Ayat
Terjemahan Per Kata
وَلِكُلّٖ
dan bagi tiap-tiap
دَرَجَٰتٞ
derajat
مِّمَّا
dari apa
عَمِلُواْۖ
mereka kerjakan
وَلِيُوَفِّيَهُمۡ
dan karena Allah akan mencukupi mereka
أَعۡمَٰلَهُمۡ
amal pekerjaan mereka
وَهُمۡ
dan mereka
لَا
tidak
يُظۡلَمُونَ
mereka dirugikan/aniaya
وَلِكُلّٖ
dan bagi tiap-tiap
دَرَجَٰتٞ
derajat
مِّمَّا
dari apa
عَمِلُواْۖ
mereka kerjakan
وَلِيُوَفِّيَهُمۡ
dan karena Allah akan mencukupi mereka
أَعۡمَٰلَهُمۡ
amal pekerjaan mereka
وَهُمۡ
dan mereka
لَا
tidak
يُظۡلَمُونَ
mereka dirugikan/aniaya
Terjemahan
Setiap orang memperoleh tingkatan sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan dan agar Allah menyempurnakan balasan amal mereka serta mereka tidak dizalimi.
Tafsir
(Dan bagi masing-masing mereka) bagi masing-masing dari orang mukmin dan orang kafir (derajat), derajat orang-orang yang beriman memperoleh kedudukan yang tinggi di dalam surga, sedangkan derajat orang-orang kafir memperoleh kedudukan di dasar neraka (menurut apa yang telah mereka kerjakan) berdasar pada amal ketaatan bagi orang-orang mukmin dan kemaksiatan bagi orang-orang kafir (dan agar Dia mencukupkan bagi mereka) yakni Allah mencukupkan bagi mereka; menurut suatu qiraat dibaca Walinuwaffiyahum (pekerjaan-pekerjaan mereka) maksudnya balasannya (sedangkan mereka tiada dirugikan) barang sedikit pun, misalkan untuk orang-orang mukmin dikurangi dan untuk orang-orang kafir ditambahi.
Tafsir Surat Al-Ahqaf: 17-20
Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya, "Cis bagi kamu keduanya, apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan, padahal sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumku? Lalu kedua ibu bapaknya itu memohon pertolongan kepada Allah seraya mengatakan "Celaka kamu, berimanlah! Sesungguhnya janji Allah adalah benar. Lalu dia berkata, "Ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang yang dahulu belaka.
Mereka itulah orang-orang yang telah pasti ketetapan (azab) atas mereka bersama umat-umat yang telah berlalu sebelum mereka dari jin dan manusia. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang merugi. Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan. Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kajir dihadapkan ke neraka (kepada mereka dikatakan), "Kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya; maka pada hari ini kamu dibalasi dengan azab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan karena kamu telah fasik.
Setelah menyebutkan perihal orang-orang yang mendoakan kedua orang tuanya lagi berbakti kepada keduanya serta keberuntungan dan keselamatan yang diperoleh mereka di hari kemudian, lalu Allah ﷻ menyebutkan keadaan orang-orang yang celaka, yaitu orang-orang yang menyakiti kedua orang tuanya. Untuk itu Allah ﷻ berfirman: Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya, "Cis bagi kamu keduanya. (Al-Ahqaf: 17) Ini umum pengertiannya mencakup semua orang yang mengatakan demikian kepada kedua orang tuanya. Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abdur Rahman ibnu Abu Bakar r.a., maka pendapatnya lemah.
Karena Abdur Rahman ibnu Abu Bakar r.a. baru masuk Islam setelah ayat ini diturunkan dan berbuat baik dalam Islamnya sehingga ia termasuk orang yang terpilih di masanya. Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan salah seorang putra Abu Bakar r.a. Akan tetapi, kesahihan hadis ini masih perlu diteliti kembali; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Mujahid bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abdullah ibnu Abu Bakar r.a. menurut apa yang dikatakan oleh Ibnu Juraij. Ulama lainnya mengatakan bahwa dia adalah Abdur Rahman ibnu Abu Bakar. Pendapat ini dikemukakan pula oleh As-Saddi. Tetapi sesungguhnya makna ayat ini bersifat umum mencakup semua orang yang menyakiti kedua orang ibu bapaknya; dan mendustakan perkara yang hak, lalu mengatakan kepada kedua orang tuanya, "Sialan kamu berdua." Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Ala telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abu Zaidah, dari Ismail ibnu Abu Khalid, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnul Madini yang mengatakan bahwa sesungguhnya ia berada di dalam masjid saat Marwan berkhotbah.
Marwan antara lain mengatakan, "Sesungguhnya Allah ﷻ telah memperlihatkan kepada Amirul Muminin perihal Yazid sebagai orang yang baik. Dan jika ia (Mu'awiyah) mengangkatnya menjadi kalifah, maka sesungguhnya Abu Bakar pun pernah mengangkat Umar sebagai khalifah penggantinya." Maka Abdur Rahman ibnu Abu Bakar r.a. berkata, "Apakah itu cara Heraklius (kerajaan)? Sesungguhnya Abu Bakar r.a. tidak menyerahkan kekhalifahan itu pada seseorang dari kalangan anak-anaknya dan tidak pula kepada seorang ahli baitnya. Lain halnya dengan Mu'awiyah, dia tidak sekali-kali menyerahkan kekhalifahan kepada anaknya (Yazid) melainkan karena kasihan dan memuliakan anaknya." Marwan menjawab, "Bukankah engkau adalah orang yang telah mengatakan kepada kedua ibu bapakmu, 'Cis bagi kamu keduanya'?" Abdur Rahman r.a. menjawab, "Bukankah engkau pun adalah anak seorang yang terlaknat karena orang tuamu pernah melaknat Rasulullah ﷺ?" Abdullah ibnul Madini melanjutkan kisahnya, bahwa perdebatan itu terdengar oleh Siti Aisyah r.a., maka ia mengatakan, "Hai Marwan, bukankah kamu pernah mengatakan anu dan anu terhadap Abdur Rahman ra Tuduhanmu itu tidak benar, ayat tersebut tidak diturunkan berkenaan dengan dia (Abdur Rahman ibnu Abu Bakar), melainkan diturunkan berkenaan dengan si Fulan bin Fulan." Kemudian Marwan dipilih sebagai khalifah (pengganti Yazid), lalu ia turun dari mimbar dan langsung menuju ke pintu rumah Siti Aisyah r.a., kemudian berbicara dengan Siti Aisyah r.a. dan sesudahnya ia pergi.
