Ayat
Terjemahan Per Kata
وَلَمَن
dan sungguh orang
صَبَرَ
dia sabar
وَغَفَرَ
dan dia memaafkan
إِنَّ
sesungguhnya
ذَٰلِكَ
demikian itu
لَمِنۡ
benar-benar termasuk
عَزۡمِ
teguh hati
ٱلۡأُمُورِ
urusan
وَلَمَن
dan sungguh orang
صَبَرَ
dia sabar
وَغَفَرَ
dan dia memaafkan
إِنَّ
sesungguhnya
ذَٰلِكَ
demikian itu
لَمِنۡ
benar-benar termasuk
عَزۡمِ
teguh hati
ٱلۡأُمُورِ
urusan
Terjemahan
Akan tetapi, sungguh siapa yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang (patut) diutamakan.
Tafsir
(Tetapi orang yang bersabar) dan ia tidak membela dirinya atau tidak menuntut balas (dan memaafkan) memaafkan kelaliman orang lain terhadap dirinya (sesungguhnya yang demikian itu) yaitu sabar dan pemaaf (termasuk hal-hal yang diutamakan) yang dianjurkan oleh syariat.
Tafsir Surat Asy-Syura: 40-43
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik. pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim. Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada suatu dosa pun atas mereka. Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.
Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan. Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. (Asy-Syura: 40) Semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu: Oleh sebab itu, barang siapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia seimbang dengan serangannya terhadapmu. (Al-Baqarah: 194) Semakna pula dengan firman-Nya: Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. (An-Nahl: 126), hingga akhir ayat.
Maka keseimbangan merupakan hal yang disyariatkan, yaitu hukum qisas, sedangkan yang lebih utama daripada itu hanyalah dianjurkan, yaitu memaafkan seperti yang disebutkan pula dalam ayat yang lain melalui firman Allah subhanahu wa ta’ala: dan luka-luka (pun) ada qisasnya. Barang siapa yang melepaskan (hak qisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. (Al-Maidah: 45) Karena itulah dalam surat ini disebutkan oleh firman-Nya: Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik, pahalanya atas (tanggungan) Allah. (Asy-Syura: 40) Artinya, hal tersebut tidak sia-sia di sisi Allah. Seperti apa yang disebutkan di dalam sebuah hadis shahih: Tidak sekali-kali Allah memberi tambahan kepada seseorang hamba dengan sifat pemaaf, melainkan kemuliaanlah (yang diperolehnya).
Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala: Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim. (Asy-Syura: 40) Maksudnya, orang-orang yang bersikap melampaui batas, yaitu orang yang memulai permusuhan dan berbuat jahat. Kemudian dalam firman berikutnya di sebutkan: Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada suatu dosa pun atas mereka. (Asy-Syura: 41) Tiada dosa atas mereka dalam melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang telah berbuat aniaya terhadap dirinya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Bazi', telah menceritakan kepada kami Muaz bin Mu'az, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aun yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya tentang pembelaan diri yang terdapat di dalam firman-Nya: Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada suatu dosa pun atas mereka. (Asy-Syura: 41) Maka Ali bin Zaid bin Jad'an menceritakan kepadanya sebuah hadis dari Ummu Muhammad, istri ayahnya.
