Ayat
Terjemahan Per Kata
وَقَالَ
dan berkata
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
كَفَرُواْ
kafir/ingkar
لِلَّذِينَ
kepada orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
لَوۡ
jika ia
كَانَ
adalah
خَيۡرٗا
baik
مَّا
tidak
سَبَقُونَآ
mereka mendahului kami
إِلَيۡهِۚ
kepadanya
وَإِذۡ
dan karena
لَمۡ
tidak
يَهۡتَدُواْ
mereka mendapat petunjuk
بِهِۦ
dengannya
فَسَيَقُولُونَ
maka mereka akan mengatakan
هَٰذَآ
ini
إِفۡكٞ
kedustaan
قَدِيمٞ
lama
وَقَالَ
dan berkata
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
كَفَرُواْ
kafir/ingkar
لِلَّذِينَ
kepada orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
لَوۡ
jika ia
كَانَ
adalah
خَيۡرٗا
baik
مَّا
tidak
سَبَقُونَآ
mereka mendahului kami
إِلَيۡهِۚ
kepadanya
وَإِذۡ
dan karena
لَمۡ
tidak
يَهۡتَدُواْ
mereka mendapat petunjuk
بِهِۦ
dengannya
فَسَيَقُولُونَ
maka mereka akan mengatakan
هَٰذَآ
ini
إِفۡكٞ
kedustaan
قَدِيمٞ
lama
Terjemahan
Orang-orang yang kufur berkata tentang orang-orang yang beriman, “Sekiranya Al-Qur’an itu adalah sesuatu yang baik, tentu mereka tidak pantas mendahului kami (beriman) kepadanya.” (Akan tetapi,) karena tidak mendapat petunjuk dengannya, mereka akan berkata, “Ini adalah kedustaan lama (yang disampaikan kembali).”
Tafsir
(Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman) sehubungan dengan perihal orang-orang yang beriman, ("Kalau sekiranya beriman) kepada Al-Qur'an itu (adalah suatu yang baik, tentulah mereka tiada mendahului kami beriman kepadanya. Dan karena mereka tidak mendapat petunjuk) yaitu orang-orang yang mengatakan demikian (dengannya) tidak mendapat petunjuk dari Al-Qur'an (maka mereka akan berkata, 'Ini) Al-Qur'an ini (adalah dusta) maksudnya, kebohongan (yang lama.'").
Tafsir Surat Al-Ahqaf: 10-14
Katakanlah, "Terangkanlah kepadaku, bagaimanakah pendapatmu jika Al-Qur'an itu datang dari sisi Allah, padahal kamu mengingkarinya dan seorang saksi dari Bani Israil mengakui (kebenaran) yang serupa dengan (yang disebut dalam) Al-Qur'an, lalu dia beriman, sedangkan kamu menyombongkan diri Sesungguhnya Allah tiada memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.. Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman, "Kalau sekiranya dia (Al-Qur'an) adalah suatu yang baik, tentulah mereka tiada mendahului kami (beriman) kepadanya. Dan karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya, maka mereka akan berkata, "Ini adalah dusta yang lama.
Dan sebelum Al-Qur'an itu telah ada kitab Musa sebagai petunjuk dan rahmat. Dan ini (Al-Qur'an) adalah kitab yang membenarkannya dalam bahasa Arab untuk memberi peringatan kepada orang-orang yang zalim dan memberi kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, "Tuhan kami ialah Allah kemudian mereka tetap istigamah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya-sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.
Allah ﷻ berfirman: Katakanlah. (Al-Ahqaf: 10) hai Muhammad, kepada orang-orang musyrik yang mengingkari Al-Qur'an. Terangkanlah kepadaku, bagaimanakah pendapatmu jika Al-Qur'an ini datang dari sisi Allah, padahal kamu mengingkarinya. (Al-Ahqaf: 10) Yakin menurut dugaan kalian apakah yang akan dilakukan Allah terhadap diri kalian jika memang Al-Kitab yang aku datangkan kepada kalian ini benar-benar telah diturunkan oleh-Nya kepadaku agar aku menyampaikannya kepada kalian, padahal kalian mengingkari dan mendustakannya. dan seorang saksi dari Bani Israil mengakui (kebenaran) yang serupa dengan (yang disebut dalam) Al-Qur'an. (Al-Ahqaf: 10) Yaitu aitu kitab-kitab yang diturunkan kepada para nabi sebelumku telah membenarkan dan mengakui keabsahan dari Al-Qur'an Kitab-kitab terdahulu itu telah memberitakan tentangnya, sebagaimana yang diberitakan oleh Al-Qur'an ini.
Firman Allah ﷻ: lalu dia beriman. (Al-Ahqaf: 10) Maksudnya, orang dari kalangan Bani Israil yang menyaksikan kebenaran Al-Qur'an ini karena dia mengetahui hakikat dan Al-Qur'an. sedangkan kamu menyombongkan diri. (Al-Ahqaf: 10) Yakni kamu dan para pengikutmu bersikap angkuh terhadapnya. Masruq mengatakan bahwa lalu berimanlah orang yang menjadi saksi ini kepada nabi dan kitab-Nya, sedangkan kalian kafir kepada nabi kalian dan juga kepada kitab kalian. Sesungguhnya Allah tiada memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (Al-Ahqaf: 10) Kata asy-syahid ini adalah isim jinsi yang pengertiannya bersifat menyeluruh mencakup Abdullah ibnu Salam dan lain-lainnya yang beriman.