Imam Bukhari telah meriwayatkan atsar ini melalui sanad dan lafaz yang lain. Untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, dan Abu Bisyr dari Yusuf ibnu Mahik yang menceritakan bahwa Marwan di saat menjadi amir atas kawasan Hijaz dari pihak Mu'awiyah ibnu Abu Sufyan ra pernah berkhotbah, lalu mempromosikan Yazid ibnu Mu'awiyah, dengan maksud agar Yazid dibaiat menjadi khalifah sesudah ayahnya (setelah Mu'awiyah).
Maka Abdur Rahman ibnu Abu Bakar r.a. mengucapkan sesuatu dan mengatakan, "Tangkaplah dia!' Tetapi Marwan masuk ke dalam rumah Siti Aisyah r.a., berlindung di dalamnya sehingga mereka tidak mampu menangkapnya. Lalu Marwan berkata bahwa sesungguhnya orang ini (yakni Abdur Rahman ibnu Abu Bakar) adalah yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam firman-Nya: Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya, "Cis bagi kamu keduanya, apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan, padahal sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumku?" (Al-Ahqaf: 17) Maka Siti Aisyah r.a. menjawab dari balik tabir, "Allah ﷻ tidak pernah menurunkan sesuatu dari Al-Qur'an sehubungan dengan keluarga kami, selain dari wahyu yang diturunkan Allah mengenai pembersihan namaku." Jalur lain. Imam Nasai mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Umayyah ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Muhammad ibnu Ziad yang mengatakan bahwa ketika Mu'awiyah membaiat putranya, Marwan berkata, "Ini adalah sunnah Abu Bakar dan Umar." Maka Abdur Rahman ibnu Abu Bakar r.a. menjawab, "Ini adalah kebiasaan Heraklius dan Kaisar." Marwan berkata, "Orang ini (maksudnya Abdur Rahman ibnu Abu Bakar) lah yang disebutkan oleh Allah ﷻ di dalam firman-Nya: Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya, 'Cis bagi kamu keduanya' (Al-Ahqaf: 17), hingga akhir ayat." Ketika hal ini terdengar oleh Siti Aisyah r.a., maka ia menjawab, "Marwan dusta, demi Allah, orang yang dimaksud bukanlah dia (Abdur Rahman), seandainya aku berkemauan untuk menyebut nama orang yang dimaksudkan dalam ayat tersebut, tentulah aku dapat menyebutkan namanya.
Akan tetapi, yang jelas Rasulullah ﷺ telah melaknat ayahnya Marwan dan Marwan yang masih berada di dalam sulbinya. Maka Marwan adalah orang yang tercela karena laknat Allah." Firman Allah ﷻ: apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dikeluarkan. (Al-Ahqaf: 17) Yakni akan dibangkitkan dari kubur. padahal sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumku? (Al-Ahqaf: 17) Artinya, telah banyak manusia yang telah mati dan ternyata tiada seorang pun dari mereka yang kembali. Lalu kedua ibu bapaknya itu memohon pertolongan kepada Allah. (Al-Ahqaf: 17) Yaitu memohon pertolongan kepada Allah agar anaknya diberi petunjuk, lalu berkata kepada anaknya: "Celaka kamu, berimanlah! Sesungguhnya janji Allah adalah benar.
Lalu dia berkata, "Ini tidak lain hanyalah dongengan-dongengan orang-orang dahulu. (Al-Ahqaf: 17) Adapun firman Allah ﷻ: Mereka itulah orang-orang yang telah pasti ketetapan (azab) atas mereka bersama-sama umat-umat yang telah berlalu sebelum mereka dari jin dan manusia. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang merugi. (Al-Ahqaf: 18) Yakni termasuk ke dalam golongan orang-orang yang serupa dengan mereka dari kalangan orang-orang kafir yang merugikan dirinya sendiri dan keluarga mereka kelak di hari kiamat.
Firman Allah ﷻ, "Ula-ika" sesudah firman-Nya, uWal lazi qala," merupakan dalil yang menunjukkan seperti apa yang telah kami kemukakan di atas, yaitu bahwa ini merupakan isim jinis yang pengertiannya mencakup semua orang yang demikian keadaannya. Menurut Al-Hasan dan Qatadah, yang dimaksud adalah orang kafir, pendurhaka lagi menyakiti kedua orang tuanya, dan mendustakan adanya hari berbangkit.
Al-Hafiz ibnu Asakir mengatakan sehubungan dengan biografi Sahl ibnu Daud melalui jalur Hammam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Khalid Az-Zabarqan Al-Ulaimi, dari Salim ibnu Habib, dari Abu Umamah Al-Bahili r.a., dari Nabi ﷺ yang telah bersabda: Ada empat macam orang yang dilaknat oleh Allah dari atas Arasy-Nya dan diamini oleh para malaikat, yaitu orang yang menyesatkan orang-orang miskin. Khalid mengatakan bahwa yang dimaksud adalah orang yang melambaikan tangannya kepada orang miskin seraya berkata, "Kemarilah kamu, aku akan memberimu." Dan ketika orang miskin itu datang kepadanya, ia mengatakan, "Aku tidak mempunyai sesuatu yang akan kuberikan kepadamu." Orang yang kedua ialah seseorang yang mengatakan kepada seorang tukang, "Bekerjalah," padahal ia tidak memiliki sesuatu pun (untuk membayarnya).
