Ayat
Terjemahan Per Kata
إِنَّ
sesungguhnya
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
يَغُضُّونَ
merendahkan
أَصۡوَٰتَهُمۡ
suara mereka
عِندَ
di sisi
رَسُولِ
rasul
ٱللَّهِ
Allah
أُوْلَٰٓئِكَ
mereka itu
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ٱمۡتَحَنَ
menguji
ٱللَّهُ
Allah
قُلُوبَهُمۡ
hati mereka
لِلتَّقۡوَىٰۚ
untuk bertakwa
لَهُم
bagi mereka
مَّغۡفِرَةٞ
ampunan
وَأَجۡرٌ
dan pahala
عَظِيمٌ
besar
إِنَّ
sesungguhnya
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
يَغُضُّونَ
merendahkan
أَصۡوَٰتَهُمۡ
suara mereka
عِندَ
di sisi
رَسُولِ
rasul
ٱللَّهِ
Allah
أُوْلَٰٓئِكَ
mereka itu
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ٱمۡتَحَنَ
menguji
ٱللَّهُ
Allah
قُلُوبَهُمۡ
hati mereka
لِلتَّقۡوَىٰۚ
untuk bertakwa
لَهُم
bagi mereka
مَّغۡفِرَةٞ
ampunan
وَأَجۡرٌ
dan pahala
عَظِيمٌ
besar
Terjemahan
Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah, mereka itulah orang-orang yang telah diuji hatinya oleh Allah untuk bertakwa. Mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar.
Tafsir
("Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah, mereka itulah orang-orang yang telah diuji) dicoba (hati mereka oleh Allah untuk bertakwa) artinya, ujian untuk menampakkan ketakwaan mereka. (Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar") yakni surga. Ayat berikutnya diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang datang di waktu tengah hari kepada Nabi ﷺ sedangkan Nabi ﷺ pada saat itu berada di dalam rumahnya, lalu mereka memanggil-manggilnya, yaitu firman-Nya:.
Tafsir Surat Al-Hujurat: 1-3
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari. Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah, mereka itulah orang-orang yang telah diuji hatinya oleh Allah untuk bertakwa.
Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar. Melalui ayat-ayat ini Allah ﷻ mengajarkan etika sopan santun kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dalam bergaul dengan Rasulullah ﷺ Yaitu hendaknya mereka menghormati, memuliakan, dan mengagungkan beliau ﷺ Untuk itu Allah ﷻ berfirman: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya. (Al-Hujurat: 1) Maksudnya, janganlah kalian tergesa-gesa dalam segala sesuatu di hadapannya, yakni janganlah kamu melakukannya sebelum dia, bahkan hendaknyalah kamu mengikuti kepadanya dalam segala urusan. Dan termasuk ke dalam pengertian umum etika yang diperintahkan Allah ini adalah hadis Mu'az r.a. ketika ia diutus oleh Nabi ﷺ ke negeri Yaman. ". Nabi ﷺ bertanya kepadanya, "Dengan apa engkau putuskan hukum?" Mu'az menjawab, "Dengan Kitabullah" Rasul ﷺ bertanya, "Kalau tidak kamu temukan?" Mu'az menjawab, "Dengan sunnah Rasul." Rasul ﷺ bertanya, "Jika tidak kamu temukan." Mu'az menjawab, "Aku akan berijtihad sendiri." Maka Rasul ﷺ mengusap dadanya seraya bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah membimbing utusan Rasulullah kepada apa yang diridai oleh Rasulullah. Imam Ahmad, Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Ibnu Majah telah meriwayatkan hadis ini pula. Kaitannya dengan pembahasan ini ialah Mu'az menangguhkan pendapat dan ijtihadnya sendiri sesudah Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. Sekiranya dia mendahulukan ijtihadnya sebelum mencari sumber dalil dari keduanya, tentulah dia termasuk orang yang mendahului Allah dan Rasul-Nya.
Ali ibnu AbuTalhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan makna firman-Nya: Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya. (Al-Hujurat: 1) Yakni janganlah kamu katakan hal yang bertentangan dengan Kitabullah dan sunnah. Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa mereka (para sahabat) dilarang berbicara di saat Rasulullah ﷺ sedang berbicara. Mujahid mengatakan, "Janganlah kamu meminta fatwa kepada Rasulullah ﷺ tentang suatu perkara, sebelum Allah ﷻ menyelesaikannya melalui lisannya." Ad-Dahhak mengatakan, "Janganlah kamu memutuskan suatu urusan yang menyangkut hukum syariat agama kalian sebelum Allah dan Rasul-Nya memutuskannya." Sufyan As'-Sauri telah mengatakan sehubungan dengan makna firman Allah Swt: Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya. (Al-Hujurat: 1) baik dalam ucapan maupun perbuatan. Al-Hasan Al-Basri telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya. (Al-Hujurat: 1) Yaitu janganlah kamu berdoa sebelum imam berdoa. Qatadah mengatakan, telah diceritakan kepada kami bahwa ada beberapa orang yang mengatakan, "Seandainya saja diturunkan mengenai hal anu dan anu.
