Jika Engkau menyiksa mereka) artinya orang-orang yang melakukan kekafiran di antara mereka (maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau) Engkau adalah Yang Menguasai mereka; Engkaulah yang berhak memperlakukan mereka menurut apa yang Engkau kehendaki, tak ada yang bisa menghalang-halangi Engkau (dan jika Engkau mengampuni mereka) artinya mengampuni orang-orang yang beriman di antara mereka (maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa) Yang Maha Menang perkara-Nya (lagi Maha Bijaksana'") dalam perbuatan-Nya.
Tafsir Surat Al-Ma'idah: 116-118
Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, "Wahai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia, 'Jadikanlah aku dan ibuku dua Tuhan selain Allah'? Isa menjawab, "Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (untuk mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya, maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku, dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang gaib.
Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (untuk mengatakannya), yaitu, 'Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhan kalian,' dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku Engkaulah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu.
Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau; dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."
Ayat 116
Hal ini pun termasuk khitab Allah yang ditujukan kepada hamba dan rasul-Nya yaitu Isa putra Maryam. Allah berfirman kepadanya di hari kiamat di hadapan orang-orang yang menjadikan dia dan ibunya sebagai dua Tuhan selain Allah, yaitu: “Wahai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia, ‘Jadikanlah aku dan ibuku dua Tuhan selain Allah’?" (Al-Maidah: 116) Di balik kalimat ini terkandung ancaman yang ditujukan kepada orang-orang Nasrani, sekaligus sebagai celaan dan kecaman terhadap mereka di hadapan semua para saksi di hari kiamat.
Demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh Qatadah dan yang lainnya. Pengertian ini disimpulkan oleh Qatadah melalui firman selanjutnya: “Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka.” (Al-Maidah: 119) As-Suddi mengatakan, khitab dan jawaban ini terjadi di dunia. Pendapat ini dibenarkan oleh Ibnu Jarir. Ia mengatakan bahwa hal ini terjadi ketika Allah mengangkatnya ke langit. Imam Ibnu Jarir mengemukakan alasannya untuk memperkuat pendapat tersebut melalui dua segi, yaitu:
Pertama, pembicaraan dalam ayat ini memakai bentuk madi (masa lalu).
Kedua, firman Allah ﷻ menyebutkan: “Jika Engkau menyiksa mereka.” (Al-Maidah: 118) “Dan jika Engkau mengampuni mereka.” (Al-Maidah: 118)
Tetapi kedua alasan tersebut masih perlu dipertimbangkan lagi, mengingat madi menunjukkan pengertian bahwa kejadiannya merupakan suatu kepastian yang telah ditetapkan.
“Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau.” (Al-Maidah: 118), hingga akhir ayat. Ini merupakan ungkapan pembersihan diri Nabi Isa a.s. terhadap perbuatan mereka dan menyerahkan perkara mereka kepada kehendak Allah ﷻ. Ungkapan dengan bentuk syarat ini tidak memberikan pengertian kepastian akan kejadiannya, seperti juga yang terdapat di dalam ayat-ayat lain yang serupa. Tetapi pendapat yang dikatakan oleh Qatadah dan lain-lainnya adalah pendapat yang paling kuat, yaitu yang menyatakan bahwa hal tersebut terjadi pada hari kiamat, dengan makna yang menunjukkan sebagai ancaman kepada orang-orang Nasrani dan kecaman serta celaan bagi mereka di hadapan para saksi di hari tersebut.
Pengertian ini telah diriwayatkan oleh sebuah hadits yang berpredikat marfu yaitu diriwayatkan oleh An-Hafidzh Ibnu Asakir di dalam pembahasan autobiografi Abu Abdullah, maula Umar ibnu Abdul Aziz yang dinilai tsiqah (bisa dipercaya). Disebutkan bahwa ia pernah mendengar Abu Burdah menceritakan hadits kepada Umar ibnu Abdul Aziz, dari ayahnya (yaitu Abu Musa Al-Asy'ari) yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, "Apabila hari kiamat tiba, maka para nabi dipanggil bersama dengan umatnya masing-masing. Kemudian dipanggillah Nabi Isa, lalu Allah mengingatkannya akan nikmat-nikmat yang telah Dia karuniakan kepadanya, dan Nabi Isa mengakuinya." Allah ﷻ berfirman: “Wahai Isa putra Maryam, ingatlah nikmat-Ku kepadamu dan kepada ibumu.” (Al-Maidah: 110), hingga akhir ayat.
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Wahai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia, ‘Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah’?” (Al-Maidah: 116) Isa a.s. mengingkari bahwa dia tidak pernah mengatakan hal tersebut. Kemudian didatangkanlah orang-orang Nasrani, lalu mereka ditanya. Maka mereka mengatakan, "Ya, dialah yang mengajarkan hal tersebut kepada kami." Maka rambut Nabi Isa a.s. menjadi memanjang, sehingga setiap malaikat memegang sehelai rambut kepala dan rambut tubuhnya (karena merinding ketakutan). Lalu mereka didudukkan di hadapan Allah ﷻ dalam jarak seribu tahun perjalanan, hingga hujjah (alasan) mereka ditolak dan diangkatkan bagi mereka salib, kemudian mereka digiring ke dalam neraka.
