Ayat
Terjemahan Per Kata
إِنَّا
sesungguhnya Kami
فَتَحۡنَا
Kami bukakan/beri kemenangan
لَكَ
bagi kamu
فَتۡحٗا
pembukaan/kemenangan
مُّبِينٗا
nyata
إِنَّا
sesungguhnya Kami
فَتَحۡنَا
Kami bukakan/beri kemenangan
لَكَ
bagi kamu
فَتۡحٗا
pembukaan/kemenangan
مُّبِينٗا
nyata
Terjemahan
Sesungguhnya Kami telah menganugerahkan kepadamu kemenangan yang nyata
Tafsir
Al-Fath (Kemenangan)
(Sesungguhnya Kami telah memberikan kemenangan kepadamu) maksudnya Kami telah memastikan kemenangan bagimu atas kota Mekah dan kota-kota lainnya di masa mendatang secara paksa melalui jihadmu (yaitu kemenangan yang nyata) artinya, kemenangan yang jelas dan nyata.
Tafsir Surat Al-Fath: 1-3
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus, dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang kuat (banyak). Surat yang mulia ini diturunkan ketika Rasulullah ﷺ kembali dari Hudaibiyah dalam bulan Zul Qa'dah tahun enam Hijriah. Saat itu Rasulullah ﷺ di halang-halangi oleh kaum musyrik untuk dapat sampai ke Masjidil Haram guna menunaikan Umrahnya; mereka menghalang-halangi beliau dari tujuannya. Kemudian mereka berubah sikap dan cenderung mengadakan perjanjian perdamaian serta gencatan senjata, dengan ketentuan hendaknya tahun itu Nabi ﷺ kembali ke Madinah dan boleh ke Mekah tahun depannya.
Nabi ﷺ menerima persyaratan tersebut, sekalipun ada sejumlah sahabatnya yang tidak suka. Di antara mereka yang tidak suka adalah Umar ibnul Khattab r.a., seperti yang akan diterangkan kemudian pada tempatnya dari tafsir surat ini, insya Allah. Setelah beliau ﷺ menyembelih hadyu-nya (kurbannya) mengingat umrahnya dibatalkan karena terhalang, lalu beliau pulang, maka Allah ﷻ menurunkan kepadanya surat ini. Di dalamnya disebutkan perihal beliau dan mereka (kaum musyrik), disebutkan pula bahwa peristiwa tersebut merupakan permulaan dan pertanda kemenangan untuk beliau, karena perjanjian tersebut mengandung banyak maslahat bagi kepentingan Nabi ﷺ dan kemenangan di masa mendatang akan berpihak kepadanya. Hal yang senada disebutkan di dalam riwayat Ibnu Mas'ud r.a. dan sahabat lainnya yang menyebutkan bahwa sesungguhnya kalian menganggap kemenangan itu adalah kemenangan atas kota Mekah, tetapi kami menganggap bahwa kemenangan itu adalah pada Perjanjian Hudaibiyah. Al-A'masy telah meriwayatkan dari Abu Sufyan, dari Jabir r.a. yang mengatakan, "Kami beranggapan bahwa kemenangan itu tidak lain hanyalah pada Perjanjian Hudaibiyah." Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Musa, dari Israil, dari Abu Ishaq, dari Al-Barra r.a. yang mengatakan, "Kalian menganggap kemenangan itu adalah kemenangan atas kota Mekah, padahal kemenangan atas kota Mekah adalah suatu kemenangan, dan kami beranggapan bahwa kemenangan yang sesungguhnya adalah pada baiat Ridwan di hari Perjanjian Hudaibiyah.
Saat itu kami bersama Rasulullah ﷺ berjumlah seribu empat ratus orang, dan Hudaibiyah adalah nama sebuah sumur, lalu kami buat sumur itu kering hingga tiada setetes air pun yang tersisa (habis diminum oleh kami). Berita mengenai habisnya sumur Hudaibiyah sampai kepada Rasulullah ﷺ, lalu beliau mendatanginya dan duduk di pinggirnya. Kemudian meminta sewadah air, lalu beliau berwudu dengannya dan berkumur. Setelah itu beliau berdoa, lalu menuangkan air bekas wudunya itu ke dalam sumur tersebut. Kemudian kami tinggalkan sumur itu tidak jauh dari kami, dan tidak lama kemudian ternyata sumur itu menyumber lagi airnya dengan deras sehingga dapat mencukupi kebutuhan air kami sesuka kami, juga kebutuhan unta-unta kami." Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Nuh, telah menceritakan kepada kami Malik ibnu Anas, dari Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya, dari Umar ibnul Khattab r.a. yang mengatakan bahwa kami (para sahabat) bersama Rasulullah ﷺ dalam suatu perjalanan.
Lalu aku meminta sesuatu kepada beliau sebanyak tiga kali, tetapi beliau tidak menjawabku. Umar r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia berkata kepada dirinya sendiri, "Celakalah kamu, hai anak Al-Khattab. Engkau telah berkali-kali meminta dengan mendesak kepada Rasulullah ﷺ, dan ternyata beliau tidak menjawabmu." Umar r.a. melanjutkan kisahnya, "Lalu aku menaiki unta kendaraanku dan memacunya ke arah depan karena khawatir bila diturunkan wahyu mengenai diriku." Umar r.a. melanjutkan kisahnya, "Tiba-tiba terdengarlah suara yang memanggilku, lalu aku kembali ke belakang dengan dugaan bahwa telah diturunkan sesuatu (wahyu) mengenai diriku." Umar r.a. kembali melanjutkan, bahwa lalu Nabi ﷺ bersabda: Tadi malam telah diturunkan kepadaku suatu surat yang lebih aku sukai daripada dunia dan seisinya, yaitu: "Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang" (Al-Fath: 1-2) Imam Bukhari, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai telah meriwayatkan hadis ini melalui berbagai jalur dari Malik rahimahullah.
Ali ibnul Madini mengatakan bahwa sanad hadis ini madani lagi jayyid, kami tidak menjumpainya selain pada mereka. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Qatadah, dari Anas ibnu Malik r.a. yang mengatakan bahwa ayat berikut, yaitu firman Allah ﷻ: supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang. (Al-Fath: 2) diturunkan kepada Nabi ﷺ saat kepulangannya dari Hudaibiyah. Nabi ﷺ telah bersabda berkenaan dengan surat tersebut: Sesungguhnya tadi malam telah diturunkan kepadaku suatu ayat (surat) yang lebih aku sukai daripada semua yang ada di muka bumi ini. Kemudian Nabi ﷺ membacakannya kepada mereka, dan mereka mengatakan, "selamatlah bagimu, yaNabiyullah. Allah telah menerangkan apa yang akan Dia lakukan untukmu, lalu apakah yang akan Dia lakukan untuk kami?" Maka turunlah kepada Nabi ﷺ firman berikutnya, yaitu: supaya Dia memasukkan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. (Al-Fath: 5) sampai dengan firman-Nya: adalah keberuntungan yang besar di sisi Allah. (Al-Fath: 5) Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan hadis ini di dalam kitab sahih masing-masing melalui Qatadah dengan sanad yang sama.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Majma' ibnu Ya'qub yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar ayahnya menceritakan hadis berikut dari pamannya (yaitu Abdur Rahman ibnu Zaid Al-Ansari), dari pamannya Majma' ibnu Harisah Al-Ansari r.a. (salah seorang ahli qurra yang mengajarkan bacaan Al-Qur'an). Ia mengatakan bahwa kami ikut dalam Perjanjian Hudaibiyah; dan ketika kami pulang darinya, tiba-tiba kami melihat orang-orang memacu unta kendaraannya. Maka sebagian orang-orang bertanya kepada sebagian yang lain, "Ada apakah dengan orang-orang itu?" Sebagian yang lain menjawab, "Telah diturunkan suatu wahyu kepada Rasulullah ﷺ" Maka kami berangkat dan memacu kendaraan kami, tiba-tiba kami jumpai Rasulullah ﷺ berada di atas unta kendaraannya di Kura'ul Gaim.
