Ayat
Terjemahan Per Kata
قُلۡ
katakanlah
مَا
tidaklah
كُنتُ
aku adalah
بِدۡعٗا
yang pertama
مِّنَ
dari
ٱلرُّسُلِ
rasul-rasul
وَمَآ
dan tidak
أَدۡرِي
aku mnegetahui
مَا
apa yang
يُفۡعَلُ
akan diperbuat
بِي
terhadapku
وَلَا
dan tidak
بِكُمۡۖ
dengan/untuk kalian
إِنۡ
tidak
أَتَّبِعُ
aku mengikuti
إِلَّا
kecuali
مَا
apa yang
يُوحَىٰٓ
diwahyukan
إِلَيَّ
kepadaku
وَمَآ
dan tidaklah
أَنَا۠
aku
إِلَّا
kecuali
نَذِيرٞ
seorang pemberi peringatan
مُّبِينٞ
nyata
قُلۡ
katakanlah
مَا
tidaklah
كُنتُ
aku adalah
بِدۡعٗا
yang pertama
مِّنَ
dari
ٱلرُّسُلِ
rasul-rasul
وَمَآ
dan tidak
أَدۡرِي
aku mnegetahui
مَا
apa yang
يُفۡعَلُ
akan diperbuat
بِي
terhadapku
وَلَا
dan tidak
بِكُمۡۖ
dengan/untuk kalian
إِنۡ
tidak
أَتَّبِعُ
aku mengikuti
إِلَّا
kecuali
مَا
apa yang
يُوحَىٰٓ
diwahyukan
إِلَيَّ
kepadaku
وَمَآ
dan tidaklah
أَنَا۠
aku
إِلَّا
kecuali
نَذِيرٞ
seorang pemberi peringatan
مُّبِينٞ
nyata
Terjemahan
Katakanlah (Nabi Muhammad), “Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara para rasul dan aku tidak tahu apa yang akan diperbuat (Allah) kepadaku dan kepadamu. Aku hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan.”
Tafsir
(Katakanlah, "Aku bukanlah rasul yang pertama) atau untuk, pertama kalinya (di antara rasul-rasul) maksudnya aku bukanlah rasul yang pertama, karena telah, banyak rasul yang diutus sebelumku, maka mengapa kalian mendustakan aku (dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak pula terhadap kalian) di dunia ini; apakah aku akan diusir dari negeriku, atau apakah aku akan dibunuh sebagaimana nasib yang telah dialami oleh nabi-nabi sebelumku, atau adakalanya kalian melempariku dengan batu, atau barangkali kalian akan tertimpa azab sebagaimana apa yang dialami oleh kaum yang mendustakan sebelum kalian. (Tiada lain) tidak lain (aku hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku) yaitu Al-Qur'an, dan aku sama sekali belum pernah membuat-buat dari diriku sendiri (dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan") yang jelas peringatannya.
Tafsir Surat Al-Ahqaf: 7-9
Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang menjelaskan, berkatalah orang-orang yang mengingkari kebenaran ketika kebenaran itu datang kepada mereka, "Ini adalah sihir yang nyata. Bahkan mereka mengatakan, "Dia (Muhammad) telah mengada-adakannya," Katakanlah jika aku mengada-adakannya, maka kamu tiada mempunyai kuasa sedikit pun mempertahankan aku dari (azab) Allah itu. Dia lebih mengetahui apa-apa yang kamu percakapkan tentang Al-Qur'an itu. Cukuplah Dia menjadi saksi antaraku dan antaramu dan Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Katakanlah, "Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang telah diwahyukan kepadaku dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan. Allah ﷻ menceritakan perihal orang-orang musyrik dalam kekafiran dan keingkaran mereka, bahwa apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah yang menerangkan -yakni yang jelas, terang, dan gamblang-mereka mengatakan: Ini adalah sihir yang nyata. (Al-Ahqaf: 7) Yakni sihir yang jelas, padahal mereka dusta dan mengada-ada, dan mereka sesat lagi kafir.
Bahkan mereka mengatakan, "Dia (Muhammad) telah mengada-adakannya (Al-Qur'an). (Al-Ahqaf: 8) Yang mereka maksudkan dengan dia adalah Muhammad ﷺ, bahwa Al-Qur'an itu adalah buatan Muhammad. Maka Allah ﷻ berfirman: Katakanlah, "Jika aku mengada-adakannya, maka kamu tiada mempunyai kuasa sedikit pun mempertahankan aku dari (azab) Allah itu. (Al-Ahqaf: 8) Yakni seandainya aku berdusta terhadap-Nya dan mengaku-aku bahwa Dia telah mengutusku, padahal kenyataannya tidaklah demikian, tentulah Dia menghukumku dengan hukuman yang amat keras. Dan tiada seorang penduduk bumi pun, tidak pula kalian atau selain kalian yang dapat melindungiku dari azab-Nya. Semakna dengan apa yang telah disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu: Katakanlah, Sesungguhnya aku sekali-kali tiada seorang pun yang dapat melindungiku dari (azab) Allah dan sekali-kali tiada akan memperoleh tempat berlindung selain dari-Nya.
Akan tetapi, (aku hanya) menyampaikan (peringatan) dari Allah dan risalah-Nya. (Al-Jin: 22-23) Dan firman Allah ﷻ: Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorang pun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu. (Al-Haqqah: 44-47) Karena itulah maka disebutkan oleh firman-Nya dalam surat ini: Katakanlah, "Jika aku mengada-adakannya, maka kamu tiada mempunyai kuasa sedikit pun mempertahankan aku dari (azab) Allah itu. Dia lebih mengetahui apa-apa yang kamu percakapkan tentang Al-Qur'an itu.
