Ayat
Terjemahan Per Kata
ذَٰلِكَ
demikian
أَدۡنَىٰٓ
lebih dekat
أَن
agar
يَأۡتُواْ
mereka datang
بِٱلشَّهَٰدَةِ
dengan kesaksian
عَلَىٰ
atas
وَجۡهِهَآ
sebenarnya
أَوۡ
atau
يَخَافُوٓاْ
mereka takut
أَن
akan
تُرَدَّ
dikembalikan
أَيۡمَٰنُۢ
sumpah
بَعۡدَ
sesudah
أَيۡمَٰنِهِمۡۗ
sumpah mereka
وَٱتَّقُواْ
dan bertakwalah
ٱللَّهَ
Allah
وَٱسۡمَعُواْۗ
dan dengarkanlah
وَٱللَّهُ
dan Allah
لَا
tidak
يَهۡدِي
memberi petunjuk
ٱلۡقَوۡمَ
kaum
ٱلۡفَٰسِقِينَ
orang-orang yang fasik
ذَٰلِكَ
demikian
أَدۡنَىٰٓ
lebih dekat
أَن
agar
يَأۡتُواْ
mereka datang
بِٱلشَّهَٰدَةِ
dengan kesaksian
عَلَىٰ
atas
وَجۡهِهَآ
sebenarnya
أَوۡ
atau
يَخَافُوٓاْ
mereka takut
أَن
akan
تُرَدَّ
dikembalikan
أَيۡمَٰنُۢ
sumpah
بَعۡدَ
sesudah
أَيۡمَٰنِهِمۡۗ
sumpah mereka
وَٱتَّقُواْ
dan bertakwalah
ٱللَّهَ
Allah
وَٱسۡمَعُواْۗ
dan dengarkanlah
وَٱللَّهُ
dan Allah
لَا
tidak
يَهۡدِي
memberi petunjuk
ٱلۡقَوۡمَ
kaum
ٱلۡفَٰسِقِينَ
orang-orang yang fasik
Terjemahan
Hal itu lebih dekat untuk membuat mereka memberikan kesaksian yang sebenarnya, atau mereka merasa takut akan dikembalikan sumpahnya (kepada ahli waris) setelah mereka bersumpah. Bertakwalah kepada Allah dan dengarkanlah (perintah-Nya). Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.
Tafsir
(Hal itu) hukum yang telah disebutkan itu, yaitu yang menyangkut perpindahan sumpah kepada para ahli waris (lebih dekat) lebih mendekati untuk (menjadikan mereka mau mengemukakan) artinya para saksi itu atau orang-orang yang diwasiatkan (persaksiannya menurut apa yang sebenarnya) yang mendorong mereka untuk mengemukakan persaksian tanpa diubah-ubah dan juga tanpa khianat (atau) lebih dekat untuk menjadikan mereka (merasa takut akan dikembalikan sumpahnya sesudah mereka bersumpah) kepada para ahli waris yang mengajukan tuntutan, maka ahli waris si mayat melakukan sumpah yang menyatakan khianat mereka dan kedustaan yang mereka lakukan yang akibatnya mereka akan ditelanjangi kejelekannya hingga mereka harus mengganti kerugian kepada ahli waris mayat, oleh karena itu janganlah kamu berdusta. (Dan bertakwalah kamu kepada Allah) dengan cara meninggalkan perbuatan khianat dan dusta (dan dengarkanlah olehmu) dengan pendengaran yang insaf akan hal-hal yang kamu diperintahkan melakukannya (dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik) orang-orang yang keluar dari garis ketaatan terhadap-Nya atau orang-orang yang menyimpang dari jalan yang baik.
Tafsir Surat Al-Ma'idah: 106-108
Wahai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang dari kalian menghadapi kematian, sedangkan dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kalian, atau dua orang yang berlainan agama dengan kalian, jika kalian dalam perjalanan di muka bumi, lalu kalian ditimpa bahaya kematian. Kalian tahan kedua saksi itu sesudah shalat (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah jika kalian ragu, "(Demi Allah) kami tidak akan (menukar menjual sumpah ini dengan harga murah) membeli dengan sumpah ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau (berbuat) demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa.
Jika diketahui bahwa kedua saksi itu berbuat (zalim) dosa, maka dua orang yang lain di antara ahli waris yang berhak yang lebih dekat kepada orang yang meninggal (mengajukan tuntutan) untuk menggantikannya, lalu keduanya bersumpah dengan nama Allah, "Sesungguhnya kesaksian kami lebih layak diterima daripada kesaksian kedua saksi itu, dan kami tidak akan melampaui batas, sesungguhnya kami kalau (berbuat) demikian tentulah termasuk orang-orang yang menzalimi diri sendiri.”
Itu lebih dekat untuk (menjadikan para saksi) mengemukakan kesaksiannya menurut apa yang sebenarnya, dan (lebih dekat untuk menjadikan mereka) merasa takut akan dikembalikan sumpahnya (kepada ahli waris) sesudah mereka bersumpah. Dan bertakwalah kepada Allah dan dengarkanlah (perintah-Nya). Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.
Ayat 106
Ayat-ayat yang mulia ini mengandung ketentuan hukum yang jarang kejadiannya. Menurut suatu pendapat, hukum tersebut telah di-mansukh (direvisi), yaitu menurut apa yang diriwayatkan oleh Al-Aufi, dari Ibnu Abbas. Hammad ibnu Abu Sulaiman mengatakan dari Ibrahim bahwa ayat ini di-mansukh.
Sedangkan ulama lainnya yang merupakan mayoritas, menurut apa yang dikatakan oleh Ibnu Jarir menyebutkan bahkan ayat ini adalah muhkam (jelas berlaku); dan barang siapa yang mengatakan di-mansukh, maka dia harus mengetengahkan buktinya.
Firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kalian menghadapi kematian, sedangkan dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang.” (Al-Maidah: 106)
Lafal isnani berkedudukan sebagai khabar, karena sebelumnya terdapat firman Allah ﷻ, "Syahadatu bainikum" (kesaksian di antara kalian dilakukan oleh) yang berkedudukan sebagai mubtada-nya. Menurut pendapat lain, bentuk lengkap lafal isnani ialah syahadatus naini, kemudian mudaf-nya dibuang, lalu mudaf ilaih-nya ditetapkan menggantikan kedudukannya.
Menurut pendapat lainnya lagi, konteks pembicaraan menunjukkan adanya kalimat yang tidak disebutkan; bentuk lengkapnya ialah an yasyhadas nani.
Firman Allah ﷻ: “Yang adil kedua-duanya.” (Al-Maidah: 106) berkedudukan sebagai sifat dari lafal isnani, yaitu hendaknya kedua saksi itu adil kedua-duanya.
Firman Allah ﷻ: “Dari kalangan kalian.” (Al-Maidah: 106)
Yakni dari kalangan kaum muslim. Demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh jumhur ulama.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: “Oleh dua orang yang adil di antara kalian.” (Al-Maidah: 106) Bahwa yang dimaksud ialah dari kalangan kaum muslim.
Demikianlah menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa telah diriwayatkan dari Ubaidah, Sa'id ibnul Musayyab, Al-Hasan, Mujahid, Yahya ibnu Ya'mur, As-Suddi, Qatadah, Muqatil ibnu Hayyan, dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam serta lain-lainnya hal yang serupa.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa ulama lainnya mengartikan makna firman-Nya: “Oleh dua orang yang adil di antara kalian.” (Al-Maidah: 106) Makna yang dimaksud ialah dari kalangan keluarga orang yang berwasiat.
Hal inilah yang dikatakan oleh suatu pendapat yang diriwayatkan dari Ikrimah dan Ubaidah serta beberapa orang ulama lainnya.
Firman Allah ﷻ: “Atau dua orang yang berlainan agama dengan kalian.” (Al-Maidah: 106)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Auf, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid ibnu Ziyad, telah menceritakan kepada kami Habib ibnu Abu Amrah, dari Sa'id ibnu Jubair, bahwa Ibnu Abbas telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Atau dua orang yang berlainan agama dengan kalian.” (Al-Maidah: 106) Bahwa yang dimaksud ialah dari kalangan selain kaum muslim, yakni kaum Ahli Kitab.
Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa hal yang serupa telah diriwayatkan dari Ubaidah, Syuraih, Sa'id ibnul Musayyab, Muhammad ibnu Sirin, Yahya ibnu Ya'mur, Ikrimah, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Asy-Sya'bi, Ibrahim An-Nakha'i, Qatadah, Abu Mijlaz, As-Suddi, Muqatil ibnu Hayyan, Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dan lain-lainnya.
Menurut riwayat yang diketengahkan oleh Ibnu Jarir, dari Ikrimah dan Ubaidah, sehubungan dengan firman-Nya, "Minkum" (yakni dari kalangan kalian), makna yang dimaksud ialah dari pihak pemberi wasiat.
Dengan demikian, berarti makna yang dimaksud oleh firman-Nya, "Au akharani min gairikum" yakni dari kalangan selain pihak pemberi wasiat. Hal yang serupa telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, dari Al-Hasan Al-Basri dan Az-Zuhri.
