Ayat
Terjemahan Per Kata
وَٱلَّذِينَ
dan orang-orang yang
ٱسۡتَجَابُواْ
mereka memperkenankan
لِرَبِّهِمۡ
kepada Tuhan mereka
وَأَقَامُواْ
dan mereka mendirikan
ٱلصَّلَوٰةَ
sholat
وَأَمۡرُهُمۡ
dan urusan mereka
شُورَىٰ
musyawarah
بَيۡنَهُمۡ
diantara mereka
وَمِمَّا
dan sebagian apa
رَزَقۡنَٰهُمۡ
Kami beri rezeki mereka
يُنفِقُونَ
mereka menafkahkan
وَٱلَّذِينَ
dan orang-orang yang
ٱسۡتَجَابُواْ
mereka memperkenankan
لِرَبِّهِمۡ
kepada Tuhan mereka
وَأَقَامُواْ
dan mereka mendirikan
ٱلصَّلَوٰةَ
sholat
وَأَمۡرُهُمۡ
dan urusan mereka
شُورَىٰ
musyawarah
بَيۡنَهُمۡ
diantara mereka
وَمِمَّا
dan sebagian apa
رَزَقۡنَٰهُمۡ
Kami beri rezeki mereka
يُنفِقُونَ
mereka menafkahkan
Terjemahan
(juga lebih baik dan lebih kekal bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanakan salat, sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka. Mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka;
Tafsir
(Dan bagi orang-orang yang menerima seruan Rabbnya) yang mematuhi apa yang diserukan Rabbnya yaitu, mentauhidkan-Nya dan menyembah-Nya (dan mendirikan salat) memeliharanya (sedangkan urusan mereka) yang berkenaan dengan diri mereka (mereka putuskan di antara mereka dengan musyawarah) memutuskannya secara musyawarah dan tidak tergesa-gesa dalam memutuskannya (dan sebagian dari apa yang Kami rezekikan kepada mereka) atau sebagian dari apa yang Kami berikan kepada mereka (mereka menafkahkannya) untuk jalan ketaatan kepada Allah. Dan orang-orang yang telah disebutkan tadi merupakan suatu golongan kemudian golongan yang lainnya ialah;.
Tafsir Surat Asy-Syura: 36-39
Maka sesuatu apa pun yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakal, dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji; dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan salat, sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.
Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim, mereka membela diri. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, menggambarkan kecilnya urusan duniawi dan perhiasannya serta segala sesuatu yang ada pada dunia berupa kegemerlapan perhiasannya dan semua kesenangannya yang fana itu. Untuk itu Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: Maka sesuatu apa pun yang diberikan kepadamu, itu adalah kesenangan hidup di dunia. (Asy-Syura: 36) Maksudnya, apa pun yang kamu hasilkan dan kamu kumpulkan, janganlah kamu teperdaya olehnya, karena sesungguhnya itu adalah kesenangan hidup di dunia, sedangkan dunia adalah negeri yang fana dan pasti akan lenyap lagi tiada artinya dibandingkan dengan kesenangan di akhirat.
dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal. (Asy-Syura: 36) Yakni pahala Allah subhanahu wa ta’ala lebih baik daripada dunia, karena pahala Allah kekal dan selama-lamanya. Maka janganlah kamu mendahulukan yang fana dengan melalaikan yang kekal. Dalam firman berikutnya disebutkan: bagi orang-orang yang beriman. (Asy-Syura: 36) Yaitu bagi orang-orang yang bersabar dalam meninggalkan kesenangan duniawi. dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakal. (Asy-Syura: 36) Yakni ketawakalan mereka benar-benar dapat membantu mereka bersabar dalam menunaikan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan larangan-larangan. Dan dalam firman berikutnya disebutkan: dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji. (Asy-Syura: 37) Penjelasan mengenai dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji telah diterangkan di dalam tafsir'surat Al-A'raf.