Ayat ini adalah Makkiyyah, diturunkan sebelum masuk Islamnya Abdullah ibnu Salam r.a. Dan pengertiannya sama dengan firman Allah ﷻ: Dan apabila dibacakan (Al-Qur'an itu) kepada mereka, mereka berkata "Kami beriman kepadanya; sesungguhnya Al-Qur'an itu adalah suatu kebenaran dari Tuhan kami, sesungguhnya kami sebelumnya adalah orang-orang yang membenarkan (nya)." (Al-Qashash: 53) Dan firman Allah ﷻ: Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila dibacakan Al-Qur'an kepada mereka mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud dan mereka berkata, "Mahasuci Tuhan kami; sesungguhnya janji tuhan kami pasti dipenuhi. (Al-Isra: 107-108) Masruq dan Asy-Sya'bi mengatakan bahwa orang yang dimaksud bukanlah Abdullah ibnu Salam karena ayat ini Makkiyah, sedangkan masuk Islamnya Abdullah ibnu Salam r.a. adalah di Madinah.
Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkan atsar ini dari keduanya, dan Ibnu Jarir memilih pendapat ini. Malik telah meriwayatkan dari Abun Nadr, dari Amir ibnu Sa'd dari ayahnya yang mengatakan, "Aku belum pernah mendengar Rasulullah ﷺ berkata kepada seseorang yang berjalan di muka bumi bahwa sesungguhnya dia termasuk ahli surga kecuali kepada Abdullah ibnu Salam r.a. Sa'd mengatakan bahwa berkenaan dengan Abdullah ibnu Salam diturunkan ayat berikut, yaitu firman-Nya: dan seorang saksi dari Bani Israil mengakui (kebenaran) yang serupa dengan (yang disebut dalam) Al-Qur'an. (Al-Ahqaf: 10) Imam Bukhari dan Imam Muslim serta Imam Nasai telah meriwayatkannya melalui, hadis Malik dengan sanad yang sama.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Ibnu Abbas r.a., Mujahid, Ad-Dahhak, Qatadah Ikrimah Yusuf ibnu Abdullah ibnu Salam, Hilak ibnu Yusaf, As-Saddi As-Sauri' Malik ibnu Anas, dan Ibnu Zaid; mereka semuanya mengatakan bahwa sesungguhnya yang dimaksud dalam ayat adalah Abdullah ibnu Salam. Firman Allah ﷻ: Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman, "Kalau sekiranya dia (Al-Qur'an) adalah suatu yang baik, tentulah mereka tiada mendahului kami (beriman) kepadanya. (Al-Ahqaf: 11) Yakni mereka mengatakan tentang orang-orang yang beriman kepada Al-Qur'an bahwa sekiranya Al-Qur'an itu baik, tentulah mereka tidak akan mendahului kami dalam beriman kepadanya.
Yang mereka maksudkan adalah Bilal, Ammar, Suhaib, dan Khabbab serta orang-orang mukmin lainnya yang serupa dengan mereka dari kalangan orang-orang mukmin yang lemah dan masih menjadi budak. Tidaklah mereka berpendapat demikian, melainkan mereka mempunyai keyakinan bahwa diri mereka mempunyai kedudukan di mata Allah dan diperhatikan oleh-Nya. Mereka berpandangan keliru dalam hal ini dan jelas parah kekeliruannya, karena disebutkan oleh Allah ﷻ dalam firman-Nya: Dan demikianlah telah Kami uji sebagian mereka (orang-orang yang kaya) dengan sebagian lain (orang-orang miskin), supaya (orang-orang yang kaya itu) berkata, "Orang-orang semacam inikah di antara kita yang diberi anugerah oleh Allah kepada mereka?" (Al-An'am: 53) Yakni mereka merasa heran mengapa orang-orang seperti itu mendapat petunjuk, sedangkan diri mereka tidak.
Karena itulah disebutkan oleh firman berikutnya: Kalau sekiranya dia (Al-Qur'an) adalah suatu yang baik, tentulah mereka tiada mendahului kami (beriman) kepadanya. (Al-Ahqaf: 11) Adapun golongan ahli sunnah wal jamaah mengatakan tentang semua perbuatan dan ucapan yang tidak terbukti bersumber dari para sahabat berarti hal itu adalah bid'ah. Karena sesungguhnya seandainya hal itu baik, tentulah mereka mendahului kita beriman kepadanya, karena sesungguhnya tiada suatu perkara kebaikan pun yang mereka biarkan melainkan mereka (para sahabat) bersegera mengerjakannya Firman Allah ﷻ: Dan Karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya, maka mereka akan berkata, 'Ini adalah dusta yang lama." (Al-Ahqaf.