Ibnu Aun mengatakan bahwa mereka menduga Ummu Muhammad pernah masuk menemui Siti Aisyah radhiyallahu ‘anhu Lalu Siti Aisyah bercerita kepadanya, "Pada suatu hari Rasulullah ﷺ masuk menemui kami, sedangkan di antara kami terdapat Zainab binti Jahsy radhiyallahu ‘anhu Maka Nabi ﷺ berisyarat dengan tangannya kepadaku, sedangkan beliau tidak mengetahui bahwa di rumahku ada Zainab. Kemudian aku memberikan isyarat kepada Beliau ﷺ bahwa ada Zainab hingga beliau mengetahui isyaratku, lalu beliau menghentikan isyaratnya." Tetapi rupanya Zainab mengetahui hal itu, maka ia langsung mencaci Aisyah radhiyallahu ‘anhu Rasulullah ﷺ melarangnya, tetapi Zainab tetap terus mencaci Aisyah. Lalu Nabi ﷺ bersabda kepada Aisyah, "Balas cacilah dia!" Kemudian aku (Aisyah) mencacinya hingga aku dapat membungkamnya. Zainab pergi dan mendatangi Ali radhiyallahu ‘anhuma, lalu mengadu kepadanya, "Sesungguhnya Aisyah telah mencacimu dan menjatuhkan namamu." Maka Fatimah radhiyallahu ‘anhu datang, tetapi Nabi ﷺ bersabda kepadanya, "Sesungguhnya Aisyah adalah kekasih ayahmu, demi Tuhan yang memiliki Ka'bah." Akhirnya Fatimah pergi dan mengadu kepada suaminya bahwa sesungguhnya ia telah mengatakan hal tersebut kepada Nabi ﷺ, tetapi Nabi ﷺ menjawabnya dengan jawaban anu dan anu. Maka Ali datang kepada Nabi ﷺ, dan Nabi ﷺ menerangkan duduk perkaranya kepada Ali. Demikianlah bunyi riwayat yangdikemukakan oleh Ibnu Aun, tetapi Ali bin Zaid bin Jad'an dalam riwayatnya sering mendatangkan hal-hal yang mungkar; ini menjadi kebiasaannya, dan riwayat ini mengandung hal yang mungkar. Riwayat yang shahih adalah yang berbeda dengan konteks ini seperti yang telah diriwayatkan oleh Imam An-Nasa’i dan Imam Ibnu Majah melalui hadis Khalid bin Salamah Al-Fa'fa, dari Abdullah Al-Bahi, dari Urwah yang menceritakan bahwa Siti Aisyah radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, bahwa tanpa ia sadari dirinya memasuki rumah Zainab tanpa izin, saat itu Zainab sedang marah.
Kemudian Zainab berkata kepada Rasulullah ﷺCukuplah bagimu bila kusingkapkan baju kurung anak perempuan Abu Bakar ini." Lalu Zainab meluapkan emosinya kepadaku, tetapi aku berpaling darinya, hingga Rasulullah ﷺ bersabda, "Hai kamu, belalah dirimu!" Akhirnya aku hadapi Zainab, hingga kulihat dia terbungkam tidak dapat menjawab sepatah kata pun terhadapku, dan saat itu kulihat wajah Nabi ﷺ cerah. Demikianlah menurut lafaz hadis yang diketengahkan oleh Imam An-Nasa’i. ". Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Musa, telah menceritakan kepada kami Abu Gassan, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, dari Abu Hamzah, dari Ibrahim, dari Al-Aswad, dari Aisyah radhiyallahu ‘anhu yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Barang siapa yang berdoa untuk (kemudaratan) orang yang telah menganiaya dirinya, maka sesungguhnya ia telah membela dirinya.
Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadis ini melalui Abul Ahwas, dari Abu Hamzah yang nama aslinya Maimun. Kemudian Imam At-Tirmidzi mengatakan, "Kami tidak mengenal hadis ini kecuali melalui riwayatnya (Abu Hamzah), padahal mengenai hafalannya masih diragukan." Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Sesungguhnya dosa itu. (Asy-Syura: 42) Yakni dosa dan penderitaan. atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. (Asy-Syura: 42) Yaitu memulai perbuatan aniaya terhadap orang lain, sebagaimana yang disebutkan di dalam sebuah hadis shahih yang menyebutkan: Kedua orang yang saling mencaci menurut apa yang dikatakan oleh masing-masing, sedangkan dosanya ditanggung oleh pihak yang memulainya, selama pihak yang teraniaya tidak melampaui batas.