Hadits ini berpredikat gharib lagi 'aziz.
Firman Allah ﷻ: “Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (untuk mengatakannya).” (Al-Maidah: 116)
Menurut Ibnu Abu Hatim, jawaban ini merupakan jawaban yang sempurna, mengandung etika yang tinggi.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Umar, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr, dari Tawus, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Nabi Isa mengemukakan hujjahnya, dan Allah ﷻ menerimanya, yaitu dalam firman-Nya: “Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, ‘Wahai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia, ‘Jadikanlah aku dan ibuku dua Tuhan selain Allah'?” (Al-Maidah: 116) Abu Hurairah menceritakan dari Nabi ﷺ bahwa setelah itu Allah mengajarkan hujjah (alasan) itu kepada Isa. “Mahasuci Engkau, tidak patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (untuk mengatakannya).” (Al-Maidah: 116), hingga akhir ayat.
Hal ini telah diriwayatkan pula oleh Ats-Tsauri, dari Ma'mar, dari Ibnu Tawus, dari Tawus dengan lafal yang serupa.
Firman Allah ﷻ: “Jika aku pernah mengatakannya, maka tentulah Engkau telah mengetahui.” (Al-Maidah: 116)
Yakni jika hal ini pernah aku lakukan, maka sesungguhnya Engkau telah mengetahuinya, wahai Tuhanku. Karena sesungguhnya tidak ada sesuatu pun dari apa yang kukatakan samar bagi-Mu. Aku tidak pernah mengatakan hal itu, tidak pernah berniat untuk mengatakannya, tidak pula pernah tebersit dalam hatiku.
Ayat 117
Karena itulah dalam ayat selanjutnya disebutkan: “Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang gaib. Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (untuk mengatakan)nya.” (Al-Maidah: 116-117) Yakni yang diperintahkan oleh Allah untuk menyampaikannya kepada mereka.
“Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhan kalian!” (Al-Maidah: 117) Yakni tidak sekali-kali aku seru mereka melainkan seperti apa yang Engkau perintahkan kepadaku untuk menyampaikannya kepada mereka, yaitu: “Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhan kalian.” (Al-Maidah: 117) Yakni itulah yang aku katakan kepada mereka.
Firman Allah ﷻ: “Dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka.” (Al-Maidah: 117)
Yakni aku dapat menyaksikan semua amal perbuatan mereka selama aku berada bersama-sama mereka.
“Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkaulah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu.” (Al-Maidah: 117)
Abu Daud At-Tayalisi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, bahwa ia pergi bersama Sufyan Ats-Tsauri menuju tempat Al-Mugirah ibnun Nu'man, lalu Al-Mugirah mendiktekan kepada Sufyan yang ditemani olehku. Setelah Al-Mugirah pergi, aku menyalinnya dari Sufyan. Ternyata di dalamnya disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Jubair yang menceritakan hadits berikut dari Ibnu Abbas yang telah menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ berdiri di hadapan kami untuk mengemukakan suatu petuah dan nasihat. Beliau bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya kalian kelak akan dihimpunkan oleh Allah ﷻ dalam keadaan tidak beralas kaki, telanjang lagi belum dikhitan. ‘Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya.’ (Al-Anbiya: 104) Dan sesungguhnya manusia yang mula-mula diberi pakaian kelak di hari kiamat ialah Nabi Ibrahim. Ingatlah, sesungguhnya kelak akan didatangkan banyak orang laki-laki dari kalangan umatku, lalu mereka digiring ke sebelah kiri, maka aku berkata, ‘Sahabat-sahabatku!’ Tetapi dijawab, ‘Sesungguhnya kamu tidak mengetahui apa yang dibuat-buat oleh mereka sesudahmu.’
Maka aku katakan seperti apa yang dikatakan oleh seorang hamba yang saleh, yaitu: ‘Dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkaulah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu. Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau; dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkau Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.’ (Al-Maidah: 117-118) Maka dikatakan, ‘Sesungguhnya mereka terus-menerus dalam keadaan mundur ke belakang mereka sejak engkau berpisah dengan mereka’.”
Imam Bukhari telah meriwayatkannya ketika membahas tafsir ayat ini, dari Abul Walid, dari Syu'bah; dan dari Ibnu Kasir, dari Sufyan Ats-Tsauri. Kedua-duanya dari Al-Mugirah ibnu Nu'man dengan lafal yang sama.