11) Yakni apa yang terkandung di dalam Al-Qur'an itu adalah dusta yang lama. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa Al-Qur'an itu dikutip dan orang-orang dahulu. Mereka mendiskreditkan Al-Qur'an dan orang-orang yang beriman kepadanya. Hal inilah yang dinamakan sifat takabur yang disebutkan oleh Rasulullah ﷺ melalui sabdanya yang mengatakan: Menentang perkara yang hak (benar) dan meremehkan orang. kemudian disebutkan dalam firman berikutnya: Dan sebelum Al-Qur'an itu telah ada kitab Musa. (Al-Ahqaf: 12) Yakni kitab Taurat. sebagai petunjuk dan rahmat. Dan ini (Al-Qur'an) adalah kitab yang membenarkannya. (Al-Ahqaf: 12) Maksudnya, membenarkan kitab-kitab yang telah mendahuluinya.
dalam bahasa Arab. (Al-Ahqaf: 12) Yakni bahasa yang fasih, terang, dan jelas. untuk memberi peringatan kepada orang-orang yang zalim dan memberi kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. (Al-Ahqaf: 12) Al-Qur'an itu mengandung peringatan buat orang-orang kafir dan berita gembira buat orang-orang mukmin. Firman Allah ﷻ: Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan Tuhan kami ialah Allah," kemudian mereka tetap istiqamah. (Al-Anqaf: 13) Tafsir ayat ini telah dikemukakan dalam tafsir surat Ha Mim Sajdah.
Firman Allah ﷻ: maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka. (Al-Ahqaf: 13) dalam menghadapi masa depan mereka. dan mereka tiada (pula) berduka cita. (Al-Ahqaf: 13) terhadap masa lalu mereka. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. (Al-Ahqaf: 14) Yakm amal-amal perbuatan yang dahulu telah mereka kerjakan yang menyebabkan mereka memperoleh rahmat Allah yang terlimpahkan kepada mereka. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui."
Orang-orang kafir tetap menolak beriman kepada Al-Qur'an walaupun bukti-bukti kebenaran Al-Qur'an telah jelas dinyatakan kepada mereka. Kini mereka mengolok-olok Al-Qur'an dengan mengatakan bahwa Al-Qur'an itu tidak lain adalah dongengan orang-orang terdahulu. Dan orang-orang yang kafir kepada Allah dan Rasul-Nya berkata kepada orang-orang yang beriman, 'Sekiranya keimanan kepada Al-Qur'an itu sesuatu yang baik, lebih baik dari tradisi yang kami dapati dari nenek moyang kami tentu mereka orang-orang yang beriman yang miskin dan rendah kedudukan sosialnya tidak pantas mendahului kami, orang-orang yang kaya lagi tinggi kedudukan sosialnya beriman kepadanya, yakni kepada Al-Qur'an. ' Tetapi disebabkan oleh karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya maka mereka akan berkata, Ini adalah dusta yang lama. ' Mereka mengingkari Al-Qur'an dan mengatakan bahwa apa yang tertulis di dalamnya hanyalah dongeng masa lalu yang berisi kebohongan. 12. Untuk menunjukkan kebenaran Al-Qur'an, Allah menyatakan pada ayat ini bukti yang lain yaitu diturunkannya kitab Taurat kepada Nabi Musa. Tidak lain Al-Qur'an itu diturunkan untuk membenarkan dan menyempurnakan kandungan kitab Taurat dan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya. Dan sebelum turunnya Al-Qur'an telah ada Kitab Musa, yaitu Kitab Taurat, sebagai imam, yakni petunjuk atau teladan dan rahmat bagi orang-orang Bani Isra'il yang beriman. Dan Al-Qur'an ini, adalah Kitab yang membenarkan kandungannya, yang tersusun dalam dalam bahasa Arab untuk memberi peringatan kepada orang-orang yang zalim yang berbuat aniaya kepada dirinya dengan menyekutukan Tuhan dan memberi kabar gembira kepada orang-orang yang senantiasa berbuat baik bahwa mereka akan masuk surga dan kekal di dalamnya selama-lamanya.
Ayat ini menerangkan bahwa perkataan orang-orang musyrik Mekah tentang Al-Qur'an dan orang-orang yang beriman tidak benar. Perkataan itu mereka ucapkan karena beberapa orang yang mereka anggap miskin, bodoh, dan rendah derajatnya seperti 'Ammar, Suhaib, Ibnu Mas'ud, Bilal, Khabbab, dan lain-lain telah masuk Islam. Menurut mereka, sesuatu yang benar dan datang dari Tuhan itu harus diakui kebenarannya oleh para bangsawan, orang kaya, orang terpandang dan para pembesar. Itulah ukuran kebenaran menurut mereka. Apabila kebenaran itu hanya diakui oleh orang-orang yang rendah derajatnya, miskin, dan rakyat jelata saja, maka kebenaran itu palsu.
Perkataan orang-orang musyrik Mekah itu ialah, "Sekiranya Al-Qur'an yang diturunkan kepada Muhammad ﷺ mengandung kebajikan, tentulah kita orang-orang terpandang, bangsawan, dan orang-orang terkemuka ini lebih dahulu beriman kepadanya karena lebih mengetahui dan lebih dahulu mengerjakan kebaikan daripada orang-orang yang rendah derajatnya itu. Sekarang, merekalah yang lebih dahulu beriman daripada kita. Hal ini dapat kita jadikan bukti bahwa Al-Qur'an itu tidak ada nilainya dan tidak mengandung kebajikan sedikit pun."
Qatadah berkata, "Orang-orang musyrik menyatakan, kami lebih perkasa. Kalau ada suatu kebaikan, tentulah kami yang lebih mengetahuinya. Karena kami yang lebih mengetahui, tentulah kami yang menentukannya. Tidak seorang pun yang dapat mendahului kami dalam hal ini. Sehubungan dengan perkataan mereka itu, turunlah ayat ini."