Lalu kami berkumpul dengannya, dan beliau ﷺ membacakan firman-Nya: Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata. (Al-Fath: 1) Maka seseorang dari sahabat Rasulullah bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah itu pertanda kemenangan?" Rasulullah ﷺ menjawab: Ya, demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sesungguhnya wahyu ini benar-benar (pertanda) kemenangan. Tanah Khaibar dibagikan kepada orang-orang yang ikut dalam Perjanjian Hudaibiyah, dan tiada seorang pun dari mereka yang diberi kecuali mereka yang ikut dalam Perjanj ian Hudaibiyah. Maka Rasulullah ﷺ membaginya menjadi delapan belas saham. Saat itu jumlah pasukan kaum muslim (yang ikut dalam Hudaibiyah) ada seribu lima ratus personel, di antara mereka terdapat tiga ratus pasukan berkuda. Maka beliau memberi kepada pasukan yang berkuda dua bagian dan bagi pasukan jalan kaki satu bagian.
Imam Abu Daud meriwayatkan hadis ini di dalam Al-Jihad, dari Muhammad ibnu Isa, dari Majma' ibnu Ya'qub dengan sanad yang sama. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Bazi', telah menceritakan kepada kami Abu Yahya, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepada kami Jami' ibnu Syaddad, dari Abdur Rahman ibnu Abu Alqamah yang mengatakan, "Aku pernah mendengar Abdullah ibnu Mas'ud r.a. mengatakan bahwa ketika kami pulang dari Hudaibiyah, kami beristirahat di malam hari.
Kami terlelap dalam tidur kami dan tidaklah kami terbangun melainkan karena sinar mentari pagi telah terbit. Lalu kami bangun, sedangkan Rasulullah ﷺ masih tidur." Ibnu Mas'ud r.a. melanjutkan kisahnya, "Lalu kami mengatakan bahwa sebaiknya beliau dibangunkan. Maka Rasulullah ﷺ terbangun lalu bersabda: [] 'Lakukanlah seperti apa yang barusan kalian lakukan. Demikian pula dilakukan hal yang sama terhadap orang yang tidur atau lupa'. Ibnu Mas'ud melanjutkan kisahnya, "Lalu kami merasa kehilangan unta kendaraan Rasulullah ﷺ Maka kami mencarinya dan kami temukan unta itu, sedangkan tali kendalinya menyangkut pada sebuah pohon. Lalu unta itu kubawa kepada Rasulullah ﷺ, dan beliau ﷺ segera mengendarainya. Dan ketika kami sedang dalam perjalanan, tiba-tiba turunlah wahyu kepada Rasulullah ﷺ" Ibnu Mas'ud melanjutkan, "Rasulullah ﷺ apabila kedatangan wahyu, terasa berat olehnya; dan setelah wahyu selesai, maka beliau menceritakan kepada kami bahwa telah diturunkan kepadanya firman Allah ﷻ: 'Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata' (Al-Fath: 1)." Imam Ahmad, Imam Abu Daud, dan Imam Nasai meriwayatkan hadis ini melalui berbagai jalur dari Jami' ibnu Syaddad dengan sanad yang sama.
". Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Ziad ibnu Alaqah yang mengatakan, "Aku pernah mendengar Al-Mugirah ibnu Syu'bah r.a. mengatakan bahwa Nabi ﷺ selalu salat hingga kedua telapak kaki beliau bengkak, lalu dikatakan kepada beliau, 'Bukankah Allah telah memberikan ampunan bagimu terhadap dosamu yang telah lalu dan dosamu yang akan datang?' Maka beliau ﷺ menjawab: 'Bukankah aku adalah seorang hamba yang banyak bersyukur '? Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadis ini juga jamaah lainnya kecuali Abu Daud melalui hadis Ziad dengan sanad yang sama.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Harun ibnu Ma'ruf, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Abu Sakhr, dari Qasit, dari Urwah ibnuz Zubair, dari Aisyah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ apabila salat banyak berdiri hingga kedua kakinya bengkak. Maka berkatalah kepada beliau Aisyah r.a., "Wahai Rasulullah, mengapa engkau lakukan hal ini, padahal Allah telah memberikan ampunan bagimu terhadap dosamu yang terdahulu dan yang akan datang?" Maka Rasulullah ﷺ menjawab: Hai Aisyah, bukankah aku ini adalah seorang hamba yang banyak bersyukur? Imam Muslim mengetengahkan hadis ini di dalam kitab sahihnya melalui riwayat Abdullah ibnu Wahb dengan sanad yang sama.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Aun Al-Kharraz seorang siqah di Mekah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Bisyr, telah menceritakan kepada kami Mis'ar, dari Qatadah, dari Anas r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ berdiri mengerjakan salat hingga kedua telapak kaki beliau bengkak, atau kedua betis beliau bengkak, maka dikatakan kepadanya, "Bukankah Allah telah memberikan ampunan bagimu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang?" Beliau ﷺ menjawab: Bukankah aku adalah seorang hamba yang banyak bersyukur? Bila ditinjau dari segi jalurnya, hadis ini berpredikat garib. Firman Allah ﷻ: Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata. (Al-Fath: 1) Kemenangan yang jelas dan nyata.
Hal yang dimaksud adalah Perjanjian Hudaibiyah, karena sesungguhnya telah diraih kebaikan yang berlimpah dengan melaluinya. Banyak orang-orang yang beriman dan sebagian dari mereka bersatu dengan sebagian yang lain, orang mukmin berbicara dengan orang kafir dan tersebarlah ilmu yang bermanfaat dan iman. Firman Allah ﷻ: supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang. (Al-Fath: 2) Ini merupakan kekhususan hanya bagi diri Nabi ﷺ yang tiada seorang pun menyainginya dalam hal ini.
Bukan pula termasuk ke dalam pengertian seperti yang disebutkan di dalam hadis sahih berkenaan dengan pahala amal-amal perbuatan bagi yang lainnya, yaitu: "Maka Allah memberi ampunan baginya terhadap dosanya yang telah lalu dan yang akan datang." Hal ini merupakan kehormatan yang besar untuk Rasulullah ﷺ Beliau ﷺ dalam semua urusannya selalu taat, berbakti, dan istiwamah dalam tingkatan yang belum pernah diraih oleh seorang manusia pun, baik dari kalangan orang-orang terdahulu maupun orang-orang yang kemudian. Beliau ﷺ adalah manusia yang paling sempurna secara mutlak dan penghulu mereka di dunia dan akhirat. Mengingat beliau ﷺ adalah hamba Allah yang paling menghormati perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya, maka pada saat unta kendaraannya berhenti karena dihentikan oleh Tuhan Yang telah menahan tentara bergajah, beliau ﷺ bersabda: Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman-Nya, tidaklah mereka pada hari ini meminta sesuatu kepadaku yang dengannya mereka mengagungkan syiar-syiar Allah melainkan aku penuhi permintaan mereka.
Karena beliau ﷺ taat kepada Allah dalam hal tersebut dan menyetujui perjanjian perdamaian, maka Allah ﷻ berfirman kepadanya: Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu. (Al-Fath: 1-2) Yakni di dunia dan akhirat. dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus. (Al-Fath: 2) melalui apa yang Dia perintahkan kepadamu berupa syariat yang agung dan agama yang lurus. dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang kuat (banyak). (Al-Fath: 3) Hal ini karena engkau tunduk kepada perintah Allah, maka Dia meninggikan kamu dan menolongmu dalam menghadapi musuh-musuhmu. Seperti yang disebutkan di dalam hadis sahih yang menyebutkan: Tidak sekali-kali Allah menambah maaf-Nya kepada seseorang hamba, melainkan menambahkan kepadanya kemuliaan; dan tidaklah seseorang berendah diri karena Allah ﷻ, melainkan Allah akan meninggikannya.
Diriwayatkan dari Umar ibnul Khattab r.a. yang mengatakan, "Tidaklah engkau menghukum seseorang yang durhaka kepada Allah ﷻ Terhadap dirimu dengan hal yang semisal dengan ketaatanmu kepada Allah ﷻ dalam hal tersebut.""
