Ayat
Terjemahan Per Kata
وَقَالُواْ
dan mereka berkata
مَا
tidaklah
هِيَ
ini
إِلَّا
kecuali
حَيَاتُنَا
kehidupan kami
ٱلدُّنۡيَا
dunia
نَمُوتُ
kami mati
وَنَحۡيَا
dan kami hidup
وَمَا
dan tidak
يُهۡلِكُنَآ
membinasakan kami
إِلَّا
kecuali
ٱلدَّهۡرُۚ
masa
وَمَا
dan tidak
لَهُم
mereka mempunyai
بِذَٰلِكَ
tentang itu
مِنۡ
dari
عِلۡمٍۖ
pengetahuan
إِنۡ
tidaklah
هُمۡ
mereka
إِلَّا
kecuali
يَظُنُّونَ
mereka menduga-duga
وَقَالُواْ
dan mereka berkata
مَا
tidaklah
هِيَ
ini
إِلَّا
kecuali
حَيَاتُنَا
kehidupan kami
ٱلدُّنۡيَا
dunia
نَمُوتُ
kami mati
وَنَحۡيَا
dan kami hidup
وَمَا
dan tidak
يُهۡلِكُنَآ
membinasakan kami
إِلَّا
kecuali
ٱلدَّهۡرُۚ
masa
وَمَا
dan tidak
لَهُم
mereka mempunyai
بِذَٰلِكَ
tentang itu
مِنۡ
dari
عِلۡمٍۖ
pengetahuan
إِنۡ
tidaklah
هُمۡ
mereka
إِلَّا
kecuali
يَظُنُّونَ
mereka menduga-duga
Terjemahan
Mereka berkata, “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.” Padahal, mereka tidak mempunyai ilmu (sama sekali) tentang itu. Mereka hanyalah menduga-duga.
Tafsir
(Dan mereka berkata) yaitu orang-orang yang ingkar akan adanya hari berbangkit, ("Kehidupan ini) kehidupan yang sebenarnya (tiada lain hanyalah kehidupan kita) yang kita alami (di dunia saja, kita mati dan kita hidup) sebagian dari kita mati kemudian sebagian yang lain hidup karena mereka dilahirkan (dan tiada yang membinasakan kita selain masa") atau berlalunya masa. Lalu Allah berfirman menyangkal perkataan mereka melalui firman-Nya: (dan mereka tidak mempunyai mengenai hal itu) mengenai perkataan mereka yang demikian tadi (pengetahuan sedikit pun, tiada lain) tidak lain (mereka hanyalah menduga-duga saja.).
Tafsir Surat Al-Jathiyah: 24-26
Dan mereka berkata.Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa. dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja. Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang jelas, tidak ada bantahan mereka selain dari mengatakan, Datangkanlah nenek moyang kami jika kamu adalah orang-orang yang benar.Katakanlah, "Allah yang menghidupkan kamu.
kemudian mematikan kamu, setelah itu mengumpulkan kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan padanya; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Allah ﷻ menceritakan tentang perkataan aliran Dahriyyah dari kalangan orang-orang kafir dan orang-orang yang sependapat dengan mereka dari kalangan orang-orang musyrik Arab yang ingkar kepada hari kemudian. Dan mereka berkata, "kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup. (Al-Jatsiyah: 24) Yakni tiada kehidupan kecuali kehidupan di dunia ini; suatu kaum mati, sedangkan yang lainnya hidup; dan tiada hari kemudian serta tiada pula yang namanya hari kiamat.
Hal ini dikatakan oleh orang-orang musyrik Arab yang ingkar kepada hari berbangkit, dan dikatakan pula oleh sebagian para filosuf ateis; mereka mengingkari adanya permulaan kejadian dan hari kembali. Dan dikatakan pula oleh para filosuf aliran Dahriyyah yang ingkar kepada adanya pencipta, yang meyakini bahwa setiap tiga puluh enam ribu tahun segala sesuatu akan kembali seperti semula.