Dan orang-orang yang ditanyai oleh seorang lelaki tentang rumah suatu kaum, lalu mereka menunjukkan kepadanya rumah yang lain. Dan seseorang yang memukuli kedua orang tuanya hingga keduanya meminta tolong. Hadis ini garib sekali. Firman Allah ﷻ: Dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan. (Al-Ahqaf: 19) Yakni masing-masing dari mereka mendapat azab sesuai dengan amal perbuatannya. dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka, sedangkan mereka tidak dirugikan. (Al-Ahqaf:19) Mereka tidak dianiaya barang seberat zarrah pun atau yang lebih kecil dari padanya.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa derajat atau tingkatan di neraka mengarah ke bawah, sedangkan derajat di surga mengarah ke atas. Firman Allah ﷻ: Dan (ingatlah) hari (ketika) orang-orang kafir dihadapkan ke neraka (kepada mereka dikatakan), "Kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya. (Al-Ahqaf: 20) Dikatakan hal tersebut kepada mereka sebagai kecaman dan cemoohan. Dan sesungguhnya Amirul Muminin Umar ibnul Khattab r.a. menjauhkan dirinya dari kebanyakan makanan dan minuman yang enak-enak dan tidak mau menyantapnya. Dan ia mengatakan bahwa sesungguhnya ia merasa takut bila dirinya seperti orang-orang yang dicela dan dikecam oleh Allah ﷻ melalui firman-Nya: Kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya. (Al-Ahqaf: 20) Abu Mijlaz mengatakan, bahwa sesungguhnya benar-benar banyak kaum yang kehilangan kebaikan-kebaikan yang mereka miliki semasa di dunia, lalu dikatakan kepada mereka: Kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan duniawimu (saja). (Al-Ahqaf: 20) Firman Allah ﷻ: maka pada hari ini kamu dibalasi dengan azab yang menghinakan karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi tanpa hak dan karena kamu telah fasik. (Al-Ahqaf: 20) Maka mereka dibalasi dengan pembalasan yang sejenis dengan amal perbuatan mereka.
Maka sebagaimana mereka menyenangkan diri mereka sendiri dan bersikap sombong terhadap perkara yang hak tidak mau mengikutinya, dan mereka gemar mengerjakan perbuatan-perbuatan yang fasik dan durhaka, maka Allah ﷻ membalas mereka dengan azab yang menghinakan. Yaitu kehinaan, kerendahan, azab yang sangat menyakitkan lagi sangat pedih, dan penyesalan yang terus-menerus serta tempat tinggal di dasar neraka yang mengerikan. Semoga Allah melindungi kita dari semua siksaan itu."
Setelah dijelaskan tentang dua kelompok manusia pada ayat-ayat di atas kini Allah menjelaskan tentang keadilan Allah dalam memberikan balasan kepada mereka, Dan setiap orang dari kedua kelompok manusia sebagaimana yang disebutkan itu memperoleh tingkatan yakni peringkat yang berbeda-beda baik di surga maupun di neraka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan di dunia dan peringkat itu disempurnakan agar Allah mencukupkan balasan amal perbuatan mereka dan mereka tidak dirugikan dengan mengurangi ganjaran atau menambah siksaan. 20. Selanjutnya kepada setiap manusia diingatkan apa yang akan terjadi di hari kemudian. Dan ingatlah apa yang akan dihadapi pada hari kemudian yaitu pada hari ketika orang-orang kafir dihadapkan ke neraka sehingga mereka menyaksikan kobaran api neraka dan merasakan panasnya, ketika itu dikatakan kepada mereka 'Kamu telah menghabiskan rezeki yang baik untuk kehidupan duniamu dan kamu telah bersenang-senang menikmatinya; maka pada hari ini kamu dibalas dengan azab yang menghinakan karena kamu telah berlaku sombong di muka bumi tanpa alasan yang benar, mengindahkan kebenaran, dan karena kamu terus menerus melakukan kefasikan dan berbuat durhaka kepada Allah. '.
Allah menerangkan bahwa manusia dan jin mempunyai martabat tertentu di sisi-Nya pada hari Kiamat, sesuai dengan perbuatan dan amal yang telah mereka kerjakan semasa hidup di dunia. Golongan yang beriman dan beramal saleh terbagi dalam beberapa martabat yang berbeda-beda tingginya, sedangkan golongan yang kafir kepada Allah juga terbagi dalam beberapa martabat yang berbeda-beda rendahnya. Perbedaan tinggi atau rendahnya martabat disebabkan karena adanya perbedaan iman dan amal seseorang, di samping ada pula perbedaan kekafiran dan kedurhakaan. Dengan perkataan lain, Allah menentukan martabat yang berbeda itu karena perbedaan amal manusia dan jin itu sendiri. Ada di antara mereka yang teguh iman dan banyak amalnya, sedangkan yang lain lemah dan sedikit. Demikian pula tentang kekafiran, ada orang yang sangat kafir kepada Allah dan ada yang kurang kekafiran dan keingkarannya. Orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling takwa kepada-Nya.
Allah menyediakan martabat-martabat yang berbeda untuk membuktikan keadilan-Nya kepada makhluk-Nya, dan agar dapat memberi balasan yang sempurna kepada setiap jin dan manusia itu. Perbuatan takwa diberi balasan sesuai dengan tingkat ketakwaannya, dan perbuatan kafir dibalas pula sesuai dengan tingkat kekafirannya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
MENGHORMATI AYAH BUNDA
Ayat 15
“Dan Kami wasiatkan kepada manusia supaya dengan kedua ibu bapaknya hendaklah berbuat baik."
Inilah wasiat atau perintah utama kepada manusia, sesudah perintah-perintah percaya kepada Allah sebagai dasar kehidupan. Dengan percaya kepada Allah, kalau manusia hendak menegakkan budi baik dalam dunia ini maka perintah kedua sesudah perintah berbakti kepada Allah ialah perintah menghormati kedua orang tua, ayah bunda, ibu-bapak. Sebab pertalian darah, pertalian keturunan, terutama ayah dan bunda itu adalah tabiat murni manusia. Bahkan tabiat murni binatang pun. Si ayah dan si ibu menumpahkan kasih sayangnya, cintanya yang murni dan tidak mengharapkan balasan dari putra yang lahir dari hubungan mereka. Keinginan beroleh putra adalah jadi idaman dari setiap perempuan yang sehat caranya berpikir. Dalam ayat ini ditegaskan bahwasanya seorang anak hendaklah berbuat kebajikan kepada kedua orang tuanya. Manusia yang sehat mempunyai perasaan yang halus, mempunyai perasaan kasih, sayang, dan cinta."Telah mengandung akan dia ibunya dengan susah payah dan telah melahirkannya dengan susah payah."
Ini diperingatkan oleh Allah terlebih dahulu kepada insan berbudi: diperingatkan kepadanya kesusahpayahan ibu mengandung dan kesusahpayahan ibu melahirkan! Semua kita melihat sendiri kesusahan itu. Seorang ibu menderita karena mengandung, karena melahirkan, namun kesusahpayahannya menambah erat cintanya.
