Ayat
Terjemahan Per Kata
مَا
tidak
جَعَلَ
menjadikan
ٱللَّهُ
Allah
مِنۢ
dari
بَحِيرَةٖ
bahirah (unta yang dipotong telinganya)
وَلَا
dan tidak
سَآئِبَةٖ
saibah (unta yang tidak boleh diganggu)
وَلَا
dan tidak
وَصِيلَةٖ
wasilah (anak kambing
وَلَا
dan tidak
حَامٖ
haam (unta larangan yang tidak boleh dibebani)
وَلَٰكِنَّ
akan tetapi
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
كَفَرُواْ
kafir/ingkar
يَفۡتَرُونَ
mereka membuat-buat
عَلَى
atas/terhadap
ٱللَّهِ
Allah
ٱلۡكَذِبَۖ
kebohongan
وَأَكۡثَرُهُمۡ
dan kebanyakan mereka
لَا
tidak
يَعۡقِلُونَ
mereka berakal
مَا
tidak
جَعَلَ
menjadikan
ٱللَّهُ
Allah
مِنۢ
dari
بَحِيرَةٖ
bahirah (unta yang dipotong telinganya)
وَلَا
dan tidak
سَآئِبَةٖ
saibah (unta yang tidak boleh diganggu)
وَلَا
dan tidak
وَصِيلَةٖ
wasilah (anak kambing
وَلَا
dan tidak
حَامٖ
haam (unta larangan yang tidak boleh dibebani)
وَلَٰكِنَّ
akan tetapi
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
كَفَرُواْ
kafir/ingkar
يَفۡتَرُونَ
mereka membuat-buat
عَلَى
atas/terhadap
ٱللَّهِ
Allah
ٱلۡكَذِبَۖ
kebohongan
وَأَكۡثَرُهُمۡ
dan kebanyakan mereka
لَا
tidak
يَعۡقِلُونَ
mereka berakal
Terjemahan
Allah tidak pernah menetapkan sedikit pun (aturan) menyangkut baḥīrah, sāi’bah, waṣīlah, dan ḥām. Akan tetapi, orang-orang yang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah dan kebanyakan mereka tidak mengerti.
Tafsir
(Tidak sekali-kali menjadikan) mensyariatkan (Allah akan adanya bahirah, saibah, wasilah dan ham) sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang jahiliah. Telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Said bin Musayyab yang telah mengatakan bahwa bahirah ialah unta betina yang air susunya dihadiahkan untuk berhala-berhala, maka tidak ada seorang pun yang berani memerah air susunya. Saibah ialah unta betina yang mereka lepaskan begitu saja dibiarkan demi untuk berhala-berhala mereka, maka unta tersebut tidak boleh dibebani sesuatu pun. Wasilah ialah unta betina yang sewaktu melahirkan anak unta pertama kalinya betina setelah ia beranak lagi secara kembar yang kedua-duanya betina; induk unta itu dibiarkan terlepas bebas jika anak-anaknya itu tidak ada yang jantan yang memisahkan antara kedua anaknya itu. Hal ini mereka lakukan demi berhala-berhala mereka. Dan ham ialah unta pejantan yang dipekerjakan dalam masa yang telah ditentukan dan jika masanya telah habis lalu mereka membiarkannya bebas demi untuk mendekatkan diri kepada berhala-berhala sesembahan mereka. Selain dari itu mereka membebaskannya dari segala muatan dan beban hingga ia tidak lagi disuruh membawa apa pun dan nama lain dari jenis unta itu ialah hami. (Akan tetapi orang-orang kafir selalu membuat kedustaan terhadap Allah) dalam hal tersebut kemudian mereka mengaitkannya kepada Allah (dan kebanyakan mereka tidak mengerti) bahwa perkara tersebut merupakan kedustaan karena mereka dalam hal ini hanyalah mengikuti apa yang biasa dilakukan oleh nenek moyang mereka.
Tafsir Surat Al-Ma'idah: 103-104
Allah sekali-kali tidak pernah mensyariatkan adanya bahirah, saibah, wasilah, dan ham. Akan tetapi, orang-orang kafir membuat-buat kebohongan terhadap Allah dan kebanyakan mereka tidak mengerti.
Dan apabila dikatakan kepada mereka, "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul," mereka menjawab, "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.” Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka, walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?
Ayat 103
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Sa'd, dari Saleh ibnu Kaisan, dari Ibnu Syihab, dari Sa'id ibnul Musayyab yang mengatakan bahwa al-bahirah ialah unta betina yang air susunya tidak boleh diperah oleh seorang pun karena dikhususkan hanya untuk berhala mereka saja. Saibah ialah ternak unta yang dibiarkan bebas demi berhala-berhala mereka, dan tidak boleh ada seorang pun yang mempekerjakannya serta memuatinya dengan sesuatu pun.
Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Aku melihat Amr ibnu Amir Al-Khuza'i menyeret isi perutnya di neraka, dia adalah orang yang mula-mula mengadakan peraturan hewan saibah.”
Kembali ke perkataan Sayid Al-Mussayab; Al-wasilah ialah unta betina yang dilahirkan oleh induknya sebagai anak pertama, kemudian anak keduanya betina pula. Mereka menjadikannya sebagai unta saibah, dibiarkan bebas untuk berhala-berhala mereka, jika antara anak yang pertama dan yang kedua tidak diselingi dengan jenis jantan. Sedangkan ham ialah unta pejantan yang berhasil menghamili beberapa ekor unta betina dalam jumlah yang tertentu. Apabila telah mencapai bilangan yang ditargetkan, maka mereka membiarkannya hidup bebas dan membebaskannya dari semua pekerjaan, tidak lagi dibebani sesuatu pun, dan mereka menamakannya unta kami.
Begitu pula menurut riwayat Imam Muslim dan Imam An-Nasai melalui hadits Ibrahim ibnu Sa'd dengan lafal yang sama.
Imam Bukhari mengatakan, Abul Yaman pernah mengatakan kepadanya bahwa telah menceritakan kepada kami Syu'aib, dari Az-Zuhri yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Sa'id menceritakan hal tersebut. Sa'id mengatakan, Abu Hurairah telah meriwayatkan dari Nabi ﷺ hal yang serupa. Ibnul Had telah meriwayatkannya dari ibnu Syihab, dari Sa'id, dari Abu Hurairah , dari Nabi ﷺ. Imam Hakim mengatakan, Imam Bukhari bermaksud bahwa Yazid ibnu Abdullah ibnul Had meriwayatkannya dari Abdul Wahhab ibnu Bukht, dari Az-Zuhri. Demikianlah menurut apa yang diceritakan oleh guru kami Abul Hajjaj Al-Mazi di dalam kitab Al-Atraf-nya. Abul Hajjaj diam, tidak memberikan komentarnya.