Seandainya saja hal anu dibenarkan. Maka Allah ﷻ tidak menyukai hal tersebut; karena hal tersebut berarti sama dengan mendahului." dan bertakwalah kepada Allah. (Al-Hujurat: 1) dengan mengerjakan semua apa yang diperintahkan-Nya kepada kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (Al-Hujurat: 1) Yakni Dia mendengar semua ucapan kalian dan mengetahui semua niat kalian. Firman Allah ﷻ: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi. (Al-Hujurat: 2) Ini merupakan etika lainnya yang melaluinya Allah mendidik hamba-hamba-Nya yang beriman agar mereka jangan meninggikan suaranya di hadapan Nabi ﷺ lebih tinggi daripada suaranya. Menurut suatu riwayat, ayat ini diturunkan berkenaan dengan dua orang syekh, yakni Abu Bakar dan Umar.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Busrah ibnu Safwan Al-Lakhami, telah menceritakan kepada kami Nafi' ibnu Umar, dari Ibnu Abu Mulaikah yang mengatakan bahwa hampir saja kedua orang yang terbaik binasa (yaitu Abu Bakar dan Umar) karena keduanya meninggikan suaranya di hadapan Nabi ﷺ di saat datang kepada beliau kafilah Bani Tamim. Lalu salah seorang dari keduanya berisyarat kepada Al-Aqra' ibnu Habis r.a. saudara lelaki Bani Mujasyi', sedangkan yang lain berisyarat kepada lelaki lainnya. Nafi' mengatakan bahwa dia tidak ingat lagi nama lelaki itu. Maka Abu Bakar berkata, "Engkau ini tidak lain kecuali bersikap berbeda denganku." Umar menjawab, "Aku tidak berniat berbeda denganmu." Maka suara keduanya kuat sekali memperdebatkan hal tersebut, lalu sehubungan dengan peristiwa itu Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari. (Al-Hujurat: 2) Ibnuz Zubair r.a. mengatakan bahwa sesudah turunnya ayat ini Umar r.a. tidak berani lagi angkat bicara di hadapan Rasulullah ﷺ melainkan mendengarnya lebih dahulu sampai mengerti.
Akan tetapi, Ibnuz Zubair tidak menyebutkan dari ayahnya tentang Abu Bakar r.a. Hadis ini diriwayatkan secara tunggal oleh Imam Muslim. Kemudian Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasan ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Mulaikah, bahwa Abdullah ibnuz Zubair r.a. pernah menceritakan kepadanya bahwa pernah datang iringan kafilah dari Bani Tamim kepada Nabi ﷺ Maka Abu Bakar berkata, "Angkatlah Al-Qa'qa' ibnu Ma'bad sebagai pemimpin mereka Dan Umar r.a. berkata, "Angkatlah Al-Aqra' ibnu Habis sebagai pemimpin mereka." Maka Abu Bakar r.a. berkata, "Tiada lain tujuanmu hanya menentangku." Umar berkata, "Aku tidak bermaksud menentangmu." Akhirnya keduanya perang mulut hingga suara mereka gaduh di hadapan Nabi ﷺ Maka turunlah firman Allah ﷻ: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu. mendahului Allah dan Rasul-Nya. (Al-Hujurat: 1) sampai dengan firman Allah ﷻ: Dan kalau sekiranya mereka bersabar sampai kamu keluar menemui mereka. (Al-Hujurat: 5), hingga akhir ayat. Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari dalam kitab tafsirnya secara munfarid dengan sanad yang sama.
Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan dalam kitab musnadnya, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Sahl, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Mansur, telah menceritakan kepada kami Husain ibnu Umar, dari Mukhariq, dari Tariq ibnu Syihab, dari Abu Bakar As-Siddiq r.a. yang mengatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan, yaitu firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi. (Al-Hujurat: 2) Aku (Abu Bakar) berkata, "Wahai Rasulullah, demi Allah, aku tidak akan berbicara lagi kepadamu melainkan dengan suara yang rendah (pelan). Husain ibnu Umar sekalipun predikatnya daif, tetapi hadis ini telah kami kemukakan pula melalui riwayat Abdur Rahman ibnu Auf dan Abu Hurairah r.a. dengan lafaz yang semisal; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Abdur Rahman ibnu Auf dan Abu Hurairah pun telah mengatakan hal yang semisal; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Azar ibnu Sa'd, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aun, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Anas, dari Anas ibnu Malik r.a., bahwa Nabi ﷺ kehilangan Sabit ibnu Qais r.a. Maka seorang lelaki berkata, "Wahai Rasulullah, saya mengetahui di mana ia berada." Lalu lelaki itu mendatanginya, dan menjumpainya di rumahnya sedang menundukkan kepalanya. Maka lelaki itu bertanya kepadanya, "Mengapa kamu?" Ia menjawab, bahwa dirinya celaka karena telah meninggikan suaranya di hadapan Nabi ﷺ lebih dari suara Nabi ﷺ Dan ia beranggapan bahwa amal baiknya telah dihapuskan, maka dia termasuk ahli neraka.
Lelaki itu kembali kepada Nabi ﷺ dan menceritakan kepada beliau apa yang dikatakan oleh orang yang dicarinya itu, bahwa dia telah mengatakan anu dan anu. Musa ibnu Anas melanjutkan kisahnya. bahwa lalu felaki itu kembali menemuinya seraya membawa benta gemb.ra dan Nabi ﷺ yang telah bersabda: Kembalilah kamu kepadanya dan katakanlah kepadanya, "Sesungguhnya engkau bukan ahli neraka, tetapi engkau adalah termasuk ahli surga. Imam Bukhari meriwayatkannya melalui jalur ini secara tunggal. Imam Ahmad mengatakan telah menceritakan kepada kami Hasyim telah menceritakan kepada kami Sulaiman Ibnul Mughirah, dari Sabit, dari Anas Ibnu Malik r.a. yang mengatakan bahwa ketika ayat berikut diturunkan, yaitu firman Allah ﷻ: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi. (Al-Hujurat: 2) sampai dengan firman-Nya: sedangkan kamu tidak menyadari. (Al-Hujurat: 2) Tersebutlah bahwa Sabit ibnu Qais ibnu Syammas seorang yang memiliki suara yang keras.