Sungguh, Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata yang tidak ada keraguan sedikitpun tentang kemenangan itu. 2-3. Agar Allah memberikan ampunan kepadamu, wahai Nabi Muhammad atas dosamu, yakni kekeliruan yang dapat dianggap sebagai dosa sesuai dengan kedudukanmu yang mulia, baik kekeliruan yang terjadi di masa yang lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dengan meluhurkan agamamu dan menunjukimu ke jalan yang lurus yang membimbingmu kepada keridaan Tuhan, dan agar Allah menolongmu terhadap musuh-musuhmu dengan pertolongan yang kuat yang tidak dapat dikalahkan oleh siapa pun.
Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang maksud dari kata "kemenangan" (fath) dalam ayat ini. Sebagian mereka berpendapat penaklukan Mekah. Ada yang berpendapat, penaklukan negeri-negeri yang waktu itu berada di bawah kekuasaan bangsa Romawi, dan ada pula yang berpendapat, Perdamaian Hudaibiyyah. Kebanyakan ahli tafsir mengikuti pendapat terakhir ini. Di antaranya ialah:
1. Menurut pendapat Ibnu 'Abbas, kemenangan dalam ayat ini adalah Perdamaian Hudaibiyyah karena perdamaian itu menjadi sebab terjadinya penaklukan Mekah.
2. Diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud bahwa ia berkata, "Kalian berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kemenangan dalam ayat ini ialah penaklukan Mekah, sedangkan kami berpendapat Perdamaian Hudaibiyyah. Pada riwayat yang lain diterangkan bahwa Surah al-Fath ini diturunkan pada suatu tempat yang terletak antara Mekah dan Medinah, setelah terjadi Perdamaian Hudaibiyyah, mulai dari permulaan sampai akhir surah.
3. Az-Zuhri mengatakan, "Tidak ada kemenangan yang lebih besar daripada kemenangan yang ditimbulkan oleh Perdamaian Hudaibiyyah dalam sejarah penyebaran agama Islam pada masa Rasulullah. Sejak terjadinya perdamaian itu, terjadilah hubungan yang langsung antara orang-orang Muslim dan orang-orang musyrik Mekah. Orang Muslim dapat menginjak kembali kampung halaman dan bertemu dengan keluarga mereka yang telah lama ditinggalkan. Dalam hubungan dan pergaulan yang demikian itu, orang-orang kafir telah mendengar secara langsung percakapan kaum Muslimin, baik yang dilakukan sesama kaum Muslimin, maupun yang dilakukan dengan orang kafir sehingga dalam masa tiga tahun, banyak di antara mereka yang masuk Islam. Demikianlah proses itu berlangsung sampai saat penaklukan Mekah, kaum Muslimin dapat memasuki kota itu tanpa pertumpahan darah.
Hudaibiyyah adalah nama sebuah desa, kira-kira 30 km di sebelah barat kota Mekah. Nama itu berasal dari nama sebuah perigi yang ada di desa tersebut. Nama desa itu kemudian dijadikan sebagai nama suatu perjanjian antara kaum Muslimin dengan orang-orang kafir Mekah, yang terjadi pada bulan Zulkaidah tahun 6 H (Februari 628 M) di desa itu.
Pada tahun keenam Hijriah, Nabi Muhammad beserta kaum Muslimin yang berjumlah hampir 1.500 orang memutuskan untuk berangkat ke Mekah untuk melepaskan rasa rindu mereka kepada Baitullah kiblat mereka, dengan melakukan umrah dan untuk melepaskan rasa rindu kepada sanak keluarga yang telah lama mereka tinggalkan. Untuk menghilangkan prasangka yang tidak benar dari orang kafir Mekah, maka kaum Muslimin mengenakan pakaian ihram, membawa hewan-hewan untuk disembelih yang akan disedekahkan kepada penduduk Mekah. Mereka pun berangkat tidak membawa senjata, kecuali sekedar senjata yang biasa dibawa orang dalam perjalanan jauh.
Sesampainya di Hudaibiyyah, rombongan besar kaum Muslimin itu bertemu dengan Basyar bin Sufyan al-Ka'bi. Basyar mengatakan kepada Rasulullah bahwa orang-orang Quraisy telah mengetahui kedatangan beliau dan kaum Muslimin. Oleh karena itu, mereka telah mempersiapkan bala tentara dan senjata untuk menyambut kedatangan kaum Muslimin. Mereka sedang berkumpul di dzi thuwa. Rasulullah ﷺ lalu mengutus 'Utsman bin 'Affan menemui pimpinan dan pembesar Quraisy untuk menyampaikan maksud kedatangan beliau beserta kaum Muslimin. Maka berangkatlah 'Utsman.
Kaum Muslimin menunggu-nunggu kepulangan 'Utsman, tetapi ia tidak juga kunjung kembali. Hal itu terjadi karena 'Utsman ditahan oleh pembesar-pembesar Quraisy. Kemudian tersiar berita di kalangan kaum Muslimin bahwa 'Utsman telah mati dibunuh oleh para pembesar Quraisy. Mendengar berita itu, banyak kaum Muslimin yang telah hilang kesabarannya. Rasulullah bersumpah akan memerangi kaum kafir Quraisy. Menyaksikan hal itu, kaum Muslimin membaiat beliau bahwa mereka akan berperang bersama Nabi melawan kaum kafir. Hanya satu orang yang tidak membaiat, yaitu Jadd bin Qais al-Ansari. Baiat para sahabat itu diridai Allah sebagaimana disebutkan dalam ayat 18 surah ini. Oleh karena itu, baiat itu disebut Bai'atur-Ridhwan yang berarti "baiat yang diridai".
Bai'atur-Ridhwan ini menggetarkan hati orang-orang musyrik Mekah karena takut kaum Muslimin akan menuntut balas bagi kematian 'Utsman, sebagaimana yang mereka duga. Oleh karena itu, mereka mengirimkan utusan yang menyatakan bahwa berita tentang pembunuhan 'Utsman itu tidak benar dan mereka datang untuk berunding dengan Rasulullah ﷺ Perundingan itu menghasilkan perdamaian yang disebut Perjanjian Hudaibiyyah (Sulhul-Hudaibiyyah).
Isi perdamaian itu ialah:
1. Menghentikan peperangan selama 10 tahun.
2. Setiap orang Quraisy yang datang kepada Rasulullah ﷺ tanpa seizin wali yang mengurusnya, harus dikembalikan, tetapi setiap orang Islam yang datang kepada orang Quraisy, tidak dikembalikan kepada walinya.
3. Kabilah-kabilah Arab boleh memilih antara mengadakan perjanjian dengan kaum Muslimin atau dengan orang musyrik Mekah. Sehubungan dengan ini, maka kabilah Khuza'ah memilih kaum Muslimin, sedangkan golongan Bani Bakr memilih kaum musyrik Mekah.
4. Nabi Muhammad dan rombongan tidak boleh masuk Mekah pada tahun perjanjian itu dibuat, tetapi baru dibolehkan pada tahun berikutnya dalam masa tiga hari. Selama tiga hari itu, orang-orang Quraisy akan mengosongkan kota Mekah. Nabi Muhammad dan kaum Muslimin tidak boleh membawa senjata lengkap memasuki kota Mekah.
Setelah perjanjian itu, Rasulullah ﷺ beserta kaum Muslimin kembali ke Medinah. Perjanjian perdamaian itu ditentang oleh sebagian sahabat karena mereka menganggap perjanjian itu merugikan kaum Muslimin dan lebih menguntungkan orang-orang musyrik Mekah. Apabila dilihat sepintas lalu, memang benar anggapan sebagian para sahabat itu, seperti yang tersebut pada butir dua dan butir empat. Dalam perjanjian itu ditetapkan bahwa setiap orang musyrik yang datang kepada nabi tanpa seizin walinya harus dikembalikan, sebaliknya kalau orang Muslimin datang kepada orang Quraisy tidak dikembalikan. Di samping itu, kaum Muslimin dilarang masuk kota Mekah pada tahun itu. Sekalipun dibolehkan pada tahun berikutnya, namun hanya dalam waktu tiga hari, sedang kota Mekah adalah kampung halaman mereka sendiri. Pada waktu itu, kaum Muslimin merasa telah mempunyai kekuatan yang cukup untuk memerangi dan mengalahkan orang-orang musyrik, mengapa tidak langsung saja memerangi mereka?