Cukuplah Dia menjadi saksi antaraku dan antaramu. (Al-Ahqaf: 8) Ini merupakan ancaman yang ditujukan kepada mereka dan peringatan yang amat keras lagi menakutkan. Firman Allah ﷻ: Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Al-Ahqaf:8) Makna ayat ini mengandung anjuran bagi mereka untuk segera bertobat dan kembali ke jalan-Nya. Yakni sekalipun dengan sikap kalian yang demikian itu, jika kalian kembali kejalan-Nya dan bertobat kepada-Nya niscaya Dia menerima tobat kalian dan memaafkan, mengampuni kalian serta merahmati kalian.
Ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Dan mereka berkata, "Dongengan-dongengan orang-orang dahulu diminta supaya dituliskan, maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang. Katakanlah "Al-Qur'an itu diturunkan oleh (Allah) Yang Mengetahui rahasia di langit dan di bumi. Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Furqan: 5-6) Adapun firman Allah ﷻ: Katakanlah, "Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul. (Al-Ahqaf: 9) Yakni aku ini bukanlah rasul yang pertama yang diutus di bumi ini bahkan telah datang rasul-rasul sebelumku, dan bukanlah perkara yang kusampaikan ini merupakan perkara yang asing hingga berhak mendapat protes dari kalian dan kalian anggap mustahil aku diutus kepada kalian Karena sesungguhnya Allah ﷻ telah mengutus rasul-rasul sebelumku kepada umat-umat yang sebelumku.
Ibnu Abbas r.a., Mujahid dan Qatadah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Katakanlah, "Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul. (Al-Ahqaf: 9) Artinya, aku ini bukanlah rasul Allah yang pertama; baik Ibnu Jarir maupun Ibnu Abu Hatim tidak mengetengahkan pendapat selain pendapat ini. Firman Allah ﷻ: dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu. (Al-Ahqaf: 9) Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan ayat ini, bahwa ayat ini diturunkan sebelum firman-Nya: supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang. (Al-Fath: 2) Hal yang sama telah dikatakan oleh Ikrimah, Al-Hasan, dan Qatadah, bahwa ayat surat Al-Ahqaf ini di-mansukh oleh firman-Nya: supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang. (Al-Fath: 2) Mereka mengatakan bahwa ketika ayat surat Al-Fath diturunkan, seseorang dari kalangan kaum muslim berkata, "Wahai Rasulullah, ini merupakan penjelasan dari Allah ﷻ tentang apa yang akan Dia lakukan terhadapmu, lalu apakah yang akan Dia lakukan terhadap kami?" Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: Supaya Dia memasukkan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. (Al-Fath: 5) Demikianlah menurut riwayat ini, tetapi yang telah ditetapkan di dalam kitab sahih menyebutkan bahwa orang-orang mukmin mengatakan, "Selamat untukmu, wahai Rasulullah, lalu apakah yang untuk kami?" Maka Allah ﷻ menurunkan surat Al-Fath ini (ayat 5).
Ad-Dahhak mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu. (A!-Ahqaf: 9) Yakni aku tidak mengetahui apakah yang diperintahkan kepadaku dan apakah yang dilarang kepadaku sesudah ini? Abu Bakar Al-Huzali telah meriwayatkan dari Al-Hasan Al-Basri sehubungan dengan makna firman-Nya: dan aku tidak mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu. (Al-Ahqaf: 9) Adapun di akhirat, maka mendapat pemaafan dari Allah, dan telah diketahui bahwa hal itu berarti dimasukkan ke dalam surga.
Tetapi Nabi ﷺ mengatakan bahwa ia tidak mengetahui apakah yang akan dilakukan terhadap dirinya dan tidak (pula) terhadap diri mereka di dunia ini. Apakah beliau ﷺ akan diusir sebagaimana para nabi sebelumnya diusir dari negerinya? Ataukah beliau akan di bunuh sebagaimana para nabi terdahulu banyak yang dibunuh? Nabi ﷺ bersabda, "Aku tidak mengetahui apakah kalian akan dibenamkan ke dalam bumi ataukah dilempari batu-batuan dari langit?" Pendapat inilah yang dijadikan pegangan oleh Ibnu Jarir, dan bahwa tiada takwiI lain selain ini. Dan memang tidak diragukan lagi pendapat inilah yang sesuai dengan takwil ayat, karena sesungguhnya mengenai nasib di akhirat sudah dapat dipastikan tempat kembali beliau ﷺ adalah surga, begitu pula orang-orang yang mengikutinya. Adapaun apa yang dilakukan terhadap dirinya (Nabi ﷺ) di dunia ini, maka beliau tidak mengetahui apakah akibat dari urusannya dan urusan orang-orang musyrik Quraisy, bagaimanakah kesudahannya nanti, apakah mereka akan beriman ataukah mereka tetap pada kekafirannya yang akibatnya mereka akan diazab dan dimusnahkan.
Adapun mengenai hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, yaitu bahwa: -: ". telah menceritakan kepada kami Ya'qub, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Ibnu Syihab, dari Kharijah ibnu Zaid ibnu Sabit, dari Ummul Ala salah seorang istri sahabat yang telah menceritakan hadis berikut; dia adalah salah seorang wanita yang ikut berbaiat kepada Rasulullah ﷺ Ia menceritakan bahwa ketika dilakukan undian di kalangan orang-orang Ansar untuk memberikan perumahan kepada kaum Muhajirin, maka Usman ibnu Marun segera bergabung bersama mereka.