Maka ia berkata, "Akulah yang sering meninggikan suaraku diatas suara Rasulullah ﷺ Maka aku termasuk ahli neraka, Semua amalku dihapus." Lalu ia duduk di tempat tinggal keluarganya dengan hati yang sedih dan tidak mau keluar lagi. Maka Rasulullah ﷺ merasa kehilangan dia, lalu sebagian orang berangkat menemuinya di rumahnya. Mereka berkata kepadanya bahwa Rasulullah ﷺ merasa kehilangan dia, dan mereka menanyakan mengenai penyebabnya. Sabit ibnu Qais menjawab, "Akulah orang yang sering meninggikan suaraku di atas suara Nabi ﷺ dan aku sering berkata dengan suara yang keras kepada beliau; maka semua amalku dihapuskan dan aku termasuk ahli neraka." Lalu mereka kembali kepada Nabi ﷺ dan menceritakan kepadanya apa yang telah dikatakan olehSabit ibnu Qais. Maka Nabi ﷺ bersabda: Tidak, bahkan dia termasuk penghuni surga. Anas r.a. mengatakan, "Sejak saat itu kami melihatnya berjalan di antara kami, sedangkan kami mengetahui bahwa dia termasuk ahli surga. Ketika Perang Yamamah terjadi, kami mengalami tekanan dari pihak musuh hingga terpukul mundur.
Maka datanglah Sabit ibnu Qais ibnu Syammas dalam keadaan telah memakai kapur barus dan mengenakan kain kafan lalu berkata, "Alangkah buruknya apa yang dianjurkan oleh teman-teman kalian," Kemudian ia maju ke barisan musuh dan memerangi mereka hingga ia gugur sebagai syuhada, semoga Allah melimpahkan rida-Nya kepadanya. Muslim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Musa telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Sabit Al-Bannani, dari Anas ibnu malik r.a. yang mengatakan bahwa setelah ayat berikut diturunkan, yaitu firman Allah ﷻ: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi. (Al-Hujurat: 2), hingga akhir ayat.
Sabit r.a. mengurung diri di dalam rumahnya, dan mengatakan "Aku termasuk ahli neraka," dan ia tidak lagi mau keluar menemui Nabi ﷺ Maka Nabi ﷺ bertanya kepada Sa'd ibnu Mu'az, "Hai Abu Amr ke mana Sabit, apakah dia sakit?" Sa'd r.a. menjawab, "Dia memang tetanggaku, tetapi aku tidak mengetahui bahwa dia sedang sakit." Lalu Sa'd r.a. mendatanginya dan menceritakan kepadanya perkataan Rasulullah ﷺ Maka Sabit r.a. mengatakan, "Ayat ini telah diturunkan, dan seperti yang telah kamu ketahui bahwa aku adalah orang yang paling tinggi nada suaranya di antara kalian melebihi suara Nabi ﷺ Karena itu, aku adalah ahli neraka." Sa'd r.a. menceritakan kepada Nabi ﷺ apa yang dikatakan oleh Sabit itu. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: Tidak, bahkan dia termasuk ahli surga. Imam Muslim meriwayatkan hadis ini dari Ahmad ibnu Sa'id Ad-Darimi, dari Hayyan ibnu Hilal, dari Sulaiman ibnul Mugirah dengan sanad yang sama- tetapi di dalam riwayat ini tidak disebutkan nama Sa'd ibnu Mu'az Telah diriwayatkan pula dari Qatn ibnu Basyir, dari Ja'far ibnu Sulaiman, dari Sabit, dari Anas r.a. hal yang semisal; Imam Muslim menyebutkan bahwa di dalam riwayatnya ini tidak disebutkan Sa'd ibnu Mu'az r.a. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepadaku Hudah ibnu Abdul Ala Al-Asadi, telah menceritakan kepada kami Al-Mu'tamir ibnu Sulaiman, bahwa ia pernah mendengar ayahnya bercerita dari Anas r.a. yang mengatakan bahwa ketika ayat ini diturunkan (Al-Hujurat ayat 2), lalu disebutkan hal yang semisal, tetapi tidak disebutkan nama Sa'd ibnu Mu'az. Ditambahkan pula bahwa kami menyaksikannya berjalan di antara kami dan kami beranggapan bahwa dia termasuk ahli surga. Ketiga jalur periwayatan ini berbeda dengan riwayat Hammad ibnu Salamah yang diriwayatkannya secara munfarid (tunggal) dan yang di dalamnya disebutkan nama Sa'd ibnu Mu'az r.a. Menurut pendapat yang benar, di saat turunnya ayat ini Sa'd ibnu Mu'ai r.a. tidak ada lagi.