dan apabila mereka marah, mereka memberi maaf. (Asy-Syura: 37) Watak mereka adalah pemaaf dan penyantun terhadap orang lain, dan bukan termasuk watak mereka sifat pendendam. Di dalam hadis shahih telah disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ belum pernah sama sekali marah karena pribadinya, melainkan bilamana hal-hal yang diharamkan oleh Allah dilanggar. Di dalam hadis lain disebutkan, bahwa beliau ﷺ apabila menegur seseorang dari kami (para sahabat) mengatakan: Mengapa dia, semoga dia mendapat keberuntungan. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dzar, telah menceritakan kepada kami Sufyan bin Zaidah, dari Mansur, dari Ibrahim, bahwa dahulu orang-orang mukmin tidak senang bila dihina dan mereka selalu memaaf apabila dikhianati.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya. (Asy-Syura: 38) Yakni mereka mengikuti rasul-rasul Allah dan taat kepada perintah-perintah-Nya serta menjauhi larangan-larangan-Nya. dan mendirikan salat. (Asy-Syura: 38) Salat adalah ibadah yang paling besar. sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka. (Asy-Syura: 38) Artinya, mereka tidak pernah memutuskan sesuatu urusan melainkan terlebih dahulu mereka musyawarahkannya di antara sesamanya agar masing-masing dari mereka mengemukakan pendapatnya. Seperti dalam menghadapi urusan perang dan lain sebagainya yang penting, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. (Ali Imran: 159) hingga akhir ayat.
Karena itulah Rasulullah ﷺ selalu bermusyawarah dengan para sahabat saat menghadapi peperangan dan urusan penting lainnya, sehingga dengan demikian hati mereka merasa senang dan lega. Hal yang sama telah dilakukan oleh Khalifah Umar ibnul Khattab radhiyallahu ‘anhu saat menjelang ajalnya karena tertusuk, ia menjadikan urusan kekhalifahan sesudahnya agar dimusyawarahkan di antara sesama mereka untuk memilih salah seorang dari enam orang berikut, yaitu Usman, Ali, Talhah, Az-Zubair, Sa'd, dan Abdur Rahman bin Auf; semoga Allah melimpahkan rida-Nya kepada mereka. Maka akhirnya pendapat semua sahabat sepakat menunjuk sahabat Usman bin Affan radhiyallahu ‘anhu sebagai khalifah sesudah Umar radhiyallahu ‘anhu dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (Asy-Syura: 38) Yang demikian itu terealisasi dengan berbuat kebaikan kepada makhluk Allah yang paling dekat dengan mereka dari kalangan keluarga mereka, lalu berikutnya adalah orang-orang yang dekat dengan mereka.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala: Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim, mereka membela diri. (Asy-Syura: 39) Yakni mereka mempunyai kekuatan untuk membela diri dari orang-orang yang berbuat aniaya dan memusuhi mereka. Mereka bukanlah orang-orang yang lemah, bukan pula orang-orang yang hina, bahkan mereka mempunyai kemampuan untuk membalas perbuatan orang-orang yang berlaku kelewat batas terhadap diri mereka. Sekalipun sifat mereka demikian, mereka selalu memberi maaf (yakni gemar memberi maaf), walaupun mereka mampu untuk membalas.
Seperti halnya yang dikatakan oleh Nabi Yusuf a.s. kepada saudara-saudaranya yang pernah hampir membunuhnya: Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu). (Yusuf: 92) Padahal Yusuf a.s. mampu menghukum mereka dan membalas perbuatan mereka terhadap dirinya dengan balasan yang setimpal. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah ﷺ terhadap delapan puluh orang yang berniat akan membunuhnya pada tahun Perjanjian Hudaibiyyah. Mereka turun dari Bukit Tan'im; dan setelah mereka dapat dikuasai, maka Rasulullah ﷺ memberi maaf dan membebaskan mereka, padahal beliau ﷺ mampu menghukum mereka. Hal yang sama telah dilakukan oleh Rasulullah ﷺ terhadap Gauras ibnul Haris, ketika ia hendak membunuh beliau saat pedang beliau dicabut, sedangkan beliau dalam keadaan tidur. Lalu beliau terbangun, sedangkan pedangnya telah berada di tangan Gauras dalam keadaan terhunus.