Lain halnya dengan Rasulullah ﷺ dan para sahabat yang lain, yang memandangnya dari segi politik dan mempunyai pandangan yang jauh ke depan. Sesuai dengan ilham dari Allah, beliau yakin bahwa perjanjian itu akan merupakan titik pangkal kemenangan yang akan diperoleh kaum Muslimin pada masa-masa yang akan datang. Sekalipun butir dua dan empat dari perjanjian itu seakan-akan merugikan kaum Muslimin, beliau yakin bahwa tidak akan ada kaum Muslimin yang menjadi kafir kembali, karena mereka telah banyak mendapat ujian dari Tuhan mereka. Keyakinan beliau itu tergambar dalam sikap beliau setelah terjadinya perjanjian itu.
Jika dipelajari, maka apa yang diyakini oleh Rasulullah ﷺ dapat dipahami, di antaranya ialah:
1. Dengan adanya Perjanjian Hudaibiyyah, berarti orang-orang musyrik Mekah secara tidak langsung telah mengaku secara de facto pemerintahan kaum Muslimin di Medinah. Selama ini, mereka menyatakan bahwa Nabi dan kaum Muslimin tidak lebih dari sekelompok pemberontak yang ingin memaksakan kehendaknya kepada mereka.
2. Dengan dibolehkannya Rasulullah ﷺ bersama kaum Muslimin memasuki kota Mekah pada tahun yang akan datang untuk melaksanakan ibadah di sekitar Ka'bah, terkandung pengertian bahwa orang-orang musyrik Mekah telah mengakui agama Islam sebagai agama yang berhak menggunakan Ka'bah sebagai rumah ibadah mereka dan hal ini juga berarti bahwa mereka telah mengakui agama Islam sebagai salah satu dari agama-agama yang ada di dunia.
3. Dengan terjadinya perjanjian itu, berarti kaum muslimin telah memperoleh jaminan keamanan dari orang-orang musyrik Mekah. Hal ini memungkinkan mereka menyusun dan membina masyarakat Islam dan melakukan dakwah Islamiyah ke seluruh penjuru tanah Arab, tanpa mendapat gangguan dari orang-orang musyrik Mekah. Selama ini, setiap usaha Rasulullah ﷺ selalu mendapat rintangan dan gangguan dari mereka. Sejak itu pula, Rasulullah dapat mengirim surat untuk mengajak raja-raja yang berada di kawasan Jazirah Arab dan sekitarnya untuk masuk Islam, seperti Kisra Persia, Muqauqis dari Mesir, Heraklius kaisar Romawi, raja Gassan, pembesar-pembesar Yaman, raja Najasyi (Negus) dari Ethiopia dan sebagainya.
Pada tahun kedelapan Hijriah, orang Quraisy menyerang Bani Khuza'ah, sekutu kaum Muslimin. Dalam Perjanjian Hudaibiyyah disebutkan bahwa penyerangan kepada salah satu dari sekutu kaum Muslimin berarti penyerangan kepada kaum Muslimin. Hal ini berarti bahwa pihak yang menyerang telah melanggar secara sepihak perjanjian yang telah dibuat. Oleh karena itu, pada tahun kedelapan Hijriah tanggal 10 Ramadan, berangkatlah Rasulullah bersama 10.000 kaum Muslimin menuju Mekah. Setelah mendengar kedatangan kaum Muslimin dalam jumlah yang demikian besar, maka orang-orang Quraisy menjadi gentar dan takut, sehingga Abu Sufyan, pemimpin Quraisy waktu itu, segera menemui Rasulullah di luar kota Mekah. Ia menyatakan kepada Rasulullah ﷺ bahwa ia dan seluruh kaumnya menyerahkan diri kepada beliau dan ia sendiri menyatakan masuk Islam saat itu juga. Dengan pernyataan Abu Sufyan itu, maka Rasulullah ﷺ bersama kaum Muslimin memasuki kota Mekah dengan suasana aman, damai, dan tenteram, tanpa pertumpahan darah. Dengan demikian, sempurnalah kemenangan Rasulullah ﷺ dan kaum Muslimin, yang terjadi dua tahun setelah Perjanjian Hudaibiyyah. Sejak itu pula, agama Islam tersebar dengan mudah ke segala penjuru Jazirah Arab. Sejak itu pula, pemerintahan Islam mulai melebarkan sayapnya ke daerah-daerah yang dikuasai oleh negara-negara besar pada waktu itu, seperti daerah-daerah kerajaan Romawi dan kerajaan Persia.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SURAH AL-FATH
(KEMENANGAN)
SURAH KE-48, 29 AYAT, DITURUNKAN DI MADINAH
Bismillahirrahmanirrahim.
Ayat 1
“Sesungguhnya Kami telah membelikan kemenangan kepada engkau, kemenangan yang nyata."
Orang yang tahu strategi perang, dengan sendirinya akan maklum bahwa pertemuan di Hudaibiyah itulah kemenangan yang nyata sekali pada suatu peperangan yang tidak mengangkat senjata, melainkan mengatur keahlian diplomasi. Sebab yang terutama ialah dari sikap Rasulullah ﷺ di dalam menghadapi musuhnya. Beliau sekali-kali tidak mundur dari pendirian dan tekadnya yang telah bulat hendak pergi ke Mekah. Ke Mekahnya bukan hendak pergi berperang, melainkan hendak ziarah kepada Baitullah. Dua tiga orang utusan Quraisy yang datang menemui beliau, semuanya melakukan sikap yang kasar, sikap yang tidak berhitung. Dan mereka tidak memakai perhitungan yang tepat dan tidak mengetahui kekuatan musuh.
Tertahannya utusan mereka membawa rundingan damai ke Mekah, yaitu Utsman bin Affan, sehingga ada yang menyangka bahwa telah dibunuh oleh musuh, ini adalah saatyangsebaik-baiknya bagi Nabi ﷺ buat mengukuhkan semangat pengikut beliau buat menghadapi segala kemungkinan. Ini pun suatu siasat perang yang tepat sekali sehingga melihat kebulatan tekad pengikut Muhammad lantaran baiat yang bernama Baiatur Ridhwan itu. Quraisy akhirnya terpaksa mau juga berunding dengan beiiau!
Kesukaan kaum Quraisy berunding itu saja pun sudah satu kemenangan besar: Bukankah selama ini Muhammad dan kawan-kawannya yang hijrah ke Madinah itu hanya dianggap orang pelarian yang patut dibunuh di mana saja bertemu dan tidak ada perundingan dengan dia? Bukankah kesukaan berunding artinya ialah dengan mengaku adanya musuh yang diajak berunding itu?
Meskipun dalam perundingan, si Suhail bin Amir seakan-akan telah membuat suatu ketentuan bahwa pada tahun ini mereka belum boleh naik haji, tetapi tahun muka sudah boleh, itu pun suatu kemenangan besar yang menghendaki kesabaran dan keuletan berunding.
Nabi ﷺ melihat ada di antara perjanjian itu yang pincang. Yaitu kalau ada orang Mekah datang ke Madinah tidak setahu dan seizin pemimpin-pemimpin Quraisy, orang Quraisy berhak menuntut supaya orang itu dikembalikan ke Mekah. Tetapi kalau ada orang Islam dari Madinah yang datang ke Mekah orang Mekah tidak berhak memulangkannya kembali; ini pun suatu kemenangan! Sebab, walaupun hanya sehari dua orang Mekah itu berada di Madinah, pastilah dia akan menyaksikan apa artinya masyarakat Islam, kedamaian, tolong-menolong, jamaah, kasih sayang, menghormati tetamu dan dakwah yang hidup. Dan orang Madinah kalau datang ke Mekah, orang Mekah tidak wajib mengembalikannya; ini pun suatu perjanjian yang tidak ada artinya. Karena tidak ada di waktu seorang Muslim yang telah merasakan keindahan masyarakat Islam yang akan sudi meninggalkan negeri Madinah, meninggalkan berjamaah dengan Nabi.
Tetapi dalam praktiknya apa yang terjadi?
Penduduk Mekah itu sendiri yang keluar meninggalkan Mekah.