Sehubungan dengan apa yang dikatakan oleh Imam Hakim, ada hal yang masih perlu dipertimbangkan lagi, karena sesungguhnya Imam Ahmad dan Abu Ja'far ibnu Jarir meriwayatkannya melalui hadits Al-Laits ibnu Sa'id, dari Ibnul Had, dari Az-Zuhri sendiri.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Ya'qub Abu Abdullah Al-Kirmani, telah menceritakan kepada kami Hassan ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Yunus, dari Az-Zuhri, dari Urwah, bahwa Siti Aisyah pernah mengatakan Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Aku telah melihat neraka Jahanam, sebagian darinya menghantam sebagian yang lain; dan aku melihat Amr menyeret isi perutnya, dia adalah orang yang mula-mula mengadakan hewan saibah.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari secara munfarid.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hannad, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Ibrahim ibnul Haris, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda kepada Aksam ibnul Jun: “Wahai Aksam, aku melihat Amr ibnu Luhay ibnu Qum'ah ibnu Khandaf menyeret isi perutnya di neraka. Dan aku tidak pernah melihat seorang lelaki yang lebih serupa dengannya selain kamu; dia pun mirip sekali dengan kamu.” Aksam berkata, "Apakah engkau khawatir aku tertimpa mudarat karena serupa dengan dia, wahai Rasulullah?" Rasulullah ﷺ menjawab: “Tidak, karena sesungguhnya engkau adalah orang mukmin, sedangkan dia adalah orang kafir. Sesungguhnya dia adalah orang yang mula-mula mengubah agama Nabi Ibrahim, dan mengadakan hewan bahirah, hewan saibah, dan hewan ham.”
Kemudian Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Hannad, dari Abdah, dari Muhammad ibnu Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ dengan lafal yang serupa atau mirip dengannya. Tetapi kedua jalur ini tidak ada di dalam kitab-kitab hadits.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Majma', telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnul Hijri, dari Abul Ahwas, dari Abdullah ibnu Mas'ud, dari Nabi ﷺ yang telah bersabda: “Sesungguhnya orang yang mula-mula membiarkan hewan saibah dan menyembah berhala ialah Abu Khuza'ah, yaitu Amr ibnu Amir; dan sesungguhnya aku melihatnya sedang menyeret isi perutnya di dalam neraka.” Hadits diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid dari segi ini.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Zaid ibnu Aslam yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui orang yang mula-mula membiarkan hewan saibah dan orang yang mula-mula mengubah agama Nabi Ibrahim a.s. Mereka bertanya, "Siapakah dia, wahai Rasulullah?" Rasulullah ﷺ menjawab: “Amr ibnu Luhay, saudara Bani Ka'b. Sesungguhnya aku melihat dia sedang menyeret isi perutnya di neraka, baunya menyakitkan semua penghuni neraka. Dan sesungguhnya aku benar-benar mengetahui orang yang mula-mula membiarkan hewan bahirah.” Mereka bertanya, "Siapakah dia, wahai Rasulullah?" Rasulullah ﷺ bersabda: “Seorang lelaki dari kalangan Bani Mudlij, dia mempunyai dua ekor unta, lalu ia membelah telinga kedua untanya dan mengharamkan air susunya, kemudian ia meminum air susunya sesudah itu. Dan sesungguhnya aku melihat dia di dalam neraka, sedangkan kedua untanya itu menggigiti dia dengan mulutnya dan menginjak-injak dia dengan teracaknya.”
Amr yang disebutkan dalam hadits ini adalah Ibnu Luhay ibnu Qum'ah, salah seorang pemimpin Khuza'ah yang mengurus Baitullah sesudah dosa yang mereka perbuat itu. Dia adalah orang yang mula-mula mengubah agama Nabi Ibrahim Al-Khalil, lalu ia memasukkan berhala-berhala ke tanah Hijaz dan menyerukan kepada para penggembala ternak untuk menyembah berhala-berhala itu serta mendekatkan diri kepadanya.
Dia pulalah yang mensyariatkan peraturan-peraturan Jahiliah dalam masalah ternak dan lain-lainnya, seperti apa yang disebutkan oleh Allah di dalam surat Al-An'am melalui firman-Nya: “Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah.” (Al-An'am: 136), hingga beberapa ayat berikutnya.
Adapun mengenai al-bahirah, Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa bahirah ialah unta betina yang telah berhasil melahirkan lima ekor anaknya, lalu mereka melihat anak yang kelima itu; jika jantan, maka mereka menyembelihnya dan memakannya, tetapi hanya kaum laki-laki yang boleh memakannya, sedangkan kaum wanita tidak boleh.
Dan apabila anak yang kelima itu betina, maka mereka membelah telinganya, lalu mereka katakan, "Ini adalah hewan bahirah."
As-Suddi dan lain-lainnya telah menceritakan hal yang mendekati riwayat Ibnu Abbas.
Adapun saibah, menurut Mujahid ialah ternak kambing yang pengertiannya sama dengan hewan bahirah pada ternak unta tadi. Hanya saja yang dimaksud dengan saibah adalah seekor kambing betina yang berhasil melahirkan enam ekor anaknya yang semuanya betina. Kemudian apabila anak yang ketujuhnya lahir dan ternyata jantan, baik tunggal ataupun kembar, maka mereka menyembelihnya, lalu dimakan oleh kaum laki-laki, sedangkan kaum wanita tidak boleh memakannya.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan bahwa saibah ialah unta betina yang berhasil melahirkan sepuluh ekor anak yang semuanya betina, tanpa ada jenis jantannya. Maka ia dibiarkan hidup bebas dan tidak boleh dinaiki, bulunya tidak boleh dipotong, dan air susunya tidak boleh diperah kecuali untuk menjamu tamu.
Abu Rauq mengatakan, saibah terjadi apabila seorang lelaki mengadakan suatu perjalanan dan keperluannya dikabulkan, maka ia menjadikan dari harta benda miliknya yang berupa ternak unta seekor unta betina atau ternak lainnya sebagai hewan saibah. Hewan itu dijadikannya untuk berhala, dan anak yang lahir darinya dipersembahkan untuk berhala pula.
As-Suddi mengatakan, seorang lelaki dari kalangan mereka (orang-orang Jahiliah) apabila keperluannya terkabul atau disembuhkan dari sakitnya atau hartanya bertambah banyak, maka ia menjadikan seekor ternak miliknya sebagai hewan saibah untuk berhala sesembahannya. Dan barang siapa yang berani mengganggunya akan dikenakan hukuman dunia.
Adapun wasilah, menurut Ali ibnu Abu Talhah, dari Ibnu Abbas, ialah seekor kambing betina yang telah melahirkan tujuh ekor anak kambing. Mereka melihat kepada anak kambing yang ketujuh; jika anaknya itu jenis jantan dan dalam keadaan mati, boleh diberikan kepada kaum laki-laki dan wanita. Tetapi jika anaknya yang ketujuh itu adalah betina, maka mereka membiarkannya hidup. Jika anaknya kembar, terdiri atas jenis jantan dan betina, maka mereka membiarkan keduanya hidup; dan mereka mengatakan bahwa yang jantan diselamatkan oleh yang betina, karena itu diharamkan bagi mereka. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Sa'id ibnul Musayyab sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan (tidak pula mensyariatkan) wasilah.” (Al-Maidah: 103) Sa'id ibnul Musayyab mengatakan bahwa al-wasilah ialah unta betina yang anak pertamanya jenis betina, kemudian anak keduanya betina lagi; maka anak yang kedua ini dinamakan wasilah. Menurut mereka, anak kedua ini berhubungan langsung dengan anak pertama yang kedua-duanya betina, tanpa diselingi jenis jantan. Maka mereka membelah telinga anak yang kedua ini untuk berhala mereka. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan dari Imam Malik ibnu Anas rahimahullah.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, kambing wasilah ialah apabila seekor kambing betina melahirkan sepuluh anak yang semuanya jenis betina dalam lima kali kelahiran karena setiap kelahiran kembar, pada tiap-tiap kelahiran dijadikan wasilah dan dibiarkan hidup bebas. Bila ia telah besar dan beranak, baik anaknya jenis jantan ataupun betina, maka diberikan kepada kaum lelaki saja, sedangkan kaum wanita tidak boleh. Tetapi jika anak yang dilahirkannya mati, maka kaum wanita dan kaum lelaki boleh memperolehnya.