Maka beliau ﷺ membentaknya sehingga pedang itu terjatuh dari tangannya, dan beliau memungut pedangnya. Kemudian beliau ﷺ memanggil semua sahabatnya dan menceritakan kepada mereka tentang apa yang telah dilakukan Gauras, dan beliau menceritakan kepada mereka bahwa beliau telah memaafkannya. Rasulullah ﷺ telah memaafkan pula perbuatan Labid ibnul A'sam yang telah menyihirnya; beliau tidak menangkapnya dan tidak pula mengecamnya, padahal beliau mampu untuk berbuat itu terhadapnya. Beliau telah memaafkan seorang wanita Yahudi yang bernama Zainab (saudara perempuan Marhab, seorang Yahudi dari Khaibar yang telah dibunuh oleh Mahmud bin Salamah). Wanita itu telah meracuni kaki kambing yang disajikan kepada Rasulullah ﷺ pada hari Perang Khaibar. Lalu kaki kambing itu dapat berbicara dan menceritakan kepada beliau ﷺ bahwa ada racun padanya. Maka beliau ﷺ memanggil wanita Yahudi itu, dan ia mengakui perbuatannya. Nabi ﷺ menanyainya, "Apakah yang mendorongmu berbuat demikian?" Wanita itu menjawab, "Aku bermaksud ingin menguji. Jika engkau benar seorang nabi, maka racun itu tidak membahayakan dirimu. Dan jika engkau bukan seorang nabi, maka kami akan terbebas darimu." Maka Nabi ﷺ melepaskannya. Tetapi ketika Bisyr ibnul Barra radhiyallahu ‘anhu mati karena racun itu (karena ia ikut memakannya bersama Rasulullah ﷺ), maka beliau ﷺ menghukum mati wanita Yahudi itu. Hadis-hadis dan atsar-atsar yang menceritakan kejadian ini cukup banyak."
Ayat yang lalu menjelaskan kenikmatan ukhrawi yang diperoleh oleh orang-orang yang menghindarkan diri dari perbuatan dosa besar. Ayat ini juga menerangkan bahwa kenikmatan ukhrawi yang lebih baik dan lebih kekal itu juga akan diperoleh oleh orang-orang yang menerima seruan Tuhan mereka. Dan kenikmatan ukhrawi itu akan di anugerahkan pula kepada orang-orang yang menerima dan mematuhi seruan Tuhan melalui para rasul dan wahyu-wahyu yang di sampaikan kepada mereka dan orang-orang yang melaksanakan salat, sebagai salah satu kewajiban yang diwajibkan kepada mereka, sedang urusan mereka yang berkaitan dengan persoalan dunia dan kemaslahatan kehidupan mereka, diputuskan dengan musyawarah antara mereka. Dan yang juga menerima kenikmatan ukhrawi itu adalah mereka yang menginfakkan di jalan Allah dengan tulus dan ikhlas sebagian dari rezeki mereka, baik dalam bentuk harta maupun lainnya yang Kami berikan kepada mereka. 39. Ayat-ayat yang lalu menjelaskan beberapa golongan yang akan mendapatkan kenikmatan ukhrawi dari Allah. Di dalam ayat ini, Allah memerintahkan untuk membela diri kepada orang-orang yang di zalimi. Dan orang-orang yang apabila mereka di perlakukan dengan zalim, yaitu tindakan yang melampaui batas oleh orang lain, mereka sendiri dengan segala kekuatan dan kemampuannya membela diri sesuai dengan kondisi yang mereka hadapi.
Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang yang menyambut baik panggilan Allah kepada agama-Nya seperti mengesakan dan menyucikan Zat-Nya dari penyembahan selain Dia, mendirikan salat fardu pada waktunya dengan sempurna untuk membersihkan hati dari iktikad batil dan menjauhkan diri dari perbuatan mungkar, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, selalu bermusyawarah untuk menentukan sikap di dalam menghadapi hal-hal yang pelik dan penting, kesemuanya akan mendapatkan kesenangan yang kekal di akhirat . Dalam ayat yang serupa, Allah berfirman:
Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. (Ali 'Imran/3: 159)
Demikian pula menginfakkan rezeki di jalan Allah, membelanjakannya di jalan yang berguna dan bermanfaat bagi pribadi, masyarakat, nusa, dan bangsa. Mereka juga akan mendapatkan kesenangan yang kekal di akhirat. Dalam ayat lain Allah berfirman:
Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu. (al-Baqarah/2: 254)
Dan firman-Nya:
Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik. (al-Baqarah/2: 267).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
TANDA-TANDA KEBESARAN ALLAH AMAT BANYAK SEKALI
Bagaimana Allah menyuruh kita memupuk iman, sampai pun kepada pelayaran kapal di lautan disuruh perhatikan.
Ayat 32
“Dan setengah dari tanda-tanda" kekuasaan-Nya jua ialah kapal-kapal di lautan, laksana gunung-gunung."
Ayat 33
“Jika Dia kehendaki, dimatikan-Nya angin."
Kapal yang hanya bergantung kepada belas kasihan angin, jika angin mati,"maka tertegunlah dia terkatung-katung di permukaannya (laut)." Maju tidak, mundur pun tidak,
“Sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi tanda-tanda bagi yang sabar dan yang syukur"
Banyaklah ayat atau tanda yang tampak di sini, apalah arti bahtera atau kapal layar, atau perahu di dalam lautan yang luas itu. Bila telah ke tengah lautan, bila kiri kanan, muka belakang yang kelihatan hanya laut belaka, pikirkanlah di sana ayat Allah. Apalah artinya manusia dan kapal yang ditumpanginya itu di hadapan kekuasaan laut, yang tiga perempat dari seluruh permukaan bumi adalah laut belaka? Dan bagaimana kapal akan maju, kalau tidak kasihan angin? Manusia bersabar ketika angin mati; manusia sabar menunggu angin datang lagi karena manusia tidak kuasa atas angin. Dan manusia bersyukur kalau angin datang lagi; laju, laju bahtera laju. Beribu tahun lamanya manusia berlayar di laut mengharap belas kasihan angin. Tetapi akhirnya kesabaran itu diberi Allah upah. Sekarang pelayaran tidak mengharapkan angin dari luar lagi tetapi dengan uap (Stom), lama-lama maju menjadi motor dan diesel. Namun satu hal tidaklah berubah, yaitu betapa pun besarnya kapal zaman sekarang ini, dia hanya dipandang dari dekat laksana bukit. Kalau sudah jauh laksana sabut terapung saja.
Ayat 34
“Atau dibinasakan-Nya," kapal-kapal itu,"dengan sebab usaha mereka."
Ditenggelamkan-Nya, dipecahbelahkan oleh gelombang, atau beradu kapal sama kapal, atau berperang kapal-kapal di laut sama-sama hancur-menghancurkan. Habis musnah tenggelam ke dasar laut. Sudah berapa ratus ribukah kapal-kapal yang ada di dasar taut, membawa beribu-ribu manusia berkubur di dalamnya, sejak manusia pandai berlayar? Menurut ayat ini, banyak kapal tenggelam karena dosa orang di dalamnya. Sungguhpun demikian, di ujung ayat Allah berkata,
“Padahal diampuni-Nya bagian yang banyak."
Ayat 35
“Dan supaya tahulah orang-orang yang membantah pada ayat-ayat Kami, mereka tidak mempunyai jalan untuk melepaskan diri."
Kalau pada ayat 31 telah kita insafi bahwa di daratan bumi ini kita tidak dapat melepaskan diri, tidak ada pelindung dan penolong selain Allah, apatah lagi di lautan. Berlayarlah di laut, bawa Al-Qur'an dan baca ayat-ayat ini ketika tertegun melihat ombak dan gelombang di keliling kapal, akan terasalah di dalam jiwa kita bahwa tidak ada pedoman kita selain Allah. Sewaktu-waktu Dia dapat memperlihatkan kuasa-Nya, walaupun pelayaran sedang tenang.