Menurut satu riwayat, ketika kabilah-kabilah Juhainah, Muzainah, Aslam, dan Gifar memeluk agama Islam, Banu 'Amir, Bani Gatafan, dan Banu Asad berkata, "Seandainya agama Islam itu suatu kebenaran, tentulah kita tidak didahului oleh penggembala-penggembala hewan itu."
Karena orang-orang musyrik itu telah terkunci hati, pendengaran, dan penglihatannya oleh kedengkian dan hawa nafsu, maka mereka tidak dapat lagi mengambil petunjuk Al-Qur'an, dan menuduh bahwa Al-Qur'an itu adalah kabar bohong, dongeng orang dahulu, sihir, diada-adakan oleh Muhammad, dan tidak ada artinya sama sekali. Tuduhan orang-orang musyrik itu diterangkan pula dalam firman Allah:
Dan orang-orang kafir berkata,"(Al-Qur'an) ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan oleh dia (Muhammad), dibantu oleh orang- orang lain," Sungguh, mereka telah berbuat zalim dan dusta yang besar. Dan mereka berkata, "(Itu hanya) dongeng-dongeng orang-orang terdahulu, yang diminta agar dituliskan, lalu dibacakanlah dongeng itu kepadanya setiap pagi dan petang." (al-Furqan/25: 4-5)
Menurut ajaran Islam, beriman dan bertakwanya seseorang tidak berhubungan dengan status orang itu apakah ia kaya atau miskin, bangsawan atau budak, penguasa atau rakyat jelata, dan berilmu atau tidak berilmu. Setiap orang, apa pun jenis bangsa, warna kulit, dan tingkatannya dalam masyarakat dapat menjadi seorang muslim yang beriman dan bertakwa karena pokok iman dan takwa itu adalah kebersihan hati, keinginan mencari kebenaran yang hakiki, dan kemampuan mengendalikan hawa nafsu. Dalam sebuah hadis disebutkan:
Ketahuilah bahwa dalam tubuh manusia itu ada segumpal darah. Apabila baik, baik pula seluruh tubuh, dan apabila rusak, rusak pulalah seluruh tubuh. Ketahuilah bahwa segumpal darah itu adalah hati. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari an-Nu'man bin Basyir).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 9
“Katakanlah! Bukanlah aku ini membawa yang batu demi rasul-rasul itu."
Maksudnya ialah bahwa Nabi Muhammad, ﷺ disuruh Allah menjelaskan bahwasanya seruan atau dakwah yang beliau bawa, bukanlah perkara baru yang diada-adakan saja. Bahwasanya segala rasul yang diutus oleh Allah kepada manusia, samalah isi seruan mereka, yaitu mengajak manusia agar memercayai akan adanya satu Tuhan, yaitu Allah, yang tidak bersekutu dengan yang lain di dalam menciptakan alam ini. Seruan semuanya adalah sama, yaitu menyeru manusia supaya memegang kepercayaan tauhid. Inilah tujuan kedatangan dan perutusan dari segala utusan atau rasul yang diutus Allah ke atas dunia ini, sejak dari Nuh sampai kepada nabi-nabi yang sesudahnya, itu pun kalau hendak kita katakan bahwa Adam belum mempunyai umat, sebab manusia di kala hidup beliau belum banyak. Berbagai ragam rintangan yang diderita oleh rasul-rasul itu karena memberi ingat manusia bahwa Allah itu tiada bersekutu dengan yang lain, Esa Allah dalam kebesaran-Nya. Esa Allah dalam Penciptaan-Nya. Esa Allah dalam kekuasaan-Nya. Selanjutnya beliau bersabda dengan perintah Allah,"Dan tidaklah aku ketahui apa yang akan diperbuat dengan aku dan tidak pula dengan kami." Dengan kata-kata yang sedikit ini telah ditanamkan keinsafan kepada Nabi Muhammad ﷺ bahwasanya orang-orangyang berjuang menegakkan risalah yang ditugaskan oleh Allah ke atas pundaknya akan menemui berbagai kemungkinan suka dan duka, bahagia dan bahaya.
Maka mengertilah Nabi Muhammad ﷺ bahwa melakukan risalah besar ini adalah menghadapi bahaya nyata untuk kebahagiaan cita. Itulah sebabnya beliau berkata,"Tidaklah aku ketahui apa yang akan diperbuat dengan aku dan tidak pula dengan kamu." Hari depan masih panjang namun pekerjaan ini tidak boleh berhenti dan tidak boleh mundur. Berhenti artinya mati, mundur artinya hancur. Pernah beliau mengatakan, setelah diputuskan dalam Peperangan Uhud bahwa musuh bukan ditunggu dalam kota tetapi diserbu keluar lalu beliau lekatkan pakaian-pakaian peperangan dan pedang telah beliau sisipkan di pinggang padahal ada yang kemudian ragu lalu menurut saja kepada pendapat beliau yang pertama, yaitu musuh ditunggu saja (defensif) tak usah menyerang keluar padahal sudah diputuskan mesti menyerang. Beliau berkata,"Apabila seorang Nabi telah bersiap dengan pakaian perangnya, tidaklah pakaian itu akan ditanggalkannya sebelum Allah menentukan siapa di antara keduanya yang akan menang, dia atau musuhnya!"
Di ujung ayat beliau disuruh menjelaskan lagi disiplin yang beliau pegang teguh dalam perjuangan.
“Tidak ada yang aku ikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku dan tidak lain aku ini kecuali memberikan peringatan yang tegas."