Firman Allah ﷻ: “Jika kalian dalam perjalanan di muka bumi.” (Al Maidah: 106)
Yakni sedang melakukan perjalanan “lalu kalian ditimpa bahaya kematian.” (Al-Maidah: 106) Hal tersebut merupakan dua syarat bagi pembolehan mengangkat saksi dari kalangan kafir zimmi, jika saksi dari kalangan orang-orang mukmin tidak didapat; yaitu hendaknya hal tersebut terjadi dalam perjalanan, dan kedua hendaknya dalam kasus wasiat. Demikianlah menurut keterangan yang dikemukakan oleh Syuraih Al-Qadi.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah dan Waki'; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Syuraih, bahwa tidak boleh memakai kesaksian orang Yahudi dan Nasrani kecuali dalam perjalanan. Tidak boleh pula menerimanya dalam perjalanan, kecuali dalam kasus wasiat.
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abu Kuraib, dari Abu Bakar ibnu Ayyasy, dari Abu Ishaq As-Subai'i yang mengatakan bahwa Syuraih telah mengatakan hal yang serupa. Telah diriwayatkan pula hal yang serupa dari Imam Ahmad ibnu Hambal, dan masalah ini termasuk masalah munfarid-nya. Ketiga imam lainnya berbeda pendapat, mereka mengatakan bahwa tidak boleh mengangkat kesaksian orang zimmi atas kaum muslim. Tetapi Imam Abu Hanifah membolehkannya selagi dalam batasan di antara sesama mereka yang zimmi.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Abu Daud, telah menceritakan kepada kami Saleh ibnu Abul Akhdar, dari Az-Zuhri yang menceritakan bahwa sunnah telah menetapkan bahwa tidak boleh memakai kesaksian orang kafir, baik di tempat maupun dalam perjalanan; sesungguhnya kesaksian itu hanyalah bagi orang-orang muslim.
Ibnu Zaid mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang lelaki yang menghadapi kematiannya, sedangkan di dekatnya tidak ada seorang pun dari kalangan pemeluk agama Islam. Hal ini terjadi di masa permulaan Islam, yaitu di saat mereka berada di tempat musuh dan semua orang dalam keadaan kafir. Orang-orang (kaum muslim) saling mewaris mempergunakan wasiat. Kemudian hukum wasiat (yakni kefarduannya) dihapuskan dan ditetapkanlah faraid (pembagian waris), dan semua kaum muslim mengamalkannya. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir, tetapi kesahihan hal ini masih perlu dipertimbangkan lagi.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa telah diperselisihkan makna firman-Nya: “Apabila salah seorang dari kalian menghadapi kematian, sedangkan dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kalian, atau dua orang yang berlainan agama dengan kalian.” (Al-Maidah: 106) Apakah makna yang dimaksud adalah 'berwasiat kepada keduanya' ataukah 'mengangkat keduanya menjadi saksi', ada dua pendapat mengenainya.
Pertama, orang yang bersangkutan memberikan wasiat kepada keduanya, yakni menitipkannya, seperti yang dikatakan oleh Muhammad ibnu Ishaq, dari Yazid ibnu Abdullah ibnu Qasit yang menceritakan bahwa sahabat Ibnu Mas'ud pernah ditanya mengenai makna ayat ini.
Maka ia menjawab, "Seorang lelaki sedang melakukan suatu perjalanan dengan membawa hartanya, kemudian takdir batas umurnya telah berada di ambang pintu. Maka jika ia menemukan dua orang lelaki dari kaum muslim, ia boleh menyerahkan harta peninggalannya kepada kedua orang lelaki itu, dan penyerahan itu disaksikan oleh dua orang yang adil dari kalangan kaum muslim.” Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim, tetapi di dalam riwayat ini terdapat inqitha’'.
Kedua, sesungguhnya kedua orang tersebut merupakan dua orang saksi. Pengertian ini sesuai dengan makna lahiriah ayat. Jika tidak ada orang ketiga bersama keduanya, maka kedua orang itu merangkap sebagai penerima titipan wasiat, juga sebagai saksinya, seperti yang terjadi pada kisah Tamim Ad-Dari dan Addi ibnu Bada yang akan diterangkan kemudian.
Ibnu Jarir sulit menanggapi kedua penerima wasiat itu sebagai saksi, dengan alasan dia belum pernah mengetahui ada suatu ketentuan hukum yang membolehkan saksi disumpah.
Kenyataan tersebut sama sekali tidak berlandaskan ketentuan hukum yang dikandung oleh ayat yang mulia ini, mengingat ketentuan hukumnya merupakan hukum yang berdiri sendiri. Secara mendasar hukum ini tidak diharuskan berjalan sesuai dengan kaidah yang berlaku dalam semua hukum. Hukum dalam ayat ini bersifat khusus, dengan kesaksian yang khusus, dan terjadi dalam tempat yang khusus pula.
Untuk hal seperti ini dapat dimaafkan semua hal yang tidak dimaafkan pada ketentuan hukum lainnya. Untuk itu apabila terdapat qarinah yang menandai adanya kecurigaan, maka saksi ini boleh disumpah. Demikianlah menurut pengertian yang ditunjukkan oleh ayat yang mulia ini.
Firman Allah ﷻ: “Kalian tahan kedua saksi itu sesudah shalat (untuk bersumpah).” (Al-Maidah: 106)
Menurut Al-Aufi, dari Ibnu Abbas, shalat yang dimaksud adalah shalat Asar. Hal yang sama telah dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair, Ibrahim An-Nakha'i, Ikrimah, dan Muhammad ibnu Sirin.
Sedangkan menurut Az-Zuhri, shalat yang dimaksud ialah shalat kaum muslim (tanpa ikatan waktu).
As-Suddi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan "shalat" dalam ayat ini ialah shalat menurut agamanya masing-masing. Telah diriwayatkan dari Abdur Razzaq, dari Ayyub, dari Ibnu Sirin, dari Ubaidah hal yang serupa; dan hal yang sama telah dikatakan oleh Ibrahim dan Qatadah serta lain-lainnya yang tidak hanya seorang.
Makna yang dimaksud ialah kedua saksi tersebut ditampilka berdiri sesudah shalat jamaah yang dilakukan oleh orang banyak di hadapan mereka. “Lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah.” (Al-Maidah: 106) Yakni keduanya disumpah dengan menyebut nama Allah.
“Jika kalian ragu-ragu.” (Al-Maidah: 106)
Yakni jika tampak oleh kalian tanda yang mencurigakan pada keduanya, bahwa keduanya akan berbuat khianat atau melakukan penggelapan. Maka saat itu kalian boleh menyumpah keduanya dengan menyebut nama Allah. “(Demi Allah) kami tidak akan menukar sumpah ini.” (Al-Maidah: 106) Menurut Muqatil ibnu Hayyan, yang dimaksud ialah tidak menjual sumpahnya.
“Harga murah.” (Al-Maidah: 106)
Yakni kami tidak akan menukar sumpah ini dengan harga yang sedikit berupa kebendaan yang fana dan pasti lenyap itu.
“Walaupun dia karib kerabat.” (Al-Maidah: 106)
Yakni sekalipun orang yang disaksikannya itu adalah karib kerabat sendiri, kami tidak akan memihaknya.
“Dan tidak (pula) kami menyembunyikan kesaksian Allah.” (Al-Maidah: 106)
Lafal syahddah di-mudaf-kan kepada lafal Allah, sebagai penghormatan terhadap kesaksian itu dan sekaligus mengagungkannya.
Tetapi sebagian ulama ada yang membacanya syahadatillah dengan dibaca jar karena dianggap sebagai qasam (sumpah), menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Amir Asy-Sya'bi.
Dan telah diriwayatkan dari sebagian ulama bacaan rafa', yaitu menjadi syahadatullah. Akan tetapi, qiraat pertama adalah qiraat yang terkenal.
“Sesungguhnya kami kalau (berbuat) demikian tentu termasuk orang-orang yang berdosa.” (Al-Maidah: 106) Yakni jika kami melakukan sesuatu penyimpangan dalam kesaksian ini atau mengganti atau mengubah atau menyembunyikannya sama sekali.
Ayat 107
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Jika diketahui bahwa kedua (saksi ini) berbuat dosa.” (Al-Maidah: 107)
Yakni jika terbuka dan tampak serta terbukti bahwa kedua saksi wasiat tersebut berbuat khianat atau menggelapkan sebagian dari harta yang dititipkan kepada keduanya, dan barangnya ada pada keduanya. “Maka dua orang yang lain di antara ahli waris yang berhak yang lebih dekat kepada orang yang meninggal (memajukan tuntutan) untuk menggantikannya.” (Al-Maidah: 107) Lafal al-awlayani menurut qiraat jumhur ulama.
Tetapi telah diriwayatkan dari Ali, Ubay, dan Al-Hasan Al-Basri bahwa mereka membacanya al-awwalani.
Imam Hakim telah meriwayatkan di dalam kitab Mustadrak-nya melalui jalur Ishaq ibnu Muhammad Al-Farawi, dari Sulaiman ibnu Bilal, dari Ja'far ibnu Muhammad, dari ayahnya, dari Ubaidillah ibnu Abu Rafi', dari Ali ibnu Abu Thalib , bahwa Nabi ﷺ membaca ayat ini dengan bacaan berikut: “Al-awlayani.”
Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih dengan syarat Imam Muslim, tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak mengetengahkannya.
Sebagian yang lain salah satunya adalah Ibnu Abbas membacanya al-awlayayni. Dan Al-Hasan membacanya al-awwalani. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Berdasarkan qiraat jumhur ulama, artinya adalah "manakala hal tersebut terbukti melalui berita yang benar yang menunjukkan keduanya telah berkhianat, hendaklah ada dua orang dari kalangan ahli waris dari tirkah itu bangkit mengajukan tuntutan penggantian.