Mengenai hewan ham, menurut Al-Aufi dari Ibnu Abbas apabila seorang lelaki mengawinkan hewan pejantannya sebanyak sepuluh kali, maka pejantan itu dinamakan ham, dan mereka membiarkannya hidup bebas tanpa diganggu. Hal yang sama telah dikatakan oleh Abu Rauq dan Qatadah.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ham ialah unta pejantan. Apabila anak dari unta pejantan itu mempunyai anak lagi, mereka mengatakan bahwa cucunya itu telah memelihara punggungnya, dan mereka tidak berani membebaninya dengan muatan apa pun pada punggungnya, tidak berani memotong bulunya, dan tidak melarangnya mendatangi tempat penggembalaan yang terlarang dan tempat minumnya, sekalipun tempat minumnya itu bukan milik tuannya.
Ibnu Wahb mengatakan, ia pernah mendengar Malik mengatakan bahwa ham ialah unta pejantan yang telah berhasil menghamili unta-unta betina dalam bilangan tertentu. Apabila telah berhasil menghamili sejumlah unta betina yang telah ditargetkan hitungannya, maka mereka menandainya dengan bulu merak, lalu mereka membiarkannya hidup bebas.
Menurut pendapat lain sehubungan dengan tafsir ayat ini disebutkan hal yang berbeda. Sehubungan dengan hal ini telah disebutkan di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim melalui jalur Abu Ishaq As-Subai'i, dari Abul Ahwas Al-Jusyami, dari ayahnya Malik ibnu Nahdlah yang menceritakan bahwa ia pernah datang kepada Nabi ﷺ dengan memakai dua lapis pakaian yang telah lama. Lalu Nabi ﷺ bertanya kepadanya, "Apakah kamu mempunyai harta?" Ia menjawab, "Ya." Nabi ﷺ bertanya lagi, "Berupa apakah hartamu itu?" Ia menjawab, "Berupa segala macam harta, ada ternak unta dan ternak kambing, kuda serta budak." Nabi ﷺ bersabda, "Apabila Allah memberimu harta, lalu harta itu bertambah banyak di tanganmu." Kemudian Nabi ﷺ bertanya, "Apakah keturunan dari ternak untamu itu bertelinga lengkap?" Ia menjawab, "Tentu saja, dan memang hanya itulah yang dilahirkan oleh ternak untaku." Nabi ﷺ bersabda, "Barangkali kamu mengambil pisau, lalu kamu belah telinga sebagian darinya lalu kamu katakan ini bahirah, kemudian kamu belah lagi telinga sebagian yang lainnya, lalu kamu katakan ini haram." Ia menjawab, "Ya." Nabi ﷺ bersabda: “Jangan kamu lakukan itu, sesungguhnya semua yang diberikan oleh Allah kepadamu adalah halal.” Kemudian Nabi ﷺ membacakan firman-Nya: “Allah sekali-kali tidak pernah mensyariatkan adanya bahirah, saibah, wasilah, dan ham.” (Al-Maidah: 103).
Adapun al-bahirah ialah unta betina yang mereka belah telinganya, kemudian istri mereka, anak-anak perempuan mereka, dan keluarga mereka tidak boleh mencukur bulunya dan tidak boleh memerah susunya. Tetapi apabila hewan bahirah ini mati, mereka boleh memanfaatkannya bersama-sama.
Saibah ialah hewan yang mereka biarkan hidup bebas demi berhala-berhala mereka. Mereka berangkat menuju tempat berhala-berhala mereka dengan membawa ternak saibah, lalu mereka membiarkannya hidup bebas.
Wasilah ialah kambing betina yang telah berhasil melahirkan enam ekor anak kambing, dan apabila ia melahirkan lagi anak kambing yang ketujuh, mereka membelah telinganya dan memotong tanduknya, lalu mereka katakan bahwa kambing ini telah berjasa. Maka mereka tidak menyembelihnya, tidak memukulnya, dan tidak berani mencegahnya pergi ke tempat minum mana pun. Demikianlah penafsiran dari kata-kata tersebut disisipkan ke dalam hadits.
Dan telah diriwayatkan melalui jalur lain dari Abu Ishaq, dari Abul Ahwas Auf ibnu Malik, bahwa keterangan tersebut termasuk kata-kata Auf ibnu Malik. Pendapat inilah yang mirip kepada kebenaran. Hadits mengenai hal ini telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari Abuz Za'ra Amr ibnu Amr, dari pamannya Abul Ahwas (yaitu Auf ibnu Malik ibnu Nadlah), dari ayahnya dengan lafal yang sama, tetapi di dalam riwayat ini tidak disebutkan penjelasan (tafsir) dari kata-kata tersebut.
Firman Allah ﷻ: “Akan tetapi orang-orang kafir membuat-buat kebohongan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti.” (Al-Maidah: 103)
Yakni Allah ﷻ sama sekali tidak pernah mensyariatkan hal ini, dan hal ini bukan merupakan amal taqarrub untuk mendekatkan diri kepadaNya, melainkan orang-orang musyrik sendirilah yang membuat-buat peraturan tersebut, lalu mereka menjadikannya sebagai syariat buat mereka dan sebagai amal taqarrub mereka untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Apa yang mereka buat-buat itu tidak membawa hasil yang bermanfaat bagi diri mereka. Yang mereka petik hanyalah bencana bagi mereka sendiri.
Ayat 104
“Apabila dikatakan kepada mereka, ‘Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul,’ mereka menjawab, ‘Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya’.” (Al-Maidah: 104)
Yakni apabila mereka diseru untuk mengikuti agama Allah, syariat-Nya, dan hal-hal yang diwajibkan-Nya serta meninggalkan hal-hal yang diharamkan-Nya, maka mereka menjawab, "Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya," yakni peraturan-peraturan dan tradisi yang biasa dilakukan oleh nenek moyang mereka.
Allah ﷻ berfirman: “Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa.” (Al-Maidah: 104)
Yakni tidak mengerti kebenaran, tidak mengetahuinya, tidak pula mendapat petunjuk mengenainya. Maka bagaimanakah mereka akan mengikuti nenek moyang mereka, sedangkan keadaan nenek moyang mereka demikian? Mereka hanyalah mengikuti orang-orang yang lebih bodoh daripada mereka dan lebih sesat jalannya.