Kemudian dia sakit di rumah kami, maka kami merawatnya. Dan ketika dia meninggal dunia, kami kafani dengan kain bajunya. Lalu Rasulullah ﷺ masuk ke dalam rumah kami, bertepatan dengan ucapap kami, "Semoga rahmat Allah terlimpahkan kepadamu, hai Abus Sa'ib (nama panggilan Usman ibnu Maz'un r.a.), aku bersaksi untukmu, bahwa sesungguhnya Allah ﷻ telah memuliakanmu." Maka Rasulullah ﷺ bertanya, "Apakah yang memberitahukanmu bahwa Allah telah memuliakannya?" Aku menjawab, "Saya tidak tahu, demi ayahku dan ibuku yang menjadi tebusanmu." Maka Rasulullah ﷺ bersabda: Adapun dia, maka sesungguhnya telah datang kepadanya perkara yang meyakinkan dari Tuhannya, dan sesungguhnya aku mengharapkan kebaikan baginya. Demi Allah, aku sendiri sebagai utusan Allah tidak mengetahui apa yang bakal dilakukan terhadap diriku. Maka aku berkata, "Demi Allah, aku tidak akan menyucikan seorang pun sesudahnya buat selama-lamanya," dan peristiwa itu membuatku bersedih hati, lalu aku tidur dan dalam mimpiku aku melihat Usman mempunyai mata air yang mengalir.
Lalu aku menghadap kepada Rasulullah ﷺ dan kuceritakan mimpiku itu kepadanya. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: Itu adalah berkat amal perbuatannya. Imam Bukhari mengetengahkan hadis ini secara tunggal tanpa Imam Muslim. Dan menurut lafaz yang lain dari Imam Bukhari disebutkan: Aku tidak mengetahui, padahal aku adalah utusan Allah apakah yang bakal dilakukan terhadap diriku. Hadis ini lebih meyakinkan bila dikatakan bahwa memang inilah yang terkenal, sebagai buktinya ialah adanya ucapan Ummul Ala yang mengatakan, Peristiwa itu membuatku sangat bersedih hati. Dan dengan adanya hadis ini dan yang semisal dengannya, menunjukkan bahwa tidak boleh dipastikan terhadap seseorang yang tertentu yang masuk surga kecuali dengan adanya nas dari Pentasyri' yang menentukannya, seperti sepuluh orang sahabat yang telah mendapat berita gembira masuk surga tanpa hisab, dan juga seperti Ibnu Salam, Al-Umaisa, Bilal, Suraqah Abdullah ibnu Amr ibnu Haram (orang tua Jabir) dan para ahli qurra yang berjumlah tujuh puluh orang yang gugur di sumur Ma'unah dan Zaid ibnu Harisah, Ja'far, dan Abdullah ibnu Rawwahah serta para sahabat lainnya; semoga Allah melimpahkan rida-Nya kepada mereka Firman Allah ﷻ: Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku. (Al-Ahqaf: 9) Yakni sesungguhnya aku hanya mengikuti apa yang diturunkan oleh Allah kepadaku, berupa wahyu.
dan aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan. (Al-Ahqaf: 9)"
Terhadap tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang musyrik itu Allah memerintahkan kepada Nabi agar memberikan jawaban kepada mereka. Katakanlah, wahai Nabi Muhammad, 'Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara rasul-rasul yang diutus untuk menjelaskan wahyu Allah kepada umat manusia, dan aku tidak tahu apa yang akan diperbuat terhadapku di dunia dan apa yang akan diperbuat terhadapmu, apakah akan menimpakan azab kepadamu atau menunda sampai datangnya hari Kiamat. Aku hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku, yakni Al-Qur'an, dan aku hanyalah pemberi peringatan kepada umat manusia dari azab Allah dan yang menjelaskan ajaran-ajaran-Nya yang harus dipatuhi agar mereka selamat dari azab itu. 10. Lebih lanjut Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar mengatakan kepada orang-orang musyrik itu 'Terangkanlah kepadaku, bagaimana pendapatmu jika sebenarnya Al-Qur'an yang kusampaikan kepadamu ini datang dari Allah, dan kamu mengingkarinya dengan menuduh bahwa aku telah mengada-adakannya, padahal ada seorang saksi dari Bani Israil yang mengakui kebenaran yang serupa dengan yang disebut dalam Al-Qur'an, yakni wahyu Allah yang disebut dalam kitab Taurat dan kitab-kitab sebelumnya yang mengajarkan tentang tauhid, hari akhir dan ajaran-ajaran lainnya yang serupa dengan ajaran Al-Qur'an lalu dia beriman kepada apa yang tertulis di dalamnya, sedangkan kamu menyombongkan diri, tidak percaya kepada ajaran serupa itu yang terdapat di dalam kitab suci Al-Qur'an. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim, disebabkan keengganan mereka untuk menerima petunjuk-Nya.
Pada ayat ini, Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad untuk mengatakan bahwa ia bukanlah yang pertama di antara para rasul. Seperti telah disebutkan dalam keterangan kosakata, bid' artinya sesuatu yang baru, atau barang yang baru pertama kali adanya. Jika kaum musyrik mengingkari kerasulan Muhammad padahal sebelumnya telah banyak rasul Allah sejak Nabi Adam sampai Nabi Isa, maka sikap ingkar serupa itu sangat aneh dan perlu dipertanyakan karena diutusnya Muhammad sebagai rasul sesungguhnya bukan yang pertama di antara para rasul. Sebelum Nabi Muhammad, Allah telah mengutus banyak nabi dan rasul pada setiap zaman dan tempat yang berbeda. Pengutusan para nabi oleh Allah untuk memberi petunjuk kepada manusia adalah pengalaman universal umat manusia, bukan hanya untuk memperbaiki keadaan kaum musyrik Mekah. Jadi diutusnya Muhammad untuk mengemban misi risalah, bukanlah sesuatu yang baru sama sekali.