Dan hendaklah ahli waris ini adalah orang yang paling dekat kekerabatannya dan paling berhak mewaris harta tersebut. Lalu keduanya bersumpah dengan nama Allah:
"Sesungguhnya kesaksian kami lebih layak diterima daripada kesaksian kedua saksi itu.” (Al-Maidah: 107)
Yakni sesungguhnya ucapan kami yang menuduh keduanya berbuat khianat adalah benar, dan kesaksian kami lebih shahih serta lebih kuat daripada kesaksian yang diajukan oleh kedua saksi sebelumnya.
“Dan kami tidak melampaui batas.” (Al-Maidah: 107)
Yakni dalam ucapan kami yang mengatakan bahwa keduanya telah berbuat khianat.
“Sesungguhnya kami kalau (berbuat) demikian tentu termasuk orang-orang yang menzalimi diri sendiri.” (Al-Maidah: 107)
Yakni sesungguhnya jika kami seperti itu, berarti kami berdusta terhadap keduanya.
Hak bersumpah bagi para ahli waris dan berpegang kepada ucapannya, perihalnya sama dengan para wali si terbunuh yang bersumpah, yaitu apabila tampak adanya penyimpangan dari pihak si pembunuh.
Maka mereka yang berhak menuntut darah bersumpah terhadap si pembunuh, kemudian si pembunuh diserahkan bulat-bulat kepada mereka, seperti yang disebutkan di dalam kitab fiqih, Bab "Qasamah” (Sumpah).
Di dalam hadits pernah terjadi masalah yang serupa dengan apa yang ditunjukkan oleh ayat yang mulia ini. Untuk itu, Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Al-Husain ibnu Ziad, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Salamah, dari Muhammad ibnu Ishaq, dari Abun Nadr, dari Badam (yakni Abu Saleh maula Ummu Hani binti Abu Thalib), dari Ibnu Abbas, dari Tamim Ad-Dari sehubungan dengan ayat ini, yaitu firman Allah ﷻ: “Wahai orang-orang yang beriman, diperlukan kesaksian di antara kalian apabila seorang dari kalian menghadapi kematian.” (Al-Maidah: 106), hingga akhir ayat.
Tamim Ad-Dari mengatakan, "Semua orang terbebas dari ayat ini selain aku dan Addi ibnu Bada." Dahulu ketika masih beragama Nasrani, mereka berdua sering berangkat menuju negeri Syam, yaitu sebelum keduanya masuk Islam. Pada suatu ketika, ketika keduanya tiba di negeri Syam dalam rangka misi dagangnya, maka bergabunglah dengan keduanya seorang maula dari Bani Sahm yang dikenal dengan nama Badil ibnu Abu Maryam yang juga datang membawa barang dagangannya, antara lain sebuah piala perak yang tujuannya ialah untuk ia jual kepada seseorang yang berpredikat bangsawan; piala ini merupakan barang yang paling berharga dari semua dagangannya.
Kemudian Badil jatuh sakit, maka ia berwasiat kepada keduanya (Tamim dan Addi) untuk menyampaikan semua barang yang ditinggalkannya kepada keluarganya. Tamim menceritakan, "Setelah Badil meninggal dunia, kami mengambil piala tersebut, lalu kami jual dengan harga seribu dirham. Selanjutnya hasilnya kami bagi dua antara diriku dan Addi. Dan ketika kami tiba pada keluarganya, kami serahkan semua yang ada pada kami. Tetapi mereka merasa kehilangan piala tersebut. Lalu mereka menanyakannya kepada kami, maka kami jawab bahwa Badil hanya meninggalkan semua ini dan tidak pernah menyerahkan yang lainnya kepada kami." Tamim melanjutkan kisahnya, bahwa setelah ia masuk Islam sesudah Rasulullah ﷺ hijrah ke Madinah, ia menyesali perbuatannya itu dan merasa berdosa karenanya. Kemudian ia datang kepada keluarga Badil dan menceritakan hal yang sebenarnya serta menyerahkan sejumlah uang yang terpakai olehnya sebanyak lima ratus dirham. Dan ia menceritakan kepada mereka bahwa yang separonya lagi ada di tangan temannya (yaitu Addi ibnu Bada).
Dengan serta merta mereka langsung menuntut Addi, maka Nabi ﷺ memerintahkan mereka untuk menyumpahnya dengan menyebut sesuatu yang paling diagungkan menurut penganut agamanya. Dan Addi pun melakukan sumpahnya, lalu turunlah firman Allah ﷻ: “Wahai orang-orang yang beriman, diperlukan kesaksian di antara kalian.” (Al-Maidah: 106) sampai dengan firman-Nya: “Lalu keduanya bersumpah dengan nama Allah, ‘Sesungguhnya kesaksian kami lebih layak diterima daripada kesaksian kedua saksi itu’." (Al-Maidah: 107) Maka berdirilah Amr ibnul As dan seorang lelaki lain dari kalangan mereka, lalu keduanya bersumpah, setelah itu disitalah uang lima ratus dirham tersebut dari tangan Addi ibnu Bada.
Ayat 108
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abu Isa Imam At-Tirmidzi dan Ibnu Jarir, keduanya dari Al-Hasan ibnu Ahmad ibnu Abu Syu'aib Al-Harrani, dari Muhammad ibnu Salamah, dari Muhammad ibnu Ishaq dengan sanad yang sama. Di dalam riwayat ini disebutkan, "Lalu mereka menghadapkan Addi kepada Rasulullah ﷺ, dan Rasulullah ﷺ meminta bukti dari mereka, tetapi mereka tidak dapat mengemukakannya. Maka Rasulullah ﷺ memerintahkan mereka untuk menyumpahnya dengan menyebut nama sesuatu yang paling diagungkan menurut pemeluk agamanya. Akhirnya Addi bersumpah." Dan Allah ﷻ menurunkan ayat ini sampai dengan firman-Nya: “Dan (lebih dekat untuk menjadikan mereka) merasa takut akan dikembalikan sumpahnya (kepada ahli waris) sesudah mereka bersumpah.” (Al-Maidah: 108) Dan ternyata Addi tidak berani mengemukakan sumpahnya. Akhirnya berdirilah Amr ibnul As dan lelaki lain, lalu keduanya bersumpah, dan disitalah dari tangan Addi sebanyak lima ratus dirham.
Kemudian Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini gharib, sanadnya tidak shahih; dan Abun Nadr yang Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan hadits ini darinya, menurutku dia adalah Muhammad ibnus Saib Al-Kalbi yang dipanggil dengan nama julukan 'Abun Nadr. Para ahlul ilmi tidak memakai hadisnya, dia adalah pemilik kitab tafsir. Saya pernah mendengar Muhammad ibnu Ismail mengatakan bahwa nama kinayah Muhammad ibnus Saib Al-Kalbi ialah Abun Nadr. Saya belum pernah mendengar bahwa Abu Nadr pernah meriwayatkan dari Abu Saleh maula Ummu Hani'.
Dan telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas sesuatu dari hal ini dengan singkat melalui jalur lain. Disebutkan telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Adam, dari Ibnu Abu Zaidah, dari Muhammad ibnu Abul Qasim, dari Abdul Malik ibnu Sa'id ibnu Jubair, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa seorang lelaki dari Bani Sahm melakukan suatu perjalanan bersama Tamim Ad-Dari dan Addi ibnu Bada.
Lalu di tengah jalan yang tidak ada seorang muslim pun, orang dari Bani Sahm itu meninggal dunia. Ketika keduanya pulang dengan membawa harta peninggalan teman mereka, maka ahli warisnya merasa kehilangan sebuah piala perak yang dilapisi dengan emas. Maka Rasulullah ﷺ menyumpah keduanya. Ternyata para ahli waris menemukan piala tersebut di Mekah, dan mendapat jawaban dari pemegangnya bahwa ia telah membelinya dari Tamim dan Addi. Maka dua orang lelaki dari kalangan wali lelaki dari Bani Sahm itu bangkit dan bersumpah dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya kesaksian kami lebih layak untuk diterima dan sesungguhnya piala itu adalah milik ahli warisnya. Sehubungan dengan kisah mereka itu turunlah firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, diperlukan kesaksian di antara kalian.” (Al-Maidah: 106), hingga akhir ayat.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abu Daud, dari Al-Hasan ibnu Ali, dari Yahya ibnu Adam dengan lafal yang sama. Kemudian Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib. Ini merupakan hadits Abu Zaidah dan Muhammad ibnu Abul Qasim Al-Kufi. Menurut suatu pendapat, hadits yang diriwayatkannya dapat diterima.
Kisah ini telah disebutkan secara mursal tidak hanya oleh seorang ulama dari kalangan tabi'in, melainkan banyak, antara lain Ikrimah, Muhammad ibnu Sirin, dan Qatadah. Dan mereka menyebutkan bahwa penyumpahan tersebut dilakukan sesudah shalat Asar. Ibnu Jarirlah yang meriwayatkannya. Dan hal yang sama disebutkan secara mursal oleh Mujahid, Al-Hasan, dan Adh-Dhahhak.