Dan mereka menduga bahwa hal ini telah terjadi berulang-ulang tanpa batas. Mereka membesarkan akal dan mendustakan dalil manqul, karena itulah mereka mengatakan seperti yang disitir oleh firman-Nya: dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa. (Al-Jatsiyah: 24) Adapun firman Allah ﷻ: dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja. (Al-Jatsiyah: 24) Mereka mengatakan demikian hanya semata-mata berdasarkan dugaan dan ilusi mereka sendiri.
Adapun mengenai sebuah hadis yang diketengahkan oleh pemilik kedua kitab sahih (Imam Bukhari dan Imam Muslim) serta Abu Daud dan Imam Nasai melalui Sufyan ibnu Uyaynah, dari Az-Zuhri, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Allah ﷻ telah berfirman, "Anak Adam menyakiti-Ku, dia mencaci masa, padahal Akulah (yang menciptakan) masa; di tangan kekuasaan-Ku urusan itu, Akulah Yang menggilirkan malam dan siang harinya. Yang menurut riwayat lain disebutkan pula: Janganlah kamu mencaci masa, karena sesungguhnya Allah-lah (yang menciptakan) masa itu. Ibnu Jarir telah mengetengahkan hadis ini dengan konteks yang sangat gharib (aneh). Dia mengatakan: telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Az-Zuhri, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Abu Hurairah r.a, dari Nabi ﷺ yang bersabda: bahwa dahulu orang-orang Jahiliah mengatakan, "Sesungguhnya yang membinasakan kami adalah malam dan siang hari, masalah yang membinasakan, mematikan, dan menghidupkan kami." Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: Dan mereka berkata, "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa. (Al-Jatsiyah: 24) Mereka mencaci maki masa (zaman), maka Allah ﷻ berfirman, "Anak Adam menyakiti-Ku; dia mencaci masa, padahal Akulah (yang menciptakan) masa.
Di tangan kekuasaan-Kulah urusan itu, Akulah yang menggilirkan malam dan siang hari." Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dari Ahmad ibnu Mansur, dari Syuraih An-Nu'man, dari Ibnu Uyaynah. Selanjutnya Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari Yunus, dari Ibnu Wahb, dari Az-Zuhri, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: ". Allah ﷻ berfirman.Anak Adam mencaci masa, padahal Akulah (yang menciptakan) masa, di (tangan kekuasaan)-Kulah (perputaran) malam dan siang hari. Pemilik kitab Sahihain dan Imam Nasai telah mengetengahkan hadis ini melalui Yunus ibnu Yazid dengan sanad yang sama. Muhammad ibnu lshaq telah meriwayatkan dari Al-A'la ibnu Abdur Rahman, dari ayahnya, dari Abu Hurairah r.a, bahwa rasulullah ﷺ pernah bersabda: Allah ﷻ berfirman, "Aku meminjam kepada hamba-Ku, tetapi dia tidak memberi-Ku; dan hamba-Ku mencaci-Ku seraya mengatakan, "Celakalah masa ini" Padahal Akulah (yang menciptakan) masa. Imam Syafii dan Abu Ubaidah serta selain keduanya dari kalangan para imam mengatakan sehubungan dengan makna sabda Rasulullah ﷺ yang mengatakan: Janganlah kamu mencaci masa, karena sesungguhnya Allah-lah (yang menciptakan) masa itu.