Bahkan bukan sedikit seorang ibu yang subur, melahirkan tahun ini menyusukan tahun depan, melahirkan tahun yang satu lagi dan menyusukan pula sesudah itu, sehingga tahun ini beranak tahun depan menyusukan. Kian lama anak kian banyak, namun badan kian lama kian lemah dan kasih kepada anak tidak berkurang.
Kerap kali orang mengambil perumpamaan burung pelikan, yang menghisap darahnya sendiri buat minuman anaknya dan sehabis darahnya itu dia pun mati dan anaknya hidup, namun dia tidak menyesal. Kita melihat banyak ibu yang demikian. Saya sendiri mengalami istri saya, ibu dari anak-anak saya, sepuluh banyaknya anak yang hidup, tujuh laki-laki dan tiga perempuan, dua yang meninggal dan dua kali keguguran sehingga jumlahnya menjadi empat belas orang anak semuanya. Akhirnya berhenti sendiri dan tidak beranak lagi tetapi badannya sudah sangat lemah dan berbagai penyakit tidak terderitakan lagi. Beliau wafat dalam usia lima puluh tujuh tahun.
Sebab itu manusia pun ada yang bernasib sebagai burung pelikan, mendermabaktikan darahnya, tenaganya, dan nyawanya buat anak-anaknya, sesudah itu dia pun mati.
Maka banyak sekalilah wasiat Allah, perintah wajib dari Allah agar manusia menghormati, berbuat kebajikan, berkhidmat kepada dua orang ibu bapaknya. Dan tidaklah kita bertemu di dalam Al-Qur'an atau di dalam hadits yang memerintahkan supaya seorang ayah atau seorang ibu memelihara putranya dengan baik. Sebab, memelihara putra dengan baik walaupun tidak diperintahkan, akan pasti dikerjakan orang karena didorong oleh kasih, didorong oleh sayang. Kadang-kadang makanan yang telah ada dalam mulutnya dicabutnya kembali karena diminta oleh anaknya, biar si ibu lapar. Bahkan diberi ingat oleh Allah agar kasih kepada anak, buah hati pengarang jantung dibatasi hendaknya. Karena kasih yang demikian bisa jadi fitnah. Dan memang Allah memerintahkan putra menghormati dan berbuat baik kepada ibu bapak, sebab banyaklah anak yang telah lupa kepada ibunya dan bapaknya bila dia merasa telah dewasa. Kalau dipandang dari segi yang lain, anak tidak sempat membalas jasa kebaikan ibu dan bapak sebab dia pun akan menumpahkan kasih dan sayang pula kepada anaknya sendiri. Sebab itu, seorang putra tidaklah dapat membalas budi ayah bundanya sebagaimana ayah bundanya memelihara dia waktu kecilnya. Semuanya akan ditumpahkannya pula kepada putranya sendiri di belakang hari setelah dia berumah tangga pula.
Islam menjadikan rumah tangga sebagai asa atau sendi pertama dari berdirinya suatu bangsa ataupun suatu agama. Pergaulan dengan ibu dan bapak di waktu kecil itulah yang dinamai dalam ilmu pendidikan dengan lingkungan pertama atau yang disebut dalam bahasa Arab “al-baratul ulaa", sebelum manusia memasuki dua lingkungan lagi yaitu lingkungan kawan bersekolah dan lingkungan sepermainan. Maka lingkungan pertamalah, ibu dan bapak yang meninggalkan kesan yang dalam sekali pada jiwa anak. Asuhan di waktu anak masih kecil itulah yang sangat penting menentukan hidup di hari dewasa kelak. Didikan yang diterima, permainan, pergaulan di masa kecil, tergambar dan tidak akan terlupakan selama-lamanya. Itulah sebabnya amat besar perhatian harus ditumpahkan oleh masyarakat kepada anak yang kematian ayah yang bernama yatim atau kematian ibu yang bernama piatu di waktu anak itu masih kecil masih mengharapkan asuhan, lalu menjadi anjuran besar pula agar orang yang mampu memerhatikan asuhan atas anak yatim itu. Asuhan dalam rumah tangga. Maka ahli-ahli pendidik banyak yang tidak menyetujui membuatkan asrama anak yatim. Karena dengan asrama itu anak yatim tidak akan merasakan kasih yang mendalam. Mereka berpendapat lebih baik suatu rumah tangga yang tidak dianugerahi Allah anak, supaya dia memelihara anak yatim dalam rumahnya, bukan anak yatim yang diantarkan ke dalam asrama. Sebab asuhan di waktu kecil itulah bibit pertama yang akan menumbuhkan rumah tangga bahagia dan dari rumah tangga-rumah tangga inilah kelak akan tersusun masyarakat.
Dalam ayat yang tengah kita tafsirkan ini, ditonjolkan pengorbanan ibu. Pengorbanan yang benar-benar pengorbanan, yang tidak dapat dibalas dan tidak dapat dibayar walaupun dengan uang berjuta. Allah Mahakuasa sajalah. Allah yang bersifat rahman dan rahim yang mencurahkan sifat rahman dan rahimnya pula dalam hati seorang ibu sehingga,"Telah mengandung akan dia ibunya dengan susah payah dan telah melahirkannya dengari susah payah dan mengandungnya dan menceraikannya selama tiga puluh bulan."
Telur yang kecil di dalam sperma (mani) itu melekat dalam rahim si ibu. Ditakdirkan Allah tidak akan tanggal lagi sampai waktu dia lahir. Dan selama dia melekat dalam rahim itu, dia akan menghisap makanan yang masuk ke dalam rahim itu sehingga sejak dia melekat dia telah mengisap darah ibunya untuk makanan pokoknya. Tambah sehari si janin tambah mem
besar, berendam dalam darah ibu dan menghisap makanan ibu. Sehingga sejak mulai mengandung telah terasa oleh si ibu bagaimana anak itu menghisap, sehingga si ibu sendiri menjadi lemah, menjadi berubah selera. Si ibu makan, minum, menelan, dan mencerna dan semua yang dimakan, diminum, dan dicerna itu disaring untuk dijadikan makanan oleh si janin. Terutama bila si janin telah mulai tumbuh tulang setelah melalui masa menjadi nuthfah (air segumpal), ‘alaqah (darah segumpal) sampai kepada jadi mudhghah (daging segumpal) dalam masa empat bulan sepuluh hari. Kemudian tumbuhlah tulangnya dan tulang yang telah mulai tumbuh ini pun lebih banyak lagi meminta bahan makan, sehingga tenaga ibunya benar-benar diambilnya, sehingga si ibu jadi lemah. Malam-malam si ibu dengan bangga membukakan perutnya dan memperlihatkan kepada suaminya bahwa anak yang dalam kandungan mulai “nakal", mulai keras gerak-geriknya. Begitu dia payah, namun dia tersenyum. Dia payah, tetapi dia tersenyum. Payah mengandung, tersenyum mengingat bahwa tidak lama lagi dia akan memangku!
