Ayat
Terjemahan Per Kata
وَإِذۡ
dan ketika
قَالَ
berkata
إِبۡرَٰهِيمُ
Ibrahim
لِأَبِيهِ
kepada bapaknya
وَقَوۡمِهِۦٓ
dan kaumnya
إِنَّنِي
sesungguhnya aku
بَرَآءٞ
berlepas diri
مِّمَّا
dari apa
تَعۡبُدُونَ
kamu sembah
وَإِذۡ
dan ketika
قَالَ
berkata
إِبۡرَٰهِيمُ
Ibrahim
لِأَبِيهِ
kepada bapaknya
وَقَوۡمِهِۦٓ
dan kaumnya
إِنَّنِي
sesungguhnya aku
بَرَآءٞ
berlepas diri
مِّمَّا
dari apa
تَعۡبُدُونَ
kamu sembah
Terjemahan
(Ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya dan kaumnya, “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu sembah,
Tafsir
(Dan) ingatlah (ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya, "Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab) atau berlepas diri (terhadap apa yang kalian sembah.).
Tafsir Surat Az-Zukhruf: 26-35
Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya, Sesunggguhnya aku tidak bertanggungjawab terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan Yang menjadikanku; karena sesunggguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku. Dan (Ibrahim) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu. Tetapi Aku -telah memberikan kenikmatan hidup kepada mereka dan bapak-bapak mereka sehingga datanglah kepada mereka kebenaran (Al-Qur'an) dan seorang rasul yang memberi penjelasan.
Dan tatkala kebenaran (Al-Qur'an) itu datang kepada mereka, mereka berkata, "Ini adalah sihir, dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang mengingkarinya. Dan mereka berkata.Mengapa Al-Qur'an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekah dan Taif) ini? Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain sebagai pekerja.
Dan rahmat Tuhanmu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan. Dan sekiranya bukan karena hendak menghindari manusia menjadi umat yang satu (dalam kekafiran), tentulah kami buatkan bagi orang-orang yang kafir kepada Tuhan Yang Maha Pemurah loteng-loteng perak bagi rumah mereka dan (juga) tangga-tangga (perak) yang mereka menaikinya. Dan (Kami buatkan pula) pintu-pintu bagi rumah-rumah mereka dan (begitu pula) dipan-dipan yang mereka bertelekan di atasnya. Dan (Kami buatkan pula) perhiasan-perhiasan (dari emas untuk mereka) Dan semuanya itu tidak lain hanyalah kesenagan kehidupan dunia, dan kehidupan akhirat itu di sisi Tuhanmu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.
Allah ﷻ berfirman, menceritakan perihal hamba, rasul, kekasih-Nya, dan imam (pemimpin) kaum hunafa serta yang menjadi orang tua dari para nabi yang diutus sesudahnya, yang orang-orang Quraisy pun nasab mereka berasal darinya. Disebutkan bahwa dia (Nabi Ibrahim) telah berlepas diri dari sikap ayahnya dan kaumnya yang menyembah berhala. Untuk itu Allah ﷻ berfirman: Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah, tetapi (aku menyembah) Tuhan Yang menjadikanku; karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku. Dan (Ibrahim) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya. (Az-Zukhruf: 26-27) Kalimat yang dimaksud adalah menyembah Allah semata tiada sekutu bagi-Nya, dan meninggalkan sembahan-sembahan lain-Nya, yaitu tidak ada Tuhan yang wajib disembah melainkan Allah.
Nabi Ibrahim a.s. menjadikan kalimat ini dilestarikan dan ditetapkan di kalangan keturunannya, serta dijadikan sebagai panutan bagi orang yang mendapat petunjuk dari kalangan keturunan Ibrahim a.s. supaya mereka kembali kepada kalimat tauhid itu. (Az-Zukhruf: 28) Yakni kembali kepada kalimat tauhid itu. Ikrimah, Mujahid, Ad-Dahhak, Qatadah, dan As-Saddi serta lain-lainnya mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan (Ibrahim) menjadikan kalimat tauhid itu kalimat yang kekal pada keturunannya. (Az-Zukhruf: 28) Yaitu kalimat 'Tidak ada Tuhan yang wajib disembah melainkan Allah', di kalangan keturunannya tetap ada orang yang mengucapkannya.