Adapun firman Allah subhanahu wa ta’ala: Mereka itu mendapat azab yang pedih. (Asy-Syura: 42) Yakni siksa yang sangat menyakitkan. Abu Bakar bin Abu Syaibah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Musa, telah menceritakan kepada kami Sa'id bin Zaid (saudara lelaki Hammad bin Zaid), telah menceritakan kepada kami Usman Asy-Syahham, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Wasi' yang mengatakan bahwa ia tiba di Mekah, dan ia menjumpai di atas parit ada jembatan, lalu ia di tangkap dan dibawa menghadap kepada Marwan ibnul Muhallab yang saat itu menjabat sebagai amir (gubernur) di Basrah.
Lalu Marwan bertanya, "Ada apakah keperluanmu, hai Abu Abdullah?" Abu Abdullah (nama panggilan Muhammad bin Wasi') menjawab, "Keperluanku hanyalah menginginkan agar engkau seperti saudara Bani Addi bila engkau mampu.Marwan bertanya, "Siapakah saudara Bani Addi yang engkau maksud?" Abu Abdullah menjawab, "Dia adalah Al-Ala bin Ziyad. Dia pernah menugaskan seorang teman dekatnya untuk menjadi 'amil (pejabat), lalu ia berkirim surat kepada 'amil-nya yang isinya seperti berikut, 'Amma Ba'du, Jika engkau mampu untuk tidak menginap (tidur) kecuali dirimu dalam keadaan tanpa beban, perutmu kosong, dan tanganmu bersih dari darah kaum muslim dan harta mereka, lakukanlah.
Dan Jika engkau melakukan hal tersebut, berarti tidak ada dosa bagimu'." Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih. (Asy-Syura: 42) Maka Marwan berkata, "Demi Allah, dia benar dan memberi nasihat." Marwan bertanya, "Hai Abu Abdullah, lalu apakah keperluanmu?" Abu Abdullah menjawab, "Keperluanku ialah engkau biarkan aku berkumpul dengan keluargaku." Marwan menjawab, "Baiklah, aku izinkan." Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
Setelah mencela perbuatan aniaya dan para pelakunya serta ditetapkan-Nya hukum qisas (pembalasan), lalu Allah subhanahu wa ta’ala menyerukan kepada (hamba-hamba-Nya) untuk memaaf dan mengampuni (kesalahan orang lain) melalui firman-Nya: Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan. (Asy-Syura: 43) Yakni sabar dalam mengadapi gangguan yang menyakitkan dan memaafkan perbuatan buruk yang dilakukan terhadap dirinya. Sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan. (Asy-Syura: 43) Sa'id bin Jubair mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah hal tersebut benar-benar termasuk perkara yang benar yang dianjurkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk dilakukan. Dengan kata lain, sifat memaafkan kesalahan orang lain itu merupakan sikap yang disyukuri dan perbuatan yang terpuji, pelakunya akan mendapat pahala yang berlimpah dan pujian yang baik. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Imran bin Musa At-Tartusi, telah menceritakan kepada kami Abdul Musammad bin Yazid (pelayan Al-Fudail bin Iyad yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Al-Fudail bin Iyad mengatakan, "Apabila datang kepada Anda seorang lelaki yang mengadu kepadamu perihal perbuatan seseorang terhadap dirinya, maka katakanlah kepadanya, 'Hai saudaraku, maafkanlah dia, karena sesungguhnya sikap memaafkan itu lebih dekat kepada ketakwaan.' Dan jika dia mengatakan kepada Anda, 'Hatiku tidak kuat untuk memberi maaf, tetapi aku akan membela diri sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala,' maka katakanlah kepadanya, 'jika engkau dapat membela diri, lakukanlah.