Ayat ini menjelaskan tentang kaum kafir Mekah yang membuatbuat kedustaan kepada Allah. Allah tidak pernah mensyariatkan adanya bahirah, yaitu unta betina yang telah beranak lima kali dan anak yang kelima itu jantan, lalu unta betina itu dibelah telinganya, dilepaskan, tidak boleh ditunggangi lagi, dan tidak boleh diambil air susunya. Allah juga tidak mensyariatkan sa'ibah, yaitu unta betina yang dibiarkan bebas karena suatu nazar. Masyarakat Arab Jahiliah ketika hendak melakukan sesuatu atau perjalanan jauh biasa bernazar menjadikan unta mereka sa'ibah bila maksud atau perjalanannya berhasil dan selamat. Tidak ada juga syariat tentang washilah, yaitu jika seekor domba betina melahirkan anak kembar dampit, maka anak yang jantan disebut washilah; ia tidak boleh disembelih, melainkan harus dipersembahkan kepada berhala. Allah juga tidak mensyariatkan ha'm, yaitu unta jantan yang tidak boleh diganggu lagi karena telah membuahi unta betina sepuluh kali. Perlakuan terhadap bahirah, sa'ibah, washilah, dan ha'm adalah kepercayaan Arab Jahiliah; tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah dengan meyakini bahwa semuanya merupakan ketetapan Allah; dan kebanyakan mereka tidak mengerti sedikit pun makna dan maksud dari mitologi tersebut. Dan apabila dikatakan kepada mereka, yakni masyarakat Arab Jahiliah itu, Marilah kita mengikuti apa yang diturunkan Allah berupa AlQur'an yang melarang menyembah berhala, dan yang diturunkan kepada Rasul berupa ajaran Islam dengan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, serta menerima kebenaran Al-Qur'an, mereka menjawab dengan perasaan bangga, Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati dari nenek moyang kami, tradisi yang sudah mengakar pada masyarakat Arab. Mereka menutup diri dari kebenaran dan bangga dengan leluhur mereka. Apakah mereka akan mengikuti nenek moyang mereka dengan meneruskan tradisi menyembah berhala dan berbuat kebohongan kepada Allah, walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa tentang kebenaran dan tidak pula mendapat petunjuk dari Allah'
Ayat ini menegaskan bahwa Allah tidak pernah menetapkan haramnya beberapa hal yang berlaku dalam adat jahiliah seperti haramnya bermacam-macam hewan sehingga mereka tidak makan dagingnya. Hanya mereka sendiri saja yang menetapkan haramnya makan daging hewan-hewan tersebut. Tetapi mereka mengatakan bahwa ketentuan itu datang dari Allah. Hewan-hewan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Bahirah, yaitu unta betina yang telah melahirkan anak lima kali, dan anaknya yang kelima betina. Menurut adat jahiliah, unta betina semacam itu mereka belah telinganya, kemudian mereka lepaskan, dan tidak boleh lagi dipakai untuk kendaraan, dan tidak boleh diambil air susunya.
b. Saibah, yaitu unta betina yang dilepas pergi ke mana saja, tidak boleh dipakai untuk kendaraan atau membawa beban, dan tidak boleh diambil bulunya, dan tidak boleh pula diambil air susunya, kecuali untuk tamu. Menurut adat jahiliah, ini dilakukan untuk menunaikan nazar. Apabila seseorang di antara mereka melakukan sesuatu pekerjaan berat, atau perjalanan yang jauh, maka mereka bernazar, bahwa ia akan menjadikan untanya sebagai saibah, jika pekerjaannya itu berhasil dengan baik, atau perjalanannya itu berlangsung dengan selamat.
c. Wasilah, yaitu kambing atau unta betina yang lahir kembar dengan saudaranya yang jantan. Menurut adat jahiliah juga, apabila seekor kambing betina melahirkan anak kembar jantan dan betina, dan yang betina mempunyai anak betina lagi, maka anaknya yang betina itu disebut "wasilah", tidak boleh disembelih, dan tidak boleh dipersembahkan kepada berhala.
d. ham, ialah unta jantan yang telah berjasa menghamilkan unta betina sepuluh kali. Menurut adat jahiliah, unta jantan semacam itu tidak boleh lagi diganggu, misalnya disembelih, atau digunakan untuk maksud apapun, tetapi harus dipelihara dengan baik. Ia tak boleh dicegah untuk minum air atau makan rumput dimanapun yang disukainya di mana saja.
Demikianlah antara lain beberapa adat jahiliah mengenai bermacam-macam hewan yang tidak boleh dimakan. Mereka mengatakan, bahwa ketentuan itu adalah dari Allah, dan menjadi syariat agama. Maka dalam ayat ini Allah membantahnya, dan menegaskan bahwa orang-orang kafir sendiri yang menetapkan ketentuan itu, dengan demikian, mereka telah mengadakan kebohongan terhadap Allah.
Di kalangan masyarakat muslim Indonesia, fenomena antropologi yang berkembang di lingkungan orang-orang Arab jahiliah ini muncul dalam bentuk pantangan-pantangan, pamali-pamali, dan lain-lain. Tidak sedikit larangan atau pantangan tertentu demikian mengakar kuat di masyarakat muslim, padahal masalahnya sama sekali tidak memiliki dasar ajaran agama. Hal-hal yang dipamalikan itu semata-mata merupakan produk tradisi setempat turun temurun yang kebenarannya tidak didukung oleh agama. Informasi antropologis yang disampaikan Allah dalam ayat 103-104 Surah al-Ma'idah/5 tersebut mengandung pelajaran yang sangat penting bagi masyarakat muslim di mana pun untuk tidak terus memelihara pantangan-pantangan, karena hal itu tidak dilarang Allah. Jika hal semacam itu terus berlanjut berarti masyarakat itu telah melakukan kedurhakaan kepada Allah.
Pada akhir ayat ini, Allah menerangkan bahwa kebanyakan orang-orang kafir tidak menggunakan akal pikirannya. Sebab, jika mereka mau menggunakan akal sehat mereka, niscaya mereka tidak akan membuat kebohongan terhadap Allah, dan juga tidak akan mengharamkan apa yang tidak diharamkan Allah.
Menurut riwayat dari Ibnu Jarir, Abu Hurairah telah berkata, "Aku mendengar Rasulullah bersabda kepada Aktsam bin al-Jaun, "Hai Aktsam, neraka telah diperlihatkan kepadaku, maka tampak olehku dalam neraka itu Amru bin Luhay, Ibnu Qam'ah bin Khinzif sedang menarik ususnya. Maka aku tidak melihat seorang pun selain engkau yang lebih mirip dengannya." Maka Aktsam berkata, "Aku merasa takut kalau-kalau kemiripanku dengannya akan mendatangkan suatu bahaya atas diriku." Rasulullah menjawab, "Tidak, sebab engkau mukmin, sedangkan dia kafir; dialah orang pertama yang mengubah agama Nabi Ismail, dan dialah orang pertama yang menetapkan ketentuan tentang bahirah, saibah, wasilah dan ham."
Dari riwayat ini dapat diambil pengertian bahwa sesuatu yang diada-adakan dalam syariat agama, misalnya mengharamkan makanan yang dihalalkan Allah, atau membuat tradisi yang bertentangan dengan agama, atau mengadakan peribadatan yang tidak ditetapkan oleh agama sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memperoleh ridaNya, maka perbuatan tersebut sama dengan perbuatan 'Amru bin Luhay. Padahal cara-cara yang sah untuk menyembah Allah telah ditetapkanNya dan telah disampaikan oleh Rasul-Nya. Maka setiap peribadatan dan penetapan hukum haruslah berdasarkan nash Al-Qur'an atau ketetapan Rasul. Seseorang tidak boleh menambah atau mengurangi menurut kemauannya sendiri.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 103
“Tidaklah Allah menjadikan bahirah dan tidak saa-ibah, dan tidak washiilah, dan tidak pula ham."
Artinya, bahwasanya nama-nama dan peraturan-peraturan itu tidak ada dari Allah sama sekali."Akan tetapi, orang-orang kafirlah yang membuat-buat atas nama Allah akan kedustaan." Dengan demikian, segala perbuatan yang ada itu hanyalah mereka buat-buatkan saja di atas nama Allah sebagai upacara ketentuan agama dengan jalan dusta sebab mereka hendak menghormati berhala yang mereka persekutukan Allah dengan dia.
“Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang tidak berakal."
Artinya, segala peraturan itu mereka perbuat bukan karena mendapat akal yang sehat, melainkan hanya karena takhayul belaka. Bukan wahyu, melainkan khayat yang telah menjadi adat turun-temurun dan tidak diperiksa lagi kegunaannya melakukan itu.
Ayat 104
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Marilah kepada apa yang dituntutkan oleh Allah dan kepada Rasul', mereka pun menjawab, ‘Cukuplah bagi kami apa-apa yang telah kami dapati atasnya bapak-bapak kami.'"
Semua pekerjaan yang karut itu, memberi nama-nama tertentu kepada binatang lalu mengatakan bahwa binatang itu adalah kepunyaan berhala, mereka pandang sebagai hal-ihwal yang tidak boleh dilanggar sama sekali. Jika ditanya, apa sebab dibuat begitu, mereka sendiri tidak bisa mempergunakan akal untuk menjelaskan kebenarannya. Mereka katakan bahwa itu adalah peraturan agama dari Allah. Apabila ditanya, kalau memang dari Allah tentu mesti ada dasar wahyunya. Nabi yang mana, rasul yang mana yang menyampaikan wahyu itu, mereka terdesak tidak dapat menjawab. Hanya satu saja pertahanan mereka yang penghabisan, yaitu, “Sudah begitu kami dapati dipusakakan oleh nenek moyang itu tidak akan kami ubah. Kami hanya menurutinya dengan setia. Akal kami tidak akan kami pergunakan untuk mempertimbangkan berfaedah atau tidak berfaedah hal ini. Nenek moyang jauh lebih pintar dari kami. Tentu oleh beliau hal ini sudah dipertimbangkan semasak-masaknya."
Sekarang datanglah celaan kepada orang yang memegang suatu peraturan yang mereka namai agama padahal tidak ada sumbernya yang jelas,
“Apakah walaupun bapak-bapak mereka itu tidak mengetahui sesuatu pun dan tidak dapat petunjuk?"
Mereka katakan, begitulah pusaka nenek moyang, kami tidak dapat mengubahnya. Seka-rang dituruti sebentar jawab mereka. Baik, dari nenek moyang! Bagaimana kalau peraturan nenek moyang itu hanya suatu peraturan yang tidak timbul dari ilmu? Yang tidak terang sebab-sebabnya? Apakah akan diikuti juga? Bagaimana kalau peraturan nenek moyang itu ternyata tidak datang dari petunjuk Allah, tidak dari hidayah dan wahyu yang diterima dari salah seorang rasul seumpama Ibrahim dan Isma'il? Hanya dari khayat nenek moyang saja lalu dimasukkan ke dalam rangka keagamaan, apakah akan diikuti juga? Kalau demikian jadiriya, tentu mudah saja bagi seorang tua membuat satu peraturan, walaupun tidak masuk akal, tak tentu akan gunanya sehingga segala macam perbuatan yang karut-marut bercampur aduk dalam agama dan dilaksanakan saja oleh yang datang kemudian dan dikatakan agama. Ke mana akal mereka letakkan?
Inilah ayat yang berguna untuk segala zaman. Ayat yang bukan untuk orang jahiliy-yah saja, melainkan untuk memperingatkan bahwa di dalam memegang suatu peraturan agama, sekali-kali tidaklah boleh menuruti begitu saja pada apa yang diterima dari guru atau nenek moyang. Sumber agama, sebagai yang diserukan pada ayat ini sudah tegas sekali, yaitu peraturan dari Allah dan Rasul. Di luar itu, bid'ah namanya.
Segala perbuatan bid'ah itu nyatalah tidak bersumber dari pengetahuan dan tidak dari petunjuk (hidayah Ilahi). Kalau dicari dari mana asal-usulnya, tentu tidak akan bertemu. Dalam kalangan kita kaum Muslimin yang telah jauh jarak zamannya dengan Nabi, bisa saja timbul aturan yang tidak-tidak, yang tak masuk akal, tidak dari Al-Qur'an, dan tidak dari Sunnah Rasul. Namun, kalau ditegur mereka marah dan bersitegang urat-leher mengatakan bahwa begitulah yang diterima dari nenek moyang. Inilah yang bernama taqlid, yaitu memikul saja, menyandang saja apa yang diterima dengan tidak memakai pikiran.
Hal ini terutama sekali berkenaan dengan ibadah. Segala ibadah kepada Allah atau segala upacara yang ada sangkut-pautnya dengan ibadah, sedikit pun tidak boleh ditambahi atau dikurangi dari yang ditentukan oleh Allah dan Rasul. Kalau sudah ditambah karena taqlid maka sifat keadaan agama itu akan berubah sama sekali. Diriamai suatu agama baru dengan nama Islam, padahal ia sudah jauh dari Islam.
Segala upacara dan tata cara yang bukan berasal dari petunjuk Allah, yang hanya diterima sebagai pusaka, lalu dipertahankan mati-matian, termasuk dalam golongan adat jahiliyyah. Golonan adat ini tidak semata-mata zaman sebelum Nabi Muhammad diutus menjadi rasul, tetapi segala penyelewengan dari garis agama yang benar lalu dikatakan bahwa itu pun agama, termasuklah dalam jahiliyyah.
Di negeri kita terdapat juga jahiliyyah yang menyerupai bahirah, saa-ibah, washiilah, dan haam itu.
Di tepi-tepi pantai dalam kehidupan nelayan di utara Pulau Jawa atau di Pantai Kelantan dan Trengganu di Malaysia, ada suatu kebiasaan pusaka nenek moyang yang bernama “Puja Laut". Yaitu, menyembelih kerbau lalu kepala kerbau itu diantarkan ke lautan. Katanya untuk sajian (sesajen) kepada jin penjaga laut di sana. Timbul kepercayaan bahwa kalau jin laut itu tidak diberi sajian, ia akan meminta kurban manusia. Ini pun termasuk kebiasaan jahiliyyah.
Kemudian ada pula jahiliyyah yang dimodernisasikan. Contohnya, ketika pemerintah atau suatu badan usaha mencecak perumahan, menggali dasar rumah atau gedung, atau memasang fundamen, harus menyembelih seekor kerbau besar. Kemudian, kepalanya dikuburkan ke dalam fundamen rumah yang akan didirikan itu. Setelah selesai dikuburkan, barulah pekerjaan pembangunan dimulai.
Mengapa jin di laut yang diberi sajian? Mengapa tidak mengadakan sujud syukur atau shalat syukur langsung kepada Allah yang membentangkan lautan dan memberinya ikan? Dan memohon pula langsung kepada Allah supaya diberi perlindungan setiap tahun bagi nelayan agar jangan sampai dapat bahaya di laut? Dapatkah jin yang jahat itu berbuat apa-apa kepada manusia kalau Allah tidak mengizinkan? Manakah yang kuat doanya seorang manusia yang khusyu dengan kejahatan seekor jin yang menjaga laut?
Dan mendirikan sebuah gedung besar dengan memberi hadiah sebuah kepala kerbau kepada “penghuni" tanah itu menimbulkan pula pertanyaan. Siapakah yang berkuasa atas tanah itu, “penghuni" tanah yang tidak tampak atau Allah yang wajib dipercayai adanya? Manakah yang lebih mulia, apakah manusia yang menjadi khalifah Allah di dunia ini dan seluruh bumi ini disediakan bagi manusia atau segala jinkah lebih mulia?