Hal yang semisal telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. Ibnu Zaid mengatakan bahwa yang dimaksud adalah kalimat Islam, yaitu kembali kepada apa yang dikatakan oleh jama'ah. Firman Allah ﷻ: Tetapi Aku memberikan kenikmatan hidup kepada mereka dan bapak-bapak mereka. (Az-Zukhruf: 29) Yang dimaksud dengan mereka adalah orang-orang musyrik, yakni hal itu berakibat mereka tenggelam ke dalam kesesatannya dalam waktu yang cukup lama. sehingga datanglah kepada mereka kebenaran (Al-Qur'an) dan seorang rasul yang memberi penjelasan. (Az-Zukhruf: 29) yakni yang jelas risalah dan peringatannya. Dan tatkala kebenaran (Al-Qur'an) itu datang kepada mereka, mereka berkata, "Ini adalah sihir, dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang mengingkarinya. (Az-Zukhruf: 30) Mereka sombong, mengingkarinya dan menolak perkara yang hak itu dengan segala upaya karena kafir, dengki, dan kelewat batas.
Dan mereka berkata. (Az-Zukhruf: 31) dengan nada mengkritik Allah ﷻ yang telah menurunkannya. Mengapa Al-Qur'an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekah dan Taif) ini? (Az-Zukhruf: 31) Alangkah baiknya jika Al-Qur'an ini diturunkan kepada seorang lelaki yang dipandang besar lagi terkemuka menurut pandangan mereka dari salah satu dua kota ini. Mereka bermaksud kota Mekah dan kota Taif. Demikianlah menurut Ibnu Abbas r.a, Ikrimah, Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi, Qatadah, As-Saddi, dan Ibnu Zaid. Dan bukan hanya seorang dari kalangan mereka telah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan lelaki itu adalah Al-Walid ibnul Mugirah dan Urwah ibnu Mas'ud As-Saqafi.
Malik telah meriwayatkan dari Zaid ibnu Aslam, Ad-Dahhak, dan As-Saddi, bahwa yang mereka maksudkan adalah Al-Walid ibnul Mugirah dan Mas'ud ibnu Amr As-Saqafi. Diriwayatkan dari Mujahid, bahwa yang mereka maksudkan adalah Umair ibnu Amr ibnu Mas'ud As-Saqafi. Dan menurut riwayat lain yang juga bersumber dari Mujahid, yang mereka maksudkan adalah Atabah ibnu Rabi'ah. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa yang dimaksud adalah dua orang lelaki yang sewenang-wenang dari kalangan Quraisy.
Diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas r.a. bahwa yang mereka maksudkan adalah Al-Walid ibnul Mugirah dan Habib ibnu Amr ibnu Umair As-Saqafi. Diriwayatkan dari Mujahid bahwa yang mereka maksudkan adalah Atabah ibnu Rabi'ah dari Mekah, dan Ibnu Abdu Yalil dari Taif. As-Saddi mengatakan, yang mereka maksudkan adalah Al-Walid ibnul Mugirah dan Kinanah ibnu Amr ibnu Umair As-Saqafi. Pada garis besarnya yang mereka maksudkan adalah seorang lelaki besar dari salah satu di antara kedua kota tersebut, siapa pun dia.
Maka Allah ﷻ berfirman, menjawab kritikan ini: Apakah mereka membagi-bagi rahmat Tuhanmu? (Az-Zukhruf: 32) Yakni urusan ini bukanlah mereka yang menentukannya, melainkan hanyalah Allah ﷻ Allah lebih mengetahui di manakah Dia meletakkan risalah-Nya. Karena sesungguhnya tidak sekali-kali Dia menurunkan Al-Qur'an ini melainkan kepada makhluk yang paling suci hati dan jiwanya, serta paling mulia dan paling suci rumah dan keturunannya. Kemudian Allah ﷻ menjelaskan bahwa Dia telah membeda-bedakan di antara makhluk-Nya dalam membagikan pemberian-Nya kepada mereka berupa harta, rezeki, akal, dan pengertian serta pemberian lainnya yang menjadi kekuatan lahir dan batin bagi mereka. Untuk itu Allah ﷻ berfirman: Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia. (Az-Zukhruf: 32). hingga akhir ayat. Adapun firman Allah ﷻ: agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain sebagai pekerja. (Az-Zukhruf: 32) Menurut suatu pendapat, makna ayat ialah agar sebagian dari mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan, karena yang lemah memerlukan yang kuat dan begitu pula sebaliknya.