“Tidak ada yang akan aku ikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku." Inilah penegasan yang penuh dengan rasa tanggung jawab dan disiplin. Bagaimanapun ribut orang hendak mengganggu hendak memasukkan usul, hendak mengeluarkan kritik, semuanya beliau tidak akan peduli, kecuali yang sesuai dengan wahyu. Dan lebih jelas lagi kekuatan disiplin yang timbul daripada kekuatan pribadi itu setelah beliau bersabda selanjutnya, ‘Dan tidak lain aku ini kecuali menyampaikan peringatan yang tegas." Di sini jelas sekali bahwa dalam me-nyampaikan prinsip atau dasar pendirian yang telah diterima dengan yakin dari Allah, Nabi Muhammad ﷺ tidak akan berganjak, tidak akan mundur walaupun selangkah. Ucapan yang diucapkan Rasul ini, dikuatkan dengan firman Ilahi dan tertulis di dalam Al-Qur'an jadi bimbingan bagi tiap-tiap orang yang berjuang dalam prinsip Al-Qur'an. Kita pun dapat melihat bagaimana Rasulullah ﷺ bermasam muka dan berpaling wajah ke tempat lain karena beliau berhadapan dengan orang buta, yaitu Ibnu Ummi Maktum,karena mengharap beberapa orang terkemuka dari kaum Quraisy akan dapat ditarik ke dalam Islam. Namun yang beliau terima dari Allah adalah kritik sangat halus,"Bermuka masam, berpaling saja karena yang datang yang buta hanya." (surah ‘Abasa, ayat 1 dan 2)
Dari hal ayat yang tersebut tadi,"Tidaklah aku ketahui apa yang akan diperbuat dengan aku dan tidak pula dengan kamu," seperti yang tersebut tadi, dijelaskanlah oleh Abu Bakar al-Hudzali suatu riwayat penafsiran yang beliau terima daripada al-Imam Hasan al-Bishri bahwa maksud ayat itu jelas sekali ialah tentang hasil perjuangan Nabi selama berjuang di permukaan bumi ini, selama masih hidup dalam dunia ini."Tidaklah aku tahu apa yang akan terjadi pada diriku dan juga apa yang akan terjadi pada diri kamu, apakah aku akan diusir dari kampung halaman, sebagaimana nabi-nabi yang dahulu telah pernah menderitanya? Atau apakah aku akan dibunuh orang sebagaimana nabi-nabi sebelumku ada pula yang dibunuh? Apakah kamu akan ditimbuni orang dengan tanah atau dilempari dengan batu? Semuanya itu adalah pahit getir perjuangan di dunia ini selama hayat masih dikandung badan. Adapun di akhirat, kalah atau menang, berhasil atau gagal, satu hal adalah sudah pasti: yaitu bahwa Muhammad sebagai utusan Allah dan orang-orang yang mengikuti dengan setia akan ajarannya pastilah masuk ke dalam surga yang mulia" Demikian tafsiran dari Hasan al-Bishri menurut riwayat yang disampaikan oleh Abu Bakar al-Hudzali.
Selanjutnya berfirman Allah,
Ayat 10
“Katakanlah! Adakah kamu perhatikan jika memang dia itu dari sisi Allah."
Yaitu jika memang sebenarnya Al-Qur'an itu diwahyukan dari sisi Allah dan memang Muhammad itu Rasulullah ﷺ"Sedangkan kamu menyangkalnya." Kamu tidak mau percaya akan kebenaran berita itu. Kamu katakan sebagaimana tersebut dalam ayat 7 tadi. Kamu katakan sihir yang nyata."Padahal telah memberikan kesaksian Bani Israil atas yang seumpamanya." Dan Muhammad pun telah menjelaskan sebagaimana tersebut pada ayat 9 di atas tadi bahwa risalah yang dibawanya ini bukanlah baru. Dia hanyalah menyambung usaha yang telah dirintis oieh rasul-rasul yang dahulu. Maka rasul-rasul yang dahulu itu pun telah membawa ajaran ini pula dan Bani Israil telah beriman dengan dia, telah percaya kepadanya."Dan mereka telah beriman sedang kamu menyombongkan diri." Berapa banyaknya nabi-nabi dan rasul-rasul yang diutus Allah dan berapa pula banyaknya nabi-nabi dan rasul-rasul dari Bani Israil itu: sejak dari Musa dan Harun, Sulaiman dan Dawud. Zakariya dan Yahya, semuanya pada umumnya diterima oieh kaumnya Bani Israil dan banyak lagi nabi-nabi yang lain! Mengapa kamu, hai kaum Quraisy hendak bersikap sombong dan menuduh Nabi dari kaummu sendiri, Muhammad ﷺ, sebagai tukang sihir yang nyata? Akhirnya Allah memberikan ketegasan,
“Sesungguhnya Allah tidaklah akan memberikan petunjuk kepada kaum yang zalim."