Tidaklah ada perlunya menguburkan kepala kerbau di tanah tempat mendirikan gedung itu. Yang lebih penting adalah bahwa rumah atau gedung itu didirikan dengan yang halal bukan dengan uang hasil korupsi. Kalau jin tidak diberi hadiah, tidaklah jin itu akan sanggup mengalahkan orang yang beriman. Namun, kalau barang haram yang dipakai untuk pembangunan, teranglah Allah akan mengutuk.
Ini hanya satu misal kecil tentang taqlid, tentang menghidupkan kebiasaan jahiliyyah yang hampir menyamai bahiirah, saa-ibah, washiilah, dan haam pada orang jahiliyyah modern sekarang. Di negeri kita ini banyak jahiliyyah ditimbulkan atau dibangkit-bangkitkan oleh penguasa sendiri, dijadikan tradisi yang menyerupai ibadah, dan orang yang menegurnya sebab tidak berasal dari agama, akan balik dimarahi orang. Inilah akibatnya orang tidak senang kalau syari'at Islam yang berasal dari Allah dan Rasul dijalankan, padahal hendak berupacara juga. Kemudian, diganti upacara-upacara jahiliyyah yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan tauhid.
TEGUHKAN PRIBADIMU
Ayat 105
“Wahai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu! Tidaklah akan membahayakan bagi kamu orang yang telah tersesat, apabila kamu telah mendapat petunjuk."
Pada zaman sahabat-sahabat sendiri rupanya ayat ini sudah menjadi perbincangan juga. Perintah amar ma'ruf nahi munkar tetap berlaku dan dikerjakan terus, dan ayat ini bertemu pula, memerintahkan orang menjaga diri sendiri. Menurut riwayat dari Abu Ja'far ar-Razi yang diterimanya dari Rabi dan Rabi menerima dari Abui Aliyah dan Abui Aliyah menerimanya dari Abdullah bin Mas'ud, ayat ini pernah dibicarakan orang di dalam majelis Ibnu Mas'ud. Ada dua orang rupanya bertengkar di hadapan majelis itu sehingga hampir berkelahi. Melihat kejadian itu, seorang yang duduk dalam majelis Abdullah bin Mas'ud itu berkata, “Lebih baiklah saya berdiri dan saya adakan amar ma'ruf nahi munkar kepada kedua orang yang hendak berkelahi ini." Kemudian, seorang lagi yang turut duduk juga di dalam majelis itu berkata, “Biarkan sajalah! Bukankah sudah ada ayat yang mengatakan jaga sajalah dirimu!" Pengertian (takwil) ayat itu belum datang hingga sekarang. Sebab, ketika ayat-ayat Al-Qur'an diturunkan, ada yang pengertiannya telah ada terlebih dahulu sebelum ayat diturunkan.
Ada pula ayat yang pada zaman Rasulullah sendiri sudah diturunkan pengertiannya. Dan pula ayat-ayat yang pengertiannya diturunkan sedikit masa sesudah Rasulullah ﷺ dan ada pula ayat-ayat yang pengertiannya baru datang kelak sesudah Yaumal Hisab, yaitu yang memperkatakan soal hisab (perhitungan), soal surga dan neraka. Oleh karena itu, selama hati kamu masih bersatu, kehendak keinginan kamu masih satu, belum kamu berpecah-belah menjadi beberapa golongan, dan belum setengah kamu menderita dari sebab serangan yang setengah maka hendaklah kamu tetap beramar ma'ruf nahi munkar. Namun, apabila hati kamu telah berpecah-belah bergolong-golongan, yang setengah telah menyerang yang setengah maka pada waktu itu menjaga diri sendirilah yang mesti kamu pentingkan. Pada waktu itulah datangnya takwil ayat ini. Demikian keterangan Ibnu Mas'ud. Dirawikan riwayat ini oleh Ibnu Jarir.
Abdullah bin Umar pun pernah berkata seperti ita. Kata beliau, ‘Ayat ini belum berlaku terhadap diriku dan kawan-kawanku karena Rasulullah telah memerintahkan agar orang-orang yang pernah menyaksikan beliau, seperti kami ini, supaya menyampaikan kepada yang tidak hadir. Maka, kamilah yang hadir di hadapan beliau dan kamulah yang gaib tempat kami menyampaikan itu. Tetapi, ayat ini akan berlaku di atas kaum yang akan datang sesudah kita yang kalau mereka menyampaikan suatu peringatan tidak lagi akan diterima orang." Riwayat Ibnu jarir juga.
Dalam suatu majelis pada zaman Khalifah Utsman bin Affan di Madiriah, pernah juga orang membicarakan ayat ini. Sebagian besar menyatakan bahwa takwil ayat ini belum ada sekarang. Menilik kata-kata para-sahabat yang besar-besar itu, Abdullah bin Mas'ud, Abdullah bin Umar, dan dalam majelis Sayyidiria Utsman, mengertilah kita bahwa memang ayat-ayat Al-Qur'an itu, termasuk ayat ini, ada yang baru didapat pengertiannya lama sesudah Rasulullah ﷺ wafat dan lama sesudah sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ sendiri. Sebab, pada zaman sahabat-sahabat, belum terlihat suatu sebab pun buat menjalankan ayat ini. Semua orang masih wajib beramar ma'ruf nahi munkar. Namun, di belakang beliau akan datang suatu masa, kekacauan memuncak, orang hidup naf-si-nafsi, perpecahan dan cemburu, salah menyalahkan, nasihat tidak berharga, kejujuran menjadi tertawaan. Hal yang sebenarnya tidak boleh dibicarakan, ambil muka terlalu banyak Maka saat itu ingatlah diri sendiri, peliharalah iman kepada Allah dan tidak perlu terlalu banyak melihat orang lain.
Menilik kata-kata dan pertimbangan sahabat-sahabat Rasulullah yang utama itu, Abdullah bin Mas'ud, Abdullah bin Umar, dan Utsman bin Affan, kita mendapat kesan bahwa mereka berpendapat pada zaman mereka ayat ini belum akan berlaku. Artinya, amar ma'ruf nahi munkar terus mesti dijalankan. Barangkali nanti pada kemudian hari, amar ma'ruf nahi munkar terpaksa didiamkan karena pada zaman itu kekacauan kelak akan memuncak. Zaman ketika orang yang berani mengatakan yang benar akan dianiaya orang. Dan hal yang beliau isyaratkan itu memang telah terjadi pada zaman kita ini.
Pihak-pihak yang berkuasa dalam satu negeri menyuruh rakyat menyatakan terus terang apa yang salah. Namun, kalau yang salah itu dikatakan terus-terang, mereka akan marah dan awak bisa mendapat bahaya, misalnya dihukum, dipenjara, diasingkan, bahkan disingkirkan. Menurut paham Ibnu Mas'ud, kalau keadaan sudah serupa itu nanti, jaga sajalah dirimu menurut ayat ini. Asal engkau sudah langsung mengambil petunjuk dari Allah, betapa pun sesatnya orang lain mereka tidak akan memberi bahaya bagi kamu. Adapun sekarang ini (pada zaman Ibnu Mas'ud zaman gemilang sahabat Rasulullah), amar ma'ruf dan nahi munkar mesti terus dilakukan.