Selanjutnya Allah memerintahkan agar Rasulullah menyampaikan kepada orang-orang musyrik bahwa ia tidak mengetahui sedikit pun apa yang akan dilakukan Allah terhadap dirinya dan mereka di dunia ini, apakah ia harus meninggalkan negeri ini dan hijrah ke negeri lain seperti yang telah dilakukan nabi-nabi terdahulu, ataukah ia akan mati terbunuh seperti nabi-nabi lain yang mati terbunuh. Ia juga tidak mengetahui apa yang akan ditimpakan kepada kaumnya. Semuanya itu hanya diketahui oleh Allah yang Maha Mengetahui. Rasulullah ﷺ menegaskan kembali bahwa walaupun Allah telah berjanji akan memberikan kemenangan kepada kaum Muslimin dan akan mengalahkan orang-orang kafir, memasukkan kaum Muslimin ke dalam surga dan memasukkan orang-orang kafir ke dalam neraka, namun ia sedikit pun tidak mengetahui kapan hal itu akan terjadi.
Dari ayat ini dapat diambil kesimpulan bahwa hanya Allah saja yang mengetahui segala yang gaib. Para rasul dan para nabi tidak mengetahuinya, kecuali jika Allah memberitahukannya. Karena itu, ayat ini membantah dengan tegas kepercayaan yang menyatakan bahwa para wali mengetahui yang gaib, mengetahui apa yang akan terjadi. Rasulullah ﷺ sendiri sebagai utusan Allah mengakui bahwa ia tidak mengetahui hal-hal yang gaib, apalagi para wali yang tingkatnya jauh di bawah tingkat para rasul.
Dalam hadis riwayat Imam al-Bukhari dan imam-imam yang lain:
Dari Ummul 'Ala', ketika 'Utsman bin Madz'un meninggal dunia aku berdoa semoga Allah merahmatimu hai Abu al Saib, sungguh Allah telah memuliakanmu. Maka Rasulullah menegur; Dari mana engkau mengetahui bahwa Allah telah memuliakannya? Adapun dia sendiri telah mendapat keyakinan dari Tuhannya dan aku benar-benar mengharapkan kebaikan baginya. Demi Allah, aku tidak mengetahui, padahal aku Rasul Allah, apakah yang akan diperbuat Allah terhadap diriku, begitu pula terhadap diri kamu semua". Ummul 'Ala' berkata: "Demi Allah semenjak itu aku tidak pernah lagi mensucikan (memuji) orang buat selama-lamanya. (Riwayat al-Bukhari)
Dari keterangan di atas jelas bahwa Rasulullah sendiri tidak mengetahui hal yang gaib. Beliau tidak mengetahui apakah sahabatnya 'Utsman bin Madz'un yang telah meninggal itu masuk surga atau masuk neraka. Namun, beliau berdoa agar sahabatnya itu diberi rahmat oleh Allah. Hal ini juga berarti bahwa tidak seorang pun yang dapat meramalkan sesuatu tentang seseorang yang baru meninggal. Rasulullah ﷺ sendiri tidak mengetahui, apalagi seorang wali atau seorang ulama. Jika ada seorang wali menyatakan bahwa dia mengetahui yang gaib, maka pernyataan itu adalah bohong belaka. Rasulullah menjadi marah mendengar orang-orang yang menerka-nerka nasib seseorang yang meninggal dunia sebagaimana tersebut dalam hadis di atas.
Ayat ini memberikan petunjuk kepada kita tentang sikap yang baik dalam menghadapi atau melayat salah seorang teman yang meninggal dunia. Petunjuk itu adalah agar kita mendoakan dan jangan sekali-kali meramalkan nasibnya, karena yang mengetahui hal itu hanyalah Allah.
Pada akhir ayat ini, Allah memerintahkan agar Rasulullah menegaskan keadaan dirinya yang sebenarnya untuk menguatkan apa yang telah disampaikannya. Dia diperintahkan agar mengatakan kepada orang-orang musyrik Mekah bahwa tidak ada sesuatu pun yang diikutinya, selain Al-Qur'an yang diwahyukan Allah kepadanya, dan tidak ada suatu apa pun yang diada-adakannya. Semuanya berasal dari Allah Yang Mahakuasa. Ia hanyalah seorang pemberi peringatan yang diutus Allah untuk menyampaikan peringatan kepada mereka agar menjaga diri dari siksa dan murka Allah. Nabi ﷺ juga menegaskan bahwa ia telah menyampaikan kepada mereka bukti-bukti kuat tentang kebenaran risalahnya. Ia bukan malaikat, sehingga ia tidak dapat melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan manusia.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 9
“Katakanlah! Bukanlah aku ini membawa yang batu demi rasul-rasul itu."
Maksudnya ialah bahwa Nabi Muhammad, ﷺ disuruh Allah menjelaskan bahwasanya seruan atau dakwah yang beliau bawa, bukanlah perkara baru yang diada-adakan saja. Bahwasanya segala rasul yang diutus oleh Allah kepada manusia, samalah isi seruan mereka, yaitu mengajak manusia agar memercayai akan adanya satu Tuhan, yaitu Allah, yang tidak bersekutu dengan yang lain di dalam menciptakan alam ini. Seruan semuanya adalah sama, yaitu menyeru manusia supaya memegang kepercayaan tauhid. Inilah tujuan kedatangan dan perutusan dari segala utusan atau rasul yang diutus Allah ke atas dunia ini, sejak dari Nuh sampai kepada nabi-nabi yang sesudahnya, itu pun kalau hendak kita katakan bahwa Adam belum mempunyai umat, sebab manusia di kala hidup beliau belum banyak. Berbagai ragam rintangan yang diderita oleh rasul-rasul itu karena memberi ingat manusia bahwa Allah itu tiada bersekutu dengan yang lain, Esa Allah dalam kebesaran-Nya. Esa Allah dalam Penciptaan-Nya. Esa Allah dalam kekuasaan-Nya. Selanjutnya beliau bersabda dengan perintah Allah,"Dan tidaklah aku ketahui apa yang akan diperbuat dengan aku dan tidak pula dengan kami." Dengan kata-kata yang sedikit ini telah ditanamkan keinsafan kepada Nabi Muhammad ﷺ bahwasanya orang-orangyang berjuang menegakkan risalah yang ditugaskan oleh Allah ke atas pundaknya akan menemui berbagai kemungkinan suka dan duka, bahagia dan bahaya.