Dia telah gugur beberapa hari sesudah perang dengan Bani Quraizah karena luka yang dideritanya, yaitu pada tahun lima Hijriah. Sedangkan ayat ini diturunkan berkenaan dengan delegasi Bani Tamim. Dan menurut riwayat yang mutawatir, para ulama menyebutkan bahwa peristiwa ini terjadi pada tahun sembilan Hijriah. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Zaid ibnul Habbab, telah menceritakan kepada kami Abu Sabit ibnu Sabit ibnu Qais ibnu Syammas, telah menceritakan kepadaku pamanku Ismail ibnu Muhammad ibnu Sabit ibnu Qais ibnu Syammas, dari ayahnya yang mengatakan bahwa setelah ayat ini diturunkan, yaitu firman-Nya: Janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras. (Al-Hujurat: 2) Maka Sabit ibnu Qais r.a. duduk di pinggir jalan seraya menangis.
Lalu lewatlah kepadanya Asim ibnu Addi, dari Bani Ajlan dan bertanya kepadanya, "Mengapa engkau menangis, hai Sabit?" Sabit r.a. menjawab, "Ayat inilah yang membuat aku takut, bilamana ia diturunkan berkenaan dengan diriku, karena aku adalah orang yang tinggi suaranya." Asim ibnu Addi r.a. melanjutkan perjalanannya menemui Rasulullah ﷺ Tangisan Sabit semakin menjadi-jadi, lalu ia mendatangi istrinya (Jamilah binti Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul) dan berkata, "Jika aku masuk kamarku, maka gemboklah pintunya dari luar dengan paku." Maka istrinya melaksanakan apa yang diperintahkan suaminya itu, lalu Sabit berkata, "Aku tidak akan keluar hingga Allah mewafatkan diriku atau Rasulullah ﷺ meridaiku." Asim r.a. datang kepada Rasulullah ﷺ, lalu menceritakan kepadanya apa yang dialami oleh Sabit. Maka beliau ﷺ bersabda, "Pergilah kepadanya dan undanglah dia untuk datang kepadaku." Asim r.a. datang ke tempat ia menemui Sabit, tetapi ia tidak menjumpainya. Lalu ia datang ke rumah keluarga Sabit, dan ia menjumpainya berada di dalam kamar sedang mengunci dirinya, lalu ia berkata kepadanya bahwa Rasulullah ﷺ memanggilnya. Maka Sabit berkata, "Patahkan saja kuncinya." Lalu keduanya berangkat menuju rumah Nabi ﷺ Sesampainya di hadapan Nabi ﷺ, beliau bertanya kepadanya, "Apakah yang menyebabkan kamu menangis, hai Sabit?" Sabit menjawab, "Saya orang yang tinggi suaranya, dan saya merasa khawatir bila ayat ini diturunkan berkenaan dengan diri saya," maksudnya adalah firman Allah ﷻ: Janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras. (Al-Hujurat: 2) Maka Nabi ﷺ bersabda kepadanya: Tidakkah kamu puas bila kamu hidup dalam keadaan terpuji, gugur sebagai syuhada, dan masuk ke dalam surga? Lalu Sabit menjawab, "Aku rela dengan berita gembira dari Allah ﷻ dan Rasul-Nya, dan aku tidak akan meninggikan suaraku lagi selamanya lebih dari suara Rasulullah ﷺ" Kemudian Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah, mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. (Al-Hujurat: 3), hingga akhir ayat.
Kisah ini telah diriwayatkan bukan hanya oleh seorang dari kalangan Tabi'in. Allah ﷻ telah melarang orang-orang mukmin meninggikan suaranya di hadapan Rasulullah ﷺ Telah diriwayatkan pula kepada kami dari Amirul Muminin Umar ibnul Khattab r.a. bahwa ia mendengar suara dua orang lelaki di dalam Masjid Nabawi sedang bertengkar hingga suara keduanya tinggi dan gaduh. Maka datanglah Umar, lalu berkata, "Tahukah kamu berdua, di manakah kamu berada?" Kemudian Umar r.a. bertanya pula, "Dari manakah kamu berdua?" Keduanya menjawab, "Dari Taif" Maka Umar berkata, "Seandainya kamu berdua dari kalangan penduduk Madinah, tentulah aku pukuli kamu berdua sampai kesakitan." Para ulama mengatakan bahwa makruh meninggikan suara di hadapan kuburan Nabi ﷺ sebagaimana hal tersebut dimakruhkan saat beliau ﷺ masih hidup. Karena sesungguhnya beliau ﷺ tetap dimuliakan, baik semasa hidupnya maupun sesudah wafatnya untuk selamanya. Kemudian Allah ﷻ melarang orang-orang mukmin berbicara kepadanya dengan suara yang keras sebagaimana seseorang berbicara dengan temannya, bahkan dia harus bersikap tenang, menghormati, dan memuliakannya saat berbicara kepada beliau ﷺ dan tentunya dengan suara yang tidak keras. Karena itulah Allah ﷻ menyebutkan dalam firman-Nya: dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lain. (Al-Hujurat: 2) Semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat lain: Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain). (An-Nur: 63) Adapun firman Allah ﷻ: supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari. (Al-Hujurat: 2) Yakni sesungguhnya Kami melarang kalian meninggikan suara di hadapan Nabi ﷺ lebih dari suaranya tiada lain karena dikhawatirkan beliau akan marah, yang karenanya Allah pun marah disebabkan kemarahannya.