Demikianlah menurut pendapat Qatadah dan lain-lainnya. Qatadah dan Ad-Dahhak mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah agar sebagian dari mereka dapat menguasai sebagian yang lain; pendapat ini semakna dengan pendapat di atas. Kemudian Allah ﷻ berfirman: Dan rahmat Tuhanmu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan. (Az-Zukhruf: 32) Artinya, rahmat Allah kepada makhluk-Nya lebih baik bagi mereka daripada harta benda dan kesenangan duniawi yang ada di tangan mereka. Firman Allah ﷻ: Dan sekiranya bukan karena hendak menghindari manusia menjadi umat yang satu. (Az-Zukhruf: 33) Yakni seandainya tiada keyakinan di kalangan kebanyakan manusia yang tidak mengerti bahwa pemberian Kami akan harta benda merupakan bukti yang menunjukkan kecintaan Kami kepada orang yang Kami beri harta itu, yang karenanya lalu mereka bersatu dalam kekafiran demi harta itu.
Demikianlah menurut pendapat ibnu Abbas, Al-Hasan, Qatadah, dan As-Saddi serta lain-lainnya. tentulah Kami buatkan bagi orang-orang yang kafir kepada Tuhan Yang Maha Pemurah loteng-loteng perak bagi rumah mereka dan (juga) tangga-tangga (perak). (Az-Zukhruf: 33) Yaitu tangga yang terbuat dari perak. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Abbas, Mujahid, Qatadah, As-Saddi, dan Ibnu Zaid serta lain-lainnya. yang mereka menaikinya. (Az-Zukhruf: 33) Dan (Kami buatkan pula) pintu-pintu (perak) bagi rumah-rumah mereka. (Az-Zukhruf: 34) Yakni daun-daun pintu dari perak untuk rumah mereka. dan (begitu pula) dipan- dipan yang mereka bertelekan di atasnya. (Az-Zukhruf: 34) Semuanya itu terbuat dari perak. Dan (Kami buatkan pula) perhiasan-perhiasan. (Az-Zukhruf: 35) Yakni dari emas, menurut Ibnu Abbas, Qatadah, As-Saddi, dan Ibnu Zaid.
Kemudian dalam firman berikutnya disebutkan: Dan semuanya itu tidak lain hanyalah kesenangan kehidupan dunia. (Az-Zukhruf: 35) Sesungguhnya semuanya itu hanyalah keduniawian yang fana dan pasti lenyap serta tiada harganya di sisi Allah ﷻ Yakni Allah menyegerakan bagi mereka sebagai imbalan dari amal perbuatan mereka di dunia berupa balasan makanan dan minuman, agar kelak di saat mereka telah berada di negeri akhirat mereka tidak lagi memiliki suatu kebaikan pun yang akan dibalaskan kepada mereka, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis sahih.
Dalam hadis lain disebutkan: Seandainya dunia ini mempunyai bobot di sisi Allah yang seimbang dengan sayap nyamuk, niscaya Allah tidak akan memberi minum barang seteguk air pun kepada seorang kafir. Al-Baghawi menyandarkan hadis ini melalui riwayat Zakaria ibnu Manzur, dari Abu Hazim, dari Sahl ibnu Sa'd r.a, dari Nabi Saw, lalu disebutkan hal yang semisal.
Imam Tabrani meriwayatkannya melalui jalur Zam'ah ibnu Saleh dari Abu Hazim, dari Sahl ibnu Sa'd, dari Nabi ﷺ: Seandainya dunia ini seimbang di sisi Allah dengan berat sayap nyamuk, niscaya Allah tidak akan memberi sesuatu pun kepada orang kafir. Kemudian Allah ﷻ dalam firman berikutnya menyebutkan: dan kehidupan akhirat itu di sisi Tuhanmu adalah bagi orang-orang yang bertakwa. (Az-Zukhruf: 35) Yakni kehidupan akhirat itu khusus bagi mereka, tiada seorang pun dari kalangan selain mereka yang dapat menikmatinya bersama mereka.