Bahwa dahulu orang-orang Arab di masa Jahiliahnya apabila tertimpa paceklik atau malapetaka atau musibah, mereka selalu mengatakan, "Celakalah masa ini." Mereka menyandarkan kejadian tersebut kepada masa dan mencaci makinya. Padahal sesungguhnya yang melakukan hal tersebut hanyalah Allah ﷻ Seakan-akan secara tidak langsung mereka mencaci maki Allah ﷻ Seakan-akan secara tidak langsung mereka mencaci maki Allah ﷻ karena sesungguhnya Dialah yang melakukannya secara hakiki. Oleh karena itulah maka Nabi ﷺ melarang masa dicaci berdasarkan pertimbangan ini. Sebab pada hakikatnya Allah-lah (yang menciptakan) masa itu yang mereka caci maki dan mereka sandarkan kepadanya kejadian-kejadian tersebut. Ini merupakan pendapat yang terbaik dari apa yang dikemukakan sehubungan dengan tafsir pengertian ini, dan pendapat inilah yang paling mirip dengan makna yang dimaksud, hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
Ibnu Hazm dan orang-orang yang mengikuti metodenya dari kalangan aliran Zahiriyah telah keliru karena mereka menganggap Ad-Dahr adalah salah satu dari Asmaul Husna, karena berdasarkan hadis ini. Firman Allah ﷻ: Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang jelas. (Al-Jatsiyah: 25) Yaitu apabila dibuktikan terhadap mereka dan dijelaskan kepada mereka bahwa Allah Mahakuasa untuk menghidupkan kembali tubuh-tubuh yang telah mati sesudah mereka tiada dan bertebaran di mana-mana.
tidak ada bantahan mereka selain mengatakan, "Datangkanlah nenek moyang kami jika kamu adalah orang-orang yang benar. (Al-Jatsiyah: 25) Yakni hidupkanlah mereka kembali jika apa yang kamu katakan itu benar. Maka dijawab oleh firman-Nya: Katakanlah, "Allah-lah yang menghidupkan kemudian mematikanmu." (Al-Jatsiyah: 26) sebagaimana yang kamu saksikan sendiri, Dia telah mengeluarkan kamu dari tiada menjadi ada di alam wujud ini. Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kamu dikembalikan kepada-Nya. (Al-Baqarah: 28) Yakni Tuhan Yang mampu menciptakan dari semula mampu pula untuk mengembalikan penciptaan itu dikesempatan yang lain dalam penciptaan yang baru, dan penciptaan yang kedua kalinya itu jauh lebih mudah bagi-Nya, sebagaimana yang disebutkan oleh firman-Nya: Dan Dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan) nya kembali, dan menghidupkan kembali itu adalah lebih mudah bagi-Nya. (Ar-Rum: 27) Adapun firman Allah ﷻ: setelah itu mengumpulkan kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan padanya. (Al-Jatsiyah: 26) Artinya sesungguhnya Dia hanya menghimpunkan kalian kelak di hari kiamat dan tidak akan menghidupkan kalian di dunia ini.
Maka tidaklah pantas bila kalian mengatakan: Datangkanlah nenek moyang kami jika kamu adalah orang-orang yang benar. (Al-Jatsiyah: 25) Allah ﷻ telah berfirman: (Ingatlah) hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan kamu pada hari pengumpulan (untuk dihisab). (At-Taghabun: 9) . (Niscaya dikatakan kepada mereka), "Sampai hari apakah ditangguhkan (mengazab orang-orang kafir itu)? Sampai hari keputusan. (Al-Mursalat: 12-13) Dan firman Allah ﷻ: Dan Kami tiadalah mengundurkannya, melainkan sampai -waktu yang tertentu. (Hud: 104) Dan dalam surat ini disebutkan oleh firman-Nya: setelah itu mengumpulkan kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan padanya. (Al-Jatsiyah: 26) Yakni tidak diragukan lagi kejadiannya. tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Al-Jatsiyah: 26) Karena itulah maka mereka mengingkari adanya hari kemudian dan menganggap mustahil tubuh-tubuh ini akan dihidupkan kembali. Allah ﷻ telah berfirman: Sesungguhnya mereka memandang siksaan itu (hari kiamat) jauh (mustahil). Sedangkan Kami memandangnya dekat (pasti terjadi). (Al-Ma'arij:6-7) Mereka menganggap mustahil hal itu terjadi, sedangkan orang-orang mukmin menganggap bahwa hal itu mudah (bagi Allah) dan (hari kiamat itu) sudah dekat masanya."