Tetapi jika engkau tidak mampu, maka kembalilah ke jalan memaafkan, karena sesungguhnya pintu memaafkan itu sangat luas. Dan barang siapa yang memaafkan serta berbuat baik, maka pahalanya ditanggung oleh Allah subhanahu wa ta’ala Orang yang memaaf tidur dengan tenang di pelaminannya di malam hari, sedangkan orang yang membela dirinya membalikkan permasalahan'." ". Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya (yakni Ibnu Sa'id Al-Qattan), dari Ibnu Ajlan, telah menceritakan kepada kami Sa'id bin Abu Sa'id, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang menceritakan bahwa pernah ada seorang lelaki mencaci sahabat Abu Bakar radhiyallahu ‘anhuma, sedangkan Nabi ﷺ saat itu duduk, lalu Nabi ﷺ hanya tersenyum dan merasa kagum. Tetapi ketika Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu membalas sebagian cacian yang ditujukan terhadap dirinya, Nabi ﷺ kelihatan marah, lalu bangkit. Maka Abu Bakar menyusulnya dan bertanya kepadanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya ketika dia mencaciku engkau tetap dalam keadaan duduk, Tetapi ketika aku membalas caciannya, engkau kelihatan marah dan meninggalkan tempat duduk." Nabi ﷺ menjawab: Sesungguhnya pada mulanya ada malaikat yang bersamamu membela dirimu. Tetapi ketika engkau membalas terhadapnya sebagian dari caciannya (malaikat itu pergi) dan datanglah setan, maka aku tidak mau duduk bersama setan.
Kemudian beliau ﷺ bersabda pula: Hai Abu Bakar, ada tiga perkara yang semuanya benar, yaitu tidak sekali-kali seseorang hamba dianiaya dengan suatu penganiayaan, lalu ia menahan dirinya karena Allah, melainkan Allah akan memuliakannya dan menolongnya. Dan tidak sekali-kali seorang lelaki membuka pintu pemberian dengan mengharapkan silaturahim, melainkan Allah subhanahu wa ta’ala makin menambah banyak (hartanya). Dan tidak sekali-kali seorang lelaki membuka pintu meminta-minta karena ingin memperbanyak (hartanya), melainkan Allah subhanahu wa ta’ala makin menambah sedikit (hartanya). Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Abu Daud, Abdul A'la bin Hammad, dari Sufyan bin Uyaynah; Abu Daud mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan pula oleh Safwan bin Isa yang keduanya (Sufyan dan Safwan) meriwayatkannya dari Muhammad bin Ajlan. Abu Daud telah meriwayatkan pula hadis ini melalui jalur Al-Laits, dari Sa'id Al-Maqbari, dari Basyir ibnul Muharrar, dari Sa'id ibnul Musayyab secara mursal. Hadis ini sangat baik maknanya dan sesuai dengan akhlak As-Siddiq radhiyallahu ‘anhu"
Akan tetapi, barang siapa bersabar terhadap kezaliman dengan tidak melakukan pembalasan atas kezaliman itu dan memaafkannya, sungguh yang demikian itu termasuk perbuatan yang mulia. 44. Dan barang siapa dibiarkan sesat oleh Allah akibat kecenderungan dan keinginan hatinya untuk sesat, maka tidak ada baginya pelindung yang dapat melindunginya dari kesesatan itu sesudahnya, sesudah Allah memperlakukannya dengan perlakuan itu. Kamu, wahai Nabi Muhammad dan orang-orang beriman, akan melihat orang-orang zalim ketika mereka melihat azab yang akan di terimanya di akhirat kelak berkata, 'Adakah kiranya jalan yang dapat mengantarkan kami untuk kembali ke alam dunia''.
Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa orang-orang yang sabar dan memaafkan perbuatan jahat yang dilakukan orang lain atas dirinya, sedangkan ia sanggup membalasnya, mereka itu telah melakukan sesuatu yang utama dan mereka itu berhak menerima pahala yang banyak.
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa seorang laki-laki mencaci maki Abu Bakar, sedangkan Nabi duduk bersamanya, tersenyum, begitu banyak caci maki itu sehingga Abu Bakar membalas caci maki tersebut. Kemudian Nabi marah dan bangun dari duduknya, lalu Abu Bakar mengikutinya dan berkata, "Ya Rasulullah, dia telah mencaci makiku sedangkan engkau duduk (melihatnya), ketika aku membalas caci makinya engkau marah dan bangkit (meninggalkanku)." Rasul kemudian menjawab, "Sesungguhnya (ketika engkau dicaci) malaikat ada bersamamu membalas caci maki orang tersebut, ketika engkau membalas caci maki itu, hadirlah setan (disitu), maka aku tidak mau duduk bersama setan." Kemudian Rasul bersabda, Ya Abu Bakar, ada 3 hal yang semuanya benar, yaitu:
1. Seorang hamba dianiaya, lalu dia memaafkan penganiayanya itu, maka ia akan dimuliakan Allah dan dimenangkan atas musuhnya.