Ayat 118
Firman Allah ﷻ: “Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau; dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Al-Maidah: 118)
Kalimat ini mengandung makna mengembalikan segala sesuatunya kepada kehendak Allah ﷻ, karena sesungguhnya Allah Maha Memperbuat segala sesuatu yang dikehendaki-Nya; Dia tidak ada yang mempertanyakan apa yang diperbuat-Nya, sedangkan mereka akan dimintai pertanggungjawabannya.
Kalimat ini pun merupakan pembersihan diri terhadap perbuatan orang-orang Nasrani yang berani berdusta kepada Allah dan rasul-Nya serta berani menjadikan bagi Allah tandingan dan istri serta anak. Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka katakan itu dengan ketinggian yang setinggi-tingginya. Ayat ini mempunyai makna yang sangat penting dan merupakan suatu berita yang menakjubkan. Di dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Nabi ﷺ membacanya di malam hari hingga subuh, yakni dengan mengulang-ulang bacaan ayat ini.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Fudail, telah menceritakan kepadaku Fulait Al-Amiri, dari Jisrah Al-Amiriyah, dari Abu Dzar yang menceritakan bahwa di suatu malam Nabi ﷺ melakukan shalat, lalu beliau membaca sebuah ayat yang hingga subuh beliau tetap membacanya dalam rukuk dan sujudnya, yaitu firman-Nya: “Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau; dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Maidah: 118) Ketika waktu subuh Abu Hurairah bertanya, "Wahai Rasulullah, mengapa engkau terus-menerus membaca ayat ini hingga subuh, sedangkan engkau tetap membacanya dalam rukuk dan sujudmu?" Rasulullah ﷺ menjawab: “Sesungguhnya aku memohon kepada Tuhanku syafaat bagi umatku, maka Dia memberikannya kepadaku; dan syafaat itu dapat diperoleh Insya Allah oleh orang yang tidak pernah mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun (dari kalangan umatku).”
Jalur lain dan konteks lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Yahya, telah menceritakan kepada kami Qudamah ibnu Abdullah, telah menceritakan kepadaku Jisrah binti Dajjajah, bahwa ia berangkat menunaikan ibadah umrahnya. Ketika sampai di Ar-Rabzah, ia mendengar Abu Dzar menceritakan hadits berikut, bahwa di suatu malam Rasulullah ﷺ bangkit untuk melakukan shalat Isya, maka beliau shalat bersama para sahabat. Setelah itu banyak orang dari kalangan sahabat beliau mundur untuk melakukan shalat (sunat).
Ketika Nabi ﷺ melihat mereka melakukan shalat setelah mundur dari tempat itu, maka Nabi ﷺ pergi ke tempat kemahnya. Setelah Nabi ﷺ melihat bahwa kaum telah mengosongkan tempat itu, maka beliau ﷺ kembali ke tempatnya semula, lalu melakukan shalat (sunat). Kemudian aku (Abu Dzar) datang dan berdiri di belakang beliau, maka beliau berisyarat kepadaku dengan tangan kanannya, maka aku berdiri di sebelah kanan beliau. Kemudian datanglah Ibnu Mas'ud yang langsung berdiri di belakangku dan di belakang beliau, tetapi Nabi ﷺ berisyarat kepadanya dengan tangan kirinya, maka Ibnu Mas'ud berdiri di sebelah kiri beliau. Maka kami bertiga berdiri melakukan shalat, masing-masing melakukan shalat sendirian, dan kami membaca sebagian dari Al-Qur'an sebanyak apa yang dikehendaki oleh Allah. Sedangkan Nabi ﷺ hanya membaca sebuah ayat Al-Qur'an yang beliau ulang-ulang bacaannya hingga sampai di penghujung malam. Setelah kami menunaikan shalat Subuh, aku berisyarat kepada Abdullah ibnu Mas'ud, meminta kepadanya untuk menanyakan apa yang telah diperbuat oleh Nabi ﷺ tadi malam. Maka Ibnu Mas'ud menjawab dengan isyarat tangannya, bahwa dia tidak mau menanyakan sesuatu pun kepada Nabi ﷺ hingga Nabi ﷺ sendirilah yang akan memberitahukannya kepada dia. Maka aku (Abu Dzar) bertanya, "Demi ayah dan ibuku, engkau telah membaca suatu ayat dari Al-Qur'an, padahal Al-Qur'an seluruhnya telah ada padamu. Seandainya hal itu dilakukan oleh seseorang dari kalangan kami, niscaya kami akan menjumpainya (mudah melakukannya)." Nabi ﷺ bersabda, "Aku berdoa untuk umatku." Aku bertanya, "Lalu apakah yang engkau peroleh atau apakah jawaban-Nya kepadamu?" Rasulullah ﷺ bersabda: “Aku mendapat jawaban (dari Allah) yang seandainya hal ini diperlihatkan kepada kebanyakan dari mereka sekali lihat, niscaya mereka akan meninggalkan shalat.”