Hal ini jelas menunjukkan ketenaran dan kesahihan kisah ini di kalangan ulama Salaf. Termasuk salah satu syahid (bukti) yang membuktikan kesahihan kisah ini adalah apa yang telah diriwayatkan oleh Abu Ja'far ibnu Jarir. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepadaku Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Hasyim yang mengatakan telah menceritakan kepada kami Zakaria, dari Asy-Sya'bi, bahwa pernah ada seorang lelaki dari kalangan kaum muslim merasa usianya tidak lama lagi di perjalanannya.
Ketika maut akan menjemputnya dan ia tidak menemukan seorang pun dari kalangan kaum muslim untuk menjadi saksi bagi wasiat yang akan dikemukakannya di tempat itu, maka terpaksa ia mengangkat dua orang lelaki dari kalangan Ahli Kitab sebagai saksi untuk wasiatnya. Asy-Sya'bi melanjutkan kisahnya,"Lalu kedua lelaki Ahli Kitab itu tiba di Kufah, dan keduanya datang menghadap Al-Asy'ari yakni Abu Musa Al-Asy'ari , kemudian menceritakan kepadanya apa yang telah dialami keduanya dan yang menyebabkan kunjungannya ke Kufah, yaitu karena membawa harta peninggalan si lelaki muslim dan wasiatnya." Abu Musa Al-Asy'ari berkata, "Kasus ini baru sekarang terjadi lagi setelah pernah terjadi di masa Rasulullah ﷺ." Kemudian Abu Musa Al-Asy'ari menyumpah keduanya sesudah shalat Asar dengan nama Allah, bahwa keduanya tidak berkhianat, tidak berdusta, tidak mengganti, tidak menyembunyikan, tidak pula mengubahnya. Dan bahwa apa yang disampaikannya itu benar-benar merupakan wasiat si lelaki muslim tersebut secara apa adanya berikut harta peninggalannya. Dan akhirnya Abu Musa Al-Asy'ari menerima sumpah keduanya.
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Amr ibnu Ali Al-Fallas, dari Abu Daud At-Tayalisi, dari Syu'bah, dari Mugirah Al-Azraq, dari Asy-Sya'bi, bahwa Abu Musa memutuskan demikian. Kedua atsar ini berpredikat shahih sampai kepada Abu Musa Al-Asy'ari melalui Asy-Sya'bi.
Ucapan Abu Musa Al-Asy'ari bahwa kasus seperti ini belum pernah terjadi sejak apa yang telah terjadi di masa Rasulullah ﷺ, makna yang dimaksud secara lahiriahnya hanya Allah yang lebih mengetahui, tiada lain adalah kisah Tamim dan Addi ibnu Bada tadi. Mereka menyebutkan bahwa masuk Islamnya Tamim ibnu Aus Ad-Dari adalah pada tahun sembilan Hijriah. Berdasarkan data ini, berarti hukum tersebut terjadi di akhir masa. Dengan demikian, berarti orang yang menduga bahwa hukum ini dimansukh (direvisi) dituntut mengemukakan dalil yang terinci untuk membuktikan kebenaran dugaannya terhadap masalah yang dimaksud.
Asbat telah meriwayatkan dari As-Suddi sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila seseorang dari kalian menghadapi kematian, sedangkan dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kalian.” (Al-Maidah: 106) Bahwa hal ini berkenaan dengan masalah berwasiat di saat menjelang kematian. Orang yang bersangkutan mengemukakan wasiatnya dan disaksikan.oleh dua orang saksi lelaki dari kalangan kaum muslim untuk menyaksikan harta dan hal-hal yang diwasiatkannya. Dan hal ini dilakukan bilamana orang yang bersangkutan berada di tempat tinggalnya.
“Atau dua orang yang berlainan agama dengan kalian.” (Al-Maidah: 106)
Yakni bilamana orang yang bersangkutan berada dalam perjalanannya.
“Jika kalian dalam perjalanan di muka bumi, lalu kalian ditimpa bahaya kematian.” (Al-Maidah: 106)
Yakni bila orang yang bersangkutan menghadapi kematiannya dalam perjalanan, sedangkan di dekatnya tidak dijumpai seorang muslim pun. Maka ia boleh memanggil dua orang lelaki dari kalangan orang-orang Yahudi, Nasrani, atau Majusi, lalu berwasiat kepada keduanya dan menyerahkan (menitipkan) harta peninggalannya, kemudian kedua saksi itu mau menerimanya.
Apabila keluarga mayat rela dengan wasiat tersebut dan mengenal kedua saksinya, maka mereka boleh membiarkan saksi-saksi itu. Tetapi jika keluarga mayat merasa curiga terhadap kedua saksinya, mereka boleh naik banding kepada sultan (penguasa). Hal inilah yang diungkapkan oleh Allah ﷻ melalui firman-Nya: “Kamu tahan kedua saksi itu sesudah shalat (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah jika kalian ragu.” (Al-Maidah: 106) Abdullah ibnu Abbas mengatakan, "Seakan-akan aku melihat dua orang kafir ketika keduanya datang menghadap Abu Musa Al-Asy'ari di rumahnya. Lalu Abu Musa membuka lembaran wasiat tersebut, tetapi ahli waris si mayat tidak mempercayai keduanya dan mereka mengancamnya.
Maka Abu Musa bermaksud akan menyumpah keduanya sesudah shalat Asar. Lalu aku berkata, 'Sesungguhnya kedua orang ini tidak mempedulikan shalat Asar, sebaiknya dia disumpah sesudah melakukan shalat menurut agamanya.' Maka kedua lelaki itu disuruh berdiri sesudah menjalankan sembahyang menurut agamanya, lalu keduanya disuruh bersumpah dengan nama Allah, bahwasanya mereka berdua tidak akan menggantinya (kepercayaan yang diberikan kepadanya) dengan harga murah (yakni harta duniawi), walaupun orang yang disaksikannya itu karib kerabatnya.
Dan kami tidak akan menyembunyikan kesaksian Allah; sesungguhnya kalau demikian tentulah kami termasuk orang-orang yang berdosa. Dan bahwasanya teman mereka (yang telah meninggal dunia itu) benar-benar mewasiatkan hal tersebut dan bahwa harta peninggalannya adalah yang diserahkan oleh mereka." Sebelum keduanya mengutarakan sumpahnya, hendaklah pihak imam berkata kepada keduanya, "Sesungguhnya kamu berdua jika menyembunyikan sesuatu atau kamu berdua berbuat khianat, niscaya aku akan mempermalukanmu di kalangan kaummu, kemudian kamu berdua tidak boleh menjadi saksi lagi serta aku akan menghukum kamu berdua." Apabila imam telah mengatakan hal tersebut kepada keduanya: Itu lebih dekat untuk (menjadikan para saksi) mengemukakan kesaksiannya menurut apa yang sebenarnya. (Al-Maidah: 108) Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Ibnu Jarir telah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Mugirah, dari Ibrahim dan Sa'id ibnu Jubair, bahwa keduanya telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, diperlukan kesaksian di antara kalian.” (Al-Maidah: 106), hingga akhir ayat. Bahwa apabila seorang lelaki menghadapi saat ajalnya di dalam perjalanan, hendaklah ia mengangkat dua orang lelaki dari kalangan kaum muslim untuk menjadi saksinya.
Jika ia tidak menemukan dua orang lelaki muslim, maka dapat dipakai dua orang lelaki dari kalangan Ahli Kitab. Apabila kedua saksi itu tiba dengan membawa harta peninggalan si mayat, dan ahli warisnya menerima kesaksian keduanya, maka ucapan keduanya dapat diterima. Jika ahli waris si mayat mencurigai keduanya, maka keduanya disuruh bersumpah sesudah shalat Asar dengan menyebut nama Allah, bahwasanya keduanya tidak menyembunyikan sesuatu pun, tidak berdusta, tidak berkhianat, tidak pula mengubah wasiat yang disampaikannya.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan tafsir ayat ini, bahwa jika persaksian keduanya dicurigai, maka keduanya disuruh menyatakan sumpahnya sesudah shalat Asar dengan menyebut nama Allah, bahwasanya mereka tidak akan menukar kesaksiannya dengan harga murah. Jika pihak para wali (ahli waris) si mayat melihat bahwa kedua saksi kafir ini berdusta dalam kesaksiannya, hendaklah dua orang lelaki dari kalangan ahli waris si mayat berdiri, lalu menyatakan sumpahnya dengan menyebut nama Allah, bahwa kesaksian kedua orang kafir itu dusta, dan mereka tidak menganggapnya.
Yang demikian itulah yang dimaksud oleh firman-Nya: “Jika diketahui bahwa kedua (saksi itu) bererbuat dosa.” (Al-Maidah: 107) Yakni jika ahli waris melihat adanya gelagat bahwa kedua orang kafir itu berdusta dalam kesaksiannya.
“Maka dua orang yang lain menggantikan keduanya.” (Al-Maidah: 107)
Yakni dari kalangan para wali si mayat. Lalu keduanya bersumpah dengan menyebut nama Allah, bahwa kesaksian kedua orang kafir itu batil dan kami tidak menganggapnya. Maka persaksian kedua orang kafir itu ditolak, sedangkan persaksian para wali si mayat diperbolehkan.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Al-Aufi, dari Ibnu Abbas. Kedua-duanya diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Demikianlah hukum itu ditetapkan sesuai dengan makna ayat oleh tidak hanya seorang dari kalangan para tabi'in yang terkemuka dan kalangan ulama Salaf, dan hal inilah yang dipegang oleh mazhab Imam Ahmad rahimahullah.