2. Seorang laki-laki yang memberikan suatu pemberian dengan maksud mengeratkan hubungan silaturahmi akan diberi Allah tambahan rezeki yang banyak.
3. Orang-orang yang minta-minta dengan maksud memperkaya diri akan dikurangi Allah rezekinya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
TANDA-TANDA KEBESARAN ALLAH AMAT BANYAK SEKALI
Bagaimana Allah menyuruh kita memupuk iman, sampai pun kepada pelayaran kapal di lautan disuruh perhatikan.
Ayat 32
“Dan setengah dari tanda-tanda" kekuasaan-Nya jua ialah kapal-kapal di lautan, laksana gunung-gunung."
Ayat 33
“Jika Dia kehendaki, dimatikan-Nya angin."
Kapal yang hanya bergantung kepada belas kasihan angin, jika angin mati,"maka tertegunlah dia terkatung-katung di permukaannya (laut)." Maju tidak, mundur pun tidak,
“Sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi tanda-tanda bagi yang sabar dan yang syukur"
Banyaklah ayat atau tanda yang tampak di sini, apalah arti bahtera atau kapal layar, atau perahu di dalam lautan yang luas itu. Bila telah ke tengah lautan, bila kiri kanan, muka belakang yang kelihatan hanya laut belaka, pikirkanlah di sana ayat Allah. Apalah artinya manusia dan kapal yang ditumpanginya itu di hadapan kekuasaan laut, yang tiga perempat dari seluruh permukaan bumi adalah laut belaka? Dan bagaimana kapal akan maju, kalau tidak kasihan angin? Manusia bersabar ketika angin mati; manusia sabar menunggu angin datang lagi karena manusia tidak kuasa atas angin. Dan manusia bersyukur kalau angin datang lagi; laju, laju bahtera laju. Beribu tahun lamanya manusia berlayar di laut mengharap belas kasihan angin. Tetapi akhirnya kesabaran itu diberi Allah upah. Sekarang pelayaran tidak mengharapkan angin dari luar lagi tetapi dengan uap (Stom), lama-lama maju menjadi motor dan diesel. Namun satu hal tidaklah berubah, yaitu betapa pun besarnya kapal zaman sekarang ini, dia hanya dipandang dari dekat laksana bukit. Kalau sudah jauh laksana sabut terapung saja.
Ayat 34
“Atau dibinasakan-Nya," kapal-kapal itu,"dengan sebab usaha mereka."
Ditenggelamkan-Nya, dipecahbelahkan oleh gelombang, atau beradu kapal sama kapal, atau berperang kapal-kapal di laut sama-sama hancur-menghancurkan. Habis musnah tenggelam ke dasar laut. Sudah berapa ratus ribukah kapal-kapal yang ada di dasar taut, membawa beribu-ribu manusia berkubur di dalamnya, sejak manusia pandai berlayar? Menurut ayat ini, banyak kapal tenggelam karena dosa orang di dalamnya. Sungguhpun demikian, di ujung ayat Allah berkata,
“Padahal diampuni-Nya bagian yang banyak."
Ayat 35
“Dan supaya tahulah orang-orang yang membantah pada ayat-ayat Kami, mereka tidak mempunyai jalan untuk melepaskan diri."
Kalau pada ayat 31 telah kita insafi bahwa di daratan bumi ini kita tidak dapat melepaskan diri, tidak ada pelindung dan penolong selain Allah, apatah lagi di lautan. Berlayarlah di laut, bawa Al-Qur'an dan baca ayat-ayat ini ketika tertegun melihat ombak dan gelombang di keliling kapal, akan terasalah di dalam jiwa kita bahwa tidak ada pedoman kita selain Allah. Sewaktu-waktu Dia dapat memperlihatkan kuasa-Nya, walaupun pelayaran sedang tenang.