Maka mengertilah Nabi Muhammad ﷺ bahwa melakukan risalah besar ini adalah menghadapi bahaya nyata untuk kebahagiaan cita. Itulah sebabnya beliau berkata,"Tidaklah aku ketahui apa yang akan diperbuat dengan aku dan tidak pula dengan kamu." Hari depan masih panjang namun pekerjaan ini tidak boleh berhenti dan tidak boleh mundur. Berhenti artinya mati, mundur artinya hancur. Pernah beliau mengatakan, setelah diputuskan dalam Peperangan Uhud bahwa musuh bukan ditunggu dalam kota tetapi diserbu keluar lalu beliau lekatkan pakaian-pakaian peperangan dan pedang telah beliau sisipkan di pinggang padahal ada yang kemudian ragu lalu menurut saja kepada pendapat beliau yang pertama, yaitu musuh ditunggu saja (defensif) tak usah menyerang keluar padahal sudah diputuskan mesti menyerang. Beliau berkata,"Apabila seorang Nabi telah bersiap dengan pakaian perangnya, tidaklah pakaian itu akan ditanggalkannya sebelum Allah menentukan siapa di antara keduanya yang akan menang, dia atau musuhnya!"
Di ujung ayat beliau disuruh menjelaskan lagi disiplin yang beliau pegang teguh dalam perjuangan.
“Tidak ada yang aku ikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku dan tidak lain aku ini kecuali memberikan peringatan yang tegas."
“Tidak ada yang akan aku ikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku." Inilah penegasan yang penuh dengan rasa tanggung jawab dan disiplin. Bagaimanapun ribut orang hendak mengganggu hendak memasukkan usul, hendak mengeluarkan kritik, semuanya beliau tidak akan peduli, kecuali yang sesuai dengan wahyu. Dan lebih jelas lagi kekuatan disiplin yang timbul daripada kekuatan pribadi itu setelah beliau bersabda selanjutnya, ‘Dan tidak lain aku ini kecuali menyampaikan peringatan yang tegas." Di sini jelas sekali bahwa dalam me-nyampaikan prinsip atau dasar pendirian yang telah diterima dengan yakin dari Allah, Nabi Muhammad ﷺ tidak akan berganjak, tidak akan mundur walaupun selangkah. Ucapan yang diucapkan Rasul ini, dikuatkan dengan firman Ilahi dan tertulis di dalam Al-Qur'an jadi bimbingan bagi tiap-tiap orang yang berjuang dalam prinsip Al-Qur'an. Kita pun dapat melihat bagaimana Rasulullah ﷺ bermasam muka dan berpaling wajah ke tempat lain karena beliau berhadapan dengan orang buta, yaitu Ibnu Ummi Maktum,karena mengharap beberapa orang terkemuka dari kaum Quraisy akan dapat ditarik ke dalam Islam. Namun yang beliau terima dari Allah adalah kritik sangat halus,"Bermuka masam, berpaling saja karena yang datang yang buta hanya." (surah ‘Abasa, ayat 1 dan 2)
Dari hal ayat yang tersebut tadi,"Tidaklah aku ketahui apa yang akan diperbuat dengan aku dan tidak pula dengan kamu," seperti yang tersebut tadi, dijelaskanlah oleh Abu Bakar al-Hudzali suatu riwayat penafsiran yang beliau terima daripada al-Imam Hasan al-Bishri bahwa maksud ayat itu jelas sekali ialah tentang hasil perjuangan Nabi selama berjuang di permukaan bumi ini, selama masih hidup dalam dunia ini."Tidaklah aku tahu apa yang akan terjadi pada diriku dan juga apa yang akan terjadi pada diri kamu, apakah aku akan diusir dari kampung halaman, sebagaimana nabi-nabi yang dahulu telah pernah menderitanya? Atau apakah aku akan dibunuh orang sebagaimana nabi-nabi sebelumku ada pula yang dibunuh? Apakah kamu akan ditimbuni orang dengan tanah atau dilempari dengan batu? Semuanya itu adalah pahit getir perjuangan di dunia ini selama hayat masih dikandung badan. Adapun di akhirat, kalah atau menang, berhasil atau gagal, satu hal adalah sudah pasti: yaitu bahwa Muhammad sebagai utusan Allah dan orang-orang yang mengikuti dengan setia akan ajarannya pastilah masuk ke dalam surga yang mulia" Demikian tafsiran dari Hasan al-Bishri menurut riwayat yang disampaikan oleh Abu Bakar al-Hudzali.
Selanjutnya berfirman Allah,
Ayat 10
“Katakanlah! Adakah kamu perhatikan jika memang dia itu dari sisi Allah."
Yaitu jika memang sebenarnya Al-Qur'an itu diwahyukan dari sisi Allah dan memang Muhammad itu Rasulullah ﷺ"Sedangkan kamu menyangkalnya." Kamu tidak mau percaya akan kebenaran berita itu. Kamu katakan sebagaimana tersebut dalam ayat 7 tadi. Kamu katakan sihir yang nyata."Padahal telah memberikan kesaksian Bani Israil atas yang seumpamanya." Dan Muhammad pun telah menjelaskan sebagaimana tersebut pada ayat 9 di atas tadi bahwa risalah yang dibawanya ini bukanlah baru. Dia hanyalah menyambung usaha yang telah dirintis oieh rasul-rasul yang dahulu. Maka rasul-rasul yang dahulu itu pun telah membawa ajaran ini pula dan Bani Israil telah beriman dengan dia, telah percaya kepadanya."Dan mereka telah beriman sedang kamu menyombongkan diri." Berapa banyaknya nabi-nabi dan rasul-rasul yang diutus Allah dan berapa pula banyaknya nabi-nabi dan rasul-rasul dari Bani Israil itu: sejak dari Musa dan Harun, Sulaiman dan Dawud. Zakariya dan Yahya, semuanya pada umumnya diterima oieh kaumnya Bani Israil dan banyak lagi nabi-nabi yang lain! Mengapa kamu, hai kaum Quraisy hendak bersikap sombong dan menuduh Nabi dari kaummu sendiri, Muhammad ﷺ, sebagai tukang sihir yang nyata? Akhirnya Allah memberikan ketegasan,
“Sesungguhnya Allah tidaklah akan memberikan petunjuk kepada kaum yang zalim."