Teranglah bahwa ayat ini suatu penyesalan pula dari Allah kepada kaum Quraisy yang berkeras kepala menolak nubuwwah Nabi Muhammad. Tetapi ada setengah ahli tafsir mengatakan dan menjelaskan orang yang dimaksud dengan Bani Israil itu. Kata mereka orang yang dimaksud itu ialah Abdullah bin Salam. Tetapi Masruq dan asy-Sya'bi menolak pendapat itu. Kata mereka,"Bagaimana akan dikatakan bahwa yang dimaksud dengan Bani lsrail ialah Abdullah bin Salam padahal beliau memeluk Islam setelah Rasulullah ﷺ sampai di Madinah dalam hijrah beliau. Ketika beliau mulai datang dan beliau berpidato tentang hidup berdamai dan beribadah, Abdullah bin Salam turut mendengarkan. Dan setelah didengarnya, dia berkata dalam hatinya, ‘Orang semacam itu mustahil berdusta! Tidak macam ini orang yang akan berdusta. Lalu beliau mendekati Rasulullah di masa itu juga dan menyatakan dirinya percaya kepada Nabi ﷺ dan langsung menyatakan Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat." Kata Masruq dan asy-Sya'bi tidak mungkin orang itu Abdullah bin Salam, sebab ayat ini turun di Mekah tidak di Madinah. Surah al-Ahqaaf diturunkan di Mekah.
Tetapi yang mengatakan yang dimaksud ialah Abdullah bin Salam adalah orang-orang penting dan tidak boleh diabaikan pula. Di antaranya ialah Bukhari, Muslim, dan an-Nasa'i sendiri. Demikian juga yang dahulu dari itu, yaitu Ibnu Abbas (sahabat Nabi ﷺ), Mujahid, adh-Dhahhak, Qatadah, Ikrimah dan Yusuf anak dari Abdullah bin Salam sendiri, as-Suddi dan Imam Malik bin Anas. Tentu saja dapat kita pahamkan meskipun hal Abdullah bin Salam itu masuk Islam ialah sejenak setelah Nabi ﷺ hijrah ke Madinah, tidaklah hal yang ganjil kalau hal itu diketahui terlebih dahulu oleh Rasulullah ﷺ bahwasanya akan ada orang Bani lsrail yang masuk Islam dengan penuh kepercayaan dan keinsafan, sehingga menurut riwayat. Abdullah bin Salam itu termasuk orang yang disebut namanya oleh Nabi ﷺ akan masuk ke dalam surga.
Ayat 11
“Dan berkatalah orang-orang yang kafir itu kepada orang-orang yang telah beriman, ‘Kalau dia itu memang baik, tidaklah kamu akan mendahului kami kepadanya.'"
Ini pun suatu kesombongan lagi dari orang-orang terkemuka Quraisy pada masa itu. Mereka merasa bahwa mereka orang-orang terkemuka, orang penting, orang yang lebih mengerti dalam segala hal. Maka kalau ada ajaran Muhammad itu yang baik, bukan orang-orang bodoh, orang kecil yang terlebih dahulu harus menerimanya, melainkan kami orang-orang yang terkemuka, orang yang pembicaraannya didengar orang dan pertimbangannya diterima. Mereka menganggap diri sangat penting karena jasa-jasa zaman lampau karena dalam susunan masyarakat lama, merekalah yang dianggap menonjol. Mereka tidak mau mengerti bahwa zaman sudah berubah. Semangat baru sudah datang dan revolusi pikiran sedang tumbuh.
“Dan oleh karena mereka tidak mendapat petunjuk dengan dia maka akan berkatalah mereka, ‘Ini adalah kepalsuan yang telah usang.'"
Dengan sombong mereka mengatakan bahwa wahyu yang disampaikan oleh Muhammad ﷺ dan Muhammad menerimanya dari malaikat diterima dari Allah SWT, adalah kepalsuan, karangan, dongeng yang telah usang, telah bobrok. Mungkin sekali dengan berkata telah usang, bukan saja Muhammad yang mereka dustakan, bahkan seluruh wahyu yang disampaikan oleh nabi-nabi,
Ayat 12
“Dan daripada sebelumnya adalah kitab Musa, menjadi imam dan rahmat."
Disebut dalam ayat 12 ini kitab yang dahulu daripada Al-Qur'an, yaitu kitab yang diturunkan kepada Nabi Musa, berisi iman dan rahmat. Kepercayaan yang mantap kepada Allah dan rahmat untuk pergaulan hidup di dunia, cara mengatur yang memimpin kepada yang dipimpin. Namun oleh karena mereka telah mengatakan bahwa isi Al-Qur'an yang dibawa oleh Muhammad adalah kepalsuan yang telah usang, jelaslah bahwa seluruh kitab tidak mereka percayai, semuanya kepalsuan yang telah usang.".Dan yang ini," yaitu Al-Qur'an,"adalah kitab yang membenarkan," artinya bahwasanya pokok asli dari kitab Taurat yang diturunkan kepada Musa penuh ajaran iman dan berisi rahmat bahagia itu ialah membenarkan, tidak bersalahan, tidak berselisih dengan kitab yang penuh iman dan rahmat itu."Dalam lidah ‘Arabi," sebagai timbalan daripada kitab yang terdahulu dalam lidah Ibrani, keduanya adalah sama-sama rumpun bahasanya, yaitu bahasa keturunan Semit (Saam), keturunan Nuh. Isinya ialah “Untuk memberikan peringatan kepada orang-orang yang aniaya," yaitu peringatan yang keras, ancaman, sebab mereka tidak sudi berbuat baik dalam kehidupan yang menghendaki baik.
“Dan memberikan kabar gembira bagi yang sudi berbuat baik."