Seorang penduduk Mekah bernama Abu Bashir dengan diam-diam meninggalkan Mekah sebab dia telah lama memeluk Islam dengan diam-diam. Setelah ketahuan oleh Quraisy bahwa Abu Bashir tidak ada lagi di Mekah dan orang pun telah tahu bahwa pendiriannya adalah mengikuti Muhammad, lalu disuruh dua orang pergi menurutinya ke Madinah. Setelah mereka bertemu dengan Rasulullah, mereka melaporkan tentang hilangnya Abu Bashir. Rasulullah ﷺ menyuruh orang mencari Abu Bashir di Madinah sampai bertemu dan berhadir ke dalam majelis Rasulullah ﷺ Di sanalah Abu Bashir bertemu dengan kedua orang yang menjemputnya itu. Lalu Rasulullah ﷺ bersabda,"Hai, Abu Bashir! Engkau sendiri sudah maklum bagaimana perjanjian kami dengan kaum Quraisy! Engkau sendiri adalah penduduk Mekah. Sebab itu janganlah heran jika dua orang telah diutus buat menjemput engkau kemari, sampai terbawa pulang ke Mekah. Engkau sendiri tahu! Kami tidak dapat mengkhianati perjanjian itu. Ghadar (mungkir dari perjanjian) adalah pantang kita. Oleh sebab itu, hendaklah engkau segera pulang kembali ke Mekah bersama kedua orang yang menjemput engkau ini. Saya doakan semoga Allah segera melepaskan engkau dari kesulitan!"
Mendengar ucapan Rasulullah ﷺ yang demikian itu, kelihatanlah muramnya wajah Abu Bashir. Setelah lama termenung dia pun berkata, “Ya Rasulullah! Apakah aku Tuan kembalikan ke dalam kekuasaan kaum musyrikin, sampai mereka aniaya lagi padaku dalam keyakinan agamaku?"
Nabi tidak menjawab. Lalu kedua Quraisy musyrikin itu setelah mendengar sendiri perintah Rasulullah kepada Abu Bashir supaya segera berangkat ke Mekah segeralah keduanya berdiri mengajak Abu Bashir berangkat dan Abu Bashir pun mematuhi perintah yang tidak dapat dibantahnya itu. Tetapi setelah mereka
meneruskan perjalanan, di waktu tidur tengah malam, Abu Bashir segera mengintip kedua orang yang menjemputnya itu, sampai keduanya tertidur. Setelah kelihatan mereka tidur nyenyak, dia pun bangun dan segera disentaknya pedang yang seorang dan ditikamnya yang seorang itu, lalu mati Setelah itu dibangunkannya yang seorang lagi memberitahukan bahwa temannya telah mati dibunuhnya. Dengan sangat ketakutan orang itu bangun, lalu disuruh oleh Abu Bashir berangkat sendiri ke Mekah dan Abu Bashir pun segera membelokkan langkahnya menuju Madinah. Sampai di Madinah dia datang menghadap Nabi dan mengatakan apa yang telah kejadian. Katanya,"Ya Rasulullah! Perintah buat meninggalkan Madinah telah aku patuhi, kesetiaan Tuan meneguhi janji sudah berlaku. Tuan telah menyerahkan daku ke tangan kaum itu dan aku telah membelaku dengan agamaku, agar jangan sampai aku teraniaya atau mereka melakukan sesuka hatinya kepadaku."
Nabi Muhammad tidak menjawab dan Abu Bashir pun di luar izin Nabi teiah meninggalkan majelis Nabi ﷺ Setelah dia pergi Nabi bersabda,"Kalau dia mendapat teman, dia bisa saja membuat perang terhadap mu-suhnya!"
Abu Bashir pun insaf bahwa tempat buat dia tidak ada di Madinah. Dia tidak hendak membuat pusing Nabi ﷺ karena perbuatan yang dia sendiri harus bertanggung jawab. Lalu dia berangkat ke luar kota Madinah dan tidak pula kembali ke Mekah. Apa yang diterka Nabi memang itulah maksud Abu Bashir. Dia pergi menyisihkan diri ke suatu tempat di tepi laut, bernama ‘lish. Di sana dicobanya menghubungi teman-teman yang sepaham, mendirikan barisan gerilya sendiri, tanggung jawab sendiri. Kedudukan Abu Bashir itu lekas sekali tersebar beritanya ke Mekah disertai perkataan Nabi ﷺ ketika dia berangkat,"Kalau dia dapat teman, dia dapat membuat perang terhadap musuhnya" Maka dengan secara sembunyi keluarlah beberapa pemuda Islam yang tergencet hidupnya di Mekah menuruti Abu Bashir di tepi laut itu. Di antara yang datang mengikuti Abu Bashir ialah yang menangis ketika diusir semula perjanjian ditandatangani dahulu, Abu jundul anak Suhail bin Amir dan mengikut pula yang lain. Dalam beberapa hari saja Abu Bashir telah dikelilingi oleh tidak kurang daripada tujuh puluh pemuda pelarian dari Mekah, membawa senjata. Kerja mereka ialah mengganggu dan merampok segala kafilah perniagaan Quraisy yang dalam perjalanan pergi atau pulang dari Syam. Dengan gerakan Abu Bashir dan teman-temannya, tidak ada lagi Quraisy yang merasa aman dari gangguan sehingga akhirnya mereka sendirilah yang mengirim utusan kepada Rasulullah ﷺ meminta supaya perjanjian"bahwa penduduk Mekah yang datang ke Madinah hendaklah ditolak dan diserahkan kembali kepada mereka" itu dibatalkan karena mereka tidak sanggup lagi menghadapi gerakan gerilyanya. Sebab yang mencegat mereka di tengah jalan lalu lintas perniagaan mereka itu ialah sekumpulan dari pemuda-pemuda penduduk Mekah sendiri.
Ketika perjanjian lama itu dicabut dan kaum Muslimin menerima kebebasannya buat datang ke Mekah siapa yang suka dan kapan saja. Terasalah oleh sahabat-sahabat utama itu, termasuk Umar bin Khaththab bagaimana tingginya siasat Rasulullah ﷺ Setelah itu datanglah izin dari Rasulullah kepada Abu Bashir buat pulang kembali ke Madinah. Tetapi ketika utusan datang menyampaikan berita, Abu Bashir dalam menderita sakit keras karena luka-lukanya dalam pertempuran. Yang lebih dahulu ditanyakannya ialah,"Marahkah Rasulullah kepadaku?" Utusan menjawab,"Tidak! Bahkan beliau mengharap engkau segera pulang ke Madinah."
“Asal Rasulullah tidak marah kepadaku, senanglah hatiku," katanya."Sampaikanlah salamku kepada beliau" Lalu dia pun wafat di hadapan utusan itu.
Maka dapatlah pembaca sejarah Islam menilai kebesaran cita-cita Abu Bashir yang membuat gerakan demikian, di luar ridha Nabi. Dia pun tidak hendak meletakkan tanggung jawab perbuatannya sendiri ke atas pundak beliau ﷺ namun maksudnya telah berhasil, yaitu bahwa musuh sendiri yang meminta supaya putusan yang mereka diktekan kepada Nabi ﷺ itu karena merasa bahwa diri mereka masih lebih kuat, akhirnya mereka sendiri yang meminta kepada Nabi supaya dicabut.
Ayat 2
“Karena akan Allah tutupi bagi engkau apa yang telah teidahulu dan apa yang telah … kemudian dari hasil usahamu"
Inilah arti yang halus, yang biasa disusun oleh ahli-ahli terjemah ke dalam bahasa Indonesia tentang ayat ini. Tetapi ada lagi terjemah lain yang lebih tegas menurut yang tertulis;"Karena akan diampuni bagi engkau oleh Allah apa yang telah terdahulu daripada dosa engkau dan apa yang terkemudian." Kalimat yaghfira pada umumnya biasa diartikan diberi ampun sedang arti atau terjemah asli daripadanya ialah menutupi. Tegasnya, suatu dosa yang telah mengancam, hampir saja terkerjakan namun Allah tetap melindungi dan menutupi, sehingga terhalang tidak jadi dikerjakan.