Teranglah bahwa ayat ini suatu penyesalan pula dari Allah kepada kaum Quraisy yang berkeras kepala menolak nubuwwah Nabi Muhammad. Tetapi ada setengah ahli tafsir mengatakan dan menjelaskan orang yang dimaksud dengan Bani Israil itu. Kata mereka orang yang dimaksud itu ialah Abdullah bin Salam. Tetapi Masruq dan asy-Sya'bi menolak pendapat itu. Kata mereka,"Bagaimana akan dikatakan bahwa yang dimaksud dengan Bani lsrail ialah Abdullah bin Salam padahal beliau memeluk Islam setelah Rasulullah ﷺ sampai di Madinah dalam hijrah beliau. Ketika beliau mulai datang dan beliau berpidato tentang hidup berdamai dan beribadah, Abdullah bin Salam turut mendengarkan. Dan setelah didengarnya, dia berkata dalam hatinya, ‘Orang semacam itu mustahil berdusta! Tidak macam ini orang yang akan berdusta. Lalu beliau mendekati Rasulullah di masa itu juga dan menyatakan dirinya percaya kepada Nabi ﷺ dan langsung menyatakan Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat." Kata Masruq dan asy-Sya'bi tidak mungkin orang itu Abdullah bin Salam, sebab ayat ini turun di Mekah tidak di Madinah. Surah al-Ahqaaf diturunkan di Mekah.
Tetapi yang mengatakan yang dimaksud ialah Abdullah bin Salam adalah orang-orang penting dan tidak boleh diabaikan pula. Di antaranya ialah Bukhari, Muslim, dan an-Nasa'i sendiri. Demikian juga yang dahulu dari itu, yaitu Ibnu Abbas (sahabat Nabi ﷺ), Mujahid, adh-Dhahhak, Qatadah, Ikrimah dan Yusuf anak dari Abdullah bin Salam sendiri, as-Suddi dan Imam Malik bin Anas. Tentu saja dapat kita pahamkan meskipun hal Abdullah bin Salam itu masuk Islam ialah sejenak setelah Nabi ﷺ hijrah ke Madinah, tidaklah hal yang ganjil kalau hal itu diketahui terlebih dahulu oleh Rasulullah ﷺ bahwasanya akan ada orang Bani lsrail yang masuk Islam dengan penuh kepercayaan dan keinsafan, sehingga menurut riwayat. Abdullah bin Salam itu termasuk orang yang disebut namanya oleh Nabi ﷺ akan masuk ke dalam surga.
Ayat 11
“Dan berkatalah orang-orang yang kafir itu kepada orang-orang yang telah beriman, ‘Kalau dia itu memang baik, tidaklah kamu akan mendahului kami kepadanya.'"
Ini pun suatu kesombongan lagi dari orang-orang terkemuka Quraisy pada masa itu. Mereka merasa bahwa mereka orang-orang terkemuka, orang penting, orang yang lebih mengerti dalam segala hal. Maka kalau ada ajaran Muhammad itu yang baik, bukan orang-orang bodoh, orang kecil yang terlebih dahulu harus menerimanya, melainkan kami orang-orang yang terkemuka, orang yang pembicaraannya didengar orang dan pertimbangannya diterima. Mereka menganggap diri sangat penting karena jasa-jasa zaman lampau karena dalam susunan masyarakat lama, merekalah yang dianggap menonjol. Mereka tidak mau mengerti bahwa zaman sudah berubah. Semangat baru sudah datang dan revolusi pikiran sedang tumbuh.
“Dan oleh karena mereka tidak mendapat petunjuk dengan dia maka akan berkatalah mereka, ‘Ini adalah kepalsuan yang telah usang.'"
Dengan sombong mereka mengatakan bahwa wahyu yang disampaikan oleh Muhammad ﷺ dan Muhammad menerimanya dari malaikat diterima dari Allah SWT, adalah kepalsuan, karangan, dongeng yang telah usang, telah bobrok. Mungkin sekali dengan berkata telah usang, bukan saja Muhammad yang mereka dustakan, bahkan seluruh wahyu yang disampaikan oleh nabi-nabi,
Ayat 12
“Dan daripada sebelumnya adalah kitab Musa, menjadi imam dan rahmat."
Disebut dalam ayat 12 ini kitab yang dahulu daripada Al-Qur'an, yaitu kitab yang diturunkan kepada Nabi Musa, berisi iman dan rahmat. Kepercayaan yang mantap kepada Allah dan rahmat untuk pergaulan hidup di dunia, cara mengatur yang memimpin kepada yang dipimpin. Namun oleh karena mereka telah mengatakan bahwa isi Al-Qur'an yang dibawa oleh Muhammad adalah kepalsuan yang telah usang, jelaslah bahwa seluruh kitab tidak mereka percayai, semuanya kepalsuan yang telah usang.".Dan yang ini," yaitu Al-Qur'an,"adalah kitab yang membenarkan," artinya bahwasanya pokok asli dari kitab Taurat yang diturunkan kepada Musa penuh ajaran iman dan berisi rahmat bahagia itu ialah membenarkan, tidak bersalahan, tidak berselisih dengan kitab yang penuh iman dan rahmat itu."Dalam lidah ‘Arabi," sebagai timbalan daripada kitab yang terdahulu dalam lidah Ibrani, keduanya adalah sama-sama rumpun bahasanya, yaitu bahasa keturunan Semit (Saam), keturunan Nuh. Isinya ialah “Untuk memberikan peringatan kepada orang-orang yang aniaya," yaitu peringatan yang keras, ancaman, sebab mereka tidak sudi berbuat baik dalam kehidupan yang menghendaki baik.