Namun, paham Ibnu Mas'ud dan paham Ibnu Umar dan satu pembicaraan dalam majelis Khalifah Utsman bin Affan ini, dengan sendirinya telah terbantah oleh hadits Rasulullah sendiri dan satu isi khutbah Sayyidiria Abu Bakar ash-Shiddiq.
Tirmidzi telah merawikan dari Abi Umay-yah asy-Syaibani, Dia berkata, “Saya pernah datang bertanya kepada Abi Tsalabah al-Khusyani, ‘Bagaimana sikapmu terhadap ayat ini? Wahai orang yang beriman! Jagalah dirimu, tidaklah akan memberi mudharat kepada kamu orang yang telah tersesat, asal engkau telah mencari petunjuk.' Dia menjawab, ‘Sungguh, demi Allah! Hal ini telah pernah saya tanyakan kepada orang yang lebih mengerti akan maksudnya, yaitu Rasulullah ﷺ sendiri. Beliau telah menjawabnya!'"
Pangkal ayat ini adalah peringatan yang sangat mendalam kesannya bagi tiap orang yang beriman. Oleh karena itu, dimulailah se-ruan kepada orang yang beriman! Hendaklah terlebih dahulu tiap-tiap Mukmin itu menjaga dirinya sendiri, memupuk imannya, memperdalam pengetahuannya tentang agamanya, belajar dan berguru, dan bertanya kepada yang pandai supaya mengetahui mana-mana perintah Allah dan Rasul yang dilarang, mana yang sunnah, dan mana yang bid'ah. Ayat ini memerintahkan tiap Mukmin agar mempertinggi mutu pribadiriya, memperdalam iman, dan memperbanyak amalnya. Orang yang Mukmin hidup dalam jamaah. Tiap waktu shalat yang lima selalu mereka diperintah mencampurkan diri ke dalam masyarakatnya, sekurangnya masyarakat sekampungnya dalam surau dan langgar, mushala kecil dan masjid besar. Meskipun melihat orang yang sesat, dia tidak akan turut hanyut dalam kesesatan itu kalau dia waspada memelihara imannya sendiri. Dia tidak akan terpesona oleh banyaknya yang buruk dan sedikit yang baik. Yang buruk tetap buruk, walaupun lebih banyak sebagai yang disebutkan dalam ayat ke-100 tadi. Orang diperintahkan selalu melakukan amar ma'ruf nahi munkar. Menyuruh berbuat baik, mencegah berbuat munkar. Namun, kalau seseorang hanya pandai menyuruh dan melarang, padahal dirinya sendiri tidak dijaganya, tidaklah akan ada harga ucapan yang diucapkannya itu. Oleh karena itu, tiap-tiap Mukmin, di samping menyuruh dan mencegah orang lain, hendaklah terlebih dahulu sanggup menyuruh dan mencegah diri sendiri. Tepat apa yang dikatakan oleh setengah pujangga, “Orang yang tidak sanggup mengatur dirinya sendiri, tidaklah dia akan sanggup mengatur orang lain." Oleh karena itu, kalau tiap Mukmin itu telah sadar akan dirinya, walaupun di kiri-kanan dia melihat kesesatan belaka, tidaklah dia akan turut tenggelam dalam kesesatan itu. Dengan demikian, menjaga diri sendiri itu berakibat dua. Pertama, kebesaran jiwa, sehingga sanggup menegur kesalahan orang yang salah. Kedua, kalaupun nasihatnya tidak diacuhkan orang, dia sendiri akan tetap selamat dalam imannya.
Apabila Mukmin telah menjaga dirinya sendiri-sendiri, mempertinggi mutu imannya, tidak silau melihat orang yang tersesat, terjadilah perlombaan yang sehat dalam memajukan pribadi sendiri-sendiri. Orang tidak lagi hanya mengalah, menyatakan kesalahan, dan keburukan orang lain karena masing-masing sudah menyelidiki kekurangan yang ada pada dirinya. Kerap kali keburukan masyarakat me-muncaksebab masing-masingorang hanya ingat kesalahan orang lain, atau kesalahan golongan lain, lalu mengeluh. Masing-masing orang lupa menilik di mana sebenarnya letak kesalahan itu, yaitu pada masing-masing diri kita. Oleh sebab itu, pernahlah orang bertanya kepada penulis tafsir ini, “Bagaimana akal memerangi krisis akhlak dalam masyarakat sekarang ini?" Penulis hanya menjawab, ‘Adakan satu panitia besar, seluruh orang jadi anggotanya. Dan tiap-tiap seseorang hanya diberi tugas satu saja, yaitu memperbaiki dirinya sendiri!"
Penulis belum berani masuk ke dalam kesimpulan yang penulis tafsirkan sebelumnya, sebelum penulis menilik pendapat penafsir-penafsir salaf. Karena kalau hanya menilik sepintas lalu saja pada ayat ini, seakan-akan dia hanya menyuruh orang mementingkan diri sendiri saja. Asal diri sendiri sudah teguh iman, apa peduli kita kalau orang lain sesat. Padahal agama dengan keras menyuruh menegakkan amar ma'ruf nahi-munkar. Oleh sebab itu, ada juga ahli tafsir salaf yang berkata, “Takwil yang sebenarnya tentang ayat ini kalau bertemu pada zaman kita, niscaya kelak akan terang juga apa maksudnya." Namun, Sa'id bin al-Musayyab memberikan tafsir yang tegas, yaitu, “Apabila engkau sudah menyuruh yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar maka sekali-kali tidaklah akan membahayakan kepada kamu yang tersesat, bila engkau telah dapat petunjuk."
Memang, suatu waktu kadang kalanya akan bertemu keadaan yang kita tidak bebas lagi mengadakan amar ma'ruf nahi munkar. Sudah terlalu memuncak kejahatan dan amat berbahaya bagi keadaan kita kalau ditegur. Oleh sebab itu, Ibnu Jarir berpendapat, “Kalau sudah jelas atau sudah ada bukti-bukti yang kuat bahwa melancarkan amar ma'ruf nahi munkar akan membahayakan, membawa diri ke dalam kebinasaan, amar ma'ruf nahi munkar tidaklah lagi faridhah (kewajiban), melainkan fadhilah (perangai utama), yakni kalau masih akan ada faedahnya. Akan tetapi, kalau faedah tidak ada, lebih baik diam daripada binasa. Imam Ghazali pun menyatakan pendapat menyerupai Ibnu Jarir itu di dalam al-Ihya'. Sungguh pun demikian, datang lagi sebuah hadits shahih yang telah kita kenal.
“Barangsiapa melihat yang munkar, hendaklah dia ubah dengan tangannya. Kalau dia tidak sanggup, hendaklah ubah dengan lidahnya. Dan kalau dia tidak juga sanggup, hendaklah ubah dengan hatinya. Tetapi (dengan hati), itu adalah selemah-lemah iman." (HR Imam Ahmad dan Muslim)
Setelah menilik ini, hilanglah kesamaran karena melihat ayat ini sepintas lalu. Sebagai Mukmin, kita masing-masing wajib menjaga diri kita, mempertinggi mutu iman kita Sehingga kita tidak dapat disesatkan oleh orang yang sesat karena kita telah mendapat hidayat Allah. Dalam pada itu, amar ma'ruf nahi mun-kar sekali-kali tidak boleh dihentikan. Kalau keadaan tidak mengizinkan untuk amar ma'ruf nahi munkar yang tegas, tetapi dengan sikap hidup dan “hijrah hati" hendaklah amar ma'ruf nahi munkar itu diteruskan. Seperti pepatah syair Arab:
“Kalau engkau tak sanggup mengerjakan sesuatu, tinggalkan dia dan ambil mana yang engkau sanggupi."