Karena itulah ketika pada suatu hari Umar r.a. berkata kepada Rasulullah ﷺ di saat beliau ﷺ meng-Ila istri-istrinya, dan Umar menjumpainya, maka Umar melihat beliau sedang bersandar dengan beralaskan sebuah tikar yang digelarkan di pasir sehingga tikar itu membekas pada lambungnya. Maka berlinanglah air mata Umar menyaksikan pemandangan itu, lalu berkata, "Wahai Rasulullah, Kisra dan Kaisar dengan kemewahan hidup yang dialaminya, sedangkan engkau makhluk pilihan Allah keadaannya seperti ini." Saat itu Rasulullah sedang bersandar, lalu bangkit dan duduk, kemudian bersabda, "Apakah engkau sedang dalam keraguan, hai Ibnul Khattab?" Kemudian Rasulullah ﷺ melanjutkan sabdanya: Mereka adalah suatu kaum yang kebaikan mereka disegerakan untuk mereka dalam kehidupan dunia mereka. Dalam riwayat yang lain disebutkan pula bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: Tidakkah engkau rela bila bagi mereka dunia, sedangkan bagi kita akhirat? Dan di dalam kitab Sahihain serta kitab-kitab hadis lainnya disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Janganlah kalian minum dengan memakai wadah emas dan perak, dan jangan pula kalian makan dengan memakai piring emas dan perak.
Karena sesungguhnya hal itu bagi mereka (orang-orang kafir) di dunia ini, dan bagi kita kelak di akhirat. Sesungguhnya Allah ﷻ memberikan hal itu kepada mereka di dunia ini hanyalah semata-mata karena rendahnya dunia dan ketiadaartiannya di sisi Allah ﷻ Di dalam riwayat Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah disebutkan melalui jalur Hazim, dari Sahl ibnu Sa'd yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Seandainya dunia ini sebanding di sisi Allah dengan sayap nyamuk, niscaya Allah selamanya tidak akan memberi minum barang seteguk air pun kepada orang kafir. Imam Turmuzi mengatakan, predikat hadis ini hasan sahih."
26-27. Dan ingatlah ketika Nabi Ibrahim, nenek moyang mereka yang tidak mau mengikuti jejak buruk dari leluhurnya, berkata kepada ayah-nya dan kaumnya yang menyekutukan Allah dan menyembah berhala-berhala, 'Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa, yaitu berhala-berhala, yang kamu sembah, kecuali yang kamu sembah itu adalah Allah, Tuhan yang telah menciptakan aku, menciptakan kalian, dan apa yang kamu sembah itu; karena sesungguhnya Dia pulalah yang akan memberi petunjuk kepadaku untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. '26-27. Dan ingatlah ketika Nabi Ibrahim, nenek moyang mereka yang tidak mau mengikuti jejak buruk dari leluhurnya, berkata kepada ayah-nya dan kaumnya yang menyekutukan Allah dan menyembah berhala-berhala, 'Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa, yaitu berhala-berhala, yang kamu sembah, kecuali yang kamu sembah itu adalah Allah, Tuhan yang telah menciptakan aku, menciptakan kalian, dan apa yang kamu sembah itu; karena sesungguhnya Dia pulalah yang akan memberi petunjuk kepadaku untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. '.
Allah memerintahkan kepada Muhammad ﷺ supaya dia memperingatkan kaumnya yang fanatik kepada nenek moyangnya bahwa Nabi Ibrahim telah berlepas diri dari bapak dan kaumnya ketika dia melihat mereka bersungguh-sungguh menyembah berhala, karena yang demikian itu adalah satu hal yang tidak pantas dan membawa kepada kesesatan sebagaimana firman Allah:
Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya Azar, "Pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala itu sebagai tuhan? Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaummu dalam kesesatan yang nyata." (al-An'am/6: 74).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Untuk menjadi perbandingan maka disuruhlah Nabi Muhammad ﷺ mengingat kembali, perjuangan Nabi Ibrahim,
Ayat 26
“Dan (ingatlah) tatkala berikata Ibrahim kepada bapaknya dan kaumnya, ‘Sesungguhnya aku berilepas diri daripada apa yang kamu sembah.'"