Maka datanglah bulannya, sekitar sembilan bulan dan mulailah terasa si anak akan lahir. Si anak akan memandang dunia nan luas dan si ibu menceringir dan merintih kesakitan, namun senyum tidak juga hilang dari bibirnya. Di saat itulah si ayah gelisah, dada berdebar, duduk tidak senang, berjalan keluar dan ke dalam, ke hilir dan ke mudik sambil setiap sejenak melihat jam menunggu berita dari dokter atau bidan sambil berdoa, sambil berseru dalam batin: selamatlah kiranya istriku melahirkan anakku. Maka dari jauh kedengaranlah anak menangis! Tandanya dia sudah lahir. Tidak berapa lama dukun atau bidan pun keluar dengan muka berseri menyatakan bahwa si buyung atau si upik sudah lahir dengan selamat. Si ayah terharu, air matanya berlinang. Dia kejar istrinya, dilihatnya anaknya sudah tidur di samping istri dan si istri masih saja tersenyum walaupun dia baru saja terlepas dari suatu kepayahan besar. Si ayah mulailah surut rasa harunya lalu diciumnya kening atau pipi istrinya dan si istri pun mendambakan dirinya membiarkan diciumnya pula si anak yang tadi mulai merasakan hangat dinginnya dunia, mulai terlancar dari perut ibunya menangis keras. Sekarang dia tidur nyenyak sekali dan dia pun menerima cium ayahnya. Lalu dokter mempersoalkan dia keluar.
Sesudah itu akan mulailah kepayahan yang baru, yaitu kepayahan mengasuh anak. Kepayahan mendengarkan tangisnya, kepayahan mencuci kotorannya, kepayahan memandikannya, kepayahan atas kepayahan, namun hatinya tetap senang. Kira-kira dua bulan sesudah dia dilahirkan barulah dia mulai memberikan obat penawar atau obat jerih bagi kepayahan ibu itu. Dia mulai tersenyum.
Apabila anak sebesar itu sudah tersenyum, mulailah terkabang warna keikhlasan dalam alam dunia ini. Ikhlas sejati akan bertemu di dalam senyumnya anak kecil. Senyum yang sebenar senyum. Senyum yang tidak disertai apa-apa. Karena apabila telah dewasa kelak, senyum itu akan bertukar. Tidak ada lagi senyum yang tulus. Segala senyum adalah laksana pantun orang Maninjau: berpadi masak, batang kapas bertimbal jalan. Hati risau dibawa gelak, bagai panas mengandung hujan. Senyum saya, senyum tuan, dan senyum siapa saja adalah senyum sejenak karena menyeruak hati yang susah. Suatu senyum bisa terhenti kalau orang teringat kembali akan kesusahannya, akan urusannya, dan utang piutangnya. Anak kecil baru lahir belum ada itu semuanya, sebab itu senyumnya asli.
Menyusukan dan membesarkan: seluruh daging dan seluruh kekuatan tulang diberikan yang menjelma dalam air susu. Hari dan jiwa terpadu dalam pemeliharaan: semua diberikan dan semua dikorbankan dengan segala senang hati dan dengan segenap kegembiraan. Tak pernah bosan. Tak pernah berici dan tak pernah mengeluh: ‘Anak kandung lekaslah gadang!"
Dan apakah yang dapat diberikan oleh seorang anak sebagai balasan? Seperti ucapan terima kasih?
Pada suatu hari, berthawaflah Rasulullah ﷺ di sekeliling Ka'bah. Tengah berthawaf itu dilihatnya bersama dengan dia seorang laki-laki yang gempal badannya sedang mendukung ibunya yang telah tua mengerjakan thawaf. Setelah selesai thawaf, dia pun pergi ke makam Ibrahim dan terus menggendong ibunya itu. Diturunkannya ibunya dari dalam gendongannya lalu mereka pun shalat sunnah thawaf bersama Rasulullah ﷺ Lalu bertanya Rasulullah ﷺ kepada orang itu,"Puaskah engkau melakukan tugasmu menggendong ibumu mengerjakan ibadah ini?"
Laki-laki itu segera menjawab, “Belum! Belum terbalas jasanya walaupun buat sekali saja meneguk air susunya!" (HR Hafizh al-Bazzar, dengan sanadnya dari hadits Buraidah yang diterima dari ayahnya.)
Secara kebiasaan, sampai tiga puluh bulan sejak dari sembilan bulan mengandung barulah anak itu lepas dari gendongan dan ingatan ibunya. Terlambat saja dia pulang dari jamnya yang tertentu, si ibu tidak bersenang hati lagi. Kalau ada anak yang lebih besar, disuruhlah dia mencari di mana adiknya bermain, mengapa dia terlambat pulang jatuhkah dia, terberiamkah dia masuk sungai, diganggu orangkah dia? Dan si ibu belum hendak makan sebelum si anak hadir di hadapannya."Sehingga setelah dia mencapai dewasanya dan mencapai empat puluh tahun, berkatalah dia, ‘Tuhanku! Berilah peluang aku supaya aku bersyukur atas nikmat Engkau, yang telah Engkau nikmatkan ke atasku.'" Di dalam ayat inilah dijelaskan bahwa setelah manusia berumur empat puluh tahun, barulah mantap tumbuhnya kedewasaan. Barulah manusia mensyukuri nikmat kehidupan yang telah dianugerahkan Allah kepadanya. Karena memang setelah umur sampai empat puluh tahun, pada umumnya manusia baru mencapai kematangan dan kemantapan sebagai insan. Kalau umur belum mencapai empat puluh tahun, biasanya masihlah manusia mau benar sendiri dan menang sendiri. Bila telah usia empat puluh tahun mulailah dia menginsafi akan orang lain yang ada di kelilingnya dan mulai dia menginsafi bahwa dia tidaklah mungkin hidup sendiri dalam dunia ini dan mulailah berkurang dorongan (puber) hawa nafsu. Tepat apa yang dikatakan oleh al-Hajjaj bin Abdullah al-Hakami salah seorang pangeran terkemuka dari Bani Umaiyah. Beliau berkata,"Empat puluh tahun peringkat usia pertama aku meninggalkan berbuat dosa karena malu terhadap manusia. Tetapi setelah lepas empat puluh tahun ke atas, aku telah meninggalkan berbuat dosa karena malu kepada Allah!"