Ayat 36
“Maka apa jua pun yang dianugerahkan kepada kamu maka itu hanyalah bekal hidup di dunia ini saja. Dan apa yang di sisi Allah itulah yang baik dan lebih kekal, untuk orang-orang yang beriman dan kepada Tuhan mereka, mereka berserah diri"
Syukurilah nikmat Allah, jika kita diberi-Nya apa-apa di dunia ini. Banyak atau sedikit nikmat itu, janganlah dipersoalkan. Semua nikmat Allah kepada diri kita akan terasa banyaknya apabila kita bandingkan kepada orang yang hanya mendapat sedikit dan dia akan terasa sedikit kalau kita melihat, menengadah kepada orang yang kita lihat mendapat banyak. Padahal segala nikmat yang kita terima di dunia ini, hakikatnya hanya sedikit sekali. Hanya semata-mata hiasan atau bekal sementara. Harta berida, emas perak, gedung indah, istana, gubuk reyot, kendaraan berbagai ragam, semua hanya sementara. Tempo buat kita memakainya betul-betul sangat pendek sekali. Demikian pun pangkat, kebesaran, kemuliaan. Tempo untuk semuanya itu hanya pendek sekali. Sebab semuanya itu hanya nikmat sementara. Tetapi semua wajib kita syukuri. Dan kita pun wajib pula melatih jiwa agar segala pemberian dunia itu jangan sekali-kali memikat hati kita. Sudah menjadi tabiat manusia meminta yang lebih banyak. Ayat ini menjelaskan keinginan kepada yang lebih itu, kepada yang lebih kekal. Ditegaskan Allah di sini,"Apa yang ada di sisi Allah itulah yang baik dan lebih kekal." Kita tidak boleh melupakan itu. Bukan saja tidak boleh melupakan, bahkan disuruh mencapai yang lebih baik dan lebih kekal itu. Dia disediakan buat yang beriman dan tawakal. Sebab itu berimanlah dan bertawakallah. Dengan iman dan tawakal berserah diri maka pemberian di dunia yang sedikit itu tidak akan membuatmu lupa diri jika ada dan tidak membuat engkau canggung jika dia pergi dari engkau, dan tidak akan membuat engkau bermata ke belakang jika datang saatnya engkau dipanggil Allah.
Ayat selanjutnya menunjukkan bagaimana menyempurnakan iman dan tawakal itu.
Ayat 37
“Dan orang-orang yang menjauhi dosa-dosa yang besar dan yang keji. Dan apabila marah, mereka mengampuni."
Dosa-dosa besar di antaranya ialah mempersekutukan Allah, mendurhakai ibu bapak, naik saksi dusta, mempercayai tukang tenung, sihir, lari meninggalkan barisan di dalam peperangan. Yang keji-keji ialah zina dan segala perbuatan menuju zina, memakan harta haram, meminum minuman yang memabukkan, memakan daging babi, makan bangkai, makan dan minum darah dan sebagainya. Dosa besar juga ialah sombong, dengki, riya dan hasut fitnah. Kemudian itu kalau marah, suka memberi maaf, tidak pendendam.
Ayat 38
“Dan orang-orang yang menyambut akan (ajakan) dari Tuhan mereka."