Aku bertanya, "Bolehkah aku menyampaikan berita gembira ini kepada orang-orang?" Nabi ﷺ bersabda, "Tentu saja boleh." Maka aku pergi seraya merunduk sejauh lemparan sebuah batu (untuk mengumumkan kepada orang-orang). Tetapi Umar berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya jika engkau menyuruh orang ini untuk menyampaikannya kepada orang banyak, niscaya mereka akan enggan melakukan ibadah." Maka Nabi ﷺ memanggilku kembali, lalu aku kembali (tidak jadi mengumumkannya). Ayat tersebut adalah firman Allah ﷻ: “Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau; dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Maidah: 118)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Amr ibnul Haris; Bakr ibnu Wadah pernah menceritakan kepadanya hadits berikut dari Abdur Rahman ibnu Jubair, dari Abdullah ibnu Amr bin As, bahwa Nabi ﷺ membaca perkataan Nabi Isa yang disebutkan oleh firman-Nya: “Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau; dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkau Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al-Maidah: 118) Lalu beliau mengangkat kedua tangannya dan berdoa, "Ya Allah, selamatkanlah umatku," kemudian beliau menangis.
Maka Allah berfirman, "Wahai Jibril, pergilah kepada Muhammad dan Tuhanmu lebih mengetahui dan tanyakanlah kepadanya apa yang menyebabkan dia menangis." Malaikat Jibril datang menemui Nabi ﷺ dan bertanya kepadanya. Maka Rasulullah ﷺ menceritakan apa yang telah diucapkannya padahal Allah lebih mengetahui tentang itu. Allah berfirman, "Wahai Jibril, pergilah kepada Muhammad dan katakanlah (kepadanya) bahwa sesungguhnya Kami akan membuatnya sukacita tentang nasib umatnya, dan Kami tidak akan membuatnya bersedih hati."
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Husain, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Hubairah; ia pernah mendengar Abu Tamim Al-Jaisyani mengatakan bahwa telah menceritakan kepadanya Sa'id ibnu Musayyab; ia pernah mendengar Huzaifah ibnul Yaman menceritakan hadits berikut: Pada suatu hari Rasulullah ﷺ tidak menampakkan dirinya kepada kami. Beliau tidak keluar, hingga kami menduga bahwa beliau ﷺ tidak akan keluar hari itu. Dan ketika beliau keluar, maka beliau langsung melakukan sujud sekali sujud (dalam waktu yang lama) sehingga kami menduga bahwa roh beliau dicabut dalam sujudnya itu. Setelah mengangkat kepalanya (dari sujud), beliau bersabda: “Sesungguhnya Tuhanku telah meminta pendapatku sehubungan dengan umatku, yakni apakah yang akan dilakukan-Nya terhadap mereka? Maka aku menjawab, “Ya Tuhanku, terserah kepada-Mu, mereka adalah makhluk dan hamba-hamba-Mu. Allah meminta pendapatku kedua kalinya, dan aku katakan kepada-Nya hal yang sama.”
Maka Allah berfirman kepadaku, "Aku tidak akan mengecewakanmu sehubungan dengan umatmu, wahai Muhammad.” Dan Allah memberi kabar gembira kepadaku bahwa orang yang mula-mula masuk surga dari kalangan umatku bersama-sama denganku adalah tujuh puluh ribu orang, dan setiap seribu orang (dari mereka) ditemani oleh tujuh puluh ribu orang, mereka semuanya tidak terkena hisab. Kemudian Allah mengirimkan utusan kepadaku untuk menyampaikan firman-Nya, "Berdoalah, niscaya kamu diperkenankan; dan mintalah, niscaya diberi.” Maka kukatakan kepada utusanNya (yakni Malaikat Jibril), "Apakah Tuhanku akan memberi permintaanku? Ia menjawab, "Tidak sekali-kali Dia mengutusku kepadamu melainkan untuk memberimu.”
Sesungguhnya Tuhanku telah memberiku tanpa membanggakan diri dan telah memberikan ampunan bagiku atas semua dosaku yang terdahulu dan yang kemudian, sedangkan aku masih berjalan dalam keadaan hidup dan sehat. Dan Dia memberiku, bahwa umatku tidak akan kelaparan dan tidak akan terkalahkan. Dia memberiku Al-Kautsar, yaitu sebuah sungai di dalam surga yang mengalir ke telagaku. Dia memberiku kejayaan, pertolongan, dan rasa takut (mencekam musuh-musuhku yang) berada di hadapan umatku dalam jarak perjalanan satu bulan. Dia memberiku bahwa aku adalah nabi yang mula-mula masuk surga. Dan Dia menghalalkan bagiku dan bagi umatku ganimah (rampasan perang), serta Dia telah menghalalkan bagi kami banyak hal yang dilarang keras atas umat-umat sebelumku, dan Dia tidak menjadikan suatu kesempitan pun bagi kami dalam agama.”