Firman Allah ﷻ: “Itu lebih dekat untuk (menjadikan para saksi) mengemukakan kesaksiannya menurut apa yang sebenarnya.” (Al-Maidah: 108)
Yakni demikianlah cara mempraktekkan hukum ini dengan cara yang lebih memuaskan, yaitu menyumpah kedua saksi yang zimmi serta menaruh rasa curiga terhadap keduanya. Hal ini lebih dekat untuk menjadikan keduanya mengemukakan persaksian menurut apa yang sebenarnya lagi memuaskan.
Firman Allah ﷻ: “Dan (lebih dekat untuk menjadikan mereka) merasa takut akan dikembalikan sumpahnya (kepada ahli waris) sesudah mereka bersumpah.” (Al-Maidah: 108)
Yakni hal yang mendorong mereka untuk menunaikan kesaksian menurut apa adanya ialah dengan memberatkan sumpah terhadap mereka, yaitu dengan menyebut nama Allah, dan rasa takut akan dipermalukan, di hadapan orang banyak jika sumpahnya dikembalikan kepada ahli waris si mayat, yang akibatnya merekalah yang bersumpah dan mereka berhak mendapatkan apa yang diakuinya.
Karena itulah Allah ﷻ berfirman: “Dan (lebih dekat untuk menjadikan mereka) merasa takut akan dikembalikan sumpahnya (kepada ahli waris) sesudah mereka bersumpah.” (Al-Maidah: 108)
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Dan bertakwalah kepada Allah.” (Al-Maidah: 108)
Yakni dalam semua urusan kalian.
“Dan dengarkanlah (perintah-Nya).” (Al-Maidah: 108)
Yakni taatilah perintah-Nya.
“Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (Al-Maidah: 108)
Yakni orang-orang yang keluar dari jalan ketaatan kepada-Nya dan menyimpang dari syariat-Nya.
Dengan cara itu, dua saksi yang termasuk di antara ahli waris yang berhak menjadi saksi dan lebih dekat hubungan nasabnya dengan almarhum, lebih patut memberikan kesaksiannya menurut yang sebenarnya, bahwa kendi emas itu milik Budail sebagaimana tercantum dalam surat wasiat yang disisipkan pada barang-barang yang dititipkan kepada dua teman bisnisnya yang beragama Nasrani; dan mereka, Tamim ad-Da'riy dan 'Adiy bin Badda, merasa takut sumpahnya yang palsu akan dikembalikan kepada ahli waris, yakni dikonfrontir dengan sumpah mereka, setelah mereka bersumpah dengan benar di hadapan Rasulullah. Sumpah saksisaksi yang berlainan agama itu ditolak dengan bersumpahnya saksisaksi yang terdiri dari kerabat. Orang-orang yang bersumpah itu akan mendapat balasan di dunia dan akhirat. Bertakwalah kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, dan dengarkanlah dengan saksama perintah-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik, yakni para pelaku dosa besar untuk kembali kepada yang lurus, karena sikap mereka yang terus-menerus berbuat dosa besar sehingga kalbu mereka tertutup. Ingatlah suatu peristiwa penting pada hari kiamat, ketika Allah mengumpulkan para rasul, sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad, lalu Dia bertanya kepada mereka, Apa jawaban atau tanggapan umat terhadap misi dakwah kamu sekalian' Apakah mereka menanggapinya dengan iman atau dengan kufur' Apakah dengan iman yang taat atau iman yang fasik' Mereka, para rasul, menjawab, saat itu umat hadir guna menyaksikan tanya jawab ini, Kami tidak tahu tentang itu setelah kami wafat. Sesungguhnya Engkaulah sendiri Yang Maha Mengetahui segala yang gaib, karena pengetahuan-Mu meliputi segala sesuatu.
.
Dalam ayat ini dijelaskan, bahwa cara dan isi sumpah seperti yang disebutkan di atas, adalah merupakan jalan yang lebih dekat kepada kebenaran, yang dapat mendorong orang-orang yang bersumpah itu, (baik penerima wasiat, maupun ahli waris dari yang bersumpah itu) agar mereka memberikan kesaksian yang benar, penuh rasa tanggung jawab, serta mengagungkan Allah (yang nama-Nya disebut dalam sumpah mereka) dan untuk lebih berhati-hati dalam memelihara wasiat dan kesaksian itu agar terhindar dari azab dan kemurkaan Allah, dan agar sumpah itu tidak dialihkan kepada orang lain akibat ketidakjujurannya.
Pada akhir ayat ini, Allah memperingatkan hamba-Nya, agar mereka bertakwa kepada-Nya, memegang amanah dan kesaksian, dan suka mendengarkan serta memperhatikan semua petunjuk dan ketentuan-Nya, untuk kemudian dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Allah memperingatkan pula tentang kebiasaan orang-orang fasik, yaitu orang-orang yang tidak mau memegang teguh kebenaran dan keadilan, mereka tidak akan mendapatkan petunjuk yang benar.
Perlu dijelaskan, bahwa setelah bersumpah kedua orang ahli waris tersebut yang maksudnya untuk menyatakan ketidakjujuran kedua penerima wasiat tadi, maka harta warisan yang ditinggalkan oleh orang yang telah memberikan wasiat itu diserahkan semuanya kepada ahli waris, untuk mereka bagikan menurut bagian masing-masing, di samping melaksanakan wasiat yang sebenarnya dan hutang-hutang serta kewajiban-kewajiban yang lain.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 106
“Wahai orang-orang yang beriman! Kesaksian di antara kamu apabila seorang di antara kamu hampir akan mati, waktu berwasiat, ialah dua orang yang adil di antara kamu."
Artinya kalau diri sudah merasa sakit dan merasa bahwa ini adalah panggilan maut, hendaklah segera mengadakan wasiat. Dan hendaklah wasiat itu disaksikan oleh dua orang saksi yang adil di antara kamu, artinya ialah yang sama-sama orang beriman, sama-sama beragama Islam, yang diketahui si washi bahwa kedua orang itu adalah orang-orang yang jujur. Kemudian, sampaikanlah kepada kedua orang itu catatan-catatan harta yang akan diwasiatkan, yang tidak akan merugikan kepada waris yang berhak menerima pusaka. Saksi-saksi yang berdua yang adil inilah kelak yang akan memberikan keterangannyaeketika harta-pusaka akan dibagi.
Dan karena pada zaman sekarang alat tulis-menulis sudah lebih sempurna dan telah ada pula jabatan notaris, niscaya lebih baik lagi kedua saksi itu menurunkan kesaksian dan tanda-tangannya di hadapan notaris. Itu adalah lebih baik."Atau dua orang yang bukan dari kamu, jika kamu di dalam perjalanan di bumi lalu bahaya maut menimpa kamu." Artinya, hendaklah cara wasiat ini dilakukan juga seketika dalam perjalanan, sedang pergi ke negeri lain, sedang merantau. Tiba-tiba jatuh sakit, yaitu sakit yang sudah dirasakan sebagai panggilan maut. Lekaslah adakan dua saksi. Jika perjalanan itu ke negeri jauh, dan saksi yang beragama Islam tidak ada, bolehlah kamu cari dua saksi yang adi! juga, walaupun mereka bukan dari golongan Islam. Kedua saksi itu, dua saksi Islam atau dua saksi bukan Islam itu, hendaklah menyerahkan harta-harta wasiat si mati itu kepada keluarganya dengan sepenuh-penuh amanah dan tidak berlaku curang."Kamu tahan keduanya sesudah shalat lalu keduanya bersumpah dengan nama Allah jika kamu ragu-ragu" Artinya, jika kamu merasa ragu-ragu atas kesaksian orang yang ber-dua itu, baik dua saksi Islam atau dua saksi yang bukan Islam, panggillah mereka untuk memberikan keterangan lengkap tentang wasiat yang telah mereka terima itu.
Pertemuan untuk mendengarkan keterangan kedua saksi itu, hendaklah sesudah shalat. Setelah selesai shalat, hendaklah kedua saksi itu diminta keterangan mereka atas kesaksian mereka dengan didahului semacam pengakuan yang berupa sumpah, demikian bunyinya: “Kami tidak menjual dia dengan harta, walaupun dia keluarga yang dekat dan kami tidak akan menyembunyikan kesaksian Allah." Artinya, kami akan memberikan keterangan yang jujur dan kejujuran kami itu tidak akan kami jua. Kami takkan terpengaruh, walaupun dibayar dengan harta benda berapa saja untuk menyembunyikan kesaksian kami ini. Karena ini adalah suatu kesaksian yang bertalian dengan tanggung jawab kami di hadapan Allah. Adapun harta benda yang diwasiatkan oleh si fulan yang meninggal di perantauan itu adalah ini, ini, dan ini. Dan sebagai penutup dan penguatkan dari kesaksian mereka itu, mereka lanjutkan lagi, “,Karena kalau begitu," yaitu kalau kami tidak memberikan keterangan yang jujur,
“Sesungguhnnya adalah kami daripada orang-orang yang berdosa."
Kalau kami tidak memberikan keterangan yang sebenarnya sepanjang yang kami saksikan, niscaya berdosalah kami.
Ayat 107
“Tetapi, apabila didapati bahwa keduanya ternyata berbuat dosa."