Ahli-ahli ilmu ushul fiqih memang berselisih pendapat juga dalam hal ini. Dalam Al-Qur'an ada beberapa ayat yang terang-terangan menyebut dzanbun yang bisa diterjemahkan dosa. Bahkan di dalam surah an-Nashr, diterangkan bahwasanya,
“Apabila pertolongan dari Allah telah datang dan telah engkau lihat manusia masuk ke dalam agama Allah dalam keadaan berbondong-bondong maka ucapkanlah tasbih dengan memuji Tuhan engkau dan meAllahon ampunlah kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah sangat suka memberi tobat" (an-Nashr: 1-3)
Ayat ini pun membesarkan hati dan suatu kemenangan besar pula yang dirasakan oleh Nabi dalam perjuangan yang berat itu. Mungkin saja di samping kesabaran dan ketenangan yang tampak keluar ada juga kejengkelan hati yang terkandung di dalam terutama kepada teman-teman sendiri yang tidak juga mau mengerti bahwa perjuangan ini adalah kemenangan namun kawan-kawan memandang suatu kekalahan sampai Umar, seorang ahli diplomasi yang terkenal sejak zaman jahiliyyah, hampir timbul perasaan ragu akan tujuan Nabi karena tidak dapat menahan sabar lagi. Hanya Abu Bakar yang 100% percaya akan kebijaksanaan yang beliau tempuh.
Menurut suatu riwayat pula daripada Anas bin Malik, ketika Rasulullah mengatakan bahwa teiah datang ayat-ayat yang sangat beliau rindukan dan beliau cintai itu maka adalah pula dalam kalangan sahabat Rasulullah ﷺ yang berkata,"Kami mengucapkan selamat kepada engkau, ya Rasulullah atas turunnya ayat itu kepada engkau, yang dalam ayat dijelaskan apa sambutan Allah atas kebijaksanaan yang engkau tempuh. Sekarang saya hendak bertanya, ya Rasulullah! Kalau kepada engkau sudah ada pujian Allah yang paling menghargai engkau, ada pulakah agaknya yang untuk kami?"
Mendengar pertanyaan itu turun pulalah sambungan ayat,
“Akan dimasukkan orang-orang yang beriman laki-laki dan orang-orang yang beriman perempuan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya
sungal-sungai, kekal mereka di dalamnya dan tertangkis daripada diri mereka segala keteledoran mereka: dan adalah yang demikian itu di sisi Allah suatu kemenangan yang besar." (al-Fath: 5)
Hadits Anas bin Malik ini dirawikan juga oleh Bukhari dan Muslim.
Dengan demikian maka meratalah kegembiraan dan rasa bahagia meskipun tadinya beberapa orang di antara sahabat-sahabat Rasulullah yang masih agak dangkal pengertian memandang bahwa kemenangan ini belum terang. Mereka kecewa saja, mengapa tidak boleh menulis Muhammad Rasulullah, melainkan Muhammad anak Abdullah. Mengapa tidak boleh menulis Bismillaahir-Rahmaanir-Rahiim hanya boleh ditulis Bismika Allahumma! Kemudian baru mereka mengerti bahwa kemenangan yang pokok telah tercapai, yaitu bahwa mereka telah diajak berunding, tegasnya bahwa kekuatan mereka telah diperhitungkan. Apatah lagi kemudiannya tidak menunggu masa berbulan-bulan, hanya dalam masa dua tiga bulan saja, kaum Quraisy itu sendiri yang meminta salah satu perjanjian ditiadakan saja karena akibat kesombongan mereka, mereka sendiri yang menderita kepahitannya dengan timbulnya pencegatan Abu Bashir, Abu Jundul, dan tujuh puluh kawan-kawannya.
“Dan disempurnakanNya nikmat-Nya kepada engkau,"yaitu segala karunia yang diberikan Allah, baik yang berkaitan dengan nikmat di dunia, maupun nanti di akhirat. Di antara nikmat-nikmat itu ialah kesebaran agama Islam dan penerimaan manusia terhadapnya sebagai agama yang mulia, tertinggi, sebaik-baik saja terlaksana penaklukan ke atas Mekah.
“Dan diberi-Nya engkau petunjuk, jalan yang lunas."
Yakni menurut petunjuk syari'at Allah yang mulia dan agama yang lurus, yang disyari'atkan oleh Allah yang Mahabijaksana ke atas hamba-hamba-Nya yang benar-benar jujur dan patuh mengikut petunjuk-Nya dan karena itulah Dia akan memenangkan mereka sebagaimana yang dijanjikan itu.
Ayat 3
“Dan Dia akan menolong engkau dengan pertolongan yang perkasa."
Quraisy sendiri kian sehari kian mengertilah bahwa merekalah yang salah dan sebab itu merekalah yang kalah! Nabi Muhammad bersikap merendahkan diri tetapi dalam keteguhan pendirian, sedang kaum Quraisy bersikap sombong mempertahankan yang tidak asasi padahal mereka yang kena catur. Mereka berikan izin naik haji tahun muka! Biarpun tahun muka, namun masa satu tahun dalam perjuangan bangsa adalah masa yang pendek. Dengan dua belas kali pergantian bulan, masa yang ditunggu itu pun datang, sedang umat Muhammad bertambah kuat juga. Di sinilah bertemu arti hadits yang shahih,
“Tidaklah menambah Allah Ta'aala kepada seorang hamba dengan memberi maaf, hanyalah kemuliaan jua dan tidaklah merendahkan diri seseorang kepada Allah Yang Mulia, melainkan pastilah dia diangkat oleh Allah."
Dengan cara merendahkan diri dan berdada lapang dan menyebarkan senyum, Rasulullah telah menghadapi kaum Quraisy itu di Hudaibiyah sedang mereka menghadapi Nabi dengan kasar, penuh keberician, dan dendam sakit hati. Mereka tidak memikirkan akibat, sedang Nabi ﷺ memandang yang jauh. Mereka memandang kemenangan dan kemegahan yang sekarang sedang Nabi ﷺ menarik simpati orang dengan kelapangan dadanya dan kemanisan sikapnya. Maka dengan cara yang demikian, Nabilah yang berangsur-angsur tetapi tetap mendapat kemenangan di dalam menghadapi mereka. Orang luar dengan
sendirinya berpihak kepada Nabi. Meskipun pada mulanya belum memasuki agama yang beliau dakwahkan, namun hati mereka sudah terbuka buat menyelidiki.
Ayat 4
“Dialah yang telah menurunkan ketenteraman ke dalam hati orang-orang yang beriman."
Meskipun pada mulanya banyak di antara mereka yang ragu, namun akhirnya dengan berangsur tetapi pasti keimanan mereka tumbuh kembali, mulanya samar dan akhirnya tetap dan tenteram bahwa benarlah dan tepatlah sikap yang telah dipilih oleh Rasulullah terutama karena tidak beberapa lama kemudian Quraisy sendiri yang meminta supaya suatu bidang perjanjian, yaitu supaya orang Islam yang berada di Mekah, jika datang ke Madinah mereka berhak buat menjemputnya kembali walaupun dengan kekerasan. Akhirnya mereka sendirilah yang menerima kerugian dari sebab mereka tidak mempunyai kekuatan buat melangsungkan bunyi perjanjian itu. Sebab sudah berlaku sejak zaman purbakala, bahwasanya suatu perjanjian di antara dua negara yang sedang diperbuat atau sudah ditandatangani, mestilah dilatarbelakangi oleh kekuatan tentara masing-masing. Ternyata bahwa pihak Quraisy tidak mempunyai kekuatan buat menangkapi Muslim yang berada di Mekah buat keluar, bahkan ada utusan Quraisy sendiri, dua orang yang dikirim menjemput Abu Bashir ke Madinah, sedang Abu Bashir yang dijemput itu hanya satu orang namun seorang di antara utusan itu dibunuh oleh Abu Bashir. Menurut satu riwayat, yang seorang lagi itu lari ke Mekah dan menurut satu riwayat lagi, dia ditangkap oleh Abu Bashir dan dibawa menghadap Nabi di Madinah dan Nabilah yang melepaskan dia kembali ke Mekah.