Nabi Isa lalu mengembalikan nasib umatnya yang menyimpang dari ajarannya di akhirat kepada keputusan Allah. Wahai Tuhan Yang Maha Bijaksana, jika Engkau menyiksa mereka, karena mereka menjadikan aku dan ibuku dua tuhan selain Allah, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu, tidak ada seorang atau suatu apa pun yang menghalangi kehendak-Mu; dan jika Engkau mengampuni mereka, dengan kebesaran dan keagungan-Mu, meskipun mereka menyeleweng; sesungguhnya Engkaulah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana dalam segala yang hal yang Engkau putuskan. Allah menjawab apa yang disampaikan Nabi Isa dengan berfirman kepadanya, Inilah saat orang-orang yang benar tauhidnya kepada Allah, tidak mempertuhankan manusia, dan tidak beribadah kecuali kepada Allah; ibadahnya mengikuti ketentuan Allah, niatnya ikhlas dan hatinya bersih selama hidup di dunia, memperoleh manfaat dari kebenarannya di akhirat dengan memperoleh jaminan keselamatan dan terbebas dari azab jahanam. Mereka memperoleh surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, kenikmatan yang tiada bandingannya di dunia; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya, dalam keabadian tanpa batas waktu. Allah rida kepada mereka atas keyakinan mereka yang lurus, ibadah mereka yang istikamah, dan akhlak mereka yang mulia; dan mereka pun rida kepada-Nya atas segala perlakuan Allah kepada mereka. Itulah, sejatinya, kemenangan yang agung, menurut Allah.
Ayat ini menerangkan bahwa Isa menyerahkan sepenuhnya keputusan atas orang-orang Nasrani itu kepada Allah, dan beliau berlepas tangan dari tanggung jawab atas perbuatan mereka, karena beliau sudah menyampaikan seruannya sesuai dengan perintah Allah, yaitu mengesakan-Nya serta mengkhususkan ibadah kepada-Nya. Allah akan menjatuhkan hukuman kepada mereka sesuai dengan perbuatan mereka. Dialah yang mengetahui siapa di antara mereka yang tetap dalam tauhid dan siapa yang musyrik, siapa pula yang taat dan siapa yang ingkar, siapa yang saleh dan yang fasik. Jika Allah menjatuhkan azab atas mereka, maka azab itu jatuh kepada orang yang memang patut menerima azab. Mereka itu adalah hamba-hamba Allah, seharusnya mereka itu menyembah Allah, tidak menyembah selain Allah. Jika Allah memberikan pengampunan kepada mereka, maka pengampunan itu diberikan-Nya kepada mereka yang patut diberi-Nya dan yang patut menerimanya. Allah Mahakuasa dan berwenang dalam mengurusi segala perkara, tidak ada orang lain yang turut mengurusinya. Allah Mahabijaksana dalam menentukan keputusan atas perkara itu, dan Dia Maha Mengetahui siapakah di antara orang-orang Nasrani yang telah menjadi musyrik dan siapa pula yang masih dalam agama tauhid.
Mereka yang menjadi musyrik, tidak ada ampunan bagi dosa mereka. Firman Allah:
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. (an-Nisa'/4: 48)
Sejak permulaan abad masehi, sudah banyak aliran dalam kepercayaan yang tumbuh di kalangan penganut agama Nasrani. Sehingga banyak perselisihan yang timbul di antara mereka, maka semuanya terserah kepada Allah diazab atau diampuni di antara hamba-hamba-Nya sesuai dengan kehendak-Nya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
“Dan (ingatlah) tatkala berfirman Allah, Wahai Isa anak Maryam, adakah engkau pemah berkata kepada manusia, ‘Jadikanlah aku dan ibuku sebagai Tuban selain Allah?" Dia menjawab, ‘Mahasuci Engkau! Tidaklah patut bagiku bahwa akan mengatakan apa yang tidak hakku. Jika ada aku mengatakannya, niscaya Engkau telah mengetahuinya (sebab) Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku, sedangkan aku tidaklah mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya, Engkaulah yang lebih mengetahui akan hal yang gaib-gaib."‘
Ayat 116
Ayat 117
“Tidak ada yang aku katakan kepada mereka, kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku, (yaitu) bahwa hendaklah kamu beribadah kepada Allah, Tuhanku dan Tuhan kamu."
Tegasnya, dalam urusan kepercayaan dan iktikad sebagai dasar dari agama, tidaklah terlebih daripada jangka itu karena itulah yang Engkau wahyukan kepadaku, yaitu menyembah hanya kepada Allah Tuhanku dan Tuhan kamu. Agar aku dan kamu sama-sama bertuhan kepada Yang Satu itu saja, tidak ada Tuhan lain, apalagi diriku dan ibuku."Dan adalah aku menjadi penyaksi atas mereka itu, selama aku ada pada mereka." Artinya, selama aku hidup di kalangan mereka, aku sendiri pun menyaksikan bahwa apa yang aku sampaikan itu mereka jalankan baik-baik dan aku pun menjaga kalau-kalau ada pelanggaran. Aku tegur kalau mereka salah.