Apabila Allah mengaruniakan kepada kita usia panjang, lebih dari empat puluh tahun bahkan mencapai tujuh puluh tahun, terasalah mendalam kebenaran ucapan Abdullah al-Hakimi ini pada diri kita.
“Dan ke atas kedua ibu bapakku," aku syukuri nikmat Engkau, ya Allah, terhadap diriku sendiri dan juga nikmat yang telah Engkau limpahkan kepada kedua orang ibu bapakku. Sebab apabila anak telah berusia empat puluh tahun, mulailah dia merasakan apa yang pernah dirasakan oleh ibu bapaknya, penderitaan, pengorbanan, kasih sayang, kesukaran atau kemudahan hidup ketika membesarkan anaknya. Oleh sebab itu, bertambah dewasa orang, bertambah pulalah keinsafan dan kasih sayang kepada kedua orang ibu bapak.
Alhamdulillah, Allah memberikan agak cepat keinsafan kasih ibu bapak itu kepadaku. Aku di waktu kecil terhitung anak nakal, berigal, kurang patuh kepada ayahku, sehingga aku dikatakan orang anak yang sukar diberituk. Perjalanan mengerjakan haji yang pertama adalah kekerasan hatiku sendiri, yang maksud semula hendak menunjukkan kepada ayahku bahwa aku ini tidaklah seburuk yang beliau sangka. Setelah aku pulang (1928), aku beliau carikan tunangan. Bapak kecilku Haji Yusuf Amrullah (meninggal 11 Ramadhan 1393 dalam usia 85 tahun) berkata kepadaku,"Terimalah jika engkau dipertunangkan oleh ayahmu, untuk mengobat hati beliau. Sebab perginya engkau ke Mekah dengan kehendakmu sendiri, tidak dengan perbelanjaannya sangat melukai hati beliau!" Lalu aku jawab,"Baiklah!" Dan setahun di belakang itu (5 April 1929) dalam usiaku baru 21 tahun syamsiyah, aku telah kawin. Maka dalam usia 23 tahun, dua tahun setelah kawin aku diberi karunia anak pertama dan aku beri nama Hisyam. Dia dilahirkan di kampung halamanku di Sungaibatang Maninjau, dalam diri masih miskin dan masih banyak bantuan orang tua. Di akhir tahun itu juga aku berangkat ke Makasar jadi mubaligh Islam atas prakarsa Perserikatan Muhammadiyah. Maka sejak waktu itulah berangsur Allah menumbuhkan dalam hatiku rasa khidmat kepada orang tua. Mulailah aku memberikan hadiah ala kadarnya kepada ibuku. Setelah ibuku mulai merasakan kasih sayang anaknya ini maka pada tahun 1934 beliau pun berpulang ke rahmatullah, usiaku ketika itu baru 26 tahun. Maka pada tahun 1936 dalam usiaku 28 tahun barulah aku memulai pula menunjukkan hormat dan rasa cinta kepada ayahku. Dan mana pun aku kembali dari perjalanan, selalulah teringat membawakan beliau hadiah ala kadarnya. Kadang-kadang sarung, kadang-kadang songkok, kadang-kadang tongkat! Semuanya beliau sambut dengan gembira. Dan berangsur pula tumbuh dalam hatinya rasa bangga, bahkan titik air matanya lantaran terharu melihat perkembanganku dalam masyarakat. Tetapi dalam mulai tumbuhnya kasih mesra kami, kebanggaan beliau mempunyai anak yang beliau sebutkan"si Malik" atau menurut orang lain dengan ditambah"si", yaitu"si Hamka", di bulan Januari 1941 dia ditangkap Belanda dan diasingkan ke Sukabumi. Barulah aku sempat menemui beliau setelah aku datang melihatnya di Jakarta di zaman Jepang pada tahun 1943. Usiaku ketika itu telah 34 tahun!
Waktu telah bertemu dengan beliau itu, lebih mendalamlah pengaruh ayat 15 daripada surah al-Ahqaaf ini ke dalam jiwaku sendiri bilamana selesai shalat lima waktu. Beliau sendiri pun membaca doa memakai ayat ini ketika kami akan berpisah, setelah datang waktunya (April 1943) saya akan kembali ke Medan. Setelah itu, kami tidak bertemu lagi. Pada bulan Juni tahun 1945, dua bulan sebelum Indonesia merdeka, beliau pun telah mengembuskan napas yang penghabisan. Baru pada 19 Disember 1949 saya dapat ziarah ke kuburan beliau di Karet Tanah Abang.
Doa itu masih diteruskan dalam ayat selanjutnya,"Dan supaya aku berbuat amal saleh yang Engkau ridhai." Maka setelah mensyukuri karena kita dilahirkan ke dunia oleh dua orang ibu bapak yang baik-baik dan kita muliakan dan kita wajib berbuat baik kepada beliau dengan berkhidmat kepadanya di kala hidupnya dan mendoakannya setelah keduanya meninggal maka di sambungan ayat ini, kita pun berdoa kepada Allah agar diri kita sendiri dapatlah kiranya menyambung kebajikan beliau-beliau itu. Kalau ayah seorang yang berjasa, diberi Allah kiranya kita sebagai putra melanjutkan jasa itu supaya kita beramal yang saleh yang diridhai Allah. Selanjutnya kita teruskan doa dan harapan,"Dan perbaikilah bagiku pada keturunanku." Janganlah kiranya terhenti sejarah kebajikan dalam hidup kami sehingga aku saja, malahan terus turun-temurun menjadi sejarah dan menjadi kebanggaan.