Selalulah isi kitab yang diturunkan oleh Allah itu berisi tarhib dan targhiib, perintah keras yang berisi ancaman dan berita suka cita yang memberikan harapan. Yang pertama menimbulkan takut, yang kedua menimbulkan harapan. Ketakutan menimbulkan keadaan hendak menjauhi perbuatan yang terlarang sedang kabar gembira menumbuhkan harapan. Bagaimana senang tampaknya berbuat suatu perbuatan yang salah, namun kesan ketakutan akan tumbuh dalam hati dan selalu menjadi suatu batin buat membantahnya, sehingga walaupun seseorang sudah terlanjur berbuat suatu perbuatan yang terlarang, yang tercela, dia selalu berusaha menyembunyikan dari mata orang banyak, jangan sampai ada orang yang tahu. Walaupun hukuman belum datang, namun dia terlebih dahulu telah menerima hukuman dengan rasa takut, cemburu dan merasa bersalah yang menyebabkan hidup jadi gersang. Sehingga kerap kali kejadian dengan tidak disangka-sangka seseorang yang telah banyak berbuat dosa dalam keadaan gembira tiba-tiba dia membunuh diri. Padahal, dengan membunuh diri penyelesaian belum terdapat, melainkan bertambah rumit dan sukar. Sebaliknya orang yang kehidupan sudah cenderung kepada berbuat baik, meskipun mengerjakan kebajikan itu pun menghadapi berbagai kesukaran pula, namun hatinya tidak pernah bimbang, sebab dia selalu dipenuhi oleh harapan. Kalau tidak dapat ganjaran yang baik di dunia ini, di akhirat pasti akan dapat ganjaran yang setimpal, bahkan lebih dan berlipat ganda.
Ada ayat yang jelas dari firman Allah,
“Bahkan manusia memandang apa yang ada pada dirinya." (al-Qiyaamah: 14)
Maka orang-orang yang hidupnya lebih banyak berbuat yang baik dan selalu berusaha menjauhi yang dilarang oleh .Allah, kuranglah rasa kecemasan dan ketakutannya. Ditimang-timangnya dirinya, dosa yang besar jaranglah dia mengerjakan, kelalaian tentu ada juga tetapi persangkaannya selalu baik terhadap Allah (husnuzh zhanni billahi). Orang yang demikian tidak ada rasa takut akan menemui keadaan. Bertambah dekat waktunya, bertambah mantap dia menghadapi kenyataan, itulah yang bernama an-nafsui muthmainnah. Orang yang begitulah yang dipenuhi oleh harapan atau raja'. Maka sebelum datang maut, sebelum datang alam kubur dan yaumal mahsyar, bahkan semasa lagi di atas dunia ini, haruslah dia melatih dirinya menebaikan rasa raja' itu dengan berbuat kebajikan banyak-banyak dengan tidak melupakan bahwa diri sendiri adalah manusia yang tidak khali daripada lalai, alfa, dan khilaf.
Maka bilamana kita renungkan segala ayat basyiran dan nadziiran, targhiib dan tarhiib tadi dapatlah kita ibaratkan kepada keadaan kita di dunia ini. Bilamana hakim menuntut ke pengadilan yang merasa ketakutan ialah orang yang merasa bersalah. Adapun orang yang merasa dirinya tidak bersalah, dia tetap mengharap bahwa tidak akan terhukum dengan teraniaya. Sedang terhadap hakim dunia yang di zaman kekacauan berpikir manusia ini sudah dapat dipermainkan, harapan orang yang tidak bersalah masih ada, dan masih sanggup naik banding, apatah lagi terhadap keadilan Allah, yang hukum-Nya tidak dapat dibanding lagi kebenarannya.
Ayat 13
“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, Tuhan kami adalah Allah," kemudian itu mereka pun teguh pada pendiriannya maka tidaklah ada ketakutan atasnya dan tidaklah mereka akan beriduka cita."
Mereka berkata,"Tuhan kami Allah!" Yang berkata itu adalah mulutnya, hatinya, seluruh gerak-geriknya, sepak terjangnya, walaupun lidahnya tidak terbuka, namun sikap hidupnya telah mengatakan.
“Tuhan kami Allah!" Terbukti dalam ibadahnya, dalam tujuan hidupnya, dalam pandangan hidupnya, dalam tempat dia mena-ruhkan harapan, dalam tempat dia merasakan takut, dalam dia menjelaskan tujuan hidup.
“Tuhan kami Allah!" Tidak ada tempat tunduk yang lain dan tidak ada rasa takut menghadapi yang lain.
“Tuhan kami Allah!" Maka segala kegiatan, segala aktivitas, segala jalan pikiran, segala pertimbangan, tertuju kepada Allah dan memandangnya dari segi keridhaan Allah.
“Tuhan kami Allah!" Maka yang berlaku ialah hukum-Nya, Yang Mahakuasa sejati."Hanya Allah," tidak ada undang-undang yang tahan uji, melainkan undang-undang syari'at-Nya dan tidak ada pimpinan melainkan pimpinan-Nya, tidak ada petunjuk selain petunjuk-Nya!
“Tuhan kami Allah!" Maka segala yang ada dan segala apa jua pun yang berhubung bersangkut paut dengan yang ada semuanya bergantung kepada-Nya.
“Tuhan kami Allah!" Terbukti dapat dilihat, dapat dirasakan dalam segala gerak walaupun mulut tidak bercakap walaupun kaki dan tangan terbelenggu.