Maka, apa yang beliau jawabkan kepada Allah ini masih dapat kita lihat sisa buktinya dalam kitab-kitab pegangan orang Kristen sendiri. Pernah beliau menegur dengan keras ketika seorang muridnya berkata bahwa beliau adalah guru yang baik! Dengan tegas beliau berkata, yang baik hanyalah Allah!
“Namun tatkala telah Engkau wafatkan aku, adalah Engkau yang menjadi penilik atas mereka. Sedang Engkau, atas tiap-tiap sesuatu adalah penyaksinya."
Artinya, setelah aku meninggal, Engkaulah yang menilik dan meneliti mereka. Sebab setelah aku wafat, tugasku sebagai utusan Engkau selesailah sudah.
Tidaklah aku ketahui lagi apa yang mereka perbuat sesudahku dan ke mana mereka belokkan pengajaran yang kuberikan, pengaruh dari mana dan tersebab apa mereka jadi berubah. Engkaulah, Ya Tuhanku, Yang Mahatahu dan aku sebagai hamba-Mu tidaklah mengetahuinya lagi.
Dalam kesaksian orang Kristen sendiri kita mendapati pengakuan bahwa memang pada zaman al-Masih masih hidup, belum ada orang berpikir ke jurusan itu. Hal ini seperti tulisan salah seorang pemuka Kristen yang telah kita salinkan terlebih dahulu. Memang, setelah beliau tak ada lagi di dunia ini barulah timbul kepercayaan bahwa beliau adalah Tuhan. Adapun persembahan, pemujaan yang mendudukkan Maryam sebagai Tuhan, dan disebut kadang-kadang Timur dan Barat, terutama golongan Ortodoks, Katolik Yunani, dan Katolik Roma, memang mereka menaikkan martabat Maryam menjadi martabat ketuhanan. Tempat mereka memohon, berdoa, memohonkan apa-apa, meminta berkah, memohon kesembuhan dari sakit. Di satu tempat bernama Fatima di Portugal, tersebar berita bahwa seorang anak perempuan gembala melihat Maryam menampakkan diri kepadanya. Kemudian, tempat itu pun dijadikan tempat keramat, tempat memuja, yang terkenal dengan “The Miracle of Our Lady of Fatim." (Nama Fatima ialah bekas nama yang ditinggalkan orang Islam, ketika Spanyol dan Portugal di dalam kekuasaan Islam, penulis). Golongan Katolik berbangga dan merasa sangat berbahagia karena Paus Pius IX telah mengeluarkan Fatima perintah bahwasanya Maryam adalah dara suci, yang mengandung dalam serba kesucian. Lantaran itu, hendaklah dia dimuliakan dan disucikan sebagai Tuhan juga. Gereja Armeniya memanggilnya “Ibu Allah Yang Tercinta". Gereja Kopti (Iskandariyah) pun menyebutkan dia “Ibu Tuhan". Dan di rumah-rumah orang Katolik yang saleh di negeri kita di Indonesia ini, sebagaimana juga dalam gereja, selalulah dihormati patung dari “Ibu Maria". Dengan demikian, selain dari satu Tuhan adalah tiga oknum (Trinitas) ada tambahan lagi, yaitu Maryam pun Tuhan pula. Namun, kaum Protestan, menolak sama sekali anggapan Tuhan kepada Maryam itu.
Isa al-Masih diputuskan jadi Tuhan sesudah dia meninggal dan ibunya sendiri “diputuskan" menjadi Tuhan lama pula sesudah itu. Dan Isa al-Masih sendiri tidak tahu apa yang telah terjadi sesudah beliau tidak ada di dunia lagi.
Ayat 118
“Jika hendak Engkau adzab mereka itu maka sesungguhnya mereka itu adalah hamba-hamba Engkau. Dan jika Engkau beri ampun mereka maka sesungguhnya Engkau adalah Mahagagah, lagi Bijaksana."
Dalam ayat ini diterangkan betapa halnya al-Masih menyerahkan soal itu sepenuhnya kepada Allah, yang diriama: tafwidh. Mula-mula terkandunglah dalam ucapan itu bahwa al-Masih sendiri mengakui tegas bahwa mereka itu patuh diadzab oleh Allah karena telah mempersekutukan yang lain dengan Allah, terutama mempersekutukan dirinya dan ibunya dengan Allah. Teranglah perbuatan itu musyrik, dosa yang amat besar dan tak dapat diampuni.