Sebab yang kamu sembah ini tidak lain daripada batu-batu, kayu-kayu, yang tidak memberi manfaat kalau diminta pertolongan kepadanya dan tidak memberi mudharat kalau dia tidak dipedulikan. Saya berlepas diri dari yang bodoh dan tidak berdasar kebenaran ini.
Ayat 27
“Kecuali yang telah menjadikan daku."
Yaitu Allah Yang Maha Esa dan Mahakuasa, yang saya yakin, meskipun saya berlepas diri dari perbuatan bapakku dan kaumku,
“Dialah yang akan memberi petunjukku."
Bebas daripada pengaruh yang lain dan hanya kepada Allah Yang Tunggal menghadapkan segala persembahan, pemujaan dan pengabdian.
“Dan dijadikannyalah," oleh Ibrahim pendirian yang demikian"itu kalimat yang tetap" yang tidak berubah-ubah sampai
Ayat 28
“pada keturunannya, supaya mereka kembali"
Itulah titik tolak pendirian hidup. Sejauh-jauh perjalanan anak-cucunya, namun tempat kembali ialah pendirian demikian, tetap selama-lamanya. Sebagai pepatah Minang:
“Kusut di ujung tali, kembali ke pangkal tali."
Maka berkembangbiaklah keturunan Ibrahim dari anak laki-lakinya yang berdua, Isma'il dan Ishaq. Ishaq beranak Ya'qub, yaitu Israil. Keturun Israil tetap memegang teguh waris Ibrahim. Isma'il membantu ayahnya mendirikan Ka'bah sebagai pusat peribadahan umat tauhid. Dan agama ajaran Ibrahim itu dikenal pada keturunan Isma'il dengan agama harif. Maka hiduplah keturunan Isma'il Bani Adnan di keliling Ka'bah itu, tetapi lama-lama agama harif Nabi Ibrahim telah terberiam dalam 360 buah berhala yang disandarkan di dalam dan di luar dinding Ka'bah. Maka diutus Allah-lah Nabi Muhammad ﷺ di negeri Mekah itu, mengajak kaum Quraisy, kaumnya sendiri, keturunan Nabi Ibrahim dan Isma'il supaya kembali kepada “millatu Ibrahima Hanifan", agama Ibrahim yang menundukkan diri kepada Allah Yang Tunggal dan supaya dihentikan mempersekutukan yang lain dengan Dia. Maka diberitakan Allah-lah keadaan mereka di kala Nabi Muhammad ﷺ diutus itu.
Ayat 29
“Bahkan Aku beri kesempatan mereka itu dan bapak-bapak mereka berisenang-senang hingga datang kepada mereka keberianan dan seorang Rasul yang menenangkan."
Ayat 30
“Dan tatkala datang kepada mereka kebenaran itu, mereka berkata, ‘Ini adalah sihir. Sesungguhnya kami terhadapnya tidak memercayai."
Kebenaran yang mereka tolak itu ialah Al-Qur'an bahkan mereka katakan sihir. Mengapa mereka tuduh Al-Qur'an itu sihir? Ialah karena mereka tidak dapat membantah apa yang diwahyukan. Rahasia-rahasia perasaan hati yang hanya dikeluarkan kepada teman sepaham, tidak didengar oleh Rasulullah ﷺ atau orang-orang yang telah beriman, tidak lama kemudian sudah keluar saja dalam wahyu yang diucapkan oleh Nabi dan mereka tidak dapat membantah. Padahal bukan sihir, melainkan kebenaran yang hati kecil tidak dapat membantah, tetapi hawa nafsu tidak mau menerima. Lalu dikatakan saja sihir, dan menyatakan saja tidak mau mempercayainya.
Demikian terhadap Al-Qur'an. Tetapi ada lagi yang menilai tentang Rasul sendiri,
Ayat 31
“Dan mereka berkata,'Mengapa tidak ditununkan Al-Qur'an ini kepada seorang besar dari dua negeri ini.'"