Ayat 36
“Maka apa jua pun yang dianugerahkan kepada kamu maka itu hanyalah bekal hidup di dunia ini saja. Dan apa yang di sisi Allah itulah yang baik dan lebih kekal, untuk orang-orang yang beriman dan kepada Tuhan mereka, mereka berserah diri"
Syukurilah nikmat Allah, jika kita diberi-Nya apa-apa di dunia ini. Banyak atau sedikit nikmat itu, janganlah dipersoalkan. Semua nikmat Allah kepada diri kita akan terasa banyaknya apabila kita bandingkan kepada orang yang hanya mendapat sedikit dan dia akan terasa sedikit kalau kita melihat, menengadah kepada orang yang kita lihat mendapat banyak. Padahal segala nikmat yang kita terima di dunia ini, hakikatnya hanya sedikit sekali. Hanya semata-mata hiasan atau bekal sementara. Harta berida, emas perak, gedung indah, istana, gubuk reyot, kendaraan berbagai ragam, semua hanya sementara. Tempo buat kita memakainya betul-betul sangat pendek sekali. Demikian pun pangkat, kebesaran, kemuliaan. Tempo untuk semuanya itu hanya pendek sekali. Sebab semuanya itu hanya nikmat sementara. Tetapi semua wajib kita syukuri. Dan kita pun wajib pula melatih jiwa agar segala pemberian dunia itu jangan sekali-kali memikat hati kita. Sudah menjadi tabiat manusia meminta yang lebih banyak. Ayat ini menjelaskan keinginan kepada yang lebih itu, kepada yang lebih kekal. Ditegaskan Allah di sini,"Apa yang ada di sisi Allah itulah yang baik dan lebih kekal." Kita tidak boleh melupakan itu. Bukan saja tidak boleh melupakan, bahkan disuruh mencapai yang lebih baik dan lebih kekal itu. Dia disediakan buat yang beriman dan tawakal. Sebab itu berimanlah dan bertawakallah. Dengan iman dan tawakal berserah diri maka pemberian di dunia yang sedikit itu tidak akan membuatmu lupa diri jika ada dan tidak membuat engkau canggung jika dia pergi dari engkau, dan tidak akan membuat engkau bermata ke belakang jika datang saatnya engkau dipanggil Allah.
Ayat selanjutnya menunjukkan bagaimana menyempurnakan iman dan tawakal itu.
Ayat 37
“Dan orang-orang yang menjauhi dosa-dosa yang besar dan yang keji. Dan apabila marah, mereka mengampuni."
Dosa-dosa besar di antaranya ialah mempersekutukan Allah, mendurhakai ibu bapak, naik saksi dusta, mempercayai tukang tenung, sihir, lari meninggalkan barisan di dalam peperangan. Yang keji-keji ialah zina dan segala perbuatan menuju zina, memakan harta haram, meminum minuman yang memabukkan, memakan daging babi, makan bangkai, makan dan minum darah dan sebagainya. Dosa besar juga ialah sombong, dengki, riya dan hasut fitnah. Kemudian itu kalau marah, suka memberi maaf, tidak pendendam.
Ayat 38
“Dan orang-orang yang menyambut akan (ajakan) dari Tuhan mereka."