Dan mereka, orang-orang musyrik dan yang mengingkari kebangkitan, berkata, 'Ia, yakni kehidupan ini, tidak lain hanyalah kehidupan dunia kita saja, tidak ada kehidupan akhirat, sebahagian kita mati karena sampai ajalnya dan sebahagian kita hidup, yakni lahir lagi dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa, yakni akhir dari kehidupan kita. ' Tetapi mereka tidak mempunyai ilmu, yakni pengetahuan yang pasti, tentang itu, mereka hanyalah menduga-duga saja. 25. Dan apabila kepada mereka dibacakan ayat-ayat Kami yang sangat jelas pembuktiannya, yaitu ayat-ayat Al-Qur'an atau tanda-tanda keesaan dan kekuasaan Allah di alam ini, tidak ada bantahan mereka terhadap ayat-ayat itu selain mengatakan, 'Datangkanlah atau hidupkanlah kembali, wahai para pembaca ayat-ayat itu, nenek moyang kami yang sudah mati, jika kamu orang yang benar meyakini bahwa di akhirat nanti ada kebangkitan. '.
Pada ayat ini Allah menjelaskan keingkaran orang-orang musyrik terhadap hari kebangkitan. Menurut anggapan mereka kehidupan itu hanya di dunia saja. Di dunia mereka dilahirkan dan di dunia pula mereka dimatikan dan di situlah akhir dari segala sesuatu, dan demikian pula terjadi pada nenek moyang mereka. Menurut mereka, yang menyebabkan kematian dan kebinasaan segala sesuatu ialah pertukaran masa. Dari pendapat mereka, dapat diambil kesimpulan bahwa mereka mengingkari terjadinya hari kebangkitan.
Keterangan itu diperkuat oleh adat kebiasaan orang Arab Jahiliah yaitu apabila mereka ditimpa bencana atau musibah, terlontarlah kata-kata dari mulut mereka, "Aduhai celakalah masa." Mereka mengumpat-umpat masa karena menurut mereka masa itulah sumber dari segala musibah.
Dalam hadis Qudsi dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:
Allah berfirman, "Manusia telah menyakitiku dengan mengatakan wahai masa yang sial. Maka janganlah salah seorang kalian mengatakan 'masa yang sial karena Akulah (Pencipta dan Pengatur)masa. Aku menanti malam menjadi siang, dan jika Aku menghendakinya niscaya Aku genggam keduanya." (Riwayat Muslim)
Kemudian Allah menyayangkan sikap kaum musyrikin Mekah yang tidak didasarkan pada pengetahuan yang benar. Allah menyatakan bahwa mereka sama sekali tidak mempunyai pengetahuan sedikit pun tentang hal yang menyangkut masa itu. Pendapat mereka itu hanyalah didasarkan pada sangkaan dan dugaan saja.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
BERTUHANKAN HAWA NAFSU
Ayat 23
“Maka sudahkah engkau lihat orang yang mengambil hawa nafsunya menjadi Tuhannya? Dan disesatkan dia oleh Allah padahal dia mengetahui dan dicap-Nya atas pendenganannya dan hatinya dan dijadikan-Nya atas matanya satu penutup. Maka siapakah yang akan membelinya petunjuk selain Allah. Maka tidakkah mereka ingat?"