Dan karenanya maka dihapuslah amal baik orang yang membuatnya marah, sedangkan dia tidak menyadarinya. Sebagaimana yang disebutkan di dalam hadis sahih yang menyebutkan: Sesungguhnya seseorang benar-benar mengucapkan suatu kalimat yang diridai Allah ﷻ, sedangkan dia tidak menyadarinya, hingga ditetapkan baginya surga karenanya. Dan sesungguhnya seseorang benar-benar mengucapkan suatu kalimat yang dimurkai Allah ﷻ tanpa ia sadari, hingga menjerumuskan dirinya ke dalam neraka karenanya, lebih jauh dari jarak antara langit dan bumi.
Kemudian Allah ﷻ menganjurkan kepada orang-orang mukmin agar merendahkan suaranya di hadapan Nabi ﷺ Allah memberi mereka semangat dan bimbingan serta anjuran kepada mereka untuk melakukannya. Untuk itu Allah ﷻ berfirman: Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah, mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. (Al-Hujurat: 3) Yakni diasah untuk bertakwa dan menjadikannya sebagai ahli dan tempat untuk takwa, sehingga takwa benar-benar meresap ke dalam hati sanubarinya. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar. (Al-Hujurat: 3) Imam Ahmad mengatakan di dalam Kitab Zuhud-nya, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Mansur, dari Mujahid yang mengatakan bahwa ia pernah berkirim surat kepada Khalifah Umar r.a. yang isinya sebagai berikut: "Wahai Amirul Muminin, seseorang tidak berselera terhadap maksiat dan tidak mempunyai keinginan untuk melakukannya; apakah dia lebih utama daripada seseorang yang ingin melakukan maksiat, tetapi dia tidak mengerjakannya?" Maka Khalifah Umar r.a. menjawab, bahwa sesungguhnya orang-orang yang ingin melakukan maksiat, tetapi mereka tidak mengerjakannya. mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa.
Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar. (Al-Hujurat: 3)"
Ayat ini menguraikan dampak positif yang diraih oleh mereka yang merendahkan suaranya di hadapan Nabi didorong oleh penghormatan kepada beliau. Allah menyatakan, Sesungguhnya orang-orang yang senantiasa merendahkan suaranya di sisi Rasulullah, didorong oleh motivasi penghormatan dan pengagungan kepada beliau mereka itulah orang-orang tinggi kedudukannya yang telah diuji hatinya yakni dibersihkan oleh Allah dengan bermacam-macam ujian dan cobaan untuk menjadi orang bertakwa. Mereka akan memperoleh ampunan atas kesalahannya dan pahala yang besar atas ketaatan yang dilakukannya. 4-5. Setelah ayat yang lalu memuji orang-orang yang berlaku sopan kepada Nabi dengan merendahkan suaranya ketika berbicara dengan beliau, ayat ini mengecam orang-orang yang berlaku tidak sopan. Sesungguhnya orang-orang yang memanggil engkau dengan cara yang tidak sopan dari luar kamar kediamanmu dan kediaman istri-istrimu kebanyakan mereka tidak mengerti tata krama penghormatan dan peng-agungan yang seharusnya dilakukan kepadamu. Dan sekiranya mereka bersabar, yakni tidak memanggil-manggil namamu sampai engkau keluar dari kamarmu untuk menemui mereka, tentu akan lebih baik bagi mereka di sisi Allah. Dan itu tidak dilakukan oleh mereka, namun Allah tidak menyiksa mereka. Allah Maha Pengampun bagi siapa yang bertobat, Maha Penyayang kepada hamba-Nya yang taat. Berkaitan dengan ayat ini terdapat riwayat bahwa sekelompok rombongan Bani Tamim datang untuk menemui Nabi dan mereka memanggil-manggil dari luar kamarnya, 'Hai Muhammad, keluarlah untuk menemui kami'. Nabi dengan berat hati menemui mereka, padahal ketika itu beliau sedang beristirahat. Ayat ini mengecam sikap mereka yang berlaku tidak sopan kepada Rasulullah.
Sesungguhnya orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah ﷺ setelah melatih diri dengan berbagai latihan yang ketat lagi berat, mereka itulah orang yang telah diuji hatinya oleh Allah untuk bertakwa. Mereka telah berhasil menyucikan diri mereka dengan berbagai usaha dan kesadaran serta bagi mereka ampunan dan pahala yang sangat besar.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Mujahid bahwa ada sebuah pertanyaan tertulis yang disampaikan kepada Umar, "Wahai Amirul Mukminin, ada seorang laki-laki yang tidak suka akan kemaksiatan dan tidak mengerjakannya, dan seorang laki-laki lagi yang hatinya cenderung kepada kemaksiatan, tetapi ia tidak mengerjakannya. Manakah di antara kedua orang itu yang paling baik?"
Umar menjawab dengan tulisan pula, "Sesungguhnya orang ya-ng hatinya cenderung kepada kemaksiatan, akan tetapi tidak mengerjakannya, mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar."
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SURAH AL-HUJURAAT
(BILIK-BILIK)
SURAH KE-49,18 AYAT, DITURUNKAN DI MADINAH
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Pengasih.
Ayat 1
“Wahai orang-orang yang berilman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya."