Yaitu mengerjakan segala yang diperintah Allah dan menghentikan segala yang dilarang-Nya. Karena iman saja, barulah pengakuan. Belum ada artinya,"Percayakah engkau kepada-Ku?" Tentu kita jawab,"Percaya!" Lalu Allah bertanya lagi,"Sudah engkau sambut ajakan-Ku?" Apa jawab kita? Di antara sekalian ajakan Allah itu, di ayat ini ditegaskan satu hal, yaitu"Dan mereka mendirikan shalat." Sebab shalat itu ialah tanda pertama dan utama dari iman. Shalat ialah masa berhubungan dengan Allah sekurangnya lima kali sehari semalam. Shalat memang berat mengerjakannya, kecuali bagi orang yang hatinya memang khusyu. Meskipun seseorang itu baik dengan sesama manusia, kalau dia tidak mendirikan shalat, terbuktilah hubungannya dengan Allah tidak baik. Dan ditambah lagi oleh contoh teladan Nabi ﷺ, hendaklah shalat itu berjamaah dan hendaklah pula berjum'at. Maka sejalan dengan menguatkan hubungan dengan Allah, kamu rapatkan pula hubungan sesama manusia, khususnya sesamamu yang beriman. Maka datanglah lanjutan ayat,"Sedang urusan-urusan mereka adalah dengan musyawarah di antara mereka." Sebab sudah jelas bahwa urusan itu ada yang urusan pribadi dan ada urusan yang mengenai kepentingan bersama. Maka yang mengenai bersama itu dimusyawarahkan bersama, supaya ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Itu sebabnya maka ujung ayat dipatrikan dengan,
“Dan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan, mereka nafkahkan."
Sebab suatu musyawarah tentang urusan bersama tidak akan mendapat hasil yang diharapkan kalau orang tidak mau menafkahkan sebagian kepunyaan pribadinya untuk kepentingan bersama.
Ayat ini dengan tegas menjelaskan bahwa hasil iman seseorang itu bukanlah semata-mata untuk dirinya saja. Iman bukan semata-mata hubungan pribadi orang seorang dengan Allah. Tetapi di samping dengan Allah, iman pun membawa hubungan pribadi dengan urusan bersama yang langsung. Dipangkali dengan shalat. Shalatnya berjamaah dan berjum'at. jamaah dan Jum'at, adalah pendasaran bermasyarakat. Masyarakat bertetangga, berteratak, berdusun, berdesa, bermarga, berkampung, berkota dan bernegara. Sendirinya tumbuh urusan bersama dan dipikul bersama, boleh dinamai demokrasi atau gotong-royong. Dan semua menafkahkan rezeki yang diberikan padanya untuk kepentingan bersama itu. Rezeki adalah umum. Rezeki harta berida, emas perak, tenaga, pikiran, kepandaian ilmu, keahlian, pengalaman. Semua mau menafkahkan untuk kepentingan bersama. Jadi shalat, jamaah, musyawarah, dan pengurbanan rezeki dalam satu nafas.
Inilah yang disebut oleh seorang sarjana hukum Indonesia Prof. Dr. Hazairin S.H.,"Menjadikan seluruh tanah air Indonesia satu masjid."
Adapun teknik cara, misalnya perwakilan, dipilihkan perwakilan itu atau ditunjuk, agama tidak masuk sampai ke sana. Yang pokok dalam Islam ialah musyawarah: syura, (Dan dia menjadi nama kehormatan dari surah ini.)
Bagaimana mestinya musyawarah itu, terserahlah kepada perkembangan pikiran, ruang, dan waktu belaka.
“Kamu lebih tahu dengan urusan-urusan duniamu.
Hubungan pribadi Mukmin dengan masyarakat secara baik dan lancar sudah dituntunkan oleh ayat 37 dan 38. Tetapi Allah Allah Yang Maha Mengetahui, Mahagagah dan Mahabijaksana, juga memperingatkan ke-mungkinan terberiturnya satu pribadi dengan keadaan yang tidak diingini dari pribadi lain. Maka datanglah ayat 39 yang begini artinya,
Ayat 39
“Dan bagi orang-orang yang ditimpa penganiayaan, mereka pun membalas."
Menilik susunan ayat dari atasnya, teranglah bahwa kalau seorang membalas karena dia dianiaya, tidaklah keluar dari garis ketentuan iman, melainkan termasuk dalam rangka iman juga. Orang yang dayyuts, tidak memelihara harga diri lalu menyerah saja ketika dianiaya, tidaklah rupanya Mukmin yang terpuji. Dia ber-hak mempertahankan diri. Tetapi cara membalas dijelaskan lagi pada ayat selanjutnya.