Asal arti hawa ialah udara. Memang dalam bahasa kita pun telah kita pindahkan kalimat itu, hawa bagi kita berarti udara juga. Manusia itu pun mempunyai hawa, sebagai gejala dari keadaan batinnya. Marah, berici, dendam, sayang, sedih, semuanya itu adalah gejala atau hawa, atau udara dari diri. Dia bisa berubah-ubah, tetapi diri kita tetap diri kita. Satu kali kita marah-marah, muka kita berubah jadi merah, sebab darah naik ke muka. Tepat ungkapan orang mengatakan, “Dia itu naik darah." Nanti marah itu mereda, darah pun turun kembali dan wajah pun berubah seperti biasa. Lantaran itu kalau orang menerjemahkan hawa ke dalam bahasa Indonesia, selalu dikatakannya hawa nafsu. Sebab hawa itu memang gejala dari nafsu. Kalau hawa itu sedang naik, jika nafsu asli kita terbawa oleh pengaruh hawa itu, pertimbangan akal tidak ada lagi atau kalah. Dan ketika gejala hawa sudah menurun, timbullah berangsur-angsur pemeriksaan atau koreksi akal kita atas sikap kita ketika hawa tadi naik. Lalu timbul penyesalan atau menertawakan diri sendiri.
Bahasa asing"sentimen" telah kita pakai pula untuk mengartikan hawa itu, meskipun agaknya maksud hawa lebih luas dari sentimen.
Maka di dalam ayat ini digambarkan bahwa ada orang yang dari sangat meluap-luap hawa nafsunya itu, sampai entah disadarinya entah tidak, hawanya-telah dipertuhannya. Sebab perintah Allah sendiri yang telah bersemi di dalam akal budinya, tidak dipedulikannya lagi, atau dengan sengaja dilanggarnya. Dalam ayat ini dengan jitu tersebut gejala-gejala orang yang mempertuhan hawa nafsu itu.
“Dan disesatkan dia oleh Allah, padahal dia mengetahui" Misalnya orang yang membunuh dirinya sendiri karena dorongan hawa nafsu (sentimen) hati iba. Dia tahu perbuatannya itu sesat, tetapi karena yang dipertuhannya waktu hawa iba hati, dia pun mati sesat.
“Dan dicap-Nya atas pendengarannya dan hatinya." Apabila hawa nafsu sudah naik, ditakdirkan Allah-lah, tidak dapat tidak bahwa pendengaran dan hatinya kena materai, kena segel sehingga kebenaran tidak dapat lagi dimasukkan ke dalam."Dan dijadikan-Nya atas matanya satu penutup," tidak mau tahu dia lagi menilai mana yang baik dan buruk yang ada di sekelilingnya. (Ungkapan Indonesianya ialah gelap mata.)
Kalau hawa itu hanya bergejala seberitar, misalnya marah lalu membanting-banting barang-barang hingga rusak, lalu menyesal, belumlah termasuk payah. Tetapi bagaimana kalau mempertuhan hawa telah menjadi sikap jiwa? Pada orang yang tidak mau lagi menerima kebenaran karena kebenaran itu keluar dari mulut orang yang dibericinya. Ada orang berkata tidak mau mengakui kesalahannya karena malu akan dikatakan orang telah turun gengsinya. Padahal, akal budinya yang murni mengakui memang dia salah dan teguran orang itu benar.
Maka kafir-kafir Quraisy tidak mau beriman kepada Nabi Muhammad ﷺ kebanyakan ialah karena mempertuhan hawa pantang merendah. Dan Bani Israil atau Yahudi tidak mau memercayai Muhammad ﷺ karena hawa kedengkian. Maka pengaruh hawa yang sudah sangat mendalam ini,"Siapakah yang akan memberinya petunjuk selain Allah?" Memang manusia sendiri tidak akan dapat menginsafkan orang yang demikian kalau tidak Allah yang menolong. Sebab itu diberi peringatanlah manusia akan bahayanya sebagai tersebut di ujung ayat,"Maka tidakkah mereka ingat?"