“Bahkan hendaklah kamu suruh-menyuruh ber-buat ma'ruf, cegah-mencegah berbuat munkar sehingga, walaupun telah engkau lihat kebakhilan yang ditaati dan hawa nafsu yang diperturutkan, dunia lebih dipentingkan, dan setiap yang mengemukakan suatu pendapat merasa megah dengan pendapatnya. Waktu itu, hendaklah engkau perkuat pribadimu dan jangan memedulikan orang awam. Karena sesungguhnya di belakangmu ini akan datang hari-hari yang kesabaran padanya adalah laksana memegang bara panas. Orang yang bekerja pada masa itu akan mendapat pahala 50 orang laki-laki yang beramal seperti amalmu."
Abdullah bin Mubarak menambahkan, “Ditambah penjelasannya oleh orang yang lain dari Uthbah kepadaku, ‘Ditanya orang kepada Rasulullah ﷺ pahala 50 orang yang mana yang beliau maksud, apakah 50 orang yang hidup pada zaman Rasul (sahabat-sahabat Rasulullah)? Ataukah pahala 50 orang dari mereka yang hidup pada zaman akan datang itu?' Rasulullah ﷺ menjawab tegas, ‘Pahala 50 orang daripada kamu!'"
Dari hadits ini kita mendapat pengajaran yang tegas bahwa maksud ayat ini berlaku untuk seluruh zaman, yaitu semua Muslim Mukmin wajib memperteguh pribadiriya dengan mencari selalu petunjuk Allah, Karena kalau petunjuk Allah telah memenuhi jiwa, kita tidak akan ditimpa rasa takut berhadapan dengan siapa pun yang sesat dari jalan Allah. Dan setelah pribadi diperkuat, hendaklah segera melakukan amar ma'ruf nahi munkar. Dengan bertambah kacaunya dunia ini, hendaklah bertambah seorang Mukmin mendekati petunjuk Allah. Dan setelah kuat oleh petunjuk itu, dia wajib meneruskan tugasnya melakukan amar ma'ruf nahi munkar.
Datang pula riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal, dari Sayyidiria Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. bahwa suatu hari beliau berdiri berkhutbah, lalu beliau mengucapkan puji-pujian dan san-jungan kepada Allah, lalu beliau berkata:
selemah-lemah iman." (HR Imam Ahmad dan Muslim)
Setelah menilik ini, hilanglah kesamaran karena melihat ayat ini sepintas lalu. Sebagai Mukmin, kita masing-masing wajib menjaga diri kita, mempertinggi mutu iman kita Sehingga kita tidak dapat disesatkan oleh orang yang sesat karena kita telah mendapat hidayat Allah. Dalam pada itu, amar ma'ruf nahi mun-kar sekali-kali tidak boleh dihentikan. Kalau keadaan tidak mengizinkan untuk amar ma'ruf nahi munkar yang tegas, tetapi dengan sikap hidup dan “hijrah hati" hendaklah amar ma'ruf nahi munkar itu diteruskan. Seperti pepatah syair Arab:
“Kalau engkau tak sanggup mengerjakan sesuatu, tinggalkan dia dan ambil mana yang engkau sanggupi."
“Bahkan hendaklah kamu suruh-menyuruh ber-buat ma'ruf, cegah-mencegah berbuat munkar sehingga, walaupun telah engkau lihat kebakhilan yang ditaati dan hawa nafsu yang diperturutkan, dunia lebih dipentingkan, dan setiap yang mengemukakan suatu pendapat merasa megah dengan pendapatnya. Waktu itu, hendaklah engkau perkuat pribadimu dan jangan memedulikan orang awam. Karena sesungguhnya di belakangmu ini akan datang hari-hari yang kesabaran padanya adalah laksana memegang bara panas. Orang yang bekerja pada masa itu akan mendapat pahala 50 orang laki-laki yang beramal seperti amalmu."
Abdullah bin Mubarak menambahkan, “Ditambah penjelasannya oleh orang yang lain dari Uthbah kepadaku, ‘Ditanya orang kepada Rasulullah ﷺ pahala 50 orang yang mana yang beliau maksud, apakah 50 orang yang hidup pada zaman Rasul (sahabat-sahabat Rasulullah)? Ataukah pahala 50 orang dari mereka yang hidup pada zaman akan datang itu?' Rasulullah ﷺ menjawab tegas, ‘Pahala 50 orang daripada kamu!'"
Dari hadits ini kita mendapat pengajaran yang tegas bahwa maksud ayat ini berlaku untuk seluruh zaman, yaitu semua Muslim Mukmin wajib memperteguh pribadiriya dengan mencari selalu petunjuk Allah, Karena kalau petunjuk Allah telah memenuhi jiwa, kita tidak akan ditimpa rasa takut berhadapan dengan siapa pun yang sesat dari jalan Allah. Dan setelah pribadi diperkuat, hendaklah segera melakukan amar ma'ruf nahi munkar. Dengan bertambah kacaunya dunia ini, hendaklah bertambah seorang Mukmin mendekati petunjuk Allah. Dan setelah kuat oleh petunjuk itu, dia wajib meneruskan tugasnya melakukan amar ma'ruf nahi munkar.
Datang pula riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal, dari Sayyidiria Abu Bakar ash-Shiddtq r.a. bahwa suatu hari beliau berdiri berkhutbah, lalu beliau mengucapkan puji-pujian dan san-jungan kepada Allah, lalu beliau berkata:
“Wahai sekalian manusia. Kamu membaca ayat Allah. Wahai orang-orang yang beriman jagalah dirimu, tidaklah akan memberi mudharat kepada kamu orang yang telah sesat apabila kamu tetap mencari petunjuk. Sesungguhnya kamu telah meletakkan ayat ini bukan pada tempatnya. Aku telah mendengar sendiri dari Rasulullah ﷺ Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya manusia, jika melihat perbuatan yang munkar tidak diubahnya, pastilah mereka akan dilingkupi oleh Allah Ta'aala dengan siksaan-Nya." (HR Imam Ahmad)
Dengan kedua keterangan ini, dari Rasul dan dari Abu Bakar ash-Shiddiq, tidak ada yang patut kita ragukan lagi. Orang-orang yang telah menerima tanggung jawab dari Rasulullah ﷺ agar menegakkan kebenaran di dunia ini, wajiblah terlebih dahulu memperkuat pribadiriya dengan petunjuk Allah, dengan ibadah, dengan dzikir, dan dengan menjauhi perbuatan yang haram. Sehingga tidak ada tempat takut lagi, selain Allah. Dan mulailah amar ma'ruf nahi munkar. Bertawakal kepada Allah, walau apa pun yang akan terjadi. Dengan demikian, datanglah kepastian di ujung ayat, “Kepada Allah-lah tempat kembali kamu sekalian." Peringatan Allah pada ayat ini menambah kuat pribadi lagi. Kuatlah diri dengan petunjuk Allah, tegakkan jamaah islamiyah, berani mengadakan amar ma'ruf nahi munkar, dan ingat bahwa kita akan kembali kepada Allah, tempat kita mempertanggungjawabkan segala usaha.
“Maka dia akan menjelaskan kepada kamu apa yang lelah kamu kerjakan."
(ujung ayat 105)