Yaitu mengerjakan segala yang diperintah Allah dan menghentikan segala yang dilarang-Nya. Karena iman saja, barulah pengakuan. Belum ada artinya,"Percayakah engkau kepada-Ku?" Tentu kita jawab,"Percaya!" Lalu Allah bertanya lagi,"Sudah engkau sambut ajakan-Ku?" Apa jawab kita? Di antara sekalian ajakan Allah itu, di ayat ini ditegaskan satu hal, yaitu"Dan mereka mendirikan shalat." Sebab shalat itu ialah tanda pertama dan utama dari iman. Shalat ialah masa berhubungan dengan Allah sekurangnya lima kali sehari semalam. Shalat memang berat mengerjakannya, kecuali bagi orang yang hatinya memang khusyu. Meskipun seseorang itu baik dengan sesama manusia, kalau dia tidak mendirikan shalat, terbuktilah hubungannya dengan Allah tidak baik. Dan ditambah lagi oleh contoh teladan Nabi ﷺ, hendaklah shalat itu berjamaah dan hendaklah pula berjum'at. Maka sejalan dengan menguatkan hubungan dengan Allah, kamu rapatkan pula hubungan sesama manusia, khususnya sesamamu yang beriman. Maka datanglah lanjutan ayat,"Sedang urusan-urusan mereka adalah dengan musyawarah di antara mereka." Sebab sudah jelas bahwa urusan itu ada yang urusan pribadi dan ada urusan yang mengenai kepentingan bersama. Maka yang mengenai bersama itu dimusyawarahkan bersama, supaya ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Itu sebabnya maka ujung ayat dipatrikan dengan,
“Dan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan, mereka nafkahkan."
Sebab suatu musyawarah tentang urusan bersama tidak akan mendapat hasil yang diharapkan kalau orang tidak mau menafkahkan sebagian kepunyaan pribadinya untuk kepentingan bersama.
Ayat ini dengan tegas menjelaskan bahwa hasil iman seseorang itu bukanlah semata-mata untuk dirinya saja. Iman bukan semata-mata hubungan pribadi orang seorang dengan Allah. Tetapi di samping dengan Allah, iman pun membawa hubungan pribadi dengan urusan bersama yang langsung. Dipangkali dengan shalat. Shalatnya berjamaah dan berjum'at. jamaah dan Jum'at, adalah pendasaran bermasyarakat. Masyarakat bertetangga, berteratak, berdusun, berdesa, bermarga, berkampung, berkota dan bernegara. Sendirinya tumbuh urusan bersama dan dipikul bersama, boleh dinamai demokrasi atau gotong-royong. Dan semua menafkahkan rezeki yang diberikan padanya untuk kepentingan bersama itu. Rezeki adalah umum. Rezeki harta berida, emas perak, tenaga, pikiran, kepandaian ilmu, keahlian, pengalaman. Semua mau menafkahkan untuk kepentingan bersama. Jadi shalat, jamaah, musyawarah, dan pengurbanan rezeki dalam satu nafas.
Inilah yang disebut oleh seorang sarjana hukum Indonesia Prof. Dr. Hazairin S.H.,"Menjadikan seluruh tanah air Indonesia satu masjid."
Adapun teknik cara, misalnya perwakilan, dipilihkan perwakilan itu atau ditunjuk, agama tidak masuk sampai ke sana. Yang pokok dalam Islam ialah musyawarah: syura, (Dan dia menjadi nama kehormatan dari surah ini.)
Bagaimana mestinya musyawarah itu, terserahlah kepada perkembangan pikiran, ruang, dan waktu belaka.
“Kamu lebih tahu dengan urusan-urusan duniamu.
Hubungan pribadi Mukmin dengan masyarakat secara baik dan lancar sudah dituntunkan oleh ayat 37 dan 38. Tetapi Allah Allah Yang Maha Mengetahui, Mahagagah dan Mahabijaksana, juga memperingatkan ke-mungkinan terberiturnya satu pribadi dengan keadaan yang tidak diingini dari pribadi lain. Maka datanglah ayat 39 yang begini artinya,
Ayat 39
“Dan bagi orang-orang yang ditimpa penganiayaan, mereka pun membalas."
Menilik susunan ayat dari atasnya, teranglah bahwa kalau seorang membalas karena dia dianiaya, tidaklah keluar dari garis ketentuan iman, melainkan termasuk dalam rangka iman juga. Orang yang dayyuts, tidak memelihara harga diri lalu menyerah saja ketika dianiaya, tidaklah rupanya Mukmin yang terpuji. Dia ber-hak mempertahankan diri. Tetapi cara membalas dijelaskan lagi pada ayat selanjutnya.