Artinya ialah bahwasanya orang yang telah mengaku bahwa dirinya beriman kepada Allah dan Rasul, tidaklah dia akan mendahului Allah dan Rasul. Menurut keterangan daripada ulama yangbesar-besar,sejakdaripada sahabat-sahabat Rasulullah sampai kepada ulama lain yang menjadi ikutan umat ialah dilarang janganlah seorang beriman itu mendahulukan pikiran dan pendapatnya sendiri di dalam hal-hal yang berkenaan dengan agama sebelum dia terlebih dahulu menilik, memandang dan memerhatikan firman Allah dan sabda Rasul. Janganlah dia mendahulukan pendapatnya sendiri. Untuk ini Imam Ibnu Katsir telah mengemukakan dalam tafsirnya suatu percontohan, yaitu ketika Rasulullah ﷺ akan mengutus sahabat Mu'az bin Jabal menyebarkan agama Islam ke negeri Yaman. Ketika akan berangkat itu Rasulullah bertanya kepadanya,"Dengan apakah engkau akan menghukum?" Mu'az bin Jabal menjawab,"Dengan kitab Allah!" Lalu Rasulullah bertanya pula,"Kalau tidak engkau dapati di dalamnya dasar yang akan dijadikan hukum?" Mu'az menjawab,"Dengan sunnah Rasulullah ﷺ" Lalu Rasulullah bertanya pula,"Kalau tidak pula engkau dapat bagaimana?" Mu'az menjawab,"Saya akan ijtihad dengan pendapatku sendiri." Mendengar jawab demikian dengan gembira Rasulullah menepuk dada Mu'az, tepuk sayang, lalu beliau bersabda,"Alhamdulillah! Segala puji bagi Allah yang memberikan taufik bagi utusan Rasulullah mencari hukum yang diridhai oleh Rasulullah sendiri." (HR Ahmad bin Hambal, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah). Maksud yang terkandung dalam hadits ini ialah bahwa Mu'az mendahulukan pendapat Allah, dan pendapat Rasul daripada pendapatnya sendiri. Didahulukannya menyelidiki firman Allah di dalam Al-Qur'an, kemudian itu sunnah Rasul dalam pelaksanaannya, menurut ketentuan"Al-Asybaah wan Nazhaair", perserpaan dan penelitian dan kalau tidak bertemu baru dipakainya ijtihadnya sendiri. Maka Rasulullah ﷺ gembira mendengar jawabnya itu sehingga beliau ﷺ menepuk dada Mu'az menyatakan kegembiraan dan kesukaan beliau atas jawabannya yang tepat itu.
Oleh sebab itu kuat lagilah penafsiran ini dengan apa yang pernah dikatakan oleh Ali bin Abi Thalhah, bahwasanya arti firman Allah jangan mendahului Allah dan Rasul-Nya itu ialah jangan menyatakan pendapat yang berlawanan dengan kitab dan sunnah.
“Dan takwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
Inilah ujung ayat, yaitu sesudah di pangkal ayat diberi peringatan kepada orang yang beriman maka di ujung ayat diberi peringatan kembali supaya takwa kepada Allah artinya supaya menjaga perhubungan yang baik dengan Allah, Karena orang yang beriman lagi bertakwa sangatlah berhati-hati di dalam segala gerak langkahnya. Tidaklah mereka itu terburu-buru atau kesusu memutuskan suatu hukum. Seumpama imam-imam yang besar, sebagai Imam Malik atau Syafi'i, Ahmad bin Hambal atau Imam Abu Harifah, tidaklah beliau-beliau segera saja mengambil keputusan sesuatu haram melainkan kalau dia merasa sesuatu perbuatan menurut pertimbangan ijtihadnya tidak baik, cukuplah beliau berkata saja,"Ukrihu hadzaa" artinya,"Saya berici atau saya kurang senang perbuatan demikian," Maka orang yang merenungkan fatwa beliau-beliau itu dapatlah mengambil kesimpulan bahwa bagi beliau hal itu berat kepada haram. Sebabnya ialah karena masalah ijtihadiyah yang menghendaki kepada renungan pikiran, kesimpulannya tidaklah qath'i atau pasti, melainkan lebih berat kepada zhanni, sehingga di lain waktu dapat ditinjau kembali. Dan apabila mereka telah bertemu dengan nash yang sharih atau alasan yang jelas nyata, ijtihad terhenti dengan sendirinya dan mereka berlomba menganjurkan berbuat menurut yang dianjurkan.
Sebab itu pulalah maka kita lihat misalnya di dalam Ihya' Ulumuddin karangan Imam al-Ghazali bahwa imam-imam yang besar-besar itu, seperti Imam Malik, Muhammad bin Idris asy-Syafi'i, Abu Harifah, dan Ahmad bin Hambal dan imam-imam yang lain, selain dari beliau itu ahli-ahli fatwa kenamaan, pemuka dari Mujtahid yang mutlak, beliau-beliau adalah ahli-ahli ibadah yang tekun, sampai menamat khatamkan membaca Al-Qur'an setiap hari. Gunanya ialah untuk meneguhkan iman dan takwa sehingga fatwa yang dikeluarkan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Allah,
Ayat 2
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengangkat suaramu mengatasi suara Nabi dan janganlah kamu berkeras kepadanya dengan kata-kata sebagaimana berkerasnya setengah kamu dengan yang setengah,"
Ini pun sopan santun yang kedua jika sedang berhadapan dengan Nabi, Baik ketika berbicara sesama sendiri, di dekat Rasulullah, apatah lagi berbicara dengan Rasulullah ﷺ sendiri janganlah bersuara yang keras, karena bersuara yang keras itu pun adalah sikap yang tidak hormat juga terhadap diri beliau sendiri.