Di dalam ayat yang lain Allah berfirman,
“Dan mencegah diri daripada hawa, maka sesungguhnya surgalah dia tempat kediamannya." (an-Naazi'aat: 40-41)
Sebab itu, ahli-ahli tasawuf seumpama Ibnul Qayyim di dalam kitabnya, Zadul Ma'ad, membagi jihad manusia itu kepada melawan empat tingkat musuh. Pertama jihad melawan hawa, kedua melawan nafsu, ketiga melawan setan, dan keempat melawan rayuan dunia. Musuh yang paling besar ialah hawa dan nafsu karena keduanya adalah di dalam diri kita sendiri. Dalam kita menghadapi musuh yang dari luar itu keduanya ini selalu ditentang lebih dahulu. Dan ada dua musuh besar lagi yang tampak kata beliau, yaitu kaum munafik dan kafir yang hendak merusak Islam. Itu pun dapat dihadapi asal kita tetap waspada dari musuh empat yang bermula.
Ayat 24
“Dan mereka berikata, Tidak ada hidup melainkan kehidupan dunia kita ini. Mulanya kita tak ada sesudah itu kita hidup dan tidak ada yang membirasakan kita melainkan masa.' Dan tidaklah ada bagi mereka dalam hal yang demikian satu pengetahuan pun. Tidak lain, mereka hanyalah menyangka-nyangka."
Mereka tidak percaya bahwa di belakang hidup yang sekarang akan ada hidup lagi. Kata mereka: mulanya kita laksana mati, sebab belum ada, setelah itu mati. Apa sebab mati? Sebab masanya sudah datang buat mati. Masanya sudah datang bahwa darah kita yang dalam tubuh kita tidak mengalir lagi menjalani tubuh, habis gerak badan, sebab itu matilah kita, habis
perkara. Yang ada adalah masa. Tidak ada Tuhan. Pengetahuan adalah berida yang nyata ini saja, terhadap ada apa-apa yang di balik berida, tidak ada pengakuan mereka sedikit pun, atau mereka tidak mau tahu. Lantaran itu dalam soal-soal hakikat hidup dan hakikat mati, mereka hanya menyangka-nyangka. Sangka-sangka itulah yang mereka katakan pengetahuan.
Ayat 25
“Dan apabila dibacakan kepada mereka itu ayat-ayat Kami yang jelas nyata, tidaklah ada hujjah (alasan) mereka melainkan bahwa mereka katakan, ‘Bawakanlah bapak-bapak kami jika kamu orang-orang yang beriman.
Untuk menolak keterangan Al-Qur'an bahwa nanti manusia akan dihidupkan kembali, mereka berkata: cobalah hidupkan kembali sekarang juga bapak-bapak kami yang telah mati. Maka kalau sekarang kamu tidak bisa menghidupkan mereka, apatah lagi nanti. Nantinya itu kapan?
Tadi Allah katakan mereka hanya menyangka-nyangka. Artinya, di dalam pendirian yang demikian mereka pun masih ragu-ragu dalam hati kecil mereka kepada pendirian sendiri. Karena, kalau benar-benar hidup itu hanya dibawa masa, mengapa tidak serupa saja manusia dengan binatang? Mengapa manusia mempunyai akal, pikiran, kehendak, cita-cita, ingatan? Mengapa manusia ada keinginan kepada yang lebih baik? Mengapa jika seseorang telah berhenti napasnya turun dan naik, masih ada saja jasa baik jejak hidupnya yang dikenangkan oleh yang tinggal. Tidakkah itu menunjukkan bahwa ada lagi sesuatu selain napas itu? Hal yang demikian susah mereka untuk menjawabnya. Sebab itu mereka keluarkan saja hujjah yang kata mereka sudah kuat,"Coba hidupkan kembali bapak-bapak kami sekarang juga." Padahal di dalam hati kecilnya, mereka tidak dapat menyelesaikan soal-soal yang ditimbulkan oleh diri mereka sendiri.
Inilah yang oleh Al-Qur'an dinamai Kaum Dahri. Kaum yang hanya percaya kepada masa.