Ayat 40
“Dan batasan atas satu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal dengan dia"
Di sini masuklah ijtihad tentang pentingnya hakim atau pemerintahan. Sebab mempertimbangkan balasan kejahatan yang setimpal, yang seimbang, yang patut, payah buat diputuskan sendiri oleh yang bersangkutan. Karena marah, mungkin dilanggarnya ayat itu. Satu kejahatan dibalasnya dengan kejahatan pula, pakai"bunga". Misalnya dia dipukul orang sekali dengan tinju, dibalasnya dua puluh tinju. Maka ulama-ulama fiqih atau ulama ilmu kalam dalam Islam, ijma (sependapat) bahwa salah satu sebab maka pemerintahan mesti berdiri ialah karena untuk keseimbangan di antara si lemah dengan si kuat, jangan yang lemah teraniaya dan yang kuat menganiaya. Itulah isi khutbah sambutan Abu Bakar (moga-moga ridha Allah untuknya), ketika dia dilantik menjadi khalifah Nabi yang pertama."Saya diangkat menjadi pemimpin kamu, meskipun saya tidaklah lebih baik daripada kamu. Orang yang lemah di sisi kamu adalah kuat di sisiku karena kekuatan itu akan aku ambil dari yang kuat. Dan orang yang kuat di sisi kamu adalah lemah di sisiku, karena kekuatan itu akan aku ambil untuk membantu yang lemah."
Tetapi ayat masih lanjut lagi untuk membuka pintu bagi Mukmin yang ingin imannya lebih sempurna dan murni."Tetapi barangsiapa yang memberi maaf dan mendamaikan maka pahalanya ada atas Allah." Ditambah dengan peringatan lagi,
“Sesungguhnya Dia tidaklah suka kepada orang-orang yang zalim."
Inti sari ayat ialah bahwa memberi maaf dan mencari jalan damai dari pihak yang teraniaya ialah karena timbul dari kekuatan jiwanya, bukan karena kelemahannya. Inilah yang disebut
“Memberi maaf dalam kesanggupan membalas."
Tetapi ujung ayat menjelaskan bahwa meskipun yang teraniaya telah memberi maaf dan mencari jalan damai, namun yang menganiaya tetap dipandang aniaya, tetap diberici Allah.
Urusannya dengan yang memberi maaf bisa selesai, namun dengan Allah belum selesai, entah kalau perangainya itu diubahnya dan dia tobat, tidak berbuat begitu lagi kepada orang lain.
Sebab itu ditegaskan sekali lagi dalam ayat berikutnya.
Ayat 41
“Dan sesungguhnya orang yang membalas sesudah teraniaya maka bual mereka tidak ada jalan buat diapa-apakan."
Karena membalaskan penganiayaan itu adalah haknya.
Ayat 42
“Ada jalan hanyalah terhadap orang-orang yang menganiaya manusia dan berlaku sewenang-wenang di bumi dengan tidak menunai hak. Bagi mereka itu adalah adzab yang pedih."
Keadilan, kemakmuran, dan keamanan itulah yang dicita-citakan masyarakat yang demikian. jangan yang merasa dirinya kuat berbuat semau-maunya kepada yang lemah. Dan dengan demikian tercapailah apa yang pernah dikatakan Nabi ﷺ tatkala hidupnya kepada seorang sahabatnya,"Akan engkau dapati kelak seorang perempuan berjalan dari Hirah ke Mekah, seorang diri, tidak ada yang mengganggunya di jalan." Dan sahabat itu mendapati!
Dengan demikian, nyatalah bahwa cita-cita menegakkan iman itu bukanlah semata-mata untuk kesucian pribadi, tetapi mempunyai kelanjutan kepada keamanan dan kemakmuran bernegara.
Ayat 43
“Dan sesungguhnya orang-orang yang sabar dan memberi ampun, sesungguhnya yang demikian adalah dari sepenting-penting perbuatan."