Dalam perjalanan hidup yang berbelit-belit ini, mendaki dan menurun, pasang naik dan turun, tertawa dan menangis, pernah jaya dan pernah gagal, namun aku tidak hendak berhenti di tengah jalan, mengakulah aku terus terang bahwa tidaklah aku sunyi daripada khilaf dan alpa. Ada kebenaran dan ada bersalah, namun Engkau ya Ilahi tidaklah pernah aku lupakan."Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau," atas kesalahan yang terlanjur aku membuatnya karena kelemahanku, karena kebebalanku, na
mun aku selalu berusaha hendak jadi orang baik.
“Dan walaupun bagaimana, namun aku adalah seorang Muslim."
Pada ayat selanjutnya Allah memberikan pengharapan. Alangkah sedihnya hidup kalau tidak diberi pengharapan! Allah berfirman selanjutnya.
Ayat 16
“Itulah orang-orang yang Kami kabulkan dari mereka yang amat baik dari apa yang mereka kerjakan."
Dalam ayat ini Allah menunjukkan bahwa Dia adalah Mahabesar. Dia berkata bahwa perAllahonan yang tulus ikhlas itu dikabulkan berkat amalan baik yang pernah mereka kerjakan. Banyak hamba-Nya itu beramal, ada yang baik atau yang hampir baik tetapi ada lagi yang sangat baik dan lebih baik. Demi yang lebih baik itu, perAllahonannya akan ampunan dikabulkan.
“Dan Kami lampaui dari kesalahan-kesalahan mereka." Artinya, kalau ada kesalahan maka kesalahan itu Kami"lampaui" saja, tidak Kami ambil menjadi tuntutan yang berat karena bilamana dibandingkan kesalahan itu dengan jasa-jasa dan amalan baik dan yang mulia yang mereka amalkan, menjadi kecillah kesalahan itu. Sebab itu dilampaui saja! Karena jaranglah di atas dunia ini manusia yang akan terlepas sama sekali daripada kesalahan dan kealpaan. Kesalahan itu menjadi kecil jika dibandingkan dengan jasa dan usaha baik yang mereka kerjakan. Di sini terdapat lagi kepentingan amalan yang dikerjakan oleh manusia di samping pengakuannya, sebagaimana tersebut di ujung ayat 14 di atas tadi. Dijelaskan lagi selanjutnya bahwa mereka"termasuk yang menempati surga."
Dengan ayat ini diberilah manusia pengharapan atau raja' yang tegas dan tidak berliku-liku. Yaitu hiduplah dan beramallah dan tujulah yang baik. Mungkin ada kesalahan dan kealpaan berkecil-kecil yang itu akan dilampaui saja oleh Allah. Karena kesalahan yang kecil itu sudah dilampaui saja, dipandang tidak ada saja atau tidak dibuka bukunya dibandingkan dengan amalan dan usaha besar yang telah diperjuangkannya dengan segenap tenaganya di kala hidupnya.
Maka apabila ditinjau dan direnungkan dari ayat 15 di atas, jelaslah bagaimana manusia meneruskan warisan budi dari orang tuanya, menerima pusaka dari laku yang baik. Anak menerima dari ayah dan meneruskan lagi kepada anak cucunya. Disuruh orang berbuat baik, melakukan jasa kepada kedua orang ibu bapaknya sehingga ibu bapak itu merasa bahagia karena anak-anaknya meneruskan pusaka orang tuanya. Karena pusaka emas, perak, dan harta berida bisa saja habis dan musnah karena peredaran masa. Namun waris pusaka yang hakiki ialah pendirian hidup, aqidah dan agama. Itulah yang mesti dipelihara dan dipupuk. Anak mensyukuri apa yang diterimanya dari kedua orang tuanya dan berharap lagi kepada Allah semoga anak-anak yang akan menggantikannya kelak meneruskan pula.
“Janji yang benar yang mereka telah dijanjikan."
Jika mereka benar dalam tujuan, benar dalam amalan, dan segala usahanya hanya tertuju kepada Alah dan karena Alah, dikerjakannya dengan penuh ikhlas serta hati yang tulus, tidak disyarikatkannya dengan selain daripada Allah maka janji Allah tetap akan berlaku.
Kemudian itu, Allah menerangkan pula kemungkinan lain, yang bisa saja terjadi.
Ayat 17
“Dan ada yang berkata kepada kedua orang ibu bapaknya, ‘Akh, kamu keduanya!'"
Dalam kata-kata demikian ternyata si anak menghinakan kepada kedua orang ibu bapaknya. Biasa juga dikatakan orang dalam susunan bahasa yang lain,"Cis, bagi kamu keduanya!" Kita artikan"akh!" atau"cis!" se-bagai arti dari kata bahasa Arab:"ujfin!" Yaitu kata mengejek, memandang rendah dan menghina kepada orang tua yang di dalam ayat 23 surah al-Israa' Allah berfirman,
“Dan janganlah berkata kepada keduanya,
Atau janganlah berkata kepada keduanya,"Akh!" menunjukkan bosan, merendahkan, memandang ayah bunda di bawah derajat dari anak."Apakah kamu keduanya menjanjikan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan? Padahal telah berlalu beberapa angkatan sebelum aku?" Dan tahun ke tahun dikatakan bahwa manusia sesudah matinya akan dibangkitkan kembali bahwa kelak hari akan Kiamat, bahwa manusia akan dibangkitkan lagi sesudah matinya. Turun-temurun mendengar kata-kata demikian dari nabi-nabi, dari orang tua-orang tua. Semuanya itu cakap kosong, tidak ada bukti. Sudah turun-temurun sejak zaman purbakala ada saja perkataan demikian, namun belum seorang juga manusia yang telah mati hidup kembali. Kami tidak percaya lagi kata-kata kolot dan bodoh seperti demikian. Sudah berlalu berapa angkatan sebelum aku semuanya menyebut itu, padahal satu pun belum ada yang terbukti. Kalau sudah mati, hancurlah badan dalam kubur dan tinggallah tulang-belulang!