Dinamai juga Kaum Maddi (materialis) hanya percaya kepada berida. Atau Kaum Thabi'i (naturalis), hanya percaya kepada alam ini saja. Bahwa alam ini adalah terjadi sendirinya. Dia qadim dan dia kekal selama-lamanya. Allah tidak ada. Manusia hidup ke dunia atas kehendak alam, sampai masanya dia pun mati. Sesudah mati habis perkara. Mereka tidak mau membicarakan bahwa sesuatu yang terjadi demikian tersusun rapi di dalam alam, adakah pusat pengaturnya? Mereka tidak mau membicarakan bahwa banyak manusia berbuat baik di dunia ini, namun dia masih dianiaya oleh yang kuat! Sebelum ada pembelaan dia pun mati. Karena cerdiknya, kejahatannya dimaafkan orang saja. Kalau hidup itu hanya hingga ini saja apalah artinya akal yang selalu bercita-cita mencapai yang benar dan yang adil? Kalau sekiranya adalah alat buat menopang hati nurani orang yang mengingkari hari akhirat itu, adakah agaknya kepuasannya di dalam hidupnya sebagai manusia? Tidakkah dia merasa berbahagia kalau dia misalnya jadi korban saja? Tak usah berpikir?
Memanglah suatu ayat atau tanda dari kekuasaan Allah bahwa manusia yang tidak percaya kepada yang di balik alam nyata (metafisika) itu selalu saja ada. Tetapi seorang filsuf bernama Olswald Spengler berpendapat pasti seperti yang dikatakan Af-Qur'an itu, yaitu penganut paham yang demikian dalam hati nuraninya pun tidak juga sempurna yakin akan pendiriannya. Kadang-kadang hal yang demikian adalah sebagai dirumuskan oleh penyair filsuf Iqbal. Ketika beliau membicarakan krisis jiwa filsuf Jerman Nietzsche (baca: Nitsyeh), “Beriman hatinya, kafir otaknya."
Negeri-negeri penjajah Barat yang menjajah negeri-negeri Islam, ketika melihat negeri-negeri itu masih kuat saja Islamnya, yang berarti akhirnya mesti memberontak juga kepada penjajahnya untuk merusak kekuatan Islam itu, memakai juga salah satu cara, yaitu menyebarkan'paham materialisme (serba benda), naturalisme (serba alam) atau ateisme (tidak ada Tuhan) ke negeri-negeri yang dijajahnya, sehingga kadang-kadang menjadi satu kebanggaan dan lagak bagi pemuda-pemuda anak orang Islam yang telah dirusakkan moralnya itu.
Inilah yang diberantas oleh Sayyid Jama-luddin al-Afghari dengan bukunya, Ar-Raddu Wad Dahriyin (Pembantah Paham-Paham Serba Masa), ketika dia datang ke India yang kedua kali pada penggal abad ke-19 (abad ke-13 Hijriyah). Sebab, Inggris pernah menyebarkan pula racun itu ke negeri itu, untuk merusak semangat Islam pada angkatan mudanya.
Untuk menghilangkan pengaruh racun Dahri itu, Allah menyuruhkan kepada Rasul-Nya Muhammad ﷺ,
Ayat 26
“Katakanlah, ‘Allah yang menghidupkan kamu dan mematikan kamu> kemudian akan mengumpulkan kamu pada hari Kiamat, tidak ada keraguan padanya. Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Memang, kalau ditanyakan kepada manusia, lebih banyaklah yang tidak mengetahui soal itu. Memang, sebab manusia tidak ada yang pergi ke sana, menyelidiki dan kembali. Filsuf-filsuf yang besar pun tidak akan sama jawabannya. Sebab itu hal itu jangan ditanyakan kepada manusia. Tanyakan saja kepada Allah. Allah telah menjawab: Kiamat pasti datang. Keraguanmu hilang, hatimu pun tenteram.