Keadaan ini saja pun telah menjadi salah satu sebab yang amat penting bagi menumbuhkan ketenteraman dalam hati tiap-tiap Muslim yang ada pada masa itu."Supaya mereka bertambah iman pula sesudah iman mereka." Yaitu supaya orang-orang yang tadinya karena timbul keraguan nyaris hilang imannya, sekarang kembali timbul iman itu sesudah mereka saksikan sendiri bahwa beberapa orang sahabat Nabi ﷺ yang lain, di antaranya Abu Bakar tidak berkocak sedikit jua pun imannya karena hal kecil-kecil yang ditemui Nabi ketika mengikat perjanjian itu."Dan bagi Allah-lah tentara-tentara di langit dan di bumi"
Kalimat Allah yang sedikit ini memberi ingat kepada kita salah satu bagian dari ilmu perang, bahwasanya tentara yang akan menentukan kalah atau menangnya peperangan bukanlah semata-mata tentara manusia yang bilangannya banyak saja, yang berjalan di atas bumi. Tetapi ada lagi tentara yang datang dari langit, bukan berupa manusia. Jenderal-jenderal perang modern memperhitungkan bahwa di samping tentara yang berjalan di muka bumi itu, adalah lagi tentara yang disebut medan dan cuaca. Letak medan perang pun turut menentukan kemenangan atau kekalahan. Musim hujan atau panas, musim dingin, musim gugur, itu pun diperhitungkan dalam peperangan. Kekalahan Napoleon ketika menyerbu tanah Rusia, bukanlah karena kurang jumlah tentaranya. Ketika itu beliau mempunyai tentara 800.000! Tetapi dia kalah dan terpaksa lari pulang ke Perancis dan mati berguguran di tengah jalan karena bertemu dengan musim dingin yang sangat dingin, yang orang Perancis tidak tahan menderita dingin.
Ahli-ahli perang zaman sekarang pun kembali memperhitungkan sebab-sebab yang utama dari kegagalan dan kekalahan tentara Quraisy yang sepintas lalu merasa dirinya menang pada Shuluh (Perdamaian Hudaibiyah) padahal dari semenjak perjanjian itu, berangsurlah datang dengan tetap kemunduran mereka dan berangsur pulalah dengan tetap kemenangan Nabi Muhammad.
“Dan adalah Allah itu Maha Mengetahui Mahabijaksana."
Kemenangan Hudaibiyah ini lebih dirasakan lagi sebab dalam salah satu isi perjanjian ialah sepuluh tahun lamanya kedua belah pihak, pihak Quraisy dan pihak Islam tidak akan mengadakan peperangan. Masa yang disebutkan sepuluh tahun itu dipergunakan oleh pihak Muslimin dengan sebaik-baiknya. Pihak Islam selalu mengadakan dakwah ke mana-mana, sehingga dakwah yang demikian sangat besar pengaruhnya kepada negeri-negeri yang keliling. Meskipun Quraisy dalam perjanjian itu hanya mengakui Muhammad anak Abdullah, bukan Muhammad Rasulullah, namun perjanjian itu sendiri mempunyai kuat kuasa, yang menentukan bahwa perjanjian itu ditaati. Maka berduyunlah"wufuud", yaitu utusan-utusan datang dari seluruh jazirah Arab datang menemui Nabi ﷺ di Madinah, hendak bertukar pikiran, hendak berdialog tentang aqidah, tentang iman dan Islam dan sebagian besar masuk Islam dengan sukarelanya sendiri, yang Quraisy jelas tidak sanggup melakukannya. Kalau utusan Arab itu datang membawa penyair ahli sastra yang bijak, Nabi ﷺ menunggunya dengan ahli syair yang lebih bijak. Bahkan didoakan oleh Nabi, semoga ahli syair Nabi, seperti Hassan bin Tsabit orang Anshar ditolong Allah hendaknya dengan diberi bantuan dengan Ruhul Qudus.
Oleh sebab itu tepatlah apa yang difirmankan Allah di ujung ayat,"Dan adalah Allah Maha Mengetahui Mahabijaksana."
Maksudnya ialah bahwa langkah-langkah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ketika mengadakan perundingan dengan pemimpin-pemimpin Quraisy itu semuanya bukanlah dilakukan atas kehendak Nabi Muhammad ﷺ sendiri. Jika itu adalah suatu pengetahuan maka dia adalah pengetahuan yang diberikan Allah sehingga Muhammad ﷺ bersikap tenang dan benar-benar bijaksana ketika pihak lawan menyatakan keberatan-keberatan seketika mau ditulis"Muhammad Rasulullah", cukup"Muhammad bin Abdullah" saja. Demikian juga ketika akan ditulis Bismillaahir-Rahmaanir-Rahiim, beliau tidak menyatakan keberatan jika ditukar dengan Bismika Allahumma. Si musyrik merasa senang dan menang karena usulnya dipelihara namun Nabi saw, dengan bijaksana menerima usulan itu karena beliau telah diberi pengetahuan oleh Allah bahwa hal itu tidak penting lagi. Yang sangat penting dan puncaknya kepentingan ialah mereka mau berunding dengan Muhammad sebagai dua perutusan yang sama diakui haknya! Inilah yang pokok!
Ayat 5
“Karena akan dimasukkan orang-orang beriiman taki-taki dan orang-orang beriiman penempuan ke dalam sungayang mengalin di bawahnya sungal-sungai, kekal mereka di dalamnya."
Sebagaimana yang telah kita salinkan beberapa baris di atas tadi, ayat ini telah dibacakan oleh Nabi, sebagai urutan dari ayat yang sebelumnya karena ada dari kalangan sahabat-sahabat Rasulullah itu yang bertanya,"Kalau Rasulullah sendiri telah merasa gembira sebab amalannya pada Perjanjian Hudaibiyah itu tetah dipujikan oleh Allah dan dianggap sebagai kemenangan yang nyata maka adalah dalam kalangan sahabat itu yang bertanya, ‘Bagaimana keadaan Perjanjian Hudaibiyah itu bagi kami?'" Maka datanglah ayat ini; yang menjelaskan bahwa mereka sebagai pengikut Rasulullah dalam suka dan duka pun mendapat kemenangan jua, laki-laki dan perempuan yang mengikuti Nabi. Meskipun tidak jadi naik umrah di tahun itu, mereka semuanya dipujikan oleh Allah, meskipun pekerjaan itu gagal. Sebab Nabi pun pernah bersabda,
“Niat seseorang pernah juga lebih baik daripada amalnya."
“Kekal mereka di dalamnya," karena Perjanjian Hudaibiyah itu pun termasuk perjuangan yang penting dan mempunyai nilai sejarah yang mulia."Dan akan Dia hapuskan dari mereka dosa-dosa mereka." Tentu dapat kita maklumi bahwa dosa yang ada di waktu itu ialah dosa mengomel dan mengeluh karena maksud belum berhasil. Orang-orang yang merasakan perjuangan menegakkan agama akan mengerti bagaimana pahit perasaan kalau kiranya di suatu hari kita gagal dalam melancarkan suatu cita-cita di luar kemampuan kita. Tetapi amal sabar, tabah, tidak mengenal putus asa, kejengkelan dan omelan itu akan diampuni oleh Allah. Paling akhir diobat lagi hati yang kecewa itu oleh Allah dengan firman-Nya,
“Dan adalah yang demikian itu di sisi Allah suatu kemenangan yang besar."
Kemenangan yang besar itu sebagaimana telah kita uraikan di atas tadi ialah perhatian yang menjurus kepada Rasul dan umatnya, dari seluruh penjuru Tanah Arab pada masa itu.
Sebaliknya diterangkan pula bagaimana kekecewaan yang akan menimpa orang-orang yang masih saja menentang seruan Rasulullah ﷺ.
Ayat 6
“Dan akan Dia adzab orang-orang laki-laki yang munafik dan penempuan-penempuan yang munafik dan laki-laki yang musynik dan penempuan-penempuanyang musynik yang menyangka terhadap Allah dengan pensangkaan yang bunuk."