Apabila Allah melakukan adzab kepada mereka, sudah sepatutnya karena mereka adalah hamba-hamba Allah belaka. Dan Allah berkuasa berbuat sesuatu terhadap hamba-Nya dan mengertilah Dia akan keadaan hamba-Nya itu. Allah mengetahui masing-masing hamba-Nya, walaupun berjuta, bermiliar banyaknya. Demikian juga jika ada di antara mereka yang diampuni kesalahannya oleh Allah adalah semuanya itu sesudah pemeriksaan yang teliti sekali dan dengan segenap kebijaksanaan. Itulah sebabnya, di ujung ayat tentang memberi ampun, disebut dua nama Allah: Mahagagah dan Mahabijaksana. Pada ayat-ayat yang lain, ayat yang berdiri memberi ampun biasanya diakhiri dengan Ghafur dan Rahim, Pengampun dan Penyayang, sedangkan di ayat ini diujungi dengan Aziz dan Hakim, Mahagagah. Artinya, bukan memberi ampun karena pilih kasih dan bukan karena kelemahan, melainkan karena Kegaga-perkasaan dan Kebijaksanaan jua. Dapatlah kita memahaminjawaban al-Masih itu melihat keadaan umat Kristen sendiri.
Pada anggapan kita, seluruh orang Kristen itu sudah sama saja kepercayaaanya. Oleh karena itu, menurut pandangan lahir kita semua, mereka itu akan diadzab karena mem-persekutukan Allah. Namun, jika diselidiki dengan saksama, mereka mempunyai berbagai sekte. Konon, tidak kurang dari 200 macam sekte. Misalkan kaum Unitarian: mereka tidaklah memegang kepercayaan bahwa al-Masih itu Allah atau anak Allah. Beliau hanya seorang rasul saja, sebagaimana rasul-rasul yang lain dan mereka pun tidak percaya bahwa Maryam Tuhan, atau ibu Tuhan, atau dianggap Tuhan untuk memohonkan apa-apa. Selain itu, ada pula yang menurut pandangan orang luar mereka itu masih Kristen, padahal mereka tidak menganut lagi kepercayaan Kristen sebab tidak cocok dengan akal pikiran mereka. Namun, mereka tidak berani menyatakan diri.
Ada juga yang telah masuk Islam dengan diam-diam, tetapi karena hidup dalam kalangan keluarga Kristen dalam negeri Kristen pula, mereka menjadi Islam dengan diam-diam, mengucap syahadat, mengakui tiada Tuhan melainkan Allah dan al-Masih adalah hamba Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Tidak ada keluarganya yang tahu sehingga dia dikuburkan secara Kristen juga di pekuburan Kristen, padahal dia mati dalam Islam. Dan banyak lagi contoh-contoh yang lain, pada zaman Fithrat yaitu kekosongan rasul di antara al-Masih dengan Muhammad ﷺ Niscaya, Allah melakukan hukum dengan serba kegagahan dan wibawa-Nya serta dengan bijaksana dan teliti. Lantaran itulah, al-Masih menyerahkan hal itu sebulatnya pada kegagahperkasaan dan kebijaksanaan Allah.
Ayat 119
“Beriman Allah, Inilah hari yang akan memberi manfaat kepada orang-orang yang benar kebenaran mereka."
Sekaligus dengan menyatakan firman Allah ini, tahulah kita bahwa Allah mengakui dan menghargai kebenaran yang diterangkan oleh rasul-Nya yang benar, yaitu Isa al-Masih.
Selama hidupnya, dia telah melakukan tugas dengan benar dan jujur. Dan tidak mengubah-ubah wahyu yang diturunkan Allah kepadanya. Dia sekali-kali tidak pernah menganjurkan manusia supaya menganggap dirinya atau ibunya sebagai Tuhan. Semuanya yang sudah berlaku itu hanyalah kejadian sesudah beliau tak ada lagi di dunia. Beliau tidaklah bertanggung jawab atas kesalahan anggapan orang terhadap beliau setelah meninggalkan dunia. Sebagaimana juga orang-orang besar yang lain, sebagaimana orang-orang saleh yang dipuja orang kuburan mereka setelah mereka mati, disembah dan dipandang sebagai berhala, menyerupai pandangan orang Kristen terhadap Maryam itu. Seumpama yang kita lihat orang-orang Islam yang tidak mengerti pokok ajaran agamanya, memuja kuburan Sayyid Abdulkadir Jailani di Baghdad, orang Syi'ah memuja kuburan Husain bin Ali di Karbala, orang awam Mesir memuja kuburan Imam Syafi'i, orang awam Jakarta memuja kuburan Alaidrus di Luar Batang. Mereka itu semua kala hidupnya tidak ada yang menyuruh orang mempersekutukan diri mereka dengan Allah. Mereka pun akan ditanya.