Maka sedihlah hati kedua orang tua, ayah dan bunda yang sangat besar harapan mereka bahwa anaknya akan meneruskan aqidah dan kepercayaan yang mereka pegang turun-temurun."Dan kedua orang tua itu pun meAllahon pertolongan kepada Allah," karena sangat sedih hatinya mendengarkan perkataan putranya yang telah sangat sesat itu, lalu mereka berkata dengan sedihnya,"Malang engkau, Nak! Percayatah, sesungguhnya janji Allah itu adalah benar!" Dengan kata demikian si ayah dan bunda telah menyatakan iman mereka yang mendalam dan kasih sayang kepada anak, walaupun anak itu telah sesat tidaklah berkurang sedikit jua, hanya kasihanlah yang tumbuh. Namun si anak, karena kufurnya telah pula menjawab seruan orang tuanya.
“Maka berkatalah dia, ‘Tidak lain ini hanyalah dongeng-dongeng purbakala belaka.'"
Lalu Allah berfirman menjelaskan peristiwa itu.
Ayat 18
“Itulah orang-orang yang pasti berlaku atas mereka perkataan pada umat-umat yang telah berlalu sebelum mereka."
Artinya, bahwasanya hal yang demikian bukanlah berlaku di waktu itu saja seperti tersebut dalam ayat. Bahkan sebelum mereka sudah ada juga orang-orang durhaka seperti demikian, bahkan ayah dan bundanya pun dilecehkannya, dianggapnya bodoh sebab memegang kepercayaan demikian. Dikatakannya kepercayaan begitu tidak masuk akal, itu hanya dongeng yang tidak dapat dipegang. Masakan orang yang telah mati akan hidup kembali."Dari jin dan manusia," artinya bukan dalam kalangan manusia yang berani berkata begitu, membantah dan menghinakan kepercayaan akan hari kemudian, hari berbangkit, hidup sesudah inati kelak, bahkan jin pun ada yang berkata begitu kepada sesamanya bangsa jin. Maka di ujung ayat ditegaskan oleh Allah nasib orang-orang yang berpendirian begitu,
“Sesungguhnya mereka itu adalah merugi semua"
Kemudian sekali lagi datanglah ayat lebih
menjelaskan lagi tentang pengaruh amai bagi kehidupan manusia buat zaman kini dan zaman depan.
Ayat 19
“Dan bagi masing-masing mereka ada tingkatan dari sebab apa yang telah mereka amalkan"
Ayat ini menjelaskan bahwa bagi tiap-tiap orang adalah amal itu yang menentukan tingkat hidup dalam masyarakat. Amalan yang baik tidak akan ada kelengahan, bahkan selalu ada penghargaan atas nilai amalan yang telah mereka kerjakan. Terutama di sisi Allah dan di sisi orang yang berakal dan berbudi.
"Supaya dipenuhi-Nya untuk mereka bekas amalan-amalan itu." Maka dengan karunia dari Allah orang yang lebih banyak amalannya yang baik, berfaedah bagi dirinya dan bagi masyarakatnya dan lebih banyak yang baik itu daripada yang jahat, sesudah melalui pertimbangan yang saksama maka dengan karunia Allah menerimalah dia pahala dan rahmat yang berlipat ganda. Adapun yang bersalah, setelah dilakukan pula pemeriksaan dan pertimbangan yang teliti, ternyata pula bahwa kejahatannya lebih banyak maka dihukumlah dia. Kalau dia dihukum bukanlah karena Allah Ta'aala itu kejam, melainkan karena Allah Ta'aala itu adil. Kasih sayang Allah yang tidak disertai keadilan Allah adalah menurunkan derajat Allah itu sendiri. Dan itu adalah mustahil. Di ujung ayat dijelaskan lagi untuk menghilangkan segala keraguan.
“Dan mereka tidaklah akan teraniaya."
Mustahil bahwa Allah akan menganiaya. Karena aniaya adalah sifat kekurangan. Sifat dendam dari orang yang ambisi hendak mempertahankan kekuasaan sehingga orang yang tidak bersalah dia hukum juga demi mempertahankan kedudukan atau prestise.
Ayat 20
“Dan di hati yang akan dipertontonkan orang-orang yang tidak mau percaya itu ke neraka."
Sebelum masuk ke dalam neraka itu, lebih dahulu diperlihatkan kepada mereka bagaimana berituknya, bagaimana rupanya, dan bagaimana hebat dahsyatnya tempat yang pasti akan mereka masuki itu. Lalu diterangkan apa sebab mereka mesti dimasukkan ke sana. Allah berkata selanjutnya kepada mereka tatkala mereka telah berdiri melihat dahsyatnya nyala api neraka."Kamu telah menghabiskan kebaikan kamu semasa hidup kamu di dunia." Kamu telah mengatakan sendiri"semasa di dunia ambil kesempatan karena mati belum tentu bila datangnya." Lalu kamu berfoya-foya menurutkan hawa nafsu yang tidak berbatas. Padahal nafsumu dan keinginanmu saja yang tidak berbatas. Tenagamu berbatas, kekuatanmu berbatas, dan waktumu pun berbatas! Kamu lupa itu." Dan kamu telah bersenang-senang dengan dia" Senang yang kamu cari padahal penyakit yang kamu dapati. Penyakit jasmani atau ruhari, kegelisahan, penyesalan, kacau balau dalam rumah tangga."Namun pada hari ini, kamu akan dibalasi dengan adzab siksaan yang hina dari sebab kamu telah menyombong di bumi tidak dengan kebenaran." Kesombongan memang tidak dengan kebenaran. Karena, kesombongan adalah kedustaan pada perbuatan. Karena dusta itu bukanlah mengatakan yang lurus jadi bengkok menurut mulut saja! Kesombongan termasuk dalam sikap hidup. Apabila seseorang hidup mewah berlebih-lebihan, nyatalah dia telah berdusta, sebab uang yang dipakainya itu bukanlah kepunyaannya sendiri. Apabila orang berlaku berigis dan zalim karena dia berpangkat tinggi, itu adalah kedustaan karena dia tidak mengakui kata hatinya sendiri bahwa pangkat yang dijabatnya itu dahulu tidak ada dan satu waktu akan ditinggalkannya. Maka selain dari kesombongan ada lagi yang lain.
“Dan dari sebab kamu telah berbuat kejahatan."
Dan semua adalah perlakuan atas keadilan Allah.