Ada diriwayatkan oleh Imam Bukhari sendiri demikian juga at-Tirmidzi, dari Ibnu Abu Mulaikah, yang diterima dari Abdullah bin Zubair bahwa seorang bernama al-Aqra' bin Haris datang dari tempat jauh hendak menghadap Rasulullah ﷺ. Maka Abu Bakar mengusulkan kepada Rasulullah ﷺ supaya al-Aqra' itu diberi jabatan dalam kalangan kaumnya. Tetapi Umar bin Khaththab berkata pula,"Jangan orang semacam itu diangkat memangku suatu jabatan, ya Rasulullah!" Maka berkatalah Abu Bakar,"Tidak lain maksudmu hanya sekadar hendak membantah saya saja!" Lalu Umar menjawab,"Tidak ada maksudku hendak membantah engkau." Suara kedua beliau ini sudah sama-sama keras di hadapan Rasulullah ﷺ. Maka pada waktu itulah turun ayat ini, jangan mengangkat suaramu mengatasi suara Nabi.
“Bahwa menjadi hapus amalan kamu sedang kamu tidaklah menyadari."
Mengingat itu maka Qais tidak berani keluar dari rumahnya. Pada satu waktu Rasulullah menanyakan kepada anak perempuan Qais mengapa ayahnya tidak kelihatan lalu anak perempuan itu menjawab bahwa ayahnya takut bertemu dengan Rasulullah, sebab suaranya lantang keras sehingga dapat melebihi suara Rasulullah, larttaran itu dia berdosa amalannya
menjadi hapus percuma dengan tidak disadari. Maka dengan senyum Rasulullah mengatakan bahwa ayahnya, Qais bin Syammas itu, akan masuk surga, dia tidak bersalah dalam suara yang keras itu. Mendengar jawab Rasulullah yang demikian, barulah Qais muncul ke hadapan umum, namun sejak itu dia berusaha sangat melembutkan suaranya jika berhadapan dengan Rasulullah sebagaimana juga Sayyidina Umar bin Khaththab sejak masa itu pula bercakap dengan lunak lembutnya jika berhadapan dengan Nabi.
Maka tersebut jugalah di dalam riwayat-riwayat, sebagaimana yang dinukilkan oleh Ibnu Katsir di dalam tafsirnya, bahwasanya berkata yang lemah lembut itu pun dilakukan juga terhadap Nabi ﷺ bukan saja di waktu hidupnya bahkan juga di dekat kuburan beliau. Jika kita berziarah ke kuburan beliau hendaknya kita bersikap lemah lembut, sopan santun dan jangan bersuara keras. Maka pernahlah kejadian di zaman Khalifah Umar bin al-Khaththab dua orang pemuda bertengkar dengan suara keras di hadapan kuburan Nabi ﷺ Maka sedang mereka bertengkar itu, khalifah pun lalu di situ dan mendengar pertengkaran itu. Lalu kedua pemuda itu dipanggil ke tempat yang agak jauh dari kuburan dan beliau tanyai, apakah mereka penduduk Madinah atau datang dari luar kota? Mereka menjawab bahwa mereka datang ziarah ke Madinah dari tempat jauh, yaitu dari Thaif. Lalu khalifah memberi ingat dengan keras bahwa kalau kiranya beliau penduduk asli Madinah beliau telah menghukum mereka keduanya, dengan memukul mereka dengan cemeti. Karena bersuara keras di hadapan kuburan beliau sama juga dengan bersuara keras di hadapan beliau ketika hidupnya. Karena itu adalah menunjukkan hidup yang tidak berkesopanan.
Ayat 3
“Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suananya di sisi Rasulullah, itulah orang-orang yang diuji Allah hati mereka untuk bertakwa."
Perkataan ini amat penting diperhatikan. Karena ada setengah manusia yang sangat bernafsu buat turut berbicara, baik di zaman Nabi ataupun sampai sekarang. Ada orang yang belum selesai Nabi ﷺ berbicara, dia sudah bernafsu untuk berbicara, untuk menyambut. Sampai kepada zaman kita sekarang ini pun demikian pula. Misalnya sehabis pembicara memberikan ceramah diberi kesempatan bertanya. Ada orang yang sangat mendesak supaya dia terlebih dahulu diberi kesempatan berbicara, lebih dipentingkan dari yang lain. Padahal yang akan ditanyakannya itu tidaklah begitu penting. Artinya kalau dipikirkannya dengan saksama, dia sendiri pun dapat menyimpulkan jawabnya. Maka ketika kita diberi kesempatan tadi, datanglah ujian kepada diri kita seadiri. Mungkin kita sendiri telah maklum apa jawaban yang akan kita terima. Maka kalau kita dapat menahan hati, sehingga kita tidak jadi turut bicara, turut bertanya, itu pun suatu ujian juga bagi ketakwaan hati kita. Sebab menjaga pertumbuhan rasa takwa dalam jiwa kita sendiri adalah lebih penting daripada mengemukakan pertanyaan. Oleh sebab itu di dalam pelajaran ilmu tasawuf, mengemukakan pertanyaan kalau tidak perlu sangat, kalau kita sendiri dapat menimbang dan menjawab dengan akal kita yang mumi, lebih baik dan lebih memelihara rasa takwa daripada tampil ke muka dengan pertanyaan itu. Di ujung ayat tersebutlah,
“Bagi mereka adalah ampunan dan pahala yang besar."