Dalam ayat ini bertemulah dua macam musuh. Yang dijadikan nomor pertama ialah laki-laki dan peremuan yang munafik dan yang nomor dua ialah laki-laki dan perempuan yang kafir; menjadi bukti bahwa murtafik lebih sakit kesan dan bekasnya daripada kafir. Kalau kafir sudah tentu lawan. Tetapi kalau munafik pada lahir dia serupa kawan, pada batin mereka melihat peluang dan kesempatan buat mencedera, buat menghantam sambil lempar batu sembunyi tangan, disangka dia kawan, padahal dia lawan. Orang kafir sudah jelas jadi lawan sedang orang munafik terasa jahat perjalanannya tetapi orang tidak tampak!"Yang menyangka terhadap Allah dengan persangkaan yang burak" sehingga orang baik-baik disangkanya buruk seperti dia juga. Dia berdendam kepada orang lain karena disangkanya orang lain seburuk dia. Sebab itu di mana saja tegaknya orang yang seperti itu maka sangkanya yang buruk itu sajalah yang jadi pedoman dari hidupnya."Ke atas mereka akan beredar keburukan dan murkalah Allah pada mereka," karena hatinya yang sempit itu dan memandang segala sesuatu dengan buruk sangka, tidaklah mereka sadari bahwa dialah yang telah ditimpa terlebih dahulu oleh penyakit. Yaitu penyakit persangkaan buruk itu. Dia memandang segala sesuatu dalam alam ini dengan kaca mata yang kotor sehingga dengan tidak disadarinya bahwa bukan kaca mata itu yang dipandangnya kotor, melainkan barang yang dia lihat dengan mempergunakan kaca mata tersebut."Dan mengutuk kepada mereka," yaitu bahwa sesudah Allah murka maka kutukan Allah-lah atau laknat-Nyalah yang datang menimpa dirinya sehingga sempitlah lapangan dunia ini dilihatnya."Dan menyediakan untuk mereka Jahannam," menjadi neraka dalam kehidupan mereka, baik kehidupan sementara di dunia ini karena tidak pernah merasakan ketenteraman batin, apatah lagi di akhirat kelak. Sebab sudahlah jelas bahwa di Jahannam itulah tempat kegelisahan yang tidak berbatas.
“Dan itulah yang sejelek-jelek tempat kembali."
Dan itulah akibat belaka daripada kesalahan memilih sikap jiwa, yaitu menutup di antara diri dengan orang lain sehingga tertutup untuk selama-lamanya.
Lantas sekali lagi Allah menyebutkan agar manusia jangan lupa bahwasanya segala kebijaksanaan yang telah ditempuh oleh Muhammad dan kemenangan diplomasi yang gilang-gemilang itu lain tidak adalah berdasar belaka kepada kekuasaan dan kebesaran Allah.
Ayat 7
“Dan kepunyaan Allah-lah tentara-tentara di langit dan di bumi."
Kaum Quraisy menyangka bahwa mereka menang karena dengan gagah berani mereka menyanggah isi surat yang dikarang oleh Nabi Muhammad dengan memulai Bismillaahir-Rahmaanir-Rahiim dan disuruh tukar dengan BismikaAJlahumma, demikian juga Muhammad Rasulullah yang disuruh tukar dengan Muhammad anak Abdullah; namun mereka tidak sadar bahwa mereka telah terpaksa mengakui, dan tidak dapat mengelak lagi bahwa dengan Muhammad sudah mesti dibuat surah Perjanjian Hudatbiyah padahal selama enam tahun Muhammad telah berhijrah meninggalkan Mekah, dia dianggap sebagai orang pelarian, orang perusak agama pusaka nenek moyang. Maka dengan mengadakan perjanjian ini, di waktu perjanjian ditandatangani mereka belum tahu bahwa inilah permulaan kekalahan mereka dan ini pulalah permulaan dari terus-menerusnya kemenangan Nabi ﷺ. Bahkan sesudah Perdamaian Hudaibiyah ini berduyun utusan-utusan seluruh Tanah Arab menemui Nabi ke Madinah, sebagai utusan suatu negeri menghadap seorang kepala negara. Bahkan datang juga utusan dari negeri besar Najran, yang seluruhnya masih beragama Nasrani.
Maka siapakah yang berdiri di belakang layar dalam sifat-sifat kemenangan ini? Orang Islam tidak boleh melupakan siapa yang berdiri di belakang layar, yaitu kekuasaan Allah. Arab Quraisy sendiri tidak mempunyai kekuatan lagi buat menentang Muhammad sebagaimana tantangan mereka yang pertama.
Ayat ini, yang serupa, diulang dua kali, yaitu ayat 4 dan ayat ini. Yang kedua menambah jetas yang pertama, yaitu bahwa Allah itu mempunyai tentara di langit dan di bumi. Ada tentara yang kelihatan di bumi dan ada yang tersembunyi. Di dalam surah at-Taubah, ayat 40 dijelaskan pula bahwa ada tentara Allah itu yangtidak kelihatan tetapi terasa pengaruhnya. Di surah al-Ahzaab, ayat 9 dijelaskan bahwa ketika tentara musuh itu telah datang, tentara Allah pun datang pula tetapi tidak kelihatan. Di dalam surah al-Mudatstsir ayat 31, dijelaskan bahwa hanya Allah sendiri saja yang Maha Mengetahui berapa bilangan tentaranya. Oleh sebab itu sudah sepatutnyalah jika pada ayat 44 di ujung ayat disebutkan sifat Allah, yaitu"Allah Maha Mengetahui dan Mahabijaksana". Maka di ujung ayat yang tengah kita tafsirkan ini kita melihat ujung ayat,
“Dan adalah Allah itu Mahaperkasa lagi Mahabijaksana."
Dengan ujung ayat ini bukan saja keteguhan keperkasaan Rasul terlihat terhadap pihak lawan dengan sikapnya yang bijaksana, sehingga sesudah baiat, Suhail bin Amir diutus datang buat berdamai dan menandatangani surat perjanjian bahkan terhadap sahabat-sahabat dan pengikut-pengikut yang setia sendiri pun beliau mengucapkan kata pimpinan yang menunjukkan bahwa dalam saat seperti demikian beliau mesti dipatuhi.
Kita melihat dalam sejarah beliau baik di Mekah atau Madinah. Beliau lemah lembut, dapat bertolak-angsur. Namun apabila mengenai yang prinsip, beliau tidak bisa dihambat walaupun oleh siapa saja. Di waktu itu jelas benar sikap beliau yang perkasa sebagai pemimpin.
Ketika beliau mengusulkan agar Umar bin Khaththab yang pergi ke Mekah buat menemui pemimpin-pemimpin Quraisy, agar diberi kelapangan bagi beliau ziarah ke Mekah bersama 1.400 pengiringnya itu, Umar telah memasukkan usul bahwa Utsman bin Affanlah yang baik,
sebab dia tidak ada musuh pribadi di Mekah, maka memang Utsmanlah yang pergi. Tetapi setelah Umar menyatakan keraguan dirinya atas kebijaksanaan beliau, sampai Umar bertanya,"Bukankah engkau Rasulullah?" dan beberapa pertanyaan lain maka segala pertanyaan telah beliau jawab dan beliau beri keputusan yang tidak bisa dibantah lagi."Aku adalah hamba Allah dan aku adalah Rasul-Nya! Aku sekali-kali tidak boleh menentang apa yang dikehendaki oleh Tuhan dan Tuhan sekali-kali tidak akan me-ngecewakanku."
Dan Umar sendiri di saat demikian pun sangat mengerti bahwa tidak ada baginya jalan lain melainkan tunduk dengan patuh. Kalau tidak maka kesetiaannyalah yang sumbing.
Demikian juga ketika beliau menyuruh Ali bin Abi Thalib mengubah Bismillaahir-Rahmaanir-Rahiim dengan Bismika Allahumma, beliau melihat dengan jelas bahwa mata Ali membayangkan kekesalan ketika hendak mengubah itu. Lalu beliau keluarkan perintah sekali lagi,"Tulis!" Ali pun menulis! Apatah lagi ketika disuruhnya menuliskan Muhammad bin Abdullah, ganti dari Muhammad Rasulullah. Beliau lihat kekesalan Ali bertambah dan yang tadi, laksana hendak diterkamnya Suhail bin Amir yang mengusulkan itu. Sekali lagi Rasulullah memerintah dengan suara lebih berwibawa,"Tuliskan Muhammad bin Abdullah!" Dengan kesal tetapi patuh Ali menulis.
Dalam keduanya itu kelihatan ketangkasan dan sikap perkasa yang sangat diperlukan bagi seseorang pemimpin. Dan barulah bebas segala keraguan setelah selesai pertemuan dan ayat surah al-Fath turun menjelaskan bahwa ini adalah kemenangan yang nyata!
***