Artinya ialah setelah harta benda yang ditumpangkan oleh si washi yang mati dalam perjalanan itu bahwa harta yang diterima dengan perantaraan dua saksi itu ternyata ada kekurangan, ada yang tidak bertemu, ada yang hilang atau tidak cukup sehingga mereka yang jadi saksi itu pantas dicemburui telah berbuat dosa, yaitu kecurangan penyaksian."Maka hendaklah ada dua orang yang lain yang lebih hampir, dari orang-orang yang diperbuat dosa atasnya itu, akan menggantikan mereka berdua tadi." Artinya, setelah terbukti bahwa kedua saksi itu telah berdosa, tidak jujur, mungkin ada barang wasiat yang mereka gelapkan, hendaklah tampil ke muka dua orang keluarga yang dekat dari si washi yang telah dikhianati atau yang telah mati itu. sehabis kedua orang saksi yang disangka tidak jujur itu berdiri memberikan kesaksian, dengan sumpah seperti tersebut tadi, naiklah kedua orang keluarga si washi yang dekat itu, tegak berdiri menggantikan tempat berdiri kedua saksi tadi untuk membantah kesaksian mereka dengan bukti."Lalu bersumpah dengan nama Allah, ‘Bahwa kesaksian kami lebih patut (diterima) daripada kesaksian mereka yang berdua itu dan kami tidaklah melampaui batas.'" Kemudian, mereka mengemukakan bukti-bukti bahwa kedua saksi itu curang adanya. Karena mereka dapat mengemukakan bukti-bukti yang lengkap, itulah sebab mereka dapat mengatakan bahwa kesaksian merekalah yang lebih patut diterima daripada kesaksian kedua saksi itu. Dan sebagai penutup, mereka pun menguatkan kata lagi, “Karena kalau begitu"artinya, kalau kami melampaui batas dan tidak dapat mengeluarkan bukti yang cukup,
“Niscayatah kami termasuk orang-orang yang aniaya"
Memang, tentu saja kalau mereka mengemukakan bantahan dengan tidak cukup alasan, niscaya mereka telah aniaya, yaitu melunturkan kepercayaan orang terhadap dua orang saksi yang dipercaya kesaksiannya oleh si washi yang telah meninggal. Dengan demikian, kalau dakwaan mereka itu ternyata tidak lengkap, mereka pulalah yang disalahkan.
Lalu, berkatalah lanjutan ayat,
Ayat 108
“Yang demikian itulah cara yang lebih dekat."
Yang lebih dekat kepada keadilan dan kebenaran sehingga yang kusut dapat diselesaikan dan yang keruh dapat dijernihkan, tidak terjadi tuduh-menuduh di antara kedua saksi dengan kedua keluarga si mati."Supaya orang-orang mendatangkan kesaksian menurut semestinya/' Yaitu supaya dua orang yang telah dipercaya oleh si wasiii sebagai orang-orang yang adil, dipercayainya pada waktu dia dalam kesulitan, hampir mati, menjagalah akan kepercayaan itu bahwa kalau tidak setia memegang amanah, terbuka rahasia mereka di muka orang banyak, dalam satu majelis sehabis shalat."Atau supaya mereka takut akan dikembalikan sumpah-sumpah mereka sesudah mereka bersumpah." Mereka telah bersumpah, memberikan kesaksian dengan menyebut nama Allah, padahal cukup bukti menunjukkan bahwa mereka curang, mereka berdusta, yaitu bersumpah palsu. Karena menurut kaidah hukum, sumpah dapat dipatahkan oleh bukti. Niscaya mereka mendapat malu dan dapat dihukum oleh hakim sebagai pemberi keterangan yang tidak benar. Ringannya disuruh mengganti kerugian, lebih kerasnya dapat pula dituduh mencuri."Dan bertakwalah kepada Allah dan dengarkanlah." Bertakwalah kepada Allah, artinya peliharalah baik-baik imanmu dan ‘uqud perjanjian, amanah, dan kepercayaan orang, jangan sampai disia-sia-kan supaya jangan berdosa dan dengarkanlah baik-baik segala peraturan yang telah ditentukan oleh Allah.
“Karena Allah tidaklah akan menunjuki kaum yang fasik."
Orang fasik, durhaka, dan curang, tidaklah akan ditunjuki Allah. Suatu waktu, kecu-rangannya pasti terbukti.
Peringatan bertakwa dan supaya patuh mendengarkan peraturan Allah ini dihadapkan kepada ‘sekalian orang mukallaf, baik masyarakat setempat maupun orang yang dianjurkan supaya berwasiat agar mencari dua saksi yang benar-benar adil. Tidak mengapa dua saksi itu bukan orang Islam, kalau memang mereka dipercayai keadilannya. Dan peringatan pula kepada keluarga yang dekat tadi bahwa kalau hendak membantah kesaksian kedua saksi itu hendaklah dengan bukti yang lengkap dan dakwaan yang jitu. Sebab, bukanlah perkara yang kecil menjatuhkan nama orang dalam satu majelis.
Pertemuan kesaksian ini hendaklah diadakan sesudah shalat. Menurut keterangan dari ulama-ulama, yang sebaik-baiknya ialah sesudah shalat Ashar, di masjid, dihadiri oleh orang banyak. Kemudian, kedua saksi yang akan dimintai keterangannya tadi dan kedua keluarga dekat yang hendak membantah kesaksiannya itu telah shalat terlebih dahulu sebelum mereka tampil ke muka dengan keterangannya masing-masing. Hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan pengaruh yang curang dari kedua belah pihak. Adapun jika kedua saksi tadi bukan beragama Islam maka hendaklah mereka diminta shalat pula terlebih dahulu menurut agama mereka masing-masing, sebelum dimintai keterangan. Dengan demikian, terbukalah mata kita sekarang betapa luasnya kebolehan hubungan manusia sesama manusia di dalam Islam, urusan kemasyarakatan (civil right) seperti demikian. Bahkan orang yang bukan Islam pun boleh diambil jadi saksi karena berpegang pada kejujuran mereka. Dari hadits tersebut kita tahu, ternyata pada zaman Rasulullah ﷺ sendiri hubungan kemasyarakatan dengan orang lain agama itu berjalan biasa dan lancar.
Asbabun nuzul atau sebab turunnya ayat memberikan penjelasan kepada kita bagaimana awal mula timbulnya perkara ini. Kita kumpulkan dan simpulkan beberapa riwayat tentang kejadian ini, mulai dari hadits yang dirawikan oleh Bukhari, Tirmidzi, al-Baihaqi, ath-Thabrani, dan lain-lain bahwa sejak zaman jahiliyyah ada dua orang saudagar beragama Nasrani, yang seorang namanya Tamim ad-Dari dan seorang lagi namanya Adiy bin Badaa' Mereka berniaga di antara Syam dengan Hejaz. Mulanya perniagaan mereka lebih banyak dibawa ke Mekah, tetapi setelah Rasulullah ﷺ pindah ke Madiriah, kegiatan mereka pun dibelokkan ke Madiriah. Hubungan dan pergaulan mereka dengan kaum Muslimin amat baik. Dan kalau ada orang-orang Islam yang berniaga ke Syam, mereka berjalan dengan satu kafilah dengan kedua orang Nasrani itu. Dalam satu kali perniagaan ke Syam, pernahlah turut dalam rombongan kedua orang itu seorang bernama Budail bin Abu Maryam dari Kabilah Bani Sahm. Malang nasib Budail, di dalam perjalanan itu dia ditimpa sakit keras. Ketika meninggal dunia, dia mewasiatkan harta benda perniagaannya itu kepada kedua orang Nasrani tadi, minta disampaikan kepada keluarganya di Madiriah. Setelah kedua orang Nasrani itu sampai ke Madiriah, disampaikanlah harta itu semuanya. Namun, mereka tidak mengetahui bahwa di dalam satu bungkusan kecil ada sepucuk surat yang di dalamnya ada daftar harta itu. Dan pada harta yang dibagikan tidak ditemukan sebuah peti kecil perak bersalutkan emas, (kata satu riwayat, sebuah piala perak). Keluarga Budail pun menuntut barang yang tidak bertemu itu, tetapi kedua saksi orang Nasrani itu mungkir. Kemudian, keluarga tersebut mengadu kepada Rasulullah ﷺ dan meminta penyelesaian. Disuruhlah kedua pihak berkumpul ke masjid sehabis shalat Ashar. Sebab sehabis shalat Ashar itulah biasanya Rasulullah dan para sahabat berkumpul untuk menyelesaikan per-kara-perkara sebab semua orang telah pulang dari urusan masing-masing sebelum Ashar dan sehabis Ashar biasanya tidak pergi ke mana-mana lagi. Akan tetapi, ketika memberi keterangan di hadapan umum sehabis shalat Ashar itu, kedua saksi Nasrani itu mungkir. Mereka mengatakan bahwa yang mereka terima hanyalah apa yang telah mereka serahkan itu. Adapun kotak perak bersalutkan emas itu mereka tidak tahu-menahu. Terpendam sajalah perkara itu beberapa lamanya. Namun kemudian, kelihatanlah peti perak itu pada salah seorang penduduk di Mekah. Ketika ditanyakan dari mana dia mendapatkannya, orang itu menjawab bahwa peti itu dibelinya dari saudagar Tamim dan Adi. Barang itu diambil keluarga Budail kembali dan mereka meneruskan hal itu kepada Rasulullah ﷺ Setelah ditanyai kembali Tamim dan Adi, mereka mengakui bahwa memang barang itu dari mereka, tetapi itu bukan barang wasiat yang mereka gelapkan. Barang itu telah mereka beli dari Budail kala dia masih hidup, lalu mereka menjualnya di Mekah. Oleh sebab itu, tidak jugalah cukup alasan untuk menuduh kedua Nasrani itu.