Ayat 40
“Dan batasan atas satu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal dengan dia"
Di sini masuklah ijtihad tentang pentingnya hakim atau pemerintahan. Sebab mempertimbangkan balasan kejahatan yang setimpal, yang seimbang, yang patut, payah buat diputuskan sendiri oleh yang bersangkutan. Karena marah, mungkin dilanggarnya ayat itu. Satu kejahatan dibalasnya dengan kejahatan pula, pakai"bunga". Misalnya dia dipukul orang sekali dengan tinju, dibalasnya dua puluh tinju. Maka ulama-ulama fiqih atau ulama ilmu kalam dalam Islam, ijma (sependapat) bahwa salah satu sebab maka pemerintahan mesti berdiri ialah karena untuk keseimbangan di antara si lemah dengan si kuat, jangan yang lemah teraniaya dan yang kuat menganiaya. Itulah isi khutbah sambutan Abu Bakar (moga-moga ridha Allah untuknya), ketika dia dilantik menjadi khalifah Nabi yang pertama."Saya diangkat menjadi pemimpin kamu, meskipun saya tidaklah lebih baik daripada kamu. Orang yang lemah di sisi kamu adalah kuat di sisiku karena kekuatan itu akan aku ambil dari yang kuat. Dan orang yang kuat di sisi kamu adalah lemah di sisiku, karena kekuatan itu akan aku ambil untuk membantu yang lemah."
Tetapi ayat masih lanjut lagi untuk membuka pintu bagi Mukmin yang ingin imannya lebih sempurna dan murni."Tetapi barangsiapa yang memberi maaf dan mendamaikan maka pahalanya ada atas Allah." Ditambah dengan peringatan lagi,
“Sesungguhnya Dia tidaklah suka kepada orang-orang yang zalim."
Inti sari ayat ialah bahwa memberi maaf dan mencari jalan damai dari pihak yang teraniaya ialah karena timbul dari kekuatan jiwanya, bukan karena kelemahannya. Inilah yang disebut
“Memberi maaf dalam kesanggupan membalas."
Tetapi ujung ayat menjelaskan bahwa meskipun yang teraniaya telah memberi maaf dan mencari jalan damai, namun yang menganiaya tetap dipandang aniaya, tetap diberici Allah.
Urusannya dengan yang memberi maaf bisa selesai, namun dengan Allah belum selesai, entah kalau perangainya itu diubahnya dan dia tobat, tidak berbuat begitu lagi kepada orang lain.
Sebab itu ditegaskan sekali lagi dalam ayat berikutnya.
Ayat 41
“Dan sesungguhnya orang yang membalas sesudah teraniaya maka bual mereka tidak ada jalan buat diapa-apakan."
Karena membalaskan penganiayaan itu adalah haknya.
Ayat 42
“Ada jalan hanyalah terhadap orang-orang yang menganiaya manusia dan berlaku sewenang-wenang di bumi dengan tidak menunai hak. Bagi mereka itu adalah adzab yang pedih."
Keadilan, kemakmuran, dan keamanan itulah yang dicita-citakan masyarakat yang demikian. jangan yang merasa dirinya kuat berbuat semau-maunya kepada yang lemah. Dan dengan demikian tercapailah apa yang pernah dikatakan Nabi ﷺ tatkala hidupnya kepada seorang sahabatnya,"Akan engkau dapati kelak seorang perempuan berjalan dari Hirah ke Mekah, seorang diri, tidak ada yang mengganggunya di jalan." Dan sahabat itu mendapati!
Dengan demikian, nyatalah bahwa cita-cita menegakkan iman itu bukanlah semata-mata untuk kesucian pribadi, tetapi mempunyai kelanjutan kepada keamanan dan kemakmuran bernegara.
Ayat 43
“Dan sesungguhnya orang-orang yang sabar dan memberi ampun, sesungguhnya yang demikian adalah dari sepenting-penting perbuatan."