Yang berkata begini sudah lain dari yang mengatakan Al-Qur'an itu sihir. Mereka sudah mengakui memang suara-suara yang dibawa Al-Qur'an itu amat penting diperhatikan. Sayang, Al-Qur'an yang penting itu tidak diturunkan kepada orang penting pula, yaitu orang-orang besar, yang tidak kurang di kedua negeri,
Mekah dan Thaif. Mereka itu berpengaruh, berharta, sebab itu disegani orang banyak. Kalau kepada mereka diturunkan, seberitar saja akan berduyun-duyunlah pengikutnya.
Ketika membaca ayat ini, teringatlah penafsir kepada nasib seorang mubaligh Islam di Medan Deli sebelum perang. Ketika dia berpidato menerangkan agama di muka umum, sangat menarik perhatian. Maka datanglah seorang pegawai Belanda bergaji besar bertanya dengan berbisik,"Apa kerja orang itu? Berapa gajinya sebulan? Kayakah dia? Tengkukah dia? Setelah dapat jawaban bahwa semuanya itu tidak ada pada mubaligh itu, orang yang bertanya itu tidak memandangnya dengan hormat lagi. Ditegurnya pun tidak!
Sanggahan ini dipukul oleh wahyu,
Ayat 32
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu?"
Merekakah yang menentukan atau Allah? Rahmat, risalah, dan nubuwah adalah yang lain dari yang mereka pikirkan itu. Soal ini bukan soal kebesaran dan pengaruh karena harta."Kamilah yang telah membagi-bagi di antara mereka akan penghidupan mereka dalam hidup di dunia dan telah Kami tinggikan derajat yang sebagian dari yang sebagian, supaya yang sebagian mempergunakan yang sebagian."
Ini semua memang telah dibagi-bagikan Allah kepada mereka. Ada yang kaya raya, berniaga ke Syam, ada yang mempunyai beratus-ratus binatang ternak. Dan ada pula yang miskin, ada pula yang menjadi hambasahaya, menjadi suruh-suruhan, memikul beban, diperas keringatnya. Ada yang kerjanya mencari keuntungan dengan membungakan uang, dan ada yang nasibnya demikian malang, karena payah melepaskan diri dari utang. Begitulah nasib yang telah ditakdirkan Allah, hidup di dunia ini terbagi-bagi dan berbagal-bagai wajah hidup dihadapi. Dan memang telah ada orang-orang besar dan orang penting dalam lapangan itu. Yaitu lapangan kehidupan dunia sematamata. Mereka berpengaruh karena urusan-urusan dunia, tetapi soalnya sekarang ini bukan itu. Ini adalah urusan iman, urusan budi, urusan hubungan di antara makhluk dengan Allah. Allah yang tentukan untuk mencurahkan rahmat-Nya memelopori urusan itu, bukan karena hartanya. Orang itu ialah Muhammad ﷺ.
“Dan rahmat Tuhanmu itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan."
Ayat ini meninggalkan kesan yang mendalam pada jiwa orang yang Mukmin. Bahwa pimpinan iman kepada Allah, bukanlah soal hidup mewah. Kalau sekiranya tujuan hidup telah beralih kepada kemewahan, dunia fanalah yang akan memesona manusia, dan setanlah kelak yang akan menjadi teman mereka. Ini dijelaskan lagi oleh ayat-ayat selanjutnya,
Ayat 33
“Dan kalau sekiranya tidaklah lantaran manusia akan menjadi satu umat saja."
Yaitu umat yang terpesona oleh kemewahan dunia, sehingga tidak ingat lagi tujuan hidupnya yang sebenarnya.
“Sesungguhnya telah Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhan Mahamurah itu, untuk rumah-rumah mereka sambungkan dari perak, demikian juga tangga tempat mereka naik."
“Dan bagi rumah-rumah mereka itu pintu-pintunya" pun dari perak,
Ayat 34
“Demikian juga dipan-dipan tempat mereka bersandar-sandar."
Ayat 35
“Dan hiasan-hiasan"
Semua akan dihiasi dengan perak.
“Karena semuanya itu tidak lain hanyalah benda-benda kesenangan hidup dunia. Dan akhirat di sisi Tuhanmu adalah untuk orang-orang yang bertakwa."