Namun, datanglah sambungan riwayat lain bahwa kemudian Tamim dan Adi masuk Islam. Menurut ahli sejarah, mereka masuk Islam pada tahun ke-9 sesudah penaklukan Mekah. Mereka menjadi seorang Islam yang baik. Setelah masuk Islam itu, Tarnia mengatakan terus terang kepada Rasulullah ﷺ, “Allah dan Rasul-Nya adalah benar! Peti kecil perak yang bersalut emas itu memang aku ambil dan kami jual 1.000 dirham dan uangnya kami bagi dua." Kemudian, Tamim menyerahkan 500 dirham kepada keluarga Budail dengan perantaraan Amr bin Ash, diminta pula yang 500 dirham lagi dari Adi.
Inilah kesimpulan cerita tentang asal mula turunnya ayat.
Niscaya sebelum bersumpah pada waktu sehabis shalat itu, Tamim dan Adi disuruh shalat terlebih dahulu menurut agama mereka.
Cerita lain sebagai sambungan tentang Tamim ad-Dari. Dia adalah seorang Muslim yang baik, sampai mendapat surat kepercayaan dari Rasulullah bahwa dia boleh tinggal di Betlehem, Palestina, negeri kelahiran Nabi Isa pada hari tuanya, dan banyak juga beliau meriwayatkan hadits-hadits Rasulullah ﷺ pada hari tuanya. Beliau tinggal di suatu desa bernama Ainun, di dekat Betlehem, dan bertemu dengan Sayyidiria Umar bin Khaththab ketika beliau datang ke Palestina menerima ketundukan penduduk Palestina dan diperlihatkannya surat Rasulullah ﷺ itu.
Meskipun ini soal kejadiannya, perihal kesaksian dan wasiat ini telah menjadi pedoman kita. Dengan demikian, di beberapa negeri memang dilakukan pengambilan sumpah di masjid dengan secara khidmat. Malahan di beberapa negeri memakai Al-Qur'an, sebagai tambahan bid'ah. Di kampung penulis tafsir ini, terkenallah sebuah Al-Qur'an tulisan tangan, disimpan di sebuah surau di Sawah Laweh Tanjung Sani. (Entah di mana Al-Qur'an itu sekarang, tidak ada yang tahu. Bahkan penulis pun hanya mendengar cerita orang-orang tua belaka). Kalau orang-orang dahulu bersumpah, pergilah mereka ke Surau Sawah Laweh itu, bersumpah sehabis shalat Ashar dengan disaksikan Al-Qur'an tulisan tangan itu.
(109) Pada hari Allah akan mengumpulkan rasul-rasul, lalu Dia akan bertanya, “Bagaimanakah kamu disambut?" Mereka menjawab, “Tidaklah ada pengetahuan bagi kami. Sesungguhnya Engkaulah yang lebih mengetahui akan hal-hal yang gaib-gaib."
(110) (Ingatlah) tatkala berkata Allah kepada Isa anak Maryam, “Ingatlah oleh engkau akan nikmatku atas engkau dan ke atas ibu engkau, tatkala Aku menyokong engkau dengan Ruhu!-Qudus engkau berkata-kata dengan manusia dalam ayunan dan di kala dewasa. Dan (ingatlah) tatkala Aku ajarkan kepada engkau tulisan dan hikmah, Taurat, dan Injil, dan (ingatlah) tatkala engkau menjadikan dari tanah seperti bentuk burung dengan izin-Ku lalu engkau embuskan padanya maka jadilah dia burung dengan izin-Ku, dan engkau sembuhkan orang buta dan penyakit sopak dengan izin-Ku. Dan (ingatlah) tatkala engkau menghidupkan orang yang sudah mati dengan izin-Ku. Dan (ingatlah) tatkala Aku menghambat Bani israil dari engkau, tatkala engkau datang kepada mereka dengan keterangan-keterangan, lantas berkatalah orang-orang yang kafir di antara mereka" ‘Ini tidak lain melainkan sihir yang nyata.'"
(111) Dan (ingatlah) tatkala Aku memberikan ilham kepada Hawariyin, supaya mereka itu beriman kepada engkau dan kepada Rasul-Ku, mereka pun berkata, “Kami telah beriman! Dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami ini adalah orang-orang yang telah berserah diri!"
Pada penutup ayat 108, setelah menerangkan perkara wasiat, kesaksian, dan sumpah. Allah berfirman bahwasanya Allah tidak akan memberikan pimpinan-Nyakepada orang yang fasik. Apabila pimpinan Allah tidak ada lagi karena fasik, niscaya sengsaralah di akhirat. Kemudian, terbayanglah soal hidup pada hari akhirat, ketika akan memperhitungkan dosa dan pahala, kejujuran, dan kecurangan. Semua insan akan berkumpul waktu itu di hadapan Allah bahkan rasul-rasul pun akan berkumpul.
Ayat 109
“Pada hati yang Allah akan mengumpulkan rasul-rasul."
Semua rasul akan berkumpul di hadapan Allah mulai dari Adam, Nuh, sampai dengan Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad, dan lain-lain."Lalu Dia akan bertanya," kepada rasul-rasul itu, “bagaimanakah kamu disambut?" Allah bertanya kepada rasul-rasul bagaimana beliau-beliau itu disambut oleh umat mereka, adakah pengajaran mereka diterima baik? Apakah ditolak? Banyakkah yang percaya atau banyakkah yang tidak mau percaya?
“Mereka menjawab, Tidaklah ada pengetahuan bagi kami. Sesungguhnya, Engkaulah yang lebih mengetahui akan hal-hal yang gaib-gaib."
Mengapa begini jawaban para rasul? Padahal mereka semua tahu siapa yang beriman dari umat mereka dan siapa yang kafir? Menurut penafsiran Ibnu Abbas, memang jawaban yang begitulah yang akan diberikan oleh rasul-rasul. Karena bagaimanapun luasnya pengetahuan mereka, tetapi sampai pada yang gaib-gaib tidaklah pengetahuan mereka sampai seluas pengetahuan Allah. Yang mereka lihat hanyalah kenyataan semasa mereka masih hidup.
Ada yang percaya dan ada yang menolak. Namun, sebab-sebab menolak atau percaya itu, pengetahuan rasul-rasul pun hanyalah sedikit. Kewajiban mereka hanyalah sekadar menyampaikan. Yang berhak memberikan petunjuk dan hidayah kepada manusia dan yang mengawasi batin manusia, tidak lain hanyalah
Allah. Namun menurut tafsir dari al-Hasan, Mujahid, dan as-Suddi, rasul-rasul menjawab demikian adalah karena hebat dahsyatnya hari itu sehingga mereka menyerah saja kepada Allah karena datangnya pertanyaan demikian sangat mengejutkan mereka. Datangnya ayat ini adalah untuk menjadi i'tibar bagi kita umat, untuk mengenang bagaimana hebatnya hari itu supaya kita lebih bertakwa dan lebih mendengar akan segala perintah yang disampaikan rasul, yang telah diperingatkan pada ayat 108.
Ayat 110
“(Ingatlah) tatkala berkata Allah kepada … anak Maryam."
Dan pada hari Kiamat itu kelak Isa al-Masih a.s. pun akan memperoleh pertanyaan peringatan dari Allah, “Ingatlah oleh engkau akan nikmat-Ku atas engkau dan atas ibu engkau tatkala Aku menyokong engkau dengan Ruhul-Qudus, engkau berkata-kata dengan manusia di dalam ayunan, dan di kala dewasa “
Pada hari Kiamat itu kelak yang terhadap Isa khusus Allah mengingat nikmat-Nya kepadanya, bagaimana besar nikmat Allah kepadanya dan kepada ibunya. Karena orang-orang Yahudi menuduh Isa lahir ke dunia karena ibunya mengandung dari hubungan yang jahat dengan seorang laki-laki. Seperti yang tersebut dalam surah Maryam dan Aali ‘Imraan, dengan pertolongan Allah SWT, datang sokongan Allah dengan Ruhul Qudus kepada Isa al-Masih yang masih dalam ayunan ibunya sehingga ketika orang bertanya kepadanya, apa sebab engkau telah menggendong anak kecil, padahal engkau belum kawin. Kemudian, Maryam mengisyaratkan surah Maryam ayat 29, supaya menanyai anak itu saja, Mula-mula mereka tidak mau meneri-manya bahwa anak kecil dalam ayunan akan cakap berbicara. Tiba-tiba bercakaplah al-Masih membersihkan ibunya dari tuduhan, padahal dia masih berumur beberapa hari karena sokongan Ruhul Qudus sehingga bersihlah ibunya dari tuduhan yang rendah itu. Itulah nikmat Allah kepadanya dan ibunya. Dan demikian setelah beliau dewasa, beliau terus bercakap menyampaikan wahyu dengan sokongan Ruhul Qudus juga, yaitu Ruh Suci, nama sebutan dari malaikat yang membawa wahyu kepada rasul-rasul, yaitu Malaikat Jibril."Dan (ingatlah) tatkala Aku ajarkan kepada engkau tulisan dan hikmah, Taurat, dan Injil." Inilah keistimewaan tingkat kedua yang diberikan Allah kepada al-Masih, sebagai lanjutan dia dapat bercakap dalam ayunan itu. Yaitu, untuk mengisi kewajibannya menyampaikan syari'at Ilahi kepada Bani Israil, empat pengajaran diberikan kepada beliau. Pertama beliau diajarkan tulisan, lancar menulis di samping lancar pula membaca, ditambah lagi dengan pengajaran-pengajaran tersembunyi yang didapat dan kecerdasan akal.