“Kemudian mereka pun teguh pada pendiriannya atau istiqamah!" Teguh, tidak berganjak, pantang bergeser, tidak ragu, tidak waswas, tidak maju mundur oleh karena tarikan dari kiri dan kanan, dari muka belakang. Dia bukan menurut, melainkan diturutkan. Dia bukan menunggu tetapi memulai. Dia mengeluarkan sinar, bukan padam, bagaimanapun sukar rimba yang ditembus, padang pasir yang kering gersang, namun “Tuhan kami Allah" dan kami tetap dalam pendirian itu. Hujan pasti turun, tetapi hujan tidak akan terus. Panas mesti terik, tetapi awan lembab akan melindungi. Keadaan bisa berputar, berbalik, namun"Tuhan kami Allah" tidak akan berbalik. Maka “Tuhan kami Allah" menentukan corak hidup, menjadi sistem hidup. Bertambah didalami pahamnya, bertambah teguh uratnya."Maka tidaklah ada ketakutan atasnya dan tidaklah mereka akan berduka cita."
Bebas dari ketakutan adalah pedoman hidup paling tinggi. Dunia modern sehabis Perang Dunia II telah merumuskan tambahan dari ajaran demokrasi, sebuah lagi amat penting yaitu bebas dari rasa takut! Maka menurut ajaran dalam ayat ini, jaminan bagi kikis sirnanya rasa takut adalah iman kepada Allah karena takut hanya terhimpun kepadanya saja!
Ketika Jepang menduduki tanah Indonesia, terpaksalah orang-orang rukuk menyembah ke istana Kaisar Jepang di Tokyo, Orang takut tidak akan menyembah secara rukuk itu jika ada pertemuan resmi yang besar. Takut akan disiksa kejam oleh kempeitei Jepang, yaitu polisi perangnya yang kejam. Tetapi guru dan ayahku, Syekh Abdulkarim Amrullah tidak mau rukuk bahkan berdiri pun dia tidak!
Ketika saya sendiri menemui beliau dan bertanya kepada beliau,"Apakah Ayah tidak merasa takut akan disiksa oleh Jepang dengan kempetei-nya."
Beliau menjawab,"Yang aku takuti bukanlah disiksa dan dibunuh Jepang. Yang aku takuti ialah yang sesudah diriku mati dibunuh!"
Yang beliau takuti ialah jika datang pertanyaan daripada Malaikat Munkar dan Nakir, mengapa engkau menyembah kepada yang selain Allah, apa akan jawab Ayah?
Lalu saya tanya lagi,"Bukankah di dalam buku karangan ayahanda yang berjudul Iqazhun Niyaam (1914), Ayah telah menyatakan pendapat bahwa merundukkan kepala seperti tahiyat saja kepada seseorang yang patut dihormati, tidaklah haram menurut agama?" Beliau jawab,"Ini lain, anakku! Jika Ayah merundukkan kepala sedikit saja, orang banyak akan menyembah dan menjongkok dan dikatakan orang sedangkan Doktor Abdulkarim lagi berbuat, apatah lagi kita." Sekali lagi beliau berkata."Aku takut kepada Allah, wahai anak."
Maka seluruh rasa takut dan rasa duka cita beliau terhadap segala yang bernama takut tidak ada lagi, sama sekali. Takut dan duka cita beliau seluruhnya telah tertumpu kepada Allah yang telah disebutkan tadi,"Tuhan kami Allah!"
Ayat 14
“Itulah orang-orang yang akan mempunyai tempat di dalam sunga, kekal mereka di dalamnya."
Dijelaskan pada ujung ayat,
“Sebagai ganjaran dari apa yang telah mereka kerjakan."
Tegasnya mereka masuk surga karena apa yang mereka katakan telah mereka amalkan. Di sini tampak berapa tingkat yang tidak terpisah. Pertama mengatakan"Tuhan kami adalah Allah". Kedua, istaqaamu atau istiqamah yang berarti pendirian yang tetap dan teguh. Ketiga, pembuktian dari pendirian yang tidak pernah dapat diubah, tidak pernah dapat digeser. Keempat, menghasilkan tidak ada rasa takut dan tidak merasa sedih. Tidak takut akan ditimpa oleh bahaya, tidak duka cita kalau bahaya itu datang juga. Tidak takut akan apa yang akan
terjadi, tidak duka cita kalau bahaya itu datang juga. Dengan keempatnya ini baru datang jaminan Allah akan dimasukkan ke dalam surga yang mulia karena semua yang dikatakan itu dikerjakan, diamalkan.
Maka dapatlah disimpulkan bahwasanya pengakuan dengan mulut saja belumlah jadi jaminan akan melepaskan diri dengan selamat dari berbagai ancaman. Teratasi ancaman itu barulah dapat jaminan. Maka kalau kita lihat berjuta kaum Muslimin boleh dikatakan bahwa semuanya mengaku bertuhan kepada Allah, tetapi mereka tidak istiqamah. Semuanya mengaku bertuhan kepada Allah, tetapi mereka tidak bebas daripada rasa takut dan rasa duka cita karena pengakuan bertuhan kepada Allah itu hanya semata-mata ajaran permainan mulut,"menanam tebu di bibir", ragu-ragu, yang semuanya itu menghasilkan tidak hilang rasa takut dan tidak lepas daripada rasa duka cita, sedih hati, mengeluh, dan sebagainva. Mereka tidak mengamalkan apa yang mereka akui itu. Sebab itu mereka tidak masuk surga.