Sedang Isa al-Masih lagi ditanya, konon-lah yang lain itu. Karena semasa hidupnya, semua adalah orang yang benar, di akhirat ber-manfaatlah kebenaran mereka."Untuk mereka adalah surga-surga yang mengalir dari bawahnya sungal-sungai, hal keadaan kekal mereka di dalamnya selama-lamanya." Dan demikian pulalah halnya tiap-tiap manusia yang di kala hidup berlaku jujur dan benar, mereka pun akan ditempatkan dengan anbiya' (nabi-nabi) seperti al-Masih itu, yaitu shiddiqin (orang-orang yang benar) seperti Maryam ibu Isa dan Abu Bakar ash-Shiddiq, dan syuhada (orang-orang yang mati setelah memberikan kesaksian kebenaran Allah dengan nyawanya sendiri), dan shalihin (orang-orang yang saleh, banyak berbuat kebaikan), yang dahulu kita dapati pula dalam surah an-Nisaa' ayat 68. Semuanya diberi tempat dalam surga yang indah permai, dalam keadaan kekal selama-lamanya. Di dalam surga itu mereka pun mendapat nikmat yang lebih tinggi lagi, yaitu:
“Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Yang demikian itulah kemenangan yang besar."
Ridha inilah inti nikmat surga. Inilah nikmat ruhani paling dalam dan paling puncak. Untuk merasakan betapa tingginya nikmat ridha, cobalah tilik di dunia ini bagaimana rasa bahagianya orang yang mendapat ridha dari raja atau dari kepala negara. Ada seorang menteri yang bertahun-tahun tidak dapat melupakan tatkala rajanya atau kepala negaranya pernah mengajaknya tersenyum. Pada zaman kolonial dulu. Pangeran Ahmad Jayadiriingrat pernah menceritakan di dalam buku Kenang-kenangannya, betapa bahagia perasaannya saat dia diperbolehkan meng-hadap Ratu Wilhelmina. Ratu Belanda itu mengulurkan tangan kepadanya dan mengajaknya berjabat tangan dengan wajah yang berseri. Ketika itu, kata Pangeran Ahmad, berkatalah aku dalam diriku bahwa apa pun yang akan diperintahkan kepadaku akan aku junjung tinggi."Menitahlah Tuanku, segala titah patik junjung." Dan ada pula kisah lain, seorang menteri sehabis menghadap ke istana, langsung membunuh dirinya, karena yang sekali ini dalam satu pertemuan, raja tidak pernah memperlihatkan wajahnya kepadanya, tidak menoleh kepadanya. Dan dalam pergaulan pembesar-pembesar tingkat tinggi, menteri-menteri, ridha kepala negara itu menjadi perhitungan. Meskipun telah diberi pangkat tinggi, diberi bintang-bintang gemerlap penghias dada, masih berdebar hatinya dan berharap, adakah beliau atau baginda ridha kepadanya.
Sekarang datang keterangan ayat, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Ridha yang saling sambut dan saling balas, bukan laksana ladirig yang tajam sebelah dan bukan laksana bertepuk sebelah tangan. Inilah yang selamanya tak ada dalam dunia fana ini selama-lamanya. Terkadang, ketika seorang pembesar tinggi atau menteri telah merasa benar-benar ridha kepada raja atau kepala negaranya, tetapi karena fitnah orang lain yang merasa dengki, beliau belum juga membalas ridha itu. Oleh sebab itu, sela-lulah orang besar itu berhati murung dan tidak juga tercapai ridha-meridhai. Dan terkadang pula raja atau kepala negara itu dengan keri-dhaannya telah mengurbankan segenap tenaga, siang dan malam untuk kebahagiaan rakyat yang dicintainya, tetapi yang tidak membalas ridha itu pun masih banyak. Berapa banyak raja dan kepala negara yang benar-benar mengurbankan segenap tenaganya, demi kepentingan rakyatnya, tetapi masih dibenci. Tiga orang khalifah Rasulullah saw„ yaitu Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thaiib mati dibunuh orang. Siapa yang tidak mengakui bahwa ketiganya adalah Khulafaur Rasyidiri? Mengapa mereka dibunuh? Ya, karena masih ada yang tidak ridha dan masih ada yang tidak membalas keridhaan mereka.
Setelah memikirkan kejadian dunia yang seperti ini, marilah kembali resapkan di dalam jiwa kita bunyi ayat ini, “AHah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada AHah." Di sini, dapatlah kita memahami apa yang dimaksud oleh shafiyah yang besar, Rabi'atul
Adawiyah, ketika orang bertanya kepadanya, “Ya Rabi'ah, mana engkau yang senang, masuk surga, padahal tidak ada keridhaan Allah atau masuk neraka padahal engkau diridhai Allah?" Meskipun pertanyaan ini satu pertanyaan yang kacau, bertanya asal bertanya saja, Rabi'ah memberi juga jawab dengan tegas, “Biar masuk neraka asal Allah Ta'aala ridha kepadaku!"
Akhirnya ditutuplah surah al-Maa'idah ini dengan kunci tauhid uluhiyah dan rububiyah yang sejati, pegangan segenap orang beriman.
“Bagi Allahlah kerajaan semua langit dan bumi dan apa jua pun yang ada pada semuanya. Dan Dia atas segala sesuatu adalah Mahakuasa."
(ayat 120)