“Dan memberikan kabar gembira bagi yang sudi berbuat baik."
Selalulah isi kitab yang diturunkan oleh Allah itu berisi tarhib dan targhiib, perintah keras yang berisi ancaman dan berita suka cita yang memberikan harapan. Yang pertama menimbulkan takut, yang kedua menimbulkan harapan. Ketakutan menimbulkan keadaan hendak menjauhi perbuatan yang terlarang sedang kabar gembira menumbuhkan harapan. Bagaimana senang tampaknya berbuat suatu perbuatan yang salah, namun kesan ketakutan akan tumbuh dalam hati dan selalu menjadi suatu batin buat membantahnya, sehingga walaupun seseorang sudah terlanjur berbuat suatu perbuatan yang terlarang, yang tercela, dia selalu berusaha menyembunyikan dari mata orang banyak, jangan sampai ada orang yang tahu. Walaupun hukuman belum datang, namun dia terlebih dahulu telah menerima hukuman dengan rasa takut, cemburu dan merasa bersalah yang menyebabkan hidup jadi gersang. Sehingga kerap kali kejadian dengan tidak disangka-sangka seseorang yang telah banyak berbuat dosa dalam keadaan gembira tiba-tiba dia membunuh diri. Padahal, dengan membunuh diri penyelesaian belum terdapat, melainkan bertambah rumit dan sukar. Sebaliknya orang yang kehidupan sudah cenderung kepada berbuat baik, meskipun mengerjakan kebajikan itu pun menghadapi berbagai kesukaran pula, namun hatinya tidak pernah bimbang, sebab dia selalu dipenuhi oleh harapan. Kalau tidak dapat ganjaran yang baik di dunia ini, di akhirat pasti akan dapat ganjaran yang setimpal, bahkan lebih dan berlipat ganda.
Ada ayat yang jelas dari firman Allah,
“Bahkan manusia memandang apa yang ada pada dirinya." (al-Qiyaamah: 14)
Maka orang-orang yang hidupnya lebih banyak berbuat yang baik dan selalu berusaha menjauhi yang dilarang oleh .Allah, kuranglah rasa kecemasan dan ketakutannya. Ditimang-timangnya dirinya, dosa yang besar jaranglah dia mengerjakan, kelalaian tentu ada juga tetapi persangkaannya selalu baik terhadap Allah (husnuzh zhanni billahi). Orang yang demikian tidak ada rasa takut akan menemui keadaan. Bertambah dekat waktunya, bertambah mantap dia menghadapi kenyataan, itulah yang bernama an-nafsui muthmainnah. Orang yang begitulah yang dipenuhi oleh harapan atau raja'. Maka sebelum datang maut, sebelum datang alam kubur dan yaumal mahsyar, bahkan semasa lagi di atas dunia ini, haruslah dia melatih dirinya menebaikan rasa raja' itu dengan berbuat kebajikan banyak-banyak dengan tidak melupakan bahwa diri sendiri adalah manusia yang tidak khali daripada lalai, alfa, dan khilaf.
Maka bilamana kita renungkan segala ayat basyiran dan nadziiran, targhiib dan tarhiib tadi dapatlah kita ibaratkan kepada keadaan kita di dunia ini. Bilamana hakim menuntut ke pengadilan yang merasa ketakutan ialah orang yang merasa bersalah. Adapun orang yang merasa dirinya tidak bersalah, dia tetap mengharap bahwa tidak akan terhukum dengan teraniaya. Sedang terhadap hakim dunia yang di zaman kekacauan berpikir manusia ini sudah dapat dipermainkan, harapan orang yang tidak bersalah masih ada, dan masih sanggup naik banding, apatah lagi terhadap keadilan Allah, yang hukum-Nya tidak dapat dibanding lagi kebenarannya.
Ayat 13
“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, Tuhan kami adalah Allah," kemudian itu mereka pun teguh pada pendiriannya maka tidaklah ada ketakutan atasnya dan tidaklah mereka akan beriduka cita."
Mereka berkata,"Tuhan kami Allah!" Yang berkata itu adalah mulutnya, hatinya, seluruh gerak-geriknya, sepak terjangnya, walaupun lidahnya tidak terbuka, namun sikap hidupnya telah mengatakan.
“Tuhan kami Allah!" Terbukti dalam ibadahnya, dalam tujuan hidupnya, dalam pandangan hidupnya, dalam tempat dia mena-ruhkan harapan, dalam tempat dia merasakan takut, dalam dia menjelaskan tujuan hidup.
“Tuhan kami Allah!" Tidak ada tempat tunduk yang lain dan tidak ada rasa takut menghadapi yang lain.
“Tuhan kami Allah!" Maka segala kegiatan, segala aktivitas, segala jalan pikiran, segala pertimbangan, tertuju kepada Allah dan memandangnya dari segi keridhaan Allah.
“Tuhan kami Allah!" Maka yang berlaku ialah hukum-Nya, Yang Mahakuasa sejati."Hanya Allah," tidak ada undang-undang yang tahan uji, melainkan undang-undang syari'at-Nya dan tidak ada pimpinan melainkan pimpinan-Nya, tidak ada petunjuk selain petunjuk-Nya!