Yaitu bagi orang yang dapat membatasi diri sehingga sikapnya yang tadinya terburu atau terlanjur hendak bertanya, setelah dibawa berpikir tenang, tidak jadi dia bertanya. Bagi mereka disediakan Allah ampunan dan pahala yang besar. Sebaliknya, jadi juga dia bertanya karena sangat penting, tetapi hendaklah dengan suara yang teratur, yang bersopan santun dan sikap hormat. Dia pun mendapat jawab yang jelas; mereka pun mendapat ampunan dan pahala yang besar.
Lantaran itu sikap mana pun yang akan kita ambil hendaklah ingat suatu tujuan yang suci, yaitu memelihara rasa takwa yang mulai tumbuh dalam diri.
Ayat 4
“Sesungguhnya orang-orang yang memanggil-manggil engkau dari belakang kebanyakan mereka itu tidakla hmempengunakan akalnya."
Ini pun masih menjaga sopan santun terhadap kepada Rasulullah.
Sebagaimana dimaklumi ketika mulai perjuangan dan perkembangan Islam memang ada pengikut Rasululiah itu dari berbagai golongan; ada orang kota dan ada orang dusun atau orang Badwi. Ada yang tidak mengenal akan kesopanan yang halus. Maka adalah orang-orang Badwi yang datang dari dusun itu yang datang kepada Rasulullah di waktu beliau istirahat. Dilihatnya Rasulullah sedang tidak ada di luar rumah dan bukan pula di waktu shalat. Ada seorang bernama al-Aqra bin Haris at-Tamimi, datang dari dusun hendak bertemu dengan Rasulullah ﷺ. Maka langsunglah dia ke rumah Nabi ﷺ lalu berteriak-teriak dari luar rumah,"Ya Muhammad! Ya Muhammad!" Maka oleh sahabat-sahabat yang lain kuranglah enak rasanya cara yang demikian itu. Sebab Nabi ﷺ itu sendiri juga menghendaki akan istirahat apabila beliau kembali daripada suatu peperangan. Malam hari beliau beribadah, bertahajud sampai larut malam dan bertaut dengan Shubuh. Sehabis shalat Zhuhur biasa juga beliau tidur mengumpulkan kekuatan agak sejenak, sebagaimana dijelaskan juga waktu istirahat itu di dalam surah an-Nuur ayat 58, yaitu sebelum shalat Shubuh, dan ketika pakaian-pakaian dibuka setelah selesai shalat Zhuhur dan sesudah shalat Isya. Maka tidaklah layak, tidaklah sopan kalau memanggil Nabi saja di waktu sebagai demikian,"Ya Muhammad! Ya Muhammad!" Dalam ayat dikatakan bahwa orang yang seperti itu tidak mempergunakan akalnya.
Ayat 5
“Dan kalaulah mereka itu bersabar, sehingga engkau keluar kepada mereka, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi mereka."
Di dalam surah an-Nuur yang diturunkan di Madinah juga sudah dinyatakan bahwasanya sebelum Shubuh, setelah menanggalkan kain di waktu Zhuhur dan sesudah shalat Isya, adalah waktu istirahat, waktu yang tidak boleh diganggu, sesudah itu barulah boleh berhubungan dengan beliau, atau lebih baik lagi sabar menunggu. Karena apabila waktu Shubuh akan masuk, beliau sudah pasti pergi ke masjid. Sebelum Maghrib masuk beliau pun sudah berada di masjid, bahkan biasanya sejak Ashar sampai Isya beliau telah di masjid terus. Tetapi sehabis Isya beliau istirahat lagi di rumah. Kalau beliau bangun tengah malam ialah buat mengerjakan shalat tahajjud (qiyamul lail). Maka kalau orang-orang itu mempergunakan akal yang sehat, tidaklah layak mereka memanggil-manggil dari luar,"Ya Muhammad! Ya Muhammad!" supaya beliau keluar. Tunggu sajalah baik-baik dengan sabar, niscaya di waktu tertentu itu beliau akan keluar kepada orang ramai, berjamaah ke masjid, beliau sendiri imamnya. Dan sesudah shalat beliau akan memberikan nasihat, fatwa, dan menjawab per-tanyaan-pertanyaan yang penting. Maka yang sebaik-baiknya, demi sopan santun dengan Rasulullah, lebih baik menunggu dengan sabar. Sebab beliau pun sendiri amat rindu hendak bertemu dengan sahabat-sahabatnya dan umat sekalian. Maka kesalahan terburu memanggil beliau dengan tidak beraturan, kalau di zaman yang sudah-sudah, tidaklah mengapa karena belum tahu. Itulah sebabnya maka di ujung ayat Allah berkata,
“Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Penyayang"
Tetapi kalau buat selanjutnya tentu tidak boleh berbuat serampangan sebagai demikian tadi. Sebab Allah sendiri pun memperlakukan Rasul-Nya dengan penuh hormat, memanggil gelar dan jabatannya pada tiap waktu tertentu dengan tidak menyebut namanya, mengangkatkan martabatnya sampai tinggi, apatah lagi kita umatnya.
Allah telah menunjukkan teladan yang baik bagi kita untuk kita contoh di dalam sikap kita terhadap Rasulullah ﷺ.