Tegasnya ayat ini ialah bahwa orang-orang yang tidak memedulikan hubungan iman kepada Allah Yang Mahamurah itu, tidak pulalah semuanya dimewahkan Allah hidupnya, sehingga bumbungan rumahnya, pintu rumahnya, dipan tempat mereka bersandar-sandar disaluti perak. Atau kalau di zaman modern kita sekarang ini, tidaklah semua orang yang tidak peduli kepada agama itu mewah hidupnya, misalnya si tuan ber-Chevrolet Impala, si Nyonya ber-Mercedes Beriz, si anak-anak lain lagi dan rumah bertingkat tiga, tiap kamar ada radio dan televisi sendiri, ada bungalow di tanah dingin, ada uang sekian ratus juta di bank, yang dengan enak-enak mereka hidup dari bunganya. Tidak semua diberi hidup demikian, malah jumlah yang demikian sangat sedikit sekali. Allah Yang Mahamurah, Maha Mengerti bahwa orang-orang yang lemah imannya akan silau matanya melihat itu sehingga akhirnya"menjadi umat yang satu" tujuan mengejar dunia. Padahal karena tujuan satu, tetapi niat ialah kepentingan dan kemegahan diri sendiri, terjadilah perebutan keuntungan dan habis masa pada perkara-perkara yang tidak perlu."Dan akhirat di sisi Tuhanmu adalah untuk orang-orang yang bertakwa."
Tepat benar ayat ini mengorek rahasia hati manusia. Di dalam surah al-Qashash, ayat 76 sampai ayat 83, dikisahkan tentang halnya seorang yang kaya dan mewah, yaitu Qarun, melihat kekayaannya itu sudah banyak orang yang terpesona dan ingin hidup seperti Qarun. Tetapi setelah Qarun dan harta beridanya tenggelam ditelan bumi, orang-orang yang tadinya yang ingin itu bersyukur, untung dia tidak seperti Qarun.
Ayat 36
“Dan barangsiapa yang melengah dari mengingat Tuhan Yang Mahamurah, niscaya akan Kami dampingkan baginya setan maka dialah teman yang tidak berpisah dengan dia."
Apa kerja setan yang jadi teman (qarin) itu?
Ayat 37
“Dan mereka itu menghalangi mereka dari jalan yang lurus sedang mereka menyangka bahwa mereka dari orang-orang yang dapat petunjuk."
Apa saja jalan lurus untuk keselamatan diri dunia dan akhirat yang hendak ditempuh, ada-ada saja alasan dikemukakan setan itu buat menghalanginya, sehingga tidak jadi. Setelah tidak jadi, diri merasa bahwa petunjuk setan itulah yang benar. Demikianlah terus-menerus selama manusia tidak berkeras hati lalu mendekat kepada Allah. Kalau betul-betul telah mendekat kepada Allah dengan istighfar dan tobat, setan itu pun tidak berani datang lagi dan malaikat pun datang pula. Sayanglah manusia yang pengaruh setan itu sudah amat mendalam dan jiwanya lemah. Lalu dia mati dalam su'ul khotimah (penutupan hidup yang sengsara).
Ayat 38
“Hingga apabila dia datang kepada Kami, dia berkata,"
Kepada setan yang menjadi teman tidak pernah berpisah itu."Alangkah baiknya sekiranya di antara aku dan engkau" selama hidup di dunia dahulu itu
“sejauh Timur dan Barat kmena engkau adalah sejahat-jahat teman."
Itu hanyalah penyesalan belaka, pada hari yang penyesalan sudah tidak ada gunanya lagi. Sebab itu Allah berfirman,
Ayat 39
“Dan sekali-kali tidak memberi manfaat bagi kamu hari ini lagi."
Percuma sekarang membuka soal itu,"karena kamu telah menzaliminya." Yang kamu zalimi ialah dirimu sendiri. Kezaliman itu telah berlaku sejak engkau lengah daripada mengingat Tuhanmu. Sejak itu malaikat men-jauh, setanlah yang mendekat. Kamu bertambah menganiaya dirimu sendiri, sebab sejak itu setanlah penasihatmu. Dirimu sendirilah salahkan. Bagi setan, memang sudah itulah pekerjaannya. Oleh sebab itu,
“Sesungguhnya kamu di dalam menderita adzab bersama-sama."