“Tuhan kami Allah!" Maka segala yang ada dan segala apa jua pun yang berhubung bersangkut paut dengan yang ada semuanya bergantung kepada-Nya.
“Tuhan kami Allah!" Terbukti dapat dilihat, dapat dirasakan dalam segala gerak walaupun mulut tidak bercakap walaupun kaki dan tangan terbelenggu.
“Kemudian mereka pun teguh pada pendiriannya atau istiqamah!" Teguh, tidak berganjak, pantang bergeser, tidak ragu, tidak waswas, tidak maju mundur oleh karena tarikan dari kiri dan kanan, dari muka belakang. Dia bukan menurut, melainkan diturutkan. Dia bukan menunggu tetapi memulai. Dia mengeluarkan sinar, bukan padam, bagaimanapun sukar rimba yang ditembus, padang pasir yang kering gersang, namun “Tuhan kami Allah" dan kami tetap dalam pendirian itu. Hujan pasti turun, tetapi hujan tidak akan terus. Panas mesti terik, tetapi awan lembab akan melindungi. Keadaan bisa berputar, berbalik, namun"Tuhan kami Allah" tidak akan berbalik. Maka “Tuhan kami Allah" menentukan corak hidup, menjadi sistem hidup. Bertambah didalami pahamnya, bertambah teguh uratnya."Maka tidaklah ada ketakutan atasnya dan tidaklah mereka akan berduka cita."
Bebas dari ketakutan adalah pedoman hidup paling tinggi. Dunia modern sehabis Perang Dunia II telah merumuskan tambahan dari ajaran demokrasi, sebuah lagi amat penting yaitu bebas dari rasa takut! Maka menurut ajaran dalam ayat ini, jaminan bagi kikis sirnanya rasa takut adalah iman kepada Allah karena takut hanya terhimpun kepadanya saja!
Ketika Jepang menduduki tanah Indonesia, terpaksalah orang-orang rukuk menyembah ke istana Kaisar Jepang di Tokyo, Orang takut tidak akan menyembah secara rukuk itu jika ada pertemuan resmi yang besar. Takut akan disiksa kejam oleh kempeitei Jepang, yaitu polisi perangnya yang kejam. Tetapi guru dan ayahku, Syekh Abdulkarim Amrullah tidak mau rukuk bahkan berdiri pun dia tidak!
Ketika saya sendiri menemui beliau dan bertanya kepada beliau,"Apakah Ayah tidak merasa takut akan disiksa oleh Jepang dengan kempetei-nya."
Beliau menjawab,"Yang aku takuti bukanlah disiksa dan dibunuh Jepang. Yang aku takuti ialah yang sesudah diriku mati dibunuh!"
Yang beliau takuti ialah jika datang pertanyaan daripada Malaikat Munkar dan Nakir, mengapa engkau menyembah kepada yang selain Allah, apa akan jawab Ayah?
Lalu saya tanya lagi,"Bukankah di dalam buku karangan ayahanda yang berjudul Iqazhun Niyaam (1914), Ayah telah menyatakan pendapat bahwa merundukkan kepala seperti tahiyat saja kepada seseorang yang patut dihormati, tidaklah haram menurut agama?" Beliau jawab,"Ini lain, anakku! Jika Ayah merundukkan kepala sedikit saja, orang banyak akan menyembah dan menjongkok dan dikatakan orang sedangkan Doktor Abdulkarim lagi berbuat, apatah lagi kita." Sekali lagi beliau berkata."Aku takut kepada Allah, wahai anak."
Maka seluruh rasa takut dan rasa duka cita beliau terhadap segala yang bernama takut tidak ada lagi, sama sekali. Takut dan duka cita beliau seluruhnya telah tertumpu kepada Allah yang telah disebutkan tadi,"Tuhan kami Allah!"
Ayat 14
“Itulah orang-orang yang akan mempunyai tempat di dalam sunga, kekal mereka di dalamnya."
Dijelaskan pada ujung ayat,
“Sebagai ganjaran dari apa yang telah mereka kerjakan."
Tegasnya mereka masuk surga karena apa yang mereka katakan telah mereka amalkan. Di sini tampak berapa tingkat yang tidak terpisah. Pertama mengatakan"Tuhan kami adalah Allah". Kedua, istaqaamu atau istiqamah yang berarti pendirian yang tetap dan teguh. Ketiga, pembuktian dari pendirian yang tidak pernah dapat diubah, tidak pernah dapat digeser. Keempat, menghasilkan tidak ada rasa takut dan tidak merasa sedih. Tidak takut akan ditimpa oleh bahaya, tidak duka cita kalau bahaya itu datang juga. Tidak takut akan apa yang akan
terjadi, tidak duka cita kalau bahaya itu datang juga. Dengan keempatnya ini baru datang jaminan Allah akan dimasukkan ke dalam surga yang mulia karena semua yang dikatakan itu dikerjakan, diamalkan.
Maka dapatlah disimpulkan bahwasanya pengakuan dengan mulut saja belumlah jadi jaminan akan melepaskan diri dengan selamat dari berbagai ancaman. Teratasi ancaman itu barulah dapat jaminan. Maka kalau kita lihat berjuta kaum Muslimin boleh dikatakan bahwa semuanya mengaku bertuhan kepada Allah, tetapi mereka tidak istiqamah. Semuanya mengaku bertuhan kepada Allah, tetapi mereka tidak bebas daripada rasa takut dan rasa duka cita karena pengakuan bertuhan kepada Allah itu hanya semata-mata ajaran permainan mulut,"menanam tebu di bibir", ragu-ragu, yang semuanya itu menghasilkan tidak hilang rasa takut dan tidak lepas daripada rasa duka cita, sedih hati, mengeluh, dan sebagainva. Mereka tidak mengamalkan apa yang mereka akui itu. Sebab itu mereka tidak masuk surga.