Dan ketiga, diajarkan kepada beliau Taurat Musa, sebab beliau diutus akan menyambung syari'at Musa dan keempat ialah Injil, yaitu wahyu yang khusus buat beliau sendiri, berisi hikmah dan ajaran, kasih, dan cinta sesama manusia dan berita selamat datang akan datangnya nabi akhir zaman, Peraclit, Ruh Kebenaran, yaitu Muhammad ﷺ, “Dan (ingatlah) tatkala engkau menjadikan dari tanah seperti bentuk burung dengan izin-Ku lalu engkau embuskan kepadanya maka jadilah dia burung dengan izin-Ku," Artinya, jika Allah mengizinkan semasa beliau masih hidup, dapatlah beliau membentuk tanah menyerupai burung kemudian dengan izin Allah pula beliau embus atau beliau tiup, tanah itu dapat menjelma menjadi burung yang bisa terbang. Dengan izin Allah. Inilah satu nikmat lagi, keajaiban yang diizinkan Allah atas diri beliau.
Menurut setengah ahli tafsir, ayat ini hanya menjelaskan kemungkinan yang diberikan Allah sebagai karunia kepada al-Masih, tetapi tidak pasti bahwa kesempatan yang diberikan Allah itu beliau pakai. Dalam tafsir-tafsir yang sah dari ahli-ahli tafsir yang besar seumpama Ibnu Abbas dan Ibnu Jarir tidak terdapat riwayat bahwa kesempatan itu sampai dipakai oleh al-Masih. Cuma bertemu satu tafsir yang lemah, mengatakan waktu beliau bermain-main pada masa kecilnya dengan anak-anak yang lain, pernah beliau mengepal-ngepal tanah lalu ditiupnya, langsung terbang menjadi burung. Akan tetapi, ahli tafsir yang suka menyelidik (kritis) tidak mau menerima penafsiran itu. Sebab, mukjizat bukanlah permainan anak kecil. Dan di dalam kitab-kitab orang Kristen pun tidak ada cerita tentang itu."Dan engkau sembuhkan orang buta dan penyakit sopak dengan izin-Ku." dalam ayat ini, orang buta disebut akmaha, yang berarti buta sejak lahir ke dunia. Dengan izin Allah, dia dapat disembuhkan oleh al-Masih. Demikian pula penyakit sopak, canggu, atau kusta yang kejam itu, yang amat menular di kalangan banyak orang pada masa beliau hidup. Dengan izin Allah pula, dapat beliau sembuhkan."Dan (ingatlah) tatkala engkau menghidupkan orang yang sudah mati dengan izin-Ku."
Pada kitab-kitab Perjanjian Baru tersebut beliau telah menyembuhkan orang buta dan orang berpenyakit kusta, demikian juga menghidupkan orang mati. Di dalam Injil karangan Lukas, pasal 7: 11-17 tersebut bahwa ketika Nabi Isa al-Masih masuk ke dalam sebuah negeri bernama Nain, ketika akan masuk pintu negeri itu, beliau bertemu jenazah diusung orang, yaitu anak tunggal dari seorang perempuan janda yang dengan menangis mengiringkan mayat putranya ke kubur. Mayat yang di dalam keranda itu beliau suruh bangkit dan dia pun bangkit, duduk, berdiri, dan kembali kepada ibunya.
Tersebut pada ayat 16, “Maka ketakutanlah sekalian orang lalu memuliakan Allah. Katanya, ‘Seorang Nabi yang besar telah terbit di antara kita dan Allah telah melawat kaumnya.'"
Yang kedua: dalam Injil karangan Matius, pasal 9:18-26. Pengulu datang kepada al-Masih mengatakan anak perempuannya baru mati, memohon Yesus menghidupkannya kembali. Setelah beliau datang ke rumah Pengulu itu dan melihat keadaannya dan beliau berkata bahwa anak perempuan itu bukan mati, hanya tidur (ayat 24). Setelah orang banyak keluar, anak itu beliau suruh bangun maka dia pun bangun.
Yang ketiga: menurut Injil karangan Yohannes, pasal 11, ialah menghidupkan kembali Lazarus yang telah empat hari mati dan telah dikuburkan dalam sebuah gua. Lazarus adalah saudari dari Martha dan Maryam dan perempuan murid al-Masih yang disayanginya. Meninggalnya Lazarus, sangatlah menyedihkan hati mereka berdua, untuk membujuk hati Martha dan Maryam, al-Masih telah pergi ke pintu kubur itu dan memohon kepada Allah agar doanya dikabulkan dan Lazarus dihidupkan kembali, “Supaya mereka itu sekalian percaya bahwa Engkaulah yang menyuruhkan aku." (Yohannes pasal 11: 42). Kemudian, dengan suara nyaring beliau memanggil Lazarus, “Hai, Lazarus marilah keluar!" (ayat 43). Kemudian keluarlah orang yang sudah mati itu terikat kaki tangannya dengan kain kafan dan mukanya pun terbalut dengan sapu tangan." (ayat 44).
Jika kita membaca ketiga kisah ini dari ketiga Injil itu langsung, kita mendapat kesan pula, yang amat penting bagi mengetahui ajaran asli al-Masih.
Pada kisah yang pertama, Lukas menceritakan bahwa setelah anak laki-laki tunggal itu beliau suruh bangkit dari usungannya, semua orang yang melihat pun percaya bahwa beliau memang seorang nabi besar. Tegasnya, bukanlah mereka mengatakan Allah.
Kisah yang kedua, al-Masih sendiri yang mengatakan bahwa anak perempuan itu tidak mati, tetapi tidur saja atau pingsan yang disangka oleh ayahnya telah mati. Demikianlah penjelasan dari Matius.
Dan dalam kisah Lazaruslah kita melihat mukjizat besar itu! Lazarus yang telah dikubur empat hari sehingga mayatnya sudah hendak busuk, al-Masih berdoa kepada Allah agar dia (Lazarus) dihidupkan kembali. Permohonan al-Masih dikabulkan Allah, Lazarus pun hidup. Ini sesuai dengan yang dikatakan Al-Qur'an: Dengan izin Allah! Jadi bukah al-Masih yang menghidupkan itu dengan kehendaknya melainkan dengan kehendak Allah!
Semua ini diperingatkan Allah kepada al-Masih bahwa keganjilan-keganjilan yang telah berlaku itu bukanlah dari daya upayanya sendiri dan bukan dari sebab dia yang berkuasa, melainkan dengan izin Allah-lah semua baru bisa terjadi.
“Dan (ingatlah) tatkala Aku menghambat Bani Israil dari engkau, tatkala engkau datang kepada mereka dengan keterangan-keterangan lantas berkatalah orang-orang yang kafir di antara mereka, ‘Ini tidak lain melainkan sihir yang nyata."
Di sini, Allah meneruskan memberi ingat kepada al-Masih bahwa setelah segala mukjizat itu beliau perlihatkan, yang terjadi dengan izin Allah maka orang-orang kafir yang tidak mau percaya dari Bani Israil, dari orang-orang Yahudi itu, tidaklah mau menerima bahwa semuanya itu adalah mukjizat. Mereka menuduh saja bahwa semuanya itu hanyalah sihir yang nyata; jelas sihirnya. Lantaran itu, bukan saja mereka telah mengingkari kelahiran al-Masih ke dunia sebagai pernyataan kekuasaan Allah melahirkan seorang manusia tidak menurut jalan biasa, bahkan sampai setelah beliau dewasa, menjadi rasul, mukjizat yang beliau kemukakan dengan sokongan Allah pun mereka tuduh sihir. Karena mereka menuduh beliau seorang tukang sihir yang besar, hendak mereka bunuhlah beliau. Namun, usaha mereka itu dihambat oleh Allah. Isa al-Masih diselamatkan oleh Allah, sebagaimana yang telah disebutkan pada surah Aali ‘Imraan dan surah an-Nisaa'.
Ayat 111
“Dan (ingatlah) tatkala Aku membelikan ilham kepada Hamniyin supaya mereka itu beriman kepada engkau dan kepada Rasul-Ku."
Dan ingatlah, sementara sebagian besar daripada Ban» Israil itu menolak keteranganmu, menuduh engkau anak yang lahir di luar nikah, menuduh pula mukjizat yang engkau bawakan itu hanya sihir semata-mata. Aku memberikan ilham kepada Hawariymu sekalian, supaya mereka pun beriman kepada Rasul-Ku yang kelak akan datang menyempurnakan syari'at yang telah engkau bawa. Lantaran ilham Allah itu, “Mereka pun berkata, ‘Kami telah beriman!"‘ Kami percaya al-Masih itu bukan tukang sihir, bukan lahir dengan jalan salah, melainkan benar-benar seorang rasul Allah,
Dan kami pun percaya bahwa kelak kemudian hari akan datang rasul yang terakhir, Peraclit,
Ruh Kebenaran, menggenapi Injil dan Taurat, menyambung risalah Musa dan Isa.
“Dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami ini adalah orang-orang yang telah berserah diri"